Kolom-kolom rasa Flipbook PDF

Kolom-kolom rasa

86 downloads 101 Views 158KB Size

Story Transcript

Cara Indah Menikmati Kesedihan Sedih itu bagian dari rasa yang dimiliki setiap manusia. Tidak ada satupun manusia yang tidak pernah merasakannya dalam kehidupan mereka. Tapi tidak semua bisa menikmati penderitaan dan kesedihan secara lahir dan batin. Mungkin selama ini kita menjalani kesedihan atau merasa menderita masih dominan memerankan batin,, sehingga kita lupa peran lahir (pikiran) kita untuk menikmati dan menjalani kesedihan itu. Dengan melibatkan keduanya secara utuh, Kita mungkin lebih memilih menderita dari pada bahagia, tapi kita tidak bisa mensyukurinya dengan cara yang Indah. Justru malah terkadang kita sirna dalam kebahagian yang kita rasakan. Dan lebih menarik lagi ketika kita menderita atau sedih. Kemudian seketika kita bisa merasakan secerca kebahagiaan yang itu sekejap mata namun benar-benar damai kita rasakan. Bahkan menjadi penghibur sesaat di saat kita bersedih. Tadi pagi Aku sempat sedih. Ada yang mengganggu pikiranku. Ku coba cari kesibukan lain. Aku putuskan nge-chatt seseorang untuk membahas kerjaan. Ternyata Aku salah ketik, dia bapak-bapak tapi kupanggil Mbak. Eh, dia balik manggil Aku, Mas. Awalnya Aku tidak sadar, Kok manggil Aku seperti itu.

Ternyata, Aku salah panggil dia. Seketika Aku tertawa, tepatnya menertawai diriku sendiri. Mataku berkaca-kaca. Kekonyolan dari diriku sendiri ternyata dapat menghiburku waktu itu dan Aku benar-benar tertawa di saat Aku sedang kalut dengan pikiranku sendiri. Kemudian Aku bisa tersenyum kembali, meski setelah itu ada lagi yang bikin gara-gara. Kejadian yang menimpaku tadi bisa jadi semacam amtsal bahwa bahagia dan sedih memang satu paket dalam diri seseorang.

Seseorang

bisa terbahak-bahak tertawa,

atau

menertawakan orang lain. Sebaliknya, ia bisa meratapi kesedihannya, atau kesedihan orang di sekitarnya sedalamdalamnya, namun dalam sepersekian detik, bisa berbalik arah dengan tertawa lebar, walau tetap sambil meneteskan air mata. Bahagia dan sedih bukan pertarungan dua sifat yang harus dipilih, karena mereka tidak mendua. Mereka secara alami menghinggapi seseorang dalam tiap jengkal waktu. Itu yang buat seseorang sah dikatakan orang. Tentunya orang dengan hati dan perasaan yang masih menyala. Sedihlah pada waktunya dan juga sekedarnya. Demikian juga bahagia. Adakalanya, sedih memang menyerupa bahagia, tapi salah tempat. Bahagia juga agaknya sedih yang salah waktu. Keduanya saling menertawakan jiwa-jiwa manusia yang rapuh.

Masih Kanak-kanak Setelah Masanya Usia seseorang ibarat hitungan detak jantung. Semakin cepat dan sering frekuensi detak jantung seseorang, semakin berkurang pula jatah usianya. Hal itu juga menyiratkan arti lain, semakin kencang detak itu melaju, terseret ritme kompetisi duniawi yang menuntut semuanya harus cepat, sigap dan tanggap, semakin seseorang itu berlaku tidak pada usianya. Banyak pakar psikologi perkembangan mengatakan, bahwa remaja-remaja sekarang ini terlihat lebih tua dari usia semestinya. Hal itu nampak pada raut muka, wajah dan ekspresi mereka dalam keseharian. Mereka seakan terpaksa menjadi tua sebelum waktunya. Lingkungan di samping kanan kiri mereka, tak

luput

menjadi

pemicu

ketergesa-gesaan

usia

yang

mendahului kesiapan dan kematangan mental mereka. Padahal yang kita semua harapkan bukan menjadi tua sebelum waktunya, namun jadilah dewasa dalam fase sepantasnya. Dewasa dan tua ini memang sering dipakai terbalik-balik. Bukan hanya khusus ditujukan kepada para remaja, namun juga kepada yang terlanjur tua, urusan kedewasaan ini berlangsung dilematis. Pakar psikologi tadi melanjutkan bahwa ternyata ada hal yang sama ironisnya selain "dewasa sebelum waktunya", yakni "masih

kekanak-kanakan setelah masanya". Bukan hanya ada tapi justru banyak. Kalau kita menyebut anak-anak adalah fase usia tertentu dalam tahapan perkembangan manusia, kita menyebut kanakkanak untuk mengkonotasikan sifat anak-anak yang belum mentas dalam mental bapak-bapak atau ibu-ibu. Terlalu banyak fenomena orang-orang tua kita di masing-masing singgasananya malah nyaman bersikap kanak-kanak dan berebut untuk dipertontonkan di layar televisi. Saking banyaknya, ketika dalam suatu oase lelaku keseharian, orang-orang tua yang benar-benar dewasa dan mampu membijaksanai hidupnya sendiri malah dikatakan aneh dan anti mainstream. Suatu jenis perkataan yang tak lagi menyadari empan papan. Jika dirunut dari akar masalahnya, fenomena jungkir baliknya dewasa dan kanakkanak itu karena penanaman konsep puasa hanya dipahami dan dipahamkan secara permukaan. Puasa dielaborasi berdasarkan definisi-definisi fiakuih yang tekstual. Jarang di suatu forum membahas puasa selain pada momen bulan Ramadhan. Padahal spirit puasa itu kebutuhan manusia sepanjang hayat. Ruh puasa itu menahan, menghentikan, menidakkan, menolak dan berbagai perangai defensif lainnya. Dan itu dibutuhkan dalam dinamika hidup dan kehidupan manusia sehari-hari. Seorang remaja ketika memahami bahwa dia harus melakukan sesuatu atau tidak harus

melakukannya, tidak berdasarkan keinginannya, berarti ia telah mengamalkan laku puasa. Pun juga orang tua, ketika ia memahami kapan harus maju atau mundur, mengerjakan sekarang atau nanti, menahan diri untuk mengambil hanya sesuai kebutuhannya, bukan untuk pemenuhan hasrat dan ambisinya, ia adalah pendekar kehidupan. Tentunya semua itu dengan laku puasa. Jadi jelas bahwa laku puasa inilah solusi atas kegaduhan dan keruwetan 'mongso sing digege' atau masa yang ditergesa-gesai, karena puasa itu mekanisme individu bahkan mekanisme kehidupan sosial untuk menyeimbangkan mental manusia sesuai tahapan dan fase perkembangannya masingmasing. Namun argumentasi di atas itu bisa mentah, ketika memahami makna dewasa adalah sikap yang spaneng, terlihat berprinsip, dan merasa mampu menyelesaikan masalah. Padahal bukan itu maksud penulis. “Masih kanak-kanak setelah masanya”. Apakah itu langsung bisa dikatakan salah atau benar? Tak semudah itu, Rindu. Memang, sering kali sikap kanak-kanak masih dianggap memalukan. Apa lagi yang memerankan mereka yang telah lewat fasenya. Entah ini pengaruh sistem pendidikan kita yang belum tepat, terutama di abad 21 ini, anak dan orang tua berlomba-lomba segera ingin masuk dan memasukkan ke

sekolah. Belum tepatnya sistem itu bisa ditelisik dari penamaan casing yang belum setia kepada isi. Penamaan jenjang taman bermain di berbagai daerah, masih didominasi pembelajaran formal. Sementara di usia anak-anak yang masih dini, sampai di usia 7 tahun, sebenarnya mereka masih dalam masa bermain dan memang perlu sistem lingkungan dan nalar berfikir yang diarahkan untuk menjalani permainan, bukan untuk belajar secara formal. Sekarang, anak menghabiskan waktunya di luar rumah, dari pagi sampai siang bahkan sore hari, karena mengikuti dan menyesuaikan jam orang tua mereka selesai bekerja. Sesampai di rumah mereka sudah pasti lelah. Lelah fisik, lelah pikir. Terkadang, orang tua masih meminta anak-anak itu untuk menyelesaikan tugas sekolah, walaupun tetap didampingi. Begitu capeknya, menjadi anak-anak sekarang. Mereka seakan dipacu untuk cepat dewasa. Sementara itu, Apakah para orang tua yang masih memiliki sifat kanak-kanak itu karena mereka pernah kehilangan masa kecilnya? Sehingga baru bisa terlampiaskan di usia yang bukan semestinya?

Hmmmmmm....Serba

bingung

memang,

tapi

sepertinya, sikap kanak-kanak itu malah perlu dan harus ada pada diri setiap manusia, dan memang ada nyatanya, meskipun dia telah dewasa. Mereka yang berekspresi seperti kanak-kanak,

belum tentu karena masa kecilnya kurang bahagia. Atau, waktu mereka untuk bersikap sebagai anak-anak, terhalangi sesuatu hal dan membuat mereka memilih bersikap dewasa. Sebenarnya, sedewasa apapun seseorang, mereka tetap akan bersikap kanakkanak bahkan kekanak-kanakan. Sejatinya seorang anak, bahkan semua orang, mereka ingin bahagia, ingin nyaman, ingin diperhatikan, dilindungi, dicintai, bebas dan banyak keinginan lainnya. Dan perlu digarisbawahi, semua kita adalah anak dari seorang ibu, yang tanpa disadari, sifat kekanak-kanakan itu dengan sendirinya akan muncul, meski ada yang berusaha menahannya. Mungkin karena merasa dirinya dewasa, atau sungkan mengekspresikannya, walaupun di hadapan orang terdekatnya. Dengan dalih. Aku sudah besar, aku tidak boleh manja. No, tidak selamanya kita harus seperti itu. Bahkan untuk mengajarkan anak kita agar mereka dewasa, kita perlu terlihat kekanak-kanakan di depan mereka, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk berekspresi menjadi sosok yang dewasa. Karena

ketika

kita

menghadapi

sesuatu

dengan

selalu

menggunakan pola pikir dewasa, kita akan spaneng. Kita tidak mencoba bersikap dan berfikir simpel, padahal itu fase berfikir

anak-anak kita, yang masih polos mengekspresikan sikap kanakkanak. Dan lagi, yang menjadi penting, adalah menempatkan kondisi dan situasi yang perlu dan pantas bersikap kanak-kanak. Kekanak-kanakan itu menyenangkan, selama tidak berlebihan. Barangkali malah perlu sering dijalankan, untuk membuat orang di sekitar kita mendapat kesempatan merasa lebih dewasa. Namun, itu semua, masih menjadi jawaban yang masih perlu dipertanyakan. Karena jawaban yang tak ditindaklanjuti dg uji kelayakan, akan mandeg dan selesai sebagai kebenaran. Padahal kita semua masih dalam fase pencarian menuju kebenaran. Kebenaran sejati di hadapan Tuhan. Dari banyak argumen di atas, nampak bahwa ide yang bisa dikawinkan adalah be a proportional man with attitude. Baik menjadi dewasa atau bersikap kanak-kanak, memainkan peranan penting dalam menjalani kehidupan. Atau barangkali berlagak kekanak-kanakan di depan orang terdekat, justru itulah di antara sikap dewasa yang tepat. Maka, menjadilah dewasa dengan menurunkan ego dan gengsi, sikap kanak-kanak yang 'dewasa' ini, ditujukan biar lingkungan terdekat yang butuh diperhatikan, dicintai, dan dilindungi merasakan nuansa kemesraan dan kehangatan.

Melepasmu I Tiap hari kita mengirup udara bersih, oksigen gratis, dan senyawa-senyawa

menyehatkan

lainnya

melewati

rongga

pernafasan kita. Semaunya kita menghirup, sehingga apapun yang masuk, tidak semuanya kita filter, dan terutama, tidak semuanya kita butuhkan. Jika kita menghitung zat apa saja dan berapa entitas yang terlanjur kita hirup, catatan berjilid-jilid pun tak mampu semuanya merekap. Sebagian bisa kita catat, namun sebagian besar luput dari penginderaan dan kesadaran kita. Padahal sebagian besar itu barangkali justru entitas yang tidak menyehatkan. Di saat lain, kalau kita menggembala sapi, berapa pun ekornya, urusan yang harus kita perhatikan, bahwa sapi itu adalah bagian dari diri kita. Sapi yang kita rawat dengan memberi makan, membersihkan kandang, juga barangkali mengajaknya bekerja untuk menggaru tanah ladang, harus kita ikat, jaga, dan awasi, bukan hanya dengan tali fisik, melainkan juga tali kasih sayang antar makhluaku. Sapi yang kita ikat dengan memposisikannya hanya sebagai objek kapitalistik, membuat mereka stress dan menyimpan dendam. Banyak kejadian penggembala sapi yang cedera oleh akibat sapi mengamuk saat digembalakan.

Kedua fenomena di atas adalah dua fenomena berbeda dengan benang merah yang sama. Bahwa hukum alam itu mempersyaratkan keseimbangan. Seseorang sebagai khalifatullah fil ardl layaknya mempertimbangkan prinsip ini dalam tiap langkah dan sepak terjangnya. Jika ia mau menghirup udara bersih untuk memompa sistem pernapasannya, maka ia juga mesti menghembuskannya kembali dengan lega lila. Jika ia bersedia mengikat sapi untuk digembalakan, pada suatu saat, ia harus bersiap melepaskan ikatan itu dengan menjual atau menguburnya kalau terlanjur mati sebelum disembelih. Itulah hukum keseimbangan. Konsekuensi dari mengikat adalah melepas. Itu perjodohan alami nan kodrati. Bila seseorang tak mampu melepas, sedangkan ia terusterusan mengikat, justru itu akan membahayakan dirinya. Permasalahan-nya adalah kita sering merasa, sesuatu atau seseorang yang kita ikat itu milik kita, dalam penguasaan, genggaman dan kendali kita sepenuhnya. Istilah yang sering kita dengar dari emak-emak penggemar sinetron ikatan cinta, yakni posesif. Gejala jiwa, merasa memiliki sesuatu atau seseorang secara berlebihan. Ini berbeda dengan konsep sense onf belonging, yang selama ini diterjemahkan hampir mirip dengan posesif, yakni rasa saling memiliki. Namun ekspresi posesif ini

lebih brutal dan anarkis. Orang dengan karakter ini biasanya keras kepala atau ngotot memegang prinsip. Tak ada dialektika komunikasi apalagi tawar menawar ide dan argumentasi. Bos yang posesif terhadap bawahannya, tidak akan rela melepas bawahannya untuk meningkatkan skill dan prestasinya, sehingga ia lantas meninggalkan atasan tersebut karena dapat job atau posisi baru. Begitu kuatnya ‘nafsu’ posesif si Bos, sehingga yang ia lakukan merugikan bawahannya, dan jelas, merugikan dirinya sendiri dengan ketergantungan berlebihan kepada orang lain. Melepas, baru diikat? atau mengikatnya dulu lantas melepaskannya? Bagi sebagian orang yang berat itu rindu, namun sebagian lainnya berpendapat, bukan!!...yang terberat dalam hidup adalah melepas. Namun, Semua itu subjektivitas, tidak bisa langsung dianggap itu benar, atau salah. Karna kadar dan cara orang menyikapi perjalanan hidupnya tidak sama. Jadi, hal terberat dalam menjalani kehidupan merekapun pastinya berbeda. Pernah merasa terikat? Atau, merasa dilepaskan?. Kalau boleh memilih, mau yang mana? Sebagai yang terikat, mengikat, yang dilepaskan atau yang melepaskan ?

Kenapa sedih, kenapa berat,

kenapa tak rela? ketika

memang waktu dan ketentuanNya lah yang membuat kita harus melepaskan seseorang ataupun sesuatu yang kita sukai Barangkali kita sering lupa, Kita merasa sesuatu atau seseorang yang bersama dengan kita adalah milik kita. Gitu? Memiliki itu kepuasan tersendiri, seakan merasa punya kuasa, punya hak, punya wewenang atas sesuatu atau seseorang. Jangankan makhluk hidup, benda matipun, jika kita mengikatnya terus menerus itu juga akan dapat membuatnya hilang guna dan fungsi lainnya. Padahal ia seharusnya dapat lebih bermanfaat bagi yang lainnya. Terkhusus manusia, yang memiliki jiwa untuk dibebaskan menjadi dirinya sendiri. Ia makhluk berakal, berhasrat, bernafsu dan itu tak bisa selamanya diikat. Karena jika diikat atau selalu dicengkeram, mungkin ia tidak bisa memerankan diri seutuhnya, dan menghalangi prosesnya menuju ahsanu taakuwim. Udara yang kita hirup sebagai kebutuhan bertahan hidup, sebagai supply proses memompa jantung yang berdenyut tanpa henti, tidak bisa kita simpan lama. Tak mungkin kita mampu menahan

lama

dan

tanpa

dilepaskan

kembali.

Ritme

melepaskannya bukan dengan cara disembur atau dihelakan begitu saja. Namun perlahan, sedikit demi sedikit, lama-lama

menjadi biskuit...eh, bukit, agar alunan detak jantung kita bisa stabil dan normal, juga aliran darah akan menderas dengan lancar di setiap pembuluh darah. Karena jika kita tahan terlalu lama dan kita hempaskan, seketika, jantung akan memberontak dan kalang kabut mencari arah. Sementara itu, seekor sapi yang dirawat, diberi makan dan diajak menggaru tanah di ladang, tidak selamanya mereka merasa nyaman dan senang. Ia makhluk tuhan yang juga ingin mencari minumnya sendiri. Memilih rumput yang dia gemari. Bahkan berguling-guling di lumpuran sawah sebagai refleksi untuk merilekskan badannya. Tapi, tidak semua majikan atau penggembala mengerti itu. Penggembala menganggap ia telah mencukupi semua kebutuhan sapi dan memanfaatkannya sesuai fungsi sebagai makhluk berkaki empat, yaitu membantu membajak sawah atau menanti majikannya datang ke kandang, mengantar makan dan minum, untuk kesehatan dan kesuburan. Sehingga proses pembiakan dan pemerahan susu akan lancar. Mungkin jika sapi bisa dan boleh bicara dalam bahasa manusia, ia ingin memilih jadi semut kecil yang bebas ke mana saja, mau makan apa saja. Dengan ukuran fisik yang kecil dan susah diikat, semut punya rute menjalani kehidupan solider, beriringan

dengan

rombongannya,

bergotong

royong

membangun rumah dan membawa makanan, sehingga ia tidak terhambat ber’sosialisasi’ dengan sesamanya. Para semut itu juga selalu menyempatkan tegur sapa dan bersalaman tiap kali berpapasan. Itu jauh membuat ia lebih bisa kuat dan merasa lebih hidup (sebagai semut). Ia bisa menjadi dirinya sendiri namun tidak harus sendiri dan selalu mendapat dukungan dari semut-semut lainnya. Ia juga bisa meninggalkan jejak atau menunjukkan arah bagi teman mereka yang tersesat dan selalu kembali lagi kepangkuan semut-semut terdekat dalam hidupnya, ketimbang sapi yang diikat dan diarahkan untuk menginjak-injak tanah tanpa bisa merasakan kelembutan tanah itu, atau bahkan mengukur kekuatan lumpur sawah saat ia harus berlari liar mengitari sesawahan. Tanpa disadari, Jika si majikan tahu, selain untuk menggaru tanah, sapi peliharaannya juga bisa diajak berlomba pacu sapi di sawah dengan sapi-sapi lainnya. Dengan itu, sapi semakin bermanfaat, bahkan mungkin dengan melihat kelincahan sapi lainnya, sang majikan sesekali rela melepas sang sapi untuk mencari rumput kesukaannya, agar fisiknya jauh lebih tangguh dan lincah bahkan, dengan lepas, sapi mengeluarkan dengungan merdu dari mulutnya "mooooooo...." bukti bahagianya dalam menjalani peran kemakhluakuan ciptaan sang khaliaku yang

tetap setia pada majikannya dengan tetap bisa menjadi diri ‘sapi’ sendiri. Berbanggalah wahai majikan yang bisa melihat sapinya banyak memiliki kemajuan dan perkembangan. Kenali jenis sapimu,, sapi perah, sapi potong atau sapi pekerja? agar Kau bisa memilih cara terbaik melepaskannya. Sehingga iia tetap menjadi dirinya dan bertambah manfaat untuk sekitarnya. Jangan kau perlakukan sapi potong yang butuh padang rumput luas tampa batas, namun selalu dalam pengawasan, dan kau perlakukan seperti sapi pembajak yang terikat tali di hidungnya, meski kau penuhi kebutuhannya. Berbanggalah wahai jasad yang masih bertahan hidup dengan pasokan udara tanpa batas, bisa dihirup kemudian dilepaskan perlahan, agar tetap terjaga detak jantung yang sempurna, dan dengannya ia mampu bertindak bahkan bermanfaat untuk jasad lain. Seperti posisi tangan, membantu mengusap airmata, di saat ruh yang mengarungi jasad manusia tersebut sedang rapuh, bersedih dan berlinang airmata. Kemudian si jasad seketika sadar, karena mulutnya tersentuh asinnya air mata. Lalu ia berucap Alhamdulillah. Aku ikhlas, ya Tuhan, melepas semua Milik-Mu. egoku, hasratku, semua yang

ada bersamaku. Karena hidupku, diriku, dan dirinya bukanlah milikku.

MERASA PUNYA RASA Sengaja tema ini aku kabarkan, bukan karena aku meragukan perasaan siapapun tentang 'rasa'nya, melainkan karena aku sendiri ternyata harus punya penyadaran rasa yang terus diupayakan varian penawarnya. Semesta rasaku ini menghampar sangat luas. Begitu luasnya, hingga aku sendiri kesulitan mengidentifikasi batas-batasnya. Lebih parah lagi, jika aku malah tak mau tahu pentingnya batasbatas itu. Aku memang sering merasa punya rasa, kepada apapun, terutama kepada siapapun. Berulang kali aku tak menyadari rasa yang kurasa kupunyai itu, memang benar-benar rasa yang harus kurasakan. Atau jangan-jangan, penyakit merasa punya rasa ini adalah gejala jiwa kosong yang tak mampu memenuhinya dengan isi yang berasa. Sungguh

aku,

merasa

punya

rasa,

dengan

tidak

mengkonfirmasi perasaan orang lain. Kesewenang-wenangan rasa yang aku sendiri tak mampu membatasinya. Indikasi bahwa aku belum cukup dewasa mengerti rasa, tentu saja rasa yang bisa mengerti perasaan orang lain.

Ekspresi rasaku bisa menebar tawa bahagia. Pun juga tak jarang malah jadi tangis nestapa. Itu karena rasaku, campur aduk gak karuan di dalam, tidak benar-benar diolah dan ditiriskan menjadi ekpresi rasa di luar. Aku semakin cemas, ekspresi rasaku tak mampu mewakili benar-benar apa yang sedang kurasakan. Dan terlebih lagi, orang lain malah semakin bingung merespon rasa, yang jelas, 'tak jelas' olahannya di dalam tadi. Aku jadi kuatir, sedihku tidak benar-benar sedih, tawa bahagiaku tak sungguh-sungguh output olahan rasa bahagia yang benarbenar dirasakan jiwaku. Itu masih belum seberapa. Adalah ekspresi rasa nyamanku hari itu, aku merasakannya sebagai ekspresi rasa nyaman yang berlebihan. Tentu saja aku menyadarinya setelah semua ekspresi itu usai kutunaikan. Penunaian ekspresiku dengan sesal, kebanyakan membuat perasaan orang lain kesal. Kalau efeknya udah buat kesal orang lain, apalagi orang yang aku merasa dekat dengannya, harusnya aku tidak gegabah lagi bermain-main

rasa.

Setidaknya

tidak

usah

nyoba-nyoba

melewati batas kewajaran. Sementara itu, aku teringat salah seorang pujangga, "tak perlu kau menanti panen, jikalau usahamu menanam hanya meniup api sesajen" ketika aku

memanen ekspresi rasa saat itu, aku jadi ingat bagaimana aku menanamnya dulu. Bagaimanapun aku harus menyadarkan diriku sendiri tiap saat. Biar rasaku benar-benar kuekspresikan pada tempat dan waktunya. Aku, yang selalu menaruh rasa setiap kali aku dekat dengan seseorang, harus punya mekanisme menyaring dan mengendorkan tegangan rasa, kecuali memang tidak aku niati untuk mewujudkannya dalam ekspresi kasat mata. Membicarakan rasa, kata merk mie instan, "rasa tak pernah boong", memang benar adanya atau barangkali aku hanya merasa keberadaannya benar. Rasa mie instan saja tidak akan berdusta

menyatakan

sedapnya,

apalagi

rasaku

kepada

seseorang. Tapi sudahlah, obrolan ngalor ngidul ini hanya hiburan bagi rasaku yang bergelantungan tidak karuan. Karena memang ihwal kedewasaanku sangat perlu dipertanyakan.

Berubah I Dalam beberapa kesempatan ketemu tatap muka dengan teman sekolah dulu, teman kuliah, SMA, SMP, SD atau bahkan teman sebangku ketika TK, tema pembicaraan yang gayeng diutarakan yakni profesi, rumah tangga, dan juga kenangan masa lalu. Tema kenangan selalu menjadi primadona obrolan dengan menampilkan setting dan suasana layaknya kita kembali pada saat-saat itu. Namun dari semua tema-tema perjumpaan kawan lama, ada satu pernyataan menggelitik yang hampir pasti disampaikan teman lama kita itu, "sekarang kamu berubah ya...". Pernyataan spontan dan terlihat sederhana saja diutarakan, tapi bukan main sulit meresponnya. Terutama karena nuansa obrolan antar teman lama bukan pada momentum formal dan serius, tapi harus tetap hangat dan memperlihatkan kemesraan. Pernyataan itu simpel saja, tapi ketika dijawab hanya "tau lah, emang keadaan menuntut begini" jadinya semacam kepasrahan dan tak berdaya menghadapi keadaan. Bila direspon dengan tanya balik "ah, masa sih?", dikira terlalu defensif dan kuatir dengan kepo lanjutan. Paling banter, kalau masih mau berlanjut dengan gurauan, "iya karena Aku dulu belum laku ja,

boy". Tak jarang juga ditanggapi dengan analisis historis, "kalau gak berubah, gak ada perkembangan donk, Bro". Atau malah bisa juga diselingi model fatalistik para sufi, "gak tau lah bro, Aku hanya ngalir aja, pasrah takdir", pun juga banyak model represif, counter attack, "emang kenapa kalau berubah". Apalagi dilanjutkan, "emang kamu engga?!!". Dan berbagai respon lainnya sesuai dengan karakter dan keluasan pemahaman yang merespon. Pernyataan teman kita itu tak salah. Karena perubahan tak hanya jadi bahan perbincangan yang wajar antar teman, tetapi juga jadi main aims segala sesuatu yang hidup di dunia ini. Bahwa segala sesuatu yang bernyawa, pasti berubah. Yang satusatunya tidak berubah hanya Ia, al-Baqi. Pernyataan itu jadi asyik dan isyiq untuk dibahas karena yang menjastifikasi kita berubah, juga berubah. Dan terlebih, parameter berubah itu sendiri oleh dia, juga ternyata berubah. Karena konsep berubah memang enak disampaikan, tapi tak kunjung dimengerti presisinya, kecuali jika hanya mengurusi perubahan fisik, dan itu mudah saja. Sementara itu, kita tau perilaku atau sikap seseorang berubah atau tidak, jika kita ambil jarak darinya. Kasus teman lama yang bersua tadi, jelas wajar menyampaikan pernyataan

tentang perubahan, karena mereka tidak saling bertemu dalam rentang waktu yang lama dan mungkin jarak yang sangat jauh. Sebaliknya, ketika kita tidak ambil jarak dari siapa pun termasuk diri kita sendiri, kita jadi tak peka, sebenarnya orang yang dekat dengan kita, telah memproses perubahannya seiring bergulirnya waktu dengan tanpa disadari. Kita sering diomongi orang lain, walaupun agak sakit didengar dan dirasa, bahwa kita tambah gemuk. Seketika mendengar itu, celana kita mendadak sesak, langsung bergegas nyari cermin atau timbangan amal perbuatan, eh, berat badan. Kita sendiri yang berubah, orang lain yang justru mengingatkan.

Berubah II Sejauh ini, tak nampak dari seseorang ini perubahan sikap yang gegabah. Pergantian cuaca dan suasana juga tak kunjung memengaruhinya untuk sengaja memangling-manglingkan diri. Apalagi hanya pergantian jabatan, atau posisi struktural tempat ia bekerja. Dan sungguh, orang ini agak mencengangkan. Memang agak saja, karena ia bisa sekaligus mengharukan. Ia dikarunia Tuhan dengan cara dan pilihan sikap yang mengagumkan. Ia mampu cerita berjam-jam di hadapan pendiam yang hanya memandanginya bingung (lebih tepatnya takjub). Hal itu diniatinya untuk mengajari si pendiam, bahwa komunikasi dan obrolan sederhana itu harusnya tidak lagi dianggap biasa saja, ketika orang yang diajak ngobrol benar-benar orang terdekatnya. Suatu niatan yang susah dipahami kebanyakan orang. Sering Ia juga mengajari si pendiam memperhatikan dan mengurusi hal-hal kecil di sekitar, hanya untuk mengatakan kepada si pendiam bahwa hidup tak harus menuntaskan apalagi berambisi meraih hal-hal besar nan spektakuler, namun mengabaikan

hal-hal

kecil.

Jenis

ajaran

atau

tarekat

kerendahhatian yang pernah berjilid-jilid si pendiam pelajari,

namun tak kunjung dimaknai sehari-hari. Ia bahkan tak segansegan membeberkan kekonyolannya sendiri, atau malah menertawakan kecerobohannya yang agak rutin dilakukannya. Hal itu untuk menempa hati batu si pendiam yang kolot dan angkuh bahwa tak ada gunanya mempertahankan eksistensi diri keduniaan yang toh juga akan manusia copot seluruhnya ketika lepas landas memasuki alam baka. Beberapa model ajaran itulah yang pendiam yakini bahwa ia memang konsisten dan teguh dengan prinsipnya. Sejak si pendiam mengenalnya, sampai hari ini, tak ada yang berubah darinya, setidaknya dalam pilihan-pilihan sikap yang memukau tadi. Walaupun ia sendiri, juga tak menyadari, ekspresi karakter dalam jiwanya bisa memengaruhi pendiam dalam banyak hal. Perubahan zaman memang banyak mempersyaratkan "install ulang dan update aplikasi" segala hal yang ada pada diri manusia. Dan itu jadi keniscayaan, bahwa berubah itu keharusan. Namun itu tak berlaku baginya. Seseorang ini begitu genuine untuk mengambil langkah. Langkah yang diilhami langsung oleh Tuhan sendiri, melalui lika liku pengalaman panjang selama hidupnya.

Berubah III Kata ini mengingatkanku dengan film yang sangat ditunggutunggu setiap anak di masa kecilku, "SATRIA BAJA HITAM". Barangkali, si pengagum tahu tapi tidak merasakan betapa dahsyatnya pengaruh film ini pada eranya. Setiap anak bersemangat mempraktekkan aksinya saat mulai melawan monster dengan kata "Berubah". Berubahnya Satria baja hitam ditujukan untuk menyelamat kan dunia. Dengan ilham dari film itu, apakah kita di dunia ini memang ditakdirkan untuk selalu melakukan perubahan? Atau cukup diam diri begitu saja dan tak perlu berubah? Ada kalanya kita memang dituntut khalayak sekitar untuk berubah. Beberapa dari mereka, ada yang tak sanggup merasa kan sikap kita yang mulai berubah. Namun beberapa lagi, ada juga yang sangat bahagia, merasa nyaman bahkan hingga mengagumi saat melihat keajegan, konsistensi dan istiqomahnya seseorang memegang prinsip tanpa tergerus perubahan. Entah mana yang harus kita lakukan. Semua itu pilihan. Ketika memilih berubah menjadi sosok yang lebih baik, itu bukan pilihan, malah justru keharusan setiap orang, bahkan bisa wajib

hukumnya. Terlebih, karena kita harus merasa, banyak hal yang belum bisa kita lakukan, jika terus stagnan dengan keadaan atau tradisi lama yang begitu-begitu saja. Sementara zamannya sudah berbeda dan keadaan mulai tak tentu-kira. Kemudian, indikasi perubahan yang kita rasakan untuk alasan yang mendalam, bisa jadi kita alami. Dulu menyapa sekarang hanya diam tanpa bahasa, dulu mencinta sekarang mulai biasa, dulu teman sekarang jadi lawan atau sebaliknya.. Perubahan ini pada awalnya membuat shocked, sangat menyakitkan namun juga bisa mengharukan atau bahkan jadi keadaan yang patut disyukuri, baik si pelaku atau si korban dari perubahan sikap dan rasa itu. Lalu ada juga ketiadaan perubahan yang kita rasakan pada diri kita atau orang lain. Kita baru kenal, bahkan sempat terpisah dan lama tak jumpa. Namun, sampai saat ini kita masih merawat sikap yang sama. Dia bukan teman dekat tapi kita merasa akrab, dia bukan siapa-siapa namun bak saudara, meski pernah atau sering bertengkar, namun perhatiannya tak pernah berubah, malah bisa ‘lebih mekar’ dari sebelumnya. Dia Tetap berusaha kembali seperti semula dengan mengawali untuk menerima, memahami bahkan rela meminta maaf sehingga terkesan seperti

tidak terjadi apa-apa dan tetap merasa kembali seperti semula. Jenis kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan orang tertentu.. Atau ada juga, mungkin ajeg juteknya, cerewetnya, bawelnya, kepolosannya, tulusnya atau spontannya. Malah ini terkadang bisa menjadi sesuatu yang menarik dan ciri khas seseorang, karena begitu lah adanya dia, walaupun sikap seperti itu juga tidak selamanya baik. Secara keseluruhan, mungkin baik bagi si pelaku, tapi harusnya juga bisa memberikan kesempatan pihak lain untuk bermain atau bahkan mempermainkan peran sehingga menganggap gampangan, mengejek atau malah merendahkannya. Begitulah...semua pasti pernah kita temukan, rasakan bahkan mungkin kita perankan. Itupun hanya kita lakukan kepada mereka yang kita pilih untuk menjadi objek dari perubahan. Mulailah berubah atau tetap dengan begitu adanya kita.

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.