Biografi pangeran diponegoro Flipbook PDF

Biografi pangeran diponegoro

27 downloads 114 Views 125KB Size

Recommend Stories


Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF
Get Instant Access to eBook Empresas Headhunters Chile PDF at Our Huge Library EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF ==> Download: EMPRESAS HEADHUNTERS CHIL

Story Transcript

Nama : Adjie Agus Setia Budi Kelas : X.4

Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785. Ibunya merupakan seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar Hamengkubuwana III. Ketika dilahirkan, Diponegoro diberi nama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya. Nama Islamnya adalah Abdul Hamid. Setelah ayahnya naik takhta, Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Menjelang dewasa, Diponegoro menolak keinginan sang ayah untuk menjadi raja. Dia beralasan bahwa posisi ibunya bukanlah seorang istri permaisuri. Hal itulah yang membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut. Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum IslamJawa. Dia juga tertarik kepada masalah-masalah keagamaan daripada masalah pemerintahan keraton. Itulah yang membuatnya dapat membaur dengan rakyat. Dia lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton. Diponegoro mulai menaruh perhatian kepada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V yang saat itu baru berusia tiga tahun. Dikarenakan masih kecil, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danureja IV dan Residen Belanda. Dia tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga melakukan protes. Pangeran Diponegoro dalam kehidupan sehari-harinya adalah pribadi yang menyukai sirih dan rokok sigaret Jawa, yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, dan berkebun. Tempat

semadinya yang berada di Selarejo dan Selarong juga ditanaminya berbagai bunga dan sayursayuran. Setidaknya, dia menikah sebanyak delapan kali dalam hidupnya. Dia pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Melalui hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II. Pada 27 Februari 1807, Diponegoro menikah untuk kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi. Pernikahan itu merupakan permintaan dari Sultan Hamengkubuwana III. Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II. Pernikahan ketiga terjadi pada 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah selatan Yogyakarta. Hal ini dikarenakan istri pertama dan ketiganya, yakni Madubrongto dan Retnadewati, meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Dia kemudian menikah kembali pada 1810 dengan Raden Ayu Citrawati, putri dari Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu istri selir. Namun, istrinya itu meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya akibat kerusuhan di Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama singlon (nama samaran) yang terkenal dengan nama Raden Mas Singlon. Diponegoro menikah untuk kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri Sultan Hamengkubuwana II). Istrinya merupakan saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, dia menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Dia menikah ketujuh kalinya dengan Raden Ayu Ratnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang bupati Jipang Kepadhangan. Adapun pernikahan terakhirnya adalah dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan. Dari beberapa kali pernikahannya tersebut, Diponegoro memiliki 12 putra dan lima orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi. Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan pemerintah kolonial Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut diperparah dengan beberapa kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan. Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda mengenai penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro. Dia disebutkan merasa sakit hati terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja. Perlawanan yang dilakukan sebenarnya disebabkan karena dirinya ingin

melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Belanda dan membebaskan istana dari madat. Keputusan dan sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, G.P.H. Mangkubumi, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong. Saat itu, dia menyatakan bahwa perlawanannya adalah “perang salib”, yaitu perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang salib” yang dikobarkannya membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Medan pertempurannya mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya. Bagi Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan, mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal. Front pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sangat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi. Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu, suatu hal yang belum pernah terjadi di suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, tetapi dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Berdasarkan sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern, baik metode open warfare (perang terbuka) maupun metode guerilla warfare (perang gerilya) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run (tabrak lari) dan pengadangan. Ini bukanlah sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini dilengkapi dengan taktik psywar (perang urat saraf) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan, serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran. Selain itu, perang ini juga menggunakan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya. Berbagai cara licik juga terus dilakukan Belanda untuk menangkap Diponegoro, bahkan sayembara pun digunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829, yaitu siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro, baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.

Perubahan strategi Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya dari Diponegoro, De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Belanda berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang geraknya. Jarak antarbenteng berdekatan dan dihubungkan dengan pasukan gerak cepat. Perlawanan Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, yaitu setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828. Disusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828. Keadaan itu semakin diperparah karena pasukan Diponegoro kesulitan biaya, serta istrinya R.A Ratnaningsih dan putranya tertangkap pada 14 Oktober 1829. Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu Sungai Cingcingguling. Selanjutnya, pertemuan pada 20 Februari 1830 di antara kedua belah pihak tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggunya di Menoreh. Dia akhirnya tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya. Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa selama pertemuan tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama berada di Magelang, seluruh pasukan dan pengikutnya ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens. Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Diponegoro dengan memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan uang sebesar f 10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para pengikutnya selama bulan puasa. De Kock juga mengizinkan istri sang pangeran, ibunya, kedua putra dan putrinya yang masih kecil (Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib), putra tertuanya yang berada di Kedu Utara (Basah Imam Musbah) bergabung di Magelang. Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkannya telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengannya sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman keresidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan. Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan bahwa Diponegoro tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai ratu paneteg panatagama wonten ing tanah Jawi sedaya (raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam). Setelah itu, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya pada 25 Maret 1830, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan Diponegoro.

Akhirnya, tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Idulfitri, Jenderal De Kock bertemu dengan Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs. Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta agar Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Diponegoro merasa heran dan mempertanyakan kembali kepada De Kock alasannya tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya bersilaturahmi menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung berubah tegang. Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan mengenai penyebab dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapa saja. Mertanegara menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi bahwa masalah politik akan dituntaskan hari itu juga. Diponegoro langsung berbicara dan menuding De Kock hatinya busuk karena keputusannya terburuburu dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa. Dia berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah kolonial Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya. De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro menjawab tindakan itu dengan mengatakan, “Dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, aku tidak takut mati. Aku tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya”. De Kock terhenyak mendengar sikap keras Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan membunuh Diponegoro. Namun, tetap akan memenuhi keinginan Diponegoro. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, tetapi niat itu diurungkan karena akan merendahkan martabatnya. Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, Diponegoro beranjak keluar dan dia berhasil ditangkap. Dia bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, dia diasingkan ke Gedung Keresidenan Semarang yang berada di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux. Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Dia kemudian diasingkan ke Manado pada 30 April 1830 bersama istri keenamnya, Tumenggung , dan para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Pada 1834, Diponegoro dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.