Kitab Puasa dan Zakat Fitrah di Bulan Ramadlan Flipbook PDF

Ilmu tentang Puasa dan Zakat Fitrah di Bulan Ramadlan

29 downloads 99 Views 935KB Size

Story Transcript

Kewajiban Ibadah Puasa dan Zakat Fitrah di Bulan Suci Ramadlan

Disusun oleh: Tim Syar'i

Kota Bandung Jawa Barat 1443 H

1

BAB I MUQADDIMAH

A. Pengertian Ramadlan Secara umum Ramadlan adalah bulan kesembilan dalam kalender Islam. Dan pada saat Ramadlan, umat Islam akan merayakan sebuah tradisi dan menjalankan kewajiban sebagai umat muslim yaitu berpuasa. Ramadlan akan berlangsung selama 29 sampai dengan 30 hari yang ditentukan berdasarkan hilal. Arti Ramadan sendiri diambil dari bahasa Arab yaitu ‫ َ َر َمض‬atau ‫َاَل َّر َمض‬ yang memiliki arti panas yang menghanguskan atau kekeringan. Hal ini juga disangkutkan dengan Ramadlan yang jatuh pada bulan kesembilan dan merupakan saat terjadinya musim panas yang sangat menyengat. Umat Islam juga diwajibkan untuk melakukan puasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari pada bulan ini. Meskipun di bulan Ramadlan bertepatan dengan musim panas, umat Muslim harus tetap berpuasa karena ini merupakan sebuah kewajiban. Selain itu, arti Ramadlan yang merupakan panas juga diibaratkan sebagai matahari yang begitu panas dan mampu menghapus dosa-dosa umat muslim. Umat muslim percaya bahwa jika melakukan amal ibadah dan juga puasa di bulan Ramadlan, maka dosa-dosa akan diampuni. B. Keutamaan Bulan Ramadlan Bulan suci Ramadlan adalah anugerah dan nikmat yang agung bagi umat Nabi Muhammad saw. Di dalamnya terdapat keutamaan dan hikmah yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya yang dengan ikhlas menjalankan ibadah puasa serta ibadah-ibadah lainnya. Pada bulan ini pula umat Islam sangat dianjurkan melakukan ibadah-ibadah sunnah. Karena semua pahala ibadah sekecil apapun akan dilipatgandakan, pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya. Bahkan setan pun dibelenggu dan diikat pada bulan suci ini. Rasulullah saw. Bersabda:

ُْ‫ق ْفَي ِْه أب َواب‬ ُْ َ‫ح فَي ِْه أب َوابُْ ال َجنَّ ِْة َوي ُغل‬ ُْ َ‫صيَا َم ْهُ تُفت‬ ْ ‫ض‬ َْ ‫ك افتَ َر‬ ٌْ ‫ان َشه ٌر ُمبَا َر‬ ُْ ‫ض‬ َ ‫قَدْ َجا َء ُكمْ َر َم‬ ِ ْ‫للاُ َعلَي ُكم‬ ْ‫ف َشهر‬ ِْ ‫ن فَي ِْه لَيلَ ْةٌ َخي ٌْر ِمنْ أل‬ ُْ ‫ال َج ِحي ِْم َوتُغَلْ فَي ْهَ ال َّشيَاطَي‬ “Telah datang kepadamu bulan Ramadlan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia terhalang mendapat sesuatu yang besar.” (HR. Ahmad dan An-Nasa'i) 2

Begitu penting dan mulianya bulan Ramadlan sehingga Nabi Muhammad SAW bersabda:

)‫ (متفق عليه‬.‫ان اِي َمانا َواحتِ َسبا ُغفِ َْر لَهْ َما تَقَ َّد َْم ِمنْ َذن ِب ِْه‬ َْ ‫ض‬ َ ‫صا َْم َر َم‬ َ ْ‫َمن‬ “Barang siapa berpuasa Ramadlan karena percaya kepada Allah dan hanya mengharapkan (ridha) kepada Allah, maka akan diampuni semua dosa yang telah dilakukannya.”(HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadits yang lainnya Beliau pernah bersabda:

)‫ (رواه ابن أبي الدنيا‬. ‫ان‬ َْ ‫ض‬ َْ ‫ان لَتَ َمنَّوااَنْ تَ ُكو‬ َْ ‫ض‬ َ ‫ن ال َّسنَ ْةُ ُكلُّهَا َر َم‬ َ ‫لَوْ تَعلَ ُْم ا ُ َّمتِيْ َما فِيْ َر َم‬ “Andaikata umatku mengetahui keutamaan di dalam bulan Ramadlan, niscaya mereka akan mengharapkan sepanjang tahun menjadi bulan Ramadlan.”(HR. Ibnu Abi Dunya) Bahkan dalam hadits qudsi dikatakan bahwa:

)‫ (رواه البخاري‬. ‫ّل الصَّو َْم فَاِنَّهْ لِيْ َواَنَا اَج ِْزيْ بِ ِْه‬ ْ َّ ِ‫ن ٰا َد َْم لَهْ ا‬ ِْ ‫ل اب‬ ِْ ‫ُكلُّْ َع َم‬ “Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, ‘Kecuali puasa, itu untukKu dan Aku yang langsung membalasnya. (HR. Bukhari) Maka sudah seyogyanya dalam bulan puasa umat Islam lebih meningkatkan amal ibadah dan kebersihan hatinya dengan melaksanakan segala bentuk kewajiban dan kesunahan. Namun yang tak kalah penting diperhatikan bahwa selain amal ibadah yang dilipatgandakan pahalanya, amal buruk pun dilipatgandakan dosanya. Sehingga selain meningkatkan amal baik, hendaknya dalam bulan Ramadlan umat muslim berusaha menjauhi segala larangan dan kemakruhan. C. Hikmah Puasa Ramadlan Berikut beberapa hikmah diwajibkanya puasa Ramadlan: 1. Sebagai bekal menuju surga firdaus. 2. Menjadi pemicu untuk mengasihi orang-orang yang kelaparan (membutuhkan). 3. Sebagai cara yang efektif untuk meluruskan hati yang menyimpang dari rel ketaatan. 4. Mendapat ampunan Allah dan syafaat para Malaikat. 5. Dapat mengantarkan kepada sifat zuhud (menjauhi orientasi duniawi). 6. Terapi yang efektif untuk menjauhi kemaksiatan. 7. Mencegah gangguan setan.

3

BAB II PUASA

A. Pengertian Puasa Secara bahasa, puasa bermakna al-Imsak (menahan). Dan menurut istilah syariat puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar (masuknya waktu subuh) sampai terbenamnya matahari dengan niat dan ketentuan lain yang telah ditetapkan oleh syariat. B. Dalil Puasa Ramadlan Puasa Ramadlan hukumnya wajib bagi setiap muslim yang mukallaf (baligh dan berakal). Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah/2 : 183 :

ْ‫ن ِمنْ قَبلِ ُكمْ لَ َعلَّ ُكمْ تَتَّقُو َن‬ َْ ‫علَى الَّ ِذي‬ َْ ‫ب‬ َْ ِ‫صيَا ُْم َك َما ُكت‬ َْ ‫ن ٰا َمنُوا ُك ِت‬ َْ ‫ٰيٰٓاَيُّهَا الَّ ِذي‬ ِّ ‫ب َعلَي ُك ُْم ال‬ "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah/2 : 183). Nabi Muhammad Saw pernah bersabda:

ْ‫ َْو ِإيتَا ِء‬،‫صالَ ِة‬ َّ ‫ام ال‬ ِْ َ‫ َو ِإق‬،ِ‫ل للا‬ ُْ ‫ن ُم َح َّمدا َرسُو‬ َّْ َ‫للاُ َوأ‬ ْ َّ‫ّل‬ ْ ‫ّلَ ِإلَ ْهَ ِإ‬ ْ ْ‫ َشهَا َد ِْة أَن‬:ْ‫اإلسالَ ُْم َعلَى َخمس‬ َْ ِ‫بُن‬ ِ ‫ي‬ )‫َاريُّْ َو ُْمسلِ ٌْم‬ َْ ‫ض‬ َ ‫صوْ ِْم َر َم‬ َ ‫ َو‬،‫ت‬ ِ ‫ َو َحجِّْ البَي‬،‫ال َّز َكا ِة‬ ِ ‫ ( َر َوا ْهُ البُخ‬. ‫ان‬ ”Islam itu dibangun di atas lima dasar: persaksian (syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji (ke Baitullah) dan puasa di bulan Ramadlan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim) C. Macam-Macam Puasa Secara garis besar hukum ibadah puasa dibagi menjadi empat: 1. Puasa wajib, seperti puasa Ramadlan, puasa nadzar serta puasa qadha’. 2. Puasa sunnah, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), puasa hari ‘Asyura )tanggal 10 Muharram(, puasa 6 hari di bulan Syawal, puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak) dan lain-lain. 3. Puasa makruh, seperti mengkhususkan puasa pada hari Jum’at, Sabtu, atau Ahad tanpa disambung dengan hari sebelum atau setelahnya. 4. Puasa haram, seperti puasa yang dilakukan pada hari raya Idul Fitri, Idul Adha, hari-hari tasyrik (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah), puasa pada hari syak 10, puasa di separuh akhir

4

bulan Sya’ban kecuali disambung dengan satu hari sebelumnya, dilakukan dalam rangka mengqadha puasa wajib atau sudah memiliki kebiasaan berpuasa sebelumnya. CATATAN: Puasa sunah yang dilakukan istri tanpa izin suami hukumnya haram. Sehingga bila hendak melakukan puasa sunnah, istri terlebih dahulu wajib mendapatkan izin dari suami. D. Tiga Tingkatan Puasa Terdapat tiga tingkatan/ level kualitas puasa sebagai berikut: 1. Puasaul ‘umum )puasa umum), yaitu puasa yang hanya sekedar menahan diri dari makan, minum serta hal-hal lain yang membatalkan puasa. 2. Puasaul khusus (puasa khusus), yaitu puasa yang dilakukan sebagaimana puasa umum dan ditambah dengan menjaga lisan, telinga, mulut, pandangan dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. 3. Puasaul khususil khusus (puasa sangat khusus), yaitu puasa yang dilakukan sebagaimana puasa khusus ditambah dengan berpuasa dari keinginan-keinginan buruk, pikiran-pikiran duniawi dan menahan hati dari hal-hal selain Allah secara totalitas. E.

Syarat Wajib Puasa Syarat wajib maksudnya adalah jika seseorang telah memenuhi syarat tersebut, maka wajib baginya untuk menjalankan ibadah puasa pada bulan suci Ramadlan. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi pada diri seseorang, maka puasa Ramadlan menjadi tidak wajib atas dirinya. Syarat-syarat tersebut adalah: 1. Islam. Maka non muslim tidak wajib melakukan puasa dan tidak wajib mengqadha saat ia memeluk Islam. Adapun murtad tetap berkewajiban mengqadha puasa-puasa yang telah ia tinggalkan bila kembali memeluk agama Islam. 2. Baligh. Sehingga tidak wajib bagi anak yang belum baligh untuk berpuasa meskipun puasa tersebut sah dilakukan olehnya bila telah mencapai tamyiz. 3. Berakal. Sehingga tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha bagi orang gila yang ditimbulkan bukan karena kecerobohan. Dan wajib mengqadha bila gilanya ditimbulkan karena kecerobohannya seperti gila yang disebabkan obat-obatan secara sengaja. 4. Mampu berpuasa, Sehingga puasa tidak wajib bagi orang tua, orang sakit, pekerja berat dan lain-lain. 5. Suci dari haid dan nifas. 6. Bermukim (bukan musafir). CATATAN: Meskipun puasa Ramadlan tidak wajib dilakukan anak kecil, namun wajib bagi orang tua memerintahkan anaknya yang telah mencapai usia 7 tahun untuk berpuasa dan memukulnya di usia 10 tahun jika tidak mengindahkan perintahnya. Hal ini dilakukan untuk melatih anak agar terbiasa berpuasa setelah ia baligh. Memerintah puasa dan memukul anak tersebut dilakukan bila si anak mampu/ kuat berpuasa. 5

F.

Puasa Bagi Musafir Musafir diperbolehkan meninggalkan puasa meskipun ia mampu/ kuat berpuasa dengan tiga ketentuan sebagai berikut: 1. Bepergian dilakukan sebelum fajar (masuk waktu subuh) 2. Jarak tempuh perjalanan minimal mencapai masafatul-Qashri (82 KM) 3. Bepergiannya mubah, bukan bepergianmaksiat, semisal pergi dengan tujuan merampok. Selain tidak ada kewajiban berpuasa, musafir yang memenuhi tiga ketentuan di atas juga tidak berkewajiban niat di malam hari. Namun ia wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkan. Bila ketentuan di atas tidak terpenuhi, misal bepergian dilakukan setelah masuk waktu subuh, atau tidak mencapai masafatul qashri, maka musafir diwajibkan berpuasa dan niat puasa di malam hari. Dan bila di tengah jalan mengalami keberatan untuk meneruskan puasa, maka ia diperbolehkan berbuka puasa dan wajib mengqadha. G. Puasa Bagi Orang Sakit Dan Lansia Dalam kajian fiqih puasa, orang sakit terbagi menjadi dua golongan: 1. Orang sakit yang masih ada harapan sembuh. Kategori ini boleh berbuka puasa bila ia mengalami keberatan/ kepayahan dengan berpuasa, ia tidak wajib membayar fidyah dan wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkan. 2. Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh. Kategori ini, tidak wajib puasa, tidak wajib mengqadha’ dan wajib membayar fidyah. CATATAN: Lansia yang tidak lagi sanggup melakukan puasa, hukum puasa dan konsekuensi baginya sama seperti orang sakit kategori 2. H. Puasa Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui Sering muncul pertanyaan bagaimana hukum puasa bagi hamil dan menyusui? Dalam hal ini terdapat perbedaan ulama empat madzhab sebagai berikut: Pertama, menurut Madzhab Hanafi, bahwa ibu hamil dan menyusui itu seperti orang yang sakit. Apabila mereka tidak berpuasa Ramadlan, maka wajib mengqadha puasanya saja dan tidak perlu membayar fidyah. Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid, dan juga Abu Tsaur mendukung pendapat ini. Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah sebagai berikut: "(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS Al Baqarah: 184). Menurut Imam As-Sarkhasi (w 483 H) seorang ulama yang bermadzhab Hanafi menyebutkan, ketika wanita hamil atau menyusui itu meninggalkan puasa karena dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW sesungguhnya Allah SWT memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. Karena kesulitan yang menimpa dirinya, maka kesulitan ini merupakan suatu udzur untuk tidak berpuasa, 6

seperti halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa harus membayar fidyah. Kedua, Madzhab Maliki membedakan hukum puasa bagi ibu menyusui dan wanita hamil. Bagi ibu hamil yang tidak berpuasa maka kewajibannya hanya qadha, sedangkan bagi ibu menyusui yang tidak puasa maka kewajibannya qadha dan membayar fidyah. Imam Malik (w 179 H) yang merupakan pendiri Madzhab Maliki, beliau menyebutkan dalam kitabnya AlMudawwanah sebagai berikut: “Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga mampu menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewa ibu susuan bagi bayinya. Tapi jika sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka, di mana dia harus mengqadha dan membayar fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, yaitu satu mud untuk setiap orang miskin.” Kemudian Imam Malik menyebutkan, bagi wanita hamil tidak wajib membayar fidyah. Kalau dia telah sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan. Dalam kitab Al Mudawwanah ini juga dijelaskan mengapa antara wanita hamil dan menyusui dibedakan dalam hal membayar fidyah. Hal tersebut karena wanita yang hamil dianggap sebagai wanita yang sakit, sedangkan wanita yang menyusui sebenarnya tidak lemah atau tidak sakit seperti wanita hamil. Lalu kemudian kenapa fidyah diwajibkan atas ibu menyusui, karena alasan meninggalkan puasa adalah karena kondisi bayi yang mengharuskan ibunya berbuka, bukan karena fisik ibu yang tidak kuat berpuasa. Padahal fisik ibu yang menyusui masih kuat. Ketiga, Pendapat Madzhab Hambali sebetulnya sama persis seperti pendapat Madzhab Syafi'i. Imam Ibnu Qudamah (w 620 H) dalam kitabnya Al Mughni menyebutkan bagi wanita hamil ketika mengkhawatirkan kondisi janinnya, ataupun wanita menyusui yang mengkhawatirkan kondisi bayinya, jika tidak berpuasa, wajib mengqadha dan membayar fidyah untuk orang miskin dari setiap hari yang ditinggalkan. Secara umum wanita hamil dan menyusui kalau keduanya mengkhawatirkan kondisi diri mereka, maka bagi keduanya boleh tidak puasa, dan cukup bagi keduanya mengqadhanya saja. Hal ini tidak ada perbedaan di antara para ulama sebab mereka dianggap seperti orang sakit. Namun jika khawatir terhadap anaknya saja maka bagi mereka wajib qadha dan membayar fidyah 1 mud setiap harinya kepada orang miskin. Intinya Madzhab Hambali mengatakan jika wanita hamil dan menyusui tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya saja maka kewajibannya hanya qadha puasa saja. Jika wanita hamil dan ibu menyusui tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya dan bayinya sekaligus maka kewajibannya hanya qadha puasa saja. Namun jika ibu hamil dan ibu menyusui tidak puasanya karena sebab khawatir bayinya saja maka kewajibannya qadha puasa dan bayar fidyah. Keempat, Madzhab Syafi'i justru membedakan hukumnya tergantung dari sisi mengapa ibu menyusui dan wanita hamil itu tidak berpuasa. Apakah sebab khawatir terhadap dirinya saja atau khawatir terhadap bayinya. Dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ )w 593 H( disebutkan bahwa yang termasuk orang yang boleh tidak puasa adalah wanita hamil dan ibu menyusui. Wanita hamil dan ibu menyusui jika khawatir terhadap dirinya maka wajib qadha 7

puasa tanpa membayar fidyah. Namun jika khawatir terhadap bayinya saja maka wajib qadha dan wajib fidyah. Yaitu 1 mud setiap harinya. Jika wanita hamil dan ibu menyusui tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya dan bayinya sekaligus maka kewajibannya hanya qadha puasa. Namun jika bumil dan busu dia kuat untuk puasa namun sengaja tidak puasa karena sebab khawatir terhadap bayinya maka kewajibannya adalah qadha puasa dan bayar fidyah. Imam An Nawawi (w 676 H) seorang ulama besar dalam Madzhab Syafii juga mengatakan hal yang sama. “Telah kami sebutkan bahwa wanita hamil dan ibu menyusui jika khawatir terhadap dirinya saja atau khawatir terhadap dirinya dan bayinya maka wajib qadha puasa saja tanpa fidyah. Namun jika khawatir terhadap bayinya saja maka wajib qadha dan wajib fidyah menurut pendapat yang shahih.” Dari beberapa pendapat di atas para ulama menyimpulkan bahwa wanita hamil dan menyusui diperbolehkan meninggalkan puasa bila khawatir keselamatan dirinya atau bayinya. Sementara untuk konsekuensi hukum yang diterima terdapat perincian sebagai berikut: 1. Wajib qadha’ dan tidak wajib fidyah, yaitu apabila hanya mengkhawatirkan keselamatan dirinya atau disertai kekhawatiran pada keselamatan bayi. 2. Wajib qadha’ dan fidyah, yaitu bila hanya mengkhawatirkan keselamatan bayinya. I.

Puasa Bagi Pekerja Berat Bagi para pekerja berat, semisal petani, kuli bangunan dan lain-lain diwajibkan melaksanakan puasa dan niat di malam hari. Kemudian bila di siang harinya mengalami kepayahan, ia diperbolehkan berbuka puasa dan wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkan serta tidak wajib fidyah. J.

Syarat Sah Puasa Syarat sah adalah hal-hal yang membuat ibadah puasa menjadi sah. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka puasanya tidak sah. Syarat-syarat tersebut adalah: 1. Islam 2. Berakal 3. Tamyiz, maka puasanya anak kecil yang belum tamyiz, hukumnya tidak sah, berbeda dengan anak kecil yang sudah tamyiz. 4. Mengetahui waktu-waktu yang sah untuk berpuasa 5. Suci dari haid dan nifas. Sehingga puasa dihukumi batal bila terjadi kemurtadan, haid, nifas atau gila di tengah-tengah puasa meskipun hanya dalam waktu sebentar. CATATAN: Epilepsi dan mabuk yang bukan karena kecerobohan tidak membatalkan puasa selama masih menemukan sisa waktu di siang hari meskipun hanya sebentar.

8

K. Rukun-Rukun Puasa Sebagaimana ibadah lainnya, puasa juga memiliki rukun-rukun yang harus dilakukan. Adapun rukun puasa ada 2 yaitu: 1. Niat Puasa Niat secara bahasa berarti menyengaja. Secara istilah, Imam Mawardi dalam kitab AlMantsur fil Qawa’id mengatakan, niat adalah bermaksud melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya. Sedangkan Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mengartikannya sebagai “tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain.” Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali menyebutkan bahwa fungsi niat adalah untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan. Di samping itu, untukmembedakan tujuan seseorang dalam beribadah; apakah seorang beribadah karena mengharap ridha Allah subhanahu wa ta’ala ataukah ia beribadah karena selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia. (Lihat: Ahmad Ibnu Rajab al-Hambali, Jami’ul-‘Ulum wal Hikam, Beirut: Darul Ma’rifah, 1408 H. , Halaman 67(. Para ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat sah (rukun) ibadah, termasuk puasa. Artinya, sebuah ibadah tidak dianggap sah dan berpahala manakala tidak disertai niat. Karenanya, para ulama memberikan perhatian cukup besar terhadap perkara niat ini. Bahkan, Imam Syafi’i, Ahmad, Ibnu Mahdi, Ibnu al-Madini, Abu Dawud dan al-Daruquthni menuturkan bahwa niat merupakan sepertiga ilmu. Terkait niat puasa, ada dua permasalahan yang sering diperbincangkan oleh para ulama, yaitu waktu pelaksanaan niat dan hukum memperbaharui niat. Berkenaan dengan waktu pelaksanaan niat, imam madzhab empat sepakat bahwa puasa yang menjadi tanggungan seseorang, seperti puasa nazar, puasa qadha’, dan puasa kafarah, niatnya harus dilaksanakan pada malam hari sebelum fajar. Kemudian imam madzhab selain Malik juga sepakat bahwa niat puasa sunnah tidak harus dilaksanakan pada malam hari. Adapun puasa Ramadhan, para ulama berbeda pendapat tentang waktu niatnya. Pertama, Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hambal dan para pengikutnya menyatakan bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari, yaitu antara terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Jika niat dilaksanakan di luar waktu tersebut, maka hukumnya tidak sah. Akibatnya, puasa pun juga tidak sah. Mereka berpegangan pada hadits riwayat Hafshah, bahwa Nabi shallallahu ala’ihi wasallam bersabda:

ْ‫ل ص َيا َْم َل ُه‬ ْ َ ‫ل ال َفجرْ َف‬ َْ ‫ص َيا َْم َقب‬ ِّ ‫َمنْ َلمْ ُي َبيِّتْ ال‬ "Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar (Fajar Shodiq/subuh), maka puasanya tidak sah." (HR. Al-Khamsah, Bulughul Maram) Hadits di atas secara jelas menegaskan ketidakabsahan puasa bagi orang yang tidak berniat di malam hari. Di samping hadits, mereka juga berpedoman pada qiyas (analogi). Mereka mengqiyaskan puasa Ramadhan dengan puasa nazar, kafarah, dan qadha’, di mana

9

keduanya sama-sama wajib. Jika niat puasa nazar, kafarah, dan qadha’ harus dilakukan di malam hari, begitu juga niat puasa Ramadhan. Kedua, Abu Hanifah dan para pengikutnya mengatakan bahwa niat puasa dapat dilakukan mulai terbenamnya matahari sampai pertengahan siang. Artinya, tidak wajib melakukan niat di malam hari. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala surat al-Baqarah ayat 187 yang artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187). Pada ayat tersebut, Allah memperbolehkan kaum Mukminin untuk makan, minum, dan bersenggama pada malam bulan Ramadhan sampai terbit fajar. Lalu setelah terbit fajar, Allah memerintahkannya berpuasa, dimulai dengan niat terlebih dahulu. Dengan demikian, niat puasa tersebut terjadi setelah terbit fajar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa niat puasa boleh dilakukan setelah terbit fajar, tidak harus di malam hari. Mereka juga berpegangan pada hadits Nabi shallallahu ala’ihi wasallam: “Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: (Pada hari ‘Asyura, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki dari suku Aslam’ agar memberitahukan kepada orang-orang bahwa siapa saja yang tidak berpuasa maka hendaklah ia berpuasa, dan siapa saja yang telah makan, hendaklah ia menyempurnakan puasanya sampai malam). “(HR. Muslim, No. 1136). Adapun permasalahan kedua, yaitu hukum memperbaharui niat puasa Ramadhan, para ulama juga berbeda pendapat. Kelompok pertama yang terdiri dari imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mewajibkan untuk memperbaharui atau melakukan niat puasa setiap hari. Mereka berargumen bahwa hari-hari dalam bulan Ramadhan itu bersifat independen dan tidak saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Batalnya satu hari puasa tidak berpengaruh pada batalnya hari yang lain. Karenanya, setiap akan memasuki hari baru diperlukan niat baru. Sementara kelompok kedua yang terdiri dari imam Malik dan para pengikutnya tidak mensyaratkan pengulangan niat setiap hari. Bagi mereka, niat puasa Ramadhan cukup dilakukan di malam hari pertama bulan Ramadhan. Mereka beralasan, puasa Ramadhan wajib dilaksanakan secara terus menerus, sehingga hukumnya sama seperti satu ibadah. Dan satu ibadah hanya membutuhkan satu niat. Berikut ini contoh niat puasa Ramadlan setiap malamnya:

.‫ِل تَ َع ٰالی‬ ِْ ٰ ِ ‫ان ٰه ِذ ِْه ال َّسنَ ِْة ْفَرضا‬ ِْ ‫ض‬ ِْ ‫ٰٓاء فَر‬ ِْ ‫صو َْم غَدْ َعنْ اَد‬ ُْ ‫ن ََوي‬ َ ‫ض َشه ِْر َر َم‬ َ ‫ت‬ “Saya berniat melakukan puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadlan tahun ini karena Allah SWT.”

10

CATATAN: Untuk berjaga-jaga agar puasa tetap sah ketika suatu saat lupa niat, sebaiknya pada hari pertama bulan Ramadlan berniat taqlid (mengikut) pada Imam Malik yang memperbolehkan niat puasa Ramadlan hanya pada permulaan saja. Lafadz niatnya sebagai berikut:

.‫ِل َت َع ٰالی‬ ّْ ٰ ‫ضانْ ٰهذهْ ال َّس َنةْ َتقلي ًدا للْ َمامْ َمالكْ َفرضًا‬ ُْ ‫َن َوي‬ َ ‫صو َْم َجميعْ َشهرْ َر َم‬ َ ‫ت‬ “Saya berniat berpuasa pada keseluruhan bulan Ramadlan tahun ini, dengan mengikuti Imam Malik, untuk menjalankan kewajiban Karena Allah ta’ala”. Dengan adanya cara tersebut bukan berarti membuat kita tidak perlu lagi niat di setiap harinya. Tapi cukup hanya sebagai jalan keluar ketika benar-benar lupa. 2. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan lain sebagainya. L. Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa Hal-hal yang membatalkan puasa adalah: 1. Masuknya benda ke bagian batin anggota tubuh melalui rongga terbuka, seperti mulut, telinga, hidung, qubul dan dubur. 2. Sengaja muntah 3. Berhubungan badan bagi orang yang mengerti hukum haram, ada unsur kesengajaan dan tidak terdapat unsur paksaan 4. Keluar sperma yang disebabkan oleh onani atau masturbasi, baik dengan tangan sendiri maupun orang lain. 5. Gila 6. Mabuk, pingsan dan epilepsi jika terjadi di sepanjang hari saat berpuasa. Berbeda jika masih menemukan waktu sebentar saat berpuasa, maka puasa tetap sah, 7. Murtad 8. Haidl 9. Nifas 10. Melahirkan. M. Konsekuensi Imsak Bagi Yang Membatalkan Puasa Pada bulan Ramadlan, bagi orang-orang tertentu diwajibkan imsak (menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa) meskipun puasanya telah batal. Orang-orang tersebut adalah: 1. Orang yang sengaja membatalkan puasanya tanpa ada udzur. 2. Orang yang lupa tidak niat puasa pada malam hari.

11

3. Orang yang makan sahur dengan berprasangka belum masuknya waktu subuh dan ternyata dugaannya keliru. 4. Orang yang berbuka puasa dengan prasangka bahwa matahari telah terbenam dan ternyata dugaan keliru. 5. Orang yang berprasangka bahwa hari tersebut adalah tanggal 30 sya’ban dan ternyata telah masuk bulan Ramadlan. 6. Orang yang karena kecerobohannya sehingga terlanjur menelan air ketika berkumur atau lainnya. Selain kewajiban imsak, orang-orang tersebut juga berkewajiban mengqadha’ puasa yang ditinggalkan. N. Fidyah Puasa Orang Mati Dalam fiqh Syafi’i, orang mati yang meninggalkan hutang puasa dibagi menjadi dua: Pertama, orang yang tidak wajib fidyah. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena udzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha’, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apapun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa. Kedua, orang yang wajib di fidyah. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa udzur atau karena udzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha’ puasa. Menurut qaul Jadid, wajib bagi ahli waris/ wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit. Menurut pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit. Sedangkan menurut qaul Qadim, wali/ ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit. Qaul qadim dalam permasalahan ini lebih unggul daripada qaul jadid, bahkan lebih sering difatwakan ulama, sebab didukung oleh banyak ulama ahli tarjih. Ketentuan di atas berlaku apabila tirkah (harta peninggalan mayit) mencukupi untuk membayar fidyah puasa mayit, bila tirkah tidak memenuhi atau mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, maka tidak ada kewajiban apapun bagi wali/ ahli waris, baik berpuasa untuk mayit atau membayar fidyah, namun hukumnya sunnah. O. Konsekuensi Terlambat Mengqadha’ Puasa Ramadlan Orang yang mengakhirkan qadha’ puasa Ramadlan, sementara ia memungkinkan untuk meng qadha’, sampai datang Ramadlan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per-hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatannya mengqadha’ puasa Ramadlan. Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha’, semisal udzur sakit atau safarnya berlanjut hingga memasuki Ramadlan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqadha’ puasa. 12

Menurut pendapat al-Ashah (yang kuat), fidyah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun. Misal orang punya tanggungan qadha’ puasa sehari di tahun 2019, ia tidak kunjung mengqadha’ sampai masuk Ramadlan tahun 2021, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadlan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud. Adapun orang yang membatalkan puasanya demi orang lain seperti ibu menyusui atau ibu hamil dan orang yang menunda qadha puasanya karena kelalaian hingga Ramadhan tahun berikutnya tiba mendapat beban tambahan. Keduanya diwajibkan membayar fidyah di samping mengqadha puasa yang pernah ditinggalkannya. Artinya keduanya wajib qadha dan fidyah adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba) didasarkan pada hadits Rasulullah Saw "Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah." (HR. Ad-Daruquuthni dan Al-Baihaqi) Di luar kategori ‘memiliki kesempatan’ adalah orang yang senantiasa bersafar )seperti pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha. Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur. Alasan seperti ini tak bisa diterima; sama halnya dengan orang yang mengetahui keharaman berdehem (saat shalat), tetapi tidak tahu batal shalat karenanya. Asal tahu, beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berutang (sebelum dilunasi). P. Qadha’, Fidyah Dan Kafarat Ketika seseorang membatalkan atau meninggalkan puasa, maka terdapat konsekuensi yang harus ia kerjakan. Resiko ini berlaku karena ia telah meninggalkan sebuah kewajiban yang telah dibebankan padanya. Konsekuensi tersebut ada kalanya berupa qadha’, Fidyah dan kafarat. 1. Qadla’ Yang dimaksud dengan qadha’ adalah berpuasa di hari selain bulan Ramadlan untuk mengganti puasa Ramadlan yang ditinggalkan. Qadha’ puasa dilakukan di selain hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa, yaitu hari tasyrik (11,12,13 dzulhijjah), hari raya idul fitri dan Idul Adha. Bagi orang yang sengaja meninggalkan puasa karena udzur, diwajibkan mengqadha’ puasa secara segera. Sedangkan orang yang meninggalkan puasa karena udzur semisal sakit, tidak harus segera mengqadha puasanya, boleh diakhirkan sesuai kehendaknya namun jangan sampai terlambat hingga datang Ramadlan tahun mendatang. 13

2. Fidyah Fidyah secara bahasa adalah tebusan. Menurut istilah syariat adalah denda yang wajib ditunaikan karena meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan. Dalam kajian fiqih puasa, setidaknya ada beberapa sub pembahasan fidyah sebagai berikut: a. Kategori orang yang wajib membayar fidyah Orang yang wajib membayar fidyah dalam kajian fiqih puasa adalah sebagai berikut: 1) Lansia yang tidak sanggup lagi melakukan puasa 2) Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh 3) Wanita hamil/menyusui yang hanya mengkhawatirkan keselamatan bayi 4) Orang yang mengakhirkan qadha’ puasa Ramadlan 5) Orang mati yang memiliki hutang puasa. b. Kadar dan Jenis fidyah Kadar dan jenis fidyah yang ditunaikan adalah satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan dan berlaku kelipatannya. Makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia adalah beras. Ukuran mud bila dikonversikan ke dalam hitungan gram adalah 675 gram atau 6,75 ons. Hal ini berpijak pada hitungan yang masyhur, di antaranya disebabkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. c. Alokasi fidyah Fidyah wajib diberikan kepada fakir atau miskin, tidak diperbolehkan untuk golongan mustahiq zakat yang lain, terlebih kepada orang kaya. Diperbolehkan mengalokasikan beberapa mud untuk beberapa hari puasa yang ditinggalkan kepada satu orang fakir/ miskin. Semisal fidyah puasa 10 hari, maka 10 mud semuanya boleh diberikan kepada satu orang miskin. Pembayaran fidyah untuk sehari tidak diperbolehkan diberikan kepada dua orang atau lebih. Semisal fidyah puasa wanita menyusui 1 hari, maka satu mud fidyah tidak boleh diberikan kepada dua orang faqir. Fidyah puasa ibu hamil 2 hari, maka tidak cukup diberikan kepada 4 orang miskin. d. Tata cara niat fidyah Fidyah adalah ibadah yang berkaitan dengan harta, sehingga disyaratkan niat dalam pelaksanaannya seperti zakat dan kafarat. Berikut contoh tata cara niat dalam penunaian fidyah: Contoh niat fidyah puasa bagi orang sakit keras dan lansia:

.‫ِل تَ َع ٰالی‬ ِْ ٰ ِ ‫ان فَرضْا‬ َْ ‫ض‬ ِْ َ‫ج ٰه ِذ ِْه الفِديَ ْةَ ِ ِّلفط‬ َْ ‫ت اَنْ اُخ ِر‬ ُْ ‫ن ََوي‬ َ ‫صو ِْم َر َم‬ َ ‫ار‬ “Aku niat mengeluarkan fidyah ini karena berbuka puasa di bulan Ramadlan, fardu karena Allah”. 14

Contoh niat fidyah bagi wanita hamil atau menyusui:

.‫ِل تَ َع ٰالی‬ ِْ ٰ ِ ‫ف َع ٰلی َولَ ِديْ فَرضا‬ ِْ ‫ان لِْل َخو‬ َْ ‫ض‬ ِْ َ‫ج ٰه ِذ ِْه الفِديَةَْ َعنْ اِفط‬ َْ ‫ت اَنْ اُخ ِر‬ ُْ ‫ْنَ َوي‬ َ ‫صو ِْم َر َم‬ َ ‫ار‬ “Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadlan karena khawatir keselamatan anakku, fardhu karena Allah”. Contoh niat fidyah karena terlambat mengqadha’ puasa Ramadlan:

.‫ِل تَ َع ٰالی‬ ِْ ٰ ِ ‫ان فَرضا‬ َْ ‫ض‬ ِْ ‫ض‬ َْ ‫ت اَنْ اُخ ِر‬ ُْ ‫ن ََوي‬ َ ‫صو ِْم َر َْم‬ َ ‫اء‬ َ َ‫ج ٰه ِذ ِْه الفِديَةَْ َعنْ تَأ ِخي ِْر ق‬ “Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan mengqadha’ puasa Ramadlan, fardu karena Allah”. Contoh niat fidyah puasa orang mati (dilakukan oleh wali/ ahli waris):

.‫ِل تَ َع ٰالی‬ ِْ ٰ ِ ‫ن فُ َالنْ فَرضا‬ ِْ ْ‫ن اب‬ ِْ ‫انْ فُ َال‬ َْ ‫ت اَنْ اُخ ِر‬ ُْ ‫ن ََوي‬ َ ‫ض‬ َ ‫صو ِْم َر َم‬ َ ْ‫ج ٰه ِذ ِْه الفِديَةَْ َعن‬ “Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan puasa Ramadlan untuk Fulan bin Fulan (disebutkan nama mayatnya), fardhu karena Allah”. Niat fidyah boleh dilaksanakan pada di salah satu waktu sebagai berikut: 1) saat menyerahkan beras kepada fakir/ miskin 2) saat memasrahkan beras kepada wakil 3) setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidyah. Ketentuan ini sebagaimana keterangan dalam bab zakat. e. Waktu mengeluarkan fidyah Fidyah puasa untuk orang mati diperbolehkan dilakukan kapan saja, tidak ada ketentuan waktu khusus dalam penunaiannya. Sedangkan fidyah puasa bagi orang sakit keras, tua renta dan ibu hamil atau menyusui diperbolehkan dikeluarkan setelah subuh untuk setiap hari puasa, boleh juga setelah terbenamnya matahari di malam harinya, bahkan lebih utama di permulaan malam. Boleh juga diakhirkan di hari berikutnya atau bahkan di luar bulan Ramadlan. Tidak cukup mengeluarkan fidyah sebelum Ramadlan, juga tidak sah sebelum memasuki waktu maghrib untuk setiap hari puasa. Ringkasnya, waktu pelaksanaan fidyah minimal sudah memasuki malam hari (terbenamnya matahari) untuk setiap hari puasa, boleh juga dilakukan setelah waktu tersebut. Sedangkan fidyah bagi orang yang terlambat mengqadha’ puasa Ramadlan dilakukan setelah ia terkena kewajiban fidyah, yaitu saat memasuki bulan Ramadlan pada tahun keterlambatannya mengqadha’ puasa. 15

3. Kafarat Kafarat adalah konsekuensi yang paling berat. Kafarat ini dibebankan kepada orang yang sengaja melakukan hubungan intim saat sedang berpuasa Ramadlan. Bentuk kafarat ini adalah memerdekakan budak yang muslim, bila tidak ada, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu maka wajib memberi makan 60 fakir miskin. Q. TABEL KETENTUAN QADHA’ DAN FIDYAH Berikut tabel qadha’ dan fidyah sesuai dengan penyebab batal dan atau ditinggalkannya puasa:

16

R. Kesunahan-Kesunahan Puasa 1. Makan Sahur. Hal ini berdasarkan hadits Nabi: ”Makan sahurlah, karena sahur itu barakah” (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur dimulai sejak separuh akhir malam. Sehingga makan sebelum pertengahan malam tidak termasuk sahur dan tidak pula mendapatkan kesunahannya. Catatan: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan tentang keutamaan sahur sebagai berikut: a) Mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw. 17

b) Pembeda dengan puasa ahli kitab, berdasarkan hadits dari Amru bin Al Ash dari Nabi Saw. beliau bersabda, “Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab adalah makan sahur” (HR. Muslim). c) Menguatkan badan dalam melaksanakan ibadah puasa. d) Menambah semangat agar semakin rajin beribadah. e) Dapat menjadi sebab untuk bersedekah kepada orang yang membutuhkan makanan sahur, atau dapat juga menjadi kesempatan untuk makan bersama-sama. f) Menjadi sebab menjalankan dzikir dan doa pada waktu yang mustajab. 2. Mengakhirkan santap sahur. Hal ini karena mengikuti hadits Nabi (riwayat Imam Ahmad), dan agar lebih dapat menunjang kekuatan melakukan ibadah puasa. 3. Menyegerakan berbuka puasa. Sebelum melaksanakan shalat maghrib, hendaknya seseorang membatalkan puasanya terlebih dahulu dengan berbuka puasa. Hal ini bila ia yakin matahari benar-benar terbit. Disunnahkan ketika berbuka dengan makan buah kurma, jika tidak ada maka dengan air putih. Jika tidak ada, maka dengan makanan/ minuman manis yang bukan hasil masakan. Seperti madu, anggur dan lain-lain. Jika tidak ada maka dengan makanan/ minuman manis dari hasil masakan. Saat berbuka puasa, disunahkan membaca doa:

ُ ‫ك اَفطَر‬ ْ‫ت‬ َْ ِ‫ت َو َع ٰلی ِرزق‬ ُْ ‫ك صُم‬ َْ َ‫اَ ٰللهُ َّْم ل‬

“Ya Allah untukmu aku berpuasa, dan atas rizkimu aku berbuka.” Bisa juga dengan membaca:

.‫للاُ تَ َع ٰالی‬ ْ ٰ ‫ق َوثَبَتَْ اّلَج ُْر اِنْ َشا َء‬ ُْ ‫ت ال ُعرُو‬ ِْ َ‫ب الظَّ َمْأ ُ َوابتَل‬ َْ َ‫َذه‬ “Telah hilang rasa haus, dan telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala insya Allah”. Doa tersebut bisa dibaca setelah selesai berbuka atau ketika hendak berbuka. Namun lebih utama dilakukan setelahnya. Catatan: Bila berbuka di tempat orang lain, maka disunahkan pula membaca doa:

.‫صلَّتْ َعلَي ُك ُْم ال َم ٰٓالئِ َك ْةُ اّلَخيَا ُْر‬ َْ ‫ن َواَ َك‬ َْ ‫اَفطَ َْر ِعن َد ُك ُْم الصَّائِ ُمو‬ َ ‫ل طَ َعا َم ُك ُْم اّلَب َرا ُْر َو‬ “orang-orang yang berpuasa telah berbuka di tempat kalian, dan orang-orang yang baik telah menyantap makanan kalian, dan malaikat pilihan pun mendoakan rahmat bagi kalian.”

18

4. Menahan diri dari makanan syubhat (yang belum jelas kehalalannya) dan syahwat (kesenangan) yang diperbolehkan seperti mendengar, melihat, menyentuh dan menghirup aroma parfum. 5. Mandi janabat bagi yang berhadats besar sebelum terbitnya fajar. 6. Memperbanyak sedekah dan memberi makan pada orang yang berbuka puasa 7. Memperbanyak membaca Al-Quran, ibadah, i'tikaf dan dzikir terlebih pada sepuluh hari akhir bulan Ramadlan. 8. Menghindari perkataan yang tidak baik, dusta, menggunjing orang lain dan sebagainya dari sudut pandang berpuasa. Meskipun wajib hukumnya menghindari perkataanperkataan tersebut dari sudut pandang hukum asal. S. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

KEMAKRUHAN-KEMAKRUHAN PUASA Berkumur dan menghirup air ke dalam hidung secara berlebihan Mengunyah makanan tanpa ada yang tertelan. Mencicipi makanan tanpa menelannya kecuali karena kebutuhan seperti memasak Berbekam Menghirup atau memandang wewangian Mandi dengan cara berendam Bersiwak setelah tergelincirnya matahari. Namun menurut Imam al-Nawawi tidak dimakruhkan 8. Terlalu banyak makan, tidur dan berbicara yang tidak berfaedah 9. Melakukan syahwat-syahwat yang diperbolehkan seperti mencium istri.

T. HAL-HAL YANG MENGHILANGKAN PAHALA PUASA 1. Menggunjing orang lain. Yakni menyebutkan sifat-sifat orang lain dengan sifat yang tidak disukainya meskipun sesuai fakta 2. Mengadu domba 3. Berkata dusta. Yakni memberi kabar tidak sesuai dengan kenyataan 4. Memandang sesuatu yang diharamkan 5. Memandang sesuatu yang diperbolehkan dengan pandangan syahwat 6. Sumpah palsu 7. Mengucapkan perkataan buruk 8. Melakukan perbuatan buruk.

19

BAB III AMALIYAH DI BULAN RAMADLAN

Seperti dijelaskan dalam bab I, bulan Ramadlan memiliki keutamaan yang sangat besar, di bulan suci itu merupakan momentum yang tepat bagi seorang muslim untuk meningkatkan kualitas penghambatannya kepada Sang Maha Kuasa. Di bulan Ramadlan terdapat amaliyahamaliyah yang diajarkan oleh Nabi dan para ulama. Berikut ini penjelasannya: 1. Berdo'a dengan do'a Nabi Saw di awal bulan puasa Al-Imam an-Nasa'i meriwayatkan bahwa ketika masuk bulan Ramadlan, Nabi berdo’a:

ٰ .ْ‫ن لِيْ َو َسلِّم ْهُ ِْمنِّي‬ َْ َ ‫ضا‬ َْ ‫ض‬ َ ‫ان َو َسلِّمْ َر َم‬ َ ‫اَللهُ َّْم َسلِّمنِيْ ِمنْ َر َم‬ “Ya Allah selamatkan aku dari sakit dan hambatan lain di bulan Ramadlan, selamatkan aku dari kesimpangsiuran tanggal Ramadlan (awal hingga akhir) dan selamatkan Ramadlan dari perbuatan maksiat”. 2. Membaca Surat Al-Fath Di Awal Ramadlan Dianjurkan membaca surat al-fath pada awal bulan Ramadlan. Disebutkan dalam kitab kanz an-najah wa as-surur bahwa barang siapa membaca surat al-fath di permulaan malam bulan Ramadlan dan dibaca dalam shalat sunnah, maka ia akan dijaga di sepanjang tahun. 3. Shalat Tarawih Dan Tuntunannya Tarawih adalah shalat sunnah yang khusus dikerjakan pada malam-malam bulan Ramadlan. Hukumnya sunnah muakkad. Bisa dilakukan sendiri maupun berjamaah. Namun lebih utama dilaksanakan berjamaah. Terkait jumlah atau bilangan rakaat shalat sunnah tarawih yang dilakukan kaum muslimin pada bulan Ramadlan ada beberapa pendapat para ulama empat madzhab rakaat sebagai berikut: Pertama, Madzhab Hanafi Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadlan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil). Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat. Kedua, Madzhab Maliki Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubra, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadlan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim )perawi madzhab Malik( berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang ku dapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat. Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik 20

berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan suratnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadlan 23 rakaat”. Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid adalah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa witir. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik. Ketiga, Madzhab as-Syafi’i Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadlan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat. Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadlan. Keempat, Madzhab Hambali Imam Hambali menjelaskan dalam Al-Mughni suatu masalah, ia berkata, “shalat malam Ramadlan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”. Menurut Imam Hambali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan )berjamaah( bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Makna 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat di rumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid. Kesimpulan : Para ulama’ dalam empat madzhab sepakat bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah. Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat. Para ulama ini beralasan bahwa shahabat melakukan shalat pada masa khalifah Umar bin al-Khattab ra di bulan Ramadlan 20 rakaat atas perintah beliau. Juga diriwayatkan oleh alBaihaqi dengan sanad yang shahih dan lain-lainnya, dan disetujui oleh para sahabat serta terdengar di antara mereka ada yang menolak. Karenanya hal itu menjadi ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti sebagaimana ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh. Jadi, jumlah rakaat shalat tarawih paling sedikit adalah 2 rakaat, dan paling utama dilakukan sebanyak 20 rakaat. Shalat tarawih wajib dilakukan dengan melakukan salam di setiap 2 rakaat, sehingga 20 rakaat tarawih dilakukan dengan 10 kali salam. Contoh niat shalat tarawih:

.‫ِل تَ َع ٰالی‬ ِْ ٰ ِ )‫اِ َماما‬/‫ن ( َمأ ُموما‬ ِْ ‫ح َرك َعتَي‬ ِْ ‫اوي‬ َْ ‫صلِّيْ ُسنَّ ْةَ ِم‬ َ ُ‫ا‬ ِ ‫ن التَّ َر‬ 21

“Aku niat dari shalat sunnah Tarawih dua rakaat (bermakmum/menjadi imam), karena Allah ta'ala”. 4. Witir Dan Tuntunannya Shalat Witir adalah shalat sunah yang dilakukan dengan jumlah rakaat ganjil, dan waktunya dimulai setelah shalat isya' sampai terbitnya fajar shadiq. Lebih utama /afdhol dikerjakan sebagai penutup shalat malam. Shalat ini tidak disunnahkan berjamaah, kecuali dalam bulan Ramadlan. Paling sedikit jumlah rakaatnya adalah satu rakaat, minimal sempurna dikerjakan tiga rakaat dan paling sempurna dikerjakan lima, tujuh, atau sembilan rakaat. Sedangkan paling banyak dikerjakan sebelas rakaat. Lafadz Niat Shalat Witir:

.‫ِل تَ َع ٰالی‬ ِْ ٰ ِ )‫ َمأ ُموما‬/ ‫ن ال ِوت ِْر (اِ َماما‬ َْ ‫ن ِم‬ ِْ ‫صلِّيْ ُسنَّ ْةَ َرك َعتَي‬ َ ُ‫ا‬ “Aku niat shalat dari sunnah Witir, dua rakaat (menjadi imam/bermakmum), karena Allah ta'ala”.

.‫ِل تَ َع ْٰالی‬ ِْ ٰ ِ )‫ َمأ ُموما‬/ ‫صلِّیْ ُسنَّ ْةَ ال ِوت ِْر َرك َعةْ (اِ َماما‬ َ ُ‫ا‬ “Aku niat shalat sunah Witir satu rakaat (menjadi imam/bermakmum), karena Allah ta'ala”. 5. Memberi Takjil kepada Orang yang Berpuasa Bagi Orang yang berpuasa disunnahkan berbagi sesuatu (takjil) dengan orang lain untuk buka puasanya meskipun hanya sebutir kurma atau seteguk air. Hal ini berdasar pada hadits Rasulullah SAW.”

.‫ّل يَنقُصُْ ِْمنْ اَج ِْر الصَّا ِئ ِْم َشيئا‬ ْ َ ُ‫ل اَج ِر ِْه غَي َْر اَنَّ ْه‬ ُْ ‫ان لَهْ ِمث‬ َْ ‫صا ِئما َك‬ َ ‫َمنْ فَطَ َْر‬ “Siapa yang berbagi takjil kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala puasa orang yang diberi takjil." (HR. alTirmidzi). Bahkan meski orang yang diberi takjil saat berpuasa menggunjing atau hal lain yang membatalkan pahala puasanya, pahala memberi takjil tetap bisa didapatkan (tidak rusak) 6. Tadarus Al-Quran Bulan Ramadlan adalah bulan Al-Quran. Pada bulan tersebut Rasulullah Saw. menerima wahyu pertama. Pada setiap bulan Ramadlan, Rasulullah Saw bertadarus Al-Quran bersama 22

malaikat Jibril sebagaimana hadits riwayat Al bukhari sebagai berikut: “dari Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah Saw adalah manusia yang paling lembut terutama pada bulan Ramadlan ketika malaikat Jibril As menemuinya, dan adalah Jibril mendatanginya setiap malam di bulan Ramadlan, dimana Jibril mengajarkannya Al-Quran. Sungguh Rasulullah Saw orang yang paling lembut daripada angin yang berhembus” (HR. Bukhari) Oleh sebab itu, pada bulan suci umat Islam Sangat dianjurkan untuk memperbanyak membaca Alquran, baik membaca secara mandiri di rumah masing-masing, maupun mengikuti agenda tadarus Al-Quran di masjid atau mushalla. 7. Sepuluh Hari Terakhir Ramadlan Dan Tuntunannya Sepuluh hari terakhir adalah hari-hari yang sangat ditekankan Nabi untuk menghidupi malam harinya dengan ibadah. Menurut madzhab Syafi'i, sepuluh hari terakhir bulan suci adalah yang paling diharapkan terjadinya malam lailatul qadar, khususnya malam-malam ganjil, 21, 23, 25, 27 dan 29. Dalam sebuah hadits disebutkan:

َ‫ظ‬ ْ َ‫ َواَيق‬، ُ‫ َواَحيَا لَيْلَ ْه‬، ُ‫ل ال َعش ُْر َش َّْد ِمئ َز َر ْه‬ َْ َ‫للاُ َعلَي ِْه َو َسلَّ َْم اِْ َذا َدخ‬ ْ ٰ ‫صلَّی‬ ُّْ ‫ان النَّ ِب‬ َْ ‫ َك‬: ْ‫َعنْ َعائِ َش ْةَ قَالَت‬ َ ‫ي‬ .ُ‫اَهلَ ْه‬ “Dari Aisyah Ra berkata, saat memasuki 10 akhir bulan Ramadlan, Rasulullah SAW mengencangkan ikat pinggangnya (menunjukan kesungguh-sungguhan), menghidupi malam harinya (dengan ibadah) dan membangunkan keluarganya (untuk ikut beribadah)”. (HR.al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan:

ْ‫ّل يَجْتَ ِه ُْد ِفي‬ ْ َ ‫اخ ِْر َما‬ ْ ٰ ‫صلَّی‬ ِْ ٰ ‫ل‬ ُْ ‫ان َرسُو‬ َْ ‫َعنْ َعا ِئ َش ْةَ قَالَتْ َك‬ َ ‫للا‬ ِ ‫للاُ َعلَي ِْه َو َسْلَّ َْم يَجتَ ِه ُْد ِفي ال َعش ِْر اْلَ َو‬ .‫غَي ِر ِْه‬ “Dari Aisyah beliau berkata, Rasulullah SAW bersungguh-sungguh di dalam 10 hari akhir bulan Ramadlan melebihi waktu-waktu lainnya” (HR.Muslim) Lailatul qadar merupakan malam paling utama dari sekian waktu yang lain, yang secara khusus dianugerahkan Allah untuk Umat Nabi Muhammad Saw (min khushushiyyah hadzihi al-Umat). Tanda-tanda lailatul qadar sebagaimana petunjuk hadits Nabi, baru diketahui saat siang harinya, yaitu matahari terbit tidak tampak banyak memancarkan sinarnya. Diakhirkannya tanda-tanda lailatul qadar di siang hari memberi pesan kepada umat Islam Agar

23

di setiap malam Ramadlan hendaknya bersungguh-sungguh dengan tidak menurunkan tensi ibadah. a. Terjadinya Lailatul Qadar Tidak ada yang mengetahui secara pasti waktu turunnya Lailatul Qadar, oleh sebab itu ditemukan banyak pendapat ulama mengenai prediksi Lailatul Qadar. Sejumlah ulama telah membuat kaidah atau cara menentukannya. Termasuk di antara ulama yang membuat kaidah waktu Lailatul Qadar adalah Imam al-Ghazali. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa waktu turunnya Lailatul Qadar dapat diketahui dari hari permulaan Ramadlan. Berikut rinciannya:

b. Amalan Di Sepuluh Akhir Ramadlan Adapun beberapa amalan yang dianjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan diantaranya sebagai berikut: 1. Memperbanyak I’tikaf 2. Memperbanyak do’a yang disukai, baik urusan dunia atau akhirat, di dalam shalat atau di luar shalat. 3. Memperbanyak do’a:

.ْ‫ف َعنِّي‬ ُْ ‫ك َعفُوْ َك ِري ٌْم تُ ِحبُّْ ال َعف َْو فَاع‬ َْ َّ‫اَ ٰللهُ َّْم اِْن‬

24

BAB IV ZAKAT FITRAH A. Pengertian Zakat Fitrah Fitrah Menurut bahasa adalah sifat naluri dan pembawaan manusia (suci dari dosa). Menurut istilah Zakat Fitrah adalah kadar yang harus dikeluarkan sebab badan. Dinamakan dengan zakat fitrah, karena zakat fitrah mensucikan badan dan meningkatkan amaliyahnya. Zakat Fitrah merupakan zakat yang diwajibkan kepada setiap Muslim, sebagai santunan terhadap fakir dan miskin, serta sebagai penambal kekurangan dalam ibadah bulan suci Ramadhan, sebagaimana sujud sahwi menambal kekurangan dalam shalat. Zakat Fitrah disyariatkan bersamaan dengan disyariatkannya puasa Ramadhan, yaitu pada tahun kedua Hijriyah. Kewajiban membayar zakat fitrah dibebankan kepada setiap muslim dan muslimah, baligh atau belum, kaya atau tidak, dengan ketentuan bahwa dia hidup pada malam hari raya dan memiliki kelebihan mu’nah )biaya hidup(, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang yang ditanggung nafkahnya, pada hari raya Idul Fitri dan malamnya (sehari semalam). Zakat fitrah boleh dikeluarkan mulai awal Ramadhan sampai menjelang pelaksanaan shalat Idul Fitri. B. Syarat Wajib Zakat Fitrah Berikut ini syarat-syarat diwajibkannya zakat fitrah: 1. Pelakunya bukan hamba sahaya. Dengan demikian tidak wajib bagi seorang hamba mengeluarkan fitrah bagi dirinya, meskipun bagi sayyid (tuan pemiliknya) wajib mengeluarkan fitrah baginya. 2. Muslim yang menemukan satu waktu dari bulan Ramadlan dan bulan Syawal. Dengan demikian, tidak wajib bagi bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari tanggal 1 Syawal. Begitu juga bagi orang yang meninggal sebelum menemui waktu tersebut. 3. Melebihi dari biaya hidupnya dan biaya hidup orang-orang yang wajib dinafkahi selama sehari semalam pada tanggal 1 Syawal. 4. Melebihi dari hutangnya meskipun belum jatuh masa tempo. Demikian menurut pendapat Ibnu Hajar. Sementara menurut Imam al-Ramli, hutang yang belum jatuh masa temponya, tidak dapat menghambat kewajiban zakat meskipun nominalnya sampai menghabiskan harta seseorang. 5. Melebihi dari biaya hidup pembantu dan fasilitas rumah yang keduanya layak. C. Penyebab Menanggung Zakat Fitrah Orang Lain Zakat fitrah, disamping wajib dikeluarkan untuk diri sendiri, juga wajib dikeluarkan bagi orang-orang tertentu. Berikut ini sebab-sebab yang menjadikan seseorang wajib menanggung fitrahnya orang lain : 1. Hubungan antara tuan dan hamba sahayanya. Dengan demikian, wajib bagi sayyid mengeluarkan fitrah hambanya. 25

2. Hubungan pernikahan. Dengan demikian wajib bagi suami mengeluarkan zakat fitrah untuk istrinya. 3. Hubungan kekerabatan. Dengan demikian wajib bagi orang tua mengeluarkan zakat fitrah untuk anaknya yang masih kecil atau gila. Catatan : Tidak sah bagi orang tua mengeluarkan zakat fitrah untuk anak yang sudah tidak lagi wajib dinafkahi, seperti anak yang sudah akil baligh. Hal ini jika dilakukan tanpa izin dari si anak yang bersangkutan. Sementara jika ada izin, maka sah. D. Harta Yang Dikeluarkan Dan Kadarnya Terkait zakat fitrah, biasanya ada dua pertanyaan yang sering muncul di masyarakat, yaitu: Berapakah kadar atau besaran zakat fitrah? Bolehkah membayar zakat fitrah dalam bentuk uang? Para ulama sepakat bahwa kadar zakat fitrah adalah satu sha’, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Umar: “Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ala’ihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau dewasa, dari orang-orang Islam, dan beliau menyuruh menunaikannya sebelum orang-orang keluar untuk shalat hari raya.” )HR. Bukhari, nomor 1432( Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menghitung satu sha’. Pertama, Madzhab Hanafi dan para pengikutnya menyatakan bahwa satu sha’ adalah delapan rithl Irak. Mereka beralasan bahwa Umar radliyallahu anhu mengkonversi satu sha’ dengan delapan rithl. Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Jabir: “Nabi shallallahu ala’ihi wasallam berwudhu dengan satu mud (air), yaitu dua rithl, dan mandi dengan satu sha’, yaitu delapan rithl.” (HR. Ibnu Addy dalam kitab Al-Kamil juz 5 halaman 1673) Hadits di atas secara tegas menerangkan bahwa satu sha’ adalah delapan rithl Irak. Delapan rithl Irak sama dengan 3,8 kilogram. Dengan demikian, kadar zakat fitrah menurut kelompok ini adalah 3,8 kilogram. Karenanya, hadits tersebut menjadi dalil yang kuat atas pendapat kelompok ini. Adapun jenis makanan yang dikeluarkan dalam zakat fitrah menurut madzhab Hanafi adalah hintah (gandum), syair (padi belanda), tamar (kurma), dan zabib (anggur). Beliau juga berpendapat boleh pula mengeluarkan daqiq hintah (gandum yang sudah menjadi tepung) dan saweq (adonan tepung). Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Tunaikanlah zakat fitrah sebelum kamu keluar untuk shalat hari raya, maka wajib atas setiap orang merdeka mengeluarkan dua mud gandum dan daqiq (tepung dari gandum).” (HR. Sunan Abu Daud, hal. 254). Hadits di atas menganjurkan kita untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum hari raya supaya orang miskin dapat menikmatinya pada hari raya. Namun apabila tidak didapatkan jenis-jenis makanan di atas, maka madzhab Hanafi memperbolehkan membayar zakat fitrah 26

dengan harga (uang) yang senilai dengan ukuran yang pasti yaitu 3,8 kg dari jenis bahan makanan tersebut di atas. Kedua, Madzhab Maliki dan para pengikutnya berpendapat bahwa bahan pokok untuk zakat fitrah adalah gandum, syair, salat (sejenis syair), jagung, dakhon (jenis gandum), kurma, kismis, atau keju. Kalau tidak ada jenis bahan pokok di atas, maka yang wajib dikeluarkan adalah jenis bahan pokok dalam bentuk biji-bijian dan buah-buahan. Madzhab ini berpendapat bahwa kadar zakat fitrah yang pasti dari makanan pokok atau jenis biji-bijian adalah 2,8 kg. Imam Malik tidak membenarkan menunaikan zakat fitrah dalam bentuk uang. Sebagaimana dalam kitab Al Mudawwanah, ia berkata, “Tidak mencukupi kriteria zakat fitrah dengan uang )harga(”. Ketiga, Madzhab Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah makanan pokok daerah setempat. Tidak boleh dikeluarkan yang bukan makanan pokok atau harga dari makanan pokok tersebut. Madzhab ini berpendapat bahwa kadar zakat fitrah yang pasti dari makanan pokok atau jenis biji-bijian adalah 2,8 kg. Menurut Madzhab ini, zakat fitrah wajib dikeluarkan berupa quut (makanan pokok yang mengenyangkan), akan tetapi golongan yang bermadzhab Syafi’i berbeda pendapat tentang quut yang digunakan dalam menunaikan zakat fitrah. Di antara mereka ada yang berpendapat quut yang digunakan adalah quut balat, yaitu makanan pokok yang dikonsumsi oleh suatu daerah, sekalipun muzakki (penunai zakat fitrah) tidak mengkonsumsinya. Sebagian yang lain berpendapat quut yang digunakan adalah quut dirinya, yaitu makanan pokok yang ia konsumsi walaupun daerah tersebut mengonsumsi jenis makanan yang lain. Keempat, Madzhab Hambali dan para pengikutnya berpendapat bahwa zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah gandum bur, gandum syair, kurma, kismis, dan keju. Kalau tidak ada jenis bahan pokok di atas, maka yang wajib dikeluarkan adalah jenis bahan pokok dalam bentuk biji-bijian dan buah-buahan. Madzhab ini berpendapat bahwa kadar zakat fitrah yang pasti dari makanan pokok atau jenis biji-bijian adalah 2,8 kg. Dalam Kitab Al Mughni, karya Imam Ibnu Qudamah al Hambali (wafat pada 60 H), juz 2 halaman 671, “Barang siapa memberikan qimah (harga) maka tidak memenuhi unsur zakat”. Bahkan dalam beberapa kitab, ukuran/kadar satu sha’ itu berbeda-beda, diantaranya; menurut versi kitab al-Taqrirat al-Sadidah 2,75 Kg, menurut versi kitab Mukhtashar Tasyhid al-Bunyân 2,5 Kg, dan menurut versi sebagian ulama yang dikutip dalam kitab al-Taqrirât alSadidah 3 kg. Dari beberapa pendapat ulama dan dari beberapa versi kitab di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa, ketiga ulama madzhab )Maliki, Syafi’i dan Hambali( menyatakan tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang, karena melihat kebiasaan Rasuullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat dalam menunaikan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan. Ini merupakan dalil yang kuat akan tidak bolehnya berzakat dengan selain bahan makanan. Adapun solusi alternatif bagi muzakki yang tidak mendapatkan bahan makanan adalah, amil zakat menyediakan beras untuk dibeli oleh para muzakki terlebih dahulu, kemudian mereka menyerahkannya kepada Amil. Akan tetapi, jika membayar dalam bentuk bahan 27

makanan dianggap berat, dan ada hajat mendesak serta maslahat nyata untuk berzakat menggunakan uang maka diperbolehkan bertaqlid kepada madzhab Hanafi. Kemudian perlu disebutkan bahwa sha’ merupakan ukuran takaran, bukan timbangan. Karenanya, maka ukuran ini sulit untuk dikonversi ke dalam ukuran berat, sebab nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda, tergantung berat jenis benda yang ditakar. Satu sha’ tepung memiliki berat yang tidak sama dengan berat satu sha’ beras. Karenanya, sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, maka para ulama menyarankan agar mengeluarkan zakat fitrah sejumlah 2,8 Kg supaya tidak terlalu kurang dan tidak terlalu lebih. Jika tidak mampu 2,8 Kg, maka boleh dikeluarkan semampunya.

E.

Niat Zakat Fitrah Zakat fitrah merupakan ibadah fardhu yang sudah pasti membutuhkan niat. Melihat fenomena zakat fitrah yang memungkinkan dilakukan oleh orang lain (yang menanggung nafkahnya atau yang mendapat izin dari orang yang dizakati), maka muzakki dalam zakat fitrah ada tiga macam : 1. Zakat untuk dirinya sendiri. Apabila zakat fitrah atas nama dirinya sendiri (muzakki), maka yang niat adalah muzakki itu sendiri (muzakki). 2. Zakat untuk orang yang ditanggung fitrahnya. Apabila zakat atas nama orang lain, yang fitrahnya menjadi tanggungan dari muzakki, maka yang melakukan niat adalah muzakki tanpa harus mendapat izin dari orang yang dizakati. Seperti seorang suami (kepala rumah tangga) mengeluarkan zakat atas nama istrinya, anaknya yang masih kecil, orang tua yang tidak mampu. Juga diperbolehkan bagi muzakki, untuk memberikan zakat tersebut pada orang yang akan dizakati (semisal diberikan pada anaknya yang masih kecil atau istrinya) agar dia melakukan niat sendiri. 3. Zakat untuk orang yang tidak ditanggung fitrahnya. Apabila zakat atas nama orang lain, yang fitrahnya tidak menjadi tanggungan dari muzakki, maka zakat dan niat dari muzakki dihukumi sah apabila sudah mendapat izin dari orang yang dizakati. Seperti seseorang mengeluarkan zakat atas nama orang lain atau anaknya yang sudah baligh (yang fitrahnya tidak menjadi tanggungan muzakki) Maka zakat dan niat dari muzakki dihukumi sah (bisa menggugurkan kewajiban fitrahnya orang yang dizakati) jika muzakki telah mendapat izin dari orang yang dizakati. F.

Lafadz Niat Zakat Fitrah 1. Zakat untuk dirinya sendiri

.‫ِل تَ َع ٰالی‬ ِْ ٰ ِ ْ‫ج َز َكا ْةَ ال ِفط ِْر َعنْ نَف ِسي‬ َْ ‫ت اَنْ اُخ ِر‬ ُْ ‫ن ََوي‬

"Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri, karena Allah Ta'ala."

2. Zakat untuk orang yang ditanggung fitrahnya

.‫ِل تَ َعالی‬ ِْ ٰ ِ ْ‫ َولَ ِدي‬/ ْ‫ج َز َكا ْةَ الفِط ِْر َعنْ زَ و َجتِْي‬ َْ ‫ت اَنْ اُخ ِر‬ ُْ ‫ن ََوي‬

"Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk untuk istriku / anakku, karena Allah Ta'ala." 28

G. Pelaksanaan Niat Niat zakat fitrah boleh dilakukan pada salah satu waktu berikut ini: 1. Saat memisahkan makanan pokok yang digunakan zakat 2. Saat memberikan zakat pada orang yang berhak menerimanya 3. Saat memberikan zakat kepada wakil. ● Do'a saat menyerahkan zakat

ْ‫س ِمي ُْع ال َعلِي ُم‬ َّ ‫ك اَنتَْ ال‬ َْ َّ‫َربَّنَا تَقَب َّلْ ِمنَّا اِن‬ "Ya Tuhan kami, terimalah (amal ibadah) dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." ● Do'a Saat Menerima Zakat

.َْ‫ك ِفي َما اَبقَيت‬ َْ َ‫ك ل‬ َْ ‫ك طَهُورا َوبَا َر‬ َْ َ‫للاُ ِفي َما اَعطَيتَْ َو َج َعلَهَا ل‬ ْٰ ‫ك‬ َْ ‫اَ َج َر‬ ”Mudah-mudahan Allah memberi pahala atas apa yang engkau berikan dan menjadikannya sebagai pembersih bagimu, serta memberikan berkah atas apa yang masih ada di tanganmu." H. Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah. Terkait waktu mengeluarkan atau membayar zakat fitrah ada perbedaan pendapat diantara para ulama empat madzhab: Pertama, Menurut Hanafiyah, tidak ada batas awal dan batas akhir mengenai ketentuan zakat fitrah terkait waktu pembayarannya. Zakat fitrah boleh dibayarkan sebelum Hari Raya Idul fitri, bahkan sebelum masuk Ramadlan. Menurut Hanafi, jika seseorang yang mempunyai keharusan membayarkan zakat fitrah tanpa uzur (misalnya mampu dan mempunyai harta berlebih), ia harus membayarkan zakat fitrahnya. Jika terlambat sampai lewat tanggal 1 Syawal akan berdosa. Kedua, Menurut Imam Maliki dan Hambali, ketentuan zakat fitrah ini dimulai dua hari sebelum Idul Fitri sampai selambat-lambatnya ketika terbenamnya matahari tanggal 1 Syawal. Jika sampai terlambat, kita masih berkewajiban membayarkan zakatnya. Ketiga, Menurut Syafi’iyah, ketentuan zakat fitrah mengenai tanggal dimulainya membayar zakat fitrah dimulai semenjak hari pertama bulan Ramadlan sampai tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Namun, lebih utama sebelum shalat Idul Fitri dimulai. Dari beberapa pendapat di atas para ulama membagi waktu pelaksanaan zakat fitrah menjadi 5 kelompok : 1. Waktu jawaz (waktu boleh), yaitu sejak awalnya bulan Ramadlan sampai masuk waktu wajib (malam hari raya). Artinya zakat fitrah boleh dikeluarkan sejak awalnya bulan Ramadlan, bulan sebelum Ramadlan. 29

2. Waktu wajib yaitu, ketika menemui bulan Ramadlan dan menemui sebagian awalnya bulan syawal. Oleh sebab itu orang yang meninggal setelah magribnya malam satu syawal, wajib dizakati. Sedangkan bayi yang lahir setelah maghribnya malam satu syawal tidak wajib dizakati. 3. Waktu sunah yaitu, sebelum melakukan sholat hari raya. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan Rasulullah saw. dan sesuai dengan fungsi dari zakat fitrah “mencukupi kebutuhan fakir miskin di hari raya”. 4. Waktu makruh yaitu, setelah shalat hari raya sampai menjelang tenggelamnya matahari pada tanggal 1 syawal. 5. Waktu haram yaitu, setelah tenggelamnya matahari tanggal 1 syawal. Mengakhirkan zakat fitrah hingga waktu tersebut hukumnya haram apabila tidak ada udzur. Jika terdapat udzur, seperti hartanya tidak ada di tempat tersebut atau menunggu orang yang berhak menerima zakat, maka hukumnya tidak haram. Sedangkan status dari zakat yang dikeluarkan setelah tanggal 1 syawal adalah qadha’. I. Mustahiq Zakat Orang-orang yang berhak menerima zakat jumlahnya ada delapan: 1. Orang-orang fakir )fuqara’( Fuqara’ adalah orang yang tidak mempunyai harta atau pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggung nafkahnya, dimana pemasukan tidak sampai mencapai separuh dari kebutuhanya. 2. Orang-orang miskin (masakin) Masakin adalah seseorang yang mempunyai harta atau pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya dan belum mencukupi kebutuhan yang layak baginya dan orang-orang yang ditanggung nafkahnya, dimana pemasukan hanya di atas separuh dari kebutuhan. 3. Amil Amil adalah orang yang diangkat oleh imam untuk menarik zakat. Dalam literatur fiqih amil meliputi orang yang mendapat zakat (al-katib), orang yang menarik zakat (as-sai’(, orang yang menghitung zakat (al-hasib), orang yang membagi zakat (al-qasim) dan orangorang yang dibutuhkan dalam mengurusi zakat. Sedangkan kadar zakat yang diberikan kepada amil meskipun amil tersebut orang kaya adalah ujroh mitsil (ongkos standar). Berikut adalah syarat-syarat amil: 1) Mengerti dalam masalah zakat. 2) Orang yang dapat dipercaya. 3) Orang merdeka. 4) Beragama Islam. 5) Berakal. 6) Baligh. 7) Adil. 8) Bisa mendengar. 9) Laki-laki. 30

4. Muallaf Orang-orang muallaf yang diberi zakat jumlahnya ada empat: 1) Orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah. 2) Orang yang terpandang di antara kaumnya yang diharapkan masuk Islamnya orangorang yang mengikutinya. 3) Orang muslim yang memerangi atau menakut-nakuti orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. 4) Orang muslim yang memerangi orang-orang kafir dan pemberontak (al-bughot) jika memberi zakat pada mereka lebih mudah daripada mengirim tentara perang. 5. Budak Mukatab Adalah orang yang melakukan akad kitabah (cicilan untuk menebus dirinya) dengan tuannya secara sah. 6. Gharim Adapun gharim yang berhak mendapatkan harta zakat adalah: 1) Gharim adalah orang yang berhutang untuk mendamaikan pertikaian. Gharim ini diberi harta zakat apabila: ● Harta yang digunakan untuk mendamaikan pertikaian diperoleh dengan cara hutang. ● Saat pembagian zakat, tanggungan hutang belum lunas. 2) Orang yang berhutang untuk tujuan yang mubah atau kemaksiatan kemudian ia bertaubat. 3) Orang yang berhutang untuk kepentingan atau kemaslahatan umum meskipun kaya, seperti membangun masjid dan sebagainya. Gharim ini diberi harta zakat dengan syarat tidak terdapat harta di tangannya. 7. Sabilillah Adalah orang-orang yang berperang karena menegakkan agama Allah SWT. dan tidak mendapatkan gaji tetap. Menurut sebagian pendapat, termasuk dalam kategori sabilillah adalah orang yang menjalankan ibadah haji. 8. Ibnu Sabil Adalah orang yang memulai bepergian dari daerah zakat, atau musafir yang melewati daerah zakat. Ibnu sabil berhak mendapatkan harta zakat jika: ▪ Membutuhkan biaya. ▪ Perjalanan yang dilakukan oleh musafir tidak mengandung unsur maksiat dan mempunyai tujuan yang jelas (ghorodal shahih). J.

Keutamaan Zakat Fitrah

1. Diampuni Dosa-Dosanya Seorang Muslim yang membayar zakat, maka kesalahan dan dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah SWT. Tidak hanya itu, Allah SWT juga telah menjamin bagi setiap Muslim 31

yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat akan dijamin masuk surga. Sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-Maidah: 12, Allah SWT telah berfirman yang artinya: “Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air di dalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al-Maidah: 12). 2. Sebagai Jembatan Masuk Surga Salah satu keutamaan zakat fitrah bagi umat Muslim adalah mendapatkan jaminan masuk surga. Hal ini sebagaimana dalam salah satu surah Al-Quran berikut ini, Allah SWT telah berfirman: "Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelum dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang Itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar." (QS. An-Nisa’: 162(. 3. Menghapuskan Kesalahan Keutamaan zakat fitrah selanjutnya, yaitu menghapuskan kesalahan. Seorang Muslim yang membayar zakat akan dibukakan pintu rezeki dan dihapuskan kesalahannya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu hadits berikut, artinya: “Sedekah dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan api.” )HR. Tirmidzi no. 609) 4. Harta yang dimiliki menjadi lebih berkah Keutamaan zakat fitrah selanjutnya, yaitu dapat menjadikan harta yang dimiliki menjadi lebih berkah. Sehingga setiap Muslim yang menunaikan zakat maka harta yang dimilikinya akan barakah. Sebagaimana hadits berikut ini, Rasulullah SAW bersabda: "Sedekah (zakat) tidak akan mengurangi harta" (HR. Muslim) Adapun maksud hadits di atas ialah bahwa zakat seseorang tidak akan mengurangi hartanya sedikitpun. Meskipun harta seseorang berkurang, akan tetapi setelah dizakati maka harta seseorang menjadi lebih berkah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh imam an-Nawawi di dalam kitab Syarh an-Nawawi ala Muslim, artinya: "Di dalam hadits di atas ulama menyebutkan dua sisi. Satu, hartanya akan diberkahi, dijauhkan dari bahaya-bahaya kemudian kekurangan hartanya ditutupi dengan berkah yang samar. Hal ini terlihat nyata dan terbukti secara adat. Kedua, meskipun kelihatannya berkurang sebab dizakatkan, namun hartanya berada di dalam pahala yang akan menutupi kekurangan hartanya tersebut dan 32

akan mendatangkan tambahan lipat ganda" (an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, Beirut, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, cetakan kedua, 2003, jilid XVI halaman 141( 5. Mendapatkan Petunjuk Keutamaan zakat lainnya adalah akan mendapatkan petunjuk serta hidayah dari Allah SWT. Setiap muslim yang turut serta memakmurkan masjid, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam salah satu surah berikut ini,

ٰ ‫اِل َواليَو ِْم‬ ْ ٰ ‫ّل‬ ْ َّ ِ‫ش ا‬ َْ ‫اّل ِخ ِرْ َواَقَا َمْ الص َّٰلو ْةَ َو ٰاتَى ال َّز ٰكو ْةَ َولَ ْم يَخ‬ ِْ ٰ ‫ن ِب‬ َْ ‫للا َمنْ ٰا َم‬ ِْ ٰ ‫اِنَّ َما يَع ُم ُْر َم ٰس ِج َْد‬ َ‫للا‬ ٰٰۤ ُ ٰٓ َْ ‫ن ال ُمهتَ ِدي‬ ‫ن‬ َْ ‫ك اَنْ ي َّ ُكونُوا ِم‬ َْ ‫ول ِى‬ ‫ۗفَ َع ٰسى ا‬ Artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18). 6. Memperoleh Pahala Terbaik Allah SWT akan memberikan hamba- Nya pahala yang terbaik jika mau membayar zakat fitrah. Selain itu, setiap Muslim yang menunaikan zakat juga akan ditambahkan rezekinya oleh Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran Surah An-Nur ayat 37-38 yang artinya: "(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa batas.” (QS. An-Nur: 37 - 38). K. HIKMAH ZAKAT FITRAH 1. Mensucikan jiwa Allah Swt telah berfirman dalam Q.S. At-Taubah [9]: 103

ْ‫للاُ َس ِمي ٌْع َعلِي ٌم‬ ْ ٰ ‫ن لَّهُمْ َو‬ ٌْ ‫ك َس َك‬ َْ َ‫ص ٰلوت‬ َّْ ِ‫صلِّْ َعلَي ِهمْ ا‬ َ ‫ن‬ َ ‫ص َدقَةْ تُطَهِّ ُرهُمْ َوتُ َز ِّكي ِهمْ بِهَا َو‬ َ ْ‫ُخذْ ِمنْ اَم َوالِ ِهم‬ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mengalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu [menjadi] ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Membayar zakat fitrah dapat membersihkan jiwa. Banyak kesempatan yang bisa kita ambil di bulan yang penuh berkah ini dengan berzakat. Tak hanya mendapatkan pahala yang berlipat ganda, kita juga diberi kesempatan untuk menyucikan jiwa lewat zakat fitrah dan kembali menjadi jiwa yang bersih dan tulus beribadah kepada Allah SWT. 33

2. Bentuk rasa syukur kepada Allah SWT Tak hanya para dewasa, anak kecil dan bayi pun diwajibkan membayar zakat. Karena zakat fitrah ini bertujuan untuk mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Maka dari itu, kita bisa berbagi kenikmatan yang Allah berikan dengan berbagi ke sesama. Tak hanya itu, zakat fitrah juga sebagai bentuk mensyukuri atas nikmat, kesempatan, dan kekuatan karena bisa menjalani ibadah puasa di bulan Ramadlan. 3. Kepedulian dan berbagi dengan sesama Hikmah zakat fitrah yang lain, yaitu menghilangkan sifat bakhil pada manusia. Ketika seseorang menunaikan zakat, ia dituntut untuk tidak lalai dengan kondisi orang lain, bermurah hati, tidak kikir, dan tidak serakah terhadap harta yang dimilikinya. Maka dari itu, zakat fitrah bisa membantu para orang-orang yang tidak mampu. Dengan begitu, hari kemenangan bisa dirasakan oleh semua orang.

34

REFERENSI ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●

Ibnu Allan Ash-Shiddiqi, Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhus Shalihin. Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal. Musthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji. Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Al-Taqrirat al-Sadidah. Al-Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din. Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al Mu'in wa Hasyiyah I'anah ath Thalibin. Muhammad bin Salim Babashil, Is’ad al-Rafiq. Sa’id bin Muhammad Ba’asyin, Busyro al-Karim fii Masail al-Ta’lim. Muhammad bin Muhammad Khatib al-Syarbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfadzi abi Syuja. Abu Bakr bin Muhammad Syatha’, I’anah at-Thalibin. Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidîn. Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili, Tanwir al-Qulub. Ahmad Idris Marzuqi, Sabil al-Huda. Nawawi al-Bantani, Kasyifah al-Saja. Nawawi al-Bantani, Quut al-Habib al-Gharib. Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin. Muhammad bin Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj. Muhammad al-Ramli, Fatawa al-Ramli. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari. Ibnu Hajar al-Haitami, Ithaf Ahlil Islam. Zakariya bin Muhammad al-Anshari, Asna al-Mathalib. Abu Bakr al-Hishni, Kifayah al-Akhyar. Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaquut al-Nafis. abdul Qadir bin Ahmad al-Kaff, Mukhtashar Tasyhid al-Bunyan. Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhul-Islámi wa adillatuhu. Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al-Mu'in. Muhammad Ramadhan al-Buthi, Muhadharat fil Fiqhil Muqaran, Damaskus: Darul Fikr, 1981,

35

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.