Asa Anak Desa Flipbook PDF

Asa Anak Desa

27 downloads 116 Views 43MB Size

Story Transcript

Asa Anak Desa Novel Inspiratif Mengukir Asa di Tengah Duka An Inspirative Novel by Slamet Tuharie Ng


Asa Anak Desa Novel Inspiratif Mengukir Asa di Tengah Duka © Pintukata, 2014 Penulis: Slamet Tuharie Ng. Editor: Hendri Unduh H. Desainer Sampul: Godhongteles Tata Letak : Fathur Rahman Cetakan Pertama, April 2014 Penerbit Pintukata: Kelompok Penerbit Pustaka Ilmu Jl. Wonosari KM. 6.5 No. 243 Kalangan Yogyakarta Telp/Faks: (0274)4435538 E-mail: [email protected] Website: http://www.pustakailmu-online.com Layanan sms: 081578797497 Layanan BB: 228e1ece Penerbit dan Distribusi: CV. Pustaka Ilmu Group Yogyakarta Jl. Wonosari KM. 6.5 No. 243 Kalangan Yogyakarta Telp/Faks: (0274) 443170 Email: [email protected] [email protected] ISBN: 978-602-14786-2-2 Anggota IKAPI © Hak Cipta dilindungi Undang-undang All Rights reserved


Asa Anak Desa v DARI REDAKSI Asa Anak Desa ada judul yang sangat menarik yang diambil dari kisah seorang anak yang menggambarkan suka duka yang selalu menyelmuti kehidupanya. Novel ini diambil dari kisah nyata yang dinarasikan dengan bahasa sastrawi. Penulis muda berbakat ini menuangkan hasil karyanya dalam bentuk novelnovel inspirasi. Pesan-pesan optimisme, spirit, dan asa (harapan), adalah cerminan dari buku ini. Kami atas nama tim redaksi Pintukata (kelompok penerbit Pustaka Ilmu Yogyakarta) sangat senang dan berterimakasih kepada saudara Slamet Tuharie Ng atas kepercayaannya menerbitkan novel-novelnya di penerbit kami. Semoga buku ini dapat memberikan pencerahan bagi perkembangan kesusastraan Indonesia, menjadi motifasi bagi pembacanya, mencerdaskan, dan semangat berkarya. Selamat menyelami. Salam Redaksi Penerbit Pintukata


vi Asa Anak Desa


Asa Anak Desa vii SEKAPUR SIRIH Tak ada yang pantas dipuji kecuali Allah yang senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada makhluk-Nya di muka bumi. Sang Maha Pengasih yang kasihnya tiada pilih kasih. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabiyullah Muhammad Saw, atas jasanya yang besar untuk menuntun manusia menuju shirot al mustaqiem. Alhamdulillah, setelah melewati lika-liku yang cukup panjang, akhirnya tulisan ini pun dapat diselesaikan, meski jauh dari kesempurnaan. Berkat kekuatan do’a-do’a orang yang berhati peri, penulis bisa berada pada titik cahaya yang semoga membuahkan kebaikan. Novel ini sebenarnya penulis ilhami dari kisah beberapa teman yang ibunya yang menjadi TKW di luar negeri. Khusunya teman-teman yang menempuh studi pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berkat cerita-ceritanya, penulis terinspirasi untuk menyatukan kepingan-kepingan puzzle itu dan menuliskannya menjadi karya yang layak untuk dibaca. Tentunya dengan pesan-pesan moral dan penuh motivasi. Novel ini menggambarkan tentang kisah suka duka seorang anak TKW yang bernama Santoso dalam mengarungi kehidupannya yang penuh dengan cobaan dan tantangan. Hingga


viii Asa Anak Desa tak jarang air mata harus tumpah membasahi pipinya. Namun, sebagai anak lelaki, ia merasa tak pantas jika terus terbawa dalam arus kesedihan yang menerpanya. Akhirnya, semangat yang kuat telah membuatnya mampu mengarungi ombak kehidupan yang terus menerjang hingga hampir membuatnya karam. Ia bangkit dan terus melawan keadaan hingga ia dapatkan terang. Lazimnya sekapur sirih, tak bijak rasanya jika tak kuucapkan rasa terimakasih pada orang-orang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini. Pertama, penulis ucapkan khusus untuk Ibuku yang telah melahirkan, merawat dan mendidik penulis hingga penulis dapat merasakan nikmat kehidupan bersama do’a-do’anya yang tak pernah kering. Teruntuk seorang ayah yang telah lebih dahulu menghadap ke rahmatullah, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Hanya do’a yang selalu terperanjat, semoga Allah memberinya surga sebagai balasan atas perjuangannya di jalan Allah. Bagi penulis ia adalah sosok yang selalu memberi inspirasi. Kedua, Terima kasih juga untuk Nur Aviah, perempuan yang menoreh warna kehidupan penulis menjadi bermakna, ia selalu memberi inspirasi dan motivasi. Selanjutnya, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Abdul Wachid BS, yang telah “memaksa” para mahasiswanya (khususnya KPI ’08) untuk berkarya. Tak lupa penulis ucapkan rasa terimakasih pula untu teman-teman di Pon-Pes Darussalam Bawang, Pon-Pes Fathul Huda Purwokerto, MA Sunan Kalijaga Bawang, STAIN Purwokerto, SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan segenap Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (2012-2015). Jazakumullah akhsanal jaza Jakarta, 09 Juni - 22 November 2013 Slamet Tuharie Ng


Asa Anak Desa ix DAFTAR ISI Dari Redaksi .................................................................. v Sekapur Sirih ................................................................. vii Halaman Persembahan................................................... xi 1. Redup Matahari di Wonokerto .................................. 1 2. Bertarung dengan Ujian Nasional .............................. 19 3. [Pagi]laran ............................................................... 31 4. Mengukir Asa di Tengah Duka ................................... 39 5. Meniti Langkah Baru ................................................ 51 6. Meniti Jalan ke Negeri Orang .................................... 67 7. Menjadi Petarung di Ibu Kota .................................... 81 8. Dimulai dari Kota Tua ............................................... 91 9. Misteri Ibu Kota ....................................................... 105 10. Menjawab Rasa Penasaran ........................................ 116 11. Membawa Duka ke Desa ........................................... 122 12. Penyesalan Seorang Ibu ............................................ 136 13. Merajut Benang Kehidupan ....................................... 151 14. Menagih Janji Sang Ibu ............................................. 165 15. Dipaksa Berkuasa ..................................................... 177 16. Mengail Damai di Desa ............................................. 191 Tentang Penulis ............................................................. 203


x Asa Anak Desa


Asa Anak Desa xi Novel ini penulis persembahkan untuk seluruh anak-anak desa


xii Asa Anak Desa


Asa Anak Desa 1 1 Redup Matahari di Wonokerto D esa, bak surga yang menyilaukan mata. Tanah yang subur, dedaunan yang rindang, pepohonan yang menjulang tinggi, serta burung-burung yang bernyanyi gembira kala pagi menyapa, membuatnya menjadi tempat yang indah dan mempesona. Terlebih masyarakatnya bersahabat, ramah, dan budaya kekeluargaanya pun masih dijunjung tinggi, membuatnya seperti tak pernah menyimpan masalah. Balutan kebersahajaan dan kerukunan selalu menjadi kunci kebersamaan, dalam suka maupun duka. Pun, desa seperti gambaran surga yang dituturkan Tuhan dalam kitab sucinya. Pepohonan rindang kehijauan, air mengalir deras ke pemukiman, buah-buah tumbuh subur di pekarangan. Hingga bunga-bunga yang bermekaran nan elok dipandang. Tak salah jika desa ibarat tetesan surga yang jatuh ke dunia. Indah sekali.


2 Asa Anak Desa Tak beda dengan Wonokerto, desa yang begitu jauh dari kebisingan kota. Letaknya sekitar 3 km dari puncak Gunung Kamulyan atau yang biasa masyarakat sebut sebagai Gunung Kemulan. Entah mengapa orang-orang lebih suka menyebut Kamulyan dengan Kemulan. Padahal Kamulyan memiliki arti kemuliaan, sedang Kemulan berarti berselimut karena kedinginan. Tapi tak salah juga, mungkin mereka menyebutnya Kemulan, karena gunung itu selalu diselimuti kabut tebal kala senja menyapa. Memang keadaan desa Wonokerto sangatlah menyedihkan. Akses untuk sampai ke desa ini pun tergolong amat sulit. Jalannya tak beda dengan kali mati. Bahkan, hanya penduduk asli Wonokerto atau tetangga desa saja yang bisa melewati jalanan itu dengan sepeda motor. Selebihnya dipastikan tak akan sanggup. Apalagi kalau hujan tiba, jalanan begitu licin dan kabut tebal selalu menyelimutinya. Ya, akhirnya desa ini menjadi amat terisolir dibandingkan desa-desa lainnya yang ada di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Terlebih untuk sambungan alat telekomunikasi. Tak bisa berharap banyak dari Wonokerto. Hampir-hampir tak akan ditemui sinyal meski satu titik. Alhasil, ketika ada informasi penting dari kabupaten, masyarakat desa Wonokerto pasti paling telat mendapatkannya. Mungkin kini mereka sudah sedikit lega, karena sudah ada radio dan televisi yang bisa menemani kesepian mereka. Tapi jangan dikira masalahnya sudah selesai. Karena untuk memperoleh gambar yang jelas, mereka harus memasang antena di tempat yang sangat tinggi. Seperti di pohon, atau disambung dengan bambu yang dipasang di atapatap rumah mereka. Namun, itu pun belum cukup. Buktinya tak semua channel stasiun TV Nasional bisa tersaring. Ya, hanya ada


Redup Matahari di Wonokerto 3 3 sampai 4 channel saja yang masuk ke rumah mereka. Belum lagi kalau ada hujan lebat dan angin yang bertiup kencang, gambar pun ikut terseok-seok terbawa oleh hembusan angin. Bahkan channelnya pun hilang entah kemana. Payah sekali. Sebenarnya, mereka sudah sangat geram dengan keadaan ini, tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Terutama ketika melihat kondisi jalan bak seperti kali mati yang seolah dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Mereka kadang berfikir, mungkin memang desa Wonokerto benar-benar dimiskinkan oleh pemerintahnya sendiri. Terbukti dengan akses jalan yang tak layak, akses komunikasi yang susah, dan sarana pendidikan yang tak tersedia di desa mereka. Warga desa pun tak diam. Mereka sudah melakukan berbagai upaya, baik melalui birokrasi, atau jalur “belakang”, tapi hasilnya masih sama. Jalan aspal yang mereka idamidamkan, tak jua ada. Apalagi menghayal untuk bisa menikmati jaringan internet seperti yang sudah ada di kota. Kadang warga merasa iri melihat desanya tak dipedulikan sebagaimana desa-desa lain yang letaknya tak begitu jauh dari kota. Tapi, sekali lagi, mereka tak bisa berbuat apa-apa, elit-elit parlemen yang dulunya “bersujud” untuk meminta dukungan mereka, kini seolah menghilang bak ditelan bumi dan akan muncul lagi “batang hidungnya” tatkala pemilihan umum hampir tiba, karena mereka pasti membutuhkan dukungan warga untuk memperoleh tahta. Setelah itu, perjuangannya pun tak kelihatan. Entah lupa atau memang tak mau memikirkan nasib desa mereka. Entahlah. Berkali-kali caleg-caleg datang dengan membawa angin segar dengan slogannya untuk membangun desa, tapi ternyata hanya slogan untuk mengambil simpati mereka. Buktinya


4 Asa Anak Desa keadaan desa masih tetap seperti sediakala. Jalan masih rusak, akses informasi masih begitu sulit. Begitu pula sarana pendidikan yang tak kunjung tertanam di bumi mereka. Kemana mereka? warga pun sering bertanya-tanya. Mengapa elit-elit politik itu seperti siluman. Yang tiba-tiba muncul kemudian hilang dalam sekejap. Aneh. Mungkin mereka punya “ajian” yang bisa membuat mereka hilang dalam kedipan mata. Sebenarnya masyarakat sudah lelah dengan semua ini. Ya, pada pemilu 2009 lalu, warga desa sudah kompak untuk tidak ikut menggunakan hak suara mereka, alias golput. Menurut mereka percuma. Kewajiban sebagai warga negara sudah dilaksanakan, tapi hak mereka tak kunjung dipenuhi. Sayang, rayuan politisi lebih hebat dari kesepatan masyarakat “kelas bawah”. Hingga mereka pun luluh, apalagi setelah diimingimingi “angpao” cokelat yang tersebar luas sesaat sebelum pencoblosan. Mereka pun berubah pikiran. Akhirnya, “terpaksa” mereka gunakan suara mereka untuk menentukan calon wakil mereka yang belum tentu mau berjuang dengan sepenuh hati. Itulah realitasnya. g Pagi itu, matahari nampak begitu cerah. Memancarkan seluruh cahayanya untuk menerangi bumi dan penghuni semesta raya. Meski masih ada tetesan embun yang menempel di dedaunan, burung-burung tetap menari indah di atas dahan cemara. Mereka pun berkicau, menambah asyiknya suasana. Saling bersautan dan tak ada yang mau mengalah. Indah sekali. Tak tampak mendung, apalagi kilatan guntur. Yang nampak hanya mentari dengan sejuta harapan untuk hari ini.


Redup Matahari di Wonokerto 5 Bocah-bocah SD dengan seragam lengkap, beranjak dari rumah menuju sekolah masing-masing dengan sejuta asa yang terselip dari wajah-wajah mungilnya. Bagi mereka mungkin tak ada kesulitan yang berarti, karena gedung sekolahnya tak begitu jauh dari desanya. Mungkin sekitar 2 km saja. Tapi 2 km setiap hari cukup membuat tumit kaki mereka melebar. Apalagi usianya masih terlalu dini untuk menjalani skenario kehidupan seperti itu. Lebih-lebih bagi anak-anak yang sudah duduk di bangku SMP. Mereka harus menempuh 7 Km setiap hari dengan jalan kaki. Kecuali mereka yang berasal dari keluarga yang sedikit mampu, biasanya mereka diantar oleh bapak atau kakaknya dengan sepeda motor. Tapi tak ada pilihan lain, bagi mereka yang lahir dari kelas ekonomi rendah harus menapaki jalanan bak kali mati setiap harinya. Semuanya, demi asa yang sudah terukir sejak lama. Sayang, tak semua anak-anak desa bermental baja. Banyak dari mereka yang menghalalkan keadaaan itu sebagai alasan tak melanjutkan ke SMP. Mereka hanya mengambil Paket B atau SMP Terbuka yang berangkatnya tidak setiap hari. Pun dengan orang tua mereka yang tak mau memaksa anaknya untuk melanjutkan pendidikannya. Miris memang. Bagi orang dewasa, seperti biasa melakukan aktifitasnya di kebun, sawah, dan ladang. Sebagian besar masyarakat desa menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Namun tak sedikit dari mereka yang mengabdikan dirinya untuk bekerja di perkebunan milik salah satu perusahaan teh terkemuka di Indonesia. Terutama mereka yang tak punya tanah sendiri. Bekerja di kebun teh dirasa menjadi pilihan yang dianggap sangat tepat. Syaratnya yang sangat mudah membuat siapapun


6 Asa Anak Desa yang mendaftar kerja di perusahaan itu pastilah diterima. Tak perlu surat lamaran apalagi ijazah dan sebagainya, yang ada hanya ijin untuk ikut menjadi buruh pemetik teh kepada mandor yang tersebar di beberapa desa.. “Aku berharap, kelak aku tak hanya menjadi pekerja kebun atau petani kluthuk.” Kata Santoso. Ia adalah pemuda desa Wonokerto yang dikenal baik oleh masyarakat. Mungkin ialah satu-satunya anak petani yang memiliki cukup pengalaman di luar. Maklum, dari sekian banyak petani di Desa Wonokerto, hanya bapaknya yang mau menyekolahkan anaknya ke SMA. Namanya, Pak Kirman, atau yang biasa dipanggil Kang Kirman oleh para tetangga. Bagi masyarakat, menyekolahkan anak sampai SMA itu butuh biaya tak sedikit. Mulai dari biaya bulanan, biaya buku, dan seragam. Belum lagi biaya untuk transportasi yang harus ada setiap harinya. Bagi buruh pabrik teh yang penghasilannya pas-pasan itu sangatlah berat. Apalagi untuk petani yang panennya tiga bulan sekali. Bahkan ada yang setahun dua kali. Hingga tak aneh, semenjak Desa Wonokerto ada, hingga sekarang, baru memiliki tiga orang yang lulus SMA, itu pun tak ada yang menetap di desa. Dan ketiganya bukanlah anak petani. Tapi anak-anak PNS yang orangtuanya sudah punya gaji tetap. Sayangnya, mereka semua meninggalkan desa karena mungkin tak ada yang menarik baginya untuk tetap bertahan di desa. Untuk bertani mereka tak mau. Untuk menjadi buruh teh, mereka tak sanggup. Hanya sesekali mereka pulang ke desa tatkala hari raya tiba. Itu pun sudah menjadi buah bibir para tetangga. Sepertinya mereka adalah orang yang paling sukses di desanya. Tapi aneh, masyarakat tidak mau mengambil i’tibar dari mereka yang sudah sukses berkarir karena pendidikannya.


Redup Matahari di Wonokerto 7 Hingga mereka hanya puas dengan memuji tetangganya yang sudah sukses, tanpa ada keinginan untuk membuat anaknya sukses. Aneh memang. Tapi mereka tak kehabisan akal. Masih ada cara lain untuk mendapatkan penghasilan lebih. Terutama kaum muda. Mereka memilih merantau ke Malaysia, Singapura, Taiwan, Hongkong, dan Arab Saudi. Jadi TKW. Dengan janji akan memperoleh gaji yang tinggi, mereka pun tergiur. Para orang tua pun seperti tak ada yang keberatan dan mengijinkan anak-anak mereka menjadi TKW. Alasannya, demi membantu ekonomi keluarga. Sebenarnya, tahun 2007 lalu, pernah ada seorang warga yang menjadi TKW dan disiksa oleh majikannya di Malaysia. Tapi ternyata itu tak meluluhkan “niat baik” kaum-kaum muda untuk menjadi TKW di negeri tetangga. Semuanya dilakukan demi memperoleh uang yang banyak yang tentunya susah untuk didapatkannya bila mereka hanya bekerja di desa. Kalau dipikir-pikir Wonokerto begitu subur. Letaknya yang tidak terlalu jauh dengan Gunung Kemulan, membuat tanahnya gembur dan cocok untuk ditanami segala macam tanaman. Namun, ternyata itu tak cukup membuat kaum-kaum muda tertarik untuk menancapkan kakinya di desa. Mungkin karena yang dibutuhkan tak sekadar makanan. Mereka masih ingin rumah yang layak, kendaraan yang bagus, HP mewah, dan sebagainya. Ya, kalau seperti itu, memang tanah desa tak menjanjikan, karena tak setiap bulan mereka bisa memetik hasilnya. Berbeda dengan menjadi TKW, setiap bulan mereka akan mendapatkan gaji, dan mungkin tak butuh waktu lama untuk memenuhi keinginan-keinginan mereka. Andai saja mereka memiliki pendidikan yang cukup, mungkin tak harus bersusah payah bekerja ke luar negeri,


8 Asa Anak Desa karena di Indonesia pun mereka bisa mencari nafkah. Atau seandainya harus pergi ke luar negeri, mungkin tak akan jadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Mereka bisa bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembantu rumah tangga. Ya, lagi-lagi masalah pendidikan. g “Santoso, jangan melamun, lagi mikir apa?” Tanya Bapaknya sambil memikul cangkul di pundaknya. “Ini Pak, aku lagi mikir. Kok, tak rasa-rasa, orang desa itu kok pada jadi aneh ya pak.” “Aneh Kenapa?” Tanya Bapaknya dengan mimik penuh rasa ingin tahu. “Ya aneh saja pak. Mereka itu beli motor baru. Kredit lagi. Cicilannya sampai Rp. 300.000 per bulan. Dan mereka sanggup. Tapi untuk menyekolahkan anak sampai SMA yang mungkin sama segitu, ko ga pada sanggup. Aneh.” “Nang1 , yang namanya orang menyekolahkan anak itu bukan hanya masalah uang. tapi masalah niat. Bapak bisa menyekolahkanmu, meski sebenarnya pendapatan bapak mungkin sama dengan yang lain. kenapa? karena bapak punya niat.” Jawab Bapaknya berusaha menjelaskan. “Oh begitu ya Pak.” Jawabnya sambil menganggukkan kepala. “Ya sudah, sekarang sudah jam 7. Bapak mau berangkat ke sawah dulu.” “Santoso ikut ya pak.” 1 Nang; Panggilan untuk anak laki-laki


Redup Matahari di Wonokerto 9 “Ga usah, kamu dirumah saja. Urusan sawah biar bapak. Kamu konsen belajar saja. Sebentar lagi juga kamu kan mau ujian apa namanya?” “Ujian akhir Nasional Pak.” “Nah itu, makanya kamu belajar. Bapak pergi dulu ya.” “Nggih pak, ngantos-antos” Sang Bapak berlalu. Meninggalkannya sendiri di rumah. Hanya buku-buku pelajaran yang tertumpuk di rak-rak usang yang menemaninya kini. Bahkan, meski ia anak petani, koleksi bukunya bisa mengalahkan anak-anak yang berasal dari keluarga yang tingkat ekonominya lebih baik. Semua berawal dari semangat. Maklum saja, ia adalah murid yang dikenal rajin di sekolahnya, sehingga hampir ia memiliki semua buku pelajaran yang pelajarinya di sekolah. Kadang teman-temannya sampai heran melihat semangatnya yang menggebu-gebu. Padahal rumahnya saja bisa dikatakan sangat sederhana jika dibandingkan dengan tetangganya. Temboknya masih terbuat dari papan kayu dan kursinya terbuat dari bambu. Tak seperti yang lain, yang temboknya sudah terbuat dari batu bata yang di dalamnya tersedia sofa yang cukup empuk dan bagus. Menurutnya, Sang Bapak tak mau memperbaiki rumahnya seperti yang lain sebelum anaknya selesai pendidikannya. Karena menurutnya, yang lebih penting adalah isinya bukan sangkarnya. Banyak yang sangkarnya bagus dan mewah tetapi isinya kosong. Selain itu, bekal ilmu akan lebih berharga dari pada bekal harta. Prinsip itulah yang menjadikan bapaknya menjadi sosok yang sangat kuat pendiriannya dan susah untuk digoyahkan oleh siapapun. Hingga banyak orang-orang yang menaruh simpati dan kagum padanya. Kondisi itu tak pernah menjadikannya malas untuk belajar, justru sebaliknya.


10 Asa Anak Desa Hari ini, sesuai dengan amanat Sang Bapak, ia harus belajar mempersiapkan materi ujian nasional yang tinggal hitungan hari. Sebelum mulai belajar materi pelajaran, seperti biasanya ia membaca buku-buku ringan untuk pemanasan. Kali ini, ia membaca sebuah buku tentang Mantan Presiden RI, B.J. Habibie yang membuatnya terkagum-kagum. Orang yang berasal dari pelosok Pare-Pare yang bisa menjadi Presiden RI dan ilmuwan terkenal di dunia. Luar biasa. membacanya, seolah membuat Santoso merasa lebih semangat dan yakin bahwasanya orang desa juga bisa sukses. Buktinya B.J. Habibie pun bisa bangkit menjadi sosok yang luar biasa dan dikagumi di seantero Nusantara, bahkan dunia. Luar biasa. g Adzan dhuhur telah berkumandang dari surau. Segera ia menuju suaru untuk jama’ah sholat dhuhur. Seperti biasa, surau tempat ia sholat nampak lengang jika waktu duhur dan ashar menyapa. Bahkan dua shof pun tak tampak penuh. Yang ada hanya orang-orang yang sudah udzur yang sudah tak sanggup lagi bekerja. Sedang yang lain masih menyibukkan diri di sawah. Maklum karena masyarakatnya adalah petani, sehingga banyak yang lebih memilih untuk sholat dirumah masing-masing dari pada memenuhi surau. Sholat Jama’ah pun selesai, ia segera menuju ke rumah menunggui bapaknya pulang dan menyiapkan makan siangnya, karena semenjak ibunya merantau ke Malaysia 10 tahun yang lalu, Santoso lah yang selalu menemani bapaknya. Terlebih semenjak kepergiannya, Sang Ibu tak pernah mengirim kabar. Apalagi uang. Sebagai anak semata wayang ia merasa memiliki kewajiban penuh untuk menjaga dan merawat Sang Bapak


Redup Matahari di Wonokerto 11 setiap hari. Ia pun tak pernah merasa lelah. Sehabis pulang dari sekolahnya yang cukup jauh, ia tak pernah keluar. Hingga suatu kali sempat ditawari oleh sang bapak untuk ngekos atau nyantri di dekat sekolahnya. Tapi santoso menolak dengan alasan ingin berbakti sepenuhnya kepada bapaknya. Beberapa menit dinanti, bapaknya tak kunjung pulang. Satu jam, dua jam, bahkan hingga ashar menjelang, seperti masih belum ada isyarat kalau bapaknya sudah pulang. Rasa khawatir dan was-was sedikit demi sedikit menyelinap di hati Santoso. Pertanyaan pun menumpuk dalam pikirannya. “Ada apa dengan bapak. Biasanya setelah dhuhur bapak pasti langsung pulang.” Kata Santoso dalam batinnya. Suara adzan penanda ashar pun melengking tinggi dari corong surau. Tapi masih seperti sebelumnya. Bapaknya belum juga pulang. Ia semakin cemas dan pikirannya kemana-mana. “Aku harus segera menyusul bapak ke sawah. Kalaukalau.... ah.. tidak ada apa-apa dengan bapak.” Pikir santoso seraya menepis pikiran negatif yang timbul dari dalam hatinya. Tetapi karena waktu yang ditunggu sudah cukup lama, ia pun tak sabar dan segera menuju sawah dimana bapaknya bekerja. Dengan perasaan was-was dan penuh cemas, santoso lari tergopoh-gopoh menuju sawah yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahnya. Setibanya di sawah ia tak melihat apa pun. Bahkan jejak kaki pun tak tampak ada. Sepertinya tak ada tanda-tanda jika bapaknya berada disana. “Bapak..............!!!” Teriak Santoso dari pinggir sawah. Namun, tak ada sautan yang membalas panggilannya. Ia semakin cemas, ia pun dihantui dengan bayangan-bayangan yang tidak-tidak dengan bapaknya. Takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada bapaknya. Ia pun berlari


12 Asa Anak Desa dari petak sawah satu ke petak yang lain. Melewati rimbunnya pohon jagung yang sedang tumbuh lebat di sawahnya. Setelah pencarian yang cukup lama, ia menemukan sebuah botol milik bapaknya yang berisi bekal air dari rumah. Masih penuh. Kemudian, ia mencari ke sekitar botol minum sambil memekikkan suara lantang memanggil bapaknya. Namun sekali lagi, tak pernah ada suara yang membalas panggilannya. Akhirnya, ia pun melihat ada yang janggal dengan beberapa pohon jagung yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Pohonpohon itu sudah roboh, padahal tak ada angin apalagi hujan kemarin sore. Ia mendekati tanaman-tanaman jagun yang roboh itu, betapa terkejutnya santoso. Ia pun menemukan Sang Bapak yang sudah tersungkur di antara tanaman jagung. “Bapaa......kkkkkkkkkk!!!” Teriak Santoso yang terdengar hingga kampung sebelah. Warga pun berdatangan menuju suara santoso. Mereka berlari dengan cepatnya mencaria asal suara. Dan sesampainya di sana, mereka kaget melihat Pak Kirman sudah tersungkur di antara tanaman jagungnya yang lebat. Terlebih lagi mereka melihat Santoso yang sedang memeluknya dengan tangisan yang mendera-dera mengira bapaknya pingsan. Tanpa berpikir panjang, mereka pun segera memboyong Kang Kirman beserta Santoso ke rumah. Pun, orang-orang kemudian berbondong-bondong menuju rumah Santoso. Bermaksud untuk melihat secara langsung keadaan Kang Kirman. Mereka penasaran, karena sebelumnya Kang Kirman masih terlihat segar bugar dan sehat wal afiat. Semakin lama, orang-orang pun semakin banyak yang datang, dan kabar itu pun cepat sekali menyebar ke tetangga-tetangganya di desa.


Redup Matahari di Wonokerto 13 “Kenapa Kang Kirman. Perasaan tadi pagi saya lihat masih biasa-biasa saja. wong tadi berangkatnya juga saya ketemu di jalan. Masih sehat. Apa mungkin kecapean ya?” Ucap salah seorang teman Kang Kirman kepada yang lainnya. Adalah Kiai Dahlan, yang baru saja datang dan meminta untuk diantar ke kamar di mana Kang Kirman berada kini. Orang-orang yang sudah memenuhi tempat Kang Kirman pun mempersilahkan Kiai Dahlan untuk masuk ke kamarnya. Melihat keadaan Kang Kirman yang sudah tak bisa berucap apaapa, matanya terpejam, dan terlihat pucat, Kiai Dahlan pun meminta kepada orang-orang untuk membacakannya Surat Yasin. Sontak saja, setelah orang-orang mulai membaca surat Yasin, Santoso yang berada di kamar sebelah menangis histeris. “Santoso, tenang ya. Orang-orang lagi berdo’a untuk bapakmu. Sekarang Santoso jangan nangis, tapi ambil air wudlu terus ikut baca do’a biar bapakmu sehat. Ayo!!!” Bujuk Kiai Dahlan untuk menenangkannya. Namun tak berhasil. Ia masih menjerit histeris bahkan bertambah keras. Air mata pun mengalir dengan derasnya, diiringi lantunan ayat al Qur’an yang tengah dibaca kini. Melihatnya, ibu-ibu pun tak kuasa menahan tangis dan mereka pun ikut menangis. Tak lama setelah Surat Yasin yang dibaca selesai, Kiai Dahlan pun meneteskan air mata, seraya berkata, “Innalillahi wa inna iliahi roji’un. Bapak-bapak, Ibu-Ibu, Kang Kirman sudah diambil oleh Allah Subnahu Wa Ta’ala.” Begitulah ucapnya hingga membuat suasana pecah. Guyuran air mata tumpah di mana-mana. Terlebih Santoso yang telah mengetahui kalau bapaknya kini telah pergi meninggalkannya untuk selamalamanya. Hatinya seperti tersambar petir. Tubuhnya bak daging


14 Asa Anak Desa tanpa tulang yang lemas tak ada daya. Tangis haru dan banjir air mata menyelimuti rumahnya. Duka mendalam dirasakan oleh Santoso dan juga keluarga. Mereka tak menyangka Kang Kirman yang dikenal baik di desanya dengan cepat meninggalkan kehidupannya. Matahari pun redup ke peraduannya, merasakan kesedihan mendalam yang kini tengah mendera. “Ceritanya gimana kang?” Tanya Kang Bejo pada Sukardi. “Aku ngga tahu, dari rumah saya mendengar teriakan yang arahnya dari sawahnya pak Kirman. Aku langsung kesana dan ternyata aku melihat santoso yang sudah mendekap tubuh bapaknya.” Jawab Sukardi. “Kasihan Santoso, ia harus menjadi Yatim dalam usianya yang masih belia.” Ucap Ranto, tetangga Pak Kirman pada Sukardi dan Kang Bejo. “Ya sudah, kita siapkan saja upacara pemakamannya untuk besok pagi sambil menunggu saudara yang dari luar kota tiba disini.” Tegas Kang Sukardi. Para tetangga, kerabat dan warga sekitar pun mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman besok. Santoso kini masih tak sadarkan diri. Ia tergeletak lemas dikamarnya ditemani oleh para ibu. Ia pun tak ada daya. Ucapan terakhir bapaknya untuk pergi ke sawah, ternyata adalah isyarat untuk pergi selama-lamanya. Suasana begitu kalut. Tatkala terdengar suara Yasin dari para pelayat. Santoso masih tak sadarkan diri. Ia benar-benar terpukul atas kejadian ini. Para kerabat dan pelayat hanya berharap agar santoso bersabar dan menerima takdir yang sudah ditetapkan Tuhan. g


Redup Matahari di Wonokerto 15 Pagi itu cuaca tak seperti sebelumnya . Suasana begitu senyap. Burung-burung yang biasa bernyanyi dengan riang di dahan cemara depan rumahnya, kini tak mau bersiul seolah ikut merasakan duka. Matahari yang kemarin bersinar dengan cerahnya, kini tampak redup seperti ikut merasakan pilu. Sungguh pagi yang amat menyedihkan. Para pelayat semakin memenuhi rumah duka. Mulai dari pamong desa sampai pamong kecamatan juga nampak disana. Hampir semuanya menanyakan apa yang terjadi dengan Kang Kirman. Tapi tak ada satu pun yang bisa mengetahui pasti dan belum ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. Yang mengetahui pasti adalah Santoso, anak semata wayangnya yang menemukannya kemarin. “Kang, Santoso sudah sadar belum?” Tanya Sukardi pada Kang Bejo. “Alhamdulillah sudah, tapi dia belum ngomong apa-apa Kang. Jadi kita masih belum tahu kejadian yang sebenarnya pada Kang Kirman.” Jawab Sukardi dengan nada lemah. Upacara pemakaman pun sudah siap untuk dilakukan. Para pelayat berkumpul untuk bersama-sama melakukan sholat jenazah, sebelum pemakaman dilaksanakan. Kala itu bertindak sebagai imam adalah Kiai Dahlan, sesepuh desa Wonokerto. Mereka tampak khusyu’ melaksanakan sholat, bahkan tak jarang dari mereka meneteskan air mata kesedihan. Seperti masih tak rela untuk melepas kepergian orang yang dikenal sangat baik, Kang Kirman. Pun Santoso yang mengikuti sholat jenazah nampak lemas, dan selalu memuntahkan air mata, hingga membuat matanya merah dan membengkak. Meskipun sudah sadar tapi sepertinya


16 Asa Anak Desa ia belum siap untuk menerima semua ini, apalagi menceritakan kronologi kejadiannya. “Baiklah saudara-saudara sekalian. Mari kita hantarkan jenazah ke peristirahatan terakhir. Dan sebelumnya mari kita berdoa untuk jenazah.” Kata Kiai Dahlan pada para pelayat. Mereka pun menuju makam diringi dengan kalimat tahlil yang membahana disepanjang jalan. Karena tak kuasa menahan kesedihan, ditengah prosesi pemakaman, santoso kembali pingsan. Lagi-lagi tubuhnya lemas bak daging tanpa tulang. Seperti tak ada kekuatan. “Nang, sadar nang...” Ucap Kang bejo yang merangkul Santoso. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya linangan air mata yang mengucur dari matanya. Benar-benar santoso merasakan duka yang amat dalam. Para pelayat yang tak kuat melihat Santoso, pun ikut meneteskan air mata. Tak terkecuali Kiai Dahlan yang memimpin upacara pemakaman. Prosesi pemakaman pun selesai. Para pelayat pulang ke rumah masing-masing. Tapi tak untuk Santoso. Ia tersungkur diatas gundukan tanah yang masih basah, tempat bapaknya dimakamkan. Ia tak mau pulang meninggalkan bapaknya sendirian. Semua saudara pun merayunya, tapi tak ada satu pun yang mempan. Bahkan sampai Kiai Dahlan pun ikut membujuknya untuk pulang, ia tetap bergeming. “Ayo cah bagus, pulang... biarkan bapakmu istirahat dengan tenang.” Kata Kiai Dahlan sambil memegang pundak Santoso. “Njengan pulang saja, saya mau tetap disini menunggui Bapak.” Jawabnya dengan nada terbata-bata. “Ayo, kita pulang dulu. Kita do’akan bapakmu dari rumah. Kalau kamu menangis terus, apalagi sampai air matanya menetes


Redup Matahari di Wonokerto 17 di makamnya. Itu artinya kamu telah mempersulit jalan Bapak mu menuju surga Allah.” Nasehat Kiai Dahlan. Santoso pun luluh mendengar nasehat Kiai Dahlan. Ia segera beranjak dari makam dirangkul oleh Kang Bejo dan Sukardi. Ia sebenarnya masih merasa enggan untuk meninggalkan makam Sang Bapak. Seperti dalam sebuah mimpi, baru beberapa jam yang lalu, ia masih bisa mendengarkan suaranya, namun beberapa jam kemudian, Allah telah membuatnya tak kuasa lagi untuk berbicara. Inilah kehidupan, tak ada yang abadi. Hanya Tuhan lah yang Maha Abadi, manusia hanyalah mahkluk-Nya yang tak bisa berkuasa atas kehendak-Nya. g Matanya nampak lebam kemerah-merahan. Air matanya terus bercucuran, meresapi kepedihan yang tengah ia alami. Tak terkira sebelumnya. Bapak yang sangat ia cintai tiba-tiba harus meninggalkannya untuk selamanya. Padahal waktu ujian sebentar lagi tiba. Ia butuh mental yang kuat dan dukungan dari Sang Bapak. Ia sempat punya keinginan agar kelak di acara perpisahan SMA, akan menggandeng Sang Bapak untuk menerima penghargaan sebagai siswa terbaik di SMA nya. Tapi, semua itu hanya tinggal kepingan harapan yang tak mungkin akan terjadi. “Santoso, janganlah kamu terus-terusan seperti ini,” kata Kang Bejo sambil mengusap-usap rambutnya di ruang tamu. “Tapi Kang, Sampeyan kan tidak merasakan seperti yang saya rasakan sekarang ini.” “Aku tahu, kau begitu terpukul. Tapi ingat kau anak lakilaki. Kamu harus sabar.”


18 Asa Anak Desa “Aku tidak mau ikut ujian kang. Memang nasibku mau jadi petani. Aku akan meneruskan pekerjaan ayah yang sangat mulia itu.” “Jangan psimis begitu, Ingatlah, bapak mu sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membiayaimu. Apa kamu tega, tinggal selangkah lagi kamu mundur?” Tanya Kang Bejo berharap agar santoso mengurungkan niatnya. Mereka pun terlibat dalam perbincangan yang cukup lama. Namun akhirnya, setelah Kang Bejo menasehati, ia pun bersedia mengikuti ujian Nasional yang akan digelar dua minggu lagi. Kang bejo pun tak bosan menasehati dan menemaninya belajar setiap malam, meski dirinya tak bisa membantu Santoso dalam proses belajar. Maklum dirinya hanya lulus SD, itu pun dengan nilai pas-pasan. Namun, hampir setiap kali membuka lembaran demi lembaran buku pelajaran, ia selalu saja meneteskan air mata. Hingga tulisan di bukunya menjadi tak jelas karena tercoreng oleh guyuran air mata. Pun Kang Bejo yang selalu mendampinginya, tak bosan-bosan untuk memberikan nasehat kepadanya agar terus semangat demi mencapai cita-citanya. Kini sudah beberapa hari Kang Bejo menemaninya dan selalu tidur dirumahnya. Jadi setelah acara tahlil selesai, ia tak pernah pulang. Ia hanya berharap, semoga dengan kehadirannya bisa membuatnya menemukan kembali sinar hidupnya yang tengah redup karena duka.


Asa Anak Desa 19 2 Bertarung dengan Ujian Nasional D ari kejauhan, Gunung Kemulan nampak gagah berdiri tegap diantara bukit-bukit yang menemani sekelilingnya. Pohon-pohon yang rindang dan tak pernah terjamah oleh tangan-tangan nakal, membuat Gunung Kemulan begitu Indah. Warnanya hijau kebiru-biruan, teduh sekali. Awan pun nampak begitu dekat dengan puncaknya. Mungkin tak sampai satu meter lagi, puncak gunung akan dapat bersenggama dengan awan di atas sana. Bahkan burung-burung nampak beterbangan diantara pepohonan rindang yang memenuhinya. Meski hanya terlihat sangat kecil, tapi mata manusia masih dapat menjangkaunya. Mereka asyik sekali beterbangan, memamerkan keindahan Kemulan bagi penghuni semesta alam. Tapi tak untuk SMA tempat Santoso bersekolah. Suasananya nampak begitu sepi, celoteh anak-anak dan suara tawa lepas yang biasanya terdengar, kini tampak ada. Mungkin karena hari ini dan sampai tiga hari ke depan hanya kelas XII yang


20 Asa Anak Desa masuk sekolah. Ya, mereka akan melaksanakan ujian nasional untuk menentukan kelulusan. Bahkan susananya kini benarbenar berbeda, para siswa nampak begitu kaku. Wajahnya begitu serius seperti tengah menghadang musuh yang akan menyerangnya. Tak hanya itu, tiba-tiba ada pemandangan yang tak biasa. Mereka membawa buku-buku yang tebal dan dibacanya di sepanjang teras sekolah. Sungguh tak seperti biasanya. Ini pemandangan yang tak lazim terjadi di hari-hari sebelumnya. Raut mukanya pun tak bisa disembunyikan jika mereka tengah dirundung rasa takut. Mungkin mereka juga grogi menghadapi “dahsyatnya” ujian nasional yang seolah menjadi momok menyeramkan bagi semua pelajar di seantero negeri. Desas-desus adanya bocoran jawaban pun sempat menyebar ke telingan para peserta ujian. Terutama mereka yang tidak percaya dengan kemampuan mereka sendiri. Bahkan sampaisampai ada yang membeli jawaban ujian demi kelulusan. Ya, mungkin itulah dampak dari rasa takut yang luar biasa. “Ayo Santoso, semangaaaaat!!!” Ucap Iwan, teman sekelasnya. “Terimakasih Wan.” “Nah gitu dong.” Ujian pun dimulai, para siswa nampak duduk dengan rapi sesuai dengan nomor ujian yang telah dibagi. Sepertinya tak ada yang nampak bercanda seperti keadaan di kelas di hari biasanya. Muka mereka nampak serius sambil mulutnya tak hentihentinyan memanjatkan do’a. Bel pun berbunyi, pertanda soal ujian sudah bisa mulai dikerjakan. Para pengawas pun nampak garang mengawasi para peserta ujian. Salah satunya Pak Syam, salah seorang guru matematika di SMA Negeri 2 Batang yang


Bertarung dengan Ujian Nasional 21 terkenal galak. Apalagi kumisnya yang tebal dan badannya yang kekar, membuat para siswa menaruh takut kepadanya. Namun Santoso tak mau larut dalam suasana grogi dan was-was seperti temannya yang lain. Ia mencoba untuk berkonsentrasi dalam mengerjakan semua soal yang diujikan, seraya berharap semoga Allah memberikan kemudahan dalam mengerjakannya. Apalagi, teman-teman selalu memberikan semangat untuknya, agar bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Pun mereka sangat kagum dengan Santoso, sehingga mereka pun yakin kalau Santoso akan lulus dan memperoleh nilai yang terbaik di sekolahnya. Kini semua berkonsentrasi dengan soal-soal yang sudah ada di depan mereka. Namun, namanya anak-anak, masih saja ada yang menoleh ke kanan dan ke kiri berharap mendapatkan kebaikan dari temannya. Salah satunya Iwan, teman sekelas Santoso. Memang seperti sudah menjadi kebiasaannya, misalkan saja pada saat ujian semester tiba, ia selalu mencontek temannya. Apalagi sekarang ujian nasional dan sangat menentukan kelulusannya. Mungkin ia berharap akan ada teman yang mau mengerti kesulitannya. Melihat tingkahnya yang agak janggal, Pak Syam dengan kumisnya yang tebal memberikan isyarat agar semuanya tenang dan bekerja sendiri-sendiri. Iwan pun ketakutan dan segera mengalihkan pandangannya kembali ke lembar jawabannya. Hari pertama ujian telah selesai. Semua peserta ujian tidak ada yang kembali ke rumahnya. Semuanya pulang ke asrama yang dimiliki sekolah. Pun dengan Santoso. Sudah menjadi tradisi di sekolahnya, jika sedang melaksanakan ujian, semua siswa dikarantina di asrama sampai hari ujian selesai. Biasanya selain diadakan acara belajar bersama dengan para guru, mereka


22 Asa Anak Desa juga bersama-sama memanjatkan do’a-do’a, beristighosah, berdzikir, dan juga termasuk membaca amalan-amalan yang diberikan oleh guru agama. Para guru berharap agar para siswa tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektualnya saja, tapi juga pendekatan spiritual. Selain itu, dengan tinggal di asrama, mereka tidak akan ada yang telat dalam masuk ujian, karena jarak asrama dengan sekolah sangatlah dekat. Hari kedua dan hari ketiga ujian berlangsung. Wajahwajah psimis nampak semakin jelas terpampang dari wajahwajah cantik dan gagah para siswa. Bukannya semakin optimis, semakin hari justru mereka nampak semakin tak percaya diri. Hingga akhirnya, sebelum ujian dimulai semua guru memberikan nasihat kepada mereka agar tetap yakin dan terus berusaha agar mendapatkan hasil yang terbaik. Termasuk pada saat setelah hari ujian terakhir selesai, para guru kembali memberikan semangat kepada mereka untuk senantiasa berdo’a dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt, sebelum akhirnya mereka kembali ke rumah masing-masing. Rasa haru mewarnai hari terakhir ujian, para siswa yang sudah ditempa selama tiga hari di asrama kini harus kembali ke rumah masing-masing, seraya menunggu hasil ujian yang rencananya akan keluar tiga minggu ke depan. Tak sedikit diantara mereka yang meneteskan air mata. Terlebih ketika berucap salam kepada para guru yang telah membimbing mereka dengan penuh kesabaran. Tak terkecuali Iwan yang terkenal senang mencontek. Ia pun tak bisa tak mengeluarkan air mata. “Gimana tadi ujiannya?” Tanya Kang Bejo sesampainya ia di rumah.


Bertarung dengan Ujian Nasional 23 “Alhamdulillah Kang, aku bisa mengerjakan, tapi....” “Tapi apa?” Tanya Kang Bejo penasaran “Tapi aku belum bisa konsentrasi penuh. Aku masih terbayang selalu dengan Bapak Kang.” Jawab Santoso seraya meneteskan air mata. “Sudah, kamu sekarang konsen dulu di Ujian Nasional. Biar lulus. Nanti kalau kamu lulus pasti bapak bahagia disana.” “Iya Kang, aku akan mencoba memberikan yang terbaik untuk Bapak.” “Nah gitu donk.” Tak terasa detik demi detik terus berputar mengarungi masa. Hari ujian telah berlalu, tapi ujian yang nyata baru ia hadapi. Ia berharap dapat memberikan yang terbaik untuk Sang Bapak, meskipun duka nestapa mendalam masih terlihat jelas dari raut wajahnya. Ia ingin lulus, meskipun setelah lulus ia tak tahu harus kemana. Cita-citanya untuk kuliah kini tinggal catatan semu. Karena sang Bapak yang selalu mendukungnya untuk belajar kini telah tiada. Sambil menunggu pengumuman ujian yang mendebarkan. Ia mengisi waktunya di sawah dibantu kang Bejo. Membersihkan rumput hijau yang tumbuh di sekitar tanaman jagungnya yang lebat, sambil sesekali mendegar kicauan burung yang memanggil-manggilnya dengan mesra. Tak jarang ia meneteskan air mata tatkala teringat kejadian memilukan itu. Ia pun sering termenung disebuah tempat di mana ia menemukan ayahnya tersungkur beberapa minggu lalu. “Santoso, jangan menangis terus. Kamu khan anak lakilaki. Yo..” Nasehat Kang Bejo. “Susah kang, aku disini melihat sendiri bapak tersungkur kang.” Jawab santoso dengan linangan air mata pilu.


24 Asa Anak Desa Ia pun akhirnya menceritakan kronologi kejadian yang ia alami. Kang Bejo merasa beruntung karena ia menjadi orang yang pertama mengetahui cerita tentang kematin Kang Kirman darinya. Sambil meneteskan air mata, Ia menuturkan kisahnya tatkala ia menunggu Sang Bapak sampai petang menjelang. Hingga ia tak sabar dan menyusul Sang Bapak ke sawah. Begitu seterusnya hingga ia pun menemukan Sang Bapak sudah tergeletak di antara tanaman jagunya yang lebat. Kang Bejo pun akhirnya tahu semua dan menduga kematian Kang Kirman disebabkan karena serangan jantung. Sebab tidak ditemukan luka apa pun pada tubuhnya. “Bersabarlah To. Sekali lagi, kamu itu anak laki-laki.” Nasehat Kang Bejo sambil menepukkan tangannya di pundak Santoso. “Iya kang, mungkin pelan-pelan kang. Terus apa yang harus kulakukan kang?” “Sekarang kamu harus menentukan setelah ini kamu mau kemana?” “Ga tahu kang.” “ Lho kok tidak tahu?” “Aku bingung, mungkin aku mau mencari Ibu ku Kang.” “Mau dicari kemana?, Ibumu sudah 10 tahun pergi.” “Ya tanya ke PJTKI yang dulu memberangkatkan ibu. Mereka pasti punya datanya kang.” Jawab Santoso dengan tegas. “Ya sudah, sekarang kita pulang dulu. Cuacanya juga rada mendung siang ini. Dari pada nanti kita kehujanan. Ayo pulang dulu. Ceritanya nanti dilanjutkan dirumah saja.” Mereka berdua pun bergegas menuju rumah. Sambil menenteng cangkul dan arit yang mereka gunakan untuk bekerja tadi. Siang itu cuaca mendung. Kabut tebal menutup pandangan


Bertarung dengan Ujian Nasional 25 mata. Sepertinya hujan deras tak lama lagi akan mengguyur desa Wonokerto. Tak berselang lama, kilat petir menyambarnyambar di atas awang, diiringi dengan jeritan petir yang amat dahsyat. Sepertinya sang petir sedang mengamuk. Hujan pun turun dengan begitu derasnya. Hingga listrik di desa semuanya dipadamkan. Rasanya sepi menghantui. Terlebih petir terus menyambar-nyambar dengan kerasnya. Santoso duduk termenung di ruang tamu tanpa ada satu katapun yang keluar untuk mewakili perasaannya. Melihatnya, Kang Bejo menyuruhnya untuk ke kamar dan istriahat disana. Namun ia tak berhasil membujuknya. Ia bersi keras untuk tetap di ruang tamu sambil memandang foto pengantin bapak dan ibunya 20 tahun lalu yang masih disimpan dengan apik. Hingga hujan reda, ia masih duduk termenung. Belum bergeser satu cengkal pun dari tempat duduknya. Sampaisampai Kang Bejo yang menemaninya tertidur dengan pulasnya karena capek seharian bekerja. Karena sangkin pulesnya, hingga tak sadar jika hari sudah beranjak petang. Dan malam segera menghampirinya. g Tiga minggu sudah ia menunggu pengumuman hasil ujian yang mendebarkan. Di sekolah tempat ia belajar, pengumuman ujian selalu diantarkan ke rumah masing-masing oleh para guru atau karyawan sekolah. Katanya untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan. Hari itu, ia menanti dengan cemas. Tiap kali ada suara motor terdengar di depan rumahnya, ia menengok ke jendela. Kalau-kalau tamu yang ia tunggu telah tiba. Waktu terasa begitu lama, karena ia menunggu dan menunggu dengan hati yang penuh cemas. Ia takut kalau ia


26 Asa Anak Desa tidak lulus dan mengecewakan perjuangan keras Sang Bapak dalam membiayainya bersekolah. Apa kata orang-orang nanti kalau-kalau ia tidak lulus. Tapi ia pun selalu menepis jauh-jauh prasangka buruk dari pikirannya. Tak terasa, waktu dhuhur sudah tiba, tapi tamu yang ia tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Ia khawatir kalau-kalau petugas yang mengantarkan pengumuman hasil ujian kesasar entah kemana. Maklumlah desa Wonokerto adalah desa terpencil yang teletak di lereng Gunung Kemulan dengan kondisi jalan yang cukup susah. “To, pak gurumu belum kesini?” Tanya Kang Bejo yang ikut penasaran. “Belum Kang. Ko belum sampai yo kang. Padahal harusnya sebelum dhuhur juga sudah sampai kang.” Jawab Santoso dengan mimik yang mengekspresikan perasaan cemasnya. “Ya sudah kamu sholat dulu, berdoa supaya lulus. Biar aku yang gantian nunggu.” “Ya sudah kang kalau begitu. Aku tak sholat dulu.” “Heem, aku yang sten be disini.” “Opo Kang?” Tanya Santoso dengan senyum menyindir. “Stand be. Itu lho yang artinya siap.” “oh Stand By, he......” “apapun itu, wong kalo bahasa inggris aku tahunya cuma I Love U, Yes, sama No.” Jawabnya bercanda. Suasana agak cair. Ketegangan dan kecemasan yang dari tadi terasa kini sudah mulai berbeda. Agak sedikit santai. Guyonan Kang Bejo ternyata mengubah susasana tegang menjadi agak santai. Kali ini Kang Bejo mungkin berhasil. Segera Santoso menuju kamar mandi. Berwudlu kemudian sholat. Ia berdoa dengan khusyu’nya agar ia diberikan kelulusan


Bertarung dengan Ujian Nasional 27 dan bapaknya diberikan ampunan serta surga-Nya. Sholat pun usai. Namun, masih seperti sebelumnya, tak ada tanda-tanda kedatangan utusan sekolah yang mengantarkan surat sakti yang tengah ia tunggu kini. Sambil bercanda dengan Kang Bejo. Ia bercerita tentang keinginannya untuk kuliah. Tapi ia psimis karena ia tak punya uang untuk biayanya. Tabungan bapaknya juga sudah menipis. Sedang ibu nya tak mengirimkan uang kepadanya. Kang Bejo pun menasehatinya, agar ia tetap kuliah. Bagaimana pun caranya. Meskipun harus mengambil kuliah malam dan siang digunakan untuk bekerja. Akhirnya, di tengah-tengah obrolan mereka, terdengar suara motor terlintas di telinganya. Segera ia membuka gorden jendela dan menengok keluar. Dan benar saja, tamu yang ia tunggu sudah tiba. Penantian pun membuahkan hasil. Ia pun melihat sudah ada sosok Pak Ikhsan yang berdiri di depan rumahnya, beliau adalah guru Bahasa Arab di sekolahnya. Dia adalah alumni Universitas al Ahqof Yaman. Pak Ikhsan juga lah yang menjadi ciri-ciri SMA tempat Santoso bersekolah dengan SMA-SMA lain yang ada di Batang. Meski sekolahnya adalah sekolah umum, tapi ada pelajaran Bahasa Arab untuk semua muridnya. Itu dilakukan agar para siswa tidak hanya bisa Bahasa Inggris, tapi juga bahasa asing yang lain. Tanpa berlama-lama, segera ia membukakan pintu, bersalaman, mempersilahkannya dan menyambutnya dengan hangat, sebagaimana yang diajarkan oleh almarhum bapaknya tatkala beliau menerima tamu. Tak tahu kenapa, setelah Pak Ikhsan datang justru ia semakin cemas. Keringat dingin bercucuran menunggu pengumuman yang dibawakan oleh Pak Ikhsan.


28 Asa Anak Desa “Santoso, kabare kepriye? 2 Sehat?” Tanya Pak Ikhsan penuh basa-basi. “Alhamdulillah Pak. Bagaimana hasilnya?” Tanya Santoso penuh penasaran. “Santoso lulus khan pak?” Tambah Kang Bejo yang dari tadi ingin ikut bicara. “Dibuka sendiri saja. Ini..” jawab Pak Ikhsan sambil menyodorkan sebuah amplop putih tersegel rapat. Takut, bingung, cemas, dan khawatir menyatu dalam dirinya. Ia tak kuasa untuk membuka amplop itu, apa lagi membacanya. Akhirnya Kang Bejo lah yang mengeksekusi surat itu. Dibukanya dengan sangat pelan dan ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Kemudian dibacanya dengan mimik penuh keseriusan. Sementara Pak Ikhsan hanya terdiam melihat tingkah mereka berdua. Surat pun dibaca, hingga pada poin intinya. Kang bejo terlihat tersenyum dengan begitu lebarnya seolah mengisyaratkan kabar baik atas apa yang ia baca. Santoso pun ikut tersenyum sambil bertanya-tanya penuh penasaran. Dan benar saja seperti diharapkan. Ia lulus dengan predikat istimewa. Nilai rata-ratanya 9,00. Ini prestasi yang luar biasa bagi seorang anak petani yang tinggal di sebuah desa terpencil di lereng Gunung Kemulan. Bahkan ia adalah warga desa yang keempat yang dinyatakan lulus dari sekolah setara SMA. Bahagia, mungkin itulah kata-kata yang bisa mewakili seluruh perasaannya kini. “Alhamdullah Kang, aku lulus.” Ucap Santoso kegirangan penuh rasa Syukur. Ia pun menangis bahagia atas nikmat yang diraihnya kini. 2 Santoso, bagaimana kabarnya?


Bertarung dengan Ujian Nasional 29 “Selamat ya To.” “Terima kasih Kang.” “Sama-sama To.” “Pak Guru, waduh sampai lupa. Terimakasih banyak atas bimbingannya pak. Akhirnya saya bisa lulus.” Tuturnya kepada Pak Ikhsan dengan penuh sopan dan senyum lebar menghiasi wajahnya. “Iya, selamat ya. Jangan lupa To, minggu depan ada acara perpisahan. Datang yah. Mungkin itu pertemuan terakhir dengan teman-teman dan guru.” “Nggih pak, Insya Allah saya akan datang pak.” “Ya sudah, kalau begitu bapak pulang dulu. Sudah sore. Mbok nanti hujan malah repot.” Kata Pak Ikhsan sambil menenteng tasnya. “Nggih pak, hati-hati Pak.” “Ya, Assalamu’alaikum” “Wa’alaikum Salam.” Bergeslah Pak Ikhsan menuju motornya yang terparkir di depan rumah Santoso. Seraya melambaikan tangan ia pun meninggalkan rumah Santoso untuk pulang ke rumahnya yang berada di Desa Singasari. Sekitar 10 kilometer arah timur dari desa Wonokerto. Rasa syukur atas keberhasilannya dalam menempuh ujian akhir ia suguhkan dengan acara tasyakuran kecil dirumahnya. Malam itu juga. Acara pun tak diisi dengan acara mewah seperti teman-teman sekolahnya yang lain. Tapi diisi dengan acara tahlilan untuk mendoakan Sang Bapak yang dihadiri oleh beberapa kerabat. Hidangannya pun amat sederhana, hanya teh manis dan krupuk kesukaannya. Tapi tak apa, meski hanya


30 Asa Anak Desa krupuk, itu sudah bisa menggugurkan kewajibannya yang telah bernadzar sebelum ujian dilaksanakan. Acara pun berlangsung dengan hidmat. Para kerabat yang tidak lebih dari 10 orang mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Ia pun senang. Tapi tak bisa dibohongi, terselip duka dalam dirinya. “Andai saja, bapak masih ada ya Kang.” Ucapnya pada Kang Bejo. “Tapi Kang Bejo yakin, Bapakmu disana pasti bahagia.” “Semoga kang.” Jawab Santoso sambil melinangkan air matanya. “Ya sudah, bagaimana kalau besok kita ke Pagilaran. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Ya itung-itung refreshing setelah kamu menempuh ujian. Gimana?” “Usul yang bagus Kang. Aku juga sudah lama tidak kesana.” “Kalau begitu, sekarang kita istirahat dan besok pagi kita meluncur ke Pagilaran. Oke?” “Oke Bos!!!!” “Toss dulu dong.” Mereka pun bersepakat untuk pergi ke Pagilaran. Tempat di mana sebagian besar masyarakat Wonokerto menggantungkan hidupnya. Tapi, di sana memang terkenal sebagai puncaknya Batang. Tempatnya sejuk, hamparan tehnya luas, dan tentunya ada air terjun dengan airnya yang masih sangat bersih. Asli dari Gunung Kemulan.


Asa Anak Desa 31 3 [Pagi]laran S enyum matahari terpancar ke belahan bumi selatan Kabupaten Batang. Sebuah tempat yang jarang diketahui orang. Meski sebenarnya ia memiliki jutaan potensi alam yang dahsyat. Namanya Pagilaran. Desa yang berada di kaki Gunung Kemulan yang menyimpan beribu-ribu hektar perkebunan teh yang katanya sekalian dijadikan laboratorium perkebunan oleh salah satu universitas ternama di Jogjakarta. Tempat ini begitu sejuk. Setiap pagi embun-embun yang menempel di dedaunan biasanya enggan berpisah, sampai matahari sendiri yang terpaksa menjemputnya. Hamparan teh yang terbentang luas, membuatnya bak karpet. Warnanya yang hijau merupakan lambang kedamaian dan kemakmuran. Ada pemandangan unik di desa bagian selatan Batang ini, rumahnya semua seragam. Nyaris tak ada perbedaan. Padahal bukan komplek perumahan elit seperti di kota-kota. Tapi ini pemukiman penduduk yang ada di perdesaan. Unik.


32 Asa Anak Desa Menurut cerita rumah-rumah itu warisan dari penjajah belanda ketika berkuasa di Nusantara. Ya, tempat bermukimnya para tentara dan militer-militer belanda. Bahkan tak jauh dari pusat Pagilaran, ada sebuah pemakaman tua yang biasa disebut “Kuburan Landa”. Bukti bahwa penjajah belanda memang pernah menapakkan kaki di bumi selatan Batang ini. Pabrik teh Pagilaran menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat disekitarnya. Meski upahnya tak begitu besar, paling tidak bisa untuk membantu ekonomi keluarganya. Seperti di Desa Wonokerto, banyak sekali yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan ini. Setiap hari mereka harus pulang pergi jalan kaki lebih dari 3 km. Bisa dibayangkan sendiri. Padahal jalannya juga bukan jalan aspal. Masih jalan bebatuan yang sangat licin bila gerimis turun. Tapi semua itu dilakukan demi satu kata, membantu kebutuhan keluarga. Santoso dan Kang Bejo pun merasa sudah sangat rindu dengan suasana Pagilaran. Hingga mereka menyusuri semua tempat yang indah yang pernah dikunjunginya dulu. Walau jarak antara Wonokerto dan Pagilaran tak begitu jauh, tak berarti mereka yang tak bekerja di perusahaan teh ini sering berlibur di sini. Hanya sekali dalam setahun, yaitu tatkala ada perayaan HUT Pagilaran. Biasanya dirayakan setiap 23 Mei setiap tahunnya. Tapi beberapa tahun belakangan ini, perusahaan tak menggelarnya lagi, karena sempat mengalami krisis pada 2008 lalu. Sampai di Pagilaran, seperti sampai di pelataran “surga”. Hawanya dingin dan pemandangan hijau telah menyambutnya. Tak hanya berdua, banyak juga para pengunjung yang asyik menikmati liburan di tempat ini. Usul Kang Bejo ini pun cukup berhasil untuk menghibur Santoso yang baru saja lulus dari


[Pagi]laran\ 33 SMA. Pikiran yang penat dan kalut setelah kepergian bapaknya seperti melebur dengan keindahan alam Pagilaran. “Kang kita ke mana dulu ini?” Tanyanya. “Terserah kamu, yang penting kamu seneng,” jawab Kang Bejo. Keduanya pun berkeliling ke semua wisata yang ada di Pagilaran. Mulai dari bukit teh, danau, out bound area, mini zoo, hingga curug kembar yang memisahkan Desa Ngadirejo dan Pagilaran. Ia pun terpukau dengan pemandangan alam yang tersaji apik di sana. Tak menyangka, setelah sekian lama tak bersua, pagilaran masih ramah menyambut kedatangannya. Ia masih sangat elok dan nikmat dipandang mata. Santoso pun mengusulkan agar berkunjung ke outbound area. Menikmati tantangan-tantangan yang tersedia. Kang Bejo pun menyetujuinya dan menerima tantangannya. Setibanya di outbound area, ia pun kaget karena kali ini banyak sekali pelancong dari negeri seberang yang tengah menikmati Pagilaran. Hampir di setiap sudut, mereka lihat para pelancong berambut pirang itu tengah mengabadikan keindahan alam wisata ini. Ia pun sedih, karena ia tak ada kamera yang bisa mengabadikan kenangannya bersama Kang Bejo kini. Tapi tak apa, meski tak ada kamera, yang penting bisa berlibur dan membuang semua penat yang ada. “Kang,” panggilnya pada Kang Bejo. “Apaan To?” “Kesini Kang,” ucapnya sambil menunjuk sebuah pohon besar yang ada di dekat taman bermain anak-anak. Kang Bejo pun berjalan menuju pohon besar yang ditunjuk oleh Santoso. Meski tak tahu apa sebenarnya maksudnya menunjuk pohon besar itu.


34 Asa Anak Desa “Kang, sampean tahu pohon besar ini?” tanyanya. “Tahu apanya? Ngomong yang jelas.” “Pohon besar ini bisa dijadikan sebagai saksi kita Kang.” “Maksudmu apa sih, aku ngga mudeng,” Jawab Kang Bejo sambil menggaruk-garuk kepala. Santoso pun menjelaskan bahwa ia ingin agar Kang Bejo menulis di pohon itu. ia menunjuk pada seorang turis yang tengah mengabadikan kenangannya bersama teman-teman dan rombongannya. Ia pun ingin menuliskan kenangannya bersama Kang Bejo. Akhirnya, Kang Bejo pun paham dengan maksudnya. Segera ia membeli cutter dan pohon itu pun ditulisinya. Sementara itu, Kang Bejo bertugas untuk mengawasi keadaan di sekitarnya. Takut kalau-kalau ada penjaga wisata yang memergokinya. Hatinya pun deg-degan. “Sudah selesai belum?” tanya Kang Bejo pada Santoso. “Sebentar lagi Kang.” “Cepetan lah.” Sepuluh menit berlalu, tulisan di pohon sudah selesai. Kang Bejo pun membalikkan badan dan memandang ke arah pohon besar yang ditulisi oleh Santoso. “Pagilaran, 25 Mei 2012 – 25 Mei 2022—Kang Bejo & Santoso.” Bunyi tulisan di pohon itu. Kang Bejo pun membaca kemudian memintanya agar segera meninggalkan pohon besar yang ada di depannya kini. Agar tak ketahuan oleh para penjaga kalau merekalah yang menulisinya. Keduanya pun berlari kegirangan, sambil tertawa lepas. Menjauh dari pohon besar yang dijadikannya monumen, sebagai saksi kedatangannya bersama Kang Bejo di bumi Pagilaran. “Nakal juga kamu To,” ucap Kang Bejo sambil ngos-ngosan. “He..he.. Iya Kang. Ternyata aku bisa nakal juga.” Jawabnya sambil tertawa.


[Pagi]laran\ 35 “Oh ya To, kenapa di pohon itu kamu tulis angka 25 Mei 2022?” “Kalau itu, aku kepingin nanti kita kesini lagi sepuluh tahun lagi Kang dan kita tunjukkan bahwa kita sudah jadi orang sukses.” “Wah, bagus itu. semangat To.” Ucapannya seolah telah menunjukkan bahwa ia telah kembali menemukan semangatnya. Kang Bejo pun merasa tak salah pilih menentukan Pagilaran sebagai tempat untuk membuang penat. “Kang, tadi kan kita ngga jadi main di outbound, gimana kalau kita beli layang-layang Kang?” “Boleh, siapa takut?” Kang Bejo pun berlari sekuat tenaga menuju lapangan bola. Tempat banyak para penjual layang-layang menjajakkan barang dagangannya. Ia pun tak mau kalah, mengejar Kang Bejo yang terlebih dahulu mencuri start lari darinya. Sesampainya di lapangan, mereka pun mendekati pedagang layang-layang dan membeli dua buah lembar layang-layang. Masing-masing berwarna putih merah dan putih hijau. Santoso langsung saja tancap gas, menerbangkan layanglayangnya setinggi mungkin. Pun dengan Kang Bejo yang tak mau kalah. Ia pun menerbangkan layang-layangnya setinggi mungkin. Keduanya tak ada yang mau mengalah. Sembari mengulurkan tali layang-layang, Kang Bejo pun melirik ke arah Santoso. Wajahnya terlihat seperti tanpa beban. Kang Bejo benar-benar bahagia melihatnya kini. Pagilaran telah bisa membuat seorang anak desa yang dirundung duka menjadi bahagia dan melupakan dukanya.


36 Asa Anak Desa g Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Artinya harus segera kembali ke Wonokerto. Apalagi sekarang sedang musim hujan, jadi kalau tidak cepat-cepat pasti ia akan kehujanan di jalan. “To, ayo pulang. Sudah sore.” Ajak Kang Bejo. “Tapi Kang,” Jawabnya yang enggan meninggalkan Pagilaran. “Kapan-kapan kita kesini lagi. Tapi sekarang kita pulang dulu. Kalau kehujanan malah jadi sakit nanti. Gimana?” “Ya sudah Kang, ayo kita pulang.” Keduanya berlalu meninggalkan Pagilaran dengan sejuta kenangan. Santoso berharap agar suatu hari nanti, Kang Bejo sudi mengajaknya kembali bermain di Pagilaran. Karena masih ada Curug Kembar yang tak sempat ia kunjungi. Ia pun mengendarai sepeda motor butut milik Kang Bejo, menyusuri perkebunan teh yang terhampar luas di sepanjang mata memandang. Namun belum lama meninggalkan Pagilaran, suara guntur sudah menyahut-nyahut kencang di awang-awang. Pun dengan awan yang mulai nampak hitam tebal. Ya, tanda-tanda hujan akan segera mengguyur bumi selatan Batang. Ia pun mulai ketakutan kalau-kalau hujan lebat akan mengguyurnya sebelum ia sampai di rumah. Kang Bejo pun mencoba mempercepat laju roda motornya. Tapi, karena motornya sudah terlanjur udzur, ia pun tak mau dipaksa untuk berlari lebih kencang lagi. Akhirnya, sebelum sampai di rumah, hujan sudah lebih dahulu mengguyurnya. Basah kuyup dan kedinginan


[Pagi]laran\ 37 dirasakannya kini. Tapi Kang Bejo terus memacu motornya, meski jalanan tampak begitu licin. Terlebih hujan yang disertai angin, membuat suasana cukup mencekam. Apalagi, di pinggir jalan yang dilalui, pohon-pohon besar tumbuh hingga menjulang tinggi. Kang Bejo was-was, karena beberapa bulan lalu ada pohon besar tumbang yang memakan korban seorang pemetik teh. “Kang, hujannya gede banget. Apa tidak sebaiknya kita istirahat dulu Kang?” tanya Santoso. “Mau istirahat di mana? Tak ada gubug atau tempat istirahat di sini. Lanjutkan saja ya.” “Ya sudah Kang. Semoga tak terjadi apa-apa.” “Amiin.” Kang Bejo pun tak berhenti. Di tengah suasana sore yang menakutkan, ia terus memacu motornya. Kini ia lebih hati-hati, karena air menggenangi jalanan. Hingga ia pun harus pandaipandai memilih jalan yang tak berlubang. Namun, karena hujan semakin besar, jalanan pun sudah tak bisa lagi dipilih. Lubanglubang di jalan tak lagi kelihatan, sampai-sampai motor yang ditunggangi keduanya pun akhirnya harus terperosok ke dalam lubang di tengah jalan. Santoso pun terpental, sementara Kang Bejo masih berusaha mengendalikan motornya. Motor pun roboh. Tapi Kang Bejo masih bisa melompat dan ia pun selamat. “To, kamu tidak apa-apa To?” Tanya Kang Bejo kebingungan. “Ngga apa-apa Kang.” “Syukurlah.” “Kang, lihat di depan kita ada gubug itu Kang. Ayo kang kita bawa motor kita ke sana Kang.” “Ayo To.”


38 Asa Anak Desa Keduanya pun menarik motornya yang terpelosok ke lubang jalan dengan sekuat tenaga. Kemudian mendorongnya menuju sebuah gubug yang terletak sekitar 50 m di depan mereka. Di tengah hujan yang masih lebat, petir pun belum mau berhenti untuk tidak berteriak-teriak di langit. Ia terus saja menjerit-jerit, hingga membuat keduanya semakin ketakutan. Apalagi kilatannya tampak jelas menyambar-nyambar ke atas bukit perkebunan teh. Suasananya mencekam. “Kang, maafkan aku ya Kang.” Ucap Santoso menyesal. “Jangan begitu To, kamu tidak salah. Memang cuaca sedang tidak bersahabat dengan kita.” Jawab Kang Bejo menenangkan. “Tapi kalau aku tidak terlalu asyik menikmati layang-layang dan pemandangan Pagilaran sampai sore, mungkin Kang Bejo tak akan kehujanan seperti ini.” “Sudahlah To, yang penting aku sudah bisa menghibur kamu.” “Terima kasih banyak Kang.” “Sama-sama To.” Sejam berlalu, hujan pun mulai reda. Kang Bejo pun memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan ke rumah, karena hari sudah semakin petang dan lampu motornya menyala tak begitu terang. Pun dengan Santoso yang mengiyakan ajakannya untuk segera kembali ke Wonokerto. Keduanya pun meninggalkan gubug tempatnya berteduh dan berdo’a semoga hujan tak akan kembali turun petang ini.


Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.