70705 - Al-Baqarah 103-104-105 Flipbook PDF

70705 - Al-Baqarah 103-104-105

51 downloads 120 Views

Recommend Stories


Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF
Get Instant Access to eBook Empresas Headhunters Chile PDF at Our Huge Library EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF ==> Download: EMPRESAS HEADHUNTERS CHIL

Story Transcript

‫َّ َ‬ ‫َ َ ْ َ َّ ُ ْ َ ُ‬ ‫آمنوا َواتق ْوا( ‪Al-Baqarah 102‬‬ ‫)ولو أنهم‬

‫‪57‬‬

َ َّ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ Al-Baqarah 103 (‫آمنوا َواتق ْوا‬ ‫)ولو أنهم‬

‫وَلَوْ أََّنه ُمْ أمَنُ وا وَاته قَوْا‬

1. Rasm dan Terjemah Per Kata

2. Terjemah

1

َ َّ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ Al-Baqarah 103 (‫آمنوا َواتق ْوا‬ ‫)ولو أنهم‬

Kemenag 2019 : Seandainya mereka benar-benar beriman dan bertakwa, pahala dari Allah pasti lebih baik, seandainya mereka mengetahui(-nya). Prof. Quraish Shihab : Dan sesungguhnya jika seandainya mereka beriman dan bertakwa (niscaya mereka mendapat ganjaran), pasti ganjaran dari sisi Allah (adalah) lebih baik, jika seandainya mereka mengetahui. Prof. HAMKA : Padahal jikalau sekiranya mereka beriman dan bertakwa, sesungguhnya pahala dari sisi Allah-lah yang lebih baik; jikalau adalah mereka mengetahui. 3. Tafsir Kalau ayat sebelumnya membahas dampak buruk dari sihir, maka ayat membahas kebalikannya yaitu manfaat yang didapat bila meninggalkan sihir, selain juga menjelaskan apa yang seharusnya

2

َ َّ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ Al-Baqarah 103 (‫آمنوا َواتق ْوا‬ ‫)ولو أنهم‬

mereka lakukan. Seandainya saja mereka beriman dan bertakwa pastilah mereka mendapat ganjaran yang besar dan mantap akan mereka peroleh dari sisi Allah. Dan itu adalah lebih baik dari segala sesuatu, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Namun sayang sekali mereka tidak mengetahui. Yang dimaksud tidak mengerti bukan sama sekali tidak tahu, tetapi tidak mengamalkan apa yang sebenarnya sudah mereka ketahui. Dan itu dianggap sama saja dengan seperti orang yang tidak tahu. 

‫ َولَ ْو َأَّنه ُ ْم أ َمنُوا َواتهقَ ْوا‬

Ayat ini diawali dengan lafazh wa-lau (ْ‫) َو َلو‬. Bila dirinci lebih dalam, terdiri dari huruf waw (‫ ) َْو‬yang fungsinya sebagai ‘athaf yaitu menyambungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Rupanya memang kedua ayat ini saling terkait satu sama lain. Sedangkan lafazh lau (ْ‫) َلو‬

3

َ َّ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ Al-Baqarah 103 (‫آمنوا َواتق ْوا‬ ‫)ولو أنهم‬

bermakna : “seandainya atau jikalau”. Adapun lafazh anna-hum (ْ‫ ) َأ َّن ُهم‬maknanya : “mereka”, maksudnya adalah orang-orang yahudi, yang pada ayat-ayat sebelumnya sudah diceritakan berbagai macam kisah jahatnya, seperti menyembah patung anak sapi (ayat 93), bermusuhan dengan Jibril dan para malaikat (ayat 97-98), mencampakkan kitabullah (ayat 101), mengakfirkan Nabi Sulaiman serta mempelajari sihir yang terlarang dan mengajarkannya kepada manusia (ayat 102). Lafazh aamanu (‫ )أ َم ُنوأ‬merupakan kata kerja yaitu fi’il madhi dan maknanya beriman, maksudnya bukan hanya beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya, namun juga beriman kepada kitab suci yaitu Taurat dan Al-Quran. Namun sayangnya kitab Taurat mereka campakkan dan Al-Quran pun mereka tolak. Sedangkan lafazh it-taqau (‫ ) َّأت َقوأ‬juga kata kerja atau fi’il madhi dan bentuk mashdarnya taqwa (‫) َتق َوى‬. Taqwa itu sendiri secara harfiyah

4

َ َّ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ Al-Baqarah 103 (‫آمنوا َواتق ْوا‬ ‫)ولو أنهم‬

punya banyak makna antara lain takut, menjaga diri atau memelihara diri dari sesuatu, sebagaimana disebutkan dalam ayat ke-24 surat AlBaqarah.

‫فَات ه ُقوا النه َار ال ه يِت َوقُو ُدهَا النه ُاس َوالْ يح َج َار ُة‬

Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. (QS. Al-Baqarah : 24)

Sebagian ulama mengatakan bahwa taqwa itu upaya untuk menghindari diri dari menyekutukan Allah. Al-Kalbi mengatakan orang yang bertaqwa itu adalah orang yang menjaga diri dari melakukan dosa besar. Yang lain mengatakan bahwa taqwa itu meninggalkan halhal yang mubah karena kehati-hatian, sebagaimana hadits riwayat AtTirmizy dan Ibnu Majah berikut :

‫ون يم َن املتهقني َح هَّت يَدَ َع َما َال بَأْ َس يب يه َح َذ ًرا يم هما يب يه بَأْس‬ َ ‫ال ي َ ْبلُ ُغ الْ َع ْبدُ َأ ْن يَ ُك‬

5

َ َّ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ Al-Baqarah 103 (‫آمنوا َواتق ْوا‬ ‫)ولو أنهم‬

Seorang hamba tidak sampai derajat muttaqin hingga dia meninggalkan hal-hal yang tidak mengapa karena takut akan tertimpa apa-apa. (HR. Tirmizy dan Ibnu Majah) Umumnya para ulama menyebutkan bahwa taqwa itu sebuah derajat yang tinggi dan harus diawali terlebih dahulu dengan iman. Dan memang dalam banyak ayat Al-Quran kita menemukan Allah SWT menyebut orang beriman lalu diikuti dengan menyebut orang yang bertaqwa. Salah satu contohnya seperti yang disebutkan dalam ayat berikut :

‫الس َما يء َو ْ َاْل ْر يض‬ ‫َولَ ْو َأ هن َأ ْه َل الْ ُق َر ٰى أ َمنُوا َواتهقَ ْوا لَ َفتَ ْحنَا عَلَْيْ ي ْم بَ َر ََك ٍت يم َن ه‬

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (QS. Al-Araf : 96)

Di dalam ayat lain Allah menyapa orang yang beriman untuk

6

َ َّ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ Al-Baqarah 103 (‫آمنوا َواتق ْوا‬ ‫)ولو أنهم‬

melakukan perintahnya, lalu diakhiri semoga menjadi orang yang bertaqwa. Contohnya perintah puasa sebagaimana tertuang dalam ayat ke-183 surat Al-Baraqah.

‫ََي َأُّيه َا ه ياَّل َين أ َمنُوا ُكتي َب عَلَ ْي ُ ُُك ي‬ ‫الص َيا ُم َ َمَك ُكتي َب عَ ََل ه ياَّل َين يم ْن قَ ْب يل ُ ُْك لَ َعله ُ ُْك تَته ُقو َن‬

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah : 183)

Buya HAMKA mengartikan orang bertaqwa sebagai orang yang terpelihara, maksudnya terpelihara dari hal-hal yang akan membuatnya terancam masuk ke dalam neraka. Maka wajar apabila ayat ini menggabungkan antara orang yang beriman dan bertaqwa, sebagai syarat agar bisa diterima amalnya di sisi Allah SWT. 

7



‫لَ َمثُوبَة يم ْن يع ْن يد ه ي‬ ‫اَّلل خ َْي‬

َ َّ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ Al-Baqarah 103 (‫آمنوا َواتق ْوا‬ ‫)ولو أنهم‬

Lafazh la-matsubah (ْ‫ ) َل َم ُث َوبة‬terdiri dari huruf lam (‫ )لَْـ‬yang berfungsi sebagai penekanan (taukid), sedangkan lafazh matsubah (ْ‫ )م ُث َوبة‬maknanya : “orang yang mendapatkan pahala”, asal katanya dari tsawab (‫) َث َوأب‬, yang makna dasarnya adalah : “kembali”, sebagaimana ungkapan : tsaba ilaika syai’a (‫ ْ)ْثابْإليكْألشيء‬yang artinya : “sesuatu kembali kepadamu”. Sehingga bisa dikatakan bahwa orang yang mendapatkan pahala dari Allah SWT pada hakikatnya dia menerima kembali amal-amal yang telah dia kerjakan sendiri. Lafazh min-indillah (‫ّْللا‬ ِْ َّ ‫ ) ِمن ِْعن ِد‬artinya dari sisi Allah dan lafazh khair (ْ‫) َخير‬ artinya secara umum adalah : kebaikan, dimana ada begitu banyak bentuk kebaikan dari sisi Allah SWT. Secara keseluruhan apabila kalimat ini digabung menjadi : “Sungguh mereka jadi orang yang mendapatkan pahala dari sisi Allah yaitu berupa kebaikan-kebaikan”.

8

َ َّ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ Al-Baqarah 103 (‫آمنوا َواتق ْوا‬ ‫)ولو أنهم‬

Dari ini jelaslah bahwa syarat diterimanya amal ibadah itu harus punya dasar beriman kepada Allah SWT, atau dalam kata lain, yang diterima amal dan ibadahnya hanyalah mereka yang telah memeluk Islam dan meninggalkan agama lamanya. Sedangkan amal orang kafir itu tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya berikut :

‫َس ٍاب يب يقي َع ٍة َ َْي َس ُب ُه ه‬ ‫الظ ْمأ ُن َم ًاء َح ه َّٰت ا َذا َج َاء ُه لَ ْم ََييدْ ُه َش ْيئًا‬ َ َ ‫َو ه ياَّل َين َك َف ُروا َأ ْ َْعالُهُ ْم َك‬ ِ Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana

di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. (QS. An-Nur : 39) 



‫ون‬ َ ‫لَ ْو ََكنُوا ي َ ْعلَ ُم‬

9

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

Lafazh lau (ْ‫ ) َلو‬bermakna : “seandainya” atau “jikalau”, dan lafazh ya’lamun (‫ ) َيع َل ُمون‬maknanya adalah mengetahui. Penggalan akhir ayat ini sama persis dengan penggalan akhir ayat sebelumnya, sama-sama menunjukkan penyesalan atas ketidak-tahuan mereka. Bedanya kalau di ayat sebelumnya yang disesalkan adalah ketidaktahuan mereka terkait dengan betapa meruginya jual-beli yang mereka pertukarkan antara sihir dengan jiwa mereka, maka di ayat ini yang disesalkan adalah bahwa betapa ruginya mereka ketika tidak menjadi orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. 

10

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

‫ا أَُّيه َا اَّله يينَ أمَنُ وا الَ تَ قُ ولُ وا‬

1. Rasm dan Terjemah Per Kata

2. Terjemah Kemenag 2019 : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan, “Ra‘ina.” Akan tetapi, katakanlah, “Unzhurna” dan dengarkanlah. Orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih.

11

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

Prof. Quraish Shihab : Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan, “raina!” (perhatikanlah keadaan atau kemampuan kami), tetapi katakanlah, “unzhurna!" (perhatikanlah keadaan atau kemampuan kami), dan “dengarlah!” Bagi orang-orang kafir azab yang sangat pedih. Prof. HAMKA : Wahai, orang-orang yang beriman! Janganlah kamu berkata raina, tetapi katakanlah unzhurna, dan dengarkanlah. Dan bagi orang-orang yang kafir adalah siksaan yang pedih. 3. Tafsir Setelah memaparkan sekian banyak kesalahan dan keburukan orang-orang Yahudi yang hidup pada masa turunnya Al-Quran, pada ayat ini arahnya sedikit bergeser untuk menasihati kaum muslimin. Meskipun demikian, sebenarnya nasihat ini masih ada kaitannya dengan perlakuan orang-orang Yahudi. Ketika itu, bila Nabi

12

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

Muhammad saw. menjelaskan sesuatu yang sulit, kaum muslimin berkata ra'ina (‫ ) َر ِأع َنا‬yang berarti "perhatikanlah keadaan atau kemampuan kami". Orang Yahudi juga mengenal kata yang serupa, tetapi bermakna makian dan cemoohan. Mereka mengucapkan kata serupa kepada Nabi Muhammad SAW namun dengan maksud mengejek dan memaki diri Nabi SAW. Menyikapi perilaku kelompok Yahudi itu, Allah SWT menurunkan ayat 104 yang menasihati kaum muslimin agar tidak lagi menggunakan kata-kata itu dan diberikan alternatif penggantinya dengan lafazh unzhurna (‫)أن ُظرَنا‬. Ayat ini menekankan pentingnya melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, termasuk perintah yang dikandung ayat ini. Siapa yang tidak melaksanakan, setelah dia mengetahui bahwa orang Yahudi menggunakannya untuk mengejek, ia dapat dinilai ikut memperolokolokkan Nabi. Dan pada saat itu, ia dinilai kafir, dan bagi, orang-orang

13

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

kafir siapa pun dia, Yahudi atau yang mengaku Islam tetapi tidak mengindahkan larangan ini, Allah menyediakan untuknya siksaan yang pedih. 

‫ ََي َأُّيه َا ه ياَّل َين أ َمنُوا‬

Lafazh ya ayyuha (‫ ) َياْ َأ ُّي َها‬merupakan sapaan atau nida’. Fungsinya untuk menegaskan siapa yang menjadi lawan bicara, maka sebelum disampaikan apa yang menjadi isi pembicaraan, lawan bicaranya itu disapa terlebih dahulu. Untuk mudahnya penerjemahan dalam Bahasa Indonesia sering dituliskan menjadi : “wahai”. َّ Sedangkan lafazh alladzina (‫ين‬ ْ َ ‫ )أل ِذ‬dimaknai menjadi ‘yang’ atau lengkapnya : “orang-orang yang”. Dan lafazh aamanu (‫ )أ َم ُنوأ‬merupakan kata kerja yang bentuknya lampau alias fi’il madhi yaitu dari asal (ْْ-ْْ‫أ َم َن‬ ْ‫) ُيؤ ِمن‬. Makna kata kerja itu adalah : “melakukan perbuatan iman”. Namun sudah jadi kebiasaan dalam penerjemahan disederhanakan menjadi :

14

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

“orang-orang yang beriman”. Padahal kalau “orang yang beriman”, secara baku dalam bahasa Arab itu disebut mu’min (‫ ) ُمؤ ِمن‬dan bukan alladzina amanu. Sapaan yang menjadi pembuka ayat ini menunjukkan siapa yang diajak bicara atau mukhathab oleh Allah SWT, yaitu orang-orang yang beriman, yang di masa turunnya ayat itu tidak lain adalah para shahabat nabi ridhwanullahi ‘alaihim. Menarik untuk dikalkulasi bahwa di seluruh ayat dan surat AlQuran, kita menemukan tidak kurang dari 89 kali Allah SWT menyapa dengan sapaan (‫ ) َياْ َأ ُّي َهاْ َّأل ِْذ َينْ أ َم ُنوأ‬dan ayat ke 104 surat Al-Baqarah ini adalah ayat pertama yang menggunakan sapaan seperti ini. Cukup menggelitik menjawab pertanyaan : kenapa di ayat ini Allah SWT mengawalinya dengan sapaan kepada orang-orang yang beriman? Jawabnya karena sepanjang surat Al-Baqarah dari awal, umumnya Allah SWT seperti sedang berbicara dengan Bani Israil.

15

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

Setidaknya ada tiga kali sapaan kepada mereka dalam lafazh (‫ْْ) َياْ َبنِ يْ ِإس َرئِيل‬ yaitu pada ayat ke-40 dan ke-47 dan akan muncul lagi nanti di ayat 122. Namun kali ini di ayat ke 104 ini Allah SWT bergeser mengajak bicara orang-orang beriman yaitu para shahabat nabi yang mulia. 

‫ َال تَ ُقولُوا َرا يعنَا‬



Lafazh la taquluu (‫ ) ََلْ َت ُق ُولوأ‬merupakan fi’il nahi yang mengandung larangan bahkan hukumnya bisa sampai kepada keharaman. Yang menjadi larangannya adalah berkata atau mengucapkan sesuatu. Secara sederhana bisa kita terjemahkan menjadi : “Jangan katakan”. Lafazh ra’ina (‫ ) َر ِأع َنا‬agak sulit untuk diterjemahkan, bahkan tiga rujukan utama terjemahan yang kita gunakan yaitu Kementerian Agama RI, Prof. Quraish Shihab dan Buya HAMKA sama sekali tidak menterjemahkannya dan hanya menuliskannya apa adanya yaitu ra’ina

16

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

saja. Dan inilah salah satu fakta terkait celah kelemahan penerjemahan Al-Quran, yaitu bila kita bertemu dengan ungkapan-ungkapan tertentu dalam Al-Quran yang khas dan memang tidak ada padanan katanya dalam bahasa lain, sehingga terpaksa tidak ada terjemahannya. Dan pada saat itu lagi-lagi terbukti bahwa kita butuh tafsir yang secara panjang lebar bisa menjelaskan dengan detail apa yang dikandung dalam lafazh ra’ina. Lafazh ra’ina ini adalah ungkapan dalam bahasa Arab yang biasa diucapkan oleh para shahabat mulia kepada Nabi Muhammad SAW. Kalau dibedah secara mendalam, kurang lebih maknanya sebagai berikut : “perhatikanlah kemampuan kami atau keadaan kami”. Lafazh ini dalam etika dan estetika orang Arab merupakan ungkapan penghormatan dan kecintaan para shahabat kepada

17

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

junjungan mereka Rasulullah SAW. Uniknya di masa itu dalam bahasa yang digunakan kalangan Yahudi Madinah, justru lafazh ini punya makna yang berbeda dan menjadi kebalikannya, bukan penghormatan tetapi justru sebagai cacian, makian dan hinaan buat orang yang diajak bicara. Fenomena ini jadi unik karena kalau yang mengucapkannya para shahabat, ra’ina ini jadi pujian, tapi kalau yang mengucapkannya orang-orang Yahudi, ra’ina ini jadi makian. Dan diceritakan bahwa orang-orang Yahudi Madinah sambil senyum-senyum sering mengucapkan lafazh ra’ina ini kepada Nabi Muhammad SAW. Seolah-olah mereka sedang memuji dan menyanjung Beliau SAW, padahal dalam bahasa mereka, justru pada hakikatnya mereka sedang memaki-maki Beliau SAW. Dan untuk itulah maka Allah SWT menurunkan ayat ini dengan tujuan selain membongkar rahasia mereka yang gemar memaki Nabi

18

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

SAW tanpa sepengatahuan para shahabat, juga sekaligus memberi solusi agar para shahabat mengganti ra’ina ini dengan lafazh lain yang kurang lebih maknanya sama, yaitu unzhurna. Dengan demikian, siapa saja yang masih menyapa Nabi SAW dengan ra’ina maka jelas-jelas dia bisa diposisikan sebagai orang yang jahat dan kasar karena menghina Nabi SAW. Hal itu karena bagi para shahabat sudah tidak ada lagi yang menggunakan lafazh ra’ina kepada Nabi SAW. 



َ‫ َوقُولُوا ان ُْظ ْرن‬

Lafazh wa quuluu (‫ ) َو ُق ُولوأ‬maknanya : “namun ucapkanlah”. Dan lafaz unzhurna (‫ )أن ُظرَنا‬secara harfiyah berarti : “lihatlah kami”. Namun tentu saja maksudnya bukan melihat dalam arti yang sesungguhnya. Lafazh unzhurna ini punya makna yang hampir sama dengan ra’ina yaitu :

19

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

“perhatikanlah kemampuan kami atau keadaan kami”. Bedanya tidak ada makna lain yang menyertainya sebagai bentuk penghinaan. Lafazh wasma’u (‫ ) َوأس َم ُعوأ‬bermakna : “dan dengarkanlah”. Maksudnya Allah SWT menekankan kepada para shahabat untuk memperhatikan masalah ini dengan menggunakan perintah : dengarkanlah. Dan ini seperti orang tua yang berpesan kepada anak-anaknya dengan tambahan : dengarkan baik-baik nasehat orang tua. Maksudnya bukan hanya mendengar tetapi memperhatikan dan agar tidak disepelekan atau dianggap enteng. Dan perintah untuk mengganti ra’ina (‫ ) َر ِأع َنا‬menjadi unzhurna (‫)أن ُظرَنا‬ bertujuan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yaitu jangan beri peluang kepada orang-orang Yahudi untuk menghina dan mencemooh sosok Nabi Muhammad SAW, meski hanya lewat beda makna bahasa. Dari pada nanti peluang itu dimanfaatkan oleh orang Yahudi, maka tutup saja sejak awal peluang itu biar aman dan tidak

20

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

menjadi potensi yang sewaktu-waktu bisa meletup. 

‫ين عَ َذاب َأ يلي‬ َ ‫ َو يللْ ََك يف ير‬ Lafazh wa-lil kafirina (‫ين‬ ْ َ ‫ ) َو ِلل َكا ِف ِر‬maknanya : “dan bagi orang-orang kafir”. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai orang kafir adalah Yahudi Madinah yang tidak mau menyatakan keislaman. Bahwa kemudian mereka menghina Nabi Muhammad SAW, itu adalah salah satu sikap buruk mereka. Namun kekafiran orang-orang Yahudi itu bukan semata-mata karena mereka menghina Nabi Muhammad SAW. Kekafiran mereka karena mereka sejak awal menolak untuk beriman kepada risalah yang dibawa Nabi SAW, yaitu Al-Quran serta menolak untuk menjadi pemeluk agama Islam. Ada orang yang menjadikan ayat ini sebagai dalil syar’i kafirnya orang yang menghina Nabi Muhammad SAW, bahkan meski pun yang

21

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)ا أيها ال ِذين‬

menghina itu beragama Islam. Namun yang lebih tepat bahwa ayat ini tidak menyatakan kekafiran orang-orang yang sudah memeluk Islam, tetapi tegas menyatakan kafirnya orang-orang Yahudi yang hidup di masa kenabian Muhammad SAW. Bahwa mereka menghina nabi SAW atau tidak menghina, mereka aslinya memang sudah kafir, yaitu selama mereka tidak menyatakan dua kalimat syahadat, berarti mereka memang kafir dan layak disebut sebagai kafir. Maka ketika Allah SWT menyebut : “dan bagi orang kafir” maksudnya tidak lain adalah Yahudi. Sedangkan lafazh adzabun alim (ْ‫ ) َع َذأبْ َأ ِليم‬artinya siksa yang pedih, yaitu ancaman bagi orang-orang Yahudi yang sudah kafir dan juga sekalian menghina Nabi Muhammad SAW, di akhirat nanti akan disiksa dengan siksaan yang menyakitkan.  Para ulama ahli ushul fiqih menjadikan ayat ini sebagai dasar dari salah satu sumber hukum Islam yang bernama : Saddu Adz-Dzari’ah (ْ ‫َس ُّد‬

22

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)يا أيها ال ِذين‬

‫) َّألذ ِري َعة‬.

Selain ayat ini juga juga ada ayat lain yang juga dijadikan dasar, yaitu ayat ke-108 dari surat Al-An’am yang intinya Allah SWT melarang kaum muslimin memaki berhala dan sesembahan orang kafir, karena khawatir membuka pintu bagi mereka untuk memaki tuhan kita.

‫ُون ي‬ ‫هللا عَدْ ًوا يبغ ْ يَي يع ْ ٍل‬ ‫ون يم ْن د ي‬ َ ‫هللا فَيَ ُس هبوا‬ َ ‫َو َال ت َ ُس هبوا ه ياَّل ْي َن يَدْ ُع‬

Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan."(QS. Al-An'aam : 108)

Sadd adz-dzari'ah sendiri secara makna bahasa terdiri dari sadd (‫) َس ُّْد‬ yang artinya menutup atau menghalangi, serta dzari’ah (‫ ) َّألذ ِري َعة‬yang artinya yang berarti jalan, sarana atau wasilah. Konon pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa

23

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)يا أيها ال ِذين‬

mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adzdzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain. Dalam hal ini meski hanya disebut “menghalangi jalan”, namun yang dimaksud adalah jalan untuk terjadinya sesuatu kejahatan atau keburukan. Maksudnya, hukum ini didasarkan bahwa prinsip menutup jalan yang bisa jadi perantara menuju perbuatan yang diharamkan. Meskipun jalan atau perantara tersebut pada awalnya tidak haram, namun karena ia mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan, ia menjadi haram juga. Ibnul Qayyim menyebutkan ada 99 contoh pengharaman dalam alKitab dan as-Sunnah dengan perantara adz-dzarai' kepada perbuatan

24

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)يا أيها ال ِذين‬

yang haram. Diantaranya haramnya khalwat atau berduaannya laki dan perempuan yang bukan mahram karena akan mengantarkan kepada perbuatan zina, larangan menjual senjata di masa fitnah, mewajibkan qishash untuk mencegah melakukan pembunuhan, dan lainnya Imam asy-Syathibi (wafat 790 H) menyebutkan bahwa kemunculannya tidak lepas dari perdebatan yang terjadi di antara ulama terdahulu, yaitu an antara yang memposisikannya sebagai menjadi dalil syariat yang baku, mapan, dan mandiri dalam mencetuskan suatu hukum melalui kesepakatan di antara mereka. Yang mendukung pendapat ini antara lain ulama kalangan mazhab Maliki, Hanbali, sebagian mazhab Syafi’i dan sebagian mazhab Hanafi. Di sisi lain sebagian ulama kalangan mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi agak keberatan kalau sadd dzari’ah diposisikan sebagai sumber

25

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)يا أيها ال ِذين‬

hukum Islam yang independen dan mandiri.13 Dilihat dari objek atau aspek akibat yang timbulkan, Ibnu alQayyim (2010: 496) mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu: a. Pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan. b. Pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (attahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan 13

Asy-Syathibi, al-Muwâfaqât lisy Syâthibi, [Maktabah Dârubnu ‘Affân: 1997], juz V, halaman 178

26

ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ Al-Baqarah 104 (‫آمنوا َل تقولوا‬ ‫)يا أيها ال ِذين‬

muncul unsur riba. c. Pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah)yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan(maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik. d. Pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim. 

27

‫ْ َْ ْ َ‬ ‫َ َ َ ُّ َّ َ َ َ ُ‬ ‫اب( ‪Al-Baqarah 105‬‬ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت ِ‬ ‫مَا يَوَده اَّله يينَ كَ فَرُوا مينْ أَهْ لي الْ كيتَابي‬

‫‪28‬‬

‫‪1. Rasm dan Terjemah Per Kata‬‬

‫‪2. Terjemah‬‬

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

Kemenag 2019 : Orang-orang kafir dari golongan Ahlulkitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan dari Tuhanmu. Akan tetapi, secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Allah pemilik karunia yang besar. Prof. Quraish Shihab : Orang-orang yang kafir dari Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik (penyembah berhala di Mekkah) tidak senang dengan diturunkannya sedikit kebaikan (pun) kepada kamu (kaum Muslim) dari Tuhan Pemelihara kamu, dan Allah menentukan rahmatNya kepada siapa yang dikehendaki-Nya (sesuai dengan kuasa dan kebijaksanaan-Nya) dan Allah Pemilik karunia yang agung. Prof. HAMKA : Tidaklah suka orang-orang kafir dari ahlul kitab itu dan tidak pula orang musyrikin bahwa akan diturunkan kepadamu barang sesuatu kebaikan daripada Tuhan kamu. Padahal Allah

29

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

mengkhususkan rahmat-Nya kepada barang siapa yang dikehendaki, dan Allah adalah mempunyai karunia yang luas. 3. Tafsir 

‫ َما ي َ َو هد ه ياَّل َين َك َف ُروا‬

Lafazh maa yawaddu (‫ ) َماْ َي َو ُّْد‬bermakna : tidak menginginkan, tidak senang atau tidak menyukai. Asalnya dari kata wudd (ْ‫ ) ُود‬yang bisa dikembangkan menjadi banyak bentuk, salah satunya mawaddah (‫) َم َو َّدة‬ yang bermakna kasih sayang, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat firman Allah SWT.

‫َو َج َع َل بَيْنَ ُ ُْك َم َو هد ًة َو َر ْ َْح ًة‬

Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. (QS. Ar-Rum : 21)

30

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

‫اَّلل َأ ْن َ َْي َع َل بَيْنَ ُ ُْك َوب َ ْ َني ه ياَّل َين عَا َديْ ُ ُْت يمْنْ ُ ْم َم َو هد ًة‬ ُ ‫َع ََس ه‬

Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. (QS. Al-Mumtahanah : 7)

Sedangkan yang dimaksud dengan alladzina kafaru (‫) َّأل ِذ َينْ َكـ َف ُروأ‬ maknanya adalah orang-orang kafir. Sehingga secara keseluruhan awal ayat ini bermakna bahwa orang-orang kafir tidak suka atau tidak senang. 



‫ْش يك َني‬ ‫ يم ْن َأه يْل الْ يكتَ ياب َو َال الْ ُم ْ ي‬

Lafazh min ahlil kitab (‫اب‬ ْ ِ ‫ ) ِمنْ َأه ِلْ أل ِكـ َت‬artinya : dari kalangan ahli kitab, maksudnya adalah orang-orang Yahudi dan juga Nasrani. Sebenarnya semua umat terdahulu yang turun kepada mereka nabi dan kitab suci

31

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

termasuk ke dalam sebutan ahli kitab. Namun yang masih tersisa secara nyata di masa kenabian Muhammad SAW hanya tinggal Yahudi dan Nasrani saja, sehingga sebutan ahli kitab akhirnya hanya identik dengan dua agama itu saja. Agama yang mengenal konsep kenabian dan turunnya kitab suci samawi juga dikenal sebagai agama samawi atau kadang disebut dengan agama Ibrahimiyah, sebab baik Yahudi, Nasrani dan Islam, sama-sama masih keturunan Nabi Ibrahim alaihissalam. Adapun lafazh al-musyrikin (‫ين‬ ْ َ ‫ )أل ُمش ِر ِك‬secara makna harfiyah artinya adalah orang-orang musyrik, yaitu orang yang menyekutukan Allah SWT dengan tuhan-tuhan yang lain. Namun yang dimaksud dalam ayat ini para pemeluk agama keberhalaan yang tidak mengenal sistem kenabian dan konsep kitab suci yang turun dari langit. Yang termasuk kafir jenis ini adalah penduduk Mekkah, Madinah, Thaif dan juga para penghuni gurun pasir di sepanjang jazirah Arabia.

32

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

Sedangkan dari kalangan non Arab, yang termasuk agama syirik dan banyak bersentuhan adalah orang-orang Persia yang memeluk agama Majusi yang menyembah api. Kadang jenis agama ini juga disebut dengan agama non-samawi. Ciri utamanya mereka tidak mengenal konsep dasar rukun iman yang enam, yaitu tidak mengenal konsep malaikat, nabi, kitab suci, atau dengan kata lain tidak mengenal turunnya risalah samawi. Dan satu lagi yang juga tidak mereka miliki adalah kepercayaan tentang konsep hari kiamat, hari akhir atau kehidupan akhirat pasca kehidupan duniawi. Dalam pandangan mereka, kehidupan dunia ini hanyalah sekali saja dan tidak ada yang namanya alam akhirat, alam barzakh, apalagi hisab, dan surga atau neraka. Kalau pun setelah mati mereka hidup lagi, paling jauh hanya sekedar konsep reingkarnasi saja. 

33

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬



‫ َأ ْن يُ َ هَن َل عَلَ ْي ُ ُْك يم ْن خ ْ ٍَي يم ْن َ يرب ُ ُْك‬

Lafazh an-yunazzala ‘alaikum (ْ‫ ) َأنْ ُي َن َّز َلْ َع َلي ُكم‬maknanya : “diturunkan kepada kamu”. Yang dimaksud dengan diturunkan itu bisa saja kenabian, atau kitab suci atau juga secara keseluruhan merupakan risalah samawiyah. Lafazh min (ْ‫ ) ِمن‬secara harfiyah artinya dari, sedangkan khairin (ْ‫) َخير‬ artinya kebaikan. Namun para ulama mengatakan bahwa ketika digabungkan antara min dengan khairin menjadi min-khairini (ْ‫) ِمنْ َخير‬ maka maknanya bergerser menjadi : “sedikitpun dari kebaikan”. Lafazh min (ْ‫ ) ِمن‬yang kedua barulah makna harfiyahnya yang digunakan, yaitu bermakna dari dan lafazh rabbikum (ْ‫ ) َر ِب ُكم‬maknanya tuhanmu yaitu maskudnya Allah SWT. Dalam hal ini yang menarik untuk dikaji adalah ketika Allah SWT menyebutkan orang kafir baik ahli kitab dan juga musyrikin sama-sama

34

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

tidak suka dengan risalah samawi yang Allah SWT turunkan. Kalau yang tidak suka itu pemeluk agama keberhalaan yang tidak mengenal konsep turunnya nabi dan kitab suci, mungkin masih bisa dipahami lantaran kejahilan mereka. Tetapi kalau Yahudi dan Nasrani ternyata ikut-ikutan tidak suka juga, tentu jadi unik. Sebab mereka seperti mengingkari hakikat agama mereka sendiri yang konsepnya sama dengan agama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu sama-sama punya konsep turunnya risalah samawi juga. Bahkan Nabi SAW telah menyatakan kebeneran para nabi dari orang-orang Yahudi dan bahwa mereka semua satu kesatuan. Begitu juga Al-Quran turun dengan format membenarkan adanya kitab-kitab suci yang turun kepada orang Yahudi dan Nasrani. Seharusnya mereka tidak perlu merasa tidak suka, toh apa yang turun kepada Nabi Muhammad SAW pada dasarnya juga turun kepada para nabi mereka juga.

35

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

Namun ternyata itulah fakta yang terjadi, alih-alih orang Yahudi dan Nasrani mendukung turunnya risalah kepada Nabi Muhammad SAW dan turunnya kitab suci sama Al-Quran, justru mereka malah bersekutu dengan para pemeluk agama syirik dan bahu membahu memerangi kaum muslimin. Dan kalau diusut-usut lebih jauh, sikap mereka itu disebabkan rasa dengki dan iri hati semata. Memang dengki dan iri hati ini penyakit kejiwaan yang amat berbahaya, resikonya kalau sudah dimakan rasa iri dan dengki, sampai bisa membuat orang jadi kafir dan siap masuk neraka. Dan kalau kita urutkan lagi ke belakang lebih jauh, rasa iri hati dan dengki itu pula yang dulu sempat menggerogoti Iblis. Dia merasa lebih baik dari Adam, tetapi kenapa Allah SWT malah memilih menjadikan Adam yang hanya terbuat dari tanah sebagai khalifah dan punya derajat yang tinggi. Perasaan iri hati dan dengki yang melanda

36

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

kejiwaan Iblis telah membuatnya terbakar api cemburu dan sakit hati akut, sehingga bahkan ketika harus mendapat resiko diusir dari surga sekalipun tetap diterimanya. Dan rasa iri hati dan dengki itu masih tetap menjadi motivasi utama Iblis untuk secara konsisten ingin menyeret anak keturunan Nabi Adam ke dalam neraka. Konsepnya berubah jadi mati satu mati semua. Iblis tidak rela kalau menjadi penghuni neraka sendirian, dia akan terus berupaya agar kita pun menemaninya di dalam neraka. 



‫اَّلل َ َْي َت هص يب َر ْ َْحتي يه َم ْن يَشَ ا ُء‬ ُ ‫ َو ه‬

Lafazh yakhtashshu (‫ص‬ ْ ُّ ‫) َيخ َت‬ artinya mengkhususkan atau menjadikannya khusus. Lafazh bi-rahmatihi (‫ ) ِب َرح َمتِ ِ ْه‬secara harfiyah maknanya : kasih sayang-Nya, yaitu kasih sayang dari Allah SWT. Namun Ali bin Abi Thalib memaknai kata rahmat disini sebagai risalah

37

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

kenabian bagi Muhammad SAW. Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan maksudnya adalah Al-Quran. Sedangkan lafazh man (ْ‫ ) َمن‬artinya orang dan lafazh yasya’ (‫) َي َش ُْاء‬ artinya : menghendaki. Maksudnya bahwa pada dasarnya merupakan hak preogratif Allah SWT sepenuhnya mau memilih siapa yang diberikan kebaikan berupa tugas kenabian yang paling akhir dan paling agung. Dalam hal ini Allah SWT tidak perlu harus menyebutkan alasan atau dasarnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang Yahudi protes kenapa kenabian yang terakhir dan paling mulia tidak diberikan kepada bangsa mereka, tetapi malah diberikan kepada bangsa lain yang sama sekali tidak pernah punya riwayat sebagai penerima risalah samawi. Padahal menurut mereka, selama ini keturunan Bani Israil yang dijadikan bangsa yang terpilih, mereka selama berabad-abad secara turun temurun mewarisi kemuliaan menjadi nabi yang memiliki

38

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

kitab suci. Logika pemikiran mereka kalau kita baca hari ini mungkin agak aneh, masak urusan kenabian harus mengikuti alur keturunan. Namun percayalah bahwa secara sunnatullah di masa lalu memang segala sesuatu amat sangat ditentukan berdasarkan keturunan. Dan hal itu terbukti bahwa sejak dari zaman Nabi Ibrahim alaihissalam, kenabian itu memang seperti diwariskan kepada anak keturunan. Nabi Ishak dan juga Nabi Ismail itu memang anak kandung Nabi Ibrahim, hanya saja yang kemudian menjadi nabi secara turun temurun bukan dari jalur nabi Ismail tetapi lewat jalur nabi Ishak. Nabi Ishak ‘alaihissalam kemudian mewariskan risalah kenabian kepada putera sendiri yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, lalu Beliau mewariskan lagi risalah kenabian kepada puteranya lagi yaitu Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Nabi Daud ‘alaihissalam merupakan salah satu nabi dari kalangan

39

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

Bani Israil. Beliau pun juga mewariskan kenabiannya kepada puteranya sendiri yaitu Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Di kurun waktu yang lain, kita juga membaca dalam Al-Quran kisah Nabi Zakaria yang sudah renta ketika dia berdoa agar dikaruniai keturunan. Dan niatnya sederhana, yaitu agar anak keturunannya bisa meneruskan risalah kenabian.

‫كهيعص يذ ْك ُر َر ْ َْح يت َرب َيك َع ْبدَ ُه َز َك ير هَي ا ْذ نَ د َٰى َرب ه ُه يندَ ًاء َخ يفيًّا قَا َل َر يب ا يّن َوه ََن الْ َع ْظ ُم‬ ِ ِ ‫يم يّن َو ْاش َت َع َل هالر ْأ ُس َشيْ ًبا َولَ ْم َأ ُك ْن بيدُ عَائي َك َر يب َش يقيًّا َوا يّن يخ ْف ُت الْ َم َو ي َاِل يم ْن َو َر ياِئ‬ ‫وب ۖ َوا ْج َع ْ ُْل َر يب‬ َ ‫َو ََكن يَت ا ْم َر َأ يِت عَا يق ًرا فَه َْب يِل يم ْن َ َُلن َْك َو يل ًّيا يَ يرثُ يّن َويَ ير ُث ِ يم ْن ألي ي َ ْع ُق‬ ‫َر يض ًّيا‬ Kaaf Haa Yaa ´Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala

40

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya´qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai. (QS Maryam : 1-6) Doa Nabi Zakaria memang tidak sepenuhnya Maka kalau kita selami sunnatullah di masa itu, kenabian itu bersifat turun temurun itu bukan hal yang aneh. 



‫اَّلل ُذو الْ َفضْ يل الْ َع يظ يي‬ ُ ‫ َو ه‬

41

َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ Al-Baqarah 105 (‫اب‬ ِ ‫)ما يود ال ِذين كفروا ِمن أه ِل ال ِكت‬

Lafazh dzu (‫ ) ُذ ْو‬umumnya dimaknai sebagai yang memikili, sedangkan lafazh al-fadhl (‫ )أل َفض ِ ْل‬secara harfiyah bermakna kelebihan. Adapun lafazh al-azhim (‫ )أل َع ِظ ِ ْيم‬bermakna sesuatu yang agung atau besar. 

42

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.