BELAJAR DARI AL-QUR'AN DAN HADIST TENTANG PENDIDIKAN NASIONALISME (1) Flipbook PDF

BELAJAR DARI AL-QUR'AN DAN HADIST TENTANG PENDIDIKAN NASIONALISME (1)

4 downloads 98 Views 9MB Size

Story Transcript

BELAJAR DARI AL-QUR'AN DAN HADIST TENTANG PENDIDIKAN NASIONALISME ( Nurul Faizah, Nurul Balqis, Muktinin) A. PENDAHULUAN Nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang dikembangkan dalam rangka mempersatukan semua elemen yang ada pada suatu bangsa. Paham ini lahir pada abad ke- 20 di negara-negara Barat, terutama di benua Eropa dan Amerika. Nasionalisme lahir didasarkan pada rasa cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara serta ideologi dan politik. Nasionalisme juga diartikan sebagai suatu sikap politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan. Mereka merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok-kelompok yang lain dalam satu bangsa. Rupert Emerson mendefinisikan nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan1 . Dari pengertian diatas dapat kita pahami bahwasanya agar tercipta rasa nasionalisme butuh yang namanya rasa saling memiliki antar masyrakat sebagai anggota suatu bangsa. Islam sebagai agama yang Rahmatan lil ‘alamin telah mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Sebagai agama yang sempurna, islam telah memberikan intisari dari nasionalisme. Intisari dari nasionalisme adalah rasa kecintaan terhadap tanah air. Konsep mengenai nasionalisme banyak tertuang dalam sumber pokok ajaran islam baik itu ayatayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Saw. Oleh karena itu, penulis akan berupaya mengupas mengenai nasionalisme dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. B. PENGERTIAN NASIONALISME Beragam definisi nasionalisme yang dilontarkan para ahli kebangsaan, yang pada intinya mengarah pada sebuah konsep mengenai jati diri kebangsaan yang berfungsi dalam penetapan identitas individu di antara masyarakat dunia. Konsep nasionalisme juga sering dikaitkan dengan kegiatan politik karena berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan negara. 1 Adhyaksa Dault. 2005. Islam dan Nasionalisme. Jakarta; Pustaka Al-Kautsar. Hal. 2


Nasionalisme tidak lepas dari unsur konsep nation, nasional, isme. Ketiga unsur ini memiliki arti yang berbeda, yang sama berbeda dengan definisi nasionalisme2 . Nation berarti kumpulan penduduk dari suatu propinsi, suatu negeri atau suatu kerajaan. Adapula yang mengartikan suatu negara atau badan politik yang mengakui suatu pusat pemerintahan bersama dan juga wilayah yang dikuasai oleh negara tersebut serta penduduk yang ada didalamnya, atau lebih mudahnya dikatakan sebagai bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasional berarti bersifat kebangsaan; berkenaan/berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Nasionalisme lebih merupakan paham meskipun memiliki akhiran-isme. Hal ini pun diakui dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa nasionalisme bermakna paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Nasionalisme berasal darikata nation yang memiliki makna “bangsa” jika diterjemahkan kedalam bahasa indonesia. Makna nasionalisme sebenarnya lebih mengacu pada sikap yang menganggap kepribadian nasional memiliki nilai dan arti yang sangat penting dalam tata nilai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa3 . Maksudnya memiliki rasa nasionalisme berarti ada gemetar kecintaan dalam dirinya terhadap negaranya. Rasa kecintaan inilah yang nantinya akan membuat seorang warga negara rela berkorban dan berjuang demi memajukan bangsanya. Itulah mengapa nasionalisme penting. Nasionalisme menurut Hans Kohn adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sebelum lahirnya nasionalisme, kesetiaan orang tidak ditunjukan kepada negara bangsa tetapi ditujukan kepada berbagai bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik, raja, kesatuan ideologiseperti suku, negara kota, kerajaan dinasti atau gereja4 . 2 Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126 3 Mohammad Takdir Ilahi. 2012. Nasionalisme Dalam Bingkai Pluralitas Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hal. 13 4 Abdul Kholid Murod. Nasionalisme Dalam Perspektif Islam.Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011: 45-58. Hal. 47


Nasionalisme adalah paham yang memiliki beberapa unsur pemersatu yang menyebabkan seseorang mempunyai rasa kepemilikan dan kesamaan terhadap budaya bangsanya. Hal ini sesuai dengan pernyataan John Crom, nasionalisme adalah paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi dan individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Adapun unsur-unsur yang menetapkan nasionalisme adalah5 : 1. Bahasa 2. Kebudayaan 3. Asal keturunan 4. Persamaan nasib / perjuangan bersama 5. Kepentingan bersama Dari beberapa pengertian nasionalisme diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kata kunci dalam nasionalisme adalah kesetiaan, yang muncul karena adanya kesadaran akan identitas kolektif yang berbeda dengan lainnya. Pada kebanyakan kasus kesetiaan itu terjadi karena kesamaan keturunan, kebudayaan, bahasa. Akan tetapi semua unsur bukanlah unsur yang substansial, sebab yang ada dalam nasionalisme adalah kemauan untuk bersatu. C. SEJARAH NASIONALISME Istilah nasionalisme sebenarnya muncul dari dunia barat yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai nationalism. Nasionalisme ini awalnya timbul sebagai reaksiatas feodalisme dimana suatu negara dipersatukan atas dasar kesetiaan pada tokoh bangsawan tertentu, agama atau negara yang dikepalai raja dari suatu dinasti. Masalah nasionalisme menjadi hangat semenjak Napoleon Bonaparte pada akhir abad 18 menguasai dan menjajah bangsa lain di Eropa. Bangsa-bangsa yang menjajah ini dapat menikmati segala keuntungan dari negara yang dijajahnya. Sedangkan bangsa-bangsa yang dijajah benarbenar merasa tertindas oleh bangsa lain; nasib bersama menimbulkan kebutuhan kepada persatuan, terutama diantara mereka yang dijajah6 . Menurut Barbara Ward, akar nasionalisme di dunia barat, diawali setelah runtuhnya Kerajaan Roma di Eropa Barat dimana menumbuhkan kelompok-kelompok kesukuan dan setelah 5 Madiri Thamrin Sianipar. 2010. Pokok-Pokok Ilmu Politik dan Pengelolaan. Bandung: Lubuk Agung. Hal. 104 6 Ibid. Hal. 50


melakukan serangkaian penaklukan lalu menjadi negara-negara feodal. Dengan majunya abad pertengahan, tiga dari kelompok-kelompok ini mulai mengambil bentuk nasional yang dapat dilihat. Suku-suku Gaul telah ditaklukkan Caesar dan mereka diberi bahasa yang dilatinisasi. Di bawah pembagian tanah secara feodal—diantara pangeran-pangeran Inggris, raja-raja Capet dan pengikut-pengikut Burgundia—maka masyarakat mulai memakai bahasa Perancis yang memepunyai bentuknya sendiri dan daerah bahasa ini mempunyai batas-batasnya yang tegas secara geografis—sepanjang Laut Atlantika, sepanjang Pegunungan Pyrenea dan Alpen. Akhir abad ke-14, Perancis menjadi sadar tentang dirinya sebagai sebuah kelompok nasional yang besar yang memakai bahasa Perancis7 . Menurut Yosaphat Haris Nusarastriya pada essai penelitiannya sejarah nasionalisme dunia Barat khususnya di Eropa dibagi menjadi tiga fase, yakni8 : Pertama,faseini ditandai dengan runtuhnya banyak kerajaan beserta sistemnya yang kemudian dilanjutkan dengan berdirinya negara-negara nasional. Fase ini dimulai pada saman akhir abad pertengahan. Ciri utama yang sangat ketara dalam fase ini ialah identifikasi bangsa dalam perorangan yang berkuasa Kedua,fase ini sering juga disebut sebagai “the middle class nationalism”. Dimana pada fase ini terdapat banyak kekacauan perang yang dibuat oleh Napoleon dan yang segera berakhir pada tahun 1914. Nasionalisme pada masa ini bukan hanya tercermin dari perilaku seorang raja saja, tapi juga pada masyarakat secara umum yang memiliki peran signifikan kala itu. Ketiga,pada fase ini nasionalisme sering disebut dengan terma ”sosialisasi dari pada bangsa”. Corak yang paling dominan pada fase ini adalah melebih-lebihkan kepentingan bangsa sendiri, melampaui batas sehingga mudah menjelma menjadi suatu nasionalisme sempit dan congkak yang berkeinginan untuk mengadakan adu kekuatan dengan bangsa lain Nasionalisme bersifat statis dan senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Perubahan pola dan sistem nasionalisme banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial suatu negara kala itu. Di abad ke- 20, nasionalisme di negara-negara Barat seperti Jerman dan Italia dan beberapa negara lainnya lebih condong ke arah nasionalisme totaliter.Nasionalisme totaliter di Jerman 7 Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126 8 Yosaphat Haris Nusarastriya. SEJARAH NASIONALISME DUNIA DAN INDONESIA


dengan Italia jauh berbeda. Di Italia nasionalisme lebih mengarah ke paham fasisme, yakni paham yang menekankan kedaulatan negara diatas kedaulatan rakyat. Berbeda halnya dengan Jerman. Dibawah pimpinan Hitler, Jerman lebih menitikberatkan faktor ras. Nasionalisme semacam ini dekenal dengan Nasionalisme Sosialis (NAZI). Paham ini merupakan penurunan tradisi nasionalisme-romantisme Jerman yang dulu pernah ada pada abad ke-19, tetapi kemudian muncul kembali dan bermetamorfosis di abad ke-20 dalam bentuk yang dianggap ekstrim9 . Paham nasionalisme yang awalnya lahir di dunia Eropa dengan cepat menyebar ke negaranegara lain di berbagai penjuru dunia. Hingga akhirnya paham nasionalisme ini juga masuk dan berkembang di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, India/Pakistan, Iran, Irak, Kuait, Palestina, Aljazair, Sudan, Yaman, Mesir dan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Masuknya paham nasionalisme ini berimplikasi dengan terjadinya aksi-aksi politik bangsa-bangsa tersebut untuk membebaskan negaranya dari penjajahan kolonial Eropa. Semangat nasionalisme yang tumbuh dan berkembang di Indonesia berlatar belakang kolonialisme. Berbagai macam suku bangsa yang ada di Indonesia disatukan oleh pengalaman yang sama yakni pernah dijajah oleh kolonial Belanda. Setelah Indonesia berdiri, suku-suku tersebut kemudian menjadi satu kesatuan dan sekaligus bagian dari Indonesia. Kesamaan nasib yang dialami oleh mereka menyebabkan mereka memiliki semangat untuk bersatu dan berjuang untuk melawan penjajahan. Nasionalisme dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dikenal sebagai sebuah kata sakti yang mampu membangkitkan kekuatan berjuang melawan penindasan yang dilakukan kaum kolonialis selama beratus-ratus tahun lamanya. Perasaan senasib dan sepenanggungan yang dialami mampu mengalahkan perbedaan etnik, budaya dan agama sehingga lahirlah sejarah pembentukan kebangsaan Indonesia. Benturan sosial yang meliputi hampir seluruh belahan dunia. Peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia menggulirkan pemahamanpemahaman dan kesepakatankesepakatan yang mengarah pada tata dunia baru. Gagasan mengenai hak setiap bangsa untuk dapat menentukan nasib sendiri yang terjadi di berbagai belahan dunia disertai perasaan yang kuat untuk melepaskan diri dari penindasan yang dialami, mengantarkan masyarakat yang mendiami 9 Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126


pulau-pulau yang terpisah untuk bersatu, bergabung memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang berjuang menegakkan kedaulatannya. Tonggak sejarah yang terpenting dalam proses nasionalisme di Indonesia adalah ketika lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908, diikuti ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang mengilhami lahirnya konsep bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia dan berbahasa Indonesia. Proses nasionalisme tersebut berlanjut dan melandasi perjuangan-perjuangan berikutnya hingga lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah melalui proses yang sangat panjang dan berat. Keberhasilan bangsa Indonesia lepas dari penjajahan melalui perjuangannya sendiri juga melahirkan pengakuan dunia bahwa nasionalisme Indonesia termasuk salah satu yang terkuat karena hanya sedikit negara dari dunia ketiga yang mampu merdeka melalui proses revolusi10 . Kentalnya kaitan nasionalisme dengan perjuangan melawan penjajah pada masa tersebut turut menyebabkan keterbatasan pemahaman definisi nasionalisme. Ungkapan “hidup atau mati” atau “right or wrong is my country” yang dahulu lantang diucapkan oleh para pejuang kemerdekaan, menjadi hal yang semu dan kurang tepat dialamatkan pada generasi muda saat ini. Pergeseran makna dari nasionalisme itu sendiri tidak jarang menyebabkan penilaian negatif terhadap semangat nasionalisme generasi muda saat ini. D. NASIONALISME DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN HADIST Sebagaimana bangsa Eropa yang mengenal nasionalisme semenjak abad ke delapan belas, orang Islam- pun tidak mengenal nasionalisme. Pada saat penyebaran agama Islam tidak dikenal kata atau kalimat yang berkonotasi dengan kata nasionalisme. Terminologi yang dipakai untuk menunjukan pada komunitas Islam adalah al ummah al islamiyyah yang berarti umat Islam. Istilah yang dapat merujuk kepada nasionalisme baru muncul saat ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saat itu, dia memperkenalkan terminologi al ummah al misriyyah yang berarti umat Mesir. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran menyatakan bahwa unsur-unsur nasionalisme dapat ditemukan dalam Al-Quran11: 10 Ibid. Hal. 63 11 Quraish Shihab. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan. Hal. 334


1. Persamaaan Keturunan Al-Quran menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari berbagai ras, suku dan bangsa agar tercipta persaudaraan dalam rangka menggapai tujuan bersama yang dicitacitakan. Al-Quran sangat menekankan kepada pembinaan keluarga yang merupakan unsur terkecil terbentuknya masyarakat, dari masyarakat terbentuk suku, dan dari suku terbentuk bangsa, sebagaimana dalam Al-Quran 7:160 dan mereka kami bagi menjadi duabelas suku yang masingmasing menjadi umat (bangsa), dan kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya (bangsanya) meminta air kepadanya, ”pukullah batu itu dengan tongkatmu” maka memancarlah darinya dua belas mata air. Rasulullah sendiri dalam perjuangannya di Makkah justru mendapat pembelaan dari keluarga besarnya. Sejalan dengan itu Muhammad SAW bersabda: sebaikbaiknya kamu adalah pembela keluarga besarnya selama pembelaannya itu bukan dosa (HR Abu Daud dari Suroqoh bin Malik). Hanya saja pengelompokan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, sikap superioritas dan penghinaan terhadap bangsa lain. Nabi bersabda: tidaklah termasuk dalam golongan kita orang yang mengajak kepada ashobiyyah (fanatik buta terhadap kelompok), bukan pula yang berperang atas dasar ashobiyyah, bukan pula yang mati dengan mendukung ashobiyyah (HR Abu Daud dari Jubair bin Muth’im). 2. Persamaan Bahasa Bahasa pada hakikatnya bukan hanya sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan tujuan, tapi untuk memelihara identitas dan sebagai pembeda dari komunitas lain. Jadi bahasa dapat merupakan perekat terjadinya persatuan umat atau bangsa. Sahabatsahabat Rasulullah ketika meremehkan sahabat Salman (berasal dari Persia), Suhaib (berasal dari Romawi) dan Bilal (dari Ethiopia) maka Rasulullah bersabda: kebangsaan Arab yang ada pada diri kalian bukanlah karena bapak atau ibu melainkan dari bahasa, maka barang siapa berbicara bahasa Arab maka dia adalah bangsa Arab. 3. Persamaan Adat Istiadat Adat istiadat menurut pakar hukum Islam selama tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dipertimbangkan sebagai hukum. Allah menandaskan dalam Q.S. 3:104 “hendaklah ada


sekelompok diantara kamu yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.” Demikian pula dalam Q.S. 7:199 “jadilah engkau pemaaf, perintahkan yang ’urf (adat istiadat yang baik), dan berpalinglah dari orang jahil”. Pada kedua ayat ini kata ’urf dan alma’ruf dimaksudkan sebagai adat istiadat dan kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Jadi jelas bahwa adat istiadat sebagai salah satu pembentuk bangsa tidaklah bertentangan dengan Islam. 4. Persamaan Sejarah Persamaan sejarah masa lalu, persamaan senasib dan sepenanggungan masa kini serta persamaan tujuan masa akan datang merupakan salah satu faktor yang mendominasi terbentuknya suatu bangsa. Sejarah yang gemilang masa lalu selalu dibanggakan generasi berikutnya, demikian pula sebaliknya. Al-Qur’an pun sangat menonjol dalam menguraikan sejarah dengan tujuan untuk diambil pelajaran guna menentukan langkah berikutnya. Jadi unsur kesejarahan sejalan dengan AlQur’an. 5. Cinta Tanah Air Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Bahkan inklusif dalam ajaran Al-Qur’an dan praktik nabi Muhammad Saw. Hal ini bukan sekedar dibuktikan melalui ungkapan populer yang dinilai oleh sebagian orang sebagai hadits nabi Saw. “Hubbul wathan minal iman”(cinta tanah air adalah sebagian dari iman) melainkan justru dibuktikan dalam praktik nabi Muhammad SAW. Baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Ketika Rasullullah Saw. Berhijrah ke Madinah, beliau shalat menghadap ke Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam bulan, rupanya beliau rindu kepada Mekkah dan Ka’bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab. Wajah beliau bolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat diarahkan ke Mekkah, maka Allah merestui keinginan ini dengan menurunkan firman-Nya:Hasil gambar untuk qs. al baqarah ayat 144 Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya


orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”(Q.S. Al-Baqarah : 144) Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya, tampak juga ketika meninggalkan kota Mekkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke kota Mekkah, beliau berucap: ي هللا ارض احب انك وهللا خرجت ما اخرجوني قومك ان ال ولو ال “Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling kucintai; seandainya bukan yang bertempat tinggal disini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya” Sahabat-sahabat nabi pun demikian, sampai-sampai nabi Saw. Bermohon kepada Allah Swt.: وأحمد ومالك البخاري رواه .واشد لم كة كحب نا المدينة إلينا الينا حب ب اللهم “Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami sebagaimana engkau Mencintakan kota Mekkah kepada kami, bahkan lebih. (H.R. Bukhori, Malik, dan Ahmad) Cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, karena itu pula nabi Saw. Menjadikan tolok ukur kebahagiaan adalah “diperolehnya rizki dari tanah tumpah darah”. Sungguh benar ungkapan “hujan emasa di Negeri orang lain, hujan batu di Negeri sendiri, lebih senang di Negeri sendiri” Bahkan Rasullullah Saw. Mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan Al-Qur’an menggandengkan pembelaan agama dan negara dalam firmanNya: Hasil gambar untuk qs al mumtahanah 8-9 Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”


(Q.S. Al-Mumtahanah : 8-9) Dari uraian diatas bahwa paham kebangsaan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah. Bahkan semua unsur yang melahirkan ajaran tersebut, inklusif didalam AlQuran, sehingga seorang muslim yang baik, pastilah anggota suatu bangsa yang baik. E. AYAT-AYAT TENTANG PENDIDIKAN NASIONALISME Nasionalisme adalah cinta tanah air, maka sesungguhnya dalilnya di dalam al-Quran begitu banyak. Allah SWT berfirman di dalam Qs. al-Hasyr 9: ِذي َن َّ َوال َر تَبَ َّو ُءوا َما َن الدَّا إْلِي ِهإم ِم إن َوا َج َر َم إن يُ ِحبُّو َن قَ إبِل ِهإم َها إي لَ ِ ُصدُو ِر ِه إم فِي يَ ِجدُو َن َوَال إ َجة َحا وتُوا ِمَّما ُ َويُ إؤثِ ُرو َن أ ى ِس ِهإم َعلَ إنفُ َ إو أ ِ ِهإم َكا َن َولَ ب َصة ِس ِه شُ َّح يُو َق َو َم إنۚ َخ َصا ئِ َك نَفإ ولَ ُ ُم فَأ ِل ُحو َن هُ ُمفإ إ ال Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (Al-Hasyr 9) Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Anshar telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan kaum Muhajirin, yaitu pada Baiat al-Aqabah pertama dan kedua. Mereka mencintai kaum Muhajirin dengan cinta kasih yang tulus. Mereka mengutamakan kaum Muhajirin, sekalipun mereka dalam kesusahan. Ini adalah ayat yang berisi pujian Allah SWT kepada kaum Anshar yang telah membangun kota Madinah dengan baik dan mau menerima kaum Anshar dengan cinta kasih. Lalu pada ayat sebelumnya, yaitu Qs. al-Hasyr 8, Allah SWT berfirman: َرا ِء فُقَ إ ِجِر ِلل ُمَها ِذي َن ال ي َن إ َّ إخِر ُجوا ال ُ ِر ِه إم ِم إن أ ِهإم ِديَا َواِل إم َ إن ُص ُرو َن َو ِر إضَوان ا َّّللاِ ِم َن فَ إض ل يَ إبتَغُو َن َوأ َو َرسُولَهُ َّّللاَ َويَ ئِ َكۚ ولَ ُ أ ُم ال َّصاِدقُو َن هُ (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.


Ayat ini menggambarkan kesulitan yang dihadapi oleh kaum Muhajirin yang harus meninggalkan harta-benda, rumahnya, anak-anaknya, keluarganya. Maka, jadilah mereka orangorang fakir miskin pada saat menjadi orang-orang yang berhijrah. Dan tahukah Anda bahwa ayat ini menggambarkan bahwa pujian Allah SWT atas kaum Anshar (yang telah beriman sebelumnya, membangun Madinah dengan baik, dan lebih mengutamakan kaum Anshar atas harta-harta mereka) itu disamakan dengan orang-orang Muhajirin yang harus meninggalkan semua yang mereka miliki (baik harta-benda, keluarga, handai taulan, dan seterusnya) terutama tanah-airnya tercinta. Perasaan yang hancur-lebur akibat terusir ini lebih hebat kesedihannya daripada hanya (kata “hanya” di sini bukan bermaksud meremehkan, melainkan membandingkan sesuai ayat alQuran) membagi harta-bendanya, sedangkan mereka masih tinggal di negaranya, di rumahnya, bersama anak-istri, keluarga, sahabat, dan seterusnya. Dalam ayat lain, Allah SWT menyamakan level kesulitan pengusiran dengan kematian: ِذإ ُر َوإ ِ َك يَ إمكُ ِذي َن ب َّ ُروا ال ِتُو َك َكفَ ب إ إو ِليُث َ ُو َك أ تُل إو يَقإ َ إخِر ُجو َك أ ُرو ۚ يُ ُر َن َويَ إمكُ َويَ إمكُ َما ِكِري َن َخإي ُر َو َّّللاُۖ َّّللاُ إ ال Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. (Qs. al-Anfal 30) Lihatlah bagaimana level pengusiran seseorang dari tanah-airnya itu disamakan dengan level penghilangan nyawa. Inilah makna dari Qs. al-Baqarah 191 yan terkenal dengan pemelesetan “Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan”. Arti dari frasa “al-fitnatu asyaddu minal qatli” itu adalah lebih baik mati daripada menjadi musyrik setelah dipaksa oleh orang-orang kafir. Ini menegaskan bahwa pengusiran seseorang dari negaranya itu sama level kesulitannya dengan pembunuhan. Pilihannya adalah: terusir dan mengungsi, atau terbunuh dan tetap memeluk agama Islam. Ayat lain yang menguatkan kesamaan level antara terbunuh dan terusir ini adalah ayat berikut: إو َولَ نَّا َ ِهإم َكتَإبنَا أ إي ِن َعلَ َ ُوا أ تُل إم اقإ َسكُ إنفُ َ ِو أ َ إم ِم إن ا إخ ُر ُجوا أ ِركُ ُوهُ َما ِدَيا ل َّال َفعَ ِ ِلي ل إ إوۖ ِمإن ُهإم قَ َولَ ُهإم نَّ َ ُوا أ ل ِ ِه يُو َعظُو َن َما فَعَ ب ُهإم َخإي را لَ َكا َن َشدَّ لَ َ َوأ ِيت ا ب إ تَث


“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),” (Qs. al-Nisa 66) Ada juga ayat dalam Qs. al-Baqarah yang menyamakan level keterusiran seseorang dari negaranya dengan pembunuhan: ِذإ َوإ نَا َخذإ َ إم أ اقَكُ إم تَ إسِفكُو َن َال ِميثَ َءكُ َما إم تُ إخِر ُجو َن َوَال ِد َسكُ إنفُ َ إم إن ِم أ ِركُ َّم ِديَا إم ثُ َر إرتُ قإ َ إم أ إنتُ َ تَ إش َهدُو َن َوأ Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya. (Qs. al-Baqarah 84) َّم إم ثُ إنتُ َ ُؤَالِء أ ُو َن َه تُل إم تَقإ َسكُ إنفُ َ َوتُ إخِر ُجو َن أ ا ِريق إم فَ ِر ِه إم ِم إن ِمإنكُ ِهإم تَ َظا َه ُرو َن ِديَا إي ِم َعلَ إ إْلِث ِا ِن ب َوا عُدإ إ إن َوال ِ َوإ إم تُوكُ إ َر ى يَأ َسا ُ أ إم َو تُفَادُوهُ َوهُ إم ُم َح َّر م إيكُ إخ َرا ُج ُهإم َعلَ ِ فَتُ إؤ ِمنُو َن ۚ إ َ ِبَ إع ِض أ ِكتَا ِب ب إ ُرو َن ال ِبَ إع ض َوتَ إكفُ َما ۚ ب ُء فَ ُل َم إن َج َزا ِل َك يَفإعَ إم ذَ َّال ِمإنكُ ِ فِي ِخ إز ي إ َحَياةِ إ َۖ الدُّإنَيا ال َويَ إوم َمِة ِقيَا إ ى يُ و َن َردُّ ال لَ ِ َشِد إ َ عَذَا ِب أ إ َو َماۗ ال ِغَافِ ل َّّللاُ ُو َن َع َّما ب تَ إعَمل Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (Qs. al-Baqarah 85) Semua ayat yang menyamakan level antara terbunuh dan terusir dari negara itu adalah ayat yang menegaskan tentang begitu pentingnya kedudukan negara dalam beragama. Kita ingat di dalam 5 maqashid al-syariah (maksud-maksud diterapkannya syariah Islam), maka kedudukan menjaga jiwa itu kalah dengan kedudukan menjaga agama. Di dalam maqashid ini kedudukan menjaga agama dimenangkan atas kedudukan menjaga jiwa; kedudukan menjaga jiwa mengalahkan kedudukan menjaga akal; kedudukan menjaga akal mengalahkan kedudukan


menjaga keluarga; kedudukan menjaga keluarga mengalahkan kedudukan menjaga harta. Kelima maqashid ini penerapannya dilakukan berurutan jika diharuskan memilih satu diantara dua atau tiga atau lebih. Namun, jika dikumpulkan menjadi satu, maka seluruh maqashid ini terkumpul dalam kaidah jalb al-mashalih (menaik kebaikan-kebaikan) dan daf’u al-mafasid (menolak kerusakan-kerusakan). Kedua inti syariah Islam ini terkumpul dalam satu hal: al-muwathanah (kebangsaan): sebuah term yang mustahil hidup di luar tanah-air yang aman, damai, dan sejahtera. Diantara ayat yang menerangkan urut-urutan prioritas yang memprioritaskan tanah-air atas seluruh maqashid (kecuali agama) adalah ayat ini: إن قُ إل ِ إم َكا َن إ إم آَبا ُؤكُ إبنَا ُؤكُ َ َوأ إم إخَوانُكُ ِ َوإ إم إزَوا ُجكُ َ َوأ إم َرتُكُ َو َع ِشي إم َ َوا ل َوأ ُمو َها تُ َرفإ تَ َرة اقإ َو َم َسا ِك ُن َك َسادَ َها تَ إخ َشإو َن َوتِ َجا َها َح َّب تَ إر َضإونَ َ إم أ إيكُ لَ ِ َو َرسُوِل ِه َّّللاِ ِم َن إ ِيِل ِه فِي َو ِج َها د َسب َربَّ ُصوا ى فَتَ َي َحتَّ تِ إ إمِرِه َّّللاُ يَأ َ ِأ يَ إهِدي َال َو َّّللاُۗ ب َ إوم قَ إ فَا ِسِقي َن ال إ Katakanlah ال jika bapa-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. al-Taubah 24) Di dalam ayat ini, frasa “tempat tinggal yang kamu sukai” diartikan oleh Dr. Ahmad Abdul Ghani Muhammad al-Najuli dalam al-Muwathanah fi al-Islam sebagai tanah air. Maksudnya adalah kepentingan mencintai dan menjaga tanah air itu di atas kepentingan menjaga keluarga, harta-benda, dan seterusnya. Kewajiban menjaga tanah air ini hanya kalah dengan kewajiban menjaga hak-hak agama. Ada sebuah ayat, yang jika diartikan secara harfiah hanyalah sebuah doa dari Nabi Ibrahim as. untuk Mekkah. Tetapi, di dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir oleh Syaikh Ibnu Asyur ayat ini dinyatakan sebagai disyariatkannya kaum muslimin untuk berdoa atas tanahairnya. ِذإ ُم قَا َل َوإ َرا ِهي إب ِ إل َر بِ إ ذَا ا إجعَ َوا إر ُز إق آ ِمن ا بَلَد ا َه إهلَهُ َ َمَرا ِت ِم َن أ َّ َم َن َم إن الث ِا َّّللِ ِمإن ُهإم آ يَ إوِم ب إ إْل ِخِر َوال َر َو َم إن قَا َلۖ ا َكفَ ِعُهُ َمت ُ ِلي ل فَأ َّم قَ إض َطُّر ثُ َ ى أ هُ لَ ِ ِر َعذَا ِب إ َسۖ النَّا ِئإ َم ِصي ُر َوب إ ال Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. al-Baqarah 126)


Ibnu Asyur mengatakan bahwa doa ini juga diucapkan oleh seluruh nabi atas negaranya masing-masing. Setiap nabi berdoa atas negaranya agar terwujud keadilan, kebanggan, dan kesejahteraan. Menurut Ibnu Asyur, ketiga hal ini penting untuk membangun negara dan mengaturnya kekayaan dan sumber daya tiap negara. Coba perhatikanlah ayat berikut ini: ِذي إ َّن ِ َّ َر َض ال إي َك فَ إرآ َن َعلَ قُ إ َرادُّ َك ال ى لَ لَ ِ َمعَا د إ ِي قُ إلۚ إعل َرب َ َء َم إن ُمََأ ُهدَ ى َجا إ ِال َو َو َم إن ب َّن ُم َضَل ل فِي هُ الِذي َّ Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benarbenar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. al-Qashash 85) Ayat ini turun saat Nabi SAW. dalam perjalanan malam menuju ke Madinah. Sesampainya di Juhfah, Nabi SAW. merasa sangat rindu kepada Mekkah. Maka Jibril turun dan menyampaikan ayat ini. Kerinduan Nabi SAW. ini mungkin terjadi karena cintanya yang teramat dalam kepada tanah-airnya. Cinta yang teramat dalam inilah yang disebut sebagai nasionalisme. F. HADIST TENTANG NASIONALISME Beberapa hadis yang menggambarkan nasionalisme diantaranya, sebagaimana Diriwayatkan dari sahabat Anas: bahwa Nabi Muhammad SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari (1379) menegaskan, bahwa dalam hadits tersebut terdapat dalil ihwal nasionalisme. Dari hadis di atas setidaknya kita dapat menemukan pesan nasionalisme. Yakni, dalil atas keutamaan kota Madinah. Kota yang dicintai Rasulullah SAW serta kota di mana beliau menemukan kemerdekaannya untuk pertama kali dalam berdakwah. Sependapat dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar, Badr Al-Din Al-Aini dalam ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari menyatakan: “Di dalamnya (hadit) terdapat dalil atas keutamaan Madinah, dan dalil atas disyari’atkannya cinta Tanah Air dan rindu padanya.”12 12 Fajar Insani, Nasionalisme Dalam Hadist, https://www.islamramah.co/2020/11/4716/nasionalisme-dalamhadis.html


Hadis berikutnya yang dapat dijadikan dalil nasionalisme adalah, sebagimana disampaikan Abu al-Qosim Syihabuddin Abdurrahman bin Ismail dalam kitabnya Syarhul Hadits al-Muqtafa fi Mab’atsil Nabi al-Mushtafa (1999). Al-Suhaily berkata: Dan di dalam hadis (tentang) Waraqah, bahwasanya ia berakata kepada Rasulullah SAW; sungguh engkau akan didustakan, Nabi tidak berkata sedikitpun. Lalu ia berkata lagi; dan sungguh engkau akan disakiti, Nabi pun tidak berkata apapun. Lalu ia berkata; sungguh engkau akan diusir. Kemudian Nabi menjawab: Apa mereka akan mengusirku? Dalam hadis ini, kita dihadapkan pada konteks yang sangat menyayat hati. Kita melihat rasa haru dan cemas Rasulullah tatkala akan diusir. Dari hadis ini pula, kita dapat menemukan perasaan atas cintanya Rasulullah SAW terhadap Tanah Air dan beratnya berpisah dengan Tanah tercinta. Abdurrahim bin Husain al-Iraqi juga menegaskan dalam Tatsrib fi Syarh Taqribil Asanid wa Tartibil Masanid, “al-Suhaily berkata: di sinilah terdapat dalil atas cinta Tanah Air dan beratnya memisahkannya dari hati”. Secara ekspilisit, bahkan Rasulullah pernah bersabda: ,,,Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai, sebagaimana kami mencintai Mekkah atau bahkan lebih dari itu,,,(HR. al-Bukhari). Dari beberapa hadis di atas, secara gamblang dan jelas jika nasionalisme dibenarkan dalam hadis. Bahkan, kita menemukan rasa nasionalisme (cinta Tanah Air) yang diimplementasikan Rasulullah SAW dalam kehidupan nyata. Karena itu, cukup mengherankan jika dewasa ini masih saja ada kelompok-kelompok yang menyoal dalil nasionalisme dalam Islam. Padahal, baik dalam Al-Quran maupun Hadis, keduanya menyimpan dalil-dalil yang membenarkan nasionalisme itu sendiri. G. CIRI – CIRI NASIONALIME DALAM PENDIDIKAN ISLAM Negara kita negara Indonesia merupakan negara yang majemuk yang dihuni berbagai ras, suku, bahasa, agama, kebudayaan dan lain sebagainya. Dengan kemajemukan tersebut maka harus didasari dengan semangat nasionalisme untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Pendidikan nasionalisme – agamis dapat mengembangkan sumber daya manusia di tengah persaingan global, dengan pendidikan bisa sebagai jalan perekat persatuan dan kesatuan nasional dalam membangkitkan semangat nasionalisme di tengah era globalisasi saat ini.


“Bhineka Tunggal Ika” merupakan dasar negara yang harus kita jaga dalam menciptakan keutuhan keberagaman etnis dan budaya dengan penanaman nilai – nilai nasionalisme. Dengan perkembangan zaman yang semakin modern. Pendidikan Islam sangat berpengaruh sebagai pondasi dalam pembaharuan (tajdid) dan modernisasi ( al-hadasah) dalam menghadapi dunia yang semakin modern maka harus di utamakan pendidikan ajaran Islam dengan ajaran – ajaran agama dalam memahami dan mempertahankan kebenaran. Mencintai tanah air tidak dilarang agama. Yang dilarang adalah mengurus suatu negara atau mengajak orang lain untuk mengurusnya dengan asa kebangsaan tanpa mengambil aturan Islam. Semangat nasionalisme serta cinta tanah air dan menyatukannya dengan aturan islam adalah sikap terpuji13 Nilai - nilai kebangsaan dalam pendidikan Islam di harapkan memberikan keyakinan Islam yang Inklusif, komprehensif dan kontekstual. Nasionalisme dalam pendidikan Islam, salah satunya adalah mewujudkan rasa cinta kepada tanah air karena bagi umat Islam Cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathani minal iman). Oleh karena itu dengan nilai – nilai nasionalisme di harapkan kita selalu membuktikan rasa kepedulian dalam menjaga NKRI .Ini ditegaskan dalam Alquran yang menghendaki perubahan agar dilakukan oleh masyarakat. QS.13:11: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. 14 ْمِّر ّٰللاِّ ْونَٗه ِّم ْن اَ ِّف ٖه يَ ْحفَظُ ْ َو ِّم ْن َخل ِّن يَدَْي ِّه بَ ْي ِّ ٰب ٌت ِّ م ْنْۢ ٗه ُمعَق ِّ ل ُر َ ْوٍم َحتٰى يُغَي ِّقَ ِّ ُر َما ب ََل يُغَي َرادَ ّٰللاَ ِّاَ اِّذَآ اَ َما ب ۗاِّ َّن ْوا َو ۗ ِّس ِّهْم ْنفُ ْونِّ ٖه ِّم ْن َّوا ٍل ُهْم ِّ م ْن دُ َو َما لَ ٗهۚ ًءا فَ ََل َمَردَّ لَ ْوٍم سُ ْوْۤ ِّقَ ّٰللاُ ب Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (qs. Ar Ra’d (13):11) 13 Azman, Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 2017, vol 6, hal 266-275 14 Mursidin, Mursidin “Pendidikan Agama Islam Berbasis Nasionalisme” Ta'dib: Jurnal Pendidikan Islam,2017, vol.8, hal 566-576


Dalam konteks nasional dapat dinyatakan bahwa pendidikan agama sangat berperan dalam pembentukan masyarakat yang memiliki kecintaan terhadap bangsa dan tanah airnya sebagai modal awal untuk menjalankan pembangunan. Di tengah kondisi Bangsa Indonesia yang plural, diharapkan Pendidikan Agama Islam mampu mengajarkan para generasi muslim untuk tetap menjaga persatuan bangsa. Atau meminjam istilah Muhaimin ukhuwah islamiah dalam arti luas, yaitu persaudaraan antar sesama manusia untuk membentuk kesalehan pribadi dan sosial. Pendidikan telah diakui memiliki peran sentral dalam penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.15 Implementasi dari tujuan pendidkan dalam menjaga NKRI adalah di imbangi dengan tujuan pendidikan yang berwawasan kebangsaan antara lain sebagai berikut: Meningkatkan pengertian, pemahaman, dan persepsi yang tepat tentang persatuan dan kesatuan antar sesama warga NKRI. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab sebagai penerus Bangsa Indonesia. Mengembangkan kepekaan sosial, solidaritas, toleransi, dan saling mengenal serta saling menolong antar sesama warga NKRI walaupun berbeda latar belakang. Sikap Nasionalisme merupakan semangat dalam membangun suatu bangsa yang mandiri, dilandasi satu jiwa dan kesetiakawanan yang besar. Semangat nasionalisme serta cinta tanah air dan menyatukannya dengan aturan Islam adalah sikap terpuji. Sebagaimana Alquran surah AlHujurat mengakui eksistensi bangsa-bangsa, tapi menolak nasionalisme sempit yang mengarah kepada Ashabiyah. Kebangsaan adalah suatu fitrah dan alamiyah ْم شُعُ ْوًب نٰكُ ْ ٰى َو َجعَل ْم ِّ م ْن ذَ َكٍر َّواُْنث نٰكُ َها الَّنا ُس اِّنَّا َخلَقْ اَيُّ ْواۚ اِّ َّن اَ ْكَر َم ٰي كُ ٓ َرفُ ِٕى َل ِّلتَعَا ْۤ ْم ٌم ا ِّعْندَ ّٰللاِّ َّوقَبَا ۗاِّ َّن ّٰللاَ َعِّلْي ْم ىكُ ٰ اَتْق ْي ٌر ِّ َخب Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti. (QS. Al Hujurat : 13) Sistem pendidikan Islam yang mempunyai nilai-nilai Visi sosial kemasyarakatan yang dilandaskan pada ajaran Islam sebagai sarana integrasi bangsa dalam berwawasan kebangsaan 15 Hamid, Abdul, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Penguatan Nasionalisme Di Indonesia, Jurnal Pendidikan Agama Islam,2018, vol 18, hal 19-41


Persatuan Indonesia untuk menuju terwujudnya nasionalisme Indonesia. Dalam negara Indonesia yang plural ini, konsep persaudaraan yang terdiri dari empat hal. Pertama, persaudaraan sesama manusia (ukhuwah Basyariyah), yaitu cara bergaul sesama umat manusia tanpa ada faktor pembeda, kedua,persaudaraan sesama umat beragama (ukhuwah diniyah), sebagai landasan sikap saling menghormati sesama umat beragama, ketiga, persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), prinsip persaudaraan internal tanpa melihat organisasinya dan keempat, persaudaraan sesama warga negara (ukhuwah wathoniyah), prinsip persaudaraan dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dan mempertahankan kedaulatan Dengan demikian pendidikan Islam adalah ajaran – ajaran yang mengandung nilai-nilai agama yang memiliki memiliki korelasi dengan nasionalisme yaitu menciptakan kehidupan yang penuh kedamaian dan persatuan dalam rangka mencapai kemaslahatan dalam hidup dan kehidupan manusia melalui pengembangan sifat-sifat mulia seorang muslim sesuai dengan ajaran nilai-nilai Islam. KESIMPULAN Bangsa Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika dengan kemajemukannya maka harus di tumbuhkan semangat nasionalisme untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Nasionalisme dapat dikatakan sebagai sebuah situasi kejiwaan di mana kesetian seseorang secara total di abadikan langsung kepada negara, di mana masyarakatnya dipersatukan karena ras, bahasa, agama, sejarah dan adat.


Sikap Nasionalisme dalam Pendidikan berbasis Islam adalah melahirkan peserta didik yang memiliki al-akhlaqul al-karimah yang membawa kebaikan bagi bangsa dan negaranya (rahmatan lil al-‘alamin) dengan wujud hubbul wathon minal iman ( cinta tanah air sebagian dari iman). DAFTAR PUSTAKA Amal, Ichlasul & Armawi, Armaidy. 1998. Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Azman, Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 2017, vol 6, hal 266-275 Dault, Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme. Jakarta; Pustaka Al-Kautsar.


Dewi, Ita Mutiara. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126 Hamid, Abdul, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Penguatan Nasionalisme Di Indonesia, Jurnal Pendidikan Agama Islam,2018, vol 18, hal 19-41 Ilahi, Mohammad Takdir. 2012. Nasionalisme Dalam Bingkai Pluralitas Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Kusumawardani, Anggraeni & Faturochman. Nasionalisme. Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember 2004. Mugiyono. Relasi Nasionalisme Dan Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Kebangkitan Dunia Islam Global. Palembang: jurnal .radenfatah.ac.id Murod, Abdul Kholid. Nasionalisme Dalam Perspektif Islam. Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011: 45-58 Mursidin, Mursidin “Pendidikan Agama Islam Berbasis Nasionalisme” Ta'dib: Jurnal Pendidikan Islam,2017, vol.8, hal 566-576 Nusarastriya, Yosaphat Haris. Sejarah Nasionalisme Dunia Dan Indonesia Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan.


Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.