Kemaritim JalurMRempah Budaya Bahari Nusantara Flipbook PDF

KemaritimJalurRempahBudayaBahariNusantara_talksowPBI2016_Malang_YadiMulyadi

103 downloads 104 Views 7MB Size

Recommend Stories


Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF
Get Instant Access to eBook Empresas Headhunters Chile PDF at Our Huge Library EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF ==> Download: EMPRESAS HEADHUNTERS CHIL

Story Transcript

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/315681395 Kemaritiman, Jalur Rempah dan Warisan Budaya Bahari Nusantara *) Presentation · September 2016 CITATIONS 2 READS 14,314 1 author: Some of the authors of this publication are also working on these related projects: Mapping Islamic Ancient Tomb in Indonesia: Archaeological Perspective View project aspek-aspek arkeologi islam Maros View project Yadi Mulyadi Universitas Hasanuddin 9 PUBLICATIONS   12 CITATIONS    SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Yadi Mulyadi on 29 March 2017. The user has requested enhancement of the downloaded file.


Page 1 Kemaritiman, Jalur Rempah dan Warisan Budaya Bahari Nusantara*) Oleh. Yadi Mulyadi**) Narasi mengenai kemaritiman adalah sebuah perjalanan panjang bagi bangsa Indonesia, bahkan beberapa ahli mengatakan kemaritiman di Indonesia bukan sebatas “sejarah” tetapi merupakan sebuah peradaban. Kemaritiman sebagai aktifitas telah berlangsung sejak jaman prasejarah di wilayah kepulauan ini, yang terekam dalam tapak arkeologi berupa gambar perahu dan fauna air di beberapa gua prasejarah di Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Pada fase berikutnya, aktifitas kemaritiman pun terus berlanjut dan menjadi identitas bagi Indonesia sebagai bangsa Maritim. Secara terminologi kemaritiman memiliki kata dasar maritim, yang dalam KBBI (2011:879), maritim adalah (1) segala sesuatu yang berkenaan dengan laut dan (2) berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Selanjutnya, kemaritiman bermakna hal-hal yang menyangkut masalah maritim atau sifat kepulauan Indonesia. Istilah maritim sering disinonimkan dengan kata bahari yang bermakna (1) dahulu kala; kuna, (2) indah; elok sekali, dan (3) mengenai laut; bahari (KBBI 2011:115). Dengan demikian, sejarah maritim adalah studi tentang aktivitas manusia di masa lampau yang berkaitan dengan aspek-aspek kemaritiman, khususnya pelayaran dan perdagangan (Poelinggomang, 2001, p. 1). Istilah lain yang biasa diindentikan dengan maritim adalah bahari, kata bahari dan maritim. Hal ini memunculkan pertanyaan kapan “lahir” bahari dan maritim dari rahim bahasa, sejak kapan kedua kata ini dikenal dalam kosakata bahasa Indonesia? lahirnya sebuah kata tentu tidak lepas dari sejarah yang menjadi latarnya dan budaya yang menjadi ruhnya. Kedua kata tersebut, memiliki kesamaan asal usulnya yaitu sama-sama merupakan serapan dari bahasa asing. Bahari berasal dari bahasa Arab bahrun (حر ب ( yang artinya laut1 , ini yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI online kata bahari memiliki tiga arti yang berbeda yaitu: 1) bahari/ba·ha·ri/ kl 1 a dahulu kala; kuno: adat yang --; zaman --; 2 v bertuah: keris 2) bahari/ba·ha·ri/ kl a indah; elok sekali: duduk menyembah Sitti – 3) bahari/ba·ha·ri/ ark a mengenai laut; bahari; kebaharian/ke·ba·ha·ri·an/ n segala sesuatu yang berhubungan dengan laut; kelautan. sedangkan maritim berasal dari bahasa Latin, mare yaitu laut. Ketika diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi mere yang pengertiannya sudah lain. Makna ensiklopedis dari maritim hanya ada dua, berlayar sambil berdagang2 . Pengertian ini sejalan dengan arti kata maritime dalam kamus Merriam Webster yaitu, of or relating to navigation of the sea3 . Kata inilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia menjadi maritim, yang pengertiannya mengacu pada KBBI Online yaitu, maritim/ma·ri·tim/ a berkenaan 1 http://kamus.javakedaton.com/indonesia-arab.php?s=laut&submit=Terjemah 2 http://gaung.aman.or.id/2015/04/27/membangun-indonesia-dalam-kebudayaan-bahari-reposisikebudayaan-dalam-negara-dan-tuhan/ 3 http://www.merriam-webster.com/thesaurus/maritime


Page 2 dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut; kemaritiman/ke·ma·ri·tim·an/n hal-hal yang menyangkut masalah maritim: sifat - kepulauan Indonesia. Jika mengacu pada terminologi tersebut, jelas perbedaan makna dan pengertian bahari dan maritim. Bahari, selain pengertiannya mengenai laut, juga memiliki arti dahulu kala dan sesuatu yang berkaitan dengan adat-istiadat, maknanya lebih berdekatan dengan aspek kebudayaan. Sedangkan kata maritim, mengacu pada pengertiannya maka lebih terkait dengan salah satu fungsi dari pemanfaatan laut yaitu berlayar dan berdagang. Maritim lebih mencerminkan pada aktifitas pelayaran dan perdagangan, sedangkan bahari merupakan eksistensi dari laut itu sendiri, yaitu suatu konsep budaya4 . Dengan demikian, budaya bahari melahirkan aktifitas kemaritiman yang merupakan refleksi dari interaksi manusia dengan laut atau perairan. Dalam ilmu arkeologi, dikenal kajian arkeologi maritim yang memfokuskan kajian pada segala sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran, baik itu yang ditemukan di lautan maupun di daratan. Dengan demikian, situs di daerah pantai atau sungai dan kapal yang tertimbun tanah di daratan menjadi cakupan arkeologi maritim. Di Indonesia arkeologi maritim mula-mula dikenal lewat penelitian perahu kuno dan arkeologi bawah air. Salah seorang pelopornya adalah Pierre-Yves Manguin, seorang pakar sejarah maritim dari Perancis yang telah meneliti perahu kuno di Indonesia sejak 1977 (Mulyadi, 2014, p. 5). Latar sejarah munculnya kajian arkeologi maritim inilah yang menjadi dasar mengapa dalam ilmu arkeologi kita tidak mengenal arkeologi bahari, tetapi arkeologi maritim karena fokus kajiannya yang lebih mengkhusus pada objek material yang terkait dengan pelayaran dan perdagangan, seperti kapal karam beserta muatannya. Bagi para arkeolog, kapal karam ibarat kapsul waktu yang menyimpan beragam kisah tentang sejarah masa lalu. Di Indonesia, keberadaan situs kapal karam tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia mulai dari barat sampai timur. Maritim dalam perspektif kajian arkeologi semakin mempertegas perbedaan konsep dengan bahari sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Irawan Djoko Nugroho5 , menyebutkan bahwa bahari dan maritim walaupun dari satu sisi bersinonim, tapi tidak bisa disejajarkan begitu saja ke dalam satu pengertian yang sama, karena akan menjerumuskan ke dalam distorsi makna yang akan menjebak kita kepada disorientasi pemahaman (Nugroho, 2015). Karena itu kemaritiman adalah bagian sejarah bangsa Indonesia, sedangkan kebaharian adalah eksistensi laut itu sendiri. Sejarawan AB Lapian pun mengamini hal ini, dalam bukunya Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, beliau mempergunakan istilah maritim untuk menggantikan istilah bahari guna menunjukkan masa kini6 (Lapian, 2009, p. 1). 4 Dialektika mengenai bahari dan maritim ini pernah dipresentasikan pula oleh Dr. Bona Beding, “Genealogi Laut: Dialektika Bahari vs Maritim Eksistensi Laut Dalam Sastra Laut Lamalera”, dalam Diskusi Panel Serial Ketiga YSNB, Jakarta, 7 Desember 2013. 5 Penulis buku Majapahit Peradaban Maritim ketika Nusantara Menjadi Pengendali Dunia (2011), yang dalam salah satu artikelnya di www.suluhnuswantarabakti.org membahas tentang maritim dan bahari. 6 Lihat halaman 1 pada buku ini yang diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu, 2009.


Page 3 Kemaritiman sebagai bagian sejarah bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari jejak budaya kebaharian yang telah berlangsung sejak sebelum lahirnya Indonesia sebagai negara, sejak wilayah ini dikenal dengan istilah Nusantara, bahkan sejak masa prasejarah. Tinggalan arkeologi dari fase prasejarah di Nusantara memperlihatkan corak budaya bahari yang juga merefleksikan aktifitas kemaritiman. Tinggalan arkeologi menjadi menjadi fakta sejarah budaya bahari di Nusantara telah berlangsung lama, mulai dari periode prasejarah dan berlanjut pada masa sejarah. Kemaritiman: Pelayaran dan Perdagangan Kemaritiman sebagai salah satu aktifitas budaya secara lebih luas dapat dimaknai sebagai perwujudan dari wujud gagasan interaksi manusia dengan perairan dalam beragam bentuk mulai dari kaitannya dengan memenuhi kebutuhan hidup, misalnya mencari ikan, sampai kaitannya dengan mata pencaharian seperti pelayaran dan perdagangan. Keberadaan wilayah perairan inilah yang direspon oleh manusia dengan melakukan aktivitas kemaritiman yang kemudian melahirkan budaya kebaharian. Adanya gagasan bahwa di perairan baik itu sungai, danau, rawa dan lautan mengandung sumberdaya alam yang dapat mereka manfaatkan untuk menunjang kehidupan, manusia pun menciptakan ragam bentuk artefak budaya yang menjadi refleksi gagasan kemaritiman tersebut. Untuk memudahkan upaya menangkap ikan, dibuatlah alat pancing serta alat tangkap ikan lainnya seperti tombak, jaring, bubu, bagang, dan pukat. Untuk memudahkan mereka mengarungi lautan, dibuatlah sarana transportasi air mulai dari sampan, rakit, perahu, dan kapal. Aktifitas kemaritiman melahirkan beragam artefak budaya yang dibaliknya itu terdapat warisan budaya berupa; tradisi dan ekspresi lisan; seni pertunjukan; adat istiadat, ritus dan perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam semesta; serta kemahiran kerajinan tradisional. Terkait dengan itu, kita sebagai bangsa Indonesia patut bangga karena begitu kaya dengan keragaman warisan budaya, termasuk kebudayaan bahari. Aktifitas kemaritiman berupa pelayaran dan perdagangan, tidak hanya terkait dengan komoditi saja namum dibalik itu terdapat warisan budaya berupa kemahiran teknologi tradisional pembuatan perahu, adat istiadat dan ritus ritual dalam prosesi pembuatan sampai peluncuran perahu ke lautan, dan pengetahuan navigasi dengan membaca tanda-tanda di alam. Najemain dalam makalah yang dibawakan pada Diskusi Ilmiah arkeologi XII menyatakan bahwa, tradisi bahari Indonesia bila dikaitkan dengan kawasan Asia Tenggara dan kawasan lainnya, setidaknya dapat dilihat dalam dua episode. Pertama dari penelitian Soejono (1984) menunjukkan bahwa gerak migrasi manusia secara besar-besaran dari Asia Daratan dan kepulauan Nusantara yang bertepatan dengan mulainya perkembangan tradisi neolitik di Indonesia menggunakan perahu bercadik bahkan perlintasan mereka mencapai gugusan kepulauan Polinesia. Kedua, dalam periode klasik pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh “Ekspansionis” India dalam mencari garapan baru, setelah kehilangan sumber-sumber emas di Asia tengah yang kemudian menggoda para ahli persoalan kelompok pembawa kebudayaan India di Indonesia atau gerakan timbal-balik oleh pelaut-pelaut Nusantara dan Cina dengan tujuan dagang dan belajar agama (Najemain, 2001).


Page 4 Adapun kegiatan perdagangan sudah mulai berkembang antara lintas benua Asia dan Australia setelah beberapa abad menjelang kelahiran Isa Almasih. Perdagangan tersebut telah menghubungkan pusat kebudayaan kuno di kedua benua, diantaranya Cina, Tukistan, India, Babilonia, Persia, Yunani dan Romawi. Namun, rute perdagangan waktu itu melewati jalan darat yang menghubungkan antara Cina dan Eropa. Rute perdagangan tersebut yang melintasi Asia Tengah yang merupakan rute kontunental antara Asia dan Eropa disebut sebagai jalan Kafilah. Setelah awal abad masehi, maka terjadi perpindahan rute perdagangan trans Asia dari rute darat ke rute laut. Hal ini disebabkan perkembangan keadaan yang tidak aman pada rute darat dikarenakan gangguan dari suku-suku nomaden di Asia Tengah. Adapun beberapa hal lainnya karena penemuan jenis kapal yang lebih besar yang dapat mengangkut penumpang 600 orang, angin tropis yang bertiup secara teratur yang menghubungkan antara Asia dan Eropa, spririt penyebaran agama Budha yang sangat tinggi dan berani menghadapi segala resiko dalam mencari daerah baru, dan juga permintaan barang mewah dari Romawi semakin meningkat sedangkan lewat rute darat terputus (Sulistyono, 2004, pp. 127-128). Indonesia yang memiliki posisi geografis yang sangat strategis karena terletak dalam jalur perdagangan internasional lewat laut antara dua negara adidaya pada waktu itu yaitu India dan Cina. Maka dari itu, Indonesia juga memanfaatkan hal tersebut dengan melibatkan diri secara aktif dalam perdagangan ini. Dalam catatan sejarah hubungan dagang yang lebih dahulu berkembang adalah antara India dan Indonesia kemudian itu menyusul Cina dan Indonesia. Salah satu penyebabnya mungkin karena pelayaran dan perdagangan India lebih bebas dilakukan dibandingkan dengan Cina yang cenderung lebih terbatas akibat ketatnya pengawasan pihak penguasa/rajanya (Koestoro, 1996). Bukti-bukti sejarah pun menunjukkan bahwa hubungan dagang antara India dan Indonesia sudah dimulai sejak abad 2 Masehi. Sumber tertulis ini biasanya didasarkan atas kitab-kitab sastra dan keagamaan Hindu dan Budha. Pada abad ke 2 masehi hubungan dagang antara Nusantara sudah relatif intensif sehingga abad ke 5 Masehi pengaruh perdagangan itu telah menembus pada segi-segi kehidupan kebudayaan dan agama dengan munculnya kerajaan-kerajaan yang menunjukkan pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha (Sulistyono, 2004, pp. 133-135). Inisiatif orang orang-orang di Nusantara pada waktu itu lebih besar dibanding Cina, mengacu pada lebih banyaknya utusan orang Nusantara ke Cina, sedangkan Kaisar Cina pada waktu itu sesekali saja mengirimkan utusan ke Negeri Nusantara dan itupun hanya persoalan agama dan politik saja. Sebelum menjalin hubungan dengan orang Cina, memang pada waktu itu orang Nusantara sudah memiliki pengalaman dalam hal pelayaran dan perdagangan dengan negeri-negeri Asia Tenggara dan India. Tercatat di berita Cina, tahun 131 Masehi, utusan Raja Bian dari Kerajaan Jawa (Yediao) berkunjung ke Cina (Wuryandari, 2015). Hal ini berarti Kerajaan Jawa pada awal abad 2 Masehi telah melakukan pelayaran antar negara dan membangun jalur kemaritiman ke Cina. Dalam berita Cina juga diperoleh informasi bahwa pada abad V masehi telah orang-orang Nusantara masih berlayar langsung ke Cina. Berita tersebut menceritakan bahwa pada awal bulan ke empat tahun 430 datanglah utusan dari Ho-lo-tan, sebuah negeri di She-p’o atau Jawa (menurut Dick-read Ho-Lo-tan salah satu kerajaan tertua


Page 5 di Indonesia yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya; untuk lebih jelasnya Lih. Dick-read, 2005 72-86 ). Jadi jelas bahwa utusan itu dari Nusantara yang membawa kain dari India (Ibid; 136). Sistem angin di kepulauan Nusantara yang dikenal sebagai angin musim memberikan pengembangan jalur pelayaran barat dan timur pergi-pulang secara teratur dan berpola tetap. Faktor tersebut menentukan munculnya kota-kota pelabuhan dan kerajaan seperti Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Makassar, Buton, dan Ternate. Pada abad ke 5 Masehi, kapal dagang dari Cina berlayar menuju Nusantara kemudian melanjutkan perjalanan ke India melewati perairan Sumatera Timur sebelum membelok ke barat (Chd Ponto, 1997, p. 134). Komoditi perdagangan yang diperdagangkan pada waktu itu adalah lada, cengkeh, pala, cendana, beras, kain dan sebagainya. Indonesia yang merupakan salah satu negeri di Asia Tenggara merupakan penghasil terbesar pada waktu itu (Najemain, 2001, 7). Kapur barus di Sumatera serta kemenyan yang banyak ditemukan di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi sangat disukai oleh orang-orang India dan Cina untuk kepentingan upacara keagamaan. Sedangkan komiditi dagang dari Cina yang sangat popular untuk masyakarat Indonesia terutama kalangan menengah keatas adalah barang-barang porcelain seperti piring, mangkok, cangkir, jambangan dan sebagainya. Selain itu, ada juga produk Cina yang terbaik adalah kain sutra Cina yang kualitasnya sangat halus namun juga sangat mahal sehingga hanya bangsawan dan orang kaya saja yang dapat membelinya. Sedangkan dari India memperdagangkan kain mori yang juga berkualitas bagus. Hal ini telah mendorong proses perdagangan yang cukup ramai dijalur maritim antara India dan Cina (Sulistyono, 2004, p. 132). Hal yang paling penting pula untuk diketahui mengenai kerajaan-kerajaan yang pernah muncul di wilayah Nusantara pada waktu itu. Karena, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa yang menjalankan roda pemerintahan di beberapa wilayah di Nusantara tersebut pada waktu itu adalah sebuah kerajaan. Tentunya, kehidupan sosial dan politik sangat tergantung kepada pertimbangan dan keputusan raja sebagai kepala pemerintahannya. Dalam tulisan Dick-Read, ia mengemukakan bahwa dari teks-teks Cina menyebutkan ada beberapa kerajaan yang telah berdiri dan ikut terlibat dalam zona perdagangan di laut Jawa yaitu Ko-Ying dan P’o-Li. Hasil hipotesis Wolters bahwa kerajaan Ko-Ying mungkin berada di wilayah Palembang di sebelah Tenggara Sumatera yang merupakan tempat yang baik untuk mengontrol lalu lintas antara India dan Cina melalui selat Malaka dan Selat Sunda. Kerajaan-kerajaan lainya yang diduga berlokasi Di Sumatera dan Jawa yaitu P’u-Lei, P’o ta, P’o-Huang, P’en-P’ en Tan-tan dan Ho-Ling. Namun, bukti berdirinya kerajaan ini hanya diperoleh dari sumber Cina saja sehingga sangat sulit untuk dibuktikan keberadaannya secara mendalam (Dick, 2008, pp. 76-78). Kerajaan yang sukses setelah kerajaan Ko-Ying yaitu Ho-lo-tan yang merupakan kerajaan berada di Jawa Barat. Namun, setelah itu muncullah kerajaan Kan-To-Li yang dianggap penting sebagai pusat perdagangan. Menurut O. W. Wolters bahwa kerajaan inilah yang merupakan kerajaan terpenting sebelum munculnya Sriwijaya dalam sejarah Indonesia (Ibid; 78). Kerajaan ini memiliki catatan sejarah dari tahun 441 M hingga 563, kemungkinan mencangkup wilayah Sumatera. Lebih lanjut Dick- Read menyimpulkan bahwa :


Page 6 ….Catatan sejarah Cina menyebutkan bahwa sebenarnya “Kan-To-Li adalah nama untuk Sriwijaya pada masa awal, yang pada akhirnya menjadi masa kerajaan terbesar diantara kerajaan-kerajaan itu. Ada juga kemungkinan bahwa Kan-To-Li adalah penerus dari Ko-Ying. Jika memang demikian, berarti Kan-To-Li merupakan bagian dari rantai pemerintahan yang terorganisasi yang memberi bangsa Indonesia dominasi yang absolut atas wilayah selat Malaka dan selat Sunda selama lebih dari ribuan tahun. Kekuasaan yang tidak pernah ada sebelumnya itu berkat kondisi geografis ini, memungkinkan kerajaan-keajaan yang berbasis di Wilayah Palembang di Sumatera Selatan untuk mengontrol semua pelayaran dan perdagangan dari Cina dan kepulaun Indonesia menuju India, Srilangka dan Afrika serta Madagaskar (Dick, 2008, p. 78). Pernyataan Dick-Read di atas jelas berpendapat bahwa kerajaan Kan-to-li merupakan kerajaan awal dari Sriwijaya yang terus berkembang dan terus mengontrol semua pelayaran dan perdagangan antara Cina dan India. Tatapi pernyataan diatas masih sulit untuk dipercaya bagitu saja, karena landasan ilmiahnya dianggap masih sangat lemah. Kerajaan Sriwajaya merupakan salah satu kerajaan yang memiliki perang penting terhadap pelayaran dan perdagangan di Indonesia, baik itu berkaitan erat dengan perdagangan inteernasional antara India dan Cina maupun perdagangan regional diantara daerah di Nusantara, Nusantara dan kawasan AsiaTenggara, serta Nusantara dan Cina. Kemampuannya untuk mengelola perdagangan yang lalu-lalang di Nusantara Kawasan bagian Barat sehingga pastilah kerajaan tersebut mampu mengontrol kawasan Selat malaka dan Selat Sunda. Kemungkinan bahwa letaknya tidak terlalu strategis karena agak jauh dari selat Malaka, tetapi dengan kekuatan armadanya ia mampu menguasai daerah-daerah yang berpotensial untuk menjadi pesaingnya dan juga dapat mengontrol jalur perdagangan dari perampokan dan kemungkinan agresi dari negara lain yang berada dibawah kekuasaannya (Sulistyono, 2004, p. 138). Pada abad XIII, kerajaan ini kemudian mampu menguasai titik-titik simpul perdagangan antara lain P’eng-F’eng (Pahang), Theng-ya-nung (Trengganu), Ling-yassu-chia (Langkasuka) Chi-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (Kuala berang), Tan-ma-ling (tambralingga, Ligor, Chia-lo-si (Grahi, Teluk Brandon, dan Sin-t’o(Sunda). Dalam mencari titik aman perdagangannya terhadap Cina, Sriwijaya rela mengakui Cina sebagai Negara besar yang berhak untuk diberi upeti. Dengan demikian Sriwijaya akan merasa aman akan bahaya ekspansi meliter Cina yang sudah merambah ke Vietnam dan Funan. Dari itu pula, kapal-kapal Sriwijaya juga mendapat perlakuan yang baik di pelabuhan-pelabuhan di Cina. Sriwijaya pada waktu itu telah mengembangkan strategisnya untuk bertahan dan mengembangkan kekuasaannya. Sriwijaya menjalin perdagangan dengan negeri Timur Tengah terutama Arab dan Persia pada abad ke-11 dengan saling menukar komoditi. Azyumardi Azra dalam bukunya mengutip tulisan Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid, yang menyebutkan adanya korespondensi antara Raja Sriwijaya (Sri Indravarman) dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis pada sekitar tahun 100 Hijriah atau 719 Masehi (Azra, 2005). Arab dan Persia memperoleh kemenyan sebagai bahan wangi-wangian dari Sriwijaya. Kerajaan Jawa7 memiliki armada angkatan laut terbesar di dunia pada masa 7 Nugroho dalam hal ini menisbatkan Kerajaan Jawa era ini pada Majapahit berdasarkan hasil pembacaannya terhadap Nagarakrtagama. 42.2.4


Page 7 kejayaannya, yaitu sebanyak 2800 kapal sebagai bukti bahwa Jawa merupakan kerajaan bercorak maritim (Nugroho, 2011, 16). Kejayaan Majapahit di laut bukan hanya dalam persoalan ekonomi melainkan dibidang pertahanan laut melalui kekuatan pasukan laut selain pasukan darat. Menurut Nugroho, "Pasukan laut mendapatkan perlakuan istimewa dari negara, dalam jumlah pasukan dan fasilitas. Prapanca menyebut Jalandhi berjumlah sangat banyak dibandingkan pasukan lain dan lebih istimewa" (ibid,179). Pendapat berbeda tentang Majapahit dikemukakan oleh Agus Aris Munandar, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia. Menurut Agus Aris Munandar, Kerajaan Majapahit awalnya bertumpu kepada aktivitas pertanian. Hal itu dapat dilihat pada banyaknya prasasti yang membicarakan tentang penetapan sima atau daerah perdikan serta nama-nama jabatan para pegawai kerajaan dapat diketahui bahwa kerajaankerajaan Jawa Kuno sejak zaman Mataram di Jawa bagian tengah hingga era Majapahit di Jawa bagian timur adalah kerajaan agraris. (Munandar, 2015). Seiring dengan perkembangan, perhatian Majapahit pada daerah luar Jawa meningkat karena berbagai argumen internal atau pun eksternal. Perhatian ke luar Jawa itu tentunya merupakan aktivitas maritim dengan berbagai sistemnya. Lebih lanjut Agus Aris Munandar menyatakan bahwa Majapahit walaupun bertumpu kepada aktivitas agraris, tetapi juga mengembangkan perhatiannya kepada dunia maritim seiring dengan aktivitas kemaritiman yang meluas. Namun bukti arkeologi yang terkait langsung dengan kemaritiman Kerajaan Maritim sampai saat ini masih sangat minim. Salah satunya berupa relief dari kapal layar Majapahit di kompleks Candi Panataran, jadi dapat dipastikan otentik dari masanya. Dalam relief tersebut dipahatkan kapal layar besar, mempunyai rumah kapal di tengah, namun bertiang kaki dua yang menyatu di bagian tengah hingga puncaknya. Kedua kaki tiang itu ditancapkan di bagian tepian dek tengah kapal lalu menyatu menjadi tiang tunggal di bagian atas rumah kapal. Tinggalan arkeologi lainnya, yaitu bangkai kapal karam Punjulharjo di Rembang yang ditemukan tahun 2008. Berdasarkan penanggalan karbon, kapal ini berasal dari abad ke 7-8 Masehi. Adapun bukti arkeologis yang lainnya berupa relief kapal bercadik di Stupa Borobudur 8 . Namun, Hasan Djafar, seorang arkeolog dan ahli epigrafi menolak bahwa kapal tersebut berasal dari Dinasti Syailendra dan Mataram kuno karena menurutnya Mataram kuno berbasis ekonomi agraris. Hasan meyakini bahwa kapal itu hanyalah kapal dagang bangsa asing (Candi Borobudur, Jejak Maritim Dinasti Syailendra, Kompas 11 Januari 2014). Tinggalan lainnya, yaitu kapal karam di Perairan Cirebon yang berasal dari abad 10 Masehi. Kapal ini berupa kapal dagang dengan teknologi khas Nusantara, dengan muatan berbagai jenis barang yang berasal dari Persia, Cina dan India (Utomo, 2008). Apa yang telah dipaparkan, memperlihatkan adanya dialektika terkait “kebenaran” sejarah kemaritiman di Nusantara, khususnya kemaritiman kerajaaankerajaan di Jawa termasuk Majapahit. Walaupun demikian, kita tidak dapat menapikan data kesejarahan lain terkait dengan kerajaan di luar Jawa yang juga bercorak maritim. 8 Istilah stupa sebenarnya lebih tepat dilekatkan pada Borobudur sebagai bangunan ibadah Budha. Candi adalah penaman untuk bangunan ibadah Hindu. Namun karena kata candi lebih dikenal sehingga istilah Candi Borobudur menjadi lebih familiar dan dipergunakan di setiap tulisan tentang Borobudur.


Page 8 Hal itu tetap dapat memperkuat argumetasi betapa Nusantara sejak lama lekat dengan budaya bahari dan aktifitas kemaritiman. Pasang surutnya Nusantara pada masa lalu, berarti juga pasang surutnya kejayaan maritim pada masa itu. Di era pasca kemerdekaan, kejayaan maritim Nusantara selalu menjadi romantisme sejarah yang senantiasa dicoba untuk dibangkitkan kembali dalam berbagai bentuk project being. Warisan Budaya Bahari, Kejayaan Maritim Nusantara Aktifitas kemaritiman memungkinkan adanya kontak budaya yang intensif dan mencangkup ruang geografis yang luas. Kontak budaya yang terjadi melalui pelayaran dan perdagangan antar pulau dan antar benua, memunculkan asimilasi dan akulturasi budaya yang memberikan corak beragam budaya di wilayah Nusantara yang kini menjadi warisan budaya bahari bangsa. Dalam pelayaran didukung oleh adanya kemahiran teknologi dan tradisi pembuatan perahu serta pengetahuan navigasi. Tradisi pembuatan perahu tradisional menjadi salah satu warisan budaya yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan, salah satunya tradisi pembuatan perahu Pinisi di Bulukumba. Pinisi, phinisi, pinis, pinas adalah beragam nama untuk perahu kebanggaan bangsa Indonesia ini. Kata Pinisi yang lebih dikenal dan melambangkan pelayaran Nusantara, sebagai suatu tradisi yang telah berlangsung sejak jaman prasejarah. Hal ini dapat kita lacak dari jejak lukisan gua prasejarah berupa gambar perahu dan juga gambar ikan. Artinya, nenek moyang kita telah mengenal teknologi perahu dan pengetahuan untuk menangkap ikan salah satu wujud nyata aktifitas kemaritiman yang melahirkan budaya kebaharian. Kontruksi Pinisi adalah gabungan pengetahuan dan pengalaman tradisional kuno dan disertai ritual ketat yang harus diikuti untuk memastikan keamanan di laut. Para pengrajin yang dipimpin Panritalopi harus mengitung hari baik untuk memulai pencarian kayu, penebangan, awal pembuatan, sampai peluncuran kapal ke perairan tak lepas dari upacara adat. Perahu tipe Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar, dengan dua tiang dan seluruhnya tujuh sampai delapan helai layar. Tiang belakang lebih pendek daripada tiang depannya, dan andang-andang layarnya terpasang tetap di tengah-tengah kedua tiang itu. Jenis layar itu dicap ‘Sekunar Nusantara’ untuk menandai, bahwa namun agak serupa dengan jenis-jenis sekunar lainnya, ia memiliki beberapa sifat khas (Liebner, 2012). Panritalopi adalah istilah atau gelar yang sangat dihargai di masyarakat Bugis Makassar yang artinya adalah orang-orang yang memiliki keahlian membuat kapal. Proses pembuatan kapal yang dipimpin oleh Panritalopi ini masih sangat menjaga tradisi. Dan untuk itu kita patut berterima kasih kepada para Panritalopi. "Panritalopi" sebagai julukan untuk Bulukumba telah dikenal sampai ke luar negeri. Namun sangat sedikit yang mengetahui siapakah sebenarnya sosok pencetus "Panritalopi". Merujuk pada pemberitaan di di www.rca_fm.com dsebutkan bahwa, Jafar Palawang adalah sosok di balik penamaan tersebut. Jafar adalah seorang seniman teater dan seni rupa di Kecamatan Bontobahari. Pada tahun 1990-an, dialah yang pertama kali mencetuskan istilah "Panritalopi". Jafar mulai menggunakan istilah tersebut dalam spanduk yang berbunyi"Selamat Datang Di Bumi Panritalopi" dalam sebuah acara berskala kabupaten di Kecamatan Bontobahari. Oleh publik dan Pemerintah Kabupaten Bulukumba dari


Page 9 masa ke masa, istilah "Bumi Panritalopi" lama kelamaan berubah tulisannya menjadi "Bumi Panrita Lopi" bahkan kemudian berganti menjadi "Butta Panrita Lopi". Hampir semua media pun terjebak dalam kesalahan penulisan itu. Menurut Jafar, penulisan 'Butta Panrita Lopi' itu tidak tepat, sebab istilah butta bermakna lain, maknanya sangat sempit jika memakai nama butta. Berbeda dengan Butta Kajang ataupun Butta Toa Bantaeng yang memang sudah sesuai artinya menurut geografinya. Yang tepat adalah 'Bumi Panritalopi', tulisan panrita dan lopi pun tidak boleh dipisahkan, harus bersambung menjadi 'Panritalopi'. Di Bulukumba inilah para Panritalopi dengan tekun dan setia menjadi penjaga tradisi Pinisi, tepatnya di Desa Ara, Tana Beru dan Lemo-lemo yang terkenal karena kepandaiaan masyarakatnya dalam membuat Pinisi. Para Panritalopi begitu tekun dalam membuat Pinisi, dikerjakan dengan hati-hati ibarat sementara menanti kelahiran bayi. Dalam proses pembuatan Pinisi, mulai dari penentuan hari baik sampai peluncuran Pinisi ke lauat, mengandung nilai-nilai kearifan lokal atau nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu, antara lain kerjasama atau gotong royong, kerja keras, ketelitian, keindahan, dan religius. Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan antara Panritalopi atau Punggawa dan para sawi (tukang-tukang lainnya) serta calon-calon sawi serta tenaga-tenaga yang lainnya. Masing-masing mempunyai tugas tersendiri.Tanpa kerjasama yang baik, Pinisi tidak dapat terwujud dengan baik. Bahkan, bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah terwujud. Nilai kerja keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu terbaik untuk bahan Pinisi. Proses penebangannya pun diperlukan kerja keras karena masih menggunakan peralatan tradisional (bukan gergaji mesin). Nilai ini juga tercermin dalam pemotongannya yang tidak boleh berhenti sebelum selesai (terpotong) dan pemasangan atau perakitannya yang membutuhkan kerja keras. Selain itu, nilai ini juga tercermin dalam pendempulan dan peluncuran karena untuk memindahkan perahu dari galangan bukan merupakan hal yang mudah. Nilai ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu). Nilai keindahan dari bentuknya yang dibentuk sedemikian rupa sehingga tampak kuat, gagah, dan indah. Nilai religius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan upacara agar “penunggunya” tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin dalam doa ketika perahu akan diluncurkan ke laut:“Bismillahir Rahmanir Rahim Bulubulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir”, yang artinya “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukmanul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu”. Pinisi pun sebagai warisan budaya pun merupakan perwujudan dari tradisi dan ekspresi lisan sebagaimana diceritakan dalam salah satu fragmen kisah Epos La


Page10 Galigo9 , disebutkan tokoh yang bernama Sawerigading membuat kapal besar untuk mengarungi dunia dan mencari jodohnya. Konon, ketika kapal Sawerigading dalam pelayaran pulangnya ke kampung halamannya di Tana Luwu pecah terhempas ombak, sisa-sisa pecahan kapal tersebut kemudian terdampar di Desa Ara dan Tana Beru, sedangkan tali temalinya terdampar di Bira. Orang-orang Ara dan Tana Beru lalu mempelajari serpihan papan dan lunas perahu tersebut sehingga menjadi orangorang yang mahir membuat perahu, sedangkan tali temali dan kemudi yang terdampar di Bira menjadikan orang-orang Bira sebagai pelaut-pelaut ulung. Terlepas dari benar tidaknya cerita tersebut, Tana Beru10 memang terkenal sebagai salah satu tempat pembuatan perahu tradisional Pinisi yang sudah dikenal sampai ke mancanegara. Belajar dari Pinisi sebagai warisan budaya bahari, memperlihatkan kepada kita bahwa suatu warisan budaya meliputi beragam aspek kebudayaan mulai dari tradisi dan ekspresi lisan, seni pertunjukan, adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan, pengetahuan dan kebiasaan mengenai alam semesta serta kemahiran kerajinan tradisional. Warisan budaya memiliki nilai penting yang bersifat intangible sekaligus artefaktual yang bersifat tangible. Makna budaya dan kandungan nilai pentingnya serta sifatnya yang unik, khas dan jumlahnya yang terbatas menjadi faktor utama bahwa kita harus senantiasa bekerjasama dalam melestarikan warisan budaya bahari bukti kejayaan maritim nusantara. Dalam sejarah kemaritiman Nusantara yang telah dipaparkan di atas, memperlihatkan kepada kita bukti sejarah bahwa salah satu yang memicu berkembangnya pelayaran dan perdagangan adalah komoditi unggulan dari Nusantara berupa rempah-rempah, terutama lada, cengkeh, pala, dan merica. Jejak kejayaan perdagangan rempah tersebut, menyisakan sebuah jalur pelayaran yang kita kenal sebagai “Jalur Rempah” meliputi jalur pelayaran yang begitu luas menghubungkan Nusantara sebagai wilayah kepulauan dengan berbagai wilayah dan negara di benua lain di seberang samudera. Jalur rempah inilah yang menjadi simpul peradaban bahari Nusantara, warisan budaya kebanggaan bangsa Indonesia. *) Disampaikan dalam Talkshow di Malang, 4 September 2016 yang merupakan rangkaian acara Pekan Budaya Indonesia 2016 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia **) Staf pengajar Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, menyelesaikan pendidikan Sarjana Arkeologi di Universitas Hasanuddin pada 2004, dengan tugas akhir “Pendokumentasian Lukisan Gua Prasejarah Maros Pangkep Berbasis Komputer”. Kemudian melanjutkan studi Magister Arkeologi pada 2007 di Universitas Gadjah Mada dengan konsentrasi Manajemen Sumberdaya Budaya Maritim, selesai pada 2009 dengan Tesis “Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Sulaaa di Kota Baubau Sulawesi Tenggara. Saat ini sementara menempuh pendidikan Doktoral Arkeologi di Universitas Arkeologi, dengan fokus kajian Arkeologi Islam, mengkhusus pada peradaban Islam di Sulawesi Abad 17-20 yang dikaitkan dengan perspektif kemaritiman. 9 La Galigo adalah cerita lisan yang kemudian ditulis oleh Arung Pancana, Putri Bangsawan Bugis dari Kerajaan Mallusetasi di Barru Sulawesi Selatan, menjadikannya sebagai salah sata karya sastra terpanjang di dunia. Pada tahun 2012 UNESCO telah menetapkannya sebagai Memory of The World. 10 Tana Beru terletak di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan


Page11 DAFTAR RUJUKAN Azra, A. (2005). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. Chd Ponto. (1997). Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid I. Jakarta: Yayasan Pusat Studi Pelayaran Indonesia. Dick, R. R. (2008). “Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika” Pejelajah Bahari. Bandung: Mizan. Koestoro, L. R. (1996). Prasejarah Sarana Transportasi Air Nusantara. Kongres Prasejarah Indonesia I. Yogyakarta: Assosiasi Prehistori Indonesia. Lapian, A. (2009). Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Yogyakarta: Penerbit Komunitas Bambu. Mulyadi, Y. (2014, Januari 17). Bahan Ajar Arkeologi Maritim untuk Mahasiswa Arkeologi Universitas Hasanuddin. Makassar: LKPP Universitas Hasanuddin. Munandar, A. A. (2015, Juli 5). Majapahit: Kerajaan Agraris-Maritim Di Nusantara. Retrieved Desember 9, 2015, from http://www.hurahura.wordpress.com Najemain. (2001). Wawasan Arkeologi Maritim Indonesia. DIskusi Ilmiah Arkeologi XII. Makassar: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Nugroho, I. D. (2015, Januari 7). Maritim Dan Bahari, Dua Kata Yang Sinonim? Retrieved Desember 9, 2015, from www.suluhnuswantarabakti.org Poelinggomang, E. L. (2001). Perdagangan Maritim Indonesia Jaringan dan Komoditinya. Diskusi Ilmiah Arkeologi XII. Makassar: Ikatan Ahli Arkeologi Indoenesia. Sulistyono, T. S. (2004). Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Kemdikbud. Utomo, B. B. (2008). Kapal Karam abad ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon. Jakarta: Pannas BMKT. Wuryandari, N. P. (2015, Desember 4). Laut Cina Selatan dalam Budaya Indonesia Kajian Filologis. Talkshow Laut Cina Selatan dalam Konsep Budaya. Depok. View publication stats


Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.