ALL TESIS.docx Flipbook PDF

ALL TESIS.docx

60 downloads 97 Views 23MB Size

Recommend Stories


Read Sana Tu Vista De Forma Natural all books free download in pdf format
Read Sana Tu Vista De Forma Natural all books free download in pdf format >-- Click Here to Download Sana Tu Vista De Forma Natural Now --< >-- Cli

Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

Story Transcript

BAB I PENDAHULUAN Pada bab pertama ini penulis akan menguraikan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, dan kegunaan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah bangsa yang plural yang ditandai oleh berbagai aspek seperti agama, budaya, suku bangsa, adat istiadat, dan bahasa. Selain itu, Indonesia dikenal juga sebagai negara kepulauan dan kesukuan yang sangat banyak. Setiap kepulauan ditandai oleh budaya dan bahasa yang menghasilkan ragam kreativitas, seperti kreativitas pada seni, budaya, dan norma-norma lainnya yang mengikat. Dalam wilayah Republik Indonesia sudah umum diketahui bahwa terdapat beratus-ratus bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang bersangkutan; misalnya bahasa Aceh, Lampung, Bugis, Batak, Jawa, Sunda, Madura, dan Bali. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa resmi menjangkau daerah yang lebih luas daripada bahasa daerah, dan meliputi seluruh wilayah negara kita. Akibatnya ialah tiap daerah disamping menggunakan bahasa Indonesia bagi situasi-situasi tertentu, tetap menggunakan bahasa daerah, bahasa ibunya dalam situasi-situasi lain. 1


Burhan (1980: 73) mengatakan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara telah menjalankan fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, bahasa ilmu dan kebudayaan nasional, dan sebagai bahasa pergaulan. Akan tetapi sebagai bahasa resmi, sebagai bahasa pengantar, sebagai bahasa ilmu dan kebudayaan, serta sebagai bahasa pergaulan nasional, masih banyak peranannya yang dilakukan oleh bahasa lain, baik bahasa-bahasa daerah maupun bahasa-bahasa asing. Oleh karena itu, untuk pembinaan bahasa Indonesia pemerintah menetapkan bahwa bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa dari mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Hal tersebut dikemukakan Burhan (Politik Bahasa Nasional, 1980: 73) bahwa bahasa-bahasa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu. Selain itu menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi bahwa dalam struktur kurikulum KTSP terdapat mata pelajaran Bahasa Indonesia pada semua tingkatan sekolah. Suku bangsa Indonesia termasuk ke dalam masyarakat yang bilingual atau dwibahasawan. Kenyataan tersebut hampir terjadi pada semua suku yang ada di Indonesia. Suku-suku bangsa di Indonesia, lazimnya menguasai dua 2


bahasa, yaitu bahasa ibu (daerah) sebagai bahasa pertama (B1) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (B2), bahkan untuk golongan terpelajar mengusai lebih dari dua bahasa. Akibat penguasaan dua atau lebih bahasa tersebut masyarakat menggunakan dua bahasa secara bergantian atau bilingual dalam berkomunikasi. Tanpa kita sadari, bahwa bilingual sering terjadi dalam kegiatan berbahasa yang kita lakukan setiap saat. Karena kita selalu berhadapan dengan tipe dan latar belakang sosial masyarakat yang berbeda-beda yang menjadikan kita turut aktif berinteraksi dengan menggunakan tingkatan-tingkatan bahasa yang harus disesuaikan dengan konteks yang kita hadapi. Penguasaan terhadap dua bahasa atau lebih akan memungkinkan terjadinya kontak bahasa sebab antara bahasa satu terhadap bahasa lain akan saling memengaruhi dalam kehidupan berbahasa. Terlebih-lebih jika kedua bahasa yang digunakan itu telah lama bertemu dan secara bergantian digunakan ketika berkomunikasi. Akibat kontak bahasa akan terjadi campur kode, alih kode, dan interferensi bahasa atau pencampuradukkan dua sistem bahasa ketika komunikasi berlangsung. Kontak bahasa merupakan salah satu faktor terjadinya campur kode, alih kode, dan interferensi bahasa dalam satu kesatuan tuturan, baik tuturan lisan maupun tulis. Istilah kontak bahasa tidak bisa dilepaskan dari istilah 3


kedwibahasaan sebab keduanya saling berkaitan bahkan Weinreich tidak membedakan istilah kontak bahasa dan kedwibahasaan secara jelas. Weinreich (Bahri, 2008: 15) menjelaskan bahwa kontak bahasa akan terjadi apabila penutur yang sama menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian ketika komunikasi berlangsung. Orang atau individu yang menggunakan dua bahasa atau lebih disebut dwibahasawan. Two or more languages will be said to be in contact it they are used alternatively by the same person. The language used by individuals are thus focus of the contact. The practice of alternatively using two languages will be called bilingualism and the persons involved, bilinguals (Weinreich, 1968: 1). Dua bahasa atau lebih yang akan dikatakan dalam komunikasi yang mereka gunakan secara alternatif dengan orang yang sama. Bahasa yang digunakan oleh individu merupakan hasil dari komunikasi yang fokus. Latihan secara alternatif menggunakan dua bahasa yang disebut bilingualism dan orangnya disebut, bilingual (Weinreich, 1968: 1). Perihal kontak bahasa yang diuraikan Weinreich berbeda dengan pendapat para pakar bahasa lainnya. Mackey (Rusyana, 1989: 4) membedakan istilah kontak bahasa dan kedwibahasaan. Menurut Mackey kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang, sedangkan kontak bahasa adalah pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lain dalam langue, dan menjadi milik tetap, bukan saja oleh dwibahasawan tetapi juga oleh 4


ekabahasawan. Pendapat Mackey tentang kontak bahasa dan kedwibahasaan memiliki kesamaan dengan pendapat Rusyana. Rusyana menjelaskan pengertian kedwibahasaan dan kontak bahasa sebagai sesuatu yang berbeda meskipun di antara keduanya saling berkaitan. Menurut pendapat Rusyana, kedwibahasaan adalah praktik penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang, sedangkan kontak bahasa adalah pengaruh bahasa yang satu terhadap bahasa yang lain yang menimbulkan perubahan dalam sistem bahasa dan menjadi milik tetap pembicara ekabahasawan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan dan kontak bahasa menurut Mackey dan Rusyana dapat dibedakan meskipun keduanya saling berkaitan. Kedwibahasaan berkaitan dengan penggunaan atau praktik penggunaan dua bahasa oleh penutur dalam berkomunikasi, sedangkan kontak bahasa berkaitan dengan pengaruh sistem bahasa yang satu terhadap sistem bahasa yang lain dan kontak bahasa biasanya terjadai pada diri penutur, baik ekabahasawan, dwibahasawan, maupun multibahasawan. Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kontak bahasa dan kedwibahasaan merupakan dua hal yang saling berkaitan sebab keduanya tidak bisa dipisahkan dalam peristiwa berbahasa. Pembahasan tentang kedwibahasaan tidak akan terlepas dari kontak bahasa. Penguasaan 5


terhadap dua bahasa atau lebih akan mengakibatkan saling pengaruh sehingga terjadilah kontak bahasa dalam peristiwa berbahasa atau bisa juga terjadi sebaliknya. Praktik pengunaan dua bahasa atau lebih bisa saja diawali oleh persinggungan dua bahasa atau lebih yang dilakukan dwibahasawan atau multibahasawan. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 120), salah satu tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu, agar peserta didik mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan dan tulis. Kegiatan menulis merupakan salah satu aspek keterampilan yang sangat penting bagi murid. Tarigan (2008: 1) menyatakan bahwa keterampilan menulis merupakan salah satu ciri orang yang terpelajar atau bangsa terpelajar. Keterampilan menulis dapat digunakan untuk menyatakan keinginan, menyatakan sikap, intelektual, emosional dan moral. Menurut Rahadi (2003) dalam Kusumaningsih (2013: 65) “Menulis adalah kegiatan menyampaikan sesuatu menggunakan bahasa tulisan dengan maksud dan pertimbangan tertentu untuk mencapai sesuatu yang dikehendaki”. Pentingnya keterampilan menulis dalam kegiatan pembelajaran sangat jelas terlihat dalam banyaknya kegiatan menulis yang dilakukan oleh peserta didik. Kegiatan menulis yang dilakukan seperti menulis karangan, pantun, sajak, 6


surat pribadi, surat tidak resmi, dan pengumuman. Menurut Pratiwi (2008: 6.38) keterampilan menulis karangan ada lima, yaitu 1) karangan deskripsi, 2) karangan narasi, 3) karangan eksposisi, 4) karangan argumentasi, 5) karangan persuasi. Karangan deskripsi, adalah karangan yang lebih menonjolkan aspek pelukisan sebuah benda sebagaimana adanya. Karangan narasi adalah suatu bentuk tulisan yang berusaha menciptakan, mengisahkan, merangkaikan tindak-tanduk, perbuatan manusia dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau yang berlangsung dalam suatu kesatuan waktu. Karangan eksposisi adalah karangan yang bertujuan untuk memaparkan. Selanjutnya yaitu karangan argumentasi, karangan argumentasi adalah karangan yang bertujuan untuk meyakinkan pembaca agar menerima suatu ajaran, sikap dan tingkah laku tertentu. Karangan persuasi, adalah karangan yang bertujuan membuat pembaca percaya, yakin dan terbujuk akan hal-hal yang dikomunikasikan. Tulisan berfungsi untuk menyampaikan informasi kepada pembacanya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dalam karangan adalah penggunaan bahasa oleh penutur. Jika penggunaan bahasa lisannya baik, bahasa tulisnya juga baik. Oleh karena itu bahasa yang digunakan oleh penutur seharusnya baik dan benar agar informasi dapat tersampaikan dengan baik. Di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Cukuh Balak, Tanggamus, 7


pembinaan bahasa Indonesia melalui pengajaran sudah diterapkan. SDN 2 Cukuh Balak yang berada di kabupaten Tanggamus, Lampung memiliki siswa-siswi yang menggunakan dua bahasa ketika berkomunikasi lisan, dua bahasa tersebut yaitu bahasa Lampung (BL) dan bahasa Indonesia (BI) sehingga para siswa tersebut tergolong dwibahasawan. Penggunaan dua bahasa dalam komunikasi sehari-hari, mengakibatkan kontak bahasa. Kontak bahasa tersebut menyebabkan terjadinya saling pengaruh bahasa. Saling pengaruh tersebut terjadi pada pemakaian bahasa Indonesia yang disisipi bahasa Lampung atau sebaliknya. BL sebagai bahasa daerah berkedudukan sebagai bahasa Ibu bagi masyarakat Cukuh Balak. Penggunaaan BL sebagai B1 menimbulkan kontak pengaruh dalam penggunaan B2. Dalam hal ini B2 adalah bahasa Indonesia (BI). Masuknya bahasa asing atau daerah dalam struktur bahasa Indonesia dianggap sebuah penyimpangan dalam berbahasa Indonesia. Penyimpangan yang terjadi melanggar kaidah gramatikal dalam bahasa Indonesia. Penyimpangan ini disebut sebagai interferensi dalam berbahasa. Menurut Nababan (1984) dalam Chaer (2010: 121), “Interferensi merupakan pengacauan”. Pengacauan ini terjadi akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu ke dalam bahasa kedua. Menurut Weinreich (1953) dalam Chaer (2010: 122) interferensi terjadi pada sistem 8


bahasa yang tampak, baik mengenai sistem fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Interferensi fonologi terjadi pada bunyi bahasa. Interferensi morfologi terjadi pada pembentukan kata dengan afiks. Interferensi sintaksis terjadi pada bidang kalimat, seperti pada serpihan kata, frase dan klausa. Menurut Suwito (1985) dalam Hermaji (2011: 84), “Interferensi dapat terjadi dalam semua tataran bahasa, mulai dari tata bunyi, tata kata, tata kalimat, dan tata makna”. Secara umum interferensi dapat dibedakan menjadi interferensi fonologis (bunyi bahasa), interferensi leksikal, interferensi gramatikal. Interferensi fonologi adalah pengaruh bunyi bahasa satu ke bunyi bahasa lain. Interferensi gramatikal adalah pengaruh tata bahasa yang satu ke dalam tata bahasa atau struktur bahasa yang lain. Interferensi gramatikal dibedakan atas interferensi morfologis dan interferensi sintaksis. Inetrferensi morfologi terjadi pada sistem pembentukan kata. Interferensi sintaksis terjadi pada struktur frase, klausa dan kalimat. Interferensi leksikal adalah pengaruh kata dari bahasa satu ke bahasa lain, Interferensi leksikal bisa disebut dengan intereferensi serpihan kata. (Hermaji, 2011: 85). Berdasarkan uraian di atas, dapat mengasumsikan bahwa siswa SD telah mempunyai kemampuan dua bahasa yakni bahasa ibu (daerah) dan bahasa 9


Indonesia. Asumsi ini diperoleh dari dua hal. Pertama, karena mereka telah menempuh pembelajaran bahasa Indonesia selama di sekolah dasar, rentang waktu yang cukup lama untuk menguasai bahasa Indonesia. Kedua, situasi pendukung pembelajaran nonformal yang terdapat di lingkungan masyarakat. Penguasaan bahasa dapat diperoleh dari lingkungan keluarga, berinteraksi dengan masyarakat, dan pengaruh media masa. Di lingkungan keluarga sudah barang tentu mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah, begitu pun di lingkungan masyarakat mereka berkomunikasi dengan bahasa daerah, tetapi tidak menutup kemungkinan menggunakan bahasa Indonesia. Pengaruh media masa, terutama televisi terhadap kemampuan berbahasa siswa cukup tinggi, mereka sehari-hari menyaksikan tayangan televisi. Hal ini barang tentu sangat berpengaruh dalam pemerolehan bahasa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak usia SD telah menjadi seorang bilingual atau dwibahasawan. Bagaimana atau apa ukurannya seseorang disebut bilingual? Kalau menyimak kepustakaan yang ada akan terlihat pengertian mengenai bilingual atau dwibahasawan ini. Dwibahasawan adalah orang yang dapat mendemontrasikan penguasaan penuh dua bahasa yang berbeda tanpa interferensi antara kedua proses linguistik itu (Cummins & Swain, 1986:7). Siswa SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus hampir seratus persen bahasa ibunya adalah bahasa Lampung. 10


Di lingkungan keluarga mereka menggunakan bahasa Lampung begitu pun di lingkungan masyarakat. Latar belakang ini tentu akan memengaruhi terhadap kemampuan pemerolehan bahasa sehingga sangat mungkin pada waktu mereka berbahasa terutama berbicara dan menulis menggunakan dua bahasa (bilingual) dan terjadi interferensi. Interferensi bukan hanya terjadi pada tuturan lisan dan tulisan siswa melainkan terjadi juga pada pendidik dan tenaga kependidikan. Guru pada saat memberikan materi kadang-kadang menggabungkan berbagai ragam bahasa dengan variasi yang ada. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih cepat menangkap dan mengerti terhadap materi pembelajaran yang disampaikan guru tersebut. Berarti interferensi bukanlah suatu kesengajaan yang dibuat oleh guru ketika menyampaikan materi pelajaran kepada siswa tetapi, yang diinginkan guru adalah ketercapaian tujuan pembelajaran. Bahasa yang digunakan oleh pemakai bahasa di dalam ruang lingkup formal, kadang-kadang kurang memperhatikan masalah ketatabahasaan karena kondisi masyarakat kita yang konservatif sehingga kebanggaan akan nilai etniknya dapat terlihat dalam berbahasa. Kondisi seperti ini bukan hanya terjadi dalam lingkungan komunitas kita melainkan, terjadi dalam di dalam dunia pendidikan. Tingkat interferensi yang terjadi pada siswa SD Negeri 2 11


Cukuh Balak, Tanggamus belum diketahui secara terukur. Mereka melakukan itu karena ketiadaan ungkapan, keterbatasan penguasaan kosakata, atau sebab-sebab lain. Interferensi pada siswa dapat terjadi pada tataran fonologis, morfologis, leksikal, dan sintaksis. Peneliti ingin melakukan penelitian tentang kedwibahasaan, terutama interferensi dalam bahasa tulis bahasa Indonesia dengan melakukan observasi dan wawancara terhadap siswa kelas V SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. Alasan pengambilan sumber data penelitian ini adalah siswa tersebut diasumsikan penguasaan kosakata bahasa Indonesia masih terbatas sehingga sangat besar peluang terdapat interferensi terhadap bahasa Indonesia dalam bahasa tulisnya. Terdapat beberapa penelitian mengenai interferensi bahasa. Penelitian-penelitian tersebut menjadi salah satu dasar peneliti melaksanakan penelitian. Sepuluh penelitian yang dimaksud, yaitu: (1) An Analysis of Grammatical Errors in Writing Made by Turkish Leraners of English as a Foreign Language, oleh Abushihab (2014). (2) Interferensi Fonologi, Morfologi, dan Leksikal Dalam Komunikasi Formal Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga oleh Darini. S (2011). (3) Interferensi Bahasa Indonesia ke dalam Pemakaian Bahasa Inggris Wacana Tulis Siswa Di SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo oleh 12


Mustikaswati (2010). (4) Interferensi Morfologi Bahasa Jawa Terhadap Bahasa Indonesia Tulis Murid kelas VI Sekolah Dasar di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Hastono (2013). (5) Interferensi Morfologi dan Sintaksis Bahasa Jawa Dialek Solo dalam Penggunaan Bahasa Indonesia Tulis Murid kelas V Sekolah dasar Surakarta oleh Hidayatullah (2009). (6) An Analysis of English Speeling Used By. Arabic Speakers At Undergraduated Level oleh Baloch (2013). (7) Interferensi Bahasa Jawa Dialek Tegal terhadap Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Penyampaian Materi Pelajaran di SMP Negeri 17 Kota Tegal Tahun 2008/2009 oleh Kusrianto (2009). (8) Interferensi bahasa betawi pada Karangan Narasi Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Miftahul Falah Cipulir – Kebayoran Lama Jakarta Selatan oleh Fikrullah (2011). (9) Interferensi Morfologi Ragam Ngoko ke Dalam Ragam Krama Pada Teks Pidato Berbahasa Jawa Kelas IX SMP Negeri 2 Patebon Kendal oleh Wahyudi (2011). (10) Kemampuan Berbahasa Indonesia Lisan Bagi Siswa Dwibahasawan Pada Siswa Kelas V SD Negeri 02 Adisara Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas oleh Anugraheni (2011). 13


Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilaksanakan dapat disimpulkan, penelitian mengenai interferensi dalam berbagai bidang bahasa sudah banyak dilakukan oleh para peneliti di Indonesia maupun di negara lain. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai interferensi. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjudul “Interferensi Dalam Bahasa Tulis Bahasa Indonesia Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 2 Cukuh Balak, Tanggamus”. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat lepas dari kegiatan berbahasa. Bahasa adalah alat untuk kita berkomunikasi. Bahasa tidak hanya dipakai oleh masyarakat ahli bahasa saja, akan tetapi dipakai oleh semua lapisan masyarakat dalam bidang apa pun. Menurut Kridalaksana dan Djoko Kentjono, "Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri." Di dalam Bab XV pasal 36 UUD 1945, pada bab penjelasan dinyatakan sebagai berikut: Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa bahasa daerah yang bermacam-macam itu akan tetap dipelihara dan dipakai oleh rakyatnya sampai sekarang. 14


Bahasa merupakan refleksi tata kehidupan masyarakat yang memakainya. Oleh karena itu, bahasa daerah pun merupakan refleksi tata kehidupan masyarakat pemakai bahasa daerah yang bersangkutan. Bahasa Lampung merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia juga merupakan refleksi dari tata kehidupan masyarakat Lampung. Bahasa Lampung adalah salah satu bahasa daerah yang hidup dan dipakai oleh penduduk asli Lampung sebagai alat komunikasi antaranggotanya. Apabila sebuah keluarga semuanya adalah penutur bahasa Lampung, maka bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi antarkeluarga adalah bahasa Lampung. Walaupun demikian, ada juga kecenderungan menggunakan bahasa Indonesia pada waktu orang tua berbicara kepada anaknya. Jika berbicara dengan orang Lampung yang berkunjung ke rumah mereka, bahasa yang digunakan adalah bahasa Lampung, bukan bahasa lain. Akan tetap jika tamu itu bukan orang Lampung, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia atau bahasa tamu itu sendiri (kalau tuan rumah dapat berbahasa tamunya). Pemakaian bahasa Lampung juga tampak pada pertemuan keluarga di rumah untuk membicarakan hal-hal seperti perkawinan, pengangkatan penghulu, atau upacara-upacara adat. Pemakaian bahasa Lampung atau bahasa Indonesia seperti dikemukakan di atas tampaknya terbatas pada pembicaraan dalam suasana tidak resmi. Apabila pembicaraan itu berlangsung dalam suasana resmi, misalnya mengenai urusan dinas, bahasa 15


yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan digunakan dalam proses belajar mengajar. Akan tetapi, terkadang tampak pemakaian bahasa Lampung dalam pembicaraan siswa dengan siswa, bahkan guru pun berbicara bahasa Lampung untuk mengganti kata-kata bahasa Indonesia yang belum diketahui siswa. Bercampumya penggunaan kedua bahasa tersebut terjadi baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Menurut Lenneberg, usia 2 sampai 12 tahun termasuk usia masa kritis berbahasa. Artinya, dalam proses pemerolehan bahasa, anak akan berbahasa sesuai dengan lingkungan yang dimasukinya. Dalam hal ini, siswa kelas V SD Negeri 2 Cukuh Balak, Tanggamus, akan mengalami proses berbahasa sesuai dengan lingkungan yang dimasukinya. Jadi, dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, siswa yang berbahasa pertama bahasa Indonesia masih dapat terjadi kesalahan, karena kurang menguasai kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Apalagi bagi siswa yang masih belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, ada kemungkinan akan muncul kesalahan lebih banyak. Disamping kesalahan karena kurang menguasai kaidah-kaidah linguistik, akan muncul pula kesalahan akibat pengaruh bahasa pertama yang dikuasai. Dalam bidang linguistik, kesalahan-kesalahan berbahasa dalam penelitian ini 16


dibedakan berdasarkan tiga tataran, yaitu: (I) ejaan (bagian dari fonologi, khususnya bahasa tulis), (2) morfologi, dan (3) sintaksis. Analisis kesalahan merupakan sebuah pendekatan dalam pengajaran bahasa. Biasanya pendekatan ini diterapkan pada anak yang sedang dalam taraf belajar bahasa kedua (bahasa ajaran). Pada prinsipnya, cara kerja pendekatan ini adalah mencari dan mengklasifikasikan jenis kesalahan berdasarkan tataran kebahasaan dan berusaha untuk menemukan sebabsebab kesalahan, serta berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan berbahasa. Oleh karena itulah, perlu diteliti jenis kesalahan, sebab-sebab terjadinya kesalahan, pada bahasa tulis siswa SD kelas V yang berbahasa pertama bahasa Lampung di Cukuh Balak, Tanggamus, sehingga dapat diperbaiki kesalahan berbahasa yang dilakukan siswa. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dikemukakan beberapa masalah, sebagai berikut: (1) Sebagian besar bahasa daerah yang ada di negara kita mempengaruhi kemampuan berbahasa tulis siswa yang sedang belajar bahasa Indonesia. (2) Pergaulan siswa dengan lingkungannya mempengaruhi kemampuan berbahasa siswa. 17


(3) Pengajaran bahasa Indonesia di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. (4) Kemampuan siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus dalam menggunakan bahasa Indonesia. (5) Terdapat pengaruh bahasa ibu terhadap bahasa tulis bahasa Indonesia siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. (6) Jenis kesalahan berbahasa yang sering dilakukan siswa SD kelas V yang berbahasa pertama bahasa Lampung di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. (7) Metode yang digunakan oleh guru mempengaruhi kemampuan berbahasa tulis siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. (8) Pada tataran bahasa mana siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus sering membuat kesalahan. (9) Kemampuan mengarang siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. (10) Penyebab terjadinya kesalahan berbahasa tulis siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. 1.3 Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang ada, penulis membatasi masalah pada: 18


(1) Jenis kesalahan berbahasa siswa yang sering dilakukan siswa SD kelas V yang berbahasa pertama bahasa Lampung di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. (2) Penyebab terjadinya kesalahan berbahasa tulis siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. Kesalahan berbahasa tulis siswa pada tataran kebahasaan fonologi dan morfologi. 1.4 Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Jenis kesalahan berbahasa apakah yang sering dilakukan siswa dalam bahasa tulis siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus? (2) Apakah yang menyebabkan teıjadinya kesalahan berbahasa tulis siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus? (3) Pada tataran kebahasaan manakah siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus sering membuat kesalahan? 1.5 Kegunaan Penelitian Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan guru bahasa Indonesia didalam merencanakan pengajaran bahasa Indonesia, dengan harapan dapat meningkatkan mutu pengajaran bahasa Indonesia dan dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa dengan bahasa yang baik dan 19


benar, khususnya di daerah yang bilingual seperti halnya di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. Penelitian ini diharapkan dapat pula memberikan gambaran kepada guru bahasa Indonesia mengenai hal-hal yang menyebabkan terjadinya kesalahan pada bahasa tulis siswa dan dapat mengetahui jenis kesalahan bahasa tulis siswa SD kelas V di SDN 2 Cukuh Balak, Tanggamus. Dengan demikian, guna dapat mencegah, mengurangi, dan memperbaiki kesalahan bahasa tulis siswa yang berbahasa pertama bahasa daerah. Penelitian ini dapat dijadikan sumbangan dalam penelitian bahasa Indonesia dan bahasa daerah pada khususnya, dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta dapat menjadi bahan acuan guru bahasa Indonesia dalam mengajarkan keterampilan berbahasa kepada siswa, khususnya ejaan dan morfologi. Bagi pengembangan bahasa daerah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk membuat analisis kontrastif antara bahasa Lampung dan bahasa Indonesia. 20


21


BAB II LANDASAN TEORI DAN LANDASAN BERPIKIR 2.1 Pengantar Masyarakat Indonesia termasuk ke dalam masyarakat yang majemuk sebab masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, sosial budaya, bahasa, dan adat-istiadat dengan segala karakteristiknya. Jika dilihat dari bahasanya, wilayah Indonesia memiliki beratus-ratus bahasa yang hidup dan digunakan oleh berbagai suku bangsa untuk tujuan berkomunikasi. Menurut Amran Halim (1984: 67), dalam wilayah Republik Indonesia terdapat beratus-ratus bahasa yang merupakan bahasa ibu bagi penduduk Indonesia, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Gorontalo, bahasa Madura, dan lain-lain. Bahasa tersebut digunakan oleh suku-suku bangsa yang berada di wilayah Republik Indonesia sebagai alat komunikasi intradaerah. Karena itu, bahasa-bahasa daerah tetap dipelihara dan dijaga sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia, seperti dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, pasal 36, bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakaiannya dihargai dan dipelihara oleh negara oleh karena bahasa-bahasa itu adalah bagian daripada kebudayaan Indonesia yang hidup (Halim, 1984: 21). Kemajuan berbahasa yang digunakan oleh 22


masyarakat Indonesia akan berakibat kepada penguasaan lebih dari satu bahasa dalam berkomunikasi meskipun masing-masing bahasa memiliki peran sendiri-sendiri. Masyarakat Indonesia minimal menguasai dua bahasa, yaitu bahasa ibu atau bahasa daerah sebagai lambang kebanggaan daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Bahkan di kalangan terpelajar banyak yang menguasai lebih dari dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing meskipun tingkat penguasaan bahasanya berbeda-beda. Karena itu, eksistensi masyakat Indonesia ditinjau dari kemampuan bahasanya termasuk ke dalam masyarakat yang bilingual atau dwibahasawan. Penguasaan dua bahasa atau lebih akan mengakibatkan terjadinya kontak antarbahasa sehingga transfer dari bahasa satu ke bahasa lainnya akan terjadi. Transfer bahasa bisa bersifat positif dan negatif. Transfer bahasa yang bersifat positif disebut integrasi, sedangkan transfer yang bersifat negatif disebut interferensi. lntegrasi menguntungkan sistem bahasa penerima sebab terjadi penyerapan unsur bahasa setelah terjadi adaptasi sistem bahasa, sedangkan interferensi merugikan sistem bahasa penerima sebab terjadi pencampuradukan dua sistem bahasa secara serentak ketika berkomunikasi sehingga terjadi penyimpangan norma bahasa. Dengan 23


demikian, kontak bahasa dan kedwibahasaan merupakan situasi yang menyebabkan terjadinya itegrasi dan interferensi bahasa. Kontak bahasa, selain menyebabkan terjadinya integrasi dan interferensi juga dapat menyebabkan terjadinya campur kode dan alih kode. 2.2 Landasan Teori Sebuah karya ilmiah harus didukung oleh teori-teori sebagai landasan penelitian. Teori yang dijadikan acuan dalam karya ilmiah harus relevan dengan materi yang diteliti. 2.2.1 Pengertian Kedwibahasaan Istilah kedwibahasaan merupakan padanan dari kata bilingualism (bahasa lnggris) atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi bilingualisme. Istilah tersebut dipakai untuk menjelaskan perihal penggunaan dua bahasa dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Namun, pengertian kedwibahasaan yang dipakai saat ini telah mengalami perubahan karena titik pangkalnya berbeda-beda. Mackey (1969: 555) menjelaskan bahwa kedwibahasaan adalah suatu konsep yang pengertiannya bersifat nisbi. Artinya, ukuran tentang kriteria kedwibahasaan seorang penutur bahasa tidak mutlak atau relatif. Hal ini bergantung pada sudut pandang orang yang mengkajinya Selanjutnya, 24


Mackey menjelaskan bahwa kedwibahasaan itu bersifat arbitrer, relatif, dan hampir tak dapat ditetapkan secara pasti. Karena itu, pengertian kedwibahasaan yang diutarakan para pakar bahasa berdasarkan pandangan masing-masing. Semula kedwibahasaan dipandang sebagai penguasaan dua bahasa yang sama baiknya seperti halnya penguasaan terhadap bahasa ibunya, "native control of two language " (Bloomfield, 1932: 56). Hal ini mengisyaratkan bahwa seorang penutur bahasa termasuk ke dalam dwibahasawan jika dapat menguasai bahasa ibu atau bahasa pertama dan bahasa kedua dengan sama baiknya atau kemampuan menguasai dan menggunakan bahasa kedua harus sebaik kemampuan menguasai dan menggunakan bahasa pertama. Pengertian tersebut nampaknya sulit untuk dipahami dan dipenuhi karena kriteria penguasaan yang sama baiknya pada bahasa ibu memang sulit diukur meskipun ada juga orang yang sanggup menguasai dua bahasa dengan sempurna. Kriteria kedwibahasaan yang diajukan oleh Bloomfield tidak menyebutkan kriteria yang jelas tentang penguasaan dua bahasa yang sama baiknya. Apakah yang dimaksud penguasaan bahasa menurut Bloomfield hanya menyangkut aspek keterampilan bahasa atau arti penguasaan bahasa tersebut mencakup empat keterampilan, yaitu 25


keterampilan berbahasa, menulis, berbicara, dan menyimak. Pandangan yang hampir sama dengan Bloomfield tentang pengertian kedwibahasaan adalah Halliday. Halliday menyebut kedwibahasaan dengan istilah ambilingulisme. Menurut Halliday, ambilingulisme adalah seorang penutur yang secara sempurna dapat menguasai dua bahasa atau lebih dengan sama baiknya (Fisman, 1972:141). Richard (1992: 35), mengatakan "Bilingualism are the use of by a group of speakers such as the inhabitance of a particular region or anation ". Menurut beliau yang dimaksud kedwibahasaan adalah penggunaan sekurang-kurangnya dua bahasa oleh seorang atau kelompok penutur, seperti penduduk suatu daerah tertentu atau bangsa. Pengertian kedwibahasaan yang diutarakan Richard lebih sederhana bila dibandingkan Bloomfield dan Halliday sebab Richard tidak menentukan kriteria kedwibahasaan yang terlalu rumit. Menurut Richard orang yang dapat minimal menggunakan dua bahasa termasuk ke dalam dwibahasawan. Pengertian yang hampir sama diungkapkan Hartman (1972: 27), menurut beliau "Bilingualism are the use of language by a speakers or speech community ". Kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat bahasa. Pengertian yang diungkapkan Richard dan Hatman tentang kedwibahasaan memiliki titik kesamaan, yaitu praktik penggunaan dua bahasa. Akan tetapi, kedua pakar bahasa ini tidak 26


menjelaskan lebih detail tentang tingkat penguasaan penutur terhadap dua bahasa tersebut apakah penguasaan terhadap bahasa yang satu lebih baik dari yang lain atau cukup dapat menguasai dan menggunakan minimal dua bahasa dalam kegiatan berbahasa. Di samping itu, tidak disebutkan jenis keterampilan yang harus dikuasai jika ingin dikategorikan ke dalam kedwibahasawan. Namun demikian, tingkat penguasaan dan penggunaan dua bahasa dalam kedwibahasaan menurut Richard dan Hartman jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan pendapat Bloomfield dan Halliday. Pakar bahasa lain yang menjelaskan pengerti kedwibahasaan adalah Weinreich. Weinreich adalah pakar yang tidak mensyaratkan tingkat penguasaan dalam definisinya tentang kedwibahasaan. Ia hanya menyatakan bahwa kedwibahasaan adalah praktik penggunaan dua bahasa secara bergiliran dalam berkomunikasi (Rusyana, 1981: 5). Dalam definisi tersebut Weinreich tidak mempersoalkan tingkat penguasaan bahasa yang berbeda-beda sehingga konsep kedwibahasaan menurut Weinreich lebih luas. Seorang penutur termasuk ke dalam dwibahasawan jika ia dapat menggunakan bahasa secara bergantian dalam berkomunikasi. Pengertian kedwibahasaan yang dikemukakan oleh Weinreich itu juga meliputi praktik penggunaan tiga bahasa atau lebih, yang bisa disebut multilingualisme, kecuali kalau memang diperlukan penyebut yang khusus, bahkan pengertian ini diluaskan pula ·dalam hal bahasa yang digunakan itu, sehingga 27


kedwibahasaan mencakupi bukan saja penggunaan dua bahasa yang berbeda, melainkan juga penggunaan dialek-dialek dari bahasa yang sama. Dengan pengertian kedwibahasaan menjadi lebih luas (Rusyana, 1989: 2). Pakar bahasa lain yang memiliki titik kesamaan dengan Weinreich tentang pengertian kedwibahasaan adalah Mackey. Mackey mengartikan kedwibahasaan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh penutur atau individu yang sama (Fishman, 1972: 555-556). Mackey menjelaskan bahwa perihal kedwibahasaan termasuk ke dalam gejala yang bersifat nisbi atau tidak skunder penguasaan bahasa kedua oleh dwibahasawan diperoleh dengan cara melakukan proses belajar mengajar di sekolah atau lembaga formal. 2.2.2 Pengertian Bahasa dan Belajar Bahasa a. Pengertian Bahasa Menurut Kridalaksana 1997 dalam Rosdiana (2012: 1.4) “Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri”. Chaer (2010: 11) mengatakan “bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan”. Keraf (2004: 2) mengartikan “Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah 28


yang nyata”. Bahasa memiliki sifat yang arbitrer atau manasuka, artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya sifatnya tidak wajib. Chaer (2010: 13) menjelaskan mengenai bukti kearbitreran bahasa, misalnya konsep setumpuk kertas bercetak dan berjilid, dalam bahasa Indonesia disebut [buku] dan [kitab]. Untuk konsep besarnya tubuh yang lebih kecil dari ukuran normal dalam bahasa Indonesia disebut [kurus], [langsing], [ramping], dan [kerempeng]”. Keraf (2004:3) juga menyatakan hal serupa mengenai sifat bahasa yang arbitrer “makna sebuah kata tergantung dari konvensi (kesepakatan) masyarakat bahasa yang bersangkutan. Apakah sebuah benda yang digunakan untuk duduk dinamakan bangku, kursi, atau chair itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat masing-masing. Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah satu sistem yang bersifat sistematis, berupa lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan bersifat arbitrer. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi baik lewat tulisan maupun lisan, melalui bahasa manusia dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat. Bahasa mencakup dua bidang, yang pertama yaitu bunyi vokal (bunyi ujaran), yang kedua yaitu makna. Bunyi vokal (bunyi ujaran) yang dihasilkan oleh alat ucap 29


manusia tersebut merupakan getaran yang merangsang alat pendengar. Isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain yang disebut makna. Bahasa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi sosial. Dalam interaksi sosial, bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, dan perasaan. Rosdiana (2012: 1.18) mengatakan, “fungsi bahasa yaitu sebagai alat komunikasi”. Wardaugh (1972) dalam Alfiah (2010: 13) mengatakan, “fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik lisan maupun tertulis”. Menurut Wardaugh (1972) dalam Alfiah (2010: 13) fungsi tersebut mencakup lima fungsi dasar, yaitu sebagai fungsi ekspresi, fungsi informasi, fungsi eskplorasi, fungsi persuasi dan fungsi entertainmen. Fungsi bahasa yang pertama yaitu fungsi ekspresi, adalah bahasa sebagai alat untuk menyatakan ungkapan-ungkapan batin yang ingin disampaikan penutur kepada orang lain. Fungsi bahasa yang kedua, yaitu fungsi informasi adalah bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan atau amanat kepada orang lain. Fungsi yang ketiga yaitu sebagai alat eksplorasi, adalah penggunaan bahasa untuk menjelaskan sesuatu hal, perkara dan keadaan. Fungsi keempat yaitu fungsi persuasi, adalah penggunaan bahasa yang bersifat mempengaruhi atau mengajak orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Fungsi yang kelima, yaitu fungsi entertainmen adalah penggunaan bahasa dengan maksud menghibur, menyenangkan, atau 30


memuaskan perasaan batin orang lain. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi lisan maupun tertulis baik yang bersifat mengungkapkan, menyampaikan pesan, menjelaskan sesuatu, mengajak, maupun menghibur. Melalui bahasa manusia dapat membaur dalam segala bentuk masyarakat. b. Pengertian Belajar Bahasa Kemampuan manusia untuk berbahasa telah dimiliki sejak lahir, yang kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan biologis, kognitif, dan sosial. Bersamaan dengan perkembangan tersebut tidak ketinggalan pula terjadi perkembangan bahasa pada manusia. Pemilikan kemampuan berbahasa sejak lahir oleh setiap orang bukan berarti menutup kemungkinan kesempatan belajar dan memperoleh bahasa Iain bagi orang tersebut. Bahkan sebaliknya, kita harus masih belajar bahasa. Pemerolehan bahasa kedua mengacu kepada mengajar dan belajar bahasa asing atau bahasa kedua Iainnya. Belajar berarti pengetahuan yang sadar terhadap bahasa kedua, mengetahui kaidah kaidah tersebut dan mampu berbicara mengenai kaidah-kaidah itu. Bahasa yang dikuasai oleh seorang anak, dapat berupa bahasa pertama atau bahasa kedua, tergantung dari proses pemerolehan bahasa tersebut. 31


Henry Guntur Tarigan, membedakan pengertian bahasa pertama dan bahasa kedua sebagai berikut: Suatu bahasa adalah pertama dan begitu pula pemerolehannya kalau tidak ada bahasa lain yang diperoleh sebelumnya. Seorang anak yang lahir di lingkungan keluarga berbahasa Lampung, tentu berbahasa pertama bahasa Lampung, karena tidak ada bahasa yang dikuasai sebelumnya. Suatu bahasa adalah kedua begitu pula pemerolehannya kalau ada bahasa lain yang diperoleh sebelumnya. Bagi anak-anak di Indonesia (yang berbahasa pertama bahasa Lampung), akan memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, karena bahasa tersebutlah yang diperoleh di bangku sekolah. Bahasa pertama atau bahasa ibu merupakan bahasa yang pertama kali dipelajari secara ilmiah. Artinya, tidak melalui pengajaran formal, tetapi melalui lingkungannya, yaitu orang tua dan keluarga. Jos Daniel Parera menyatakan sebagai berikut: Untuk yang pertama diberi istilah bahasa ibu, bahasa pertama, bahasa sumber, bahasa perolehan, dan bahasa warisan. Untuk yang kedua diberi istilah bahasa asing, bahasa kedua, bahasa sasaran, dan bahasa ajaran. Samsuri membuat rumusan tersendiri mengenai bahasa pertama dan bahasa kedua. la mengemukakannya sebagai berikut: Bahasa pertama, yaitu bahasa yang sehari-hari disebut bahasa daerah. Bahasa pertama atau bahasa ibu 32


ialah bahasa yang diajarkan dan dipakai di lingkungan keluarga dan pada umumnya juga di daerah tempat anak itu tinggal. Samsuri tidak setuju dengan persamaan istilah bahasa ibu sebagai bahasa warisan. Misalnya, pada anak Jawa yang lahir dan dibesarkan di Jakarta tidak akan menjadi pewaris bahasa Jawa yang baik karena lingkungannya lebih banyak berbahasa Indonesia. Selanjutnya Samsuri mengemukakan, bahasa kedua adalah bahasa yang diajarkan di sekolah dan dipakai dalam komunikasi resmi, tetapi pada dasarnya tidak dipakai di lingkungan keluarga. 2.2.3 Pengertian Bahasa Tulis Pada umumnya, penggunaan bahasa terdiri atas ragam lisan dan ragam tulisan. Di dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa, "Ragam bahasa menurut sarananya dibagi atas ragam lisan dan ragam tulisan. Karena tiap-tiap masyarakat bahasa memiliki ragam lisan, sedangkan ragam tulisan baru muncul kemudian, maka soal yang perlu ditelaah ialah bagaimana orang menuangkan ujarannya ke dalam bentuk tulisan.” Pada mulanya, siswa menguasai bahasa lisan yang diperoleh dari lingkungan tempat tinggal. Kemudian muncul ragam tulisan setelah mereka masuk sekolah. Pemunculan ragam tulisan yang belakangan menyebabkan adanya persoalan bagi anak yang berlatar belakang bahasa daerah. 33


Ragam lisan yang terlebih dahulu dikuasai anak yang tinggal berbeda dengan bahasa ajaran yang mereka peroleh. Hal ini menimbulkan masalah dalam penuangan ujaran ke dalam bentuk tulisan. Mansoer Pateda menyatakan bahwa menulis adalah pengalihan bahasa lisan ke dalam bentuk tertulis. Di dalam menuangkan bahasa lisan kebentuk tulisan diperlukan ketaatan terhadap kaidah-kaidah gramatikal dari bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, seorang penulis dituntut memiliki kemampuan berbahasa. Sabarti Akhadiah, dkk, menyatakan bahwa menulis atau lazim disebut mengarang merupakan kegiatan yang sekaligus menuntut beberapa kemampuan. Kemampuan yang dimaksudkan adalah mengenai pengetahuan yang akan ditulis, jadi menyangkut isi karangan dan bagaimana menuliskannya. Hal ini menyangkut aspek kebahasaan dan teknik penulisannya. Tujuan tulis-menulis atau karang-mengarang menurut Gorys Keraf adalah mengungkapkan fakta-fakta, perasaan, sikap, dan isi pikiran, secara jelas dan efektif kepada para pembaca. Dalam hal ini, peranan guru yang mengajarkan kemampuan menulis sangat penting. Kesalahan-kesalahan bahasa tulis siswa akan terlihat pada saat guru mengoreksi karangan siswa, lalü membetulkannya. 34


Jos Daniel Parera menyatakan bahwa semua komponen bahasa akan tampak dalam teknik tes mengarang. Maka dengan memberikan tes mengarang, seorang peneliti kemampuan berbahasa akan memperoleh data yang dapat dipakai untuk meneliti kemampuan menerapkan berbagai komponen bahasa. Ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama, karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada şuara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala fısik lainnya. Pada ragam tulis hal-hal seperti di atas tidak ada. Di dalam bahasa tulis kita harus lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang disusun dapat dipahami pembaca dengan baik. Kesalahan atau kesalahpengertian dalam berbahasa lisan dapat segera diperbaiki atau diralat, tetapi dalam berbahasa tulis kesalahan atau kesalahpengertian baru kemudian bisa diperbaiki. Contoh: Jika kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah kursi yang ada di hadapan kita, maka secara lisan sambil menunjuk kursi tersebut kita cukup mengatakan, "Tolong pindahkan ini!". Tetapi dalam berbahasa tulis karena tiadanya unsur penunjuk, maka kita harus mengatakan, "Tolong pindahkan kursi itu!" Jika dibandingkan dengan ragam bahasa lisan, ragam bahasa tulis lebih mendekati kriteria bahasa baku 35


karena dalam menulis atau mengarang ada kesempatan untuk mengoreksi kembali tulisannya, selain perencanaannya pun lebih baik. Penguasaan terhadap aspek-aspek kebahasaan merupakan salah satu kesulitan yang harus diatasi oleh pengarang. Kesulitan tersebut lebih besar dirasakan oleh pengarang yang dwibahasawan. Jika ia hendak membuat karangan dalam bahasa kedua, maka ia harus lebih dahulu melepaskan diri dari pengaruh bahasa pertamanya. Hal itu tentu saja sulit, terutama jika dalam keseharian ia menggunakan bahasa pertamanya. Oleh karena itu, sering kali terjadi kesalahan-kesalahan dalam berbahasa tulis. 2.2.4 Pengertian Analisis Kesalahan Pembelajaran bahasa dan analisis kesalahan berbahasa adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pembelajaran bahasa sering kita temukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan penutur sewaktu-waktu bahkan ada yang menjadi kebiasaan. Kesalahan tersebut perlu kita ketahui untuk diadakan perbaikan. Analisis kesalahan berbahasa adalah suatu prosedur yang digunakan oleh para peneliti dan para guru yang mencakup pengumpulan sampel bahasa pelajar, pengenalan kesalahan yang terdapat dalam sampel tersebut, pendeskripsian kesalahan, pengklasifikasikannya berdasarkan sebab-sebab yang telah dihipotesiskan, serta pengevaluasian keseriusannya. 36


Kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak dalam proses belajar bahasa inilah yang akan dianalisis oleh para peneliti dengan prosedur kerja yang sudah ditentukan dan menjadi pedoman bagi penganalisisan kesalahan tersebut. Prosedur kerja tersebut adalah: (1) memilih korpus bahasa (2) mengenali kesalahan dalam korpus (3) mengklasifikasikan kesalahan (4) menjelaskan kesalahan, dan (5) mengevaluasi kesalahan. Analisis kesalahan berdasarkan kategori linguistik ini mengklasifikasikan kesalahan-kesalahan berdasarkan komponen linguistik, seperti ejaan, morfologi, sintaksis, semantik, kosakata, dan wacana. Beberapa pakar telah menerapkan pengklasifikasian kesalahan berdasarkan kategori linguistik, antara lain Politzer dan Ramirez serta Burt dan Kiparsky. Politzer dan Ramirez telah menelaah kesalahan berbahasa siswa yang keturunan Meksiko-Amerika dalam berbahasa Inggris. Sementara Burt dan Kiparsky menelaah kesalahan berbahasa Inggris yang dilakukan oleh siswa yang belajar bahasa Inggris dalam lingkungan asing maupun lingkungan 37


sendiri. Pengklasifikasian kesalahan berbahasa berdasarkan kategori linguistik memiliki beberapa keuntungan, terutama bagi: (a) para pengembang kurikulum, untuk menyusun pelajaran bahasa dalam buku pelajaran dan buku kerja siswa, (b) para peneliti, yang memanfaatkan sebagai sarana laporan yang mengorganisasikan kesalahan-kesalahan yang telah mereka kumpulkan, (c) para guru dan siswa untuk merasakan bahwa mereka telah mencakup aspek-aspek bahasa tertentu dalam kelas mereka. Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya kedudukan analisis kesalahan berbahasa dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa. Analisis kesalahan berbahasa diharapkan dapat memberikan umpan balik bagi para pengembang kurikulum, para peneliti, para guru, serta siswa yang melakukan kesalahan tersebut. Dullay dalam Tarigan menyatakan bahwa, "Kesalahan adalah bagian konversasi atau komposisi yang menyimpang dari beberapa norma baku (norma terpilih) dari performansi bahasa orang dewasa. Penyimpangan dari norma baku tersebut dapat disebabkan oleh interferensi, kecerobohan, dan ketidaktahuan yang berhubungan dengan aspek psikologis dan pedagogis. Pit S. Corder menghubungkan jenis kesalahan dengan konsep Noam 38


Chomsky mengenai performance dan competence. Beliau mengemukakan pengertian analisis kesalahan berdasarkan pembedaan jenis kesalahan yang dibuat siswa dalam belajar bahasa, yaitu: Pertama mistake, adalah penyimpangan yang disebabkan oleh faktor-faktor performance seperti keterbatasan ingatan, mengeja dalam lafal, tekanan emosional, dan sebagainya. Kesalahan ini mudah diperbaiki jika penutur diingatkan. Kedua error, adalah penyimpangan-penyimpangan yang sistematis dan konsisten dan menjadi ciri khas berbahasa siswa yang belajar bahasa pada tingkat tertentu. Kesalahan ini sukar diperbaiki, karena penutur tidak tahu akan kesalahan yang dibuatnya, atau karena penutur tidak menguasai secara sempurna bahasa yang dipelajari dan dipakainya. Analisis kesalahan berbahasa merupakan suatu pengkajian terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pemakai bahasa (siswa) dalam berbahasa kedua (B2). Dengan demikian, analisis kesalahan merupakan suatu alternatif praktis. Yus Rusyana menyatakan, "Analisis kesalahan memusatkan perhatian pada kesukaran-kesukaran yang paling sering dihadapi oleh dwibahasawan. Pendekatan analisis kesalahan bertitik tolak dari mencari, mengklasifikasikan jenis kesalahan, untuk menemukan sebab dan bagaimana usaha perbaikannya. Menurut J.D. Parera, manfaat praktis analisis kesalahan ialah untuk 39


memperbaiki kesalahan bahasa siswa pelajar bahasa dan mungkin bagi guru sebagai alat penjelasan tentang kesalahan itu. Manfaat teoritis ialah usaha untuk memberikan landasan yang lebih kuat tentang bahasa anak atau bahasa perolehan dalam menguasai bahasa ibunya sendiri. Analisis kesalahan tidak meramalkan kesalahan yang akan terjadi, tetapi memperhatikan seberapa jauh kesalahan itu mengganggu komunikasi. Seperti yang dikemukakan di dalam teori analisis kesalahan, jenis kesalahan ini kita kenal dengan istilah: interferensi, transfer, alih kode, campur kode, dan bahasantara. 2.2.5 Jenis-Jenis Kesalahan Ada beberapa jenis kesalahan dałam analisis kesalahan berbahasa siswa. Jenis kesalahan menurut Dullay yang disebut Taksonomi Kesalahan Berbahasa, yaitu: 1. Taksonomi Kategori Linguistik Taksonomi ini mengklasifikasikan kesalahan-kesalahan berbahasa berdasarkan komponen linguistik (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikon, dan wacana). 2. Taksonomi Siasat Permukaan Dałam taksonomi ini menyoroti bagaimana cara-caranya struktur-struktur 40


permukaan berubah. Para pelajar mungkin saja: (a) menghindarkan/ menghilangkan butir-butir penting, (b) menambah sesuatu yang tidak perlu, (c) salah memformasikan butir-butir, atau (d) salah menyusun butir-butir. 3. Taksonomi Komparatif Taksonomi ini didasarkan pada perbandingan-perbandingan struktur kesalahan-kesalahan B2 dan tipe konstruksi tertentu lainnya. Berdasarkan perbandingan tersebut dapat dibedakan antara kesalahan perkembangan (developmental errors) adalah kesalahan-kesalahan yang sama dengan yang dibuat oleh anak-anak yang belajar B2 sebagi BI mereka. Kesalahan antarbahasa (interlingual) sebagai pengganti interferensi atau transfer, adalah kesalahan yang mengacu kepada kesalahan B2 yang mencerminkan struktur bahasa asli atau bahasa ibu. Nababan berpendapat bahwa kesalahan berbahasa terbagi menjadi empat kelompok, yaitu: (1) interferensi dan noninterferensi (intralingual = kesalahan pada bahasa ajaran itu sendiri/B2, karena bahasa tersebut sulit), (2) kesalahan pada unsur mikrolinguistik dan unsur makrolinguistik, (3) kesalahan fosilisasi, (4) kesalahan global dan kesalahan lokal. 2.2.6 Pengertian Campur Kode, Alih Kode, dan Interferensi a. Pengertian Kode 41


Menurut Poedjosoedarmo (Rahardi, 2001:21-22) kode adalah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dalam berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa. Wardhaugh (Rahardi 2001:22) mengemukakan bahwa kode memilki sifat yang netral. Dikatakan netral karena kode itu tidak memiliki kecenderungan interpretasi yang menimbulkan emosi. Sejalan dengan pendapat Poedjosoedarmo, Suwito (Rahardi, 2001:22) menyatakan bahwa kode adalah istilah satu varian di dalam hierarki kebahasaan yahg dipakai dalam komunikasi. Dengan demikian dalam sebuah bahasa dapat terkandung beberapa buah kode yang merupakan varian dari bahasa itu. Varian bahasa meliputi dialek, undha-usuk, dan ragam. Dialek dapat dibedakan menjadi dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran, dan mungkin suku. Selain itu ada juga dialek individu yang disebut idiolek. Undhausuk atau tingkat tutur dapat digolongkan menjadi dua, yakni berundha-usuk hormat dan tidak hormat sedangkan ragam dapat dibedakan menjadi ragam suasana yakni ragam resmi, ragam santai, dan ragam literer. Kode dapat beralih dari varian yang satu kepada varian yang lainnya. 42


Poedjosoedarmo (Rahardi, 2001:24) menyatakan bahwa peralihan kode dapat mengarah dari yang paling formal ke kode yang paling informal, dari kode yang paling hormat ke kode yang paling tidak hormat, dari kode yang lengkap ke kode yang tidak lengkap, dan dari kode yang kurang dikuasai ke kode yang sudah dikuasai dan sebaliknya. 1). Pengertian Campur Kode Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual adalah gejala camur kode. Chaer (2010: 114) menyatakan bahwa campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa secara bersamaan dalam satu masyarakat tutur. Sejalan dengan pendapat Chaer, Fasold (Chaer, 2010: 115) menyatakan bahwa campur kode adalah peralihan suatu peristiwa tutur dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain dan peralihan itu terjadi pada satu kata atau frasa. Campur kode terjadi apabila penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur seperti latar belakang sosial dan tingkat pendidikan. Ciri yang menonjol berupa kesantaian atau situasi informal. Namun, campur kode bisa terjadi karena penutur keterbatasan kosakata dalam bahasa yang sedang digunakannya 43


sehingga beralih kepada bahasa yang lebih dikuasainya. 2). Latar Belakang Terjadinya Campur Kode Latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe berlatar belakang pada sikap dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan. Kedua tipe itu saling bergantungan dan tidak jarang bertumpang tindih seperti itu, dapat kita mengidentifikasikan beberapa alasan atau penyebab yang mendorong terjadinya campur kode. Alasan-alasan itu anata lain: (a) identifikasi peranan, (b) identifikasi ragam, dan (c) identifikasi untuk menjelaskan dan menafsirkan. Sejalan dengan pendapat di atas, Suwito (Chaer, 2010: 114)) mengemukakan dua tipe campur kode yaitu campur kode yang bersifat ke luar dan ke dalam. Penyebab terjadinya campur kode yang bersifat ke luar antara lain: (a) identifikasi peranan, (b) identifikasi ragam dan (c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun, ketiganya saling bergantung dan tidak jarang bertumpah tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia didalam hierarki status sosialinya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan 44


hubungan orang lain terhadapnya. Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi babasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat. Berdasarkan konsep yang telah diuraikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dimana unsur-unsur bahasa atau variasi variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Sementara itu, Simon Herman (dalam Sumarsono, 2013: 210) mengatakan bahwa seorang dwibahasawan mengahdapi tiga situasi psikologis ketika berbicara dengan orang lain, yaitu (1) kebutuhan pribadi, (2) situasi saat 45


pembicaraan berlangsung (immediate situation), dan situasi yang melatarbelakngi pembicaraan (background situation). b. Alih Kode 1). Pengertian Alih Kode Pada masyarakat yang bilingual dan diglostik akan terjadi kontak bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Kondisi yang demikian akan berakibat adanya hubungan saling ketergantungan antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gejala alih kode (code switching). Para ahli sosiolinguistik mendefinisikan apa yang dimaksud dengan alih kode tersebut. Suwito (Rahardi, 2001:20) menyatakan bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Seorang penutur mulamula menggunakan kode A dan kemudian beralih menggunakan kode B maka, peralihan-peralihan bahasa seperti itu disebut alih kode. Suwito juga menyebutkan bahwa dalam suatu kode terdapat banyak varian seperti: varian regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, dan register. Dengan demikian, peristiwa alih kode dapat pula berwujud peralihan dari varian yang satu ke dalam varian yang lain. Sejalan dengan definisi alih kode yang diungkapkan Suwito adalah batasan yang dikemukakan Hymes (Rahardi, 2001: 20) bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan 46


pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari suatu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dan suatu ragam. Hymes juga menyebut alih kode intern (internal cod switching) yakni yang terjadi antarbahasa daerah dalam satu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Selain alih kode intern, beliau menyebut juga alih kode ekstem (eksternal code switching) adalah apabila yang terjadi peralihan atau pergantian kode antara bahasa asli dengan bahasa asing. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa (atau lebih) itu ditandai oleh: (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Ciri-ciri itu menunjukkan bahwa di dalam alih kode masing-masing bahasa masih mendukung fungsi tersendiri secara eksplisit, dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan perlaihan kode. Dengan demikian maka alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevansial di dalam penggunaan dua bahasa atau lebih. Apple (Chaer, 2010:107) memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan bahasa karena perubahan situasi. 2). Faktor Penyebab Alih Kode Alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-faktor 47


yang sifatnya sosio-situasional. Beberapa faktor yang biasanya merupakan penyebab terjadinya alih kode. Faktor-faktor itu adalah penutur, lawan tutur, hadirnya penutur ketiga, pokok pembicaraan, untuk membangkitkan rasa humor, dan untuk sekedar bergengsi. Penyebab terjadinya alih kode merupakan pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukakan Fishman (Chaer, 2010:108), yaitu "siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan tujuan apa." Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara dan penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan. c. Interferensi 1). Pengertian Interferensi Penguasaan terhadap dua bahasa atau lebih oleh penutur akan mengakibatkan terjadinya kontak bahasa. Dua bahasa yang berkontak akan saling berpengaruh sehingga transfer bahasa yang satu ke bahasa lain akan terjadi. Karena itu, biasanya dwibahasawan melakukan interferensi dari satu bahasa ke bahasa lain ketika komunikasi berlangsung, baik lisan maupun tulis. 48


Pada dasamya interferensi merupakan bentuk penyimpangan karena kedua sistem bahasa yang berbeda digunakan dalam satu kesatuan komunikasi. Weinreich (1970: 1) mengemukakan bahwa interferensi adalah suatu bentuk penyimpangan bahasa dari norma-norma yang ada dalam penggunaan bahasa sebagai akibat adanya kontak bahasa atau pengenalan lebih dari sebuah bahasa. Pada uraian lainnya, Weinreich juga mengemukakan bahwa penggunaan unsur bahasa yang satu pada bahasa yang lain ketika berbicara atau menulis bisa disebut interferensi. Proses terjadinya interferensi didahului oleh adanya kontak dua bahasa atau lebih. Selain itu, Briere juga mengemukakan bahwa interferensi terjadi karena dua bahasa yang berkontak memiliki beberapa persamaan. Pendapat Briere tersebut senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh Girard (1972: 570). Ia mengemukakan bahwa bahasa kedua yang mirip dengan bahasa ibu atau atau bahasa pertama dapat menimbulkan peluang untuk dicampuradukan. Pencampuradukan dua bahasa inilah yang menimbulkan gejala interferensi. Menurut Oksaar (1975: 65) jumlah interferensi antara dua bahasa yang serupa lebih besar daripada dua bahasa yang berbeda. Dengan berpatokan pada pendapat Hartman dan Stork (Alwasilah, 1990:131) 49


memandang interferensi sebagai kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua. Selajutnya, Alwasilah menyatakan bahwa interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosa kata, dan makna bahkan budaya baik dalam ucapan maupun tulisan terutama ketika seorang sedang mempelajari bahasa kedua. Hal ini berarti interferensi dapat terjadi pada semua lapisan bahasa ketika penutur berkomunikasi, baik lisan maupun tulis. Hal yang sama diungkapkan William F. Mackey (Fishman, 1972: 569). Beliau merumuskan definisi interferensi sebagai penggunaan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain ketika berbicara atau menulis. Definisi tersebut telah memperluas cakupan interferensi, yaitu interferensi bisa terjadi dalam ragam tulis. Kenyataan ini dapat dipahami sebab kebiasaan berbahasa lisan akan terbawa ke dalam bahasa tulis. Namun, Fishman (1972: 570) menyatakan bahwa terjadinya interferensi pada bahasa tulis atau tulisan lebih kecil jika dibandingkan dengan bahasa lisan. Pemyataan Fishman tersebut menegaskan interferensi bahasa dapat terjadi pada ragam lisan dan tulis meskipun intensitasnya tidak sama. Uraian-uraian tentang interferensi dari beberapa pakar bahasa tersebut sejalan dengan pendapat Rusyana. Rusyana (1984: 54) merumuskan definisi interferensi sebagai penggunaan unsur-unsur yang termasuk kedalam bahasa ketika berbicara atau menulis dalam bahasa lain. Lebih luas lagi, 50


Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.