1. Metode Penelitian Sastra Wiyatmi Flipbook PDF


25 downloads 115 Views 744KB Size

Story Transcript

0

Wiyatmi

METODE PENELITIAN SASTRA DAN APLIKASINYA DALAM SASTRA INDONESIA

2017 ISBN 978-602-6338-60-0 1

KATA PENGANTAR Metode Penelitian Sastra merupakan salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh para mahasiswa yang mengambil keahlian ilmu sastra. Mahasiwa harus menempuh mata kuliah ini sebelum melangkah ke tahap penulisan skripsi yang akan mengantarkannya menuju ujian akhir sebelum dinyatakan lulus dari studinya dan berhak menyandang gelar kesarjanaan. Buku ini disusun untuk membantu mahasiswa yang menempuh mata kuliah (Metode) Penelitian Sastra. Buku ini menguraikan konsep-kosep dasar dan prosedur penelian sastra dan contoh penyusunan proposal, hasil penelitian, dan artikel yang disusun berdasarkan hasil penelitian sastra, khususnya dalam konteks sastra Indonesia. Dengan membaca uraian tersebut diharapkan para pembaca, khususnya mahasiswa, mendapatkan gambaran mengenai proses penyusunan proposal, laporan penelitian, dan menulisan artikel ilmiah hasil penelitian. Buku ini tidak akan terwujud tampa campur tangan akademik dan nonakademik dari berbagai pihak. Kepada pihak-pihak tersebutlah, saya berhutang dan wajib mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Mereka antara lain adalah Wakil Rektor I Universitas Negeri Yogyakarta dan stafnya yang telah meberikan hibah penulisan buku ajar ini. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah meberikan rekomendasi sehingga saya dapat mengikuti seleksi hibah penulisan buku ini. Reviuwer dan teman

sejawat

yang

memberikan

saran

dan

masukan

untuk

penyempurnaan buku ini. Para mahasiswa Sastra Indonesia, yang telah menempuh mata kuliah (Metode) Penelitian Sastra yang secara langsung maupun tidak langsung telah

2

menginspirasi saya untuk mengembangkan buku ini. Guru-guru saya, Ibu Prof. Dr. Chamamah Soeratno, Bapak Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, Bapak Prof. Dr. Suminto A. Sayuti yang telah mengalirkan ilmunya sehingga saya terus berusaha mengikuti jejaknya menjadi ilmuwan sastra dan mencoba untuk selalu berkarya. Terima kasih juga disampaikan kepada keluarga saya, Dr. Pujiharto, M.Hum. (suami), Annisa Nur Harwiningtyas dan Bintang Arya Sena (anak-anak) yang selalu mendukung saya untuk terus berkarya. Yogyakarta, 30 Oktober 2015

3

DAFTAR ISI Kata Pengantar

i

Daftar Isi

ii

Bab I Ilmu Sastra dan Penelitian Sastra

1

Bab II Penelitian Sastra

6

2.1 Pengertian Penelitian

6

2.2 Penelitian Sastra, Studi Sastra, dan Kritik Sastra

8

2.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sastra

11

Bab III Pendekatan, Teori, dan Metode dalam Penelitian Sastra

12

3.1 Pendekatan dalam Penelitian Sastra

15

3.1.1 Pendekatan Objektif

15

3.1.2 Pendekatan Ekspresif

16

3.1.3 Pendekatan Mimetik

17

3.1.4 Pendekatan Pragmatik

18

3.2 Teori dalam Pebelitian Sastra

20

3.2.1 Strukturalisme

20

3.2.2 Semiotik

25

3.2.3 Sosiologi Sastra

27

3.2.4 Resepsi Sastra

29

3.2.5 Postrukturalisme

32

3.2.6 Ekokritisisme

35

3.2.7 Posmodernisme

36

3.2.8 Feminisme

38

3.2.9 New Historicism

43

3.3 Metode dalam Penelitian Sastra

45

3.3.1 Memilih dan Merumuskan Masalah

48

3.3.2 Menentukan Tujuan dan Manfaat Penelitian

49

3.3.3 Mengadakan Studi Kepustakaan

50

4

3.3.4 Memformulasikan Hipotesis

55

3,3,5 Menentukan Metode Penelitian

46

3.3.5.1 Metode Sejarah

46

3.3.6.2 Metode Deskriptif

56

3.3.5.3 Metode Eksperimental

59

3.3.5.4 Metode Grounded Research

59

Bab IV Penyusunan Proposal Penelitian Sastra

61

4.1 Penyusunan Proposal Pnelitian

61

4.1.1 Menyusun Latar Belakang Masalah

62

4.1.2 Menentukan Sumber Data dan Data

65

4.1.3 Mengidentifikasi dan Merumuskan Masalah

66

4.1.4 Menentukan Tujuan Penelitian

67

4.1.5 Menentukan Manfaat Penelitian

68

4.1.6 Studi Kepustakaan dan Kajian Teori

68

4.1.7 Metode Penelitian

71

4.1.8 Jadwal Penelitian

72

Bab V Menyusun Laporan Penilitian

74

5.1 Halaman Sampul

74

5.2 Halaman Pengesahan

75

5.3 Abstrak

78

5.4 Isi Laporan

78

5.4.1 Bab I Pendahuluan

78

5.4.2 Bab II Kajian Pustaka

80

5.4.3 Bab III Metode Penelitian

83

5.4.4 Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

85

5.4.5 Bab V Kesimpulan

100

5.4.6 Daftar Pustaka

101

Bab VI Naskah Publikasi Hasil Penelitian

102

6.1 Melacak Jejak Kesadaran Feminisme dan Maninisme dalam Novel Indonesia

102

5

6.2 Representasi Sejarah Sosial Politik Indonesia dalam Novel Novel Karya Ayu Utami

132

Daftar Pustaka

166

6

1

BAB I ILMU SASTRA DAN PENELITIAN SASTRA

Ilmu sastra merupakan salah satu ilmu dalam rumpun ilmu-ilmu humaniora. Ilmu sastra mengkaji berbagai fenomena yang berkaitan dengan keberadaan karya sastra, yang meliputi karya sastra, pengarang, pembaca, kenyataan, dan masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan karya sastra. Karya sastra ada karena diciptakan (ditulis untuk sastra tulis) pengarang. Dalam menciptakan karya sastra pengarang sebagai bagian dari masyarakat tertentu tidak dapat melapaskan dirinya dari situasi dan fenomena yang ada dalam masyarakatnya. Di pihak lain, pembaca adalah subjek yang membaca dan menikmati karya sastra, bahkan memanfaatkan karya sastra untuk kepentingan tertentu, termasuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan karier akademiknya. Sebagai salah satu jenis ilmu pengetahuan, maka ilmu sastra pun harus memenuhi sejumlah kriteria ilmu pengetahuan pada umumnya. Ilmu adalah suatu himpunan pengetahuan yang sistematis yang menemukan materi-materi alamiah serta memberikan suatu rasionalisasi sebagai hukum alam (Nazir, 2003:10). Sistematis berarti bahwa dalam menemukan materi-materi alamiah ilmu pengetahuan terikat oleh sejumlah aturan dan prosedur tertentu. Selanjutnya, ilmu pengetahuan akan membuat generasisasi dan simpulan terhadap materi-materi alamiah dengan mendasarkan pada proses berfikir (rasionalisasi). Para ilmuwan sastra pada umumnya membagi ilmu sastra dalam tiga cabang, sesuai dengan fokus kajian dan tujuan pengembangan yang hendak dicapai, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra (Wellek dan Warren, 1990:37-39). Teori sastra memfokuskan perhatian kepada konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan hakikat atau

1

2

pengertian sastra, hubungan karya sastra dengan berbagai hal menyebabkan penciptaanya sampai pada bagaimana pembaca dan masyarakat membaca dan memanfaatkannya, jenis-jenis sastra, unsurunsur pembangun sastra, dan bagaimana cara membaca dan mengkaji karya sastra. Kritik sastra merupakan salah satu cabang ilmu sastra yang memfokuskan perhatian pada kegiatan klasifikasi, analisis, dan penilaian teerhadap karya-karya sastra. Sejarah sastra memfokuskan perhatian pada kelahiran dan perkembangan karya dan fenomena- fenomena sastra yang ada dalam masyarakat secara sinkronik maupun diakronik. Melalui

penelitian

sastra,

maka

para

ilmuwan

akan

mengembangkan cabang-cabang ilmu sastra tersebut. Teori sastra, yang antara lain berkutat dengan konsep-knsep dasar karya sastra, hubungan antara karya sastra dengan pencipta dan pembacanya, dan hubungan antara karya sastra dengan kondisi masyarakat yang melahirkannya akan selalu dipertajam dan diperbarui sesuai dengan perkembangan

karya-karya

sastra

yang

ada.

Penajaman

dan

pembaruan tersebut mendasarkan pada hasil kajian (penelitian) sastra yang dilakukan para ilmuwan. Demikian juga kritik sastra dan sejarah sastra akan berkembang seiring dengan hasil temuan para peneliti sastra. Dalam konteks kritik sastra, penilaian terhadap suatu karya sastra akan mendasarkan pada teori sastra tertentu, yang juga terus berkembang. Ketika karya novel makin berkembang, misalnya dalam penggunaan point of vieuw yang semula hanya dikenal teknik orang pertama (akuan) dan orang ketiga (diaan), kemudian beberapa pengarang mulai menggunakan teknik orang kedua (kamuan), maka teori fiksi pun harus mencatat adanya fenomena tersebut. Selanjutnya, dalam menganalisis dan menilai sebuah fiksi (novel atau cerita pendek), kritikus tidak dapat mengabaikan adanya point of vieuw dan fungsi estetisnya dalam sebuah fiksi. Sejarah sastra pun harus

2

3

mencatat perkembangan tersebut. Apalagi kalau di lapangan ditemukan sejumlah fiksi yang ternyata menggunakan teknik orang kedua dalam menyampaikan cerita, seperti tampak pada beberapa novel Indonesia periode 2000-an, misalnya Larung (Ayu Utami), Cala Ibi (Nukila Amal), dan Dadaisme (Dewi Sartika). Agar ilmu sastra berkembang, maka masyarakat ilmu sastra yang meliputi para peneliti di lembaga penelitian bahasa dan sastra seperti Badan Bahasa dan Balai Bahasa dan perguruan tinggi harus melalukan aktivitas penelitian. Dalam hal ini penelitian

merupakan salah satu

aktivitas akademik yang harus dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa di peruruan tinggi, juga para peneliti di lembaga penelitian nonperguruan tinggi. Bagi dosen kegiatan penelitian merupa- kan salah satu wujud dari Tri Darma Perguruan Tinggi, sementara bagi mahasiswa penelitian merupakan langkah awal yang harus ditempuh untuk dapat menulis karya ilmiah yang menjadi tugas beberapa mata kuliah maupun penulisan karya ilmiah akhir studi (skripsi, tesis, maupun disertasi). Penelitian Sastra selain merupakan salah satu mata kuliah yang dirancang untuk membantu para mahasiwa mempersiapkan diri dalam penulisan karya ilmiah untuk tugas-tugas kuliah dan penulisan skripsi (S1), tesis (S2), atau desertasi (S3). Dalam mata kuliah ini mahasiswa akan mendapatkan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan hal ihwal sebuah penelitian, mulai tahap persiapan, pelaksanaan, sampai penulisan laporan penelitian, dan publikasinya. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya dari sekedar pengetahuan, mahasiswa juga akan mendapatkan pengalaman praktik melakukan aktivitas yang berkaitan dengan berbagai tahap penelitian secara konkret. Karya sastra dan fenomena kesusastraan, termasuk dalam konteks sastra Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup

3

4

pesat. Dari tahun ke tahun, dari periode ke periode sejarah sastra, kehidupan sastra Indonesia ditandai dengan muncul dan terbitnya karyakarya sastra dengan jenis yang bermacam-macam. Berbagai persoalan yang diangkat dalam karya-karya sastra yang ditulis oleh para sastrawan pun makin beragam sesuai dengan ragam persoalan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang menjadi konteksnya, seperti masalah nasionalisme, konflik antargenerasi, krisis lingkungan hidup, keadilan dan kesetaraam gender, Hak Azasi Manusia, kemerdekaan, dan lainlain. Demikian juga interaksi para sasrawan dengan berbagai khasanah sastra lokal dan dunia pun telah ikut serta mewarnai perkembangan karya sastra yang ada di Indonesia. Selain itu, berbagai fenomena sastra juga ikut mewarnai perkembangan sastra Indonesia, seperti perdebatan fungsi sastra bagi masyarakat, hubungan antara karya sastra dengan ideologi, hubungan antara karya sastra dengan kekuasaan, bahkan juga hubungan antara larya sastra dengan agama dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Pesatnya perkembangan sastra Indonesia tersebut tentu saja akan memberikan warna tersendiri dalam aktivitas penelitian sastra di Indonesia, khususnya dalam konteks akademik di perguruan tinggi dan lembaga penelitian, yang ada di bawah naungan Badan Bahasa dan Balai Bahasa di berbagai provinsi di Indonesia. Perkembangan sastra tersebut merupakan ladang penelitian yang sangat luas, yang menunggu para pahasiswa, dosen, dan peneliti sastra untuk menjamahnya, untuk menyusun proposal dan melaksanakan penelitian dari berbagai fenomena sastra tersebut. berbagai fenomena sastra tersebut tentunya juga menantang para calon peneliti untuk mengkajinya dari berbagai sudut pandang dengan memanfaatkan berbagai kerangka teori dan pendekatan yang sesuai dengan fenomena yang ada.

4

5

Buku ini disusun untuk membantu para mahasiswa, dosen, dan paneliti mempersiapkan pelaksanakan proyek penelitian sastra, mulai dari

persiapan

melakukan

penelitian,

penyusunan

proposal,

pelaksanaan penelitian, dan publikasi hasil penelitiannya. Dalam tahap persiapan calon peneliti akan diperkenalkan dengan berbagai cara menemukan dan menangkap persoalan (masalah) dari berbagai fenomena sastra yang ada di lapangan yang dapat dipilih menjadi masalah penelitian. Pada tahap penyusunan proposal, calon peneliti akan diperkenalkan dengan berbagai cara dan langkah dalam penyusunan proposal, dengan memilih berbagai masalah dan contoh proposal penelitian. Dalam tahap pelaksanaan penelitian, calon peneliti akan diperkenalkan dengan berbagai langkah dan proses analisis dan interpretasi data penelitian dari berbagai perspektif kerangka teori dan pendekatan. Selanjutnya, pada tahap publikasi, calon peneliti akan ditunjukkan cara menyusun naskah publikasi sesuai dengan media publikasi yang dipilih, termasuk memilih media publikasi yang sesuai dengan laporan penelitian atau karya tulis (ilmiah) yang ditulis. Buku ini dilengkapi dengan contoh proposal penelitian, laporan penelitian, dan beberapa karya ilmiah yang ditulis berdasarkan aktivitas penelitian sastra yang telah penulis tulis dan publikasikan. Dengan membaca dan memahami contoh-contoh tersebut, diharapkan pembaca mendapatkan gambaran bagaimana sebuah karya ilmiah yang berhasil dipublikasikan dalam jurnal ilmiah maupun forum ilmiah, seperti seminar dan konferensi, didusun berdasarkan sebuah penelitian yang melalui berbagai proses dan langkah.

5

6

BAB II PENELITIAN SASTRA

2.1 Pengertian Penelitian Penelitian adalah aktivitas akademik yang dilakukan dengan tujuan untuk menemukan fakta dan prinsip-prinsip dari suatu fenomena secara sistematis. Kata penelitian secara etimologis berasal dari kata research (bahasa Inggris), yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai riset yang bermakna mencari kembali (Nazir, 2003:12). Aktivitas penelitian menjadi salah satu kegiatan dalam konteks ilmu pengetahuan. Kegiatan ini dilakukan oleh para ilmuwan, yaitu orangorang yang berkecimpung dalam pengembangan ilmu pengetahuan, baik di lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Melalui kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan, maka ilmu pengetahuan terus menerus eksis dan dikembangkan. Sebagai aktivitas yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, maka penelitian memiliki beberapa ciri. W. Gee (via Nazir, 2003:13) mengemukakan beberapa ciri tersebut, yaitu (1) adanya suatu pencarian, penyelidikan, atau investigasi terhadap pengetahuan baru atau sekurang-kurangnya sebuah pengaturan baru atau interpretasi baru dari pengetahuan yang timbul; (2) metode yang digunakan bersifat kritis (ilmiah) dengan prosedur yang sempurna; aktivitas lebih banyak tertuju kepada pencarian (search) daripada suatu pencarian kembali (research). Beberapa ciri tersebut tampak bahwa penelitian adalah aktivitas yang bertujuan untuk menyelidiki suatu pengetahuan baru dari suatu fenomena secara ilmiah dengan mengikuti prosedur yang bersifat sistematis. Melalui aktivitas penelitian, sebuah ilmu pengetahuan dapat dikembangkan. Oleh karena itu, penelitian dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Penelitian adalah

6

7

proses, sementara ilmu pengetahuan merupakan hasil dari aktivitas penelitian (Nazir, 2003:14). Untuk mengetahui adanya hubungan antara minat menulis dengan kebiasaan membaca, latar belakang pendidikan dan

stastus

sosial

ekonomi

keluarga,

seorang

peneliti

harus

mengumpulkan berbagai data yang berhubungan dengan sejumlah fenomena tersebut dari seorang atau sekelompok orang. Data tersebut selanjutnya dipahami, dalam arti dianalisis dan diinterpretasikan dalam konteks linguistik (ilmu bahasa). Tahap pengumpulan data yang dijalankan melalui observasi, wawancara, dan pengisian daftar pertanyaan, disusul analisis dan interpretasi data dalam kaitannya dengan berbagai variabel disebut sebagai proses. Selanjutnya, hasil dari penelitian tersebut akan memperkaya ilmu bahasa, terutama yang berkaitan dengan kecerdasan linguistik seseorang yang yang memliki korelasi dengan sejumlah faktor, seperti kebiasaan membaca, latar belakang pendidikan, dan stastus sosial ekonomi keluarga. Sebagai aktivitas ilmu pengetahuan, sebuah penelitian memiliki beberapa ciri. Dalam bukunya The Technique of Research in Education¸ Crawford (via Nazir, 2003:29) mengemukakan delapan buah ciri penting penelitian, yaitu penelitian harus (1) berkisar di sekitar masalah yang ingin dipecahkan, (2) mengandung unsur orisinalitas, (3) didasarkan pada pandangan “ingin tahu”, (4) berdasarkan asumsi bahwa suatu fenomena mempunyai hukum dan pengaturan, (5) untuk menemukan generalisasi atau dalil, (6) merupakan studi tentang sebab akibat, (7) menggunakan pengukuran yang akurat, (8) menggunakan teknik yang secara sadar diketahui. Dari ciri-ciri tersebut, maka aktivitas penelitian pada dasarnya dilaksanakan untuk memahami dan memecahkan suatu masalah,

terutama

masalah

yang

belum

pernah

dipecahkan

sebelumnya. Dengan asumsi bahwa masalah tersebut memiliki hukum dan keteraturan, hubungan sebab akibat, sehingga dapat dipahami dengan menggunakan pengukuran yang akurat dan

7

8

teknik yang diketahui secara sadar. Untuk selanjutnya dari proses tersebut dapat dirumuskan generalisasi atau dalil dari fenomena yang diteliti tersebut. 2.2 Penelitian Sastra, Studi Sastra, dan Kritik Sastra Dalam konteks ilmu sastra, selain dikenal istilah penelitian sastra juga dikenal istilah studi sastra, dan kritik sastra. Istilah penelitian sastra jarang digunakan dalam sejumlah pustaka Barat. Istilah yang digunakan adalah literary studies (studi sastra) dan literay criticism (kritik sastra) (Klarer,

2004,

Abrams,

1981,

Easthope,

1991,

Ruthven,1986,

Showalter,1985). Namun, setelah dicermati meskipun yang digunakan adalah istilah studi sastra dan kritik sastra penjelasan yang diuraikan dan aktivitas yang dilakukan pada dasarnya dalag penelitian sastra. Oleh karena itu, dalam buku ini penelitian ssatra dianggap sama dengan studi sastra dan kritik sastra. Dengan demikian, sejumlah istilah dan konsep yang terdapat dalam pustaka studi sastra dan kritik sastra akan digunakan dalam penelitian sastra,

misalnya pendekatan yang

berorientasi pada pembaca yang oleh Klarer diuraikan sebagai salah satu fokus dalam studi sastra dalam buku ini dipahami sebagai salah satu pendekatan dalam penelitian sastra. Demikian juga kritik feminis yang diuraikan oleh Showalter merupakan salah satu jenis penelitian sastra yang memfokuskan perhatian pada ideologi feminisme yang merupakan konteks karya sastra maupun ideologi yang akan diperjuangkan oleh pengarang melalui karya yang ditulisnya. Ilmu sastra merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang memiliki usia yang cukup tua. Dalam sejumlah literatur ilmu sastra Plato dan Aristoteles, yang hidup dan berkarya abad 4 SM telah disebut- sebut namanya sebagi tokoh-tokoh yang melakukan pembahasan (kajian) terhadap karya sastra dalam hubungannya dengan

8

9

masyarakatnya. Plato dikenal dengan teori mimesis yang menjelaskan hubungan antara karya seni, termasuk sastra dengan realitas yang teradi dalam masyarakat. Plato menyatakan bahwa keberadaan karya seni (sastra) pada dasarnya hanyalah mimesis (tiruan) dari kenyataan. Pendapat tersebut disangkal oleh Aristoteles yang dikenal dengan teori kreasi. Menurut Aristoteles, dalam menciptakan karya seni, seniman tidak semata-mata meniru kenyataan, tetapi melakukan kreasi, penciptaan kembali melalui kreativitasnya. Meskipun teori sastra sekarang telah mengalami perkembangan yang pesat, namun teori Plato dan Aristoteles masih digunakan sampai sekarang, terutama dalam kajian sosiologi sastra. Sampai saat ini ilmu sastra masih tetap eksis karena para sastrawan masih terus menulis karya sastra dan para kritikus (peneliti) sastra masih melakukan penilaian dan peneletian terhadap karya-karya sastra yang ada. Lembaga-lembaga penelitian, seperti Badan Bahasa dan Balai Bahasa yang ada di hampir semua provinsi di Indonesia, Badan Bahasa yang ada di Jakarta maupun perguruan tinggi, khususnya di program studi Bahasa dan Sastra di sejumlah universitas di Indonesia masih melalukan aktivitas kritik sastra dan penelitian sastra. Sama halnya dengan aktivitas penelitian ilmu pengetahuan pada umumnya, maka penelitian sastra pun harus dilakukan sesuai dengan ciri-ciri dan kriteria penelitian yang ada. Penelitian sastra harus dilakukan dengan mendasarkan pada masalah kesastraan yang ingin dipecahkan, mengandung unsur orisinalitas, didasarkan pada pandangan “ingin tahu”, berdasarkan asumsi bahwa suatu fenomena mempunyai hukum dan pengaturan, untuk menemukan generalisasi atau dalil, merupakan studi tentang sebab akibat, menggunakan pengukuran yang akurat, dan menggunakan teknik yang secara sadar diketahui.

9

10

Sebuah penelitian sastra yang dapat mengelitik seorang peneliti untuk melaksanakan penelitian dapat ditemukan dari keberadaan karya sastra dalam hubungannya dengan pengarang selaku pencipta yang menyebabkan karya sastra ada, penerbit yang menerbitkan dan mempublikasikan karya sehingga sampai pada pembaca, pembaca yang menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk berbagai tujuan, struktur dan isi karya sastra, serta konteks sosial, historis, dan politik yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Seorang peneliti dapat memilih salah satu fenomena yang menurutnya perlu dipahami dan dipecahkan. Pemilihan tersebut juga dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan dan tujuan peneliti yang bersifat individual maupun institusional, bahkan mungkin juga sesuai dengan pesanan penyandang dana yang menginginkan tema penelitian tertentu. Seorang peneliti sastra misalnya dapat meneliti diangkatnya tema perjuangan

kaum

perempuan

dalam

mendapatkan

kesempatan

menempuh pendidikan di daerah terpencil dalam sejumlah novel Indonesia. Penelitian dilatarbelakangi oleh keingintahuan peneliti untuk mengetahui bagaimana kaum perempuan di daerah terpencil, seperti desa-desa di pulau Jawa maupun daerah pedalaman di Kalimantan atau Papua yang digambarkan dalam novel-novel Indonesia berjuang untuk mendapatkan pendidikan, faktor-faktor apa sajakah kira-kira yang mendukung dan menjadi kendala perjuangan tersebut? Peneliti harus menyakinkan bahwa penelitian seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya. Untuk membuktikan hal ini peneliti harus melakukan studi pendahuluan terhadap hasil penelitian terdahulu. Agar data, analisis dan interpretasi hasil penelitian akurat, maka peneliti harus menyandarkan analisis dan interpretasinya pada kerangka konseptual yang dibangun berdasarkan kajian pustaka yang relevan, baik yang berkaitan dengan masalah kesastraan maupun konteks data yang relevan.

10

11

2.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sastra Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa kegiatan penelitian sastra memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan ilmu sastra. Tujuan akhir dari sebuah penelitian sastra pada hakikatnya adalah mengembangkan ilmu sastra, menjaga tetap hidup dan berkembangnya ilmu sastra. Agar ilmu sastra tetap hidup dan berkembang, maka aktivitas penelitian sastra tetap harus terus menerus dilakukan oleh para peneliti yang berada di wilayah akademik (Perguruan Tinggi) maupun lembaga-lembaga penelitian, seperti Badan Bahasa dan Balai Bahasa. Agar tujuan akhir tersebut terwujud, maka para peneliti harus senantiasa melaksanakan aktivitas penelitian dengan meneliti berbagai fenomena sastra yang ada dalam masysrakat. Sesuai dengan tujuan penelitian pada umumnya yang bertujuan untuk menyelidiki suatu pengetahuan baru dari suatu fenomena secara ilmiah dengan mengikuti prosedur yang bersifat sistematis, maka penelitian sastra pada dasarnya bertujuan untuk menyelidiki dan menemukan pengetahuan baru dari suatu fenomena sastra secara ilmiah dengan mengikuti prosedur yang sistematis. Pengetahuan baru dari fenomena sastra, dapat diselidiki dan ditemukan dari pengarang selaku pencipta karya sastra, masyarakat yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra, pembaca, bahkan juga berbagai hal yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya sastra, misalnya penerbit, latar belakang sosial politik, bahkan juga distribusi dan publikasinya.

11

12

BAB III PENDEKATAN, TEORI, DAN METODE DALAM PENELITIAN SASTRA

Sebuah penelitian sastra dapat dimulai dari masalah (fenomena) sastra terrentu. Abrams (1981:6) menyatakan bawa keberadaan karya sastra berada dalam hubungan antara pengarang, karya, kenyataan (dunia), dan pembaca. Keempat elemen tersebut masing-masing saling berhubungan. Namun demikian, seorang peneliti dapat melalukan penelitian dengan hanya memfokuskan pada satu elemen, misalnya teks saja, dua elemen yang saling berhubungan, atau empat elemen yang saing berhubungan. Setelah seorang peneliti menentukan fokus masalah yang berkaitan dengan elemen tertentu dari keberadaan karya sastra, selanjutnya dia akan menentukan pendekatan tertentu yang akan digunakan untuk menghampiri masalah yang diteliti. Selanjutnya, teori dan metode yang digunakan untuk memahami masalah sangat tergantung pada pendekatan yang dipilih peneliti. Ketika peneliti memilih masalah penelitian dari karya sastra tanpa menghubungkannya dengan konteksnya, misalnya meneliti penyusunan alur dalam sebuah karya sastra, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tekstual atau pendekatan objektif. Teori yang sesuai dengan pendekatan tekstual atau objektif adalah teori naratif atau teori strukturalisme. Selanjutnya, metode yang sesuai dengan penelitian tersebut adalah analisis isi atau metode deskriptif kualitatif. Untuk memahami susunan alur sebuah karya sastra (novel atau cerpen), peneliti tidak perlu memilih pendekatan mimetik yang menghubungkan alur dengan konteks sosial budaya di luar karya sastra karena tidak ada relevansinya.

12

13

Berikut ini akan dijelaskan hubungan antara pendekatan, teori, dan metode dalam penelitian sastra. Ketiga hal tersebut sering kali dipahami secara tumpang tindih. Padahal ketiganya memiliki fokus dan aktivitas yang berbeda, meskipun saling berkaitan. Pendekatan dalam konteks penelitian dimaknai sebagai caracara melakukan aktivitas penelitian untuk mencapai tujuan penelitian. Pendekatan berbeda dengan teori dan metode penelitian. Dengan merujuk pada pendapat Ratna (2004:53) pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah caracara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Dalam pendekatan juga terkandung manfaat penelitian yang akan diharapkan, baik secara teoretis maupun praktis, baik terhadap penelitian secara individu maupun masyarakat pada umumnya. Selain itu, dalam pendekatan juga dengan kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan, sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi berikutnya (Ratna, 2004:54). Dari uraian di atas tampak bahwa pendekatan berbeda dengan metode. Metode mengacu pada cara-cara atau strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan masalah (Ratna, 2003:34). Kalau dibandingkan dengan pendekatan, maka metode

dalam

penelitian

sifatnya

lebih

operasional.

Metode

membicarakan bagaimana suatu masalah (feomena atau realitas) dipahami secara sistematis. Sejumlah istilah yang berkaitan dengan metode antara lain adalah identifikasi dan klasifikasi data, deskripsi data, dan interpretasi. Pendekatan masih berkutat pada dari sudut pandang atau titik fokus mana suatu masalah (fenomena atau realitas) akan dipahami. Dalam konteks penelitian sastra, pendekatan berkaitan dengan dari sudut pandang atau titik fokus mana fenomena sastra akan diteliti. Dari karya sastra itu sendiri, dari hubungan antara karya sastra

13

14

dengan pengarangnya, dari hubungan antara karya sastra dengan konteks sosial dan politik, atau dari hubungan antara karya sastra dengan pembacanya, atau mungkin juga hubungan antara karya sastra tertentu dengan karya-karya sastra sebelumnya? Tentang hubungan antara teori dan metode dengan pendekatan, selanjutnya

Ratna

(2003:54)

menjelaskan

bahwa

pendekatan

mendahului teori dan metode. Untuk menjelaskan hal ini, Ratna mencontohkan bahwa untuk mengkaji novel Belenggu peneliti berasumsi bahwa novel tersebut adalah hasil imajinasi. Dengan asumsi tersebut, maka penelitian dilakukan melalui pemahaman, bukan pembuktian. Oleh karena itu, langkah berikutnya adalah menentukan model pendekatan, yang diikuti dengan pemilihan teori, metode, dan teknik. Dengan asumsi bahwa novel Belenggu adalah karya imajinatif, maka pendekatan yang dipilih untuk melaksanakan penelitian tersebut adalah pendekatan objektif. Pendekatan objektif, seperti yang dikemukakan oleh Abrams (1981:51) memahami karya sastra dari karya sastra itu sendiri, karya sastra dilihat sebagai dunia yang bersifat otonom, tidak mengacu pada realitas di luar dirinya. Teori yang menjelaskan pandangan pendekatan objektif yang menyatakan bahwa karya sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada realitas di luar dunia adalah teori strukturalisme. Selanjutnya, untuk dalam proses penelitiannya, pendekatan objektif dan teori strukturalisme sesuai dengan prosedur metide penelitian deskriptif kualitatif. Berdasarkan titik fokus atau orientasinya dalam memahami fenomena sastra, Abrams (1981:51-52) mengemukakan bahwa untuk mengkaji (mengritik) karya sastra seorang peneliti (kritikus) dapat mendekatinya dari karya itu sendiri, hubungan antara karya sastra dengan pengarang, hubungan karya sastra dengan kenyataan, dan hubungan

antara

karya

sastra

dengan

pembaca

(audience).

Berdasarkan fokus atau orientasinya dalam mendekati karya sastra

14

15

itulah, Abrams selanjutnya membedakan kritik sastra menjadi (1) kritik objektif, (2) kritik ekspresif, (3) kritik mimetik, dan (4) kritik pragmatik. Agak mirip dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams, Mario Klarer (2004:77-78) membagi pendekatan untuk meneliti sastra menjadi empat macam, yaitu (1) pendekatan yang berorientasi pada teks (text oriented approches), (2) pendekatan yang berorientasi pada pengarang (author oriented approaches), (3) pendekatan yang berorientasi pada pembaca (reader oriented approaches), dan (4) pendekatan

yang

berorientasi

pada

konteks

(context

oriented

approaches). Macam-macam pendekatan yang dikemukakan oleh Klarer ini, pada dasarnya tidak berbeda dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams. Klarer menyebut pendekatan yang berorientasi pada konteks, sementara Abrams menyebutnya pendekatan yang berorientasi pada hubungan antara larya sastra dengan realitas/kenyataan yang menjadi latar belakang maupun yang diacu oleh karya sastra. Berikut ini diuraikan macam-macam pendekatan yang lazim diterapkan dalam penelitian sastra. 3.1 Pendekatan dalam Penelitian Sastra Sesuai dengan fokus dan orientasinya ketika peneliti atau kritikus sastra akan mendekati atau menghampiri fenomena sastra yang akan diteliti, maka dengan mengacu pada pendapat Abrams (1981:51-52) dalam peneitian sastra dikenal adanya pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan pragmatik, dengan penjelasan sebagai berikut.

3.1.1 Pendekatan Objektif Pendekatan objektif adalah salah satu aktivitas penelitian yang menghampiri objek penelitian dengan berorientasi pada karya sastra

15

16

atau teks, tanpa menghubungkannya dengan pengarang, pembaca maupun kenyataan yang menjadi konteksnya. Seorang peneliti dapat memilih pendekatan objektif Pendekatan ini mengkaji fenomena sastra dengan memfokuskan perhatian pada persoalan wujud teks, termasuk editing manuskrip (naskah), analisis gaya bahasa yang digunakan dalam teks, dan struktur formal suatu teks. Sebagai contoh pendekatan objektif misalnya meneliti teks sastra dari aspek unsur-unusr yang membangun karya tersebut, misalnya alur, latar (setting), tokoh dan perwatakannya, sudut pandang (point of vieuw), gaya bahasa, judul, dan tema sebuah novel atau cerita pendek. Karena hanya beriorienatsi pada teks, maka siapa penulisnya, bagaimana pembaca membaca dan memberikan makna, serta bagaimana konteks sosial historis dan politis yang melatarbelakangi teks tersebut tidak peru diperhatikan. Dalam pelaksanaan penelitiannya, pendekatan objektif ini membutuhkan dukungan teori sastra, khususnya teori struktur naratif, atau teori strukturalisme. Pendekatan objektif juga dapat membatasi dengan meneliti salah satu unusr pembangun teks, misalnya unsur tokoh dan perwakatannya dari sebuah cerpen, novel, ataupun drama, tnpa mengaitkannya dengan unsur lainnya. Penelitian diarahkan untuk memahami siapa tokoh utama dan tokoh tambahan dalam sebuah teks, bagaimana perwatakannya digambarkan. Peneliti, misalnya meneliti tokoh ibu dalam novel Canting karya Arswendo Atmowolito. Keberadaan dan peran tokoh ibu dalam novel tersebut cukup dipahami dalam hubungannya dengan tokoh-tokoh lain yang ada di dalam novel tersebut secara tekstual. Namun, penedekatan objektif semacam ini kadang akan memiliki kelemahan. Sosok dan karakter ibu dalam sebuah keluarga, sering kali tidak hanya dibentuk oleh interaksinya dengan tokoh lain dalam keluarga itu, tetapi sering kali dibentuk oleh kultur masyarakat yang melahirkannya. Sosok dan karakter ibu dalam

16

17

keluarga Jawa, bisa jadi berbeda dengan ibu dalam budaya kota metropolis. Dengan demikian, ketika seorang peneliti menggunakan pendekatan objektif secara ketat, sangat mungkin interpretasii terhadap fenomena yang diteliti menjadi kurang konprehensif.

3.1.2 Pendekatan Ekspresif Pendekatan ekspresif mendekati (menghampiri) fenomena sastra yang diteliti dari sudut pengarang selaku pencipta (penulis) teks (karya) sastra. Teks sastra dianggap sebagai hasil ekspresi (curahan) gagasan, perasaan, emosi seorang pengarang. pendekatan ekspresif berusaha mengkaji hubungan natara teks sastra dengan biografi dan pengalaman hidup pengarang (Klarer, 2004:78). Bahkan sering kali penanda waktu tertentu, fakta-fakta dan perstiwa-peristiwa ternetu dalam kehidupan pengarang memiliki keterkaitan dengan unsur-unsur karya sastra yang ditulis pengarang, yang dapat dilacak dari biografi pengarang. Arief Budiman pernah melalukan kajian ekspresif terhadap puisi-puisi Chairil Anwar dalam bukunya Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Puisi Chairil Anwar diahami dalam hubungannya dengan pengalaman dan biografi penulisnya. Puisi “Nisan” yang ditulis pertama kali oleh Chairil dipahami sebagai ekspresi Chairil atas kehilangan neneknya tercinta akibat meninggal dunia. Demikian juga puisi “Yang Terempas dan Yang Putus” dipahami dalam hubungannya dengan kegelisahan dan kepasrahan Chairil menunggu datangnya kematian, karena pada saat itu dia berada dalam kondisi sakit. Untuk menjelaskan hubungan antara isi puisi-puisi Chairil Anwar dengan biografi pengarang, Budiman menggunakan teori psikologi Gestal yang memahami suatu fenomena secara keseluruhan, tidak secara terpisah- pisah. Dalam konteks kajian sastra, teori yang digunakan oleh Budiman masuk dalam kategori psikologi pengarang, seperti yang diutaikan oleh Wellek & warren (1990), yang menjelaskan bahwa psikologi pengarang

17

18

merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi. Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra.

3.1.3 Pendekatan Mimetik Pendekatan mimetik menghampiri fenomena kesastraan yang diteliti dengan berorientasi pada konteks yang melahirkan karya (teks) sastra, yang meliputi konteks sosial, sejarah, politik, nasionalitas, gender, bahkan juga genre sastra sebelumnya (Klarer, 2004:94). Pendekatan mimetik memungkinkan karya sastra diteliti dalam hubungannya dengan berbagai

hal

yang

melatarbelakangi

kelahiran

(penciptaannya).

Penelitian karya sastra dalam hubungannya dengan berbagai konteks inilah yang memungkinkan pemahaman dan pengkajian karya sastra dilakukan secara interdisipliner. Penelitian yang menghubungkan karya sastra dengan konteks sosial masyarakat menghubungkannya dengan sosiologi, yang akhirnya melahirkan kajian sosiologi sastra. Penelitian yang menghubungkan karya sastra dengan konteks sejarah melahirkan kajian new historisisme. Penelitian yang menghubungkan karya sastra dengan konteks gender, melahirkan kajian feminisme, dan seterusnya. Contoh penelitian sastra yang menghubungkan karya sastra dengan konteks sosial politik misalnya mengkaji novel Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis dalam hubungannya dengan kondisi sosial politik Indonesia akhir Orde Baru. Untuk memahami fenomena tersebut, selanjutnya dibutuhkan teori sosiologi sastra yang menjelaskan bahwa karya sastra mereflesikan kondisi sosial politik ketika karya itu ditulis.

18

19

3.1.4 Pendekatan Pragmatik Pendekatan pragmatik memahami dan mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca. Pendekatan ini memandang kebearaan karya sastra dalam kaitannya dengan tujuan atau dampak tertentu yang diperoleh (dimanfaatkan) pembaca, seperti kesenangan estetis,

memberikan

instruksi,

dan

bermacam-macam

emosi.

Pendekatan pragmatik bahkan menyakini bahwa nilai karya sastra dikaitkan dengan keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya) (Abrams, 1981:51). Contoh pendekatan pragmatik adalah meneliti nilai pendidikan karakter dlam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Melalui pendekatan pragmatik novel tersebut dipandang sbagai sarana untuk menanamkan nilai pendidikan karakter kepada pembbacanya. Karakter postitif tokohtokoh di dalam novel tersebut dipandang sebagai model karakter ideal yang dapat diteladani oleh para pembacanya. Dalam pelaksanaan penelitian, berbagai pendekatan tersebut berkaitan dengan teori tertentu. Pendekatan ekspresif, yang mengkaji hubungan antara karya sastra dengan pengalaman dan biografi pengarang, misalnya membutuhkan teori sosiologi pengarang. Sosiologi pengarang merupakan salah satu varian sosiologi sastra yang menjelaskan berbagai femomena yang berkaitan dengan latar belakang penulisan karya sastra oleh pengarang, hubungan antara isi karya sastra dengan pengalaman hidup dan ideologi pengarang, latar belakang sosial budaya pengarang yang berpengaruh terhadap isi karya yang ditulis pengarang. Contoh penerapan pendekatan ekspresif misalnya mengkaji novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer dalam hubungannya dengan pengalaman hidup dan ideologi pengarang. Keberadaan dan isi novel tersebut dipahami dalam hubungannya dengan latar belakang kehidupan dan ideologi Pramudya

19

20

Ananta Toer. Bahkan juga, hal-hal yang melatarbelakangi penciptaan novel tersebut. Namun, apabila penelitian yang akan dilaksanakan memilih pendekatan mimetik, yang mencoba memahami isi karya sastra dengan konteks sosial budaya ataupun politik yang melatarbelakangi penulisan atau pun yang diacu oleh suatu karya sastra, maka teori yang relevan digunakan antara lain adalah teori sosiologi karya sastra atau sosiologi sastra marxisme. Sosiologi karya sastra menjelaskan hubungan antara isi karya sastra dengan realitas sosial, historis, atau pun politik yang melatarbelakangi kelahiran karya sastra atau pun yang diacu oleh karya sastra. Secara lebih khusus, sosiologi sastra marxisme menjelaskan bahwa isi karya sastra tertentu tidak terlepas dari kondisi material historis masyarakatnya. Dalam pandangan sosiologi sastra marxisme, karya sastra dianggap mencerminkan adanya pertentangan antara kelas proletar dengan kelas borjuis. Sebagai contoh novel Gadis Pantai karya Pramudya Ananta Toer, apabila dipahai dengan teori sosiologi marxisme, maka akan dilihat adanya pertentangan antara kaum proletar yang diwakili oleh Gadis Pantai melawan kaum borjuis yang diwakili oleh Bendara. Setelah menentukan pendekatan yang akan digunakan untuk menhampiri fenomena sastra yang akan diteliti, maka langkah selanjutnya adalah menentukan teori sastra yang sesuai dengan pendekatan yang dipilih. Berikiut ini diuraikan posisi dan peran teori dalam sebuah penelitian dan sejumlah teori yang lazim dipakai dalam penelitian sastra. 3.2 Teori dalam Penelitian Sastra Dalam semua bidang ilmu, tak terkecuali ilmu sastra, teori memiliki posisi dan peran yang sangat penting. Bahkan dapat dikatakan bahwa teori menjadi salah satu perangkat yang menandai ciri

20

21

keilmiahan suatu ilmu pengetahuan. Teori pada dasarnya merupakan abstraksi dari pengertian atau hubungan dari proporsi atau dalil yang menjadi sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematis dalam gejala sosial maupun natural yang ingin diteliti (Nazir, 2003:19). Teori merupakan set (seperangkat) konsep atau construct yang berhubungan satu dengan lainnya, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan sistematis dari suatu fenomena (Kelinger, via Nazir, 2003:19). Mengingat begitu pentingnya posisi dan peran teori bagi sebuah ilmu pengetahuan, maka teori dijadikan sebagai alat dari ilmu dengan sejumlah peran, yaitu (1) mendefinisikan orientasi utama dari ilmu dengan cara memberikan definisi terhadap jenis-jenis data yang akan dibuat

abstraksinya,

membantu

(2) memberikan rencana konseptual yang

mensistematisasikan,

mengklasifikasikan,

dan

meng-

hubung-hubungkan fenomena-fenomena yang relevan, (3) memberikan ringkasan terhadap fakta dalam bentuk generalisasi empiris dan sistem generalisasi, (4) memberikan prediksi terhadap fakta, dan (5) memperjelas celah-celah di dalam pengetahuan kita (Nazir, 2003:1920). Dalam sebuah aktivitas penelitian, teori juga mendukung dan meningkatkan keberhasilan penelitian, serta memberikan penjelasan terhadap hubungan-hubungan antarfenomena yang diamati (Nazir, 2003:22). Dari sejumlah peran teori tersebut, maka jelaslah bahwa kita tidak dapat mengabaikan teori dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan ilmiah, termasuk penelitian. Untuk dapat melaksanakan kegiatan penelitian kita harus memahami teori yang berkaitan dengan fenomena yang akan kita teliti. Ketika menjalankan aktivitas penelitian seorang peneliti akan bertemu dengan sejumlah fakta dari berbagai fenomena yang ada di lapangan yang diamati. Dalam hubungannya dengan penelitian sastra,

21

22

fakta tersebut mungkin berkaitan dengan pengarang atau pencipta sastra, kenyataan yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra, peristiwa (“kenyataan”) yang disampaikan dalam karya sastra Untuk memahami dan menjelaskan sejumlah fakta tersebut, kita membutuhkan bantuan teori. Untuk memahami dan menjelaskan fakta yang berkaitan dengan pengarang, selaku pencipta karya sastra, kita membutuhkan psikologi pengarang maupun teori sosiologi pengarang. Teori tersebut akan menjelaskan bahwa karya sastra pada hakikatnya merupakan ekspresi atau hasil curahan gagasan, perasaan, dan emosi pengarang, yang tidak terlepas dari kondisi kejiwaan pengarang dan latar belakang sosial, budaya, bahkan politik tempat pengarang hidup dan berkarya (Teeuw 1984). Demikian juga ketika kita akan memahami fenomena yang terdapat dalam karya sastra (isi atau makna karya sastra), kita tidak dapat melepaskan diri dari teori sosiologi sastra. Teori sosiologi sastra anatra lain menjelaskan bahwa karya sastra diciptakan pengarang untuk mendokumentasikan realitas yang pernah terjadi dalam masyarakat tertentu (Junus, 1984). Dengan demikian, ketika akan mengkaji isi karya sastra, sebagai seorang peneliti kita juga harus mempertimbangkan teori sosiologi sastra tersebut. Di depan telah disebutkan bahwa penilihan teori tidak dapat dilepasksn dari pendekatan yang dipilih ketika akan menghampiri fenomena

sastra

yang

diteliti.

Teori

sastra

telah

mengalami

perkembangan yang pesat seiring dengan perkembangan sastra dan aktivitas penelitian sastra yang cenderung bersifat interdisipliner. Dengan mengacu pada sejumlah pustakan yang ada berikut ini diuraikan sejumlah teori sastra yang banyak digunakan dan berkembang sampai saat ini. 3.2.1 Strukturalisme Sebelum dikenal sebagai salah satu teori sastra, yang dipopulerkan oleh A. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Imu Sastra:

22

23

Pengantar Teori Sastra (1984), strukturalisme adalah pergerakan intelektual yang bermula di Perancis pada tahun 1950-an yang digunakan oleh antropolog Claude Levi-Strauss (1908-2009) dan kritikus Roland Barthes (Barry, 2010:45). Strukturalisme memahami segala hal sebagai sebuah struktur yang terbangun dari hubungan antarunsur yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Mahasiswa dan dosen di Indonesia pada umumnya mengenal teori strukturalisme pertama kali melalui buku A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (1984). Dari karya Teeuw tersebut mereka berbagai teori sastra yang berkembang dalam ilmu sastra, termasuk strukturalisme. Teeuw (1984:135) menguraian bahwa dengan menggunakan teri strukturalisme analisis struktur terhadap karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek

karya

sastra

yang

bersama-sama

menghasilkan

makna

menyeluruh. Secara historis, strukturalisme tidak dapat dilepaskan dari Ferdinan de Saussure, yang dikenal sebagai tokoh linguistik modern. Pemikiran struktralisme berasal dari konsepnya tentang sruktur bahasa. Dalam menjelaskan struktur bahasa Saussure menyatakan bahwa (1) makna yang kita berikan pada kata-kata murni bersifat mana suka, dan makna tesrsebut dipertahankan semata-mata karena konvensi, (2) makna kata-kata bersifat relasional, artinya tidak ada kata yang dapat didefinsikan secara terpisah dari ata-kata lain, (3) bahasa menyusun dunia kita, tidak sekadar merekam atau memberinya label (Barry, 2010: 49-50). Sebagai contoh, istilah-istilah yang kita berikan pada musim dalam setahun. Di Eropa ada empat nama yang berlainan (musim semi, panas, gugur, dingin), sementara di Indonesia sebagai negara tropis hanya mengenal musim kemarau dan musim hujan. Menurut Barry

23

24

(2010:51)

nama

musim-musim

tersebut

merupakan

cara

kita

memandang musim dalam satu tahun, bukan fakta objektif dalam alam. Seperti diringkaskan oleh Barry (2010:57) berdasarkan pendapat David Lodge dalam bukunya Working with Structuralism, karakteristik strukturalisme adalah sebagai berikut. (1) Mereka menganalisis (terutama) narasi prosa, menghubungkan teks dengan struktur pewadah yang lebih besar, seperti: (a) konvensi-konvensi suatu genre sastra tertentu, atau (b) jejaring koneksi intertekstualistas, atau (c) proyeksi model sebuah struktur narasi universal yang mendasar, atau (d) gagasan akan narasi sebagai sebuah kompleks berisi pola atau motif berulang. (2) Mereka menafsirkan sastra menurut kisaran paralel-paralel mendasar dengan struktur bahasa, seperti yang dideskripsikan oleh linguistik modern. Misalnya gagasan mengenai “miteme” yang diajukan peh Levi-Strauss dan mengacu pada unit-unit minimal dalam “pemahaman” naratif, dibentuk melalui analogi dengan morfem, yang dalam linguistik adalah unit terkecil dalam pemahaman tata bahasa. Satu contoh morfema adalah ‘ed’ yang dalam bahasa Inggris ditambahkan pada kata kerja untuk menunjukkan bentuk lampau. (3) Mereka menerapkan konsep pemolaan dan penstrukturan sistematis pada keseluruhan bidang ilmu budaya Barat dan budaya-budaya lain, memperlakukan segala sesuatu dari mitos Yunani Kuna sampai merk deterjen sebagai “sistem tanda”. Sesuai dengan kerangka kerjanya dalam memahami fenomena sastra, maka teori strukturalisme lebih sesuai dengunakan untuk penelitian yang orientasinya lebih banyak pada karya sastra dengan pendekatan objektif. Contoh penelitian yang menggunakan teori strukturalisme misalnya meneliti struktur naratif sebuah cerpen atau novel (“Penembak Misterius” karya Sena Gumira Ajidarma atau Salah Asuhan karya Abdul Muis). Walaupun teori strukturalisme banyak digunakan dalam penelitian dan kritik sastra, namun Teeuw (1984:139) juga mengingatkan adanya empat kelemahan strukturalisme (khsusnya model New Criticism). Keempat kelemahan tersebut adalah bahwa (1) analisis struktur karya sastra secara umum belum merupakan teori

24

25

sastra atau tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap karena (2) karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah, (3) adanya struktur yang objektif pada karya sastra makin disangsikan karena peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segaa konsekuensi untuk analisis struktural, (4) analisia yang menekankan pada otonomi karya sastra juga menghilangkan

konteks

dan

fungsinya,

sehingga

karya

itu

dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.

3.2.2 Semiotik Semiotik (semiologi) adalah ilmu tanda. Semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda (Sudjiman & Zoest, 1992;vii). Banyak tanda ada di sekitar kita. Kata, tulisan penunjuk arah, denah, bendera, warna, lampu lalu lintas, dan sebagainya merupakan contoh tanda dalam kehidupan sehari-hari. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan, bahkan nyanyian burung dalam perspektif semiotik juha dianggap sebagai tanda (Sudjiman & Zoest, 1992;vii). Semiotik

mempelajari

tentang

tanda

dan

segala

yang

berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Sudjiman & Zoest, 1992:5). Dalam ilmu bahasa dan sastra, semiotik dianggap merupakan perkembangan dari strukturalisme. Ferdinan de Sausurre, yang dikenal sebagai bapak linguistik modern, menyebut ilmu tentang tanda sebagai semiologi, sementara Charles Sander Peirce menyebutnya semiotik (Sudjiman & Zoest, 1992:1). Saussure mengemukakan enam prinsip yang menjadi dasar teori semiotik, yaitu (1) prinsip struktural, (2) prinsip kesatuan, (3) prinsip konvensional, (4) prinsip sinkronik, (5) prinsip representasi, dan (6)

25

26

prinsip kontinuitas (Piliang, 2012:47-48). Saussure memandang relasi tanda sebagai relasi struktural. Tanda dilihat sebagai suatu kesatuan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Makna tidak dapat ditemukan sebagai bagian intrinsik dari sebuah unsur, melainkan sebagai akibat dari relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara total (Pilian, 2012:47). Tanda berprinsip kesatuan karena tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkret atau material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang penanda (konsep, ide, gagasan, makna). Tanda berprinsip konvesional karena relasi struktural antara sebuah penanda dan petanda sangat tergantung pada apa yang disebut konvensi, yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Tanpa berprinsip sinkronik karena tanda merupakan sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil, dan tidak berubah. Tanda berprinsip representasi karena sebuah tanda merepresentasikan

suatu

realitas

yang

menjadi

rujukan

atau

referensinya. Tanda berprinsip kontinuitas karena berada dalam sebuah relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa (Piliang, 2012:48-49). Karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa dalam perspektif semiotik merupakan sistem tanda tingkat pertama, sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua. Hal ini karena sastra selain menggunakan bahasa sebagai mediumnya, juga mempunyai sistem dan konvensi sendiri seperti konvensi bahasa kiasan, sarana retorika, ambiguitas, dan sebagainya yang ikut menentukan makna karya sastra (Pradopo, 1995). Teori semiotik dapat digunakan untuk membantu menginterpretasikan karya sastra. Dalam pandangan semiotik karya sastra merupakan bangunan yang terdiri dari tanda-tanda. Semua unsur pembangun karua sastra dimaknai sebagai tanda. Diksi (pilihan

26

27

kata) yang ada dalam puisi, ulangan bunyi, irama, bahasa kiasan, bahkan bait dan baris yang ada dalam puisi semuanya dilihat sebagi tanda yang mengandung makna. Michael Riffaterre (1978:5-6) yang mengembangkan teori semiotik untuk mengkaji puisi melalui bukunya Semiotics of Poetry mengemukakan cara memahami puisi secara semiotik dalam dua tahap. Tahap pertama sisebut pembacaan heuristik, disusul tahap kedua, tahap hermeneutik. Pada tahap pembacaan heuristik peneliti membaca dan memahami struktur kebahasaan secara semiotik berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Untuk memahami makna karya secara keseluruhan, selanjutnya peneliti melakukan pembacaan hermeneutik, dengan menginterpretasikan konvensi tambahan yang terdapat dalam puisi, seperti bahasa kiasan, citraan, tipografi,

dan hubungan

intertekstualnya dengan puisi-puiisi lain sebelumnya (Pradopo, 1994:9495). 3.2.3 Sosiologi Sastra Sosiologi sastra teori sastra yang bersifat interdisipliner yang memahami fenomena sastra dalam hubungannya dengan aspek sosial. Sesuai dengan namanya, sosiologi sastra mempertemukan ilmu sastra dengan sosiologi. Seperti diuraikan Swingewood dalam The Sociology of Literature (1972) sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembagalembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang

27

28

manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada; maka sastra menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan personal (Damono,1979). Swingewood (1972) memandang adanya dua corak penyelidikan sosiologi yang mengunakan data sastra. Yang pertama, penyelidikan yang bermula dari lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra dengan faktor di luar sastra yang terbayang dalam karya sastra. Oleh Swingewood, cara seperti ini disebut sociology of literature (sosiologi sastra). Penyelidikan ini melihat faktor-faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada masa dan masyarakat tertentu. Kedua, penyelidikan yang menghubungkan struktur karya sastra kepada genre dan masyarakat tertentu. Cara kedua ini dinamakan literary of sociology (sosiologi sastra). Sosiologi sastra telah mengalami perkembangan yang pesat. Dalam bukunya Theory of Litetarure, Rene Wellek dan Austin Warren (1994), mengemukakan adanya tiga jenis sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Pembagian jenis sosiologi sastra tersebut, hampir mirip dengan apa yang dilakukan oleh Ian Watt dalam esainya “Litetarure an Society” (via Damono, 1979:3). Ian Watt, membedakan antara sosiologi sastra yang mengkaji konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Menurut Wellek dan Warren, sosiologi pengarang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Sosiologi karya sastra memasalahkan karya sastra itu sendiri. Memfokuskan perhatian pada apa yang tersirat dalam

28

29

karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Sosiologi pembaca memahami pembaca yang pengaruh sosial karya sastra. Menurut Ian Watt, konteks sosial pengarang, antara lain memahami posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Sosiologi sastra yang memahami sastra sebagai cermin masyarakat dan sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra memahami sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial. Dalam hal ini Ian Watt (via Damono, 1979) membedakan adanya tiga pandangan yang berhubungan dengan fungsi sosial sastra, yaitu (1) pandangan kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, sehingga sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak; (2) pandangan “seni untuk seni”, yang melihat sastra sebagai penghibur belaka; (3) pandangan yang bersifat kompromis, di satu sisi sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. 3.2.4 Resepsi Sastra Resepsi sastra (asthetic of reception) adalah teori sastra yang menjelaskan bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus, 1985:1). Tanggapan tersebut dapat bersifat pasif atau aktif. Tanggapan pasif tejadi ketika seorang pembaca dapat memahami karya yang dibacanya atau dapat melihat hakikat estetika yang ada dalam karya tersebut. Tanggapan aktif terjadi ketika seorang pembaca merealisasikan tanggapannya terhadap karya sastra tertentu dan merealisasikan tanggapannya dalam aktivitas tententu, misalnya menulis resensi atau karya s astra lainnya (Junus, 1985: 34). Menurut teori resepsi sastra, makna suatu karya sastra dikonkretkan dalam diri pembacanya (Junus, 1985:28). Suatu karya

29

30

sastra baru memiliki makna apabila ia hidup dalam diri pembacanya. Dengan

memfokuskan

pada

bagaimana

pembaca

memberikan

tanggapan (makna) terhadap suatu karya sastra tertentu, maka teori resepsi sastra biasanya digunakan dalam kajian sastra dengan pendekatan

pragmatik.

Secara

garis

besar

(Junus,1985:51)

mengemukakan garis besar resepsi sastra dalam memahami karya sastra dengan cara, (1) bertolak dari suatu karya yang dilihat dalam hubungannya dengan pembaca, bagaimana karya bereaksi dengan pembacanya. Reaksi ini mungkin ditentukan oleh fenomena yang ada dalam karya sastra itu sendiri. Hal ini mungkin terjadi karena karya itu akan memberikan suatu skema atau rangka yang memberikan arah kepada pembaca.(2) Sebuah karya menjadi konkret melalui suatu penerimaan pembacanya sehingga meninggalkan kesan pada pembaca. Pembaca akan mengkonkretkan dan merekonstruksinya melalui imajinasinya. (3) Imajinasi pembaca dimungkinkan oleh (a) keakraban dengan tradisi (sastra), (b)kesanggupan memahami keadaan pada masanya, juga masa sebelumnya, (4) Melalui kesan, pembaca dapat menyatakan penerimaannya terhadap suatu karya, misalnya dalam bentuk komentar atau karya sastra yang lain yang berhubungan dengan karya

yang

demitefikasi,

dibacanya, dan

yang

sebagaimnya,

mungkin yang

bertentangam,

parodi,

menyebabkan

adanya

perkembangan sastra. Resepsi sastra memiliki banyak varian, sesuai dengan fokus yang menjadi perhatiannya, sumber data resepsi, dan cara mengkajinya. Setelah menguraikan perkembangan teori dan penerapan resepsi sastra, Teeuw (1984:208-217) mengemukakan bahwa ada beberapa model penelitian resepsi sastra, yaitu (1) resepsi sastra eksperimental , (2) resepsi sastra melalui kritik sastra, (3) resepsi sastra historis. Resepsi sastra eksperimental dilakukan dengan cara menyajikan teks tertentu kepada pembaca, baik secara individual

30

31

maupun kelompok agar mereka memberikan tanggapan, yang kemudian dianalisis daris egi tertentu. Penelitian ini dapat dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan, kemudian jawaban para responden dianalisis secara sistematik dan kuantitatif. Tanggapan pembaca dapat dipancing dengan pertanyaan terarah dan bebas, kemudian dianalisis secara kualitatif. Resepsi sastra eksperimental dikembangkan oleh Rien T. Segers (1978) dalam bukunya The Evaluation of Literary Texts: An Experimental Investigation into the Rationalization of Value Judgments with Referense to Semiotics and Estetics of Reseption, yang dan disadur oleh Umar Junus (1985) dalam bukunya Resepsi Sastra. Resepsi sastra melalui kritik sastra dikembangkan oleh Felix Vodicka. Menurut Vodicka (via Teeuw, 1984:210) pengritik sastra merupakan penanggap sastra yang utama dan khas, karena kritikuslah yang menetapkan konkretisasi karya sastra dan yang mewujudkan penempatan dan penilaian karya itu dalam masanya. Kritikus pula yang mengeksplisitkan konkretisasi yang merupakan syarat mutlak untuk pemuatannya dalam keseluruhan sejarah sastra (Teeuw, 1984:211). Menurut Vodicka (via Teeuw, 1984:211) kritikus mewakili yang baik mewakili norma sastra yang terikat pada masa tertentu dan atau pada golongan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, resepsi sastra suatu karya pada masa tertentu, sudah diwakili oleh kritik sastra yang ditulis oleh kritikus masa itu. Resepsi historis meneliti resepsi sastra melalui hubungan intertekstualitas, penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan (Teeuw, 1984:213). Resepsi historis sesai dengan teori yang dikembangkan oleh Hans Robert Jauss dalam esainya yang berjudul “Literary History as a Challenge to Literary Theory,” (11974). Intertekstualitas adalah hubungan antarkarya sastra satu dengan karya sastra sebelumnya. Dalam karya suatu karya sastra sering kali terungkap semacam kreasi

31

32

sekaligus merupakan resepsi dari karya sebelumnya (Teeuw, 1984:213). Dalam hubungannya dengan penyalinan naskah, Teeuw *1984:214) mengemukakan bahwa seringkali penyalin tidak hanya melakukan keteledoran, tetapi penyimpangan terjadi karena resepsi pembaca. Dalam arti pengalin memberikan tanggapan dalam salinannya, misalnya dengan menyesuaikan salinan aslinya dengan norma bahasa atau sastra, budaya, dan seterusnya yang berlaku pada zaman penyalin melakukan penyalinan. Hal ini menjadi perhatian dalam kajian resepsi sastra. Agak mirip dengan penyalinan, dalam proses penyaduran sering kali penyadur menyesuaikan sadurannya dengan norma-norma baru, dengan perubahan yang membuktikan pergeseran horison harapan pembaca disesuaikan dengan jenis sastra baru, dan sebagainya (Teeuw, 1984:215). Contoh yang menarik adalah penyaduran cerita Mahabharata dari India ke dalam sastra Jawa. Di India Dewi Drupadi yang didapatkan oleh para pandawa melalui sebuah sayembara, menjadi istri kelima pandawa, tetapi di Jawa dia hanya menjadi istri Yudhistira, pandawa yang tertua. Hal ini disesuaikan dengan norma dan budaya Jawa yang tidak mengenal poliandri. Penerjemahan menurut pada dasarnya juga merupakan bentuk resepsi. Hal ini karena dalam penerjemahan terjadi resepsi sekaligus kreasi (Teeuw, 1984:217). Orang menerjemahkan suatu karya karena dia telah membaca karya, kemudia memberikan resepsinya dalam bentuk terkemahan. Dengan menerjemahkan karya secara tidak langsung dia juga menerima norma-norma baru yang digambarkab dalam karya yang dibaca dan diterjemahkan (Teeuw, 1984:217).

3.2.5 Poskolonialisme Poskolonialisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisis sejarah, budaya, sastra, dan mode-mode wacana khusus

32

33

dari bekas koloni Inggris, Spanyol, Perancis, dan kekuatan kekuasaan penjajah Eropa lainnya. Teori poskolonial pada umumnya digunaan untuk membantu memahami kajian sastra yang berfokus terutama pada negara-negara Dunia Ketiga di Afrika, Asia, kepulauan Karibia, dan Amerika Selatan (Abrams, 1981:236). Penggunaan teori poskolonial dalam penelitian sastra telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bill Ashcroft dkk menunjukkan adanya dua model penting dalam sastra poskolonial, yaitu model nasional dan model black writing (Gandhi, 2007:vi). Model nasional memusatkan perhatian pada hubungan antara negara dan bekas-bekas penjajahnya. Model ini dapat digunakan untuk memahami karya sastra Indonesia dalam hubungannya dengan Belanda sebagai salah satu negara bekas penjajahnya. Model ini telah banyak diterapkan dalam penelitian terhadap sastra Indonesia, misalnya dalam penelitian terhadap sejumlah novel Indonesia yang dilakukan oleh sejumlah peneliti seperti Doris Jedamski (“Sastra Populrt dan Subjektivitas Poskolonial”), Paul Tickell (“Cinta di Masa Kolonial, Ras dan Percintaan dalam Sebuah Novel Indonesia Awal”), Thomas Hunter, (“Identitas, kecemasan, ambiguitas dalam Salah Asoehan”), Barbara Hatley (“Pascakolonialitas da Si Feminin dalam Sastra Indonesia Modern”) dan sejumlah penelitian lainnya yang dikumpulkan dan diedit oleh Tony Day dan Foulcher dalam buku mereka yang berjudul Clearing a Space, Postcolonial Reading of Modern Indonesian Literature yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Sastra Indonesia mOdern, Kritik Poskolonial (2004). Model black writing memusatkan perhatian pada karya-karya dari African Diaspora of Black Atlantic. Model ini dapat diperluas dengan memasukkan bentuk-bentuk tulisan lain, misalnya tulisan Australian Aboriginal atau tulisan-tulisan dari India karena model ini

33

34

lebih mendasarkan dirinya pada entitas ketimbang nasionalitas (Gandhi, 2007:vi-vii). Beberapa hasil penelitian dalam Poscolonial a Critical Introducyion Theory (Leela Gandhi, 2007) merupakan contoh model kedua ini. Menurut Barry (2010: 224) nenek moyang pelopor kajian poskolonial dapat dilacak dari The Wretched of the Earth karya Frantz Fanon, yang terbit di Perancis 1961 dan menyuarakan yang disebut “perlawanan kultural” terhadap imperium Afika-nya Perancis. Selain itu juga Orientalism karya Edward Said (1978) yang secara spresifik membahas universalisme Erosentris yang membenarkan superioritas Eropa (Barat) dan inferioritas non-Eropa dan non-Barat.

Said

mengidentifiasi Timur sebagai Liyan dan inferior terhadap barat. Poskolonial menjadi terkenal dengan terbitnya sejumlah buku seperti In Other World (Gayatri Spivak, 1987), The Impire Writes Black (Bill Ashcroft, 1989), Nation and Narration (Homi Bhabha, 1990), dan Culture and Inperialism (Edward Said, 1993) (Barry, 2010:223). Buku- buku tersebut menjadi buku-buku wajib dalam studi sastra di sejumlah perguruan tinggi di Indonsia, khususnya untuk mahasiswa pacsasarjana. Karakteristik poskolonial dalam memahami karya sastra menurut Barry (2010:231) adalah sebagai berikut. (1) Mereka menolak klaim universalisme yang dibuat atas nama sastra Barat kanon dan mencoba menjunjukkan keterbatasan pandangan mereka terutama ketidakmampuan umumnya untuk berempati melampaui batas perbedaan kebudayaan dan etnis. (2) Mereka menelaah representasi budaya-budaya lain dalam sastra sebagai cara meraih ujungnya. (3) Mereka menunjukkan betapa sastra semacam ini sering mengelak dan secara krudial dian terhadap persoaan yang berkaitan dengan kolonialisme dan imperialisme. (4) Mereka mengedepankan pertanyaan-pertanyaan tentang perbedaan dan keberanekaan budaya dan meneaah sikapnya dalam karya-karya sastra yang relevan.

34

35

(5) Mereka merayakan hibriditas dan “polivalensi budaya” yaitu situasi tempat individu dan kelompok secara simultan termasuk pada lebih dari satu budaya (misalnya budaya penjajah, melalui sistem sekolah kolonial, dan budaya terjajah, melalui tradisi lokal dan oral). (6) Mereka mengembangkan perspektif, yang tidak hanya dapat diterapkan pada sastra-sastra poskolonial, tempat kondisi keterpingiran, pluralisme, “Keliyanan”, yang tampak dipandang sebagai sumber-sumber energi dan perubahan potensial. Teori poskolonialisme akan kita gunakan ketika kita meneliti karya-karya sastra Indonesia yang ditulis pascakolonialisme Barat (Belanda) di Indonesia dan mengangkat kisah (cerita) yang berkaitan dengan dampak kolonialisme di Indonesia. Salah satu contoh karya sastra Indonesia yang mengangkat dampak kolonialisme Belanda terhadap kehidupan bangsa Indonesia adalah novel Salah Asuhan. Novel tersebut menggambarkan sejumlah masalah yang timbul dalam hubungan antara pribumi (Hanafi) dengan orang-orang Barat (Corrie dan ayahnya, juga teman-temannya).

3.2.6 Ekokritisisme Ekokritisisme adalah teori sastra yang memberikan perhatian terhadap hubungan timbal balik antara karya sastra dengan lingkungan hidup, termasuk hubungan dengan realitas sosial dan fisik, yang biasanya menjadi perhatian dalam ekologi (Love, 2003:1). Ekokritik akan menjelaskan bagaimana alam, lingkungan hidup, dengan

berbagai

persoalannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam karya sastra. Dalam hal ini alam dan lingkungan hidup, tidak hanya dipahami sebagai latar tempat dan suasana, tetapi juga merupakan aspek yang ikut membangun estetika sebuah karya sastra. Alam dan lingkungan hidup yang dijadikan sebagai unsur pembangun cerita atau pun unsur puitik dalam karya sastra merupakan wilayah kajian dalam ilmu sastra, khususnya dengan menggunakan

35

36

perspektif ekokritik. Dalam paradigma ilmu sastra, ekokritik merupakan jenis kritik sastra yang relatif baru karena mulai dikenal tahun 1990-an. Terbitnya buku-buku The Ecocriticism Reader (1996) yang diedit oleh Cheryll Glotfelty & Harold Fromm dan The Enviromental Imagination (1996) oleh Lawrence Buell menandai munculnya ekokritik dalam kritik sastra (Aziz, 2010). Demikian juga dengan terbitnya buku Ecocriticism karya Donelle N. Dreese (2002) menunjukkan perkembangan perspektif ekokritik dalam kritik (kajian) sastra. Alam dan lingkungan hidup manusia telah lama dieksplorasi para sastrawan dalam karya sastra yang ditulisnya. Alam dan lingkungan hidup tidak hanya digunakan sebagai latar cerita dalam novel, cerpen, atau pun drama, tetapi juga menjadi masalah yang penting dalam sebuah cerita. Ekokritik dapat digunakan ketika kita akan meneliti persoalan alam dan lingkungan hidup yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan unsur-unsur sastra, misalnya tokoh, latar, atau pun tema. Salah satu contoh karya sastra yang dapat dikaji dengan perspektif ekokritik misalnya novel Bilangan Fu karya Ayu Utami yang mengritisi aktivitas para pecinta alam pendaki gunung dan pemanjat tebing yang sering kali melukai alam. 3.2.7 Posmodernisme Posmodernisme berasal dari kata pos dan modernisme. Sarup (2003:231) kebudayaan

mendefinisikan kapitalis

posmodernisme

lanjut,

khususnya

sebagai dalam

gerakan seni.

di

Istilah

posmodernisme muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada tahun 19960 dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa pada 1970-an, seperti Jean-Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition yang menyerang mitos yang legetimasi zaman modern (“narasi besar”), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan

36

37

untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal valid untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, teori posmodern menjadi identik dengan kritik terhadap pengetahuan universal dan fondasionalisme (Sarup, 2003:231-232). Konsep posmodernisme menurut Sarup (2003:253) muncul sebagai reaksi spesifik pada bentuk-bentuk modernisme lanjut yang mapan. Posmodernisme juga dianggap sebagai konsep periodisasi yang berfungsi mengkorelasikan kemunculan aspek-aspek baru dalam kebudayaan, yang diduga muncul antara 1950 sampai 1960-an. Para pemikir posmodern seperti Lyotard, seperti dikemukakan Sarup (2003:255) tidak percaya pada metanarasi. Mereka sangat mencurigai pemikiran Hegel, Marx, dan bentuk-bentuk filsafat universal. Menurut Lyotard kondisi posmodern adalah kondisi ketika narasi besar modernitas --dialektika Roh, emansipasi buruh, akumulasi kekayaan, masyarakat tanpa kelas yang digagas pemikir marism—kehilangan kredibilitasnya. Selanjutnya, Lyotard mendefiniskan narasi yang merujuk pada narasi besar sebagai legitimasi narasi modern, narasi penguasaan, narasi tentang umat manusia yang mencaei tujuan hidupnya dengan menaklukkan alam. Kebangkitan posmodernitas menandakan krisis dalam fungsi legitimasi narasi, yaitu kemampuannya untuk mendesak konsensus. Selanjutnya, Lyotard dan para pemikir posmodernis lainnya menyatakan bahwa narasi besar itu buruk, sebaliknya narasi kecil itu baik. Narasi besar oleh Lyotard diasosiasikan dengan program politik atau partai, sementara narasi kecil diasosiasikan dengan kreativitas lokal (Sarup, 2003:256). Dalam memahami seni, posmodernisme memiliki cara pandang yang khas, yaitu (1) menghapuskan batas antara seni dengan kehidupan sehari-hari,

(2)

menghilangkan

pembedaan

hierarkhis

antara

kebudayaan populer dengan kebudayaan elite, (3) eklitisisme stilistik dan pencampuran kode, (4) mengandung parodi, pastiche, ironi, dan

37

38

semangat main-main, ada pergeseran penekanan dari isi ke bentuk atau gaya, (5) transformasi realitas menjadi citra, (6) fragmentasi waktu menjadi rangkaian masa kini abadi, (7) terjadi perujukan yang terus menerus pada eklitisisme, reflektivitas, perujukan pada diri, kutipan, trik, keacakan, anarki, fragmentasi, pastiche, dan alegori. (Sarup, 2003L 232). Selain sejumlah karakteristik tersebut, dalam perkembangannya yang terakhir juga muncul gerakan untuk “meretekstualisasikan” semua hal, seperti sejarah, filsafat, ilmu hukum, sosiologi, dan disiplin-disiplin lain yang dipandang sebagai bentuk-bentuk “tulisan” dan wacana yang optional (Sarup, 2003:233). Selain

dikenal

sebagai

teori

seni

(termasuk

sastra)

posmodernisme juga digunakan sebagai wawasan estetik para sastrawan dalam menulis karya-karyanya. Pembaca dan peneliti dapat mengenai karya sastra yang berwawasan estetik posmodernisme apabila mendapatkan ciri-ciri (karakteristik) posmodernisme seperti diuraian di atas, yaitu karya seni yang mengandung fragmentasi, pastiche, alegori, mementingkan gaya dari pada isi, dan mengangkat narasi lokalitas (kecil). Dalam sastra Indonesia contoh karya sastra tersebut antara lain Kitab Omong Konong karya Sena Gumira Ajidarma. Novel yang menceritakan kembali epos Ramayana dengan hero Raja Ramawijaya, didekosntruksi dengan menghadirkan hero Hanuman dan rakyat Ayodya, Satya dan Maneka yang menjadi korban upacara persembahan kuda yang dilakukan oleh Raja Ramawijaya. Selain itu, judul Kitab Omong Kosong juga dapat diinterpretasikan sebagai parodi terhadap narasi besar yang mengacu pada karya agung seperti Epos Ramayana yang sangat terkenal di India dan Jawa. 3.2.8 Feminisme Feminisme adalah teori atau aliran pemikiran dan gerakan sosial yang menginginkan adanya kesetaraan gender atau yang memperju-

38

39

angkan agar kaum perempuan mendapatkan posisi dan peran yang setara dengan laki-laki, baik di ramah dosmestik maupun di ranah publik. Secara historis feminisme berawal dari kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad ke-19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood (Abrams, 1981:88; Arivia, 2006:18—19). Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa, dan Perancis, feminisme telah mengalami perkembangan dan penyebaran yang pesat ke berbagai negara di penjuru dunia. Perkembangan dan penyebaran feminisme tersebut telah memunculkan istilah feminisme gelombang

pertama,

feminisme

gelombang

kedua,

feminisme

gelombang ketiga, posfeminisme, bahkan juga feminisme Islam dan feminisme dunia ketiga. Berikut ini diuraikan adanya berbagai ragam feminisme yang telah berkembang dalam wacana pemikiran dan gerakan sosial dan politik. Dengan rinci Humm (1992:1—6) dan Madsen (2000:1—14) menguraikan kelahiran dan perkembangan feminisme di Amerika dan Perancis. Dari uraian tersebut pemikiran dan gerakan feminisme dapat dibedakan menjadi tiga gelombang,

yaitu gelombang pertama,

gelombang kedua, dan gelombang ketiga. Gelombang pertama feminisme di Amerika berkisar dalam kurun 1840–1920. Gelombang pertama ini ditandai dengan adanya Konvensi Hak-hak Perempuan yang diadakan di Seneca Falls, New York pada tahun 1848. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh Elizabeth Cady Stanton dan dihadiri oleh 300 perempuan dan laki-laki (Madsen, 2000:3—7; Tong, 2006:31).

39

40

Pertemuan tersebut menghasilkan pernyataan sikap (Declaration of Sentiments) dan dua belas resolusi. Deklarasi pernyataan sikap tersebut menekankan isu yang sebelumnya telah dicanangkan oleh Mill dan Taylor di Inggris, yang terutama berhubungan dengan kebutuhan untuk mereformasi hukum perkawinan, perceraian, hak milik, dan pengasuhan anak (Madsen, 2000:6; Tong, 2006:31). Kedua belas resolusi menekankan

pada

hak-hak

perempuan

untuk

meng-

utarakan

pendapatnya di depan umum (Tong, 2006:32). Feminisme

mengalami

perkembangan

yang

pesat

dalam

berbagai aliran. Tong (2006) membagi feminisme yang berkembang di Amerika dalam tiga gelombang. Gerakan feminisme Amerika gelombang pertama pada dasarnya adalah ragam feminisme liberal abad ke-19. Setelah mendapatkan hak suara bagi perempuan, mereka tidak menunjukkan aktivitas yang berarti di Amerika selama hampir empat puluh tahun. Baru pada tahun 1960 muncul generasi baru feminis yang dikenal dengan feminisme gelombang kedua. Feminisme Amerika gelombang kedua ditandai dengan berdirinya beberapa kelompok hakhak perempuan, yaitu National Organization for Women [NOW], the National Women’s Political Caucus [NWPC], dan the Women’s Equity Action League [WEAL]. Tujuan utama dari organisasi tersebut adalah untuk meningkatkan status perempuan dengan menerapkan tekanan legal, sosial, dan lain-lain terhadap berbagai lembaga mulai dari Bell Telephone Company hingga jaringan televisi dan partai-partai politik utama (Tong, 2006:34). Kelompok-kelompok tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kelompok Pembebasan Perempuan (Tong, 2006:34) atau Gerakan Pembebasan Perempuan (Women’s Liberation Move- ment (WLM) (Humm,1992:3) dengan tujuan meningkatkan kesadaran perempuan mengenai opresi terhadap perempuan. Menurut Tong (2006:34), semangat yang mereka miliki adalah semangat revolusioner kiri yang tujuannya bukanlah untuk mereformasi apa yang dianggap

40

41

sebagai sistem elitis, kapitalis, kompetitif, dan individual, melainkan untuk menggantikannya dengan sistem yang egaliter, sosialistis, kooperatif, komuniter, dan berdasarkan pada gagasan sisterhood-is- powerfull (persaudaraan perempuan yang kuat). Di antara para feminis Amerika gelombang kedua ada beberapa nama yang dianggap cukup penting dalam merumuskan gagasan feminisme, yaitu Betty Freidan, melalui The Feminine Mistique (1977), Shulamith Firestone melalui The Dialectic of Sex, Kate Millett melalui Sexual Politics, dan Gloria Steinem melalui Outrageous Acts and Everyday Rebellions (Madsen, 2000:2; Humm, 1992:4). Perkembangan feminisme Amerika gelombang kedua selanjutnya ditandai oleh kritik terhadap arus ‘white’ feminisme (feminisme kulit pulih) yang dilakukan oleh Angela Davis melalui Woman, Race, and Class (1981) dan Ain’t I a Woman? (1981), serta feminis lesbian seperti Adrienne Rich dan Audre Lorde (Madsen, 2000:2). Setelah feminisme bergerak dalam dua gelombang tersebut muncullah feminisme gelombang ketiga yang lebih dikenal dengan feminisme posmodern atau feminisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme yang dikembangkan oleh para feminis berkebangsaan Perancis (Tong, 2000:284; Arivia, 2003: 127). Di samping itu juga dikenal feminisme poskolonial (Lewis and Mills, 1991) atau sering kali juga dikenal sebagai feminisme dunia ketiga (third world feminism) (Sandoval dalam Lewis and Mills, 1991). Feminis postmodern, seperti semua posmodernis, berusaha untuk menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan pemikiran falogosentrisme atau setiap gagasan yang mengacu kepada kata (logos) yang bergaya “lakilaki”. Oleh karena itu, feminisme postmodern memandang dengan curiga setiap pemikiran feminis yang berusaha memberikan suatu penjelasan tertentu mengenai penyebab opresi terhadap perempuan, atau sepuluh langkah tertentu yang harus diambil perempuan untuk

41

42

mencapai kebebasan (Tong, 2006:283). Beberapa feminis postmodern, seperti Cixous misalnya, menolak menggunakan istilah “feminis” dan “lesbian” karena menurutnya kata-kata tersebut bersifat parasit dan menempel pada pemikiran falogosentrisme. Menurutnya, kedua kata tersebut berkonotasi “penyimpangan dari suatu norma dan bukannya merupakan pilihan seksual yang bebas atau sebuah ruang untuk solidaritas perempuan (Tong, 2006:284). Beberapa tokoh penting feminisme gelombang ketiga ini adalah Helena Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva (Tong, 2006:284). Di samping ketiga gelombang feminisme tersebut muncul pula pemikiran posfeminisme seperti yang dikemukakan oleh Brooks (2003). Untuk menjelaskan makna posfeminisme, Brooks (2003:2—3) menggunakan konsep yang analog dengan “pos” pada kasus poskolonialisme dan posmodernisme. “Pos” di sini merujuk pada proses transformasi dan perubahan yang sedang berlangsung. Poskolonialisme dapat dipandang sebagai tanda pertemuan kritis dengan kolonialisme, sementara posmodernisme dipandang sebagai pertemuan kritis dengan prinsipprinsip modernisme. Dengan analog tersebut, posfeminis dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarkat atau menempati posisi yang kritis dalam memandang kerangka feminis sebelumnya, yang pada saat yang bersamaan melawan secara kritis terhadap wacana patriarkat dan imperialis (Brooks, 2003:3). Posfeminis dalam praktiknya menantang asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh feminis gelombang kedua yang mengatakan bahwa penindasan patriarkat dan imperialisme adalah pengalaman penindasan yang universal (Brooks, 2003:3). Teori feminisme dapat digunakan untuk membantu menjelaskan kajian terhadap fenomena sastra yang berkaitan dengan masalah seperti eksistensi sastrawan perempuan dalam sejarah sastra Indonesia, konstruksi peran dan relasi gender dalam sastra Indonesia

42

43

(misalnya novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Untuk memahami siapa sajakah sastrawan perempuan yang berkarya dalam konteks sejarah sastra Indonesia dan apa karyanya karya-karya yang dihasilkannya, bahkan juga bagaimana isi dan kualitas estetik karyakaryanya, peneliti membutuhkan kerangka teori feminisme. Demikian juga untuk memahami konstruksi peran dan relasi gender dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, peneliti membutuhkan perspektif terori feminisme. 3.2.7 New Historicism New historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Green- blatt tahun

1982

untuk

menawarkan

perspektif

baru

dalam

kajian

Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkunginya (Budianta, 2006:2). Karya sastra, dalam perspektif new historicism tidak dapat dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi dan politik karena ikut mengambil bagian di dalamnya (Budianta, 2006:3). Dalam The Greenblatt Reader, yang merupakan antologi karya-karya Greenblatt dengan editor dan pengantar dari Michael Payre (2005:3) dinyatakan bahwa new histotiricism memiliki sejumlah karakteristik yaitu (1) new historicism berpikir bahwa kebudayaan adalah sebuah sistem semiotik, sebagai sebuah jaringan tanda-tanda, (2) menentang hegemoni disiplin tertentu, dan mencoba menemukan pemahaman secara interdisipliner untuk menemukan pengetahuan baru, (3) mereka terus menenus menyadari bahwa sejarah adalah apa yang terjadi di masa lalu (suatu rangkain peristiwa), dan sejumlah peristiwa (cerita); kebenaran sejarah muncul dari refleksis kritis terhadap banyaknya kisah yang diceritakan, (4) sejarah, dengan demikian, awalnya dalah semscsm buah wacana, yang tidak menolak peristiwaperistiwa yang terjadi secara nyata, (5) prosedur khas new historicism adalah mulai dengan memprhatikan peristiwa atau anekdot,

43

44

yang memiliki efek untuk membangkitkan skeptisisme terhadap grand naransi sejarah atau deskrpsi peristiwa-peristiwa penting pada masa tertentu, seperii Renaisanse, (6) new historicism selalu menaruh curiga terhadap adanya kesatuan (unified), penggambaran yang monolitik dari budaya atau periode sejarah, (7) karena tidak mungkin melampaui momen sejarahnya sendiri, semua sejarah tergantung pada saat kehadirannya ketika momen yang ada dibangun, (8) new historicism secara tidak langsung mengritik aliran formalis, sepeti new criticism, yang memperlalukan sastra sebagai ikon ahistoris, dengan melakukan pengkajian ulang terhadap hubungan antara sastra dengan sejarah, (9) karya sastra bukanlah objek tidak memiliki hubungan dengan penulis dan pembaca, karya sastra harus dipahami sebagai objek yang berhukungan dengan konstrtuksi tekstualnya, (10) sejarah bukan hanya sebagai latar belakang karya sastra, tetapi sejarah dan sastra dalam pandangan new historicism merupakan hal yang saling berkaitan satu dengan lainnya, tidak dapati secara tersepisah. Dalam pelaksanaannya new historicism melakukan pembacaan paralel terhadap teks sastra dan nonsastra yang berasal dari periode sejarah yang sama (Barry, 2010:201). Dalam hal ini peristiwa sejarah yang tergambar dalam teks sastra harus dibaca sejarah paralel dengan peristiwa sejarah yang dicatat dalam teks-teks sejarah. Kedua teks tersebut diberikan porsi yang sama dan secara konstan saling menginformasikan dan mempertanyakan satu sama lain (Barry, 2010:201). Dalam praktik kajiannya, new historicism menempatkan teks sastra dalam kerangka teks nonsastra. Dokumen-dokumen sejarah tidak disubordinasikan sebagai konteks, melainkan dianalisis sebagai teks tersendiri dan disebut sebagai ko-teks, bukan konteks. Teks dan ko-teks yang digunakan akan dilihat sebagai ekspresi momen sejarah yang sama dan ditafsirkan sesuai itu (Barry, 2010:2002). Hal ini

44

45

berbeda dengan kajian sosiologi sastra yang cenderung menempatkan dokumen sejarah sebagai konteks yang melatarbelakangi karya sastra. Sesuai dengan cara kerja new historicism, maka data-data dalam penelitian ini diinterpretasikan dengan langkah sebagai berikut. (1) Memahami femomena sejarah dalam teks sastra dan teks sejarah. (2) Memfokuskan perhatian baik pada teks sastra dan teks sejarah pada isu kekuasaan nagara dan cara melestarikannya, pada struktur patriarki dan pemeliharaannya, dan pada proses kolonialisasi dengan “mind-set” yang mengikutinya. (3) Menggunakan cara berfikir postrukturalisis, dengan memahami setiap segi realitas tertuang dalam teks (dalam konsep Derrida) dan struktur sosial yang ditentukan oleh “praktik diskursif” yang dominan (dalam konsep Foucault) (Barry, 2010:209). 3.3 Metode dalam Penelitian Sastra Metode dalam konteks penelitian dimaknai sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, atau langkah-langkah sistematis untuk memecahkan masalah penelitian (Ratna, 2004:34). Metode dalam penelitian sering disebut sebagai metode ilmiah (Nazir, 2003:36). Metode ilmiah harus memenuhi sejumlah kriteria yaitu: (1) berdasarkan fakta. (2) bebas dari prasangka, (3) menggunakan prinsip-prinsip analisis, (4) menggunakan hipotesis, (5) menggunakan ukuran objektif, (6) menggunakan teknik kuantifikasi (bila datanya menggunakan ukuran kuantitatif, seperti cm, km, gram, ton, dan sebagainya). Metode ilmiah harus memenuhi kriteria berdasarkan fakta. Artinya semua keterangan yang ingin diperoleh, baik yang akan dikumpulkan dan yang akan dianalisis harus berdasarkan fakta-fakta yang nyata, bukan berdasarkan daya khayal, kira-kira, kegenda, atau kegiatan sejenis (Nazir, 2003:37). Fakta diperoleh dari lapangan atau objek penelitian, dari peristiwa atau kejadian yang ada di lapangan,

45

46

apabila penelitian bersifat studi lapangan, misalnya mengkaji tanggapan atau apresiasi pembaca terhadap karya sastra (puisi, novel, drama, atau cerpen) tertentu. Apabila penelitian bersifat studi pustaka atau analisis wacana, maka fakta berupa ide, gagasan, atau pilihan kata, susunan kalimat yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Misalnya ide nasionalisme dalam novel-novel Indonesia yang disampaikan dalam pilihan kata dan susunan kalimat yang terdapat dalam sebuah novel. Metode ilmiah harus bebas dari prasangka, bersih, dan jauh dari pertimbangan negatif (Nazir, 2003:37). Dalam mengumpulkan data dan menganalisisnya, seorang peneliti tidak boleh dipengaruhi oleh prasangka

dan

perimbangan-pertimbangan

negatif

yang

akan

mempengaruhi objektifitasnya. Data yang diambil haruslah sesuai dengan fakta yang ada. Demikian juga analisis dan simpulan yang kemudian dikemukakan oleh peneliti haruslah mendasarkan pada alasan dan bukti-bukti yang lengkap dan objektif. Dalam memahami dan menganalisis data seorang peneliti haruslah menggunakan prinsip-prinsip analisis. Semua masalah harus dicari sebab musabab, serta pemecahannnya dengan menggunakan analisis yang logis (Nazir, 2003:47). Ketika mencari hubungan sebab akibat inilah, maka dukungan teori tidak dapat dihindarkan. Dalam memahami hubungan sebab akibat pilihan kata (diksi) dengan karakter tokoh dalam sebuah novel, misalnya, seorang peneliti membutuhkan dukungan teori semiotik. Ketika nama tokoh Lantip digunakan dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, maka peneliti akan menganalisis bahwa nama tersebut mengacu pada nama orang dalam masyarakat Jawa kerena dalam kosa kata bahasa Jawa yang dipakai masyrakarat Jawa kata tersebut bermakna cerdas, sehingga secara semiotik peneliti menginterpretasikan bahwa tokoh

Lantip dalam

novel tersebut

menggambarkan karakter tokoh dari masyrakat Jawa dengan

46

47

watak yang cerdas. Watak tersebut didukung oleh sejumlah data dari novel tersebut yang menggambarkan kecerdasan tokoh Lantip. Dalam memahami dan menganalisis masalah yang diteliti, seorang peneliti akan diarahkan dengan hipotesis. Hal ini karena hipotesis yang berkaitan dengan masalah yang dikaji dalam sebuah penelitian, memiliki peran sebagai pegangan dalam menuntun jalan pikiran peneliti untuk mencapai tujuan penelitian (Nazir, 2003:37). Penelitian tentang karakter tokoh Lantip dalam novel Para Priyayi, misalnya dipandu oleh hipotesis yang berkaitan dengan teori semiotik bahwa pemilihan nama orang (tokoh) tidak terlepas dari konteks sosial historis dan harapan si pemberi nama. Hipotesis tersebut menuntun peneliti untuk menganalisis hubungan nama tersebut dengan konteks sosial historis dan harapan si pemberi nama. Setelah penelitian dilakukan, hipotesis dapat dibuktikan sesuai dengan data-data yang mendukung, tetapi sebaliknya mungkin juga tidak terbukti. Kerja penelitian dan analisis harus dinyatakan dengan ukuran yang objektif. Pertimbangan-pertimbangan harus dibuat secara objektif dengan menggunakan pikiran yang waras (Nazir, 2003: 37). Hal tersebut tampak dari data-data yang dikemukakan, proses analaisis yang sistematis, dan hasil interpreatsi yang masuk akal. Apabila penelitian menggunakan data kuantitatif, maka ukurannya harus jelas. Namun, apabila data tidak dapat diukur secara kuantitatif, seperti struktur sebuah alur dalam novel, yang dikemukakan adalah adanya bagian-bagian dari suatu hal yang diteliti (bagian-bagian akur, seperti awal peristiwa, timbulnya masalah, masalah mencapai klimaks, masalah mulai terpecahkan, dan akhir permasalahan). Selanjutnya, metode ilmiah memiliki sejumlah langkah yaitu (1) memilih dan merumuskan masalah, (2) menentukan tujuan dan manfaat penelitian, (3) mengadakan studi kepustakaan, (4) memformulasikan hipotesis, (5) menentukan metode penelitian, (5)

47

48

mengumpulkan data penelitian, (6) mengolah, menganalisis, serta membuat interpretasi, (7) membuat generalisasi dan kesimpulan, dan (8) membuat laporan (Nazir, 2003:34). Langkah-langkah tersebut secara sistematis harus dilalui oleh seorang peneliti. Langkah ke (1) sampai (5) harus dituangkan dalam proposal penelitian yang harus disusun sebelum penelitian dilaksanakan. Langkah (6) sampai (8) yang merupakan kelanjutan dari langkah sebelumnya dilakukan setelah penelitian dilaksanakan.

3.3.1 Memilih dan Merumuskan Masalah Langkah pertama yang harus ditempuh oleh calon peneliti adalah memilih dan merumuskan masalah. Dalam penelitian sastra masalah dapat dipilih dari karya sastra, hubungan antara pengarang dengan karya sastra, hubungan karya sastra dengan kenyataan, hubungan antara karya sastra dengan pembaca, dan hubungan antara karya sastra dengan karya sastra lainnya atau karya seni lainnya. Pemilihan masalah haruslah dilatarbelakangi oleh alasan yang bersifat akademis, bukan berdasarkan interes pribadi atau subjektif. Dalam proposal atau pun laporan penelitian alasan tersebut akan dikemukakan dalam subbab Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan namanya latar belakang masalah menguraikan asal usul dan alasan mengapa seorang peneliti memilih mengkaji masalah tertentu. Sejumlah alasan yang melatarbelakangi pilihan masalah dalam sebuah penelitian sastra, misalnya dapat dikaitkan dengan penelitian sebelumnya, apabila penelitian yang akan dilakukan bersifat melanjutkan penelitian sebelumnya atau ingin

mengoreksi atau melengkapi

kekurangan penelitian sebelumnya. Selain itu, alasan sebuah penelitian dilakukan juga bisa karena suatu masalah memang mengedepan (menjadi fokus yang dominan) atau sedang trand dalam fenomena sastra saat itu atau merupakan masalah yang mendasari

48

49

karya sastra tertentu. Alasan pemilihan masalah juga dilatarbelakangi oleh tujuan yang mau dicapai dari sebuah penelitian. Misalnya sebuah penelitian bertujuan untuk memahami tema-tema sosial yang dominan dalam novel-novel Indonesia dalam masa tertentu atau meneliti bagaimana kecenderungan pemilihan kata (diksi) pada novel atau puisi Indonesia yang ditulis pada masa tertentu. Setelah memilih masalah, selanjutnya adalah merumuskan masalah. Rumusan masalah tidak dapat dibuat semena-mena, tetapi harus dikaitkan dengan pendekatan dan tujuan penelitian. Apabila masalah yang dipilih misalnya adalah pilihan kata dalam puisi W.S. Rendra, maka definisi maslahnya sebaiknya adalah yang berkaitan dengan diksi dan konteksnya, dengan mempertimbangkan pendekatan dan tujuan penelitian. Dengan masalah penelitian tersebut, maka tujuan penelitian adalah untuk memahami macam-macam diksi khas yang dipakai dalam puisi Rendra, apa makna estetisnya, dan konteks sosial historis apa yang berpengaruh terhadap pilihan diksi tersebut. dengan tujuan penelitian seperti itu, maka pendekatan yang sesuai adalah pendekatan objektif yang dipadukan dengan pendekatan ekspresif. 3.3.2 Menentukan Tujuan dan Manfaat Penelitian Sebelum penelitian yang sesungguhnya dilakukan, maka setelah masalah dipilih dan dirumuskan seorang peneliti perlu menentukan tujuan dan manfaat penelitian. Tujuan penelitian tidak dapat dilepaskan dari rumusan masalah. Sebuah penelitian pada umumnya dilakukan untuk menemukan informasi yang terdapat dalam fenomena tertentu. Setelah ditemukan, informasi tersebut selanjutnya perlu dimaknai (memahami) dalam hubungannya dengan aspek yang lebih luas, sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam dan utuh terhadap suatu fenomena. Oleh karena itu, tujuan penelitian pada umumnya adalah mendeskripsikan adanya aspek X dan memahami mengapa

49

50

aspek tersebut ada, dan bagaimana hubungannya dengan aspek lain yang menjadi konteksnya. Sebuah penelitian hendaknya bermanfaat bagi perkembangan keilmuan dan masyarakat. Oleh karena itu, manfaat penelitian dibedakan antara manfaat teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian bermanfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ilmu sastra, manfaat teoretis penelitian sastra, misalnya mendukung perkembangan sejarah sastra, kritik sastra, atau pun teori sastra, yang merupakan cabang-cabang ilmu sastra. Secara praktis penelitian sastra hendaknya

juga

bermanfaat

bagai

masyarakat

luas,

misalnya

mendukung peningkatan apresiasi pembaca, memberikan informasi yang berkaitan dengan temuan penelitian, misalnya adanya gambaran gaya hidup masyarakat pribumi dalam pergaulannya dengan kaum kolonial pada novel-novel era kolonialisme. 3.3.3 Mengadakan Studi Kepustakaan Sebelum penelitian dilakukan, calon peneliti perlu melakukan studi kepustakaan yang berkaitan dengan kerangka teori dan konseptual dan masalah penelitian. Dengan melalukan studi kepustakaan kita akan memperoleh informasi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik secara konseptual maupun penelitian atau kajian terhadap masalah yang akan kita teliti, yang pernah dilakukan peneliti sebelumnya. Penelusuran kepustakaan dapat dilakukan secara langsung ke perpustakaan maupun melalui media online. Agar mendapatkan informasi pustaka yang bernilai akademik, kita harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, pilihlah referensi yang dipandang memiliki informasi akademik yang handal. Upayakan untuk menemukan buku yang memuat teori yang ditulis oleh para penemunya. Kalau kita akan mencari informasi tentang teori semiotik Roland Brathes misalnya, maka upayakan menemukan buku karya

50

51

Roland Barthes, seperti Elemens of Semiology (1977). Kalau kita akan mencari rujukan tentang teori poskolonialisme upayakan menemukan buku-buku karya Edward W. Said, Orientalism (1978), Benedict Anderson,

Imagened Communities

(2006),

atau

Leela Gandhi,

Postcolonial a Critical Introduction Theory (1996). Untuk sejumlah rujukan dalam konteks sastra Indonesia yang layak direkomendasikan antara lain Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (A. Teeuw, 2984), Pokok dan Tokoh dalam Sastra Indonesia (A. Teeuw, 1955), Kritik Sastra

Indonesia

Modern

(Rachmat

Djoko

Pradopo,

2002),

Perkembangan Novel Indonesia Modern (Umar Junus, 1974), dan sejumlah buku yang ditulis oleh para ilmuwan sastradi Indonesia yang telah memiliki reputasi akademik yang pantas diperhitungkan. Rujukan tersebut dinilai memiliki kualitas akademik tiinggi karena ditulis oleh ilmuwan yang memang mengembangkan masalah tersebut dalam sejumlah penelitian dan buku yang ditulisnya. Kalau hal tersebut tidak memungkinkan, karena buku sudah tidak terbit lagi pada edisi berikutnya, pilihan buku yang membahas teori yang tersebut, misalnya Theories of Literarute in the Twentieth Century (Douwe Fokkema & Elrud Ibsch, 1978), yang membahas teori strukturalisme, marxisme, esttika resepsi, dan semiotik, Beginning Theory: an Introduction to Literary and Cultural Theory (Pater Barry, 2002),

yang

membahas

teori

strukturslieme,

postrukturalisme,

poskolonialisme, new historisisme, dan feminisme, An Introductory Guide to Post-Structuralism and Posmodernism (Madan Sarup, 1993) yang membahas teori poststukturalisme, dekonstruksi, psikoanalisis Lacan, kekuasaan dan seksualitas Foucault, feminisme Yulia Kristeva, dan posmodernisme. Sejumlah buku tersebut mengoleksi beberapa teori yang dikembangkan oleh para ilmuwan sebelumnya. Buku ajar atau buku yang digunakan sebagai sumber belajar di kelas, pada umumnya ditulis berdasarkan buku yang masuk referensi

51

52

tingkat pertama dan kedua di atas. Kalau referensi di atasnya masih dapat dilacak, buku ajar hendaknya tidak digunakan sebagai rujukan. Penulis buku ajar pada umumnya para dosen pengampu mata kuliah. Buku yang ditulis bertujuan sebagai sumber belajar, kalau pun terpaksa akan dijadikan rujukan sifatnya hanyalah tambahan. Rujukan

juga

dapat

diperoleh

dari

karya

ilmiah

yang

dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal ditulis berdasarkan penelitian yang diakukan oleh peneliti. Di dalam tulisan tersebut terdapat temuan yang bersifat teoretis dan praktis yang didukung oleh data dan hasil analisis ilmiah. dalam konteks akademik, terdapat konvensi mengenai kualitas akademik karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Secara berjenjang karya ilmiah tertinggi dipubikasikan dalam jurnal internasional bereputasi, disusul jurnal nasional terakreditasi, dan jurnal lokal yang diterbitkan lembaga penelitian atau pun perguruan tinggi. Bagaimana dengan rujukan yang diemukan di media online? Tidak semua informasi yang dipublikasikan di media online (internet) dapat dijadian rujukan. Media online (internet) pada dasarnya hanyalah sarana untuk mencari informasi, baik yang bersifat akademik maupun nonakademik. Sejumlah jurnal terakreditasi dan bereputasi internasional, bahkan yang terindeks scopus yang oleh dikti dianggap sebagai salah satu kriteria jurnal bereputasi, dipublikasikan secara online, selain publikasi fisik. Peneliti dapat membaca dan mengunduh artikel dari berbagai jurnal tersebut untuk dijadikan rujukan. Rujukan ini dianggap memiliki nilai akademik tinggi karena pada umumnya artikel yang dipublikasikan dalam jurnal berasal dari hasil penelitian, sehingga data dan informasinya cenderung aktual. Selain mengambil rujukan dari artikel di jurnal akreditasi dan internasional bereputasi yang publikasikan secara online, peneliti juga dapat mengambil rujukan dari website organisasi atau lembaga yang

52

53

dapat dipercaya, yang alamatnya berakhiran org., atau ac,id. Sejumlah karya ilmiah dan laporan penelitian para dosen dan peneliti biasanya disharing melalui website universitasnya, seperti staffsite uny.ac.id. sejumlah artikel dalam website academia,edu dapat dijadikan rujukan karena website ini merupakan situs tempat para peneliti dari seluruh dunia melakukan sharing artikel dari hasil penelitiannya. Ketika seorang peneliti akan bergabung dengan academia.edu, harus mengisi formulir dengan mencantumkan afiliasi perguruan tinggi atau instansinya. Rujukan online yang tidak layak dijadikan rujukan adalah yang dipublikasikan melalui website yang berlabel blogspot.com, juga wordpress.com Blogspot merupakan salah satu penyedia akun website gratis yang memungkinkan siapa pun dapat posting dan sharing berbagai tulisan yang belum teruji kualitas dan akutrasi informasi dan datanya. Sama halnya dengan blogspot.com, WordPress juga merupakan aplikasi sumber terbuka (open source), siapun dapat mempublikasikan tulisan ke dalam website ini, sehingga kualitas dan akurasi informasinya kurang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Selain itu, kita juga tidak boleh merujuk artikel yang dipublikasikan di wikipedia.com karena wikipedia adalah merupakan “ensiklopedia” (laman yang memuat beragam informasi) yang dimulai pada tahun 2001 (versi bahasa Indonesia dimulai pada tahun 2003). Dalam Wikipedia termuat informasi (artikel) yang merupakan hasil kolaborasi oleh para penyunting dari seluruh dunia. Situs ini merupakan situs wiki, yang berarti siapa pun dapat menyunting artikel, memperbaiki dan menambahkan informasi, hanya dengan mengklik pranala sunting yang berada di atas setiap halaman. Sebenarnya, Wikipedia merupakan merek dagang dari Wikimedia Foundation, Inc. yang juga telah membuat keseluruhan keluarga Wikipedia, antara lain Wikiquote, Wiktionary, Wikisource, Wikibooks dan Wikinews. Karena siapapun yang berminat dapat menyunting dan menambahkan

53

54

informasi, tentu akurasi dari informasi yang disampaikan di dalamnya tidak dapat dijamin akurasinya, sehingga diragukan sebagai sumber rujukan. Informasi dalam Wikipedia hanya layak dijadikan pengetahuan umum. Selain digunakan untuk membangun kerangka teori, studi kepustakaan juga digunakan untuk survei awal terhadap data yang tersedia. Survei awal ini penting untuk menjajagi apakah data yang dibutuhkan tersedia atau tidak, kalau tersedia perlu dipikirkan bagaimana cara mendapatkannya, di mana data tersebut ada, termasuk berapa lama waktu dan biaya yang diperlukan? Pada tahap ini peneliti harus memutuskan apakah penelitian dapat dilanjutkan atau tidak. Apabila datanya tidak memadai atau cukup sulit untuk didapatkan, misalnya data dari masa lampau yang sumbernya susah dilacak, seperti novel-novel Indonesia terbitan Balai Pustaka awal 1920- an yang sudah tidak dicetak ulang, maka pelaksanaan penelitian perlu ditinjau ulang. Ketika calon peneliti melakukan survei awal terhadap data atau masalah yang akan diteliti mungkin juga akan menemukan bahwa ternyata masalah yang akan diteliti sudah pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Apabila ini terjadi, maka peneliti sebaiknya tidak lagi meneliti masalah yang sama. Penelitian dapat dianjutkan tetapi memilih fokus masalah yang berbeda. Pada tahap memilih masalah, misalnya peneliti memilih mengkaji wacana nasionalisme dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Dari survei awal, peneliti menemukan bahwa masalah tersebut sudah pernah dikaji oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian tidak perlu dilakukan dengan masalah yang sama. Penelitian dapat dilakukan dengan memilih fokus masalah yang berbeda, misalnya inferioritas pribumi pada era kolonial dalam novel Salah Asuhan. Dalam hal ini, peneliti juga harus menyebutkan bahwa

54

55

penelitian terhadap novel Salah Asuhan pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan fokus masalah yang berbeda. 3.3.3 Memformulasikan Hipotesis Hipotesis adalah anggapan dasar yang berkaitan dengan masalah tertentu, hubungan sebab akibat dari suatu masalah yang akan dipahami. Hipotesis berfungsi untuk memandu jalan pikiran peneliti ke arah tujuan yang dingin dicapai. Hipotesis merupakan pegangan yang khas dalam menuntun jalan pikiran peneliti (Nazir, 2003:36). Dengan fokus masalah inferioritas pribumi pada era kolonial dalam novel Salah Asuhan, peneliti dapat mengajukan hipotesis bahwa inferioritas tokoh pribumi terjadi karena beberapa sebab misalnya karena pergaulannya dan relasinya dengan tokoh Barat yang pada era kolonial memiliki beberapa keunggulan. Apakah hipotesis tersebut terbukti atau tidak? Penelitianlah yang akan membuktikannya. Dalam penelitian sastra, hipotesis ada yang dieksplisitkan ada pula yang tidak. Hal ini karena penelitian sastra lebih banyak bersifat intertretatif dalam proses memaknai data yang tidak terlepas dari kerangka teori yang digunakan. 3.3.4 Menentukan Metode Penelitian Sebelum melaksanakan penelitian, maka seorang peneliti harus menentukan metode penelitian. Bersadarkan pada sifat masalahnya, alat dan teknik yang digunakan dalam penelitian, tempat di mana penelitian dilaksanakan, waktu jangkauan penelitian, serta area ilmu penetahuan yang mendukung penelitian, Nazir (2003:46-47) mengelompokkan metode penelitian menjadi lima kelompok, yaitu metode sejarah, metode deskriptif/survei (yang di dalamnya meliputi metode survei, deskritif berkesinambungan, studi kasus, analisis pekerjaan dan aktivitas, studi komparatif, studi waktu dan gerakan),

55

56

metode eksperimental, metode grounded research, dan metode penelotian tindakan. 3.3.4.1 Metode Sejarah Sesuai dengan namanya, metode sejarah mempunyai perspektif historis. Metode sejarah merupakan suatu usaha untuk memberikan interpretasi dari bagian trend yang naik turun dari suatu status keadaan di masa yang lampau untuk memperoleh generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang (Nazir, 2003:48). Dalam penelitian sastra, metode sejarah sering kali digunakan dalam

penelitian

yang

bertujuan

untuk

memahami

sejarah

perkembangan jenis sastra pada kurun waktu tertentu. Misalnya sejarah puisi sejak awalperkembangannya sampai periode tertentu (contoh Puisi Indonesia dari Awal Pertumbuhannya sampai 1940-an, Puisi Indonesia 1970-2000, dan sebagainya).

3.3.4.2 Metode Deskriptif Metode deskriptif adalah metode dalam penelitian yang meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 2003:54). Penelitian deskrisi bertujuan untuk membuat

deskripsi,

gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, dan hubungan antarfenomena yang diselidiki. Ketika metode deskriptif digunakan dalam penelitian survei, maka penelitian dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala- gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual

dari

fenomena yang ada di masyarakat. Dalam penelitian sastra, metode survei dalam dipilih dalam penelitian yang, mislanya bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai minat membaca sastra di

56

57

kalangan siswa SMP dan SMA di lokasi tertentu (misalnya DKI atau DIY). Untuk menjaring informasi yang dibutuhkan peneliti dapat menggunakan kuisioner dan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan, serta melakukan wawancara kepasa sejumlah siswa di sekolah. Peneliti juga dapat menngunakan metode survei untuk meneliti tanggapan kelompok pembaca tertentu terhadap suatu karya sastra, misalnya tanggapan pembaca perempuan dan laki-laki terhadap cerpen-cerpen karya Jenar Maesa Ayu. Metode deskriptif berkesinambungan adalah penelitian deskriptif yang dilakukan secara terus menerus atas suatu objek penelitian dengan memperhatikan secara detail perubahan-perubahan yang dinamis dalam suatu interval perkembangan dalam suatu periode yang lama (Nazir, 2003L56). Menurut Nazir metide ini biasanya digunakan untuk meneliti masalah-masalah sosial. Namun, penelitian ini juga dapat digunakan dalam penelitian sastra, isalnya untuk meneliti kecenderungan gaya bahasa dalam puisi yang ditulis pada beberapa periode lampau sampai periode saat ini. Melalui penelitian diskripsi berkesinambungan mungkin dapat ditemukan perubahan sumber dan referensi bahasa kiasan dalam puisi lampau dibandingkan periode berikutnya. Penelitian ini juga dapat digunakan untuk meneliti perbedaan struktur karya dan pemikiran yang terdapat pada karya- karya yang ditulis oleh pengarang tertentu (misalnya Goenawan Mohamad atau Sena Gumira Ajidarma) dalam kurun waktu kreativitasnya yang relatif lama. Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruahan personalitas (Maxfield, via Nazir, 2003:57). Dalam penelitian studi kasus subjek

penelitian

dapat

individu,

kelompok,

lembaga,

maupun

masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah ingin memahami secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari

57

58

unit-unit sosial yang menjadi subjek (Nazir, 2003:57). Dalam penelitian sastra studi kasus misalnya dapat digunakan untuk meneliti perjalanan proses kreatif seorang sastrawan. Melalui penelitian tersebut diharapkan dapat dipahami latar belakang serta perjalanan proses kreatifnya. Penelitian komparatif adalah salah satu penelitian deskriptif yang bertujuan membandingkan faktor-faktor penyebab terjadinya atau munculnya suatu fenomena dari dua atau lebih objek penelitian. penelitian ini banyak dilakukan pad penelitian pembelajaran, misalnya untuk mencari pola tertentu, misalnya pola tingkah laku dan prestasi belajar dengam membedakan unsur waktu masuk sekolah dan lain-lain (Nazir, 2003:59). Penelitian komparatif juga banyak dilakukan dalam penelitian sastra, yang dikenal dengan penelitian sastra perbandinga. Dalam kajian sastra perbandingan, sering kali dibandingkan struktur atau unsur-unsur karya sastra dari sastra nasional tertentu dengan sastra asing, misalnya novel Indonesia dengan novel Belanda. Penelitian komparatif juga dapat diterapkan untuk memahami motif yang mirip pada karya sastra satu negara dengan negara lain, misalnya citra ibu dalam novel Indonesia (misalnya novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya) dengan novel Mesir (misalnya Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi). Penelitian analisis kerja dan aktivitas adalah penelitian yang menyelidiki aktivitas dan pekerjaan manusia. Hasil penelitiannya diharapkan memberikan rekomendasi untuk keperluan masa yang akan datang (Nazir, 2003:63). Penelitian ini biasa digunakan dalam penelitian industri, jasa, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Dalam penelitian sastra enelitian ini dapat ditgunakan untuk mengkaji produksi dan publikasi karya sastra, yang termasuk dalam kajian sosiologi penerbitan karya sastra.

58

59

Studi gerakan dan waktu (time and motion studi) adalah penelitian yang menyelidiki efisiensi produksi dengan mengadakan studi yang mendetail tantang penggunaan waktu serta perilaku pekerjaan dalam proses produksi (Nazir, 2003:6!0). Metode ini biasa digunakan dalam ilmu sosial, dan tidak tepat digunakan dalam penelitian sastra, yang lebih bersifat interpretatif.

3.3.4.3 Metode Eksperimental Metode eksperimentall adalah metode daam penelitian yang dilakukan dengan mengadakan maniputasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol (Nazir, 2003:63). Tujuan penelitian eksperimental adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sebab akibat serta berapa besar hubungan sebab akibat tersebut dengan cara memberikan perlakuan tertentu pada beberapa

kelompok eksperimental dan

menyediakan kontrol untuk perbandingan (Nazir, 2003:64). Metode ini sering kali dapat penelitian pembelajaran, tetapi jarang dipakai dalam penelitian sastra.

3.3.4.4 Grounded Research Grounded research adalah metode penelitian yang mendasarkan diri pada fakta dan menggunakan analisis perbandingan, bertujuan untuk mengadakan generalisasi empiris, menetapkan konsep-konsep, membuktiakn teori, dan mengembangkan teori. (Nazir, 2003:75). Grounded research memiliki karakteristik tersendiri. Karakterstik tersebut adalah (1) data dalam penelitian ini digunakan sebagai sumber teori, sehingga teori yang dibangun berdasarkan logika tida ada tempatnya dalam penganut grounded research, (2) menonjolkan peranan data dalam penelitian karena data merupakan sumber dari teori dan hipotesis, (3) dasar analisisnya adalah sifat-sifat penting yag ditemukan dan berbeda satu dengan yang lainnya dalam kategori

59

60

tertentu, (4) pengumpulan data dan analisis berjalan pada waktu yang bersamaan agar dapat dipastikan bahwa analisis selalu berdasarkan data, (5) pengumpulan data tidak dilakukan secara random ataupun mekanik, tetapi pengumulan data dikuasai oleh pengembangan analisis, (6) rumusan hipotesis didasarkan atas

kategori-kategori karena

hipotesis merupakan hubungan antara kategori-kategori dan sifatsifatnya, (7) hubungan antara hipotesis-hipotesis yang menghu- bungkan kategori-kategori merupakan serangkaian keterangan dan fenomena masyrakat yang dipelajari, dan pengertian secara analisis dari hipotesishiotesis tersebut merupakan sebuah teori (Nazir, 2003:75-76).

60

61

BAB IV PENYUSUNAN PROPOSAL PENELITIAN SASTRA

Sebelum sebuah laporan penelitian atau artikel ilmiah hasil penelitian dapat dibaca oleh para pembaca, terutama para ilmuwan, kalangan akademik, peneliti, mahasiswa, dan siapa pun yang membutuhkan informasi yang berkaitan dengan masalah tertentu (dalam konteks ilmu sastra, masalah kesastraan), mungkin kita sering tidak menyadari bahwa sebelum ada laporan penelitian atau artikel tersebut, penulis (peneliti)-nya telah melakukan sejumlah langkah. Langkah tersebut sering kali tidak selalu mudah, sebaliknya bisa juga langkah tersebut melalui berbagai kendala dan tantangan. Dalam konteks penelitian, langkah-langkah tersebut dikenal sebagai prosedur, yaitu langkah-langkah yang secara sistematis harus dilalui oleh seorang peneliti. Kalau prosedur penelitian yang harus dilalui seorang peneliti dirinci satu persatu, (1) menyususun proposal penelitian, (2) melaksanakan penelitian, (3) menyusun laporan penelitian, (4) menyusun artikel ilmiah berdasarkan hasil penelitian, (5) mempublikasikan artikel ilmiah di jurnal penelitian dan seminar atau konferensi yang dihadiri ilmuwan yang terkait. Sebelum melangkah pada pelaksanaan penelitian, seorang peneliti harus menyusun proposal penelitian. Proposal penelitian harus menggambarkan (1) latar belakang dilakukannya penelitian, (2) penentuan sumber data dan data, (3) mengidentifikasi dan merumuskan masalah, (4) menentukan tujuan penelitian, (5) manfaat penelitian, dan (6) studi kepustakaan dan kajian teori, dan (7) metode penelitian yang akan digunaan. Apabila disusun dengan menggunakan pembagian Bab, maka proposal penelitian terdiri dari tiga bab, Bab I Pendahuluan, Ban II Kajian Pustaka, Bab III Metode Penelitian, (7) menyusun jadwal penelitian (dan anggaran –untuk penelitian yang mendapat biaya dari

61

62

lembaga atau sponsor). Berikut ini disajikan contoh proposal penelitian sastra. 4.1 Pendahuluan 4.1.1 Latar Belakang Masalah Latar belakang masalah menguraikan sejumlah alasan yang melatarbelakangi dilakukannya sebuah penelitian. Latar belakang masalah yang baik, menguraikan proses pemilihan atau penentuan masalah penelitian. Masalah penelitian dipilih karena seorang peneliti terdorong untuk memahami adanya fenomena tertentu yang perlu mendapatkan perhatian dan pengamatan lebih lanjut. Masalah penelitian sastra dapat diperolah dari karya sastra, pengarang dan hubungannya dengan karya sastra, hubungan karya sastra dengan realitas, juga hubungan karya sastra dengan pembaca. Kita dapat memilih masalah dari salah satu aspek saja (misalnya karya sastra) atau lebih dari satu aspek (karya sastra, realitas, pengarang, pembaca). Batasan masalah ditentukan oleh aspek apa yang menjadi fokus perhatian atau mengedepan (dominan). Alasan pemilihan atau penentuan masalah penelitian hendaknya bersifat ilmiah, bukan karena alasan subjektif, misalnya karena peneliti secara pribadi tertarik atau bahkan memiliki hubungan khusus dengan fenomena atau objek penelitian. Setelah membaca novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, misalnya calon peneliti dapat memilih sejumlah masalah dari novel tersebut untuk diteliti. Dari aspek karya, peneliti dapat mengamatai dan menemukan masalah apa yang kiranya dapat diteliti. Kalau peneliti akan memfokuskan kajian pada struktur pembangan karya tersebut, maka masalah yang dapat dikaji antara lain, tokoh dan karakternya, alur yang digunakan untuk menyampaikan cerita, latar (tempat, waktu, sosial historis politis), persoalan yang diangkat dalam cerita (pencarian

62

63

jejak tahanan politik di Pulau Buru), hubungan intertekstual antara novel Amba dengan episode “Bhisma Gugur” dalam Mahabharata karena adanya persamaan nama tokoh dari kedua karya tersebut: Bhisma, Amba, dan Salwa. Peneliti juga dapat memilih kajian stilistika untuk meneliti penggunaan gaya bahasa yang cukup menarik yang digunakan dalam novel tersebut. Apabila peneliti akan memfokuskan kajiannya pada hubungan antara karya sastra dengan konteks sosial politik atau pun georafis yang berkaitan dengan cerita, maka peneliti dapat memilih sejumlah masalah misalnya kehidupan tapol di Pulau Buru dalam novel tersebut, alam dan lingkungan hidup Pulau Buru dalam novel tersebut, atau kuasa politik Orde Baru terhadap tapol dalam novel tersebut. Menurut sejumlah pembaca dan mengamat sastra, salah satu keunggulan novel Amba adalah karena mengangkat cerita kehidupan tahanan politik di Pulau Buru yang tidak dapat dilepaskan dari tragedi nasional 1965. Mereka yang dipenjara dan diasingkan di Pulau Buru adalah orang- orang, termasuk para sastrawan dan inteletual (Pramudya Ananta Toer dan Hesri Setiawan) yang merupakan anggota Partai Komunis Indonesia dan dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan para perwira Angkatan Darat. Peneliti juga dapat memfokuskan kajiannya pada hubungan antara novel tersebt dengan pembaca, misalnya dengan memilih masalah penelitian tanggapan pembaca terhadap novel tersebut, baik pembaca biasa maupun pembaca yang juga para kritikus sastra dan peneliti yang mengkaji novel tersebut. Sejak penerbitan pertama September 2012, sampai 2015 telah mengalami cetak ulang dan diterjemahkan dalam bahasa Jerman dan Inggris. Hal ini menjadi salah satu indikator banyaknya pembaca terhadap novel tersebut.

63

64

Untuk mendapatkan gambaran bagaimana sebuah latar belakang masalah disampaikan dalam proposal penelitian, dapat dibaca contoh berikut.

Bencana alam terjadi di mana-mana. Salah satu penyebabnya adalah akibat tingkah laku manusia yang sering kali tidak mempertimbangkan dampak negatifnya bagi keseimbangan alam dan lingkungan hidup. Padahal untuk menunjang kelangsungan hidupnya manusia tidak dapat terlepas dari alam dan lingkungan sekitarnya. Alamlah yang menyediakan sumber makanan dan energi bagi manusia, juga menyediakan bahanbahan untuk membangun rumah, istana, dan berbagai sarana hidup manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia harus merawat dan melestarikan alam dan lingkungan sekitarnya. Perhatian terhadap alam dan lingkungan telah merambah berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu sastra. Timbulnya gerakan sastra hijau, yang di Indonesia antara lain digagas oleh komunitas Raya Kultura menunjukkan adanya perhatian yang serius sejumlah sastrawan dan pecinta sastra terhadap alam dan lingkungan. Demikian juga, munculnya kajian ekokritik (ecocriticism) dalam ilmu sastra. Novel Amba (2012) karya Laksmi Pamuntjak merupakan salah satu novel yang mencoba menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungan hidupnya dengan secara intens. Alam dan lingkungan dalam novel tersebut digambarkan sebagai hal yang sangat penting untuk mendukung kehidupan tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Terutama karena tokoh-tokoh tersebut hidup dalam pengasingan, sebagai tahanan politik di Pulau Buru pada era Orde Baru. Mereka harus menaklukkan dan mengolah alam dan lingkungan yang keras dan liar agar dapat bertahap hidup di pengasingan selama bertahuntahun. Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka penelitian ini mencoba mengkaji relasi antara alam dan lingkungan dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dengan menggunakan ekokritik (ecocriticism). Dari penelitian tersebut diharapkan dapat terungkap bagaimana tokoh-tokoh dalam novel tersebut, yang merupakan representasi para tahanan politik pada masa Orde Baru harus bertahan hidup selama bertahun-tahun menjalani pengasingan di Pulau Buru. Selain itu, juga dapat dipahami bagaimana alam dan lingkungan hidup telah memberikan inspirasi dalam penulisan sastra, khususnya novel di Indonesia.

64

65

(“Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak, Kajian Ekokritik,” Wiyatmi, 2014) Kutipan tersebut diambil dari proposal penelitian berjudul “Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak, Kajian Ecocriticism,” Wiyatmi, 2014). Latar belakang penelitian tersebut diawali dengan menguraikan pentingnya kepedulian terhadap keadaan alam dan lingkungan hidup. Kepedulian terhadap alam dan lingkungan hidup tersebut telah menginspirasi para sastrawan untuk menulis karyakarya sastra yang ikut serta dalam gerakan mencintai alam dan lingkungan, sehingga melahirkan gerakan Sastra Hijau dau kritik sastra ekologi, yang dikenal sebagai ecocriticism. Setelah itu, secara khusus peneliti masuk pada karya sastra yang dipilih untuk dikaji, sebagai salah satu karya sastra yang secara intens menggambarkan fenomena alam dan lingkungan hidup dan melakukan kritik terhadap eksploitasi alam dan lingkungan yang berlebih-lebihan. 4.1.2 Menentukan Sumber Data dan Data Pada latar belakang masalah telah diuraikan alasan dilakukan penelitian, maka sebelum sampai pada penentuan masalah alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak yang akan dikaji dengan ekokritiksisme peneliti perlu menguraikan konteks pemilihan masalah tersebut yang berkaitan dengan keterkaitan persoalan ekologi dengan penulisan karya sastra, termasuk novel Amba. Selanjutnya, peneliti perlu menentukan sumber data dan data yang dikaji oleh suatu ilmu (misalnya ilmu sastra). Dalam konteks ilmu sastra, penelitian berjudul “Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak, Kajian Ekokritik,” maka sumber datanya adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Dari novel tersebut selanjutnya peneliti menentukan data yang akan dijadikan

65

66

objek penelitian, Ketika peneliti menentukan masalah alam dan lingkungan hidup yang digambarkan dalam novel Amba, maka datanya adalah kata, kalimat, paragraf dalam novel yang mengandung informasi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Objek material dengan demikian merupakan sumber data, sementara objek formalnya merupakan data yang akan diteliti, yang diambil dari objek material. Dalam kaitannya dengan sumber data, ada yang dikenal sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer berasal dari objek material dan formal, sementara sumber data sekunder berasal dari objek formal yang keberadaannya sering kali tidak dapat dilepaskan dari konteks yang ada di luar dirinya. Informasi yang berkaitan dengan masalah alam dan lingkungan yang terdapat dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak tidak hanya dapat ditemukan dalam novel tersebut, tetapi juga berkaitan dengan konteks di luar karya tersebut, yaitu masalah ekologi dan sosial yang menjadi konteks penulisan karya tersebut yang diperoleh dari sejumlah pustaka yang memuat informasi terkait.

4.1.3 Mengidenfikasi dan Merumuskan Masalah Dari objek material dan formal selanjutnya peneliti akan mengidentifikasi penelitian

dan

diidentifikasi

merumuskan dari

objek

masalah

penelitian.

Masalah

formal.

Identifikasi

masalah

sebenarnya telah dimulai ketika peneliti menguraikan latar belakang pemilihan masalah penelitian. Apakah masalah yang dikaji akan terfokus pada satu aspek atau lebih. Dari objek formal alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba, maka sejumlah masalah yang teridentifiasi antara lain sebagai berikut: (1) Penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba. (2) Hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan karakter tokoh-tokoh dalam novel Amba.

66

67

(3) Pemanfaatan gaya bahasa untuk menggambarkan alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba. (4) Fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba. (5) Pandangan

ideologi

pengarang

yang

melatarbelakangi

penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba. Tidak semua masalah yang teridentifikasi tersebut dapat diteliti sekaligus karena alasan luasnya lingkup dan fokus penelitian. Oleh karena itu, peneliti dapat membatasi masalah penelitiannya. Dari lima masalah tersebut, peneliti dapat memilih tiga masalah untuk diteliti, misalnya: (1) Penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba. (2) Hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan karakter tokoh-tokoh dalam novel Amba. (3) Fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba.

4.1.4 Menentukan Tujuan Penelitian Setelah merumuskan masalah, maka selanjutnya adalah menentukan tujuan penelitian. Tujuan penelitian menguraian apa yang akan dicapai melalui penelitian yang akan dilaksanakan. Tujuan penelitian harus sesuai dengan masalah yang akan diteliti. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami (1) hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan tokoh-tokoh dalam novel Amba; (2) penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba; (3) fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba.

67

68

4.1.5 Menentukan Manfaat Penelitian Sebuah penelitian dilakukan harus memiliki manfaat, baik manfaat teoretis maupun praktis. Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sementara manfaat praktis adalah manfaat

penelitian

bagi

masyarakat

maupun

yang

dapat

direkomendasikan bagi pengambil kebijakan. Dari penelitian berjudul “Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel Iamba Karya Laksmi Pamuntjak:: Kajian Ekokritik” (Wiyatmi, 2014), maka manfaat penelitiannya adalah sebagai berikut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra, khususnya kritik sastra dengan kajian ekokritik. Selain itu, secara praktis hasil penelitian diharapkan berguna bagi peningkatan apresiasi sastra, khususnya dalam memahami hubungan antara karya satra dengan alam dan lingkungan hidup. Dari kutipan tersebut tampak bahwa manfaar sebuah penelitian ada yang bersifat teoretis, ada yang praktis. Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian untuk mendukungn perkembangan ilmu pengetahuan. Sumbangan teoretis penelitian sastra dapat mendukung cabang ilmu sastra, seperti sejarah sastra, kritik sastra atau teori sastra. Hasil penelitian level S1 dan S2 pada umumnya belum mampu memberikan sumbangan bagi perkembangan teori sastra, tetapi memberikan sumbangan bagi perkembangan kritik sastra dan sejarah sastra, tergantung pada hasil penelitiannya. Manfaat praktis adalah manfaat penelitian bagi masyarakat secara luas, bahkan kalau dimungkinkan dapat memberikan rekomendasi bagi kebijakan program tertentu di masyarakat atau institusi. 4.2 Studi Kepustakaan dan Kajian Teori Studi kepustakaan dan kajian teori dilakukan untuk memahami kerangka teoretik yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dan

68

69

penelitian sebelumnya yang telah mengkaji masalah atau karya yang akan kita teliti. Dalam proposal penelitian bagian ini ada di Bab II dengan subjudul Kajian (Tinjauan) Pustaka. Dari proposal penelitian “Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak:: Kajian Ekokritik” (Wiyatmi, 2014) studi kepustakaan dan kajian teorinya sebagai berikut. A. Kajian Teoretik 1. Ekokritik Ekokritik adalah kajian yang menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan belantara dan liar, punahnya spesies dengan cepat, serta peningkatan kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi (Love, 2003:2). Ekokritik memberikan perhatian terhadap hubungan timbalbalik antara karya sastra dengan lingkungan hidup, termasuk hubungan dengan realitas sosial dan fisik, yang biasanya menjadi perhatian dalam ekologi (Love, 2003:1). Berdasarkan batasan ekokritik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kajian terhadap karya sastra (dalam hal ini novel) menggunakan ekokritik akan menjelaskan bagaimana alam, lingkungan hidup, dengan berbagai persoalannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam karya sastra. Dalam hal ini alam dan lingkungan hidup, tidak hanya dipahami sebagai latar tempat dan suasana, tetapi juga merupakan aspek yang ikut membangun estetika sebuah karya sastra. Dalam karya sastra, misalnya novel, masalah alam dan lingkungan hidup tampak pada latar (tempat dan suasana) yang merupakan unsur yang tak terpisah dari karakter tokoh, bahasa yang digunakan untuk menyampaikan cerita, dan konteks cerita yang mendukung makna novel secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayuti (2000) bahwa latar, yang mengacu pada tempat dan suasana tertentu berfungsi sebagai atmosfir yang mendukung karakter tokoh novel. 2. Alam dan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Ekokritik Alam dan lingkungan hidup merupakan wilayah kajian dalam ilmu sastra, khususnya dengan menggunakan perspektif ekokritik. Dalam paradigma ilmu sastra, ekokritik merupakan jenis kritik sastra yang relatif baru karena mulai dikenal tahun 1990-an. Terbitnya buku-buku The Ecocriticism Reader (1996) yang diedit oleh Cheryll Glotfelty & Harold Fromm dan The Enviromental Imagination (1996) oleh Lawrence Buell menandai

69

70

munculnya ekokritik dalam kritik sastra (Aziz, 2010). Demikian juga dengan terbitnya buku Ecocriticism karya Donelle N. Dreese (2002) menunjukkan perkembangan kajian ekokritik dalam kritik sastra. Alam dan lingkungan hidup manusia telah lama dieksplorasi para sastrawan dalam karya sastra yang ditulisnya. Alam dan lingkungan hidup tidak hanya digunakan sebagai latar cerita dalam novel, cerpen, atau pun drama, tetapi juga menjadi masalah yang penting dalam sebuah cerita. Dalam cerpen “Senyum Karyamin” karya Ahmat Tohari, misalnya dapat ditemukan gambaran mengenai alam desa yang diekspoitasi oleh manusia, terutama penambangan pasir liar yang berlebih- lebihan. Persoalan pengrusakan alam dan lingkungan hidup telah menjadi bahan renungan tersendiri bagi pembaca cerpen tersebut. Eksplorasi alam dan lingkungan hidup dalam karya sastra memungkinkan lahirnya kajian sastra dengan pendekatan ekokritik. Melalui ekokritik peneliti dapat mencermati bagaimana alam dan lingkungan hidup selain menjadi unsur penting pembangun karya sastra (novel) juga menjadi persoalan yang dibahas di dalamnya. B. Penelitian Terdahulu yang Relevan Sebagai karya yang relatif baru, terbit pertama kali September 2012, novel Amba belum banyak dikaji para peneliti. Akan tetapi, novel ini sudah didiskusikan dan dikomentari oleh sejumlah kritikus, antara lain Bambang Sugiharto dan Goenawan Mohamad, Dewi Lestari, dan Ariel Heryanto yang ditampilkan dalam sampul novel tersebut. Sugiharto (2012) menyatakan bahwa sudah banyak memang novel yang bercerita tentang tragedi tahun ’65 dengan bermacam konsekuensi psikososialnya. Namun tak berlebihan rasanya bila dikatakan bahwa dari sisi kematangan penguasaan bahan, erudisi dan kedalaman visi kemanusiaan, serta kepiawaian oleh bentuknya, Amba adalah novel bertaraf world class. Di Indonesia sendiri kiranya ini adalah salah satu puncak baru dalam pencapaian sastra kita. Goenawan Mohamad (2012) menilai bahwa novel ini akan merupakan salah satu dari deretan karya terkemuka kesusastraan Indonesia. Dewi Lestari (2012) menyatakan bahwa dengan menggunakan diksi yang memukau Laksmi Pamuntjak menghadirkan kisah cinta kolosal sekaligus menyentuh. Tak hanya rimansa, banyak jendela sejarah dan pembelajaran hidup yang terkuak dalam buku ini. Ariel Heryanto (2012), menyatakan bahwa kisah cinta yang dituturkan secara anggun dan penuh gairah oleh seorang penulis paling cerdas dari generasinya,

70

71

berlatar sejarah yang paling ditabukan di tanah airnya sendiri. Dari berbagai komentar dan penilaian terhadap novel tersebut tampak bahwa masalah alam dan lingkungan yang terdapat dalam novel tersebut belum dibicarakan (disinggung). Padahal, penggambaran tentang alam dan lingkungan hidup merupakan hal yang cukup dominan dalam novel tersebut, seperti pada kutipan berikut: Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu./ Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau...(Pamuntjak, 2012:15). Dari penelusuran terhadap hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa novel Amba belum pernah dikaji secara khusus, termasuk dengan menggunakan perspektif ekokritik. Oleh karena itu, penelitian terhadap novel tersebut dengan perspektif ekokritik perlu dilakukan. 4.3 Metode Penelitian Dalam metode penelitian diuraikan jenis penelitian apa yang digunakan

sebagai

kerangka

penelitian,

sumber

data,

teknik

pengumpulan data, dan teknik analisis data. Jenis penelitian berkaitan dengan metode penelitian yang dipilih, yang selanjutnya berkonsekuensi pada penentuan sumber data, teknik pengumpulan dan analisis data. Dalam proposal penelitian bagian ini ada di Subbab III. Dari proposal penelitian “Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak:: Kajian Ekokritik” (Wiyatmi, 2014) diuraikan metide penelitian sebagai berikut. A. Jenis Penelitian Untuk memahami hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan tokoh-tokoh, penggambaran alam dan lingkungan hidup, dan fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif interpretif dengan pendekatan ekokritik. Penelitian deskriptif kualitatif interpretif mempelajari benda-benda di dalam konteks alamiahnya dan berupaya untuk memahaminya atau menafsirkan maknanya yang dilekatkan pada manusia (peneliti) kepadanya (Denzin & Lincoln, 1994:2).

71

72

B. Sumber Data Sumber data adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 2012, cetakan kedua, November. Cetakan pertama novel tersebut, September 2012. Novel terdiri dari 494 halaman. Selain itu, juga digunakan sumber data yang berkaitkan dengan alam dan lingkungan hidup yang digambarkan dalam novel Amba, yang akan dilacak dari literatur yang berkaitan dengan ekologi. C. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan teknik baca dan catat. Data diperoleh dengan cara membaca dan memcatat informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian dari novel Amba dan sumber data sekunder yang relevan dengan masalah penelitian. D. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan analisis wacana kualitatif interpretif dengan pendekatan ekokritik melalui kegiatan kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, yaitu adanya keterkaitan antara persoalan alam dan lingkungan hidup yang terdapat dalam pilihan kata, kalimat, wacana yang digunakan dalam teks novel yang diteliti. Tabulasi digunakan untuk merangkum keseluruhan data dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian.. 4.4 Jadwal Penelitian Agar penlitian yang kita lakukan terarah dan dapat dilaksanakan tetap waktu, maka ketika menyusun proposal hendaknya dilengkapi dengan jadwal penelitian. Pada umumnya penelitian dapat dilakukan selama satu semester sampai satu tahun.

72

73

Jadwal Penelitian No Kegiatan

Bulan

Capaian (%)

1.

Januari-Maret

100

Penyusunan proposal dan revisi (penelitian untuk menyusun skripsi, tesis, atau disertasi melibatkan dosen pembimbing dalam proses pembimbingan)

2.

Pengumpulan data

April – Juli

100

3.

Penyusunan draft Hasil Penelitian (penelitian untuk menyusun skripsi, tesis, atau disertasi melibatkan dosen pembimbing dalam proses pembimbingan)

AgustusOktober

100

Penyususnan draft laporan dan bahan ajar 4.

Seminar Hasil Penelitian Oktober (penelitian untuk menyusun skripsi, tesis, atau disertasi menempuh ujian )

100

5.

Finalisasi Laporan dan Publikasi

100

73

NovemberDesember

74

BAB V MENYUSUN LAPORAN PENELITIAN

Setelah penelitian diaksankan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun laporan penelitian. Laporan penelitian memuat empat Bab (Bab I Pendahaluan, Bab II Kajian *atau Tinjauan Pustaka), Bab III Metode Penelitian, Bab IV Hasil Penelitian dan pembahasan, Bab V Simpulan, dilengkapi halaman sampul depan, lembar pengesahan, kata pengantar, daftar isi, abstrak di awal Bab I, dan daftar pustaka, dan lampiran di belakang Bab V. Berikut ini adalah contoh Laporan Hasil Penelitian terhadap novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.

5.1 Halaman Sampul Halaman sampul laporan penelitian berisi judul penelitian, identitas peneliti, logo dan nama institusi tempat peneliti bernaung. Untuk jenis penelitian yang dilakukan dan disusun sebagai

skripsi, tesis,

maupun disertasi, pada label Laporan Penelitian diganti dengan label skripsi, tesis, atau disertasi. 5.2 Halaman Pengesahan Halaman pengesahan memuat informasi judul penelitian, identitas pneliti, tanda tangan peneliti, disertai tanda tangan para pembimbing dan penguji (untuk skrpsi, tesis, dan disertasi), serta para pejabat yang berwenang (Dekan dan atau Kepala Kembaga Penelitian).

74

75

LAPORAN PENELITIAN (Skripsi/tesis/disetasi) ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM NOVEL AMBA KARYA LAKSMI PAMUNTJAK: KAJIAN EKOKRITIK

Dr. Wiyatmi, M.Hum. NIP 196505101990012001

FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

75

76

LEMBAR PENGESAHAN

1. JUDUL PENELITIAN ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM NOVEL AMBA KARYA LAKSMI PAMUNTJAK: KAJIAN EKOKRITIK

Identitas Peneliti Nama : Dr. Wiyatmi, M.Hum NIP : 196505101990012001 Jabatan Fungsional/Golongan : Lektor Kepala/IVb Bidang Ilmu : Sastra Indonesia : Sastra Indonesia/ Pendidikan Program Studi/Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia : [email protected] (6) Alamat email Anggaran yang disusulkan : 7.000.000 (Tujuh Juta Rupiah) : 8 Bulan Waktu Penelitian :Anggota Peneliti Mahasiswa yang terlibat : Mawaidi (11210141015) Yogyakarta, 20 Februari 2014 Dr. Wiyatmi, M.Hum. NIP Mengetahui Badan Pertimbangan Penelitian FBS

Dr. Tadkiroatun Musfiroh, M.Hum. NIP 196908291994032001

5.3 Abstrak Abstrak atau intisari adalah ringkasan hasil penelitian, yang mumuat tujuan penelitian, metode penelitian, dan hasil penelitian. Abstrak ditulis dalam satu spasi. Untuk tesis atau disertasi selain

76

77

abstrak dalam bahasa Indonesia, biasanya juga harus menyertakan abstrak dalam bahasa Inggris.

77

78

ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM NOVEL AMBA KARYA LAKSMI PAMUNTJAK: KAJIAN EKOKRITIK

Wiyatmi Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan tokoh-tokoh dalam novel, penggambaran alam dan lingkungan hidup, dan fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba dengan menggunakan perspektif ekokritik. Hasil penelitian menunjukkan adanya temuan sebagai berikut. Pertama, alam dan lingkungan hidup memiliki hubungan yang erat dengan karakter dan perjalanan hidup tokoh-tokoh dalam novel Amba. Secara spesifik hubungan tersebut dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu (a) pemanfaatan alam untuk menggambarkan karakter tokoh (Amba, Bhisma, Perempuan Kedua), (b) penyelenggaraan upacara peringatan kematian tokoh (Bhisma) dari peristiwa alam (bulan purnama), (c) penggambaran fase kehidupan tokoh sesuai dengan perkembangan alam (Samuel), (d) alam sebagai arena yang harus ditaklukkan dan dijadikan sahabat (Bhisma dan Perempuan Kedua). Kedua, penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam Amba juga berkaitan dengan penciptaan latar cerita, yaitu latar tempat dan waktu, Pulau Buru pada era penahanan tapol orang-orang komunis pada era Orde Baru, antara 1969-2006. Ketiga, pemanfaatan alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba yang melekat pada karakter dan perjalanan hidup tokoh, serta latar tempat dan waktu yang bersifat estetis mempekuat kualitas novel yang terkategori novel sejarah. Kata kunci: alam, lingkungan hidup, Pulau Buru, ekokritik, tapol. 5.4 Isi Laporan Penelitian 5.4.1 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Bencana alam terjadi di mana-mana. Salah satu penyebabnya adalah akibat tingkah laku manusia yang sering kali tidak mempertimbangkan dampak negatifnya bagi keseimbangan alam dan lingkungan hidup. Padahal untuk menunjang kelangsungan hidupnya manusia tidak dapat terlepas dari alam dan lingkungan sekitarnya.

78

79

Alamlah yang menyediakan sumber makanan dan energi bagi manusia, juga menyediakan bahan-bahan untuk membangun rumah, istana, dan berbagai sarana hidup manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia harus merawat dan melestarikan alam dan lingkungan sekitarnya. Perhatian terhadap alam dan lingkungan telah merambah berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu sastra. Timbulnya gerakan sastra hijau, yang di Indonesia antara lain digagas oleh komunitas Raya Kultura menunjukkan adanya perhatian yang serius sejumlah sastrawan dan pecinta sastra terhadap alam dan lingkungan. Demikian juga, munculnya kajian ekokritik (ecocriticism) dalam ilmu sastra. Novel Amba (2012) karya Laksmi Pamuntjak merupakan salah satu novel yang mencoba menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungan hidupnya dengan secara intens. Alam dan lingkungan dalam novel tersebut digambarkan sebagai hal yang sangat penting untuk mendukung kehidupan tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Terutama karena tokoh-tokoh tersebut hidup dalam pengasingan, sebagai tahanan politik di Pulau Buru pada era Orde Baru. Mereka harus menaklukkan dan mengolah alam dan lingkungan yang keras dan liar agar dapat bertahap hidup di pengasingan selama bertahun- tahun. Berangkat dari latar belakang tersebut, maka penelitian ini mencoba mengkaji relasi antara alam dan lingkungan dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dengan menggunakan ekokritik (ecocriticism). Dari penelitian tersebut diharapkan dapat terungkap bagaimana tokohtokoh dalam novel tersebut, yang merupakan representasi para tahanan politik pada masa Orde Baru harus bertahan hidup selama bertahuntahun menjalani pengasingan di Pulau Buru. Selain itu, juga dapat dipahami bagaimana alam dan lingkungan hidup telah memberikan inspirasi dalam penulisan sastra, khususnya novel di Indonesia.

79

80

1.2 Rumusan Masalah Masalah yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan tokohtokoh dalam novel Amba. 2. Penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba. 3. Fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami (1) hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan tokoh-tokoh dalam novel Amba; (2) penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba; (3) fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba.

1.4 Manfaat Penelitian Hasil

penelitian

ini

diharapkan

dapat

bermanfaat

bagi

perkembangan ilmu sastra, khususnya kritik sastra dengan kajian ekokritik. Selain itu, secara praktis hasil penelitian diharapkan berguna bagi peningkatan apresiasi sastra, khususnya dalam memahami hubungan antara karya satra dengan alam dan lingkungan hidup. 5.4.2 Bab II Kajian Pustaka A. Kajian Teoretik 1. Ekokritik Ekokritik adalah kajian yang menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan belantara dan liar, punahnya spesies dengan cepat, serta peningkatan

80

81

kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi (Love, 2003:2). Ekokritik memberikan perhatian terhadap hubungan timbalbalik antara karya sastra dengan lingkungan hidup, termasuk hubungan dengan realitas sosial dan fisik, yang biasanya menjadi perhatian dalam ekologi (Love, 2003:1). Berdasarkan batasan ekokritik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kajian terhadap karya sastra (dalam hal ini novel) menggunakan ekokritik akan menjelaskan bagaimana alam, lingkungan hidup, dengan berbagai persoalannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam karya sastra. Dalam hal ini alam dan lingkungan hidup, tidak hanya dipahami sebagai latar tempat dan suasana, tetapi juga merupakan aspek yang ikut membangun estetika sebuah karya sastra. Dalam karya sastra, misalnya novel, masalah alam dan lingkungan hidup tampak pada latar (tempat dan suasana) yang merupakan unsur yang tak terpisah dari karakter tokoh, bahasa yang digunakan untuk menyampaikan cerita, dan konteks cerita yang mendukung makna novel secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayuti (2000) bahwa latar, yang mengacu pada tempat dan suasana tertentu berfungsi sebagai atmosfir yang mendukung karakter tokoh novel.

2. Alam dan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Ekokritik Alam dan lingkungan hidup merupakan wilayah kajian dalam ilmu sastra, khususnya dengan menggunakan perspektif ekokritik. Dalam paradigma ilmu sastra, ekokritik merupakan jenis kritik sastra yang relatif baru karena mulai dikenal tahun 1990-an. Terbitnya buku- buku The Ecocriticism Reader (1996) yang diedit oleh Cheryll Glotfelty & Harold Fromm dan The Enviromental Imagination (1996) oleh Lawrence Buell menandai munculnya ekokritik dalam kritik sastra (Aziz, 2010). Demikian juga dengan terbitnya buku Ecocriticism karya

81

82

Donelle N. Dreese (2002) menunjukkan perkembangan kajian ekokritik dalam kritik sastra. Alam dan lingkungan hidup manusia telah lama dieksplorasi para sastrawan dalam karya sastra yang ditulisnya. Alam dan lingkungan hidup tidak hanya digunakan sebagai latar cerita dalam novel, cerpen, atau pun drama, tetapi juga menjadi masalah yang penting dalam sebuah cerita. Dalam cerpen “Senyum Karyamin” karya Ahmat Tohari, misalnya dapat ditemukan gambaran mengenai alam desa yang diekspoitasi oleh manusia, terutama penambangan pasir liar yang berlebih-lebihan. Persoalan pengrusakan alam dan lingkungan hidup telah menjadi bahan renungan tersendiri bagi pembaca cerpen tersebut. Eksplorasi alam dan lingkungan hidup dalam karya sastra memungkinkan lahirnya kajian sastra dengan pendekatan ekokritik. Melalui ekokritik peneliti dapat mencermati bagaimana alam dan lingkungan hidup selain menjadi unsur penting pembangun karya sastra (novel) juga menjadi persoalan yang dibahas di dalamnya. B. Penelitian Terdahulu yang Relevan Sebagai karya yang relatif baru, terbit pertama kali September 2012, novel Amba belum banyak dikaji para peneliti. Akan tetapi, novel ini sudah didiskusikan dan dikomentari oleh sejumlah kritikus, antara lain Bambang Sugiharto dan Goenawan Mohamad, Dewi Lestari, dan Ariel Heryanto yang ditampilkan dalam sampul novel tersebut. Sugiharto (2012) menyatakan bahwa sudah banyak memang novel yang bercerita tentang tragedi tahun

’65 dengan bermacam

konsekuensi psiko-sosialnya. Namun tak berlebihan rasanya bila dikatakan bahwa dari sisi kematangan penguasaan bahan, erudisi dan kedalaman visi kemanusiaan, serta kepiawaian oleh bentuknya, Amba adalah novel bertaraf world class. Di Indonesia sendiri kiranya ini

82

83

adalah salah satu puncak baru dalam pencapaian sastra kita. Goenawan Mohamad (2012) menilai bahwa novel ini akan merupakan salah satu dari deretan karya terkemuka kesusastraan Indonesia. Dewi Lestari (2012) menyatakan bahwa dengan menggunakan diksi yang memukau Laksmi Pamuntjak menghadirkan kisah cinta kolosal sekaligus menyentuh. Tak hanya rimansa, banyak jendela sejarah dan pembelajaran hidup yang terkuak dalam buku ini. Ariel Heryanto (2012), menyatakan bahwa kisah cinta yang dituturkan secara anggun dan penuh gairah oleh seorang penulis paling cerdas dari generasinya, berlatar sejarah yang paling ditabukan di tanah airnya sendiri. Dari berbagai komentar dan penilaian terhadap novel tersebut tampak bahwa masalah alam dan lingkungan yang terdapat dalam novel tersebut belum dibicarakan (disinggung). Padahal, penggambaran tentang alam dan lingkungan hidup merupakan hal yang cukup dominan dalam novel tersebut, seperti pada kutipan berikut: Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu./ Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau...(Pamuntjak, 2012:15). Dari penelusuran terhadap hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa novel Amba belum pernah dikaji secara khusus, termasuk dengan menggunakan perspektif ekokritik. Oleh karena itu, penelitian terhadap novel tersebut dengan perspektif ekokritik perlu dilakukan. 5.4.3 Bab III Metode Penelitian A. Jenis Penelitian Untuk memahami hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan tokoh-tokoh, penggambaran alam dan lingkungan hidup, dan fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif interpretif dengan

83

84

pendekatan ekokritik. Penelitian deskriptif kualitatif interpretif mempelajari benda-benda di dalam konteks alamiahnya dan berupaya untuk memahaminya atau menafsirkan maknanya yang dilekatkan pada manusia (peneliti) kepadanya (Denzin & Lincoln, 1994:2). B. Sumber Data Sumber data adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 2012, cetakan kedua, November. Cetakan pertama novel tersebut, September 2012. Novel terdiri dari 494 halaman. Selain itu, juga digunakan sumber data yang berkaitkan dengan alam dan lingkungan hidup yang digambarkan dalam novel Amba, yang akan dilacak dari literatur yang berkaitan dengan ekologi.

C. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan teknik baca dan catat. Data diperoleh dengan cara membaca dan memcatat informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian dari novel Amba dan sumber data sekunder yang relevan dengan masalah penelitian.

D. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan analisis wacana kualitatif interpretif dengan pendekatan ekokritik melalui kegiatan kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, yaitu adanya keterkaitan antara persoalan alam dan lingkungan hidup yang terdapat dalam pilihan kata, kalimat, wacana yang digunakan dalam teks novel yang diteliti. Tabulasi digunakan untuk merangkum keseluruhan data dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian.

84

85

5.4.4 Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Sesuai dengan masalah penelitian yang telah ditentukan, berikut ini dipaparkan hasil penelitian dan pembahasannya berdasarkan kerangka teori ekokritik.

A. Hasil Penelitian 1. Hubungan antara Alam dan Lingkungan Hidup dengan Tokoh-tokoh dalam Novel Amba Sebelum menjelaskan hubungan antara alam dan lingkungan dengan okoh-tokoh dalam novel, perlu diuraikan terlebih dahulu garis besar cerita novel Amba. Novel Amba didominasi oleh cerita tentang tokoh Amba yang mencari jejak kekasihnya, Bhisma di Pulau Buru. Bhisma yang berprofesi sebagai seorang dokter, dianggap sebagai salah seorang anggota Patai Komunis Indonesia (PKI) yang pada masa Orde Baru dibubarkan oleh pemerintah dan anggota PKI dijadikan tahanan politi setelah dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Seperti halnya tahanan politik lainnya, Bhisma akhirnya dikirim ke Pulau Buru, setelah sebelumnya ditahan di Jakarta dan Pulau Nusa Kambangan. Sebelum dipisahkan oleh peristiwa politik yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 Sepember 1965, Amba —yang pada saat itu seorang mahasiswi Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada— telah melalukan hubungan seks dengan Bhisma dan mengandung. Bhisma ditangkap

aparat

keamanan ketika bersama Amba menghadiri

pertemuan di Universitas Respublika, Yogyakarta yang dicurigai berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia. Karena tidak memukan kekasihnya, Amba akhirnya memutuskan menikah dengan Adalhard Eilers, dosen tamu (native speaker) di Universitas Gadjah Mada dan tinggal di Jakarta dan melahirkan anak yang diberi nama Srikandi.

85

86

Setelah para tahanan politik dipulangkan ke daerahnya masingmasing pada tahun 2006, ternyata Bhisma tidak pernah pulang. Hal inilah yang mendorong Amba untuk mencarinya ke Pulau Buru. Amba ingin tahu apakah Bhisma masih hidup ataukah sudah meninggal. Namun, sesampainya di Pulau Buru Amba tidak pernah menemukan Bhisma, karena Bhisma sudah meninggal. Dia hanya menemukan surat-surat yang sangat banyak dan cerita para sahabat Bhisma tentang kehidupan Bhisma selama di Pulau Buru. Dalam surat dan kisah-kisah itulah, hubungan antara alam dan lingkungan hidup tergambar dengan intens dan menjadi sumber data penelitian ini. Beberapa tokoh dalam novel Amba memiliki hubungan yang erat dengan alam dan lingkungan adalah Amba, Bhisma, Samuel, dan Perempuan Kedua. Hubungan tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori berikut ini. (1) Pemanfaatan alam untuk menggambarkan karakter tokoh (Amba, Bhisma, Perempuan Kedua). (2) Penyelenggaraan upacara peringatan kematian tokoh (Bhisma) dari peristiwa alam (bulan purnama). (3) Penggambaran

fase

kehidupan

tokoh

sesuai

dengan

perkembangan alam (Samuel). (4) Alam sebagai arena yang harus ditaklukkan dan dijadikan sahabat (Bhisma dan Perempuan Kedua). Dengan menggunakan perspektif ekokritik, keempat hal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Alam dimanfaatkan untuk menggambarkan karakter tokoh Amba, Bhisma, dan Perempuan kedua. Karakter Amba yang cantik dan cerdas, digambarkan oleh pengarang dengan menggunakan ungkapan berikut. Amba tahu ia bukan tidak menarik --matanya kucing dan kenari, bahunya kokoh, lehernya panjang, tulang-tulang pipinya

86

87

tirus dan tajam dan membuatnya tampak kuat, sementara, sementara mulutnya --guratan yang tegas, tapi lentur, cerdas— begitu feminin (Pamuntjak, 2012:79). Dari ungkapan tersebut tampak adanya kesadaran ekologis pengarang dengan membandingkan kecantikan dan kecerdasan seorang gadis dari matanya yang indah

dan tajam. Tentang

kemampuan mata kucing, pernah dibahas dalam rubrik sains di Tempo (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/17/095522522/BagaimanaMata-Kucing-Melihat-Dunia). Kucing dipercaya memiliki mata yang tidak biasa. Kucing memiliki mata buat yang jernih. Selain itu, mata kucing memiliki kemampuan lihat yang hebat membuat, sehingga mampu mengincar mangsanya dalam kegelapan, lalu melesat dan menangkapnya tanpa luput. Dibandingkan manusia, mata kucing mempunyai lebih banyak sel peka cahaya (rod cell) yang membantu mereka melihat dalam kondisi dengan cahaya minim. Kemampuan ini sesuai dengan pola hidup hewan karnivora itu yang lebih banyak aktif saat menjelang malam atau dinihari. Tentang kehebatan mata kucing dalam melihat ini, Kerry Ketring, seorang dokter hewan di All Animal Eye Clinic di Whitehall, Michigan, Amerika Serikat, mengatakan bahwa ada faktor lain yang membuat kucing bisa melihat lebih baik dalam gelap. Mata kucing mampu mengumpulkan cahaya lebih banyak karena bentuknya lonjong, korneanya besar, serta memiliki tapetum, lapisan yang

memantulkan

cahaya kembali

ke

retina.

Tapetum

bisa

menyesuaikan gelombang cahaya yang dilihat kucing sehingga mangsa atau objek yang sebelumnya berbentuk siluet bisa terlihat lebih jelas (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/17/095522522/BagaimanaMata-Kucing-Melihat-Dunia).Dengan

membandingkan

mata

kucing

dengan mata tokoh Amba, gambaran tentang kecerdasan dan kecantikannya menjadi lebih konkret.

87

88

Selain digunakan untuk menggambarkan karakter Amba, kucing juga digunakan untuk menggambarkan karakter Bhisma. Karakter kucing, khususnya kucing hutan, yang tenang dan mandiri dalam beraktivitas (bekerja) digunakan sebagai metafora karakter Bhisma. “Saudara saya itu, dokter yang hidup di Tefaat itu, hampir setinggi saya,” kata Manalisa. “Tapi persamaan berhenti sampai di situ. Kulit saudara saya lebih cemerlang. Matanya cokelat keemasan. Ia memiliki sikap tenang seekor kucing hutan, makhluk yang tak merasa perlu berkelompok, hewan yang mandiri. Setiap kali ia baru selesai menyembuhkan seseorang, ia diam-diam menghilang. Biasanya ia mencari sebuah tempat yang jauh dari orang banyak... (Pamuntjak, 2012: 60)

Dengan

memanfaatkan

metafor

kucing

hutan

pengarang

menggambarkan karakter Bhisma yang cerdas, mandiri, dan tekun bekerja sebagai dokter yang mengobati para pasien tanpa pamrih, terutama lingkungan tahanan politik di Pulau Buru menjadi lebih konkret. Selain kucing, unggas, khususnya burung digunakan untuk menyebut nama orang, yaitu Muka Burung. Nama itu diberikan karena karena ciri fisik seseorang yang seperti burung. Muka Burung? Muka Burung –nama yang sedikit luar biasa bukan? Muka seekor burung. Paruh sebagai mulut, sepasang mata yang kecil dan awas. Nama itu hampir dapat dipastikan pemberian seorang warga, seorang lelaki yang punya rasa humor, yang mungkin bertemu dengan perempuan di lembah Waeapo bertahun-tahun lalu,,,. (Pamuntjak, 2012:52)

Sebutan Muka Burung ditujukan untuk tokoh yang disebut sebagai Perempuan Kedua, seorang pribumi yang oleh Kepala Suku Kepala Air dinikahkan dengan Bhisma. Dengan sebutan Muka Burung tampak

88

89

citraan raut muka tokoh yang cenderung bermulut maju, hidung mancung, pipi menonjol, dan bermata tajam. Fenomena alam yang dikaitkan dengan karakter tokoh adalah matahari. Oleh tokoh Manalisa, Bhisma diceritakan sebagai orang yang menyukai matahari, karena matahari merupakan tanda kebesaran hidup. Di siang hari ini tampak menyukai matahari yang menyentuh pelupuknya ketika terkatup, dan matahari, seperti pernah dikatakannya, adalah tanda kebesaran hidup.... (Pamuntjak, 2012:60). Dari kutipan tersebut tampak keyakinan Bhisma bahwa matahari adalah tanda kebesaran hidup, matahari menyentuh pelupuk matanya yang terkatup dan membuat matanya kembali kembali terbuka. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa dengan menemukan kembali matahari setiap hari, artinya manusia masih diberi kesempatan untuk hidup. Keyakinan seperti itu sangat bermakna bagi orang seperti Bhisma, seorang tahanan politik di Pulau Buru yang terbuang dan terpisahkan dari kemewahan, keluarga, dan orang-orang yang dicintainya. Matahari itu pulalah tampaknya yang menginspirasi Bhisma, untuk menjalankan profesi dokternya tanpa pamrih di desa-desa yang membutuhkan bantuan medis. Ia menyembuhkan siapa saja, berkeliling dari rumah ke rumah, pergi ke kilang minyak kayu putih di pedalaman (h. 32). Oleh karena itu, dia pun disebut sebagai Resi dari Waeapo (h. 32). Metafor karakter Bhisma sebagai matahari yang telah menyinari hidup masyarakat pedalaman Waeapo menunjukkan bahwa sebagai seorang dokter di pedalaman Maeapo, Bhisma telah “menghidupkan” orang- orang yang mungkin akan mati karena terserang penyakit, kalau tidak ditolong dan diobati Bhisma. Sebagai masyarakat tradisional yang masih dekat dengan alam, maka penduduk asli Pulau Buru, menyelenggarakan upacara peringatan kematian seseorang pada malam bulan purnama, Upacara

89

90

Bulan Purnana, termasuk upacara peringatan kematian tokoh Bhisma yang dilakukan oleh Kepala Suku Kepala Air di Waeapo. Walaupun Bhisma bukalah penduduk asli Waeapo, sebagai seorang dokter yang menyebuhkan sakit penduduk setempat, dia dianggap sebagai seorang resi yang sakti dan sangat dihormati. Salah satu wujud penghormatannya adalah menikahkan Bhisma dengan seorang perempuan anak angkat kepala suku, yang dalam novel tersebut dinamakan Perempuan Kedua (sebutan setelah tokoh bertemu dengan Amba, yang dianggap sebagai perempuan pertama dalam kaitannya dengan tokoh Bhisma) atau Si Muka Burung. Ia memberi tahu mereka bahwa Perempuan Kedua telah dibawa ke Polres Namlea pada malam sebelumnya, malam yang sama Soa Kepala Air di Waeapo menyelenggarakan upacara bulan purnama untuk memperingati kematian sang Resi (Pamuntjak, 2012: 42).

Beberapa minggu sebelum pelaksanaan upacara Bulan Purnama itu, dalam novel tersebut diceritakan bahwa Amba bertemu dengan Perempuan Kedua di makam Bhisma. Karena kedua perempuan itu merasa sebagai istri Bhisma, maka Perempuan Kedua menyerang Amba dengan pisau, sampai akhirnya keduanya dilerai oleh para pekerja tammbang minyak dan dibawa ke rumah sakit. Upacara peringatan kematian Bhisma yang diselenggarakan oleh penduduk asli Waeapo, menunjukkan tingginya penghargaan mereka terhadap Bhisma, sebagai seorang dokter yang telah bekerja keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menyembuhkan penduduk yang sakit. Sebutan Resi untuk Bhisma juga menunjukkan tinggginya penghargaan tersebut. Samuel adalah salah satu tokoh yang berasal dari Pulau Buru. Samuel pertama kali bertemu dengan Amba di atas kapal menuju Namlea, Pulau Buru. Samuel digambarkan telah menyatu dengan

90

91

Pulau Buru. Kehidupannya digambarkan

seiring dengan perkem-

bangan Pulau Buru, seperti tampak pada data berikut. Samuel besar di Buru. Apakah ia dibesarkan di sana adalah soal lain. Yang jelas, selama bertahun-tahun di sana ia menjadi besar oleh segala hal yang telah ia alami di pulau itu: ia turut besar bersama Buru... (Pamuntjak, 2012:25) Sebagai tokoh yang besar di Pulau Buru, Samuel digambarkan sebagai orang yang telah mendapatkan pengtahuan hidup yang cukup kaya dari Pulau Buru, seperti tapak pada data berukut ini. Setelah ia meninggalkan Buru untuk pertama kalinya, sebagai anak muda, Samuel tak akan mengenal lagi sebuah tempat lain di muka bumi yang akan mengajarinya hal-hal yang penting dalam kehidupan. Semua yang ia ketahui tentang dunia ini telah ia pelajari di Buru. Buru ada dalam dirinya dan ia bisa mendengar setiap derit dan desahnya, setiap gerit dan geraknya, juga ketika ia jauh dari pulau itu. Buru telah mengajari Samuel sesuatu tentang hujan dan kemarau, ihwal-ihwal yang besar dan menggetarkan. Buru telah mengenalkan Samuel dengan apa yang dibawa oleh angin.... (Pamuntjak, 2012:28) Peran tokoh Samuel sebagai warga asli Buru yang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh di Buru dan luar Buru menjadi sangat jelas dengan penggambaran fase kehidupan Samuel yang sejajar dengan perkembangan Pulau Buru. Bahkan Samuellah yang mengambil alih peran Zulfikar, mantan tapol yang menemani Amba dari Jakarta ke Buru untuk mencari Bhisma. Samuel pulalah yang mempertemukan Amba dengan dengan Kepala Suku Waeapo dan Manalisa yang membuka kunci untuk menemukan makam Bhisma dan surat-suratnya yang tidak pernah dikirimkan kepada Amba. Alam Pulau Buru yang masih alamiah harus ditaklukkan oleh para tahanan politik. Oleh pemerintah Orde Baru Pulau Buru digunakan untuk mengirim para tahanan politik yang dianggap Partai

91

92

Komunis Indonesia dan terlibat Gerakan 30 September 1965. Dalam Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, Alkatiri (2006:6) mengemukakan

bahwa

pemilihan

Pulau

Buru

sebagai

tempat

tapol

dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu (1) Pulau Buru teletak jauh dari suhu politik ibu kota yang sangat peka, (2) untuk meringankan beban keuangan pemerintah demi suksesnya program Pelita, (3) meneruskan pembangunan pemerintah sejak tahun 1945 yang mengusahakan bendungan irigasi dan pertanian. Hal ini karena di Pulau Buru para tapol akan bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa tergantung kepada anggaran keuangan negara. oleh karena itu, agar dapat tetap hidup, maka para tapol, seperti halnya Bhisma dalam novel Amba harus mengubah hutan untuk menjadi sawah dan ladang, seperti tampak pada kutipan berikut. Ini yang dikatakannya kepada saya: “yang membuang kami memanfaatkan kami untuk mengubah pulau ini bagi mereka. Dengan membuat sawah, dengan menanam tetum- buhan untuk makan dan diperjualbelikan, dengan membuka jalan. Tetapi pulau ini sebenarnya telah disiapkan untuk mengurung kami. Lembah ini sebuah penjara. Alam cekung yang tiga arahnya dikitari tembok hutan belukar dan perbukitan yang sambung-menyambung. Arahnya yang keempat dikepung laut. Kurungan. Tefaat. (Pamuntjak, 2012:59) Kutipan tersebut merupakan dialog antara Bhisma dengan sahabatnya, penduduk asli Buru, Manalisa. Dari kutipan tersebut juga tampak bahwa kondisi Pulau Buru yang dikitari tembok hutan belukar dan perbukitan sambung-menyambung yang keempat arahnya dikepung laut merupakan penjara yang terisolasi. Setelah masa tahanan habis Bhisma tidak mau kembali ke Jakarta. Dia memilih tetap tinggal di Buru karena merasa tidak memiliki siapa pun dan hanya ingin berkebun (Pamuntjak, 2012:64). Di Pulau Buru, Bhisma melanjutkan

92

93

hidupnya dengan berkebun dan melayani orang-orang yang membutuhkan bantuannya sebagai seorang dokter. Perkembangan Pulau Buru dari hutan belantara yang ganas menjadi alam yang subur dengan sawah, ladang, dan perkebunan menurut Hersri Setiawan (2004:127) salah seorang tahanan politik merupakan hal yang tidak direncanakan oleh pihak pemerintah. Pulau Buru ternyata berkembang tidak sesuai dengan rancangan mereka (baca: pemerintah). Yang mereka rancang menjadi lubang kubur komunis, tapi yang tumbuh padi dan palawija, meranti dan kayu putih, sagu dan gula. Buru tidak menjadi pesetran ganda mayit... Sebaliknya, Buru menjadi tulang punggung “hidup mati” Provinsi Maluku.... (Setiawan, 2004:528) Dari pendapat Hersi Setiawan tersebut tampak bahwa para tapol yang dikirim ke Pulau Buru sebagian besar merupakan sosok yang kuat dan pantang menyerah terhadap keadaan dan alam. Mereka berusaha untuk bertahan hidup dengan membuka lahan persawahan dan hutan. Hutan juga dianggap sebagai sahabat bagi tokoh Perempuan Kedua (Muka Burung). Tokoh ini merasa menemukan kedaiaman di tengah hutan. Bahkan dia sering berdialog dengan pohon-pohon di hutan dan mengritik penebangan pohon yang tak terkendali, seperti tampak pada kutipan berikut. Perempuan Kedua tengah mencari kedamaian di tengah hutan. (Ia memutuskan “menatap bulan”). Diceritakan bahwa akhir-akhir ini ia merasa butuh melakukan itu, tak hanya untuk “menatap bulan”, tapi juga untuk sesekali keluar dari pekat belantara, ke arah terang, ke sebuah lapangan kecil di tengah hutan itu. Ia merasa butuh tampil di sana, justru ketika ia tahu tak ada seorang pun yang bisa melihat dirinya di dalam petak-petak cerlang yang dibagikan bulan kepada gelap. Ia juga ingin leluasa menyapa pohon-pohon yang kian terancam. Sebab para penebang datang semakin kerap. (Pamuntjak, 2012:17)

93

94

Diceritakan pula bahwa Perempuan Kedua mendekap pohon-pohon itu satu per satu sambil berbisik, rasakanlah kehangatan tubuhku, rasakanlah debar jantungku, aku begitu cinta padamu. Dan ia mendekap pohon-pohon itu dengan lama, dengan air mata. Ia mendekap mereka sebagaimana Perempuan Pertama mendekap gunduka tanah dengan isal yang menderaskan hujan. Lagi-lagi, ini tidak aneh bagai warga Kelapa Air. Mereka umumnya tahu bahwa pohon-pohon yang ditandai Perempuan Kedua tak hanya tercerabut dari tanah, tapi juga diangkut dalam truk-truk acap tak berpelat ke tempat- tempat tak bernama oleh orang-orang ta dikena. Mereka juga tahu, ini membuat Perempun Kedua marah, dan merasa tak berdaya. (Pamuntjak, 2012:17-18) Dari dua kutipan tersebut tampak adanya interaksi yang mesra antara hutan (alam) dengan tokoh (Perempuan Kedua). Tokoh merasa menemukan kedamaian di hutan, dengan menikmati keindahan sinar bulan. Selain itu, di hutan tersebut tokoh juga memberikan simpati kepada pohon-pohon karena semakin banyak pohon yang ditebang para penebang liar dan legal. Dari kutipan tersebut juga terungkap kritik terhadap praktik penebangan hutan yang tidak diimbangi dengan penanaman pohon kembali.

2. Penggambaran Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel Amba Selain berkaitan dengan karakter tokoh, penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam Amba juga berkaitan dengan penggambaran latar cerita. Untuk menggambarkan latar tempat dan waktu, alam dan lingkungan hidup dimanfaatkan sebagai sumber citraan, seperti tampak pada kutipan berikut. Memang ada suatu masa ketika Pulau Buru kerap didatangi para pelaut, yang lalu menetap di sana. Mereka umumnya datang dari Pulau Buton dan Bugis: kokoh, tegas,

94

95

anak-anak samudra.... Buru telah menjelma magnet. Pulau ini dengan kisah-kisahnya yang tak lazim, bukan satu warna... (Pamuntjak, 2012:19) Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau... (Pamuntjak, 2012:15) Dari kutipan tersebut tampak bahwa Pulau Buru diumpamakan seorang ibu yang dalam dan menunggu yang dapat diinterpretasikan bahwa Pulau Buru merupakan wilayah yang masih dipenuhi oleh kekayaan alam, baik yang ada di lautan maupun yang ada di hutan, yang masih setia menunggu anak-anak, generasi mendatang dan para pendatang untuk mengeksplorasi alam dan membangunnya dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Ini sesuai dengan citraan bahwa Pulau Buru dikelilingi oleh lautan yang dalam dan hutanhutan lebat, yang menyimpan kekayaan alam. Pemanfaatan alam dan lingkungan juga tampak pada deskripsi tentang pergantian waktu, pagi, siang, dan malam di Pulau Buru pun digambarkan dengan tenang dengan diskripsi: Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau. Hal itu memberikan citraan bahwa alam Buru sebenarnya masih alami jauh dari kebisingan dan polusi. Selain menggambarkan Pulau Buru yang tenang dan alami, juga digambarkan kearifan lokal masyarakat Pulau Buru, khususnya dalam mengkonsumsi Rusa sebagai hasil buruan. Mereka bicara tentang cara terbaik menggantung rusa, yaitu pada kaki belakangnya, agar semua cairan tubuhnya dapat mengalir dengan lancar meliwati pipa pernapasan hidung dan mulut tanpa mencemari organ-organ tubuh lainnya, terutama daging –seakan-akan menunjukkan bagaimana manusia

95

96

memperbaiki desain alam. Simaklah, wahai sesama pemakan daging: Rusa yang boleh dimakan hanyalah yang telah dibunuh dengan sekali tebas. Janganlah sekali-kali makan otak, tulang punggung, limpa, apalagi mata. Jangan pernah menyantap mata mereka. Dengan lembut Samuel menyentuh lengan Amba. “Kau tahu kan, “ ujarnya ringan, “bagian-bagian rusa yang boleh kita makan kadar lemaknya jauh lebih rendah ketimbang daging sapi.” (Pamuntjak, 2012:40) Dari kutipan tersebut tampak adanya kearifan lokal masyarakat Pulau Buru dalam mengkonsumsi daging Rusa. Dalam kutipan tersebut tampak adanya penghargaan terhadap hewan Rusa. Menyembelih Rusa harus sekali tebas, agar hewan tersebut tidak merasakan penderitaan. Selain itu ada bagian-bagian yang tidak dianjuran untuk dimakan: otak, tulang punggung, limpa, dan mata. Selain

tidak baik bagi untuk

kesehatan manusia karena mengandung lemak, ketika hewan tersebut masih hidup, bagian tersebut merupakan organ-organ vital. Kedekatan masyarakat Pulau Buru dengan alam juga tampak pada nama kampung tempat mereka tinggal, Kepala Air (h.17) dan Air Buaya (h. 21). Kau dan aku mungkin akan kaget mendengar deskripsi ini. Tapi bagi penduduk asli Waeapo, terutama yang bermukim di “Kepala Air” -istilah penduduk buat hulu sungai- sama sekali tak ada yang aneh. Bagi mereka, merangkul yang mati sama saja dengan merangkul yang hidup. Lagi pula Waeapo telah melihat banyak peristiwa -terlalu banyak peristiwa—yang berlangsung di atas tanah, di tengah hutan, di tengah hujan. Peristiwa yang melibatkan kematian, seks, atau kematian dan seks. (Pamuntjak, 2012:17) ....Si laki-laki sempat menceletuk bahwa ia merasa pernah melihat Perempuan Pertama di Air Buaya. Tepatnya, perempuan itu sedang meninggalkan rumah

96

97

kepala soaI setempat (yang kalau dipikir-pikir, tambah Dr. Wasis, bukannya tidak masuk akal). Semua orang mengunjungi Air Buaya biasanya diharuskan melapor ke rumah kepala soa setempat.... (Pamuntjak, 2012:2122)

Waeapo dan Air Buaya adalah nama kecamatan di Pulau Buru, selain Namlea, Waplau, dan Batabual (http://burukab.go.id/web3). Kepala Air (hulu sungai) digunakan untuk menyebut tempat tinggal penduduk asli di Waeapo, Pulau Buru karena mereka memang tinggal di dekat sungai, mata air sebagai sumber kehidupan. 3. Fungsi Estetik Penggambaran Alam dan Lingkungan dalam Novel Amba Dari hasil penelitian yang berkaitan dengan rumusan masalah pertama dan kedua tampak bahwa penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba memiliki fungsi estetis karena mendukung penggambaran watak tokoh dan latar, khususnya latar tempat. Dengan memanfaatkan metafor alam untuk menggambarkan karakter tokoh, misalnya Amba, Bhisma, dan Muka Burung tampak bahwa tokoh-tokoh yang menjadi pelaku dalam novel ini selain hidup menyatu dengan alam, juga memiliki watak istimewa seperti makhluk hidup (hewan) lainnya yang dapat dijadikan teladan bagi manusia, khususnya kucing. Dalam masyarakat agraris, dari mana tokoh Amba berasal, alam hadir tak terpisahkan dari manusia. Alam, misalnya hewan kesayangan seperti kucing dan burung, sering kali dijadikan metafor untuk melukiskan watak atau karakter seseorang. Ungkapan: Amba tahu ia bukan tidak menarik --matanya kucing dan kenari, bahunya kokoh, lehernya panjang, tulang-tulang pipinya tirus dan tajam dan membuatnya tampak kuat, sementara, mulutnya --guratan yang tegas,

97

98

tapi lentur, cerdas—begitu feminin....(h. 79), secara estetis menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dengan alam. Penggambaran alam dan lingkungan hidup Pulau Buru secara estetis digunakan untuk bagaimana tokoh (Bhisma, Muka Burung, dan Samuel) harus menjalani kehidupannya di Pulau Buru. Alam telah mengajari mereka untuk dapat menjalani hidup yang keras dan terasing di pulau terpencil. Bhisma harus dapat menaklukkan ganasnya alam Pulau Buru, agar dapat selamat menjalani hidupnya sebagai tahanan politik. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain selain menjadikan alam sebagai sahabat, dengan mengolah tanah yang tadinya gersang dan mati menjadi sawah dan ladang. Namun, setelah Buru berkembang menjadi lahan persawahan dan perkebunan, terjadilah penebangan hutan yang tak terkendali. Itulah yang menimbulkan keprihatinan tokoh Muka Burung, yang diekspresikan dengan menyentuh dan berdialog dengan pohon-pohon di hutan yang makin lama makin terancam untuk mendekati kepunahan. Latar cerita Pulau Buru dalam novel tersebut secara estetis tampak pada penyebutan nama tempat yang secara referensial menunjuk pada sejumlah lokasi di Pulau Buru dan sekitarnya, yaitu Namlea, Waeapo, Kepala Air, Air Buaya, Maluku, dan Ambon. Namanama tempat tersebut secara estetis berkaitan dengan latar tempat tahanan politik orang-orang yang dianggap terlibat Partai Komunis pada masa Orde Baru. Dalam sejarah politik Indonesia Pulau Buru memiliki makna khusus karena berkaitan dengan pengasingan para tahanan politik. Dalam buku Pramudya Ananta Toer (1995:2) diceritakan bahwa gelombang pertama tapol berangkat ke Pulau Buru pada 17 Agustus 1969. Dalam hal ini Pramudya termasuk yag diberangkatkan ke Buru gelombang pertama, yang berjumlah 500 orang. Bhisma menurut penuturan tokoh Manalisa dalam Amba datang ke Pulau Buru sebagai

98

99

tapol gelombang ketiga (Pamuntjak, 2012:59). Di samping dikenal sebagai tempat tapol, Pulau Buru juga dikenal debagai Tefaat, seperti beberapa kali disebut dalam novel Amba (misalnya halaman 59). Tefaat adalah singkatan dari Tempat Pemanfaatan (Aklakiri, 2006:3). Menurut Setiawan, secara keseluruhan tapol yang dikirim ke Pulu Buru berjumlah 12.000 orang, mereka terdiri dari tapol Partai Komunis golongan B, yaitu orang-orang yang dianggap secara tidak langsung terlibat dalam Gerakan 30 September 1965, dan dianggap sebagai kader (Alkatiri, 2006:7). Dalam hal ini tokoh Bhisma, tergolong sebagai tapol golongan B karena dalam novel Amba pun tampak bahwa dia tidak berkaitan secara langsung dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta. Bahkan, dia ditangkap di Yogyakarta pada 19 Oktober 1965 setelah menghadiri diskusi di Universitas Respublika (Pamuntjak, 2012:289). Pemanfaatan alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba yang melekat pada karakter dan perjalanan hidup tokoh, serta latar tempat dan waktu yang bersifat estetis mempekuat kualitas novel yang terkategori novel sejarah. Dalam hal ini Amba yang mencoba menceritakan kembali kehidupan tokoh tapol di Pulau Buru di era Orde Baru dapat dikatakan sebagai novel yang bercerita mengenai salah satu peristiwa sejarah di Indonesia, yaitu tragedi tahun 1965. Meskipun sebagian besar tokoh-tokoh tersebut hanyalah ciptaan pengarang (fiktif), tetapi dengan melekatkannya dengan tokoh-tokoh yang dikenal secara nyata dan peristiwa historis yang pernah ada di Indonesia, terutama dalam konteks tahanan politik di Pulau Buru pada era Orde Baru, maka yang semula fiktif menjadi tampak nyata dan hidup atau mengalami tahap lifelikeness (kesepertihidupan) (Sayuti, 2000). Hal ini sesuai dengan pendapat Amarzan Loebis (2013), salah satu bekas tapol di Pulau Buru, yang sekarang menjadi editor senior majalah Tempo, yang mengatakan bahwa novel ini membaurkan yang

99

100

khayali dan yang nyata dengan cara yang sangat indah dan cerdas, dan Amba juga merupakan bagian dari “perjuangan melawan lupa” akan luka sejarah bangsa ini yang tak kunjung pulih (endorsmen dalam sampul belakang novel Amba).

5.4.5 Bab V Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Alam dan lingkungan hidup memiliki hubungan yang erat dengan karakter dan perjalanan hidup tokoh-tokoh dalam novel Amba. Secara spesifik hubungan tersebut dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu (a) pemanfaatan alam untuk menggambarkan karakter tokoh (Amba, Bhisma, Perempuan Kedua), (b) penyelenggaraan upacara peringatan kematian tokoh (Bhisma) dari peristiwa alam (bulan purnama), (c) penggambaran fase kehidupan tokoh sesuai dengan perkembangan alam (Samuel), (d) alam sebagai arena yang harus ditaklukkan dan dijadikan sahabat (Bhisma dan Perempuan Kedua). (2) Penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam Amba juga berkaitan dengan penciptaan latar cerita, yaitu latar tempat dan waktu, Pulau Buru pada era penahanan tapol orang- orang komunis pada era Orde Baru, antara 1969-2006. (3) Pemanfaatan alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba yang melekat pada karakter dan perjalanan hidup tokoh, serta latar tempat dan waktu yang bersifat estetis mempekuat kualitas novel yang terkategori novel sejarah.

100

101

Daftar Pustaka Alkatiri, Zeffry. 2006. ”Tujuh Buku tentang Pulau Buru.” Makalah disajikan dalam Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, 13- 16 November 2006. Aziz, Sohaini Abdul. 2010. “Alam dalam Karya Shahnon Ahmad: dari pada Latar kepada Isu Alam Sekitar Pengarang Kreatif kepada Pencinta Alam Sekitar,” dalam Sastra dan Budaya Urban dalam kajian Lintas Media. Prosiding Konferensi Internasional Kesusastraan XXI Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI). Surabaya: Pusat Penerbitan dan percetakan Universitas Airlangga dan HISKI, hlm. 65-77. Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. 1994. Handbook of Qualitaitive Research. Thousand Oaks, London, New Dehli: Sage Publications International Educational and Professional Publishers. Dreese, Donelle N. 2002. Ecocriticism: Creating Self and Place in Enviromental and American Indian Literature. New York: Peter Lang Publishing. http://burukab.go.id/web3. Diunduh melalui google.com, 17 September 2014. http://www.tempo.co/read/news/2013/10/17/Bagaimana-Mata-KucingMelihat-Dunia. Diunduh melalui google.com, 17 Oktober 2013. Love, Glen A. 2003. Practical Ecocriticism, Literature, Biology, and the Environment. USA: University of Virginia Press. Pamuntjak, Laksmi. 2012. Amba. Jakarta: Gramedia. Tohari, Ahmat. 2005. Senyum Karyamin. Jakarta: Gramedia. Toer, Pramudya Ananta. 2004. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera. Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. Setiawan, Hersri. 2004.Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera.

101

102

BAB VI NASKAH PUBLIKASI HASIL PENELITIAN SASTRA

Sebuah penelitian baru dapat dianggap selesai apabila peneliti telah mempublikasikan hasil penelitian pada pertemuan ilmiah (seminar atau konferensi nasional/Internasional) dan jurnal ilmiah terakreditasi nasional maupun internasional. Naskah publikasi disusun berdasarkan laporan penelitian, dengan format menyeseuaikan gaya selingkung yang berlaku pada jurnall tertentu. Pada umumnya, jurnal ilmiah, seperti Litera (yang diterbitkan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta) atau Humaniora (yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada) memberikan format artikel ilmiahnya sebagai berikut: judul, nama penulis, alamat email penulis, abstrak (bahasa Indonesia dan Inggris), pengantar, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, simpulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka. Berikut disajikan contoh naskah publikasi hasil penelitian.

6.1 MELACAK JEJAK KESADARAN FEMINISME DAN MANINISME DALAM NOVEL INDONESIA Artikel pada bab ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2013 dengan tim peneliti Wiyatmi dan Maman Suryaman, yang dilaksanakan dengan dana hibah penelitian dikti. Selain laporan penelitian, luaran hasil penelitian berupa artikel ilmiah yang selanjutnya dipublikasikan dalam forum seminar/konferensi ilmiah dan atau jurnal ilmiah. Artikel ini telah dipaparkan dalam forum Konferensi Internasional Himpunan Sarjan Kesusastraan Indonesia (HISKI), 6-8 November 2013 di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

102

103

Pendahuluan Karya sastra merupakan salah satu hasil aktivitas kebudayaan yang diciptakan untuk mencatat dan mengkomunikasikan femonema yang terjadi dalam masyarakat. Dari sebuah karya sastra, pembaca (masyarakat) akan menemukan kembali sejumlah peristiwa, gejala sosial, budaya, politik yang pernah terjadi di masyarakat pada masa tertentu. Kesadaran mengenai pentingnya keadilan dan kesetaraan gender, atau yang lebih dikenal dengan feminisme merupakan salah satu fenomena yang mengemuka dalam sejumlah karya sastra di Indonesia. Walaupun tidak digambarkan secara eksplisit, sejumlah novel Indonesia sejak awal perkembangannya,

ternyata telah mempersoalankan

pentingnya keadilan dan kesetaraan gender, sehingga tercapai masyarakat yang berkeadilan sosial. Kesadaran mengenai pentingnya keadilan dan kesetaraan gender (feminisme) timbul dalam masyarakat yang memiliki anggapan bahwa salah satu jenis kelamin, khususnya laki-laki, dianggap lebih unggul dan utama dari pada jenis kelamin perempuan. Masyarakat tersebut menganut

ideologi

patriarkat,

termasuk

masyarakat

Indonesia.

Akibatnya, terjadi ketidakadilan gender. Keadaan tersebut meresahkan bagi sejumlah orang, termasuk para sastrawan, yang kemudian menuangkan keresahan dan kritikannya dalam karya-karya yang ditulisnya. Kesadaran feminis ternyata tidak hanya ditemukan dalam karyakarya sastra (novel) yang ditulis oleh sastrawan perempuan, sebagai pihak yang dirugikan dalam kultur patriarkat. Karya-karya berkesadaran feminisme ternyata juga ditemukan dalam novel yang ditulis oleh sastrawan laki-laki, meskipun mereka sebenarnya berada dalam pihak yang diuntungkan. Oleh karena itu, tampaknya menarik untuk mengkaji perbedaan kesadaran feminisme dalam novel yang ditulis oleh sastrawan perempuan dengan laki-laki. Perbedaan jenis kelamin, yang

103

104

menyebabkan

adanya

perbedaan

posisi,

kedudukan,

maupun

pandangan masyarakat antara perempuan dengan laki-laki, diduga memberikan

perbedaan

kesadaran

feminisme

antarkeduanya.

Hipotesisnya, kesadaran feminisme yang terungkap dalam novel yang ditulis oleh sastrawan laki-laki, misalnya Marah Rusli (Sitti Nurbaya) atau Pramudya Ananta Toer (Bumi Manusia), mungki akan berbeda dengan yang terungkap dalam novel yang ditulis oleh sastrawan perempuan, seperti Nh. Dini (Pada Sebuah Kapal) dan Ayu Utami (Saman). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji perbandingan kesadaran feminis dalam novel-novel Indonesia karya sastrawan perempuan dengan karya sastrawan laki-laki dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis dan ekspresif. Perspektif kitik sastra feminis dipilih untuk memahami bagaimana kesadaran feminisme digambarkan dalam novel-novel yang dikaji, sementara perspektif ekspresif digunakan untuk memahami hubungan antara novel yang dikaji dengan pengarangnya. Masalah Penelitian Sesuai dengan latar belakang masalah, maka masalah yang diteleliti dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana wujud kesadaran feminis yang terdapat dalam novel-novel Indonesia karya sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki? 2. Aliran feminis apakah yang terdapat dalam novel-novel Indonesia karya sastrawan perempuan dan sastrawan lakilaki? Tujuan Penelitian

104

105

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan dan menginterpretasikan kemungkinan adanya perbedaan kesadaran feminis dalam novel-novel Indonesia karya sastrawan perempuan dengan karya sastrawan laki-laki, yang dirinci sebagai berikut. 1. Mendiskripsikan dan menginterpretasikan wujud kesadaran feminis yang terdapat dalam novel-novel Indonesia karya sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki. 2. Aliran feminis yang terdapat dalam novel-novel Indonesia karya sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis hasil penelitian diharapkan memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu sastra, khususnya kritik sastra feminis dalam memahami fenomena bentuk-bentuk kesadaran feminis dan aliran pemikiran feminisme yang terdapat dalam novel-novel Indonesia. Dalam hal ini kritik sastra feminis merupakan salah satu materi yang akan disampaikan dan dibahas dalam mata kuliah Kritik Sastra dan Fiksi di program studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan kepada

masyarakat

pembaca

khususnya

dalam

memberikan

penyadaran terhadap wacana kesetaraan dan keadilan gender yang terdapat dalam sejumlah novel Indonesia. Di samping itu, juga memberikan

penyadaran

pentingnya

kampanye

kesadaran

dan

kesetaraan gender dalam masyarakat yang masih patriarkis. Agar hasil penelitian diketahui oleh masyarakat luas, maka laporan penelitian akan ditulis dan dipublikasikan ke jurnal ilmiah terakreditasi dan

105

106

menjadi dasar penulisan bahan ajar, serta dipresentasikan dalam seminar atau konferensi.

Tinjauan Pustaka Berikut ini diuraikan tunjauan pustaka yang berkaitan dengan sejumlah konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Kesadaran Feminis Kata feminisme memiliki sejumlah pengertian. Menurut Humm (2007:157—158) feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan. Humm menyatakan bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan ketidakadilan

dengan karena

keyakinan jenis

bahwa

kelaminnya.

perempuan Feminisme

mengalami menawarkan

berbagai analisis mengenai penyebab, pelaku dari penindasan perempuan (Humm, 2007:1578). Dinyatakan oleh Ruthven (1985:6) bahwa proyek feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi laki-laki. Melalui proyek feminisme harus dihancurkan struktur budaya, seni, gereja, hukum, keluarga inti yang berdasarkan pada kekuasaan ayah dan negara, juga semua citra, institusi, adat istiadat, dan kebiasaan yang menjadikan perempuan sebagai korban yang tidak dihargai dan tidak tampak. Feminisme sebagai aliran pemikiran dan gerakan berawal dari kelahiran era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg,sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad ke-19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian

106

107

dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood (Abrams, 1999:88; Arivia, 2006:18—19). Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa, dan Perancis, feminisme telah mengalami perkembangan dan penyebaran yang pesat ke berbagai negara di penjuru dunia. Perkembangan dan penyebaran feminisme tersebut telah memunculkan istilah feminisme gelombang

pertama,

feminisme

gelombang

kedua,

feminisme

gelombang ketiga, posfeminisme, bahkan juga feminisme Islam dan feminisme dunia ketiga. Berikut ini diuraikan adanya berbagai ragam feminisme yang telah berkembang dalam wacana pemikiran dan gerakan sosial dan politik. Dengan rinci Humm (1992:1—6) dan Madsen (2000:1—14) menguraikan kelahiran dan perkembangan feminisme di Amerika dan Perancis. Dari uraian tersebut pemikiran dan gerakan feminisme dapat dibedakan menjadi tiga gelombang,

yaitu gelombang pertama,

gelombang kedua, dan gelombang ketiga. Gelombang pertama feminisme di Amerika berkisar dalam kurun 1840–1920. Gelombang pertama ini ditandai dengan adanya Konvensi Hak-hak Perempuan yang diadakan di Seneca Falls, New York pada tahun 1848. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh Elizabeth Cady Stanton dan dihadiri oleh 300 perempuan dan laki-laki (Madsen,

2000:3—7;

Tong,

2006:31).

Pertemuan tersebut menghasilkan pernyataan sikap (Declaration of Sentiments) dan dua belas resolusi. Deklarasi pernyataan sikap tersebut menekankan isu yang sebelumnya telah dicanangkan oleh Mill dan Taylor di Inggris, yang terutama berhubungan dengan kebutuhan untuk mereformasi hukum perkawinan, perceraian, hak milik, dan pengasuhan anak (Madsen, 2000:6; Tong, 2006:31). Kedua belas resolusi menekankan

pada

hak-hak

perempuan

pendapatnya di depan umum (Tong, 2006:32).

107

untuk

meng-

utarakan

108

Setelah pertemuan di Seneca Falls pada tahun 1869 Susan B. Antony dan Elizabeth Cady Stanton mendirikan National Woman’s Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Nasional), disusul dengan Lucy Stone yang mendirikan American Woman’s Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika) untuk mengembangkan amandemen hak pilih untuk konstitusi (Madsen, 2000:6; Tong, 2006:33). Dua asosiasi tersebut memiliki perbedaan filosofis. Lucy Stone lebih menekankan pada peran agama yang terorganisasi dalam opresi terhadap perempuan yang tidak diperhatikan oleh Antony dan Stanton. Dengan berdirinya kedua asosiasi tersebut, gerakan hak-hak perempuan Amerika terpecah menjadi dua (Tong, 2006:33). Perbedaan lain dari kedua asosiasi tersebut menurut Tong (2006:33—34) adalah bahwa National Woman’s Suffrage Association menyampaikan

agenda

feminis

yang

revolusioner

dan

radikal,

sementara American Woman’s Suffrage Association mendorong agenda feminis yang reformis dan liberal. Kedua asosiasi tersebut kemudian bersatu pada tahun 1890 dan membentuk National American Woman’s Suffrage Association menjadi gerakan perempuan untuk memperoleh hak pilih. Mereka percaya bahwa hanya dengan mendapatkan hak pilih perempuan telah sungguh-sungguh setara dengan laki-laki (Tong, 2006:33—34). Dengan mengikuti peta beragam pemikiran feminisme yang dibuat Tong (2006), dapatlah diketahui bahwa gagasan dan gerakan feminisme Amerika gelombang pertama pada dasarnya adalah ragam feminisme liberal abad ke-19. Setelah mendapatkan hak suara bagi perempuan, mereka tidak menunjukkan aktivitas yang berarti di Amerika selama hampir empat puluh tahun. Baru pada tahun 1960 muncul generasi baru feminis yang dikenal dengan feminisme gelombang kedua.

108

109

Feminisme Amerika gelombang kedua ditandai dengan berdirinya beberapa kelompok hak-hak perempuan, yaitu National Organization for Women [NOW], the National Women’s Political Caucus [NWPC], dan the Women’s Equity Action League [WEAL]. Tujuan utama dari organisasi tersebut adalah untuk meningkatkan status perempuan dengan menerapkan tekanan legal, sosial, dan lain-lain terhadap berbagai lembaga mulai dari Bell Telephone Company hingga jaringan televisi dan partai-partai politik utama (Tong, 2006:34). Kelompokkelompok tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kelompok Pembebasan Perempuan (Tong, 2006:34) atau Gerakan Pembebasan Perempuan (Women’s Liberation Movement (WLM) (Humm,1992:3) dengan tujuan meningkatkan kesadaran perempuan mengenai opresi terhadap perempuan. Menurut Tong (2006:34), semangat yang mereka miliki adalah semangat revolusioner kiri yang tujuannya bukanlah untuk mereformasi apa yang dianggap sebagai sistem elitis, kapitalis, kompetitif, dan individual, melainkan untuk menggantikannya dengan sistem yang egaliter, sosialistis, kooperatif, komuniter, dan berdasarkan pada gagasan sisterhood-is-powerfull (persaudaraan perempuan yang kuat). Di antara para feminis Amerika gelombang kedua ada beberapa nama yang dianggap cukup penting dalam merumuskan gagasan feminisme, yaitu Betty Freidan, melalui The Feminine Mistique (1977), Shulamith Firestone melalui The Dialectic of Sex, Kate Millett melalui Sexual Politics, dan Gloria Steinem melalui Outrageous Acts and Everyday Rebellions (Madsen, 2000:2; Humm, 1992:4). Perkembangan feminisme Amerika gelombang kedua selanjutnya ditandai oleh kritik terhadap arus ‘white’ feminisme (feminisme kulit pulih) yang dilakukan oleh Angela Davis melalui Woman, Race, and Class (1981) dan Ain’t I a Woman? (1981), serta feminis lesbian seperti Adrienne Rich dan Audre Lorde (Madsen, 2000:2).

109

110

Setelah feminisme bergerak dalam dua gelombang tersebut muncullah feminisme gelombang ketiga yang lebih dikenal dengan feminisme posmodern atau feminisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme yang dikembangkan oleh para feminis berkebangsaan Perancis (Tong, 2000:284; Arivia, 2003: 127). Di samping itu juga dikenal feminisme poskolonial (Lewis and Mills, 1991) atau sering kali juga dikenal sebagai feminisme dunia ketiga (third world feminism) (Sandoval dalam Lewis and Mills, 1991). Feminis postmodern, seperti semua posmodernis, berusaha untuk menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan pemikiran falogosentrisme atau setiap gagasan yang mengacu kepada kata (logos) yang bergaya “laki-laki”. Oleh karena itu, feminisme postmodern memandang dengan curiga setiap pemikiran feminis yang berusaha memberikan suatu penjelasan tertentu mengenai penyebab opresi terhadap perempuan, atau sepuluh langkah tertentu yang harus diambil perempuan untuk mencapai kebebasan (Tong, 2006:283). Beberapa feminis postmodern, seperti Cixous misalnya, menolak menggunakan istilah “feminis” dan “lesbian” karena menurutnya kata- kata tersebut bersifat parasit dan menempel pada pemikiran falogosentrisme. Menurutnya, kedua kata tersebut berkonotasi “penyimpangan dari suatu norma dan bukannya merupakan pilihan seksual yang bebas atau sebuah ruang untuk solidaritas perempuan (Tong, 2006:284). Beberapa tokoh penting feminisme gelombang ketiga ini adalah Helena Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva (Tong, 2006:284). Di samping ketiga gelombang feminisme tersebut muncul pula pemikiran posfeminisme seperti yang dikemukakan oleh Brooks (2003). Untuk

menjelaskan

makna

posfeminisme,

Brooks

(2003:2—3)

menggunakan konsep yang analog dengan “pos” pada kasus poskolonialisme dan posmodernisme. “Pos” di sini merujuk pada proses

110

111

transformasi dan perubahan yang sedang berlangsung. Poskolonialisme dapat dipandang sebagai tanda pertemuan kritis dengan kolonialisme, sementara posmodernisme dipandang sebagai pertemuan kritis dengan prinsip-prinsip modernisme. Dengan analog tersebut, posfeminis dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarkat atau menempati posisi yang kritis dalam memandang kerangka feminis sebelumnya, yang pada saat yang bersamaan melawan secara kritis terhadap wacana patriarkat dan imperialis (Brooks, 2003:3). Posfeminis dalam praktiknya menantang asumsi- asumsi hegemonik yang dipegang oleh feminis gelombang kedua yang mengatakan bahwa penindasan patriarkat dan imperialisme adalah pengalaman penindasan yang universal (Brooks, 2003:3). Pemikiran dan gerakan feminisme tersebut juga mempengaruhi para intektual, termasuk di kalangan Islam. Dengan menggunakan perspektif feminis, para intelektual Islam berupaya membongkar sumbersumber permasalahan dalam ajaran Islam dan memper- tanyakan penyebab munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran hadis dan AlQur’an (Fatma, 2007:37). Melalui perspektif feminis berbagai macam pengetahuan normatif yang bias gender tetapi dijadikan orientasi kehidupan beragama, khususnya yang menyangkut relasi gender dibongkar atau didekonstruksi dan dikembalikan kepada semangat Islam yang lebih menempatkan ideologi pembebasan perem- puan dalam kerangka ideologi pembebasan harkat manusia (Dzuhayatin, 2002:22). Dengan semangat tersebut muncullah berbagai gagasan dan kajian terhadap tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang dilakukan para intelektual muslim yang dikenal dengan sebutan feminis muslim (Rachman, 2002:34; Nadjib, 2009; Dzuhayatin, 2002:5). Beberapa karya mereka antara lain adalah Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis (Ilyas, dkk., 2003), Rekonstruksi Metodo- logis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Dzuhayatin, dkk. Ed,

111

112

2002), Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Nurjanah-Ismail, 2003). Munculnya gagasan dan kajian tersebut sesuai dengan semangat teologi feminisme Islam yang menjamin keberpihakan Islam terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan yang terdistorsi oleh narasi-narasi besar wacana keislam- an klasik yang saat ini masih mendominasi proses sosialisasi dan pembelajaran keislaman kontemporer

(Dzuhayatin,

2002:22).

Beberapa

intelektual

yang

melakukan kajian Islam dengan perspektif feminis antara lain adalah Riffat Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Nawal Sadawi (Mesir), Amina Wadud Muhsin (Amerika), Zakiah Adam, dan Zainah Anwar (Malaysia), serta beberapa orang Indonesia antara lain Siti Chamamah Soeratno, Wardah Hafidz, Lies Marcoes-Natsir, Siti Nuraini Dzuhayatin, Zakiah Darajat, Ratna Megawangi, Siti Musda Mulia, Masdar F. Mas’udi, Budhy Munawar Rachman, Nasaruddin Umar (Mojab, 2001:128—129; Rachman, 2002:34; Nadjib, 2009; Dzuhayatin, 2002:5).

Kritik Sastra Feminis Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan

adanya

keadilan

dalam

memandang

eksistensi

perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada tahun 1700-an (Madsen, 2000:1). Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminis dianggap

sebagai

kritik

yang

bersifat

revolusioner

yang

ingin

menumbangkan wacana yang dominan yang dibentuk oleh suara tradisional yang bersifat patriarki (Ruthven, 1985:6). Tujuan utama kritik sastra feminis adalah menganalisis relasi gender, situasi ketika

112

113

perempuan berada dalam dominasi laki-laki (Flax, dalam Nicholson, 1990: 40). Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan opresi perempuan yang terdapat dalam karya sastra (Humm, 1986:22). Humm (1986:14-15) juga menyatakan bahwa penulisan sejarah sastra sebelum munculnya kritik sastra feminis dikonstruksi oleh fiksi laki-laki. Oleh karena itu, kritik sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca kembali karya-karya tersebut dengan fokus sosiolinguistiknya,

mendeskripsikan

tulisan

pada perempuan, sifat perempuan

dengan

perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam tulisannya. Kritik sastra feminis dipelopori oleh Simone de Beauvoir melalui bukunya, Second Sex, yang disusul oleh Kate Millet (Sexual Politics), Betty Freidan (The Feminin Mistique), dan Germaine Greer (The Female Eunuch) (Humm, 1986:21). Dalam perkembangannya, sesuai dengan aliran feminisme yang mendasarinya ada beberapa ragam kritik sastra feminis. Humm (1986) membedakan adanya tiga jenis kritik sastra feminis, yaitu (1) kritik feminis psikoanalisis, dengan tokoh antara lain Julia Kristeva, Monique Wittig, Helene Cixous, Luce Irigaray, Mary Daly, (2) kritik feminis marxis, dengan tokoh antara lain Michele Barret dan Patricia Stubbs, dan (3) kritik feminis hitam dan lesbian, dengan tokoh antara lain Barbara Smith, Elly Bulkin, dan Barbara Greir. Kritik sastra feminis psikoanalisis memfokuskan kajian pada tulisan-tulisan perempuan karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan

biasanya

mengidentifikasikan

dirinya

dengan

atau

menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan, sedangkan tokoh perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. Munculnya kritik sastra feminis psikoanalisis berawal dari penolakan para feminis terhadap teori kompleks kastarsi Sigmund Freud (Tong, 2006:196-197). Menurut Freud (via Tong, 2006:196), inferioritas perempuan terjadi karena kekurangan atau kecemburuan anak

113

114

perempuan akan penis (penis envy). Para feminis, seperti Betty Freidan menolak teori Freud tersebut dan berargumen bahwa posisi serta ketidakberdayaan sosial perempuan terhadap laki-laki kecil hubungannya dengan biologi perempuan, tetapi sangat berhubungan dengan konstruksi sosial atas feminisme (Tong, 2006:196). Menurut Freidan (via Tong, 2006:196), gagasan Freud dibentuk oleh kebudayaannya yang digambarkan sebagai “Victorian”. Kritik Freidan terhadap teori Freud juga didukung oleh Firestone dan Millet (Tong, 2006:198). Menurut Firestone, pasivitas seksual perempuan bukanlah suatu hal yang alamiah, melainkan semata-mata karena hasil sosial dari kebergantungan fisik, ekonomi, emosional perempuan pada laki-laki. Oleh karena itu, untuk mengakhiri opresi terhadap perempuan dan anak-anak, Firestone (via Tong,

2006:198)

menganjurkan

menghapuskan keluarga inti

dan

agar

manusia

bersamaan

seharusnya

dengan itu juga

menghapuskan tabu inses yang merupakan akar penyebab kompleks Oedipus. Sementara itu, Millet (via Tong, 2006:198) menganggap bahwa konsep kecemburuan terhadap penis merupakan contoh transparan dari egoisme laki-laki. Kritik Freidan, Firestone, dan Millet terhadap teori Freud tersebut juga didukung oleh para feminis psikoanalisis berikutnya, seperti Alfred Adler, Karen Horney, dan Clara Thompson, yang menyakini bahwa identitas gender, perilaku gender, serta orientasi seksual perempuan (dan laki-laki) bukanlah hasil dari fakta biologis, tetapi merupakan hasil dari nilai-nilai sosial dalam struktur patriarki. Oleh karena itu, perempuan seharusnya melawan hal tersebut (Tong, 2006:197-200). Melalui kritik sastra feminis psikoanalisis diselidiki hasrat, identitas gender, dan konstruksi linguistik feminis untuk mendekonstruksi hirarki gender dalam sastra dan masyarakat (Humm, 1986:71). Kritik sastra feminis marxis meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelaskelas masyarakat. Pengritik mencoba mengung-

114

115

kapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas (Humm,1986:72). Selain berdasarkan dasar pemikiran/aliran feminisme yang mendasarinya, kritik sastra feminis juga dibedakan berdasarkan fokus kajian dan cara kerjanya, serta hubungan antara karya sastra dengan penulis dan pembacanya. Dalam hal ini Showalter (1986) membedakan adanya dua jenis kritik sastra feminis, yaitu (1) kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai pembaca (the woman as reader/feminist critique) dan (2) kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai penulis (the woman as writer/gynocritics). Menurut Showalter (1985: 128-129) kritik sastra feminis aliran woman as reader que menempatkan kritikus dalam posisi sebagai perempuan, yang menikmati (mengkonsumsi) sastra sebagai produk laki-laki dan mengajukan hipotesis dari perspektif pembaca perempuan untuk membangkitkan keprihatinan dan kesadaran terhadap makna kode-kode seksual yang diberikan oleh teks yang dibaca. Lebih lanjut Showalter (1985:128) mengemukakan bahwa cara kerja penelitian yang dilakukan mendasarkan pada aspek historis dengan menyelidiki asumsiasumsi ideologis yang terdapat dalam fenomena kesusastraan. Kritik woman as reader memfokuskan kajian pada citra dan stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki (Showalter, 1985:128). Dalam mengkaji citra dan stereotype perempuan dalam karya sastra peneliti memposisikan dirinya sebagai perempuan pembaca, maka ketika membaca dan manganalisis karya sastra peneliti menggunakan kesadaran kritis sebagai perempuan dengan mencoba mengenali sebabsebab pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki (Showalter, 1985:128).

115

116

Berbeda dengan kritik sastra feminis mowan as reader yang tidak membatasi kajiannya pada karya-karya sastra yang ditulis olah perempuan, kritik sastra feminis woman as writer/gynocritics (perempuan sebagai penulis/ginokritik) membatasi kajian kepada karya-karya sastra yang ditulis perempuan. Kritik ini memfokuskan perhatian kepada perempuan sebagai pencipta makna tekstual melalui sejarah, gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan perempuan (Showalter, 1985:128129). Kritik ini juga meneliti kreativitas penulis perempuan, profesi

penulis

perempuan

sebagai

suatu

perkumpulan,

serta

perkembangan dan konvensi (aturan) tradisi penulis perempuan (Showalter, 1985:130). Berdasarkan pendapat Showalter di atas tampak bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya timbul ketika pada kritikus dan peneliti merasa perlu untuk memahami fenomena kesastraan dengan mempertimbangkan aspek keadilan gender dan memberikan perhatian kepada posisi tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra maupun perempuan sebagai penulis karya sastra yang selama ini cenderung diabaikan. Penelitian ini memilih jenis kritik sastra feminis reading as woman, karena akan memahami bagaimana novel-novel Indonesia yang mengangkat masalah keterdidikan perempuan dalam novel-novel Indonesia dalam rentang waktu penerbitan 1920 sampai 2000-an, yang ditulis oleh pengarang perempuan maupun laki-laki. Fokus kajian akan memperhatikan pada bagaimana tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam novel-novel Indonesia mendapatkan kesempatan maupun mendapatkan hambatan untuk dapat mencapai keterdidikannya. Studi Pendahuluan yang Telah Dilakukan Penelitian berjudul perbandingan kesadaran feminis dalam novelnovel Indonesia karya sastrawan perempuan dengan sastrawan laki-laki, dilatarbelakangi oleh sejumlah penelitian sebelumnya.

116

117

Penelitian tersebut antara lain adalah “Feminisme dan Dekonstruksi terhadap Ideologi Familialisme dalam Novel Saman Karya Ayu Utami,” (Wiyatmi, Diksi, 2003) dan In the Shadow of Change: Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia (Tinike Hellwig (2003). Dengan memfokuskan pada gambaran tokoh perempuan yang mendekonstruksi ideologi patriarkat, penelitian berjudul “Feminisme dan Dekonstruksi terhadap Ideologi Familialisme dalam Novel Saman Karya Ayu Utami,” (Wiyatmi, Diksi, 2003) menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan

dalam

Saman

merupakan

representasi

dari

sosok

perempuan yang menunjukkan adanya gejala pengingkaran terhadap ideologi familialisme dalam masyarakat berkultur patriarkat dalam masyarakat Indonesia. Tokoh-tokoh perempuan dalam Saman berbeda dengan gambaran perempuan pada novel Indonesia sebelumnya, seperti Sitti Nurbaya, Mariamin, Sri Sumarah, Lasi, dan Srintil yang merupakan beberapa contoh figur perempuan yang hidup dalam lingkungan ideologi familialisme tanpa berusaha melawan ataupun mengingkarinya.

Dengan

ketakberdayaannya,

mereka

menerima

nasibnya begitu saja karena tidak memiliki keberanian dan kekuasaan untuk melawan ideologi tersebut. Beberapa dari mereka, seperti Mariamin dan Lasi, bahkan mengalami penderitaan yang tragis sebagai akibat kuatnya ideologi tersebut. Dalam Saman digambarkan karier dan aktivitas Laila dan teman-temannya yang menunjukkan bahwa mereka merupakan sosok perempuan yang mencoba keluar dari dan mengingkari ideologi familialisme, yang menyakini bahwa peran utama perempuan adalah di rumah sebagai ibu dan istri, sementara peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga sehingga anggota keluarga yang lain, termasuk istri harus tunduk kepadanya. Mereka adalah contoh figur yang melakukan pengingkaran terhadap ideologi familialisme yang berusaha merekonstruksi sejarah

117

118

kehidupannya dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak lagi hanya sebagai istri atau ibu, tetapi juga sebagai pekerja dan perempuan karier. Dari keempat tokoh itu hanya Yasmin yang sudah menikah, tetapi dia pun tidak lagi harus menjadi ibu rumah tangga semata. Penelitian ini lebih terfokus pada sikap tokoh dalam mengkritisi ideologi patriarkat, tanpa membahas masalah keterdidikan perempuan. Penelitian Hellwig (2003) mengkaji 25 novel dan tiga cerita panjang dalam kurun waktu lima dekade (dari 1937 sampai dengan 1986). Dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis penelitian ini mencoba memahami bagaimana penggambaran tokoh perempuan dalam sastra Indonesia dan sejauh mana gambaran tersebut mem- bantu menciptakan citra umum perempuan dalam masyarakat Indone- sia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persoalan esensialisme identitas telah lama menjadi persoalan penting bagi gagasan tentang emansipasi perempuan di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebanyakan pengarang laki-laki masih menganggap femininitas sebagai sesuatu yang ideal bagi perempuan, dan tidak mengherankan jika tokoh-tokoh yang keibuan, pandai mengatur rumah tangga, lembut, dan penyayang, menjadi figur yang sering ditampilkan. Sementara itu, pada karakter yang diciptakan penulis perempuan, femininitas sering kali dianggap tidak sesuai dengan konsep kemajuan perempuan. Para penulis perempuan umumnya menggambarkan dilema persoalan esen- sialisme ini, mengolahnya sebagai inti cerita, dan kemudian membuat penyelesaianpenyelesaian yang justru melanggengkan subordinasi perempuan. Penelitian ini lebih terfokus pada bagaimana tokoh perempuan dicitrakan dalam hubungannya dengan laki-laki sehingga tidak membahas masalah keterdidikan perempuan.

118

119

Metode Penelitian Untuk memahami adanya kesadaran feminisme yang terdapat dalam teks-teks sastra Indonesia penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif interpretif dengan pendekatan kritik feminis. Penelitian kualitatif interpretif mempelajari benda-benda di dalam konteks alamiahnya dan berupaya untuk memahaminya atau menafsirkan maknanya yang dilekatkan pada manusia (peneliti) kepadanya (Denzin & Lincoln, 1994:2). Untuk memahami makna dari benda-benda atau fenomena sosial, penelitian kualitatif menekankan sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tanpa melupakan situasi yang membentuk penyelidikan (Denzin & Lincoln, 1994:6). Dalam hal ini wujud kesadaran feminisme dan aliran pemikiran feminisme yang terdapat dalam teks- teks sastra Indonesia akan dipahami maknanya dengan menggunakan pendekatan kritik feminis. Pendekatan kritik feminis digunakan untuk memberikan kerangka bagi pemahami berbagai aspek yang berkaitan dengan penggambaran kesadaran feminis dalan teks-teks novel yang dikaji. Olesen (dalam Denzin & Lincoln,ed., 1994:162-164) mengemukakan adanya tiga model penelitian feminis, yaitu penelitian sudut pandang feminis, empirisme feminis, dan postmodernisme. Perbedaan ketiga penelitian

tersebut

menurut Olesen dalam Denzin & Lincoln,ed., 162164) adalah sebagai berikut. Penelitian sudut pandang feminis dikemukakan oleh Sandra Harding, menekankan suatu pandangan tertentu yang berpijak pada atau bersumber dari pengalaman nyata kaum perempuan. Penelitian empirisme feminis melakukan penelitian dengan kepatuhan yang tinggi dan sadar pada standar aturan penelitian kualitatif yang berlaku, apa pun disiplin keilmuannya. Penelitian bertumpu pada asumsi intersubjektivitas dan secara umum menciptakan makna dan “realitas” antara peneliti dengan partisipan.

119

120

Dengan memfokuskan perhatian pada sulitnya menghasilkan lebih dari sekedar kisah penggalan tentang kehidupan kaum perempuan dalam konteks penindasan secara terus menerus, para peneliti feminis posmodernis memandang “kebenaran” sebagai sebuah khayalan yang merusak. Peneliti memandang dunia sebagai kisah-kisah atau teks-teks tanpa akhir yang banyak darinya mendukung integrasi kekuasaan dan penindasan serta pada akhirnya menjadikan kita sebagai subjek dalam kekuasaan yang menentukan. Penelitian ini menggunakan penelitian sudut pandang feminis dengan asumsi bahwa gambaran tentang pendidikandan peran perempuan dalam masyarakat yang terdapat dalam nove-novel yang dikaji tidak dapat dilepaskan dari pengalaman nyata kaum perempuan yang dipersepsi oleh pengarangnya. Selain berpijak pada atau bersumber dari pengalaman nyata kaum perempuan, pendekatan kritik feminis digunakan untuk memahami aturan-aturan masyarakat dan pengalaman yang membatasi kesempatan, pengalaman dan otonomi perempuan dalam hidup keseharian. Konsep-konsep yang dipakai dalam kritik feminis menyangkut kelas seks dan perannya dalam penindasan perempuan (Reinharz (2005:209). Dengan mengikuti kerangka analisis wacana feminis, seperti yang dikemukakan oleh Reinharz (2005:213), maka novel-novel Indonesia, yang dalam hal ini dianggap sebagai artefak budaya digunakan sebagai sumber data untuk meneliti perempuan secara individual atau kelompok, hubungan

antara

perempuan

dengan

laki-

laki,

hubungan

antarperempuan, persinggungan antara indentitas ras, gender, kelas, usia, lembaga, pribadi, dan pandangan yang membentuk hidup para perempuan, yang dalam penelitian ini difokuskan pada pendidikandan perannya dalam masyarakat. Dalam konteks kritik sastra, pendekatan sejarah perempuan dan kritik feminis tersebut sejajar dengan kritik sastra feminis yang dikembangkan oleh

120

121

Elaine Showalter (1985) yang memberikan perhatian kepada posisi tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra maupun perempuan sebagai penulis karya sastra yang selama ini cenderung diabaikan. Sumber data penelitian ini adalah novel-novel Indonesia yang secara dominan mengandung kesadaran feminism, sepuluh judul karya sastrawan perempuan, sepuluh judul karya sastrawan laki-laki. 1. Kehilangan Mestika (Hamidah) 2. Manusia Bebas (Soewarsih Djojopuspito) 3. Widyawati (Arti Purbani) 4. Pada Sebuah Kapal (Nh. Dini) 5. Saman (Ayu Utami) 6. Geni Jora (Abidah El Khalieqy) 7. Tarian Bumi (Oka Rusmini) 8. Amba (Laksmi Pamuntjak) 9. Nayla (Djenar Maesa Ayu) 10. Doa Ibu (SekarAyu Asmara) 11. Sitti Nurbaya (Marah Roesli) 12. Layar Terkambang (Sutan Takdir Alisyahbana) 13. Belenggu (Armijn Pane) 14. Senja di Jakarta (Mochtar Lubis) 15. Bumi Manusia (Pramudya Ananta Toer) 16. Para Priyayi (Umar Kayam) 17. Putri (Putu Wijaya) 18. Kitab Omong Kosong (Sena Gumira Ajidarma) 19. Canting (Arswendo Atmowiloto) 20. Ny Talis (Budi Darma) Data berupa kata, frase, kalimat, dari drama, puisi, novel yang menjadi objek penelitian, yang mengandung informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Di samping itu juga dikumpulkan data yang berhubungan dengan informasi yang berhubungan denganwujud

121

122

kesadaran feminisme dan aliran pemikiran feminisme yang terdapat dalam teks-teks sastra Indonesia. Data tersebut dicatat dalam kartu data dan diklasifikasikan sesuai dengan masalah yang diteliti. Analisis data dilakukan dengan analisis wacana kualitatif interpretif dengan pendekatan sejarah dan kritik feminis melalui kegiatan kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, yaitu adanya kesadaran feminisme yang terdapat dalam pilihan kata, kalimat, wacana yang digunakan dalam teks novel yang diteliti.

Tabulasi

digunakan untuk merangkum keseluruhan data dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini inferensi didasarkan pada kerangka teori sejarah perempuan dan kritik sastra feminis membaca sebagai perempuan (woman as reader). Hasil Penelitian dan Pembahasan Sesuai dengan masalah penelitian, maka hasil penelitian ini meliputi ha-hal sebagai berikut. Tabel 1 Wujud Kesadaran Feminis dalam Novel-novel Indonesia Karya Sastrawan Perempuan dan Sastrawan Laki-laki No. Wujud Kesadaran Novel Karya Novel Karya Sastrawan Sastrawan LakiFeminis Perempuan laki 01

Pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan untuk mendukung peran publik

02

Pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan

Kehilangan Mestika, Manusia Bebas, Widyawati,

Layar Terkembang, Senja di Jakarta, Putri, Canting, Bumi Manusia Sitti Nurbaya, Belenggu, Para

122

123

untuk mendukung peran domestik

--

Priyayi

03

Perlawanan terhadap Pada Sebuah dominasi patriarki dan Kapal, Tarian kekerasan terhadap Bumi, Nayla perempuan di ranah domestik

04

Perlawanan terhadap Saman, Geni -dominasi patriarki dan Jora, Amba kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan politik

Ny Talis, Kitab Omong Kosong, Bumi Manusia *)

*) Novel Bumi Manusia memperjuangkan pentingnya pendidikan (termasuk pendidikan formal) untuk perempuan, peran perempuan di ranah publik, dan kekerasan terhadap perempuan. Aliran feminisme yang teridentifikasi pada novel-novel yang ditulis oleh sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki adalah sebagai berikut. Tabel 2 Aliran Feminisme yang Terdapat dalam Novel-novel Karya Sastrawan Perempuan dan Sastrawan Laki-laki No.

Aliran Feminisme

Novel Karya Sastrawan Perempuan

Novel Karya Sastrawan Laki-laki

01

Feminisme Liberal

Kehilangan Mestika, Manusia Bebas, Widyawati,

Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, Belenggu, Bumi Manusia, Senja di Jakarta, Para Priyayi,Canting, Putri, Ny Talis

02

Feminisme Radikal Saman, Pada Sebuah Kapal, Nayla

-

03

Feminisme

Kitab Omong

Geni Jora, Amba,

123

124

Eksistensialis

Doa Ibu

Kosong,

Wujud Kesadaran Feminis dalam Novel-novel Indonesia Karya Sastrawan Perempuan dan Sastrawan Laki-laki Dari hasil penelitian tampak bahwa kesadaran feminis ternyata tidak hanya ditemukan dalam novel-novel yang ditulis oleh sastarawan perempuan, tetapi juga ditulis oleh sastrawan laki-laki. Dari temuan ini menunjukkan bahwa sastrawan laki-laki dalam sastra Indonesia juga mendukung perkembangan sastra (novel) feminis, yaitu novel yang dimanfaatkan sebagai sarana menyampaikan dan menyebarkan gagasan kesetaraan dan keadilan gender. Dari empat wujud kesadaran feminis yang ditemukan dalam novel karya sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki, terdapat kesadaran feminis yang dominan dan didukung oleh sastrawan perempuan dan lakilaki, yaitu pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan untuk mendukung peran publik dan perlawanan terhadap dominasi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik. Sementara itu, kesadaran fminis yang berhubungan dengan perlawanan terhadap dominasi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan politik hanya terdapat dalam novel karya sastrawan perempuan. Demikian juga pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan untuk mendukung peran domestik hanya terdapat pada novel yang ditulis sastrawan laki-laki. Dengan ditemukannya kesadaran feminis pada novel-novel yang ditulis kaum perempuan dan laki-laki yang mendukung pendidikan dan peran gender perempuan, serta perlawanan terhadap dominasi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik, menunjukkan telah munculnya kaum laki-laki feminis, yang sering disebut sebagai male feminist. Istilah male feminist mengemuka beberapa tahun lampau, setelah Kris Budiman menerbitkan bukunya Feminis Laki-laki

124

125

dan Wacana Gender (2000), Nur Iman Subono menerbitkan Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan? (2001), disusul edisi khusus Jurnal Perempuan Nomor 64, 2009, Saatnya Bicara Soal Laki-laki. Dalam kedua buku dan jurnal tersebut, diuraikan tentang kaum laki-laki yang pro gerakan feminisme. Dalam tulisannya di Jurnal Perempuan, Valentina (2009:27) mengemukakan bahwa istilah laki-laki feminis mengacu kepada laki-laki yang bersimpati pada gerakan perempuan dan terlibat dalam perjuangan perempuan untuk meraih hak-hak dan tuntutannya. Laki-laki yang memiliki kesadaran tentang kebenaran perjuangan yang diusung oleh gerakan perempuan, seperti perlu adanya dekonstruksi dan revolusi ideologi patriarki yang menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan (Valentina, 2009:27). Munculnya gerakan laki-laki profeminis merupakan respons atau reaksi terhadap gerakan feminisme. Reaksi tersebut mengambil dua wajah, Wajah negatif (oposisi) dan wajah positif (Hasyim, 2009:54). Wajah (gerakan) yang pertama memiliki orientasi kepada pengembalian supremasi laki-laki atas perempuan, sementara wajah yang kedua berorientasi kepada dukungan terhadap gerakan perempuan untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender (Valentina, 2009L54). Dalam makalah ini, digunakan kata maninisme untuk menyebut kesadaran feminisme pada laki-laki feminis, sebagai penyederhanaan dari man feminisme (man:laki-laki dan feminisme). Kesadaran

feminis

pentingnya

pendidikan

untuk

kaum

perempuan untuk mendukung peran domestik hanya ditemukan dalam novel yang ditulis oleh sastrawan laki-laki, yaitu Marah Roesli (Sitti Nurbaya), Umar Kayam (Para Priyayi) dan Armijn Pane (Belenggu). Kedua novel tersebut mendukung pentingnya perempuan dalam mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan dasar dan menengah, tetapi setelah selesai menempuh pendidikan, kaum perempuan harus kembali ke rumah dengan tugas-tugas domestiknya.

125

126

Novel Belenggu bahkan menggambarkan seorang tokoh perempuan,Tini, yang telah menempuh pendidikan tinggi dan menikah dengan dokter Tono, kemudian aktif dalam organisasi sosial, tidak pernah melakukan tugas-tugas domestiknya yang diserahkan kepada pembantu rumah tangganya, akhirnya harus menanggung akibat keretakan rumah tangganya. Dalam perspektif kritik sastra feminis hal tersebut dapat dikatakan sebagai kesadaran feminis semu (ragu-ragu). Di satu sisi, mereka sudah pendukung kesetaraan gender dalam bidang pendidikan, tetapi di sisi lain mereka belum dapat memberikan kesempatan kepada perempuan terdidik untuk berperan di ranah publik, menyumbangkan ilmu dan kemampuannya bagi masyarakat luas, juga menghargai eksistemsi perempuan sebagai makhluk multidimensional. Pendidikan hanya dianggap penting untuk mendukung peran domestiknya, sesuai dengan kultur patriakat yang dipegang teguh para sastrawan tersebut. kesadaran feminis semu inilah, yang kemudian memunculkan perlawanan dari kaum feminis yang menginginkan kesetaraan dan keadilan gender di ranah domestik dan publik, sehingga memunculkan pemikiran feminisme radikal dan eksistensialisme. Kesadaran feminis perlawanan terhadap dominasi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan politik hanya terdapat dalam novel yang ditulis oleh sastrawan perempuan, Saman (Ayu Utami), Geni Jora (Abidah El-Khalieqy), dan Amba (Laksmi Pamuntjak). Kesadaran feminis ini muncul setelah kaum perempuan mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan dan berperan di ranah publik, namun mereka belum terbebas dari kekerasan dan ketidakadilan gender, terutama yang bersifat politis. Kekuatan aturan- aturan masyarakat bahkan hukum-hukum negara sering kali digunakan untuk melegitimasikan kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan gender. Misalnya dalam dokumen resimi seperti visa pad

126

127

paspor, yang harus mencantumkan nama ayah (dalam Saman), perjalanan jauh ke tempat yang dianggap rawan, serti Pulau Buru, yang pernah menjadi tempat tahanan politik pada masa Orde Baru (dalam Amba), juga peremehan prestasi akademik perempuan oleh keluarga dan masyarakat (dalam Geni Jora). Dalam perspektif kritik sastra feminis, ditulisnya novel-novel seperti Saman, Geni Jora, dan Amba oleh para sastrawan perempuan yang mengritisi kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan gender di ranah publik dan politik menunjukkan adanya keberanian para feminis perempuan untuk menyuarakan suara kaumnya yang mengalami kesakitan dan kerugian akibat dominasi patriarkat di ranah publik dan negara. Dalam hal ini novel dijadikan sebagai sarana untuk mengritisi ketertindasan kaum perempuan di masyarakat dan negara, juga mengajak kaum perempuan untuk kritis dalam menyikapi ketidakadilan gender yang dialaminya. Aliran Feminis yang Terdapat dalam Novel-novel Karya Sastrawan Perempuan dan Sastrawan laki-laki Dari hasil penelitian di tabel 2 tampak adanya tiga jenis aliran feminisme yang terdapat dalam novel-novel karya sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki, dengan feminisme liberal yang mendominasi. Feminisme radikal hanya terdapat pada karya sastrawan perempuan, sementara feminisme eksistensialisme terdapat pada novel karya sastrawan perempuan dan laki-laki. Feminisme liberal adalah aliran pemikiran yang berorientasi kepada keadilan dan kesetaraan gender di bidang pendidikan dan peran perempuan di ranah publik. Hal ini sesuai dengan anggapan kaum feminis liberal yang berkeyakinan bahwa masyarakat seharusnya memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk menempuh pendidikan di sekolah-sekolah, selain itu kaum perempuan yang

127

128

melamar atau pekerjaan harus dipilih atas pelamar laki-laki selama pelamar perempuan itu dapat melaksanakan pekerjaan secara layak (Tong, 2006: 50). Sesuai dengan pandangan feminisme liberal tersebut, maka sebagian besar novel Indonesia, baik yang ditulis oleh sastrawan perempuan maupun laki-laki mendukung gagasan feminisme liberal ini. Selain itu, gagasan feminisme liberal ini juga sesuai dengan konteks cerita novel-novel yang dikaji, yaitu masa penjajahan Belanda sampai awal kemerdekaan. Pada masa kolonial Belanda, gagasan feminisme liberal sesuai dengan cita-cita Kartini tentang pendidikan perempuan yang mendapat dukungan dari van Deventer yang kemudian mendirikan Yayasan van Deventer dan Yayasan Kartini yang menyelenggarakan sekolah untuk kaum perempuan (Ricklefs, 1991:228). Feminisme liberal tampak jelas pada Kehilangan Mestika, Manusia Bebas, Widyawati, Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, Belenggu, Bumi Manusia, Senja di Jakarta, Para Priyayi,Canting, Putri, dan Ny Talis yang mendukung pendidikan untuk perempuan. Sebagian besar novel tersebut bahkan sudah mendukung peran perempuan di ranah publik. Feminisme radikal adalah aliran pemikiran dan gerakan sosia yang mendasarkan pada suatu tesis bahwa penindasan terhadap perempuan berakar pada ideologi patriarki sebagai tata nilai dan otoritas utama yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan secara umum. Oleh karena itu, perhatian utama feminisme radikal adalah kampanye anti kekerasan terhadap perempuan (Tong, 2006:68). Feminisme radikal hanya terdapat pada novel-novel karya perempuan karena kaum perempuanlah

yang

mengalami

secara

langsung

dampak

dari

penindasan terhadap perempuan. Aliran feminisme radikal tampak pada novel Saman, Pada Sebuah Kapal, dan Nayla. Kampanye anti kekerasan teradap perempuan dalam ketiga

128

129

novel tersebut, termasuk kekerasan simbolis yang dilegitimasi oleh negara. Aliran feminisme eksistensialis adalah aliran pemikiran dan gerakan yang mendasarkan pada pandangan filsafat eksistensialisme, dan

dikembangkan

oleh

Simone

de

Beauvoir.

Feminisme

ini

mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang diri, sedangkan “perempuan” sang liyan (the other). Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Oleh karena itu, menurut Beauvoir jika laki-laki ingin tetap bebas, maka ia harus mensubordinasi perempuan (Beauvoir, 2003:89; Tong, 2006:262). Oleh karena itu, feminisme eksistensialis selalu berusaha untuk melawan subordinasi perempuan dan anggapan sebagai sang liyan. Aliran ini tampak jelas pada novel Geni Jora, Amba, Doa Ibu dan Kitab Omong Kosong. Dalam Geni Jora untuk menunjukkan eksistensinya tokoh Kejora selalu berusaha mencapai prestasi yang lebih ungguh dari lakilaki, terutama di wilayah akademik. Demikian juga tokoh Amba yang dengan kemampuan intelektual dan keyakinan dirinya selalu berjuang untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan menaklukkan hambatanhambatan yang ada. Tokoh Sita dalam Kitab Omong Kosong juga digambarkan sebagai seorang perempuan yang pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri penindasan yang dilakukan oleh suaminyam Rama dengan cara meninggalkannya dan memilih hidup di pertapa Valmiki di tengah hutan, bahkan kemudian berani menunjukkan kesucian dirinya dengan bersumpah agar diterima di pangkuan Pertiwi dan muksa di telan bumi. A. Simpulan Beradasarkan

penelitian

yang

telah

dilakukan

ditemukan

kesimpulan berikut. (1) Terdapat empat wujud kesadaran feminis pada novel yang ditulis sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki, yaitu

129

130

(a) Pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan untuk mendukung peran publik, yang terdapat pada novel Kehilangan Mestika, Manusia Bebas, Widyawati, Layar Terkembang, Senja di Jakarta, Putri, Canting, Bumi Manusia; (b) Pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan untuk mendukung peran domestik pada novel Sitti Nurbaya, Belenggu, Para Priyayi; (c) Perlawanan terhadap dominasi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik pada novel Pada Sebuah Kapal, Tarian Bumi, Nayla, Ny Talis, Kitab Omong Kosong, Bumi Manusia, (d) Perlawanan terhadap dominasi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan politik pada novel Saman, Geni Jora, Amba. (2) Aliran feminisme yang terdapat dalam novel-novel tersebut adalah, (a) feminisme liberal, pada novel Kehilangan Mestika, Manusia Bebas, Widyawati, Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, Belenggu, Bumi Manusia, Senja di Jakarta, Para Priyayi,Canting, Putri, Ny Talis; (b) feminisme radikal, pada novel Saman, Pada Sebuah Kapal, Nayla; (c) feminisme eksistensialis pada novel Geni Jora, Amba, Doa Ibu, dan Kitab Omong Kosong.

Daftar Pustaka Ajidarma, Sena Gumira. 2004. Kitab Omong Kosong. Yogjakarta: Bentang. Budiman, Kris. 2000. Feminis Laki-laki dan Wacana Gender. Magelang: Indonesiatera. Hasyim, Nur. 2009. “Gerakan laki-laki Properempuan: Transformasi Dua Sisi,” dalam Jurnal Perempuan: untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Nomor 64. Hlm. 53-76. Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminisme. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Mundi Rahayu. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Jurnal Perempuan Nomor 64, 2009, Saatnya Bicara Soal Laki-laki. Jakarta: Yayasan Yurnal Perempuan.

130

131

Purbani, Arti. 1979. Widyawati. Jakarta: Pustaka Jaya. Subono, Nur Iman. 2001. Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan?. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Toer, Pramudya Ananta. 2009. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra. Tong,

Rosemary Putnam. 2006. Feminist Thought: A More Comprehentive Introduction. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Aquarini Prabasmara. Bandung: Jalasutra.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Valentina, R. 2009. “Pengalaman-pengalaman Aku yang Perempuan: Laki-laki Feminis?” dalam Jurnal Perempuan: untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Nomor 64. Hlm. 25-35. www.puskurbuk.net. Pendidikan Karakter. Diunduh melalui google.com 20 Mei 2012.

131

132

6.2 REPRESENTASI SEJARAH SOSIAL POLITIK INDONESIA DALAM NOVEL-NOVEL KARYA AYU UTAMI Naskah publikasi “Representasi Sejarah Sosial Politik dalam Novel-novel Karya Ayu Utami” telah dimuat di jurnal Litera (Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013). Naskah tersebut disusun berdasarkan penelian berjudul “Representasi Sejarah Sosial Politik dalam Novel- novel Karya Ayu Utami” dilakukan dalam tahun 2012. Format artikel ini telah disesuaikan denga gaya selingkung jurnal Litera. Secara lengkap artikel tersebut adalah sebagai berikut.

REPRESENTASI SEJARAH SOSIAL POLITIK INDONESIA DALAM NOVEL-NOVEL KARYA AYU UTAMI Wiyatmi FBS UniversitasNegeri Yogyakarta email: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan wujud dan representasi peristiwa sejarah sosial politik dalam novel-novel karya Ayu Utami. Untuk mencapai tujuan tersebut diteliti empat buah novel karya Ayu Utami, yaitu Saman, Larung, Manjali dan Cakrabirawa, dan Cerita Cinta Enrico dengan menggunakan perspektif New Historicism. Hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, peristiwa sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel karya Ayu Utami adalah: (a) peristiwa di Medan 1 Maret sampai dengan 16 April 1994, (b) Gerakan 30 September 1965, (c) tragedi 27 Juli 1996 di Jakarta, (d) pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), 15 Februari 1958 di Padang, (e) demonstrasi Mahasiswa ITB dan penerbitan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978.Kedua, peristiwa-peristiwa tersebut direpresentansikan dalam bagian yang integral dengan peristiwa yang dialami oleh tokohtokoh dalam novel. Peristiwa sejarah yang berasal dari peristiwa nyata dikontekstualkan dalam novel. Dalam perspektif New Historicism, peristiwa sejarah sosial politik dihadirkan untuk mempertanyakan kembali kebenaran sejarah yang telah dicatat sebelumnya. Kata kunci: representasi, sejarah, sosial politik, New Historicism

132

133

THE REPRESENTATION OF THE INDONESIAN HISTORY IN AYU UTAMI’S NOVELS Wiyatmi Abstract This study aims to describe the form and representation of sociopolitical historical events in Ayu Utami’s novels. The data sources were four novels written by Ayu Utami,namely Saman, Larung, Manjali dan Cakrabirawa, and Cerita Cinta Enrico. They were analyzed using the New Historicism perspective. The findings are as follows. First, sociopolitical historical events in the novels are: (a) an event in Medan from 1 March to 16 April 1994, (b) 30 September Movement in 1965, (c) the tragedy of 27 July 1996 in Jakarta, (d)the rebellion by the Republic of Indonesia’s Revolutionary Government, 15 February 1958 in Padang, (e)the demonstration by students of Technology Institute of Bandung and the publication of the Student Struggle White Book in 1978. Second, the events are represented in parts integrated into the events that the characters experience. Historical events from factual events are contextualized in the novels. In the New Historicism perspective, sociopolitical historical events are presented to question historical truths previously recorded. Keywords: representation, history, socio-political, New Historicis. Pendahuluan Penciptaan karya sastra tidak pernah terlepas dari kondisi sosial historis masyarakat yang melahirkannya. Karya sastra ditulis oleh pengarang, yang merupakan anggota masyarakat, berdasarkan keadaan realitas yang terjadi di masyarakat. Karya sastra lahir sebagai pencatat, dokumen, bahkan juga melakukan evaluasi terhadap realitas yang terjadi dalam masyarakat. Sejumlah karya sastra Indonesia telah menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara isi (muatan) karya dengan realitas yang terjadi dalam masyarakatnya. Novel Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1920), misalnya menggambarkan kembali keadaan masyarakat Minangkabau pada masa kolonial Belanda. Novel Para

Priyayi

(Umar

Kayam,

1999),

menggambarkan

masyarakat Jawa pada masa kolonial Belanda sampai awal

133

keadaan

134

Orde Baru. Novel Saman (Ayu Utami, 1998), menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia pada akhir pemerintahan Orde Baru. Adanya hubungan antara karya sastra dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat, seperti dicontohkan dalam ketiga novel tersebut, menunjukkan bahwa untuk memahami karya sastra diperlukan kajian yang melibatkan hubungan antara karya sastra dengan segi-segi kemasyarakatan. Dengan memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas sosial, budaya, dan politik yang terjadi dalam masyarakat, maka tidak mustahil seorang pembaca sastra akan menemukan kembali realitas sejarah yang digambarkan dalam karya sastra. Dalam hal ini, realitas sejarah, khususnya yang berhubungan dengan peristiwa masa lampau, tidak hanya ditemukan dalam teks-teks sejarah, tetapi juga dalam karya sastra, misalnya novel. Berdasarkan pembacaan awal terhadap sejumlah novel Indonesia, dapat ditemukan sejumlah novel yang menggambarkan kembali peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa sejarah merupakan salah satu sumber inspirasi yang cukup menarik bagi sejumlah sastrawan sehingga mereka kemudian menuliskannya kembali ke dalam karya-karya yang ditulisnya. Salah satu sastrawan yang banyak memanfaatkan peristiwa sejarah Indonesia dalam penulisan novel-novelnya adalah Ayu Utami. Empat buah novelnya, Saman (1998), Larung (2001), Manjali dan Cakrabirawa (2010), serta Cerita Cinta Enrico (2012) kesemuanya mengambil peristiwa sejarah sebagai bagian dari cerita yang ditulisnya. Beberapa peristiwa sejarah yang dapat dikenali kembali dalam novel-novel tersebut antara lain adalah peristiwa pemberontakan 30 September 1965, kerusuhan Juli 1998 di Jakarta, dan peristiwa PRRI di Padang. Peristiwa sejarah dalam novel-novel tersebut terjalin dalam cerita karena menjadi bagian dari para tokoh novel. Bahkan, dapat dikatakan bahwa novelnovel tersebut ditulis untuk memahami dan merein-

134

135

terpretasikan sejumlah peristiwa sejarah Indonesia. Peristiwa sejarah dalam novel-novel tersebut terjalin dalam cerita karena menjadi bagian dari para tokoh novel. Bahkan, dapat dikatakan bahwa novel-novel tersebut ditulis untuk memahami dan mereinterpretasikan sejumlah peristiwa sejarah Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini memfokuskan kajian pada representasi sejarah Indonesia dalam novel-novel Karya Ayu Utami. Masalah tersebut akan dipahami dengan pendekatan new historicism. Pilihan terhadap pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya karakteristik novel-novel karya Ayu Utami yang cenderung merepresentasikan peristiwa-peristiwa sejarah Indonesia dalam warna yang berbeda dengan teks-teks sejarah pada umumnya. Berbagai peristiwa sejarah, seperti pemberontakan/gerakan 30 September 1965 dan kerusuhan Mei 1998 di Jakarta direpresentasikan secara berbeda dengan yang digambarkan dalam buku-buku sejarah. Dengan demikian, novel-novel tersebut diduga mempertanyakan pandangan secara konvensional terhadap peristiwa-peristiwa sejarah sosial politik yang ada. Fakta sejarah merupakan salah satu sumber inspirasi bagi para sastrawan untuk menuliskan karya-karya sastranya. Seperti pernah dikatakan oleh Damono (1989: 1-2) bahwa karya sastra tidak pernah jatuh begitu saja dari langit, tetapi sastra berhubungan dengan sastrawan dan masyarakat yang melahirkannya. Di tangan seorang sastrawan peristiwa sejarah dapat menjadi sumber inspirasi untuk untuk penulisan karya-karya sastranya. Oleh karena itu, dikenal adanya istilah sastra sejarah, novel sejarah atau pun puisi epik. Peristiwa sejarah dalam hal ini mengacu pada peristiwa, tokoh, perbuatan, pikiran, dan perkataan yang pernah terjadi di masa lampau yang dipahami sebagai gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas (Kuntowijoyo, 2008:5). Sejarah, sebagai

135

136

ilmu yang bersifat diakronik, menurut Kuntowijoyo (2008:10) harus didukung oleh data yang otentik, terpercaya, dan tuntas. Dengan ruang yang terbatas, maka sejarah dapat membahas berbagai pertumbuhan dan perkembangan sejumlah masalah, antara lain sejarah politik, sejarah keluarga, sejarah intelektual, sejarah moralitas, sejarah keseni- an, dan sebagainya. Dalam konteks ilmu sastra, hubungan antara karya sastra dengan peristiwa sejarah telah lama menjadi perhatian para ilmuwan sastra. Munculnya berbagai pendekatan dalam kajian sastra, seperti sosiologi sastra, sastra perbandingan, dan sejarah baru (new historicism), yang mencoba memahami hubungan tersebut merupakan bukti adanya upaya memahami hubungan antara karya sastra dengan peristiwa sejarah. Dalam penelitian ini peristiwa sejarah yang terepresentasi dalam novel-novel karya Ayu Utami akan dipahami dengan pendekatan new historicisme. Peristiwa sejarah yang dipahami dalam penelitian ini dibatasi pada sejarah sosial dan politik di Indonesia, yang berdasarkan pembacaan awal terhadap novel-novel karya Ayu Utami menjadi hal yang mengemuka. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa peristiwa sejarah sosial dan politik di Indonesia telah direpresentasikan (digambarkan kembali berdasarkan interpretasi penulis) dalam novelnovel yang ditulisnya. New historicism adalah salah satu pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. New historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt

tahun 1982 untuk

menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkunginya (Budianta, 2006:2). Karya sastra, dalam perspektif new historicism tidak dapat

136

137

dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi dan politik karena ikut mengambil bagian di dalamnya (Budianta, 2006:3). New historicism menawarkan pembaharuan dalam melihat hubungan sastra dengan sejarah. Sastra dalam hal ini tidak hanya dilihat sebagai cermin yang secara transparan dan pasif merefleksikan budaya masyarakatnya, tetapi sastra juga ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya (Greenblatt via Budianta, 2006:4). New historicism memandang sejarah atau dunia yang diacu oleh karya sastra bukan sekedar latar belakang yang koheren dan menyatu yang dengan transparan dapat diakses. Kenyataan sejarah tidak lagi tunggal dan absolut, tetapi terdiri dari berbagai macam versi yang penuh kontradiksi, keterputusan, pluralitas, dan keragaman. Jadi kaitan sesarah dan sastra adalah kaitan intertekstual antara berbagai teks (fiksi maupun faktual) yang direproduksi pada kurun waktu yang sama atau berbeda (Budianta, 2006:4).

Metode Masalah representasi peristiwa sejarah sosial politik dalam novelnovel karya Ayu Utami dipahami dengan menggunakan penelitian kualitatif interpretif dengan pendekatan pembacaan paralel antara teks sastra yang merepresentasikan peristiwa sejarah dengan teks sejarah yang menggambarkan peristiwa yang sama. Dalam penelitian ini metode tersebut digunakan menginterpretasikan representasi peristiwa sejarah dalam novel-novel karya Ayu Utami. Sumber data penelitian ini adalah Empat buah novelnya, Saman (1998), Larung (2001), Manjali dan Cakrabirawa (2010), serta Cerita Cinta Enrico (2012) dan buku-buku sejarah Indonesia yang

137

138

membicarakan peristiwa sejarah yang digambarkan dalam keempat novel tersebut. Data berupa kata, frase, kalimat, dan satuan cerita diambil dari novel yang menjadi objek penelitian, yang mengandung informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Di samping itu juga dikumpulkan

data

yang

berhubungan

dengan

informasi

yang

berhubungan dengan representasi peristiwa sejarah dalam novel-novel karya Ayu Utami. Data tersebut dicatat dalam kartu data dan diklasifikasikan sesuai dengan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif melalui kegiatan kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk

mengelompokkan

data

berdasarkan

kategori

yang

telah

ditetapkan. Tabulasi digunakan untuk merangkum keseluruhan data dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini inferensi didasarkan pada kerangka teori dan pendekatan new historicism. Sesuai dengan cara kerja new historicism, maka data-data dalam penelitian ini diinterpretasikan dengan langkah sebagai berikut. (1) Memahami femomena sejarah dalam teks sastra dan teks sejarah. (2)

Memfokuskan perhatian baik pada teks sastra dan teks sejarah

pada isu kekuasaan nagara dan cara melestarikannya, pada struktur patriarki dan pemeliharaannya, dan pada proses kolonialisasi dengan “mind-set”

yang

mengikutinya.

(3)

Menggunakan

cara

berfikir

postrukturalisis, dengan memahami setiap segi realitas tertuang dalam teks (dalam konsep Derrida) dan struktur sosial yang ditentukan oleh “praktik diskursif” yang dominan (dalam konsep Foucault) (Barry, 2010:209). Dalam penelitian ini validitas data yang digunakan adalah validitas semantik yang mengukur makna sesuai dengan konteksnya,

138

139

semantara reliabilitas yang digunakan pembacaan berulang-ulang (intraratter) sehingga ditemukan konsistensi data dan interpretasi data. New historicism melakukan pembacaan paralel terhadap teks sastra dan nonsastra yang berasal dari periode sejarah yang sama (Barry, 2010:201). Dalam hal ini peristiwa sejarah yang tergambar dalam teks sastra harus dibaca sejarah paralel dengan peristiwa sejarah yang dicatat dalam teks-teks sejarah. Kedua teks tersebut diberikan porsi yang sama

dan

secara

konstan

saling

menginformasikan

dan

mempertanyakan satu sama lain (Barry, 2010:201). Dalam praktik kajiannya, new historicism menempatkan teks sastra dalam kerangka teks nonsastra. Dokumen-dokumen sejarah tidak disubordinasikan sebagai konteks, melainkan dianalisis sebagai teks tersendiri dan disebut sebagai ko-teks, bukan konteks. Teks dan ko-teks yang digunakan akan dilihat sebagai ekspresi momen sejarah yang sama dan ditafsirkan sesuai itu (Barry, 2010:2002). Hal ini berbeda dengan kajian sosiologi sastra yang cenderung menempatkan dokumen sejarah sebagai konteks yang melatarbelakangi karya sastra.

A. Representasi Sejarah Sosial Politik dalam Novel-novel Karya Ayu Utami Sesuai dengan cara kerja new historicism, maka data-data dalam penelitian ini diinterpretasikan dengan langkah sebagai berikut. (1) Memahami femomena sejarah dalam teks sastra dan teks sejarah. (2) Memfokuskan perhatian baik pada teks sastra dan teks sejarah pada isu kekuasaan nagara dan cara melestarikannya, pada struktur patriarki dan pemeliharaannya, dan pada proses kolonialisasi dengan “mind-set” yang mengikutinya. (3) Menggunakan cara berfikir postrukturalisis, dengan memahami setiap segi realitas tertuang dalam teks (dalam konsep Derrida) dan struktur sosial yang ditentukan oleh

139

140

“praktik diskursif” yang dominan (dalam konsep Foucault) (Barry, 2010:209). Peristiwa sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel Ayu Utami adalah (1) demontrasi dan pemogokan buruh di Medan 1 Maret 1994 sampai dengan 16 April 1994, (2) Peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, (3) tragedi 27 Juli 1996 di Jakarta, (4) Pemberontakan PRRI di Padang 15 Februari 1958, dan (5) demonstrasi mahasiswa ITB pengangkatan kembali Soeharto sebagai Presiden RI. Peristiwa-peristiwa tersebut direpresntasikan oleh Ayu Utami dalam empat buah novelnya, yaitu Saman, Larung, Manjali dan Cakrabirawa, dan Cerita Cinta Enrico. Melalui keempat novelnya tersebut tampak adanya representasi yang mencoba mempertanyakan kebenaran pencatatan peristiwa-peristiwa tersebut dalam teks-teks sejarah yang ada selama ini (sejarah konvensional), terutama yang diakui kebenarannya oleh pemerintah (penguasa) Orde Baru.

1. Demonstrasi dan Pemogokan Buruh di Medan 1 Maret sampai dengan 16 April 1994 Demonstrasi pemogokan buruh yang terjadi di Medan dari tanggal 1 Maret sampai 16 April 1994 direpresentasikan dalam novel Saman, terutama dalam hubungannya dengan tokoh Wisanggeni (Saman). Dalam novel tersebut Saman dituduh terlibat sebagai aktor intelektual demontrasi buruh besar-besaran di Medan pada bulan April 1994. Dia menjadi salah seorang yang masuk dalam daftar orang yang paling banyak dicari oleh aparat pemerintah. Namun, atas pertolongan Yasmin, dia berhasil diselamatkan dengan melarikan diri ke Amerika. Peristiwa demonstrasi dan pemogokan buruh besar-besaran yang terjadi di Medan 1994 dalam novel Saman digunakan untuk memberi konteks cerita yang menyebabkan Saman menjadi salah satu

140

141

tokoh yang dikejar-kejar oleh aparat keamanan. Melalui peristiwa yang dialami oleh Saman novel ini mencoba memaknai dan memberikan tanggapannya terhadap peristiwa sejarah tersebut. Dari arsip data di hamline.edu/apakabar/basisdata/1994/05/05/0002 dapat diperoleh informasi bahwa antara tanggal 1 Maret 1994 sampai dengan 16 April 1994, terjadi demontrasi dan pemogokan buruh besar-besaran di Medan, melibatkan 26.000 buruh. Demontrasi yang semula

bertujuan

berkembang

menuntut

menjadi

kenaikan

demonstrasi

gaji

dan

THR

antiketurunan

tersebut

Cina

dan

menyebabkan terbunuhnya seorang pengusaha Kwok Joe Lip alias Yuli Kristanto. Setelah peristiwa tersebut pada 2 Mei ketua SBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia) cabang Medan Amosi Telaumbanua bersama wakil ketua dan sekretaris DPC Soniman Lafao dan Fatiwanalo Zega diperiksa di Mapoltabes Medan sebagai tersangka dalam kasus unjuk rasa buruh dan perusahaan di kota itu (Suara Pembaruan, Senin 2 Mei 1994). Dalam Saman peristiwa tersebut digambarkan melalui surat Saman yang dikirimkan kepada Yasmin sebagai berikut. Sekarang bagaimana keadaan di tanah air, terutama Medan? Aku baru mulai memeriksa laporan dan file tentang unjuk rasa yang rusuh dua pekan lalu itu, yang akhirnya membikin aku terdampar di sini. Nampaknya banyak orang tidak begitu faham apa yang terjadi dan menjadi canggung untuk bersikap. Demonstrasi buruh yang diikuti enam ribu orang sebetulnya adalah hal yang simpatik dan luar biasa untuk ukuran Indonesia di mana aparat selalu terserang okhlosofobia - cemas setiap kali melihat kerumunan manusia. Namun, simpati orang segera berbalik setelah unjuk rasa itu menampilkan wajah rasis dan memakan korban. Aku amat sedih dan menyesali kematian pengusaha Cina itu… (Utami, 1998:168) Dalam novel tersebut diceritakan bahwa sebagai aktivis yang memiliki hubungan dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI),

141

142

Saman dianggap sebagai salah satu aktor intelektual dan masuk dalam daftar pencarian orang. Seperti dikemukakan dalam http://www.kontras.org, dalam bukunya Menerobos Jalan Buntu: Kajian terhadap Sistem Peradilan Militer di Indonesia (2009), para aktivis yang ditangkap dalam aksi-aksi sosial di Indonesia pada masa Orde Baru diadili di pengadilan militer, prosesnya tertutup, tidak transparan, dan tidak mengakomodasi kepentingan korban. Akibatnya, pelaku yang diadili hanyalah pelaku lapangan, hukuman rendah sementara kebenaran tidak terungkap. Di samping itu, hak-hak korban juga tak kunjung dipenuhi. Oleh karena itu, untuk menghindarkan Saman—yang dituduh sebagai aktor intelektual demonstrasi buruh di Medan 1994— dari sistem peradilan militer yang melanggar hak azasi manusia tersebut, Yasmin yang memiliki hubungan dengan Human Rights Watch menolong Saman untuk melarikan diri ke luar dari Indonesia. Perjuangan Yasmin dalam menyelamatkan Saman tampak dari catatan harian yang ditulis oleh Saman yang dikirimkan kepada Yasmin, misal- nya pada kutipan berikut. 18 April - Segelintir penduduk mulai merasa aman karena patroli rutin. Warung-warung mulai buka. Tiba-tiba Yasmin datang dari Palembang, baru dari sidang Rosano. Ia muncul dengan dandanan seperti amoy Singapura yang paling menor— celana panjang ketat motif kulit macan, jaket hitam plastik, kaca mata matahari besar. Aku tidak mengenali. Rupanya ia menyamar sebagai rekan bisnis pemilik butik yang kutempati. Menurut lobi ayahnya di kepolisian Jakarta, aku termasuk lima orang yang paling diburu. Ia membujukku untuk melarikan diri ke luar negeri. Katanya, itu bukan pendapatnya sendiri, melainkan kesepakatan kawan-kawan yang lain. Kebetulan Human Rights Watch butuh seseorang untuk membuat jaringan informasi di Asia Tenggara. Ia seperti memaksaku menerima pekerjaan itu. Teman-teman sudah setuju, katanya. Aku merasa tak punya waktu untuk menimbang-nimbang. Dalam kondisi begini, apa ada waktu berpikir terlalu panjang? Semakin lama menunda keputusan, semakin sulit keluar dari negeri ini. (Utami, 1989:174—175)

142

143

Dari kutipan tersebut tampak bahwa Wisanggeni (Saman) yang namanya masuk dalam daftar pencarian orang yang harus “diamankan” pada masa Orde Baru ditolong oleh Yasmin dan kawan-kawannya untuk keluar dari Indonesia. Dengan kecerdasan dan koneksinya, Yasmin memiliki peran yang cukup besar untuk menyelamatkan Saman dari target operasi keamanan pemerintah Orde Baru. Yasmin, bahkan telah mempersiapkan dengan rapi strategi dan penyamaran Saman agar berhasil berangkat ke Amerika. Kini Yasmin telah mengurus segalanya agar aku pergi dari Indonesia. dan Cok dipilihnya sebagai orang yang akan membawaku dari Medan. Semua aku ragu karena aku tak begitu kenal anak ini. tapi Yasmin nampaknya percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku dengan serius, menempel kumis palsu, mencukur rambutku, dan mencabuti alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka men- cocokcocokkan wajahku dengan foto pada sebuah KTP, kartu identitas salah seorang pesuruh Cok di sebuah hotelnya di Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih seperti ia biasa bekerja. (Utami, 1989:175) Dari pembahasan tersebut tampak digambarkan peristiwa sejarah masa Orde Baru, khususnya demonstrasi dan pemogokan buruh di Medan 1 Maret 1994 sampai dengan 16 April 1994, yang diintegrasikan dalam cerita novel Saman. Dengan menggambarkan peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa Saman merepresentasikan represi kekuasaan Orde Baru terhadap para buruh yang berdemonstrasi dan menuntut kenaikan gaji dan tunjangan hari raya (THR).

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 Peristiwa Gerakan 30 September 1965 digambarkan dalam novel Larung dan Manjali dan Cakrabirawa. Dalam Larung peristiwa Gerakan 30 September 1965 digambarkan dalam kenangan nenek

143

144

Adnjani (nenek Larung) ketika mengenang anak laki-lakinya yang dituduh terelibat PKI pada suatu hari ditangkap dan disiksa oleh aparat (TNI). Setahun kemudian, 1965, kau melihat seperti barisan yang sama, kali ini lebih besar jumlahnya menuju rumah kita. Kau tidak menyadari waktu tetapi aku mencatat tanggal itu: 21 November. Kau tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi aku menggores semua itu dalam urat-urat jantungku. Mereka datang mengam-bil anakku, tanpa mengetuk pintu. Sebab sebelum mereka menyentuh daunnya, aku telah berdiri di sana. Telah kudengar sebelumnya, bisik-bisik orang menuduhku menyimpan ular di lipatan stagen. Nenek itu leak, rangda dengan sad tatayi... Mereka membawa anakku ke banjar bersama yang lain, lalu memisahkan yang tentara dari yang sipil, dan menganiaya yang militer lebih kejam. Kulihat mereka menanggalkan seragamnya dan menggantung anakku di tangannya pada pohon asam, sehari semalam, setelah mencambuknya dengan rotan dan popor, menindih tungkainya dengan kaki-kaki meja. Mereka mengubah wajahnya, meregangkan persendiannya. Apa kesalahannya, tak ada lagi orang yang bertanya. Sebab ia dikenal semua tentara di kompleks kita, sebab ia datang dari rumah ke rumah mengurusi perdagangan beras subsidi. Maka ketika para perwira harus menyebut orang-orang dalam pasukan yang terlibat dalam kudeta 30 September, semua menyebut namanya...(Utami, 2001:68-69). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ayah Larung, seorang anggota TNI yang tinggal di Bali pada bulan November ditangkap oleh aparat Orde Baru karena dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terlibat dalam kudeta 30 September di Jakarta. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Sorharto menganggap bahwa peristiwa pembunuhan para jenderal di Jakarta 30 September 1965 didalangi oleh PKI. Oleh karena itu, partai tersebut dibekukan dan orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI harus dihukum. Penangkapan dan pembunuhan ayah Larung pada bulan November 1965 merupakan rangkaian dari upaya menumpas PKI karena dianggap sebagai dalam peristiwa G30S, yang mengarah

144

145

kepada kudeta terhadap pemerintahan saat itu. Keterlibatan PKI dan pasukan Cakrabirawa dalam G30S dikaitkan dengan isi Tajuk Rencana di Harian Rakyat, 2 Oktober 1965. Gerakan 30 September Bahwa tanggal 30 September tindakan-tindakan telah diambil untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dan Republik Indonesia dari sebuah Coup oleh apa yang disebut dengan Dewan Jendral. Sesuai pengumuman Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung dari Batalyon Cakrabiwara, tindakan diambil untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dan Republik Indonesia dari kup Dewan Jendral patriotik dan revolusioner. Apapun alasannya yang digunakan Dewan Jendral dalam upayanya pelaksanaan kudeta merupakan tindakan yang terkutuk dan tindakan kontra revolusi. Kami, rakyat dapat memahami sepenuhnya apa yang ditegaskan oleh Letnan Kolonel Untung dalam melaksanakan gerakan patriotiknya... (Luhulima, 2007:122). Dengan isi tajuk rencana tersebut, yang secara terangterangan mendukung G30S yang jelas-jelas sudah gagal, maka PKI dianggap mendalangi G30S. Isi tajuk rencana tersebutlah yang dijadikan bukti awal keterlibatan PKI dalam G30S (Luhulima, 2007:33). Selain itu, karena Letnan Kolonel Untung, sebagai Komandan Batalyon Cakrabirawa, memimpin gerakan tersebut. Oleh karena itu, keterlibatan Cakrabirawa tidak dapat dipungkiri. Hal ini sesuai dengan warta berita Radio Republik Indonesia (RRI) pada tanggal 1 Oktober 1965, pukul 07.15. Pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibu Kota Republik Indonesia, Jakarta telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan Darat yang dibantu oleh pasukan-pasukan dari angkatan bersenjata lainnya. Gerakan 30 September yang dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung Komandan Batalyon Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno ini ditujukan kepada jendral-jendral anggota apa yang dinamakan dirinya Dewan Jendral. Sejumlah jendral telah ditangkap dan alat lomunikasi yang penting-penting serta objek-objek vital lainnya sudah berada dalam kekuasaan Gerakan 30 September, sedangkan Presiden Soekarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September...(Luhulima, 2007:90).

145

146

Karena berita tersebut merupakan versi resmi pemerintah, yang kemudian kemudian dipertegas dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 tentang pembubaran PKI di seluruh Indonesia, maka anggapan bahwa PKI merupakan dalang dalam peristiwa G30S diyakini secabai kebenarannya secara umum (Luhulima, 2007:16; 23). Selain versi resmi pemerintah telah banyak versi lain mengenai peristiwa G30S. Dalam sejarah Indonesia peristiwa gerakan 30 September 1965 yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah tokoh yaitu (1) Jenderal TNI Ahmad yani, (2) Letjend TNI R. Suprapto, (3) Letjend TNI M.T. Haryono, (4) Letjend TNI S. Parman, (5) Mayjend TNI D.I.Panjaitan, (6) Mayjend TNI Sutoyo Siswomiharjo, (7) Ajun Inspektor Polisi Dua K.S. Tubun, (8) Brigjend Katamso D., (9) Kol. R. Sugiyono, (10) Ade Irma Suryani Nasition. Mengenai peristiwa tersebut terdapat sejumlah kontroversi tentang siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap terjadinya peristiwa tersebut. Buku-buku sejarah versi resmi pemerintah Orde Baru menyebutkan bahwa peristiwa tersebut didalangi oleh PKI, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), bahkan pangkalan udara Halim Perdana Kusuma dianggap sebagai markas G30S (Luhulima, 2007:5). Versi semacam itu juga dapat dibaca dalam Sejarah Indonesia Modern, Ricklefs (1991:427-428). Menurut Ricklefs (1991:426-427) tampaknya mustahil untuk mempercayai bahwa hanya ada satu dalang yang mengendalikan semua peristiwa itu, dan tafsiran-tafsiran yang berusaha mejelaskan kejadian-kejadian tersebut harus dipertimbangkan secara hati-hati. Menurutnya, situasinya pada saat itu adalah sebagai berikut. Pada tanggal 30 September malam itu satu batalyon pengawal istana yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung (sebelumnya dari Divisi Diponegoro), satu batalyon lagi dari Divisi Diponegoro, satu batalyon dari Divisi Brawijaya, dan orang-orang sipil dari Pemuda Rakyat PKI meninggalkan

146

147

pangkalan udara Halim. Mereka pergi untuk menculik Nasution, Yani, Parman, dan empat orang jenderal senior angkatan darat lainnya dari rumah-rumah mereka di Jakarta. Pemimpinpemimpin usaha kudeta tersebut termasuk Brigadir jenderal Supardjo dari Divisi Siliwangi dan kepala intelijen Divisi Diponegoro. Untung tampaknya hanya menjadi sebuah pion. Mereka mendapat dukungan dari Omar Dhani, yang telah memberikan pangkalan udara Halim sebagai markas besar mereka dan dia sendiri hadir di sana. Mereka juga menjalin hubungan dengan Biro Khusus PKI Sjam dan beberapa orang Politbiro PKI, setidak-tidaknya secara samar-samar mengetahui rencana-rencana mereka. Akan tetapi, hanya Aiditlah satusatunya pimpinan senior PKI yang hadir di Halim. Njoto dan Lukman sedang tidak berada di Jakarta, seperti halnya Subandriyo, Chaerul Saleh, dan Ali Sastroamidjojo... Anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat ikut ambil bagian dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut. Ketujuh mayat itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang sudah tidak dipakai lagi (Ricklefs, 1991:427). Peristiwa tersebut tetap menjadi misteri hingga saat ini. Berbagai interpretasi pun bermunculan mengenainya. Menurut Luhulima (2007:1), yang mencoba melihat peristiwa G30S dari perspektif yang berbeda dengan versi resmi pemerintah Orde Baru, ada tujuh versi tentang siapa dalang di balik peristiwa G30S tersebut, yaitu (1) Partai Komunis Indonesia (PKI), (2) sebuah klik di dalam Angkatan Darat sendiri, (3) Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA/Pemerintah Amerika Serikat), (4) rencana Inggris yang bertemu dengan rencana CIA, (5) Presiden Sorkarno, (6) Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto, (7) tidak ada dalang tunggal karena semua pihak yang terkait dalam peristiwa itu hanya beraksi sesuai dengan prekembangan yang terjadi dari waktu ke waktu. Gambaran mengenai apa sebenarnya yang terjadi menjelang peristiwa G30S dan bagaimana posisi PKI, Cakrabirawa, dan AURI dalam persitiwa tersebut mulai terungkap setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan kekuasaan Soeharto. Karena Angkatan Udara

147

148

Republik Indonesia (AURI), bahkan pangkalan udara Halim Perdana Kusuma dianggap sebagai markas G30S), maka pada tanggal 13 Oktober 1998 sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Laksda Udara (Purn) Sri Mulyono Herlambang mengadakan jumpa pers guna mengungkapkan niat mereka untuk meluruskan sejarah (Luhulima, 2007:33), yang disusul dengan penerbitan buku Menyingkap Kabut Halim 1965 (Katoppo, dkk., 1999). Pada intinya buku tersebut berisi penjelasan bahwa AURI secara institusi tidak terlibat dalam Gerakan G30S, meskipun tidak mengingkari adanya anggota AURI yang terlibat (Luhulima, 2007:35). Dari buku Menyingkap Kabut Halim 1965 itu diketahui bahwa Desa Lubang Buaya yang dijadikan markas pusat G30S itu terletak di luar wilayah PAU Halim Perdanakusuma. Desa tersebut berjarak sekitar satu limometer dari Lubang Buaya dropping zone, tempat latihan terjun payung yang terletak di dalam wilayah Halim Perdanakusuma. Oleh karena itu, penyebutan bahwa Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma merupakan markas pusat G30S adalah keliru (Luhulima, 2007:34). Selanjutnya, mengenai tuduhan ketelibatan PKI (yang diketuai oleh DN. Aidit), Omar Dani (Men/Pangau), dan Soekarno karena ketiganya pada malam 30 September 1965 berada di Halim Perdanakusuma dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965 dijelaskan sebagai berikut. Kehadiran Ketua PKI DN Aidit, Men/Pangau Laksdya Udara Omar, dan Presiden Soekarno di PAU Halim Perdanakusuma hanyalah suatu kebetulan belaka. Ketiganya berada di PAU Halim Perdanakusuma dengan alasan yang berbeda-beda. DN Aidit berada di kawasan PAU Halim Perdanakusuma karena dijemput di rumahnya dan disembunyikan oleh Mayor Udara Sujono. Sementara Omar Dani menginap di Markas Komando Operasi Angkatan Udata atas saran Panglima Koops AU Komodor Udara Leo Wattimena. Tanggal 30 September 1965 malam, setelah mendengar informasi dari Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udata Letkol (Pnb) Heru Atmodjo bahwa

148

149

perwira-perwira muda, terutama dari Angkatan Darat akan dijemput paksa para jenderal Angkatan Darat yang akan mengadakan kudeta terhadap Presiden Soekarno, Panglima Koops AU Komodor Udara Leo Wattimena menyarankan agar Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dani sebaiknya berada dan beristirahat di Markas Koops AU. Menurut Leo Wattimena, yang merasa paling bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan Men/Pangau, di Markas Koops AU keamanan Laksdya Udara Omar lebih terjamin, sedangkan Presiden Sorkarno atas keinginannya sendiri memutuskan untuk pergi ke PAU Halim Perdanakusuma karena menilai keadaan pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi sangat tidak menentu, Presiden Soekarno mengganggap yang terbaik bagi keamanan dirinya adalah berada di PAU Halim Perdanakusuma. Mengingat PAU Halim Perdanakusuma ada pesawat udara yang dapat membawanya setiap saat ke tempat lain, kalau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Penyebutan PAU Halim Perdanakusuma sebagai markas pusat G30S membuat Ketua PKI DN Aidit, Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dani, dan Presiden Soekarno di sana pada waktu yang bersamaan menjadi serba salah. DN Aidit diyakini terlibat dalam G30S, sayangnya ia tidak diberikan kesempatan untuk membela diri . di pengadilan. Ia ditangkap oleh tim yang dipimpin oleh Komandan Brigade Infanteri 4 Kostrad Kolonel Yasir Hadibroto di tempat persembunyiannya di Desa Sambeng, Solo Jawa Tengah, 22 . di pengadilan November 1965. Dari Desa sambeng ia dibawa ke Loji Gandrung. Di sana ia diminta membuat pernyataan, dan kemudian ia dibawa ke sebuah sumur kering di wilayah Boyolali dan ditembak mati di tempat itu. (Luhulima, 2007:36-37). Penangkapan dan pembunuhan Aidit tersebut terungkap dari wawancara Yasir Hadibroto yang dimuat di Kompas Minggu 5 Oktober 1980 yang mengemukakan bahwa setelah dibawa ke Loji Gandrung, Aidit diminta untuk menuliskan pengalamannya sebelum dan langkah yang akan dilakukannya seandainya ia tidak tertangkap. Namun, karena setelah ditunggu sekitar satu jam, Aidit diam saja, sambil merenung dan merokok,

maka

Kolonel

Yasir

berinisiatif

lain.

Mayor

Sugeng

diperintahkan untuk menuliskan apa yang diucapkan Aidit. Hal yang dituliskan oleh Mayor Sugeng adalah pengakuan bawa Aidit

149

150

adalah satu-satunya yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S/PKI yang didukung oleh para anggota PKI lain dan organisasi-organisasi massa di bawah PKI. Dia merencanakan untuk menghimpun kekuatan komunis di Jawa Tengah. Namun, pengakuan yang ditandatangani oleh Aidit tersebut diberikan di bawah todongan senjata. Selanjutnya di tengah perjalanan, Aidit ditembak mati oleh Yasir (Luhulima, 2007:38). Keputusan membunuh tersebut diambil oleh Yasir karena dia sebelumnya mendapatkan informasi dari Mayjen Soeharto bahwa orang-orang yang memberontak saat ini adalah anak- anak PKI Madiun dulu. Sekarang bereskan itu semua. DN Aidit ada di JawaTengah, bawa pasukanmu ke sana (Luhulima, 2007:39). Melalui suara nenek Larung (Adnjani), novel Larung meragukan keterlibatan orang-orang yang ditangkap, dibunuh, dan dihukum karena dianggap sebagai anggota PKI. Di samping itu, juga dipertanyakan keterlibatan PKI dalam peristiwa 30 September 1965. Keraguan tersebut tampak pada data berikut ini. Mereka memfitnahnya, kata ibumu. Tidak, kataku. Sebab hidup adalah pilihan semena. Suamimu, anakku itu, barangkali bukan komunis, partai komunis barangkali tidak kudeta, tetapi apa arti semua itu? Orang-orang harus menunjuk orang lain untuk menyelamatkan diri...(Utami, 2001:68-69). Setelah ayah Larung dianggap sebagai anggota PKI yang terlibat dalam peristiwa 30 September 1965, ibu Larung pun dituduh sebagai anggota Gerwani. Lalu aku mendengar, orangorang menyebut ibumu gerwani. Ibumu memakai beha hitam dengan lambang bintang merah di satu pucuknya, palu arit di pucuk yang lain, kata mereka. Ia mengumpulkan perempuanperempuan dan mengajar tari telanjang, dan mengirim wanitawanita untuk merayu para prajurit dengan pinggul mereka agar percaya pada komunisme, bukan pada segala Tuhan. Sembari bernyanyi genjer-genjer. Tetapi aku tahu ibumu dan istri Nyoman Pintar kerap berada di bangsal dan mengajari sesama istri tentara membikin ketupat dan janur dari daun nyiur. Mereka semua pendatang. Dan daun genjer hanyalah sayuran yang membuat tinjamu lengket panjang (Utami, 2001:70).

150

151

Dari kutipan tersebut tampak bahwa Ibu Larung memang sering berkumpul bersama-sama para perempuan pendatang (istri para prajurit) untuk mengajari membuat ketupat dan janur dari daun nyiur yang digunakan untuk perlengkapan upacara di Pura. Namun orang- orang mengatakan (memfitnah) bahwa kegiatan ibu Larung bersama ibu-ibu adalah mengajar tari telanjang dan mengirim wanita-wanita untuk merayu para prajurit dengan pinggul mereka agar percaya pada komunisme. Peristiwa Gerakan 30 September dalam novel Manjali dan Cakrabirawa digambarkan dalam cerita yang berhubungan dengan tokoh Musa Wanara, seorang prajurit TNI-ABRI yang bertemu dengan Yuda dalam latihan bersama panjat tebing (Utami, 2010:71-77). Musa Wanara adalah anak seorang anggota pasukan Cakrabirawa, pengawal Presiden Soekarno, yang dalam peristiwa gerakan 30 September 1965 dianggap ikut bertangung jawab terhadap pembunuhan para jenderal. “Musa,” panggilnya dengan nada bersahabat. “Kamu menyimpan lambang Cakrabirawa di dompet. Kamu tidak takut dianggap simpatisan PKI?” Seorang prajurit TNI-ABRI tidak mungkin seorang pemuja PKI sekaligus. Pemerintahan Jendral Soeharto bermula dari penumpasan partai komunis pada tahun 1965. Dalam bahasa Parang Jati: rezim militer itu berdiri di genangan darah lebih dari sejuta orang yang dituduh komunis. Bersama dengan itu segala unsur komunisme dilarang di negeri ini. Sampai hari ini istilah “bersih lingkungan” diperkenalkan... “Kamu tidak khawatir dompetmu ditemukan orang lain? Komandan, misalnya?” Ia memberi nada simpati. “Tidak,” jawab Musa lebih yakin. “Sebab saya anti komunis seratus empat puluh persen.” Ia tertawa. “Haha. Seratus itu angka penuh, empat puluh itu angka keramat. Jika saya bertemu dengan pengikut komunis, saya gebug dia! Saya tumpas! Kesetiaan saya pada NKRI!” Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Lalu kenapa kamu menyimpan lambang itu di dompet?”

151

152

Dengan kilat mata polos hewaninya Musa memberi jawab yang tak Yuda duga. “Karena Cakrabirawa adalah mantra sakti! Karena tak ada hubungan antara Cakrabirawa dengan komunisme! Tak ada urusannya Cakrabirawa dengan PKI!” Bagaimana mungkin? Yuda mengernyitkan dahi tanpa bersuara. Bagi Musa, “Cakrabirawa” adalah mantra. Nama yang sakti pada dirinya sendiri. Cakrabirawa bukan milik Untung atau siapa pun komandan dan anggota pengawal Presiden Soekarno, sekalipun nama resimen itu adalah Cakrabirawa (Utami, 2010:75). Dalam novel Manjali dan Cakrabirawa diceritakan bahwa Musa Wanara adalah anak dari pasangan Sarwengi, anggota pasukan Cakrabirawa dengan Murni, aktivis Gerwani (Utami, 2010:149). Pasca peristiwa G30S, ketika PKI, Gerwani, Cakrabirawa dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut, maka Sarwegi pun dibunuh, sementara Murni dipenjara di Plantungan dan melahirnya bayi laki-laki di penjara. Bayi tersebut dipelihara oleh Haji Samadiman, sahabat suaminya, dan diberi nama Musa Wanara (Utami, 2010:150). Cerita

tentang

asal-usul

tokoh

Musa

terungkap

setelah

perkenalan antara tokoh Parang Jati dan Marja dengan Murni, seorang ibu tua yang tinggal sendirian di hutan. Parang Jati dan Marja, bersama seorang arkeolog, Jacques terlibat dalam sebuah penelitian mengenai situs Candi Calwanarang di Jawa Timur. Di tengah jalan tokoh Marja dan Parang Jati berkenalan dengan Murni, yang menggungkapkan cerita tentang Gerwani. Dengan menggambarkan tokoh Musa Wanara, ayah dan ibunya sebagai anggota pasukan Cakrabirawa dan Gerwani yang dibunuh dan mendapatkan penyiksaan karena dianggap terlibat G30S, novel tersebut jelas mencoba membertanyakan keterlibatan mereka dalam peristiwa tersebut.

152

153

Tragedi 27 Juli 1996 di Jakarta: Penyerangan Kantor DPP Partai Demokrasi Pro Megawati oleh Massa Pendukung Suryadi Dalam

novel

Larung

ditemukan

peristiwa

sejarah

yang

menggambarkan penyerangan kantor DPP Partai Demokrasi Pro Megawati oleh massa pendukung Suryadi yang terjadi tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa tersebut disusul dengan kerusuhan yang mengakibatkan sejumlah bangunan instansi dan fasilitas umum di Jakarta dirusak dan dibakar massa. Selain dipaparkan oleh narator dalam novel Larung, peristiwa tersebut juga disampaikan oleh Yasmin kepada Saman melalui email. Sudah dua minggu aku meninggalkan kamu. Situasi politik di Jakarta semakin tegang. Telah satu bulan para pendukung Megawati bertahan di kantor PDI di jalan Diponegoro. Setiap hari ada orasi anti Orde Baru. Kini semua mendengar bahwa pemerintah akan memberi batas waktu. Mereka sedang menentukan tanggal untuk menyerbu. Dan aku berada di sekitar ketegangan ini. Aku merindukan kamu. (Email Yasmin untuk Saman, Utami,2001:154). Melalui emailnya kepada Saman, Yasmin mengabarkan situasi yang terjadi di Jakarta menjelang dan setelah peristiwa 27 Juli 1996. Di samping itu, narator juga menggambarkan bagaimana Larung yang tinggal di New York terus mengikuti berita politik di Jakarta melalui email dan kantor berita gelap karena pada saat itu banyak media massa yang dilarang terbit oleh pemerintah Orde Baru. .... pagi ini delapan puluh enam pesan masuk dalam kotak suratnya. Sebagian polemik di Apakabar, Berita dari Pijar, Siar dan beberapa berkala dari kantor berita gelap lain yang bertambah aktif semenjak pemerintah membredel majalah Tempo, Editor, dan Detik dua tahun lalu. Gila begitu banyak yang terjadi selama dua tahun! -ia mengeluh, merasa tertinggal, tapi juga mengeluh karena suasana Indonesia yang makin represif. Ia mulai memeriksa surat-surat.... (Utami, 2001:167).

153

154

Paparan tentang peristiwa 27 Juli 1996, yang bersumber dari Siaran Pers (disusun oleh Institut Informasi Independen, pukul 21.30, dalam Larung adalah sebagai berikut. Jakarta, 27 Juli 1996 PERISTIWA 27 JULI Siaran Pers (disusun oleh Institut Informasi Independen, pukul 21.30) Setelah lebih dari satu bulan para banteng pro Megawati bertahan di kantor DPP PDI jalan Diponegoro 58 dan menggelar mimbar bebas, pasukan rezim Orde Baru akhirnya menyerbu. Kromologi. 27 Juli, Sabtu pagi, sekitar pukul 6.00, sembilan truk serupa kendaraan sampah berwarna kuning berhenti di muka markas PDI dan menurunkan ratusan pemuda. Mereka mengenakan kaos merah bertuliskan Pendukung Kongres IV Medan --kongres yang menolak Megawati dan mengangkat Soerjadi sebagai ketua umum partai -dengan membawa batu serta pentung kayu sepanjang satu meter. Sebagian dari mereka berambut cepak dan berbadan tegap. Mereka langsung melempari kantor dan menyerang, sambil mencaci maki Megawati dan pendukungnya. Beberapa saksi mata mengatakan, Komandan Kodim Jakarta Pusat Letkol. Zul Effendi terlihat berada di sana dan ikut mengatur menit-menit awal penyerbuan. Sepuluh menit kemudian sekitar 500 personil pasukan anti huru hara berseragam lengkap telah tiba. Kapolres jakarta Pusat Letkol. Abu Bakar bersama mereka. Pasukan membagi diri menjadi dua kelumpok, dan menutup lokasi kejadian di ruas Megaria dan jalan Surabaya. Akibatnya pendukung Mega dari luar lokasi tak bisa memmberi bantuan. Di lokasi, penyerangan terhadap markas PDI terus berlangsung. Setelah lebih kurang sepuluh menit dua panser AD ditempatkan di bawah jembatan layang kereta api. Sekitar pukul 7.30 Letkol Abu Bakar berunding dengan Megawati melalui telepon agar pendukungnya mengosongkan kantor. Perundingan macet karena Kapolres tidak setuju jika Megawati datang ke lokasi. Sementara itu, pendukung Mega yang masih berada di dalam gedung menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Sekitar pukul 8.30 Dandim Jakpus Letkol. Zul Efendi kembali memerintahkan pasukan untuk menyerang. Saksi mata mengatakan, ia terlihat memberi semangat pada orang-orang berkaos merah untuk melempar, sementara polisi anti huru hara mamasok batu. Akhirnya mereka berhasil mendobrak pagar dan

154

155

mengobrak-abrik kantor PDI. Satgas pro Mega digiring ke truk aparat dan yang luka ditandu ke ambulan polisi. Dari sana tidak ada laporan ke mana mereka dibawa. Hingga siaran ini diturunkan belum ada konfirmasi bahwa RSCM maupunRS St. Carolus menerima korban. Kedua rumah sakit berada dalam radius satu kilometer dari tempat kejadian. Pukul 11.00-14.00 Berita tentang penyerbuan telah beredar ke perkampungan sekitar sejak pagi. Masa yang marah dan ingin menonton membangkak di sekitar Megaria. Para pendukung Mega mengadakan mimbar bebas dan mencoba berunding dengar aparat untuk diperbolehkan melihat apa yang terjadi di kantor mereka. Suasana memanas. Sekitar pukul 14.30 aparat membubarkan massa dengan pentung rotan. Massa melawan dengan lemparan batu. Terjadi perang antara massa dan petugas. Orang banyak yang marah membakar tiga bus di Salemba. Pukul 15.00-20.30 Terjadi bola salju massa ke arah timur. Di jalan salemba, Kramat, dan Proklamasi beberapa gedung milik pemerintahserta swasta dibakar. Masing-masing adalah Gedung Persit Chandra Kirana, Ditjen Perikanan, Bank Swansarindo, Wisma Honda, Show Room Toyota..(Utami, 2001:175). Data tersebut memberikan gambaran mengenai situasi yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 di Jakarta dan hari-hari setelahnya. Dengan mencantumkan sumber siaran pers dari Institut Informasi Independen novel tersebut ingin menunjukkan bahwa informasi yang disampaikan bersifat objektif dan tidak berada dalam tekanan pihak yang berkepentingan.

Peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), 15 Februari 1958 di Padang Peristiwa sejarah yang berhubungan dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI/Permesta) dalam novel Cerita Cinta Enrico digunakan untuk menggambarkan sejarah kelahiran tokoh utama (Enrico) yang diceritakan sebagai anak seorang

155

156

prajurit (Letda Irsad) yang dilahirkan bersamaan dengan waktu pemberontakan tersebut terjadi, 15 Februari 1958 di Padang. Peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berawal dari pembentukan Dewan Banteng di Sumatra Barat oleh Achmad Husein yang pada tanggal 10 Februari 1958 mengeluarkan ultimatum pada Pemerintah Pusat yang menyatakan bahwa Kabinet Djuanda harus mengundurkan diri dalam waktu 5 X 24 jam. Kabinet Djuanda dibentuk pada tanggal 9 April 1957 sebagai zaken kabinet dan bertugas selain harus menghadapi pergolakan di daerah, perjuangan untuk mengembalikan Irian Jaya ke dalam wilayah Indonesia, juga harus menghadapi keadaan ekonomi keuangan yang buruk, merosotnya jumlah devisa dan rendahnya angka-angka eksport, dengan lima program (panca karya) yang meliputi: (1) membentuk Dewan Nasional, (2) normalisasi keadaan republik, (3) memperlancar pelaksanaan pembatalan KMB, (4) perjuangan Irian Barat, dan (5) mempergiat pembangunan (Kartodirdjo dkk., 1975:98). Menerima ultimatum tersebut pemerintah bertindak tegas dengan memecat tidak hormat Achmad Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek yang dianggap sebagai pimpinan gerakan separatis. Selanjutnya, pada tanggal 15 Februari

1958,

Revolusiner

Achmad

Republik

Hussein Indonesia

memproklamirkan (PRRI)

dengan

Pemerintah Syafruddin

Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, yang disusul dengan berdirinya gerakan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Palu (Sulawesi Tengah) sampai Menado (Sulawesi Utara). Namun, kedua gerakan tersebut dihancurkan oleh pemerintah pusat melalui Operasi 17 Agustus 1958 (Kartodirdjo dkk., 1975: 99-100). Dalam novel Cerita Cinta Enrico diceritakan kelahiran tokoh Enrico tepat pada hari pemberontakan PRRI terjadi, seperti tampak pada kutipan berikut. Bentukku meramalkan bentuk revolusi bagi ayahku. Sebuah revolusi dengan kaki-kaki kurus. Ya, sebuah

156

157

pemberontakan yang lahir pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang adalah pemberontakan berkaki kurus. Saat dokter dan perawat telah meninggalkan mereka berdua, Irsad mengajak istrinya bicara mengenai hal itu. “Kamu sudah dengar? Revolusi sudah diumumkan.” Istrinya mengangguk lemah.....Esoknya aku dibawa masuk ke belantara Sumatra. Aku menjadi bayi gerilya. (Utami, 2012: 21-22) Seperti yang terjadi dalam sejarah Indonesia, pemberontakan PRRI akhirnya dapat digagalkan oleh pasukan Kolonel Ahmad Yani, yang merupakan gabungan operasi militer antara AD, AL, AU, yang dinamakan Operasi 17 Agustus (Kartadirdja dkk, 1975:99). Sekarang marilah kita bayangkan apa yang terjadi di pulau Jawa. Ketika Kolonel Ahmad Yani (yang kelak menjadi “Pahlawan Revolusi”) memimpin pasukan untuk menghancurkan pemberontakan PRRI dalam operasi yang dinamakan Operasi 17 Agustus, seluruh keluarga ayah dan ibuku geger (Utami, 2012:22) Ayah Enrico, Letda Irsad digambarkan sebagai anggota pasukan Achmad

Hussein.

Karena

gerakan

PRRI

dianggap

sebagai

pemberontak, maka Enrico yang baru saja dilahirkan harus mengikuti orang tuanya bergerilya di hutan dan dikejar-kejar oleh tim Operasi 17 Agustus. Letda Irsad berbaris bersama seluruh gerilyawan, yang pada hari itu tidak bisa lagi menyebut diri mereka pasukan revolusi. Mereka adalah pasukan pemberontak, seperti nama yang diberikan Jawa kepada mereka. Revolusi berkaki kurus itu telah sepenuhnya menjadi pemberontakan setengah hati. Irsad tetap mencoba berdiri dengan sikap tegap seutuhnya, dengan kehormatan penuh, meskipun hatinya hancur ketika perwira pasukan Yani melucuti tanda pangkatnya (Utami, 2012:27). Dalam novel Cerita Cinta Enrico peristiwa pemberontakan PRRI digunakan untuk menceritakan asal usul kelahiran tokoh Enrico. Yamin (2009:1) mengemukakan bahwa munculnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) adalah sebagai akumulasi dari kekecewaan

157

158

rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat di Jakarta. Kekecewaan yang diakibatkan oleh sentralisasi kekuasaan dan memunculkan kesenjangan pembangunan di segala bidang antara pusat dan daerah, pembangunan di daerah terutama di Sumatera Tengah. PRRI diproklamirkan oleh Ahmad Husein di Padang pada tanggal 15 Februari 1958 dan mendapat sambutan dan dukungan penuh dari Perjuangan Semesta (PERMESTA) di Sulawesi. Sejumlah tokoh nasional baik sipil maupun militer juga memberikan dukungan dan ikut bergabung dengan PRRI di Sumatera Barat, antara lain M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, M. Syafe’i, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Mauludin Simbolon dan Letnan Kolonel Ahmad Husein (Zen, 2001:274). Walaupun kemudian oleh pemerintah RI perjuangan PRRI dianggap sebagai pemberontakan yang berhasil ditumpas oleh pemerintah, namun kalau dipahami latar belakang timbulnya PRRI adalah karena kekecewaan terhadap sentralisasi kekuasaan dan pembangunan yang tidak merata. Oleh karena itu, dengan mengangkat kembali perstiwa tersebut dalam novel Cerita Cinta Enrico dapat dimaknai bahwa rakyat yang ada di daerah, dengan dipimpin oleh para pejuang yang ada di daerah pada dasarnya tidak akan tinggal diam dengan adanya ketidakadilan dalam melaksanakan pembangunan daerah.

Demonstrasi Mahasiswa ITB dan Penerbitan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 Menolak Pengangkatan Kembali Soeharto sebagai Presiden RI Selain peristiwa PRRI yang dihubungankan dengan asal usul kelahiran tokoh Enrico, dalam novel Cerita Cinta Enrico juga digambarkan peristiwa sejarah yang berhubungan dengan gerakan

158

159

mahasiswa Indonesia yang mengritisi pemerintah pada masa Orde Baru. Setelah lulus SMA di Padang, Enrico melanjutkan sekolahnya (kuliah) di Institut Teknologi bandung (ITB) pada tahun 1977. Pada 16 Januari 1978, Enrico bersama-sama dengan mahasiswa lainnya mengadakan demonstrasi untuk menolak pengangkatan kembali Soeharto sebagai presiden.

Pada pagi harinya, mahasiswa telah memasang kain merah besar bertuliskan “Dewan Mahasiswa ITB tak menginginkan Saudara Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden RI”. Spanduk menyala itu dibentangkan untuk menyambut Sidang Umum MRP 1978, yang sudah pasti akan memilih Jenderal Soeharto lagi. Kami tahu bendera itu akan segera diturunkan beberapa menit saja setelah dipasang. Tapi tidak apa, toh pernyataan itu akan menjadi berita. Media akan memuatnya dan seluruh Indonesia akan menjadi tahu bahwa tidak semua orang ingin dia menjadi pemimpin lagi. Seluruh Indonesia akan jadi tahu bahwa ada yang berani bersuara. Tapi kami tidak terlalu menduga bahwa pembalasannya akan seperti ini. Aku tiba di kampus ketika spanduk itu sudah direnggut. Mahasiswa mengadakan rapat dan dalam rapat itu ada yang nyampaikan berita bahwa kampus akan diduduki tentara. Bukan polisi, melainkan Angkatan Darat – yang paling berkuasa di antara angkatan lain.... Apapun kami memutuskan untuk mempertahankan kampus. Dengan cara berbaring di jalan di pintu masuk. Lewati dulu mayat kami sebelum kau kuasai ITB. Jika panser itu memaksa, mereka akan masuk dengan melindas mati mahasiswa. Kami akan jadi tameng hidup, bukan hanya bagi kampus ITB. Kampus itu kini adalah simbol akal sehat, lambang ketidaktundukan pada kekuasaan yang telah korup. Aku tak berpikir ulang. Tak ada satu pun di antara kami yang berpikir ulang. Sebab kami memperjuangkan cita-cita luhur. Aku terbaring di lapisan kedua. Di lapisan terluar barangkali adalah aktivis mahasiswa yang lebih senior. Yang lebih ke dalam adalah mahasiswa yang selama ini tidak menjadi aktivis kampus dan para mahasiswi. (Utami, 2012: 134)

159

160

Peristiwa yang diceritakan dalam novel tersebut dapat dilacak dalam catatan perjalanan aktivitas mahasiswa ITB (http://km.itb.ac.id/site/?p=102) sebagai berikut. 16 Januari 1978 Apel bersama 2000 mahasiswa ITB dipimpin Ketua Umum Heri Akhmadi menyatakan Tidak Mempercayai dan Tidak Menginginkan Soeharto Kembali Sebagai Presiden Republik Indonesia. Penerbitan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978. Pembuatan buku putih ini dimotori oleh Rizal Ramli, Ketua Dewan Mahasiswa. Penerbitan buku putih ini juga didukung beberapa intelektual kampus seperti Prof. Iskandar Alisjahbana (Rektor ITB) dan Prof. Slamet Iman Santoso (mantan Dekan Fakultas Psikologi UI). 21 Januari dan 9 Februari 1978 Kampus diserbu dua kali dan diduduki militer 6 bulan lamanya. Mahasiswa lama dikumpulkan di lapangan basket dan diusir, hanya mahasiswa angkatan ’78 yang boleh berkuliah. Terjadi penembakan gelap di rumah Rektor ITB Prof. Iskandar. Laksusda Jawa Barat memanggil Heri Akhmadi, Rizal Ramli, Indro Tjahjono, Al Hilal Hamdi, dan Ramles Manampang Silalahi untuk kemudian diadili dan dipenjara. Normalisasi Kehidupan Kampus diberlakukan, DM se-Indonesia dibubarkan, pemerintah mengajukan konsep SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) sebagai pengganti Dewan Mahasiswa, namun ditolak karena terlalu kuatnya inter- vensi pemerintah dan birokrasi kampus pada organisasi tersebut. 1979. Pembentukan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sebagai organ operasional kebijakan NKK disikapi dengan penolakan mahasiswa ITB. Akibatnya lembaga ini tidak pernah jelas eksistensinya. 1979-1982.Tekanan kuat dari Rektorat untuk membubarkan DM dengan surat ancaman DO untuk setiap Ketua Umum terpilih. Buku Biru diterbitkan sebagai lanjutan penerbitan Buku Putih. (http://km.itb.ac.id/site/?p=102). Dengan menggunakan perspektif new historicism, maka sejumlah peristiwa sejarah yang terdapat dalam novel-novel karya Ayu Utami tersebut

pada

dasarnya

hadir

untuk

mempertanyakan

kembali

kebenaran sejarah yang telah dicatat sebelumnya. New Historicism memahami setiap segi realitas tertuang dalam teks dan struktur sosial

160

161

yang ditentukan oleh “praktik diskursif” yang dominan, sehingga harus dipertanyakan kembali kebenarannya. Dari lima buah peristiwa sejarah yang digambarkan dalam keempat novel karya Ayu Utami tampak bahwa peristiwa-peristiwa tersebut dilakukan oleh kelompok (kaum) marginal. Mereka adalah kaum buruh yang melakukan demonstraksi dan pemogokan buruh di Medan, prajurit dan rakyat yang dituduh terlibat dalam gerakan 30 September, rakyat yang prodemokrasi yang menolak otoritarian pemerintah Orde Baru, angkatan bersenjata yang ada di daerah yang kecewa dengan sentralisasi pemerintah pusat dan ketidakmerataan pembangunan, dan mahasiswa (ITB) yang menolak pemimpin (presiden) yang otoriter dan korup). Dalam sejarah resmi versi pemerintah selama ini kelompokkelompok tersebut diberi label sebagai kaum pemberontak yang mengacaukan keteraturan dan keamanan negara. Oleh karena itu, keberadaannya harus dibasmi, dilarang eksistensinya. Para pelakunya harus ditangkap dan dihukum. Melalui novel-novel tersebut, peristiwaperistiwa tersebut diberi ruang dan suara untuk mengakui keberadaannya, bukan sebagai pihak yang melakukan pemberontakan untuk mengacau keteraturan dan kedamaian, tetapi sebagai pihak yang berjuang untuk mengakhiri otoritarian dan ketidakadilan. Dalam perspektif new historicism, maka sejumlah peristiwa sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel karya Ayu Utami tersebut

pada

dasarnya

hadir

untuk

mempertanyakan

kembali

kebenaran sejarah yang telah dicatat sebelumnya. Pemerintah Orde Baru dianggap telah melakukan tindakan represi yang berlebihan dan melanggar HAM dalam mengatasi demonstrasi dan pemogokan buruh di Medan, kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta, dan demonstrasi mahasiswa ITB, 1978 yang menolak pengangkatan kembali Soeharto sebagai presiden. Keterlibatan PKI dan Pasukan Cakrabirawa juga

161

162

dipertanyakan dalam peristiwa G30S, karena banyak pihak yang sebenarnya ikut berperan dalam peristiwa tersebut, terutama dari kalangan TNI. Dalam kasus pemberontakan PRRI, peristiwa tersebut dilihat sebagai bentuk protes menentang terhadap pemerintah pusat (Jakarta).

Simpulan Peristiwa sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel karya Ayu Utami adalah (a) di Medan 1 Maret sampai dengan 16 April 1994, (b) Gerakan 30 September 1965, (c) tragedi 27 Juli 1996 di Jakarta atau penyerangan kantor DPP Partai Demokrasi Pro Megawati oleh massa

pendukung

Suryadi,

(d)

pemberontakan

Pemerintahan

Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), 15 Februari 1958 di Padang, (e) demonstrasi Mahasiswa ITB dan penerbitan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 untuk menolak pengangkatan kembali Soeharto sebagai presiden RI. Peristiwa tersebut direpresentasikan dalam bagian yang integral dalam peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel. Artinya peristiwa sejarah yang berasal dari peristiwa (fact) nyata dikontekstualkan dalam fiksi yang ditulis pengarang. Dalam perspektif new historicism, maka sejumlah peristiwa sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel karya Ayu Utami tersebut

pada

dasarnya

hadir

untuk

mempertanyakan

kembali

kebenaran sejarah yang telah dicatat sebelumnya. Pemerintah Orde Baru dianggap telah melakukan tindakan represi yang berlebihan dan melanggar HAM dalam mengatasi demonstrasi dan pemogokan buruh di Medan, kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta, dan demonstrasi mahasiswa ITB, 1978 yang menolak pengangkatan kembali Soeharto sebagai presiden. Keterlibatan PKI dan Pasukan Cakrabirawa juga dipertanyakan dalam peristiwa G30S, karena banyak pihak yang sebenarnya ikut berperan dalam peristiwa tersebut, terutama dari

162

163

kalangan TNI. Dalam kasus pemberontakan PRRI, peristiwa tersebut dilihat sebagai bentuk protes menentang terhadap pemerintah pusat (Jakarta). Sikap mempertanyakan kebenaran sejarah tersebut sesuai dengan perspektif new historicism memahami setiap segi realitas tertuang dalam teks dan struktur sosial yang ditentukan oleh “praktik diskursif” yang dominan, sehingga harus dipertanyakan kembali kebenarannya. Daftar Pustaka Alkatiri, Zeffry. 2006. ”Tujuh Buku tentang Pulau Buru.” Makalah disajikan dalam Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, 13- 16 November 2006. Barry, Peter. 2010. Begening Theory, an Introductioan to Literary and Cultural Theory. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Harviyah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Banita, Baban, 2008. “Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami dalam Perspektif Feminis Radikal.” Bandung: Universitas Padjajaran. Beauvoir, Simone de. 2003. Second Sex: Fakta dan Mitos. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono. Surabaya: Pustaka Promothea. Budianta, Melani. 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar, New historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra,” dalam Susastra, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Jakarta: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia. Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. 1994. Handbook of Qualitaitive Research. Thousand Oaks, London, New Dehli: Sage Publications International Educational and Professional Publishers. hamline.edu/apakabar/basisdata/1994/05/05/0002, google.com 20 Juni 2012.

diunduh

melalui

http://www.kontras.org, diunduh melalui google.com 20 Juni 2012.

163

164

http://www.sejarahkita.comoj.com/jenny16.html), diunduh melalui google.com 20 Juni 2012. http://km.itb.ac.id/site/?p=102, diunduh melalui google.com 20 Juni 2012. Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kartodirdjo, Sarton, Marwati Djoned Poesponegoro, Nugroho Notosusant. 1995. Sejarah Nasional Indonesia. VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara wacana. Luhulima, James. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965. Melihat Peristiwa G30S dengan Perspektif Lain. Jakarta: Kompas. M. Yamin, M. 2009. Dewan Banteng Contra Neo Ningrat. Jakarta: LPPM Tan Malaka. Poesponegoro, Marwati Djoenet & Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka (edisi pemutakhiran). Ricklefs. H.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern, Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Setiawan, Hersri. 2004.Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera. Suara Pembaruan, Senin 2 Mei 1994. “Demonstrasi dan Pemogokan Buruh di Medan.” Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. . 2003. Larung. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. . 2010. Manjali dan Cakrabirawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. . 2012. Cerita Cinta Enrico. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

164

165

Zed, Mestika dan Hasril Chaniago, 2001. Perlawanan Seorang Pejuang Biografi Kolonel Ahmad Husein.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

165

166

Daftar Pustaka Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Term. New York: Harcourt, Brace World. Inc. Ananta Toer, Pramudya. 2000. Gadis Pantai. Jakarta: Hasta Mitra. Edisi Reformasi. Alkatiri, Zeffry. 2006. ”Tujuh Buku tentang Pulau Buru.” Makalah disajikan dalam Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, 13- 16 November 2006. Ajidarma, Sena Gumira. 2004. Kitab Omong Kosong. Yogjakarta: Bentang. Anderson, Benedict, 2006. Imagined Communities. Bandung: Mizan. Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Ayu, Djenar Maesa. 2006. Nayla. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Aziz, Sohaini Abdul. 2010. “Alam dalam Karya Shahnon Ahmad: dari pada Latar kepada Isu Alam Sekitar Pengarang Kreatif kepada Pencinta Alam Sekitar,” dalam Sastra dan Budaya Urban dalam kajian Lintas Media. Prosiding Konferensi Internasional Kesusastraan XXI Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI). Surabaya: Pusat Penerbitan dan percetakan Universitas Airlangga dan HISKI, hlm. 65-77. Banita, Baban, 2008. “Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami dalam Perspektif Feminis Radikal.” Bandung: Universitas Padjajaran. Barthes, Roland, 1977. Elemens of Semiology. New York: Hill & Wang. Beauvoir, Simone de. 2003. Second Sex: Fakta dan Mitos. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono. Surabaya: Pustaka Promothea. Budianta, Melani. 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar, New historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra,” dalam Susastra, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Jakarta: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia.

166

167

Bainar, Ed. 1998. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan. Yogyakarta: Pustaka Cidesindo. Barry, Pater.2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Budiman, Kris. 2000. Feminis Laki-laki dan Wacana Gender. Magelang: Indonesiatera. Brooks, Ann. 2003. Posfeminisme: Feminism, Cultural Theory, and Cultural Forms. London & New York: Taylor & Francis eLibrary. Damono, Sapardi Djoko.1979. Sosioogi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Darma, Budi. 1996. Ny. Talis. Jakarta: Grasindo. Dini, Nh. 2003. Pada Sebuah Kapal. Jakarta: Gramedia Pustala Utama. Cet. Ke-8. Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. 1994. Handbook of Qualitaitive Research. Thousand Oaks, London, New Dehli: Sage Publications International Educational and Professional Publishers. Departemen Agama RI. 2002. Al Quran dan Terjemahannya. Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Dzuhayatin, S. R. 1998. “Ideologi Pembebasan Perempuan: Perspektif Feminisme dan Islam,” dalam Hj. Bainar, ed. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan. Yogyakarta: Pustaka Cidesindo. Dreese, Donelle N. 2002. Ecocriticism: Creating Self and Place in Enviromental and American Indian Literature. New York: Peter Lang Publishing. Eagleton, Terry. 2000. Marxisme dan Kritik Sastra. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Roza Muliati dkk. Yogyakarta: Sumbu.

167

168

Easthope, Anthony.1991. Literary Into Cultural Studies. London: Routledge. El-Khalieqy, Abidah. 2000. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat. El-Khalieqy, Abidah.2004. Geni Jora. Yogyakarta: Mahatari. Fokkema, D.W. & Elrud Ibsch, 1978. Theories of Literarute in the Twentieth Century. London:C. Hurst & Company. Gandhi, Leela. 2007. Teori Pskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemono Barat. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah. Yogyakarta: Kalam. Goldmann, Lucien. 1977. Towards A Sociology of Literature. England: Basil Blackwell Publisher. Greenblatt, Stephen. 2005. The Greenblatt Rader (Blackwell Reader). London: Willwy-Blackwell. http://situs.mitrainti.org/gendervaw/referensi2.htm. “Gender & Kekerasan terhadap Perempuan” (Referensi). Diakses 13 Maret 2007. http:www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/07/08/0035.html. “Kekerasan dalam Rumah Tangga,” Indonesia-News. http://burukab.go.id/web3. Diunduh melalui google.com, 17 September 2014. http://www.tempo.co/read/news/2013/10/17/Bagaimana-Mata-KucingMelihat-Dunia. Diunduh melalui google.com, 17 Oktober 2013. hamline.edu/apakabar/basisdata/1994/05/05/0002, google.com 20 Juni 2012.

diunduh

melalui

http://www.kontras.org, diunduh melalui google.com 20 Juni 2012. http://www.sejarahkita.comoj.com/jenny16.html), diunduh melalui google.com 20 Juni 2012. http://km.itb.ac.id/site/?p=102, diunduh melalui google.com 20 Juni 2012.

168

169

Hasyim, Nur. 2009. “Gerakan laki-laki Properempuan: Transformasi Dua Sisi,” dalam Jurnal Perempuan: untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Nomor 64. Hlm. 53-76. Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminisme. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Mundi Rahayu. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Jurnal Perempuan Nomor 64, 2009, Saatnya Bicara Soal Laki-laki. Jakarta: Yayasan Yurnal Perempuan. Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kartodirdjo, Sarton, Marwati Djoned Poesponegoro, Nugroho Notosusant. 1995. Sejarah Nasional Indonesia. VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Klarer, 2004. An Introduction to Literary Studies London: Routledge Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara wacana.Kurniawan, Eka. 2006. Cantik Itu Luka. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kusujiarti, S. 1997. Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa,” dalam Irwan Abdullah, ed. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Puslit Kependudukan Universitas Gadjah Mada. LBH-APIK, Jakarta. 17 Juli 2006. “Sekilas tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU No.23 tahun 2004 atau UU PKDRT). Lewis, Reina and Sara Mills. 2003. Feminist Postcolonial Theory a Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press. Love, Glen A. 2003. Practical Ecocriticism, Literature, Biology, and the Environment. USA: University of Virginia Press.

169

170

Luhulima, James. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965. Melihat Peristiwa G30S dengan Perspektif Lain. Jakarta: Kompas. Luxemburg, Jan van, et.al. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia. Madsen, Deborah L. 2000. Feminist Theory and Literary Practice. London, Sterling, Virginia:Pluto Press. Madya, Suwarsih. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Alfabeta. Masdiana, Erlangga. “Kekerasan dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Ideologi.” Kompas 12 Juli 2004 M. Yamin, M. 2009. Dewan Banteng Contra Neo Ningrat. Jakarta: LPPM Tan Malaka. Moeis, Abdul. 1999. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. Ke-25. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian Sastra. Jakarta: Ghalia Indonesia Pamuntjak, Laksmi. 2012. Amba. Jakarta: Gramedia. Pilian, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Matahari.

Jakarta:

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori dan Metode Kritik Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Poesponegoro, Marwati Djoenet & Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka (edisi pemutakhiran). Purbani, Arti. 1979. Widyawati. Jakarta: Pustaka Jaya. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricklefs. H.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern, Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ruthven, K.K. 1986. Feminist Leterary Studies an Introduction. Cambridge, New York, Port Chester, Melbourne, Sydney: Cambridge University Press.

170

171

. Said, Edward W. 1978. Orientalisme. Bandung: Mizan. Sarup, Madan. 2003. Postrukturalisme dan Posmodernisme. Bandung: Jalasutra. Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. Setiawan, Hersri. 2004.Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera. Siara Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KTP), melalui Situs Resmi Departemen Komonikasi dan Informasi RI, “Angka Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat.” 13 Januari 2007. Segers, Rien T. 1978 Evaluasi Teks Sastra Diterjemahkan oleh Sumint A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita. Showalter, Elaine, editor. 1985. The New Feminist Criticism: Essays on Women, Literature, and Theory. New York: Pantheon. Sudjiman, Panuti dan Aart an Zoest. 1992. Serba Serbi Semiotika. Gramedia. Suara Pembaruan, Senin 2 Mei 1994. “Demonstrasi dan Pemogokan Buruh di Medan.” Subono, Nur Iman. 2001. “Laki-laki, Kekerasan Gender dan Filsafat,” dalam Feminisme Laki-laki: Solusi atau Persoalan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Swingewood , Alan & Diana T.Laurenson 1972. The Sociology of Literature. New York: Schoken Books. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Penyusun. 2002. kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tohari, Ahmat. 2005. Senyum Karyamin. Jakarta: Gramedia. Toer, Pramudya Ananta. 2004. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera.

171

172

Toer, Pramudya Ananta. 2009. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra. Tong,

Rosemary Putnam. 2006. Feminist Thought: A More Comprehentive Introduction. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Aquarini Prabasmara. Bandung: Jalasutra.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Utami, Ayu. 2003. Larung. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Utami, Ayu. 2010. Manjali dan Cakrabirawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Utami, Ayu. 2012. Cerita Cinta Enrico. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU No.23 tahun 2004 atau UU PKDRT). Jakarta: LBH-Apik. Wellek,

Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Valentina, R. 2009. “Pengalaman-pengalaman Aku yang Perempuan: Laki-laki Feminis?” dalam Jurnal Perempuan: untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Nomor 64. Hlm. 25-35. www.puskurbuk.net. Pendidikan Karakter. Diunduh melalui google.com 20 Mei 2012. Zed, Mestika dan Hasril Chaniago, 2001. Perlawanan Seorang Pejuang Biografi Kolonel Ahmad Husein.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

172

173

Biodata Penulis

Wiyatmi. Lahir di Purworejo 10 Mei 1965. Menempuh pendidikan dasar dan menengah di Purworejo. Sejak 1983 sampai sekarang menetap di Yogyakarta. Menyelesaikan studi S1, S2, dan S3 di program studi Sastra Indonesia (Ilmu Sastra) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadja Mada. Disertasinya telah diterbitkan menjadi buku dengan judul Menjadi Manusia Terdidik, Novel Indonesia, dan Feminisme (UNY Press, 2014). Selain itu juga telah menulis buku Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia (2013), Pengantar Kajian Sastra (2006), Sosiologi Sastra (2013), Psikologi Sastra (2012)¸ Kritik Sastra Indonesia: Feminisme, Ekokrisisme, dan New Historisisme (2015), Pertanyaan Srikandi (Kumpulan Puisi, 2012), dan Suara dari Balik kabut (Kumpulan Puisi, 2013).

173

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.