majalah INTISARI 202210 Flipbook PDF

majalah INTISARI 202210

75 downloads 119 Views 53MB Size

Recommend Stories


Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF
Get Instant Access to eBook Empresas Headhunters Chile PDF at Our Huge Library EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF ==> Download: EMPRESAS HEADHUNTERS CHIL

Story Transcript

Oktober 2022 www.intisari-online.com Tempe Yang Tak Melulu Dari Kedelai 8 Menelusuri jejak masakan di Serat Centhini 38 Rp 25.000,-/Rp 26.000,- (Luar Jawa) INTM221001 4 Sehat 5 Sempurna, Semboyan Lama Tapi Berguna 102 Menengok kembali sejarah bangsa dari perjalanan budaya kulinernya KULINER NUSANTARA MELINTAS MASA Histori . Biografi . Tradisi ME-1I


DARI KAMI Mahandis Yoanata Thamrin Editor in Chief “ Weteng ngelih, pikiran ngalih,” kata orang Jawa. Artinya kira-kira begini, perut lapar bisa bikin pikiran terlempar. Dari zaman klasik sampai zaman kiwari, urusan perut selalu menjadi salah satu indikator utama kemakmuran. Dalam sejarah, urusan perut bisa berujung urusan politik. Ternyata kita memiliki sederet manuskrip dan prasasti yang berkisah tentang upaya orangorang Mataram kuno hingga Majapahit menjaga kemandirian dan kemelimpahan pangan. Salah satunya tentang prasasti Panggumulan yang berasal dari tahun 902. Terkait upaya pemuliaan pangan, prasasti ini menyebutkan pejabat-pejabat yang menjaga lumbung padi, dan pejabat yang mengurusi perberasan. Pada zaman berikutnya, ada kitab hukum yang mengatur segala urusan dari soal pangan sampai korupsi. Raja Hayam Wuruk, yang bertakhta di Majapahit pada abad ke-14, memiliki hukuman tegas untuk pencurian bahan pangan—seperti kitab hukum Kutara Manawa. Saya pernah mengudap pisang kencana di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. Sang peracik mengadopsi menu-menu cita rasa Jawa dari Suluk Tambangraras—atau Serat Centhini—yang digubah pada awal abad ke-19. Apakah pisang kencana ini sama racikannya dengan pisang kencana pada masa karya sastra itu digubah? Pertanyaan itu tidak begitu penting buat saya. Namun, sajian ini telah menggugah keingintahuan pencicipnya tentang apa itu kisah Serat Centhini. Barangkali, kegemaran wisata kuliner kita selama ini tidak didukung pengetahuan soal sejarah pangan Nusantara. Kuliner telah tumbuh menjadi sebuah industri wisata yang menjalar-jalar. Ironisnya, pada saat bersamaan kita kehilangan kedaulatan pangan. Kita hidup kenyang, tetapi makanan kita tidak memakmurkan. Bagi saya, menyusuri sejarah kuliner sungguh menarik karena rasa memiliki ikatan panjang de ngan geografis—dan rasa terbentuk karena pengalaman. Dari pangan pula kita bisa berkenalan dengan cerita histori kota. 3 OKTOBER 2022 CERITA KEDAULATAN PANGAN NUSANTARA


Founders P.K Ojong (1920-1980), Jakob Oetama (1931-2020) Group Director Dahlan Dahi Deputy Group Director Harry Kristianto Group Editorial Director Didi Kaspi Kasim Editorial Office Gedung Gridnetwork Perkantoran Kompas Gramedia Jl. Gelora VII RT. 2 RW. 2 Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 10270 Phone: (021) 5309699/ 5369799 Faks: (021) 5320607 E-mail: [email protected] Advertising Gedung Gridnetwork Perkantoran Kompas Gramedia Jl. Gelora VII RT. 2 RW. 2 Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 10270 Phone: (021) 5309699/ 5369799 E-mail: [email protected] Marketing Communication Gedung Gridnetwork Perkantoran Kompas Gramedia Jl. Gelora VII RT. 2 RW. 2 Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 10270 Phone: (021) 5309699/ 5369799 E-mail: [email protected] Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi majalah ini tanpa izin tertulis dari Intisari. Intisari berhak meng umumkan dan memperba nyak tanpa perlu persetujuan/izin penulis, fotografer, dan ilustrator, termasuk mengalihwujudkan kembali dalam format digital atau nondigital yang merupakan bagian dari majalah Intisari. Brand Director Agung Wibawanto Video Business Development & Partnership Director Fitriana S. Pangaribuan Strategic Audience Analysis Director Asti Krismardiyanti Account Director Kurnyawati Account Manager Adisty Sugiharianti Account Executive Hardiansyah, Hasan Kholilurrachman Marketing Director Marisa Thara W. Marketing Manager Dinda Adiasa Marketing Executive Hestia Melani Melano, M. Essa Luthfani Marketing Communication Director Rizky Latanza Marketing Communication Executive Ferinnadya Annisa Putri Editor in Chief Mahandis Yoanata Thamrin Editor Thomas Tjahjo Widyasmoro Editorial Team Yds. Agus Surono, A.S. Rimbawana Visual Editor Heri Cahyadi Graphic Designer Maha Sulthan Dwi Indra Cartographer Warsono Intisari Online Yoyok Prima Maulana (Managing Editor), Ade Sulaeman (Editor), Adrie P. Saputra Afif Khoirul M, K. Tatik Wardayati M. Habib Asyhad, Mentari Desiani Pramudita Muflika Nur Fauddah, Tatik Ariyani Editorial Secretary Elli Sihotang Editorial Publishing Desain Sampul Maha Sulthan Dwi Indra Foto sampul Potret penjual sate dengan pikolan dan pelanggannya. Foto diambil tahun 1880. Sumber: KITLV Business 4 OKTOBER 2022 BERANDA


Sampaikan komentar Anda ke: M Q H E D @IntisariOnline intisari.grid.id DIALOG Yap Thiam Hien, Idealisme Edisi September 2022 Dan Profesionalitas Artikel di Intisari edisi September 2022 berjudul “Yap Thiem Hien, Pembela Orangorang Yang Membenci Kaumnya”, sungguh sangat menarik. Sayangnya memang pembahasan tentang Pak Yap ini masih sangat kurang dan tidak menggambarkan keseluruhan perjuangan beliau semasa hidup. Mungkin sebagian dari kita pernah ingat bagaimana Yap Thiam Hien begitu gigih membela klienklien yang berasal dari golongan garis keras atau saat ini sering diistilahkan sebagai gerakan radikal. Padahal selama ini stigma terhadap golongan tersebut adalah tidak menghargai toleransi. Di sinilah Pak Yap dengan segala kebesaran hati menunjukkan idealisme dan profesionalitasnya. Saat ini rasanya tak banyak orang-orang yang meneruskan jejak Pak Yap, terutama di bidang penegakan hukum. Sangat disayangkan karena justru di masa-masa keutuhan berbangsa terancam oleh kepentingan politik sesaat, kita membutuhkannya. Yusuf Suhartoyo, ucup.toyohar@ … com 5 OKTOBER 2022


8/SOROTAN Menempe yang Tidak Melulu Pakai Kedelai 24/SOROTAN Pecel, Cita Rasa Segala Strata dan Masa 38/ SOROTAN Pengetahuan Cita Rasa Jawa dari Serat Centhini 52/SOROTAN Terlena Gandum, Padahal Punya Sorgum 64/SOROTAN Serat Centhini, Sumber Masakan Jawa 78/SOROTAN Leuit dan Mitigasi Pangan Kesepuhan Ciptagelar DAFTAR ISI 8 MENEMPE YANG TIDAK MELULU PAKAI KEDELAI 6 OKTOBER 2022


88/SOROTAN Sekolah Pagesangan, Pendidikan Berbasis Budaya dan Pangan Lokal 102/SOROTAN 4 Sehat 5 Sempurna, Mengoreksi Politik Pangan dari Zaman ke Zaman 78 38 Khas 05/DIALOG 114/LENTERA 100/BULAN INI DALAM SEJARAH 7 OKTOBER 2022


yang Tidak Melulu Pakai Kedelai Menempe FOTO: TIM CHARACTER BUILDING UNIVERSITAS BINUS KAMPUS MALANG SOROTAN 8 OKTOBER 2022


Sering dipandang sebelah mata sebagai makanan rakyat biasa, tempe justru terbukti mampu bertahan hingga ratusan tahun di dalam menu makan harian sebagian orang Indonesia. Inilah makanan asli Nusantara yang menjadi wakil di dunia. T. Tjahjo Widyasmoro Editor Intisari 9 OKTOBER 2022


Bagi Soekarno, tempe jelas tidak buruk. Justru tempe adalah salah satu makanan favoritnya, seperti ditulis dalam Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Fakta ini juga disinggung dalam Hariyatie-Soekarno: The Hidden Story: Hari Hari Bersama Bung Karno, 1963 1967. Istri keenam Soekarno itu bahkan secara spesifik menyebut tempe kesukaan suaminya adalah tempe bacem. “Kita bangsa besar, kita bukan “bangsa tempe”, kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak...” Begitulah kata-kata menggelegar dari Soekarno, presiden pertama RI, dalam pidatonya pada acara peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1963 di Jakarta. “Genta Suara Revolusi Indonesia”, begitu judulnya, kemudian menjadi salah satu pidato yang begitu terkenal. Bukan hanya karena Soekarno mencoba memompakan semangat nasionalisme Indonesia di tengah gejolak politik dunia. Namun seperti halnya dalam pidato-pidato lainnya, Soekarno meninggalkan beberapa ungkapan yang populer. Salah satu ungkapan yang masih sering dikenang adalah saat Soekarno menyebut agar bangsa kita tidak menjadi “bangsa tempe”. Jangan “bermental tempe”. Tidak tanggung-tanggung, nama makanan dari fermentasi kedelai itu disebut sampai tujuh kali selama pidato di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta itu. Jika kita mau memahami konteksnya, Soekarno agaknya mengartikan tempe sebagai sesuatu yang lemah dan loyo. Paling tidak begitu interpretasi Heri Priyatmoko, dosen sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. “Bukan berarti tempe itu buruk, tapi diidentikkan dengan tempe itu lembek,” ucap Heri seperti dikutip dari CNNIndonesia. com (5/1/2021). Bagi Soekarno, tempe jelas tidak buruk. Justru tempe adalah salah satu makanan favoritnya, seperti ditulis dalam Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Fakta ini juga disinggung dalam HariyatieSOROTAN 10 OKTOBER 2022


FOTO-FOTO: ARSIP DAN KOLEKSI DARI @TEMPE_BAIK Kedelai kuning yang biasa dijadikan sebagai bahan baku tempe awalnya dibawa oleh para perantau Tionghoa untuk dijadikan tahu Soekarno: The Hidden Story: Hari Hari Bersama Bung Karno, 1963 1967. Istri keenam Soekarno itu bahkan secara spesifik menyebut tempe kesukaan suaminya adalah tempe bacem. Dari limbah tahu Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jawa, tentu sangat mungkin tempe menjadi makanan yang sudah diakrabi Soekarno sejak belia. Jejak historis menjelaskan, tempe sudah menjadi salah satu menu harian masyarakat Pulau Jawa sejak abad ke-16, bahkan mungkin lebih awal lagi. Dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia, Mary Astuti menulis, tanaman kedelai (sebagai bahan baku tempe) setidaknya sudah disinggung dalam legenda Sri Tanjung yang ditulis pada abad ke13. Sementara kedelai dan tempe secara khusus ada dalam Serat Centhini yang dibuat pada 1814 oleh Pakubuwana V. Dalam Serat Centhini jilid ketiga, digambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang. Ia mampir di dusun Tembayat di wilayah Kabupaten 11 OKTOBER 2022


TEMPE SANAN, TEMPE YANG MENGHIDUPI Bukan cuma menjadi makanan rakyat, tempe juga terbukti dapat menghidupkan perekonomian rakyat bahkan sejak lebih dari 100 tahun silam. Inilah yang terjadi di Kampung Sanan, Malang, Jawa Timur. Sejak awal abad ke-20, kampung ini dikenal sebagai tempat para pengrajin tempe Sanan atau tempe Malang. Sejarah tempe Sanan berawal dari Mbah Buyut Chabibah yang pada abad ke-19 mengawali usaha produksi tempe. Keahlian ini rupanya diikuti para tetangga dan turun temurun, hingga kini lebih dari 95 persen penghuni Kampung Sanan hidup dari usaha tempe. Jumlahnya saat ini diperkirakan sekitar 2.000 KK yang terdiri atas 500 UMKM. Tempe Sanan semakin dikenal luas setelah tahun 1970-an produk warga berkembang menjadi camilan keripik tempe. Tempe yang dipotong tipis-tipis ini populer sebagai camilan serta buah tangan para wisatawan yang berkunjung ke Malang. Produk tempe dari Sanan terus berkembang, bahkan sebelum Pandemi Covid-19 total jumlah kedelai yang diolah sudah mencapai 40 ton per hari dengan perputaran uang mencapai hampir Rp1 milyar per hari. Keberadaan tempe Sanan Para pembuat tempe dari Kampung Sanan di Malang. Sudah lebih dari 100 tahun menghidupi warga setempat. SOROTAN 12 OKTOBER 2022


Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan …”. Sambal lethok adalah masakan berbahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut. Bahkan pada jilid 12, kedelai dan tempe disebut bersamaan: “… kadhele tempe srundengan…” Menyelisik keberadaan tempe, jelas tidak akan lepas dari bahan baku utamanya yang paling lazim dikenal orang yaitu kacang kedelai. Hanya saja karena tanaman bernama Latin phaseolus niger itu bukan asli Nusantara, para ahli berbeda pandangan tentang awal mula pembudidayaannya. Kedelai sendiri sudah dikenal di Asia Timur sejak 3.500 tahun lalu. Hanya saja tidak disebutkan jenisnya kedelai hitam atau kuning. Meski mengetahui asal-muasal kedelai adalah Tiongkok, Mary tidak melihat catatan tentang perdagangan komoditas itu di Jawa. Artinya, kedelai yang dipakai pada pembuatan tempe generasi awal adalah kedelai hitam. Kata dele sendiri dalam bahasa Jawa zaman dulu artinya hitam. “Ada kemungkinan kedelai hitam sudah ada di Jawa sebelum orang Hindu datang dan kemungkinan dibawa orang Tamil,” tulis Mary yang pernah mengajar di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. WARGA inilah yang membuat tim Character Building Universitas Bina Nusantara Kampus Malang sedang mengupayakan agar Kampung Sanan tercatat dalam Warisan Budaya Tak Benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Tempe Sanan diusulkan bersama beberapa peninggalan budaya lain dari Malang yaitu keramik Dinoyo, camilan ladu, tradisi jabutan opak, gendhing dayangan, dan ritual metri banyu. Tim dari Binus Malang bekerja sejak awal 2022 untuk mendokumentasikan peninggalanpeninggalan budaya tersebut dalam bentuk video, foto, serta makalah. “Syarat pengajuan ke Kemendibud adalah tiga hal itu. Saat ini kami sedang dalam tahap penyusunan makalah,” terang Yuventia Prisca, koordinator dari tim yang beranggotakan 4 dosen dan 24 mahasiswa. Salah satu temuan menarik dari tim di Kampung Sanan adalah pengelolaan limbah dari para pengrajin tempe. Limbah kulit ari kedelai bisa diolah menjadi tepung untuk campuran pembuatan kue brownies. Sedangkan limbah air dari pencucian kedelai dimanfaatkan untuk keperluan ternak sapi. Limbah kotoran ternak juga dimanfaatkan untuk biogas yang membantu produksi tempe. 13 OKTOBER 2022 Menempe yang Tidak Melulu Pakai Kedelai


FOTO: KOLEKSI PRIBADI WIDA WINARNO Perlu dipahami juga, tempe sebenarnya tidak harus dibuat dari kedelai kuning yang baru belakangan datang atau sekitar abad ke-17. Kedelai hitam yang sudah ada Jawa sebelumnya, kalau sudah direndam dan dikupas, warnanya akan kuning juga. Warna hitam itu sebenarnya cuma kulit ari saja. Ong Hok Ham dalam “Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia,” Kompas, 1 Januari 2000 melontarkan hipotesis menarik yang mengaitkan tempe dengan keberadaan tahu hasil produksi orang-orang Tionghoa. Tahu yang berbahan kedelai kuning dibawa merantau para Hoakiau ke Jawa sejak abad ke-17. Dari limbah kedelai itulah dihasilkan pula tempe. Ong berpendapat, seni memasak ini sesungguhnya tidak terpisahkan dari kondisi kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan kala itu. Akibat kenaikan jumlah penduduk, maka pada abad ke-19 menu hewani akhirnya berubah menjadi tempe. Selain itu, masih penuturan Ong, meluasnya perkebunan kolonial membuat wilayah hutan menciut dan membuat para petani sebagai kulinya, mengurangi berburu, beternak maupun memancing. Dampaknya, menu makanan orang Jawa akhirnya tanpa daging. Diperparah lagi adanya Tanam Paksa yang makin membuat bahan makanan seperti tempe menjadi sangat vital sebagai penyelamat kesehatan penduduk. Asli Jawa Sebagai pakar yang menggeluti tempe selama 10 tahun, Wida Winarno, tidak sependapat jika tempe dikatakan berasal dari limbah tahu. Sebab sari kedelai dalam limbah tahu sudah diambil untuk dikoagulasi dan kacangnya juga sudah hancur. Beda dengan tempe yang kedelainya masih utuh. Wida Winarno SOROTAN 14 OKTOBER 2022


Tempe kedelai hitam. Pada awalnya pembuatan tempe diduga menggunakan kedelai hitam yang sudah dibudidayakan lebih awal di Jawa. Kedelai ini diperkirakan dibawa oleh para pedagang Tamil. Wida menduga, pendapat semacam itu berasal dari keberadaan tempe gembus yang berasal dari limbah tahu. Sama halnya dengan tempe gembus dari limbah kacang tanah atau tempe bongkrek dari limbah kelapa yang kini sudah tidak populer karena beracun. Perlu dipahami juga, tempe sebenarnya tidak harus dibuat dari kedelai kuning yang baru belakangan datang atau sekitar abad ke-17. Kedelai hitam yang sudah ada Jawa sebelumnya, kalau sudah direndam dan dikupas, warnanya akan kuning juga. Warna hitam itu sebenarnya cuma kulit ari saja. “Kecuali kalau cucinya tidak terlalu bersih dan kulit ari disertakan, baru akan terlihat kurang cerah,” tutur salah satu pendiri Indonesian Tempe Movement, yaitu suatu gerakan untuk memperkenalkan tempe secara lebih luas ini. Dalam menu keseharian kita hari ini antara tempe dan tahu keberadaannya kerap disandingkan karena kesamaan bahan baku. 15 OKTOBER 2022


Tempe eksperimen dari berbagai kacang-kacangan seperti kacang kedelai, kacang tanah, kedelai hitam, kacang koro, kacang ijo Padahal kalau mau dilihat sejarahnya, asal muasal keduanya sangat berbeda. Jika tahu jelas-jelas dibawa oleh imigran Tiongkok, Wida hakulyakin kalau tempe memang asli warisan nenek moyang kita, terutama di Jawa. Sejauh ini bukti keberadaan tempe di masa lalu memang selalu merujuk kepada Serat Centhini yang mencatat kehidupan masyarakat Jawa sekitar abad 16. Artinya selama sekitar 200 tahun sampai akhirnya karya sastra klasik Jawa itu diterbitkan (tahun 1814), tempe sudah menjadi makanan seharihari. Sampai hari ini Wida belum menemukan literatur lain yang mencatat lebih awal dari Centhini. Dari catatan di Centhini itu juga Wida bisa menolak anggapan kalau tempe identik dengan makanan masyarakat kelas bawah. Terbukti dalam cerita di Centhini, tempe disajikan kepada bangsawan yang bertamu. Sementara dalam tradisi di Jawa, tuan rumah selalu berusaha menyuguhkan yang terbaik untuk tetamunya. Tempe begitu populer di kalangan rakyat, karena dalam pemahaman Wida, pada masa kolonial, kaum pribumi umumnya jarang mengonsumsi daging SOROTAN 16 OKTOBER 2022


hewan seperti sapi. Munculnya peternakan-peternakan sapi di kemudian hari tentu berhubungan dengan pola makan orang Eropa kala itu. Nah, dari situlah akhirnya muncul pula anggapan sebagian orang bahwa makan daging lebih bergengsi. Sementara tempe jadi makanan rakyat yang dianggap lebih murah dan sederhana. Padahal faktanya tidak selalu hitam-putih. Tempe mampu terus bertahan karena cara pengolahannya yang gampang. Gampang dibumbui karena sifatnya yang berongga. Sementara di masa lalu daging relatif susah mengolahnya, terutama karena alot. Secara gizi, keberadaan tempe juga lebih menguntungkan karena mampu memenuhi kebutuhan protein masyarakat kala itu. “Malah tidak berlebihan kalau dikatakan nilai protein tempe ini justru bisa melebihi daging,” tutur Wida yang selalu mengacu pada jurnal-jurnal ilmiah jika berbicara tentang tempe. Jadi kata kerja Muncul di Pulau Jawa dan berabad-abad menjadi menu harian, membuat tempe kedelai seolah menjadi identik dengan budaya kuliner suku Jawa. Pada akhirnya makanan rakyat ini memang menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, namun awalnya tetap mengikuti populasi orang Jawa setempat. Resep-resep masakan berbahan tempe juga kebanyakan masih resep yang berasal dari Jawa. Menariknya, bukan hanya tersebar, proses fermentasi dari jamur Rhyzopus oligosporus terhadap kacang-kacangan ini juga terus berkembang. Tempe tidak hanya sebatas terbuat dari kacang kedelai. Puluhan jenis kacangkacangan lain juga layak dan enak ditempekan. Sebut saja misalnya kacang hijau, kacang tanah, kacang koro pedang, kacang almond, kacang tolo, kacang edamame, dll. Perkembangan inilah akhirnya membuat orang paham, pada prinsipnya kacang-kacangan apapun bisa di-tempe-kan tergantung ketersediaannya di daerah setempat. Soalnya adalah tinggal bagaimana kacang tersebut bisa disukai ragi. “Karena tempe itu pada intinya adalah ‘beternak’ ragi atau jamur. Jadi kita makan kacangnya sekaligus badan dari ragi itu,” tutur Wida yang menginisiasi Indonesian Tempe Movement pada 2015 bersama ayahnya (Prof. F.G. Winarno) dan putranya (Dr. Amadeus Driando Ahnan). Kenyataan ini pula yang membuat Indonesia Tempe Movement berpandangan bahwa tempe bukan lagi kata benda, melainkan kata kerja (menempe) yakni proses membuat tempe Menempe yang Tidak Melulu Pakai Kedelai 17 OKTOBER 2022


Tempe dari kacang almond, salah satu alternatif tempe yang cukup populer dari berbagai bahan. Wida sendiri sampai tidak bisa mengingat berapa pastinya kacang-kacangan yang sudah berhasil ditempekan. Bukan saja dari Indonesia, tapi juga dari luar negeri. Beberapa waktu lalu misalnya, Wida mendapat tantangan untuk menempekan beberapa kacangkacangan dari Ekuador yang dibawa seorang pembuat tempe dari negara itu. Beruntung kacangkacangan itu adalah jenis kacang yang lazim dikonsumsi, sehingga semua berhasil ditempekan. Dengan kekayaan biodiversitasnya, Indonesia tentu punya banyak potensi kacang-kacangan. Sayangnya belum “ditaklukkan”. Perlu pengujian lebih lanjut agar sukses ditempekan. Maklum, beda bahan beda pula metodenya, mengingat proses penempean sangat tergantung pada kadar air, keasaman, temperatur, suhu, atau oksigen. Tempe juga terbukti bisa menjadi solusi kelangkaan sumber protein suatu daerah. Contoh di suatu wilayah di Maluku, ada waktu-waktu tertentu di mana nelayan tidak bisa melaut lantaran kendala cuaca. Kebutuhan protein masyarakat bisa dipenuhi dari tempe kacang merah dan kedelai lokal yang banyak di daerah setempat. “Kacang merah itu besar, tidak punya kulit ari, tapi mudah menyerap air dan blenyek. Jadi kadar air harus dikurangi. SOROTAN 18 OKTOBER 2022


Mutiara Kata “Dua jalan bercabang di hutan, dan aku mengambil jalan yang jarang dilalui, dan itu membuat semua perbedaan” –Robert Frost, Sastrawan Amerika Serikat (1874-1963) Rebusnya jangan lama-lama,” tutur Wida mencontohkan salah satu upaya Indonesian Tempe Movement memberi nilai tambah pada kacang-kacangan lokal. Lebih enak tangan suami Keyakinan bahwa tempe adalah makanan asli Indonesia menurut Wida juga bisa terbukti dari tidak adanya makanan fermentasi lain di dunia yang prosesnya mirip tempe. Orang mungkin akan mengatakan natto, makanan fermentasi kedelai asal Jepang yang biasa untuk sarapan. “Tapi natto itu starternya berbeda,” jelas Wida. Sudah dimulai sejak 1895 sejak artikel yang ditulis oleh H.C. Prinsen Geerligs, ahli kimia berkebangsaan Belanda di Jawa, berbagai penelitian tentang tempe terus dilakukan sampai hari ini di berbagai tempat di dunia. Banyak yang bisa diteliti, seperti misalnya perbedaan kacang-kacangan dengan manfaat kesehatannya. Bisa pula tentang cara mempercepat proses fermentasinya. Atau dari sisi produk lanjutannya seperti diekstrak antioksidannya, minyak tempe, atau untuk keperluan kecantikan. Di luar dari penelitian yang sifatnya ilmiah, Wida justru merasakan bahwa mengolah tempe mirip seperti sebuah seni tersendiri. Bisa jadi karena dalam proses penempean, kita sebenarnya sedang bekerja bersama mikroorganisme yang hidup. Proses penempean bisa saja gagal jika air untuk merendam ternyata tidak cocok, ada gangguan bahan-bahan kimia tertentu di sekitar, bahkan jika ruangan yang ternyata terlalu steril. Sensitif sekali. “Tempe yang coba dibuat di laboratorium sering gagal, karena terlalu steril,” ungkap Wida. Faktor terakhir yang mungkin sulit dijelaskan, menurut Wida, ternyata faktor tangan si pembuat bisa berpengaruh. Contohnya, tempe buatan tangan suaminya lebih terasa enak dibanding hasil olahan Wida sendiri. “Rasa enak itu kan karena asam amino yang tersusun. Asalnya dari mana? Apa karena faktor keringat dari tangan si pembuatnya?” Wida sendiri hanya bisa menduga-duga. Menempe yang Tidak Melulu Pakai Kedelai 19 OKTOBER 2022


1815 Referensi paling awal tentang tempe ditemukan di naskah Serat Centhini. Kisah dalam naskah terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) jadi mungkin tempe sudah ada di Jawa awal 1600-an. 1875 Referensi tempe paling awal yang diketahui oleh orang Eropa muncul di Javaansch-Nederduitsch Handwoordenboek, oleh J.F.C. Gericke dan T. Roorda. 1895 dan 1896 Dua artikel yang ditulis H.C. Prinsen Geerligs (warga Belanda yang tinggal di Jawa) mengawali era penelitian ilmiah tentang tempe oleh ahli mikrobiologi Eropa dan para ilmuwan makanan. Artikel inilah yang pertama kali mengeja kata tempeh. 1900 Dr. P.A. Boorsma, warga Belanda di Jawa, melakukan tes laboratorium dan menerbitkan detail tentang proses tradisional Indonesia untuk membuat tempe kedelai. Desember 1946 Gerold Stahel, direktur Stasiun Percobaan Pertanian di Paramaribo, Suriname,menulis artikel tempe berbahasa Inggris pertama kali. Artikel ini sekaligus yang paling awal diterbitkan di Amerika Serikat melalui Journal of the New York Botanical Garden. 1944 Dr. Masahiro Nakano, murid dari Nakazawa, memperkenalkan tempe ke Jepang. Dia juga menulis banyak artikel. INFOGRAFIS 20 OKTOBER 2022


1902 Resep tempe paling awal yang dikenal di Barat terbit dalam buku masak berbahasa Belanda Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek oleh Johanna Catenius van der Meidjen. 1912 Dr. Ryoji Nakazawa, ahli mikrobiologi, orang Jepang pertama yang mempelajari tempe di Taiwan. Sampel tempe dan oncom dibawa dari Asia Tenggara. Baru pada 1926 ia sempat ke Jawa dan Sumatra untuk mengumpulkan 22 sampel tempe kedelai dan oncom. KIPRAH TEMPE DI PENTAS DUNIA 1931 Informasi bahasa Inggris pertama tentang tempe muncul di Vagetables of the Dutch East Indies, oleh J.J. Ochse (hal. 391). Proses pembuatannya digambarkan detail dan dikatakan jamur yang digunakan adalah Aspergillus oryzae. April 1946 Perusahaan pembuat tempe pertama di Eropa yakni Eerste Nederlandse Tempe Industrie (ENTI), didirikan pasangan asal Belanda dengan nama belakang Wedding. Namun informasinya tidak terlalu jelas. SUMBER: HISTORY OF TEMPEH AND TEMPEH PRODUCTS, SOYINFO CENTER 2022 Kiprah Tempe di Pentas Dunia 21 OKTOBER 2022


Agustus 1980 Island Spring (di Vashon, Washington) memperkenalkan “Burger Tempe” komersial pertama di dunia. Juni 1979 Farm Foods (di Lanark, Ontario, Kanada) mulai membuat dan menjual tempe. Pembuatnya, Susan dan Alan Brown yang belajar dari The Farm di Summertown, Tennessee. 1950 Van Veen dan Schaefer adalah orang pertama yang mengeja kata “tempe” dalam artikel berbahasa Inggris. Sengaja ditambahkan huruf “h” untuk mencegah kata diucapkan “temp.” 1958 Penelitian ilmiah tentang tempe di Amerika Serikat dimulai oleh Bwee Hwa YAP dari Indonesia yang bekerja dengan Dr. Keith H. Steinkraus, ahli mikrobiologi terkemuka di Cornell University, New York. INFOGRAFIS 22 OKTOBER 2022


Awal 1979 Setidaknya ada 13 toko tempe komersial di Amerika Serikat, 1 di Kanada, dan 4 di Eropa (semuanya di Belanda) (Shurtleff & Aoyagi 1979, hlm. 148-149) 1969 Juni Wang, Ruttle dan Hesseltine pertama kali menemukan senyawa antibakteri dalam tempe yang dibuat dari kultur jamur. 1961 Toko tempe pertama di Amerika Utara, Joy of Java Tempe, dibuka oleh Mary Otten di Albany California. Toko lain menyusul di Los Angeles pada 1962. Mei 1964 Penggunaan kantong dan tabung plastik berlubang untuk wadah fermentasi tempe pertama kali diperkenalkan Martinelli dan Hesseltine dalam sebuah artikel di jurnal Food Technology. Ide ini kemudian berkembang di para pembuat tempe tradisional di Jawa. Kiprah Tempe di Pentas Dunia 23 OKTOBER 2022


Cita Rasa Segala Strata dan Masa Pecel, FOTO: KITLV; PEWARNA: MAHA SULTHAN SOROTAN 24 OKTOBER 2022


Dalam tradisi kuliner Nusantara sepertinya tidak mengenal ketat perbedaan selera elite dengan rakyat biasa dan tidak ada pula perbedaan signifikan waktu untuk memakan atau meminum sesuatu. Ini terlihat makanan yang disukai oleh raja juga makanan yang disukai oleh rakyat jelata lihat saja rawon, lelawar, hingga pecel. Ary Budiyanto Peneliti dan pencicip makanan. Antropologi UB Malang. 25 OKTOBER 2022


Walaupun begitu mekanisme Faucaultian ini tak sepenuhnya ada disadari dalam diri masyarakat kolonial semuanya. Ini dikarenakan intensi mereka belajar mengkonsumsi budaya Tuan Kolonialnya bisa saja karena urusan yang biasa pula yakni ekplorasi selera. P ada zaman Jawa Kuno ada bahan makanan yang hanya boleh disajikan dan dimakan untuk Raja yakni Rajamangsa. Namun ini hanya merujuk pada hidangan yang diolah dari bahan khusus dan belum ada bukti teks larangan untuk mengonsumsi hidangan ala Rajamangsa ini. Sehingga lebih patut ditafsir sebagai hidangan yang dimasak dan memakai bahan khusus yang menjadi kegemaran Raja, Rajamangsa. Resep Kraton Yogyakarta, Kraton Cirebon, dan bahkan resep Kartini bersaudara di masa kolonial pun tampak tak ada bedanya makanan di lingkungan priyayi dan rakyat biasa. Meski tampak jelas bahwa kaum priyayi masa kolonial memang memandang lebih citarasa Eropa. Suatu hal yang wajar dalam mentalitas kolonial bangsa yang menginginkan kesamaan derajat dengan cara mengkonsumsi kebudayaan patronnya, terutama gaya hidup dan apa yang dimakannya. Dalam bahasa Homi Bhabha masyarakat kolonial akan selalu berkomunikasi untuk kesetaraan dalam the act of mimicry. Sebagaimana dia berkomentar tentang kondisi dirinya yang seorang Parsi di tengah-tengah Hindu dan Islam serta bayangan Kolonial Inggris di India tempat dia tinggal, bahwa (indentitas budaya) orang Parsi adalah “their sense of a negotiated cultural identity.” Makananpun jika ditinjau di bawah aras kesadaran pelaku sejarah kolonial ini tentu saja adalah medan perebutan politik identitas rasial yang nyata sebagaimana Protschky (2008) dan Ann Laura Stoler (1995) tunjukkan. Walaupun begitu mekanisme Faucaultian ini (yakni ada kesadaran akan peniruan untuk pengakuan pihak liyan baik mimicry atau dengan mockery) tak sepenuhnya ada disadari dalam diri masyarakat kolonial semuanya. Ini dikarenakan intensi ( jw. karep/keinginan) mereka belajar mengkonsumsi budaya Tuan Kolonialnya bisa saja karena urusan yang biasa pula yakni ekplorasi selera. Selain itu ada juga survival SOROTAN 26 OKTOBER 2022


FOTO: SAJIAN SEDAP Pecel Madiun, bisa dikatakan sebagai pecel dengan toping yang amat lengkap, terutama dari protein hewani. knowledge untuk bertahan hidup dengan menguasai keterampilan memasak ini agar bisa bekerja di rumah tangga para juragan di masa itu. Tidak ada pretensi yang sangat politis sebagaimana pengamat poskolonial masa kini seperti tulisan Protschky (2008) dan Ann Laura Stoler (1995). Atas dasar itulah kenapa Kartini dan saudaranya mengenalkan keterampilan hidup di zamannya buat para wanita baik dari kalangan priyayi kecil maupun rakyat biasa. Selain itu fenomena terbitnya buku-buku seri masakan (dan buku “how to” yang populer lainnya) yang beredar berkat penerbit semacam Tan Koen Swie Kediri dan lainnya memberikan gambaran bahwa hal itu jauh dari kecendurungan penguasaan nalar kolonialis pada koloninya. Karena di pengantar bukubuku populer ini ada kata-kata agar pembaca bisa mengambil peluang menambah penghasilan dan menciptakan kerja dari keterampilan memasak ini, 27 OKTOBER 2022


Salah satu pedagang beraneka macam makanan di Batavia FOTO: KITLV; PEWARNA: MAHA SULTHAN khususnya untuk para kaum putri. Selain tentu saja menjadikan suami senang dan bangga. Hanya saja memang bagi para politisi dan penguasa yang pandai memanipulasi “keadaaan alamiah” ini menjadi komoditas politis mereka menjadikan situasi yang biasa-biasa saja ini menjadi tidak lagi biasa. Simak saja penelitian Wulandari “Pecel, A Political Communication Semiotic Analysis of Javanese Traditional Food As a Dish for Indonesian Politicians”(2020) bagaimana pecel dipolitisasi untuk agenda kepentingan politik penguasaan mereka atas subjeknya dengan memainkan makna-makna simbolis yang sudah ada dan kemudian memanipulasinya. Wulandari melihat sejak Sukarno dan terutama di masa pemilu presiden 2014 dan 2019 para politisi memberikan makna politis pada hidangan ini. Para politisi itu menikmati pecel sayur di beberapa tempat di Jawa dalam kampanyenya mencitrakan kedekatan mereka pada rakyat melalui hidangan sejuta umat yang murah meriah serta menyehatkan. Meskipun sebenarnya pecel tidak lagi semurah di kampung dan desa bila kita nikmati di kota. Tidak ada penerus Sebagai makanan biasa, pecel sayur ini pada mulanya tak ada nilai SOROTAN 28 OKTOBER 2022


Meski kontraproduktif karena kandungan lemak di gorengan dan jerohan yang nikmat ini menjadi ancaman yang menggoda bagi mereka yang kolestrol tinggi. Penyajian pecel yang paling kuno dengan pincuk dari daun pisang kluthuk atau pun daun jati hingga sekarang masih menjadi penyajian yang paling nikmat. spesifik secara kultural maupun medik dalam menikmatinya. Makan pecel adalah tindakan menikmati sajian pecel dengan puas dan nikmat. Baru pada masa modern setelah kesadaran akan gizi dan vitamin hingga jargon mengandung serat alami yang penuh vitamin diwacanakan, maka kuliner pecel menjadi salah satu primadona ikon ambasador kuliner hijauan kaya serat dengan nutrisi papan atas yang murah meriah. Itu pun dengan catatan bila kita menikmati pecelnya bukan ala pecel Madiun dengan berbagai toping menggodanya. Sebab, di warung pecel ala Madiun dari sejak penulis kecil hingga kini pecel sayurnya masih hadir bersamasama dengan komplet lauk protein seperti tampilan hidangan pecel Jawa kuno. Lelaukan toping nasi pecel di penjaja kota lainnya tidaklah sekomplet Madiun. Namun, kini semua pecel yang sudah mapan di tempat, semi atau permanen, sudah menyajikan beragam lauk. Ini barangkali masalah space jualan yang dulu saat masih keliling digendong ruang display lauk sangatlah terbatas atau tingkat ekonomi daerahnya. Meskipun dengan catatan bahwa pecel Madiun yang dijajakan keliling sejak dari dulu konsisten dengan ragam lauk jerohannya. Protein hewaninya semacam empal, jerohan (babat, iso, paru, koyor), cingur, didih, dan satesatean telur puyuh dan usus ayam yang menggoda selera. Meski kontraproduktif karena kandungan lemak di gorengan dan jerohan yang nikmat ini menjadi ancaman yang menggoda bagi mereka yang kolestrol tinggi. Penyajian pecel yang paling kuno dengan pincuk dari daun pisang kluthuk atau pun daun jati hingga sekarang masih menjadi penyajian yang paling nikmat. Dari Centhini (selesai 1814) pecel sudah tersebar di hampir seluruh pulau Jawa dalam artian menu pecel ayamnya dan pecel sayurnya. Kini bisa dipastikan bahwa pecel 29 OKTOBER 2022 Pecel, Cita Rasa Segala Strata dan Masa


sayur ini telah tersebar di mana ada etnis Jawa Tengahan dan Timuran berada. Persebaran suatu resep dan cita rasa kuliner yang paling efektif biasanya mengikuti mobilitas dan perpindahan penduduk bisa dikarenakan perang dan bencana alam (gunung meletus, paceklik, banjir, dsb), masa ekonomi yang sulit sehingga ganti usaha di tempat asal maupun wilayah baru misal pada masa Malaise 1920 (lihat Boomgaard & Brown, 2000); disusul pada masa ekonomi sulit 1950an; masa sulit setelah G-30- S-PKI 1965; dan krismon 1998 telah mencatat adanya fenomena ramainya ekonomi informal berbasis kuliner ini yang tumbuh di perkotaan. Dari wawancara beberapa warung makan legendaris di Kudus, Surabaya, Madiun, Jakarta, dan Malang menunjukkan mereka eksis di sekitar tahunan yang sama yakni di zaman Jepang 1940-an, Orla 1950-an, dan setelah 1960-an (masuk ke Orba). Nenek Penulis juga pernah usaha warung makan di masa Jepang di Kudus namun tak ada yang meneruskan. Ada adagium klasik generasi para penjaja makanan sebelum reformasi dan booming kesuksesan dunia kuliner semenjak munculnya acara kulineran yang diusung oleh Bondan Winarno di RCTI tahun 90-an. Adagium itu adalah untuk anak-anak yang sejatinya akan menjadi penerus bisnis dan menjaga warisan resep-resep sajian mereka. Bunyi adagium itu adalah: “Wis le/nduk sekolaho sing duwur, golek kerjo sing mapan, dadi PNS ajo koyo mbah lan bapa ibu mu, rekoso.” Artinya “Sudahlah anakanaku sekolahlah yang tinggi, cari kerja yang mapan, jadi PNS, jangan seperti simbah dan bapak-ibumu, berat hidupnya (sebagai penjual makanan)”. Sehingga tak heran para penjual jalanan dan warungan ini sering kali tidak ada penerusnya, resep itu pun hilang atau pindah tangan ke para pekerja yang dulu ikut sang penjual. Resep ini pun sering kali tidak lagi “otentik” dikarenakan mereka belajar dari meniru bukan dari pengajaran langsung. Jadi dengan situasi khasanah kuliner di masyarakat seperti ini, maka hanya menunggu seleksi alam sajalah warung-warung yang tumbuh ini akan menjadi bermutasi, menjadi legenda, atau punah. Bukan resep asli Peperangan di mana pasukan dan para disersi yang memiliki mobilitas tinggi ini kemudian tersebar ke berbagai daerah, baik nantinya menetap ataupun kembali ke daerah asal. Mereka inilah yang juga membawa selera dan cita rasa mereka. SOROTAN 30 OKTOBER 2022


FOTO: KITLV; PEWARNA: MAHA SULTHAN Menjemur kacang tanah di pekarangan rumah. Foto diambil tahun 1920-1930-an Perang Diponegoro (1825- 1830) ataupun perang Revolusi zaman kemerdekaan 1945-1949, yang membuat para penduduk terdampak ikut pindah dan menetap ke daerah baru atau hanya mengungsi sementara ikut membawa pula tersebarnya kuliner-kuliner semacam pecel ini. Mereka pulalah yang kemudian hari mengubah tampilan dan citarasa masakan asal mereka karena harus beradaptasi dengan ketersediaan bahan baku dan selera lokalnya masing-masing. Masa perang dan ekonomi sulit inilah yang mempengaruhi bahan baku naik terutama gula merah dan kacang tanahnya yang membuat penjaja berkreasi menambah ketela atau ubi atau kentang atau campuran salah satu atau duanya untuk membuat sambel pecelnya ini. Racikan bumbu pecel yang bertahan lalu menjadi genre bumbu pecel yang khas lokal. Selain peperangan, di masa tenang dan pembangunan, kemajuan teknologi transportasi yang semakin mudah dan murah pun membuat mobilitas para penjaja makanan ini terdifusi 31 OKTOBER 2022


Pecel lele masakan yang umumnya dijual oleh perantauan asal Pekalongan. Memiliki penggemar sendiri terutama di tingkat kaki lima. FOTO: SAJIAN SEDAP dan berevolusi. Selain itu berbagai resep dan hidangan berbagai etnis dari dan wilayah satu ke wilayah lain ini terdifusi pula melalui buku-buku resep yang marak dibuat oleh para penulis resep makanan yang dicetak dan diterbitkan di tiap zaman. Bahkan para penulis resep inilah yang sebenarnya membuat resep-resep baru atas nama hidangan lama ataupun lokal. Resep-resep itu muncul dikarenakan apa yang mereka tulis dalam buku-buku mereka ini sering kali adalah usaha meniru cita rasa yang mereka cicip dalam ingatan lidah mereka. Bukan resep ‘asli’ dari hidangan yang mereka cicip di suatu tempat makan, karena resep itu adalah “rahasia perusahaan”. Jadi, resep-resep dalam buku resep yang diperjualbelikan itu adalah resep replika, yang mencoba mencapai rasa yang mirip dengan memori cecapan mereka. Namun demikian, dalam dunia kuliner, resep-resep tersebut sama sahnya dengan resep “aslinya”, apalagi bila resep hidangan itu menjadi terkenal. Sepertinya hanya bumbu pecel Madiun yang sebagian besar bumbunya tidak memakai terasi dan kencur serta dimasak khas dengan menyangrai bumbu utamanya yakni cabe rawit, daun jeruk, dan bawang putih (?) di atas cobek tanah. Lalu kacang tanahnya oleh sebagaian besar penjual pecel SOROTAN 32 OKTOBER 2022


Madiun ini dikupas terlebih dahulu kulit arinya lalu disangrai (kini tak jarang ada yang digoreng atau bahkan dioven). Semua bahan itu lalu ditumbuk dengan garam, gula merah, dan asam jawa. Hingga pada tahuntahun 90-an akhir, cita rasa bumbu pecel Madiun pada mulanya cenderung pedas dan gurih (asin) kini pun tak jarang yang bercita rasa lebih manis dan tidak terlalu pedas atau malah pedas banget. Namun demikian bumbu pecel madiun masih konsisten dengan tekstur yang masir tidak terlalu berminyak. Sementara itu, umumnya bumbu pecel ala Jawa Timuran dan Tengahan lainnya, kacang tanahnya digoreng dengan kulit arinya lalu bumbu-bumbu penyedap lainnya praktis digoreng semua (bawang putih, terasi, dan cabe). Setelah bumbu ditumbuk halus, maka dicampurkan dan ditumbuk lagi bersama kacang goreng yang telah ditumbuk bersama gula merah, garam, dan asam jawa hingga menemukan rasanya yang pas selera sang pembuat. Persentase campuran bumbu, gula merah, garam, dan kacang menjadi pembeda cita rasa bumbubumbu pecel ini. Itulah makanya bumbu pecel madiun tampak lebih “cerah” dan tidak begitu berminyak dibanding dengan bumbu pecel lainnya yang berminyak dan berwana gelap karena gorengan kacang dengan kulit arinya. Walaupun, gelap tidaknya juga kadang karena penggunaan jenis dan kematangan gula merahnya. Beberapa inovasi untuk mempergurih bumbu pecel ini kadang juga dicampur dengan biji mete selain yang umum menggunakan kemiri, wijen, ataupun biji-bjian gurih lainnya yang ada di sekitar. Menikmati sajian satu pincuk pecel ini menurut ahli gizi memiliki kandungan energi sebesar 243 kilokalori, protein 11,14 gram, karbohidrat 31,72 gram, lemak 12,53 gram, kalsium 267 miligram, fosfor 333 miligram, dan zat besi 3,54 miligram. Selain itu di dalam pecel juga terkandung vitamin A sebanyak 10.978 IU, vitamin B1 0,28 miligram dan vitamin C 212 miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram pecel, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 % (godam64, 2012). Jual dua menu Kini secara umum hanya dua macam pecel yang diketahui yakni pecel sayur dan pecel lele. Pecel ayam masih tersisa di pojokpojok desa yang masih memiliki adat ritual selamatan ala Jawa. Sementara kuluban, urapan, trancam, bersama tumpang dan lotek telah menjadi spesies Pecel, Cita Rasa Segala Strata dan Masa 33 OKTOBER 2022


tersendiri terpisahkan dengan pepecelan ala pecel ayam Jawa Kuno dan juga dengan rerujakan dan lelawaran. Saat ini, pecel sayur dan pecel lele telah menjadi dominan dan menjadi entitas tersendiri. Pecel lele dan pecel sayur masih memiliki makna hidangan yang disajikan dengan disiram sambel hanya saja bumbunya berbeda, pecel sayur dengan sambel kacang tanah dan pecel lele dengan sambel bawangcabe-tomat ala sambal bajak. Kedua pecel ini jelas berbeda dengan pecel ayam maupun pecel lele jadul ala keraton dan pecak betawi yang dominan santan atau kelapa. Ada perbedaan lain dalam penjajaan pecel lele dan pecel sayur ini, pecel lele yang kebanyakan dari orang Lamongan lebih dominan dijajakan oleh para bapak. Sebab, mereka ini harus memasang tenda dan peralatan dapur yang kompleks. Sejak awal mengada, pecel lele ini sangat maskulin, mereka menjajakannya dengan menetap, mengakuisisi bahkan mengkoloni ruang-ruang pejalan kaki di perkotaan. Meskipun pada praktiknya tak jarang sang istri juga ikut melayani pembeli ataupun memegang peran sebagai kasir. Ini berbeda dengan penjaja pecel sayur yang masa awal terlahirnya selalu dijajakan keliling oleh ibuibu mbok bakul pecel. Mereka menggendong bakul/rinjing dan menyunggi tampah di atas kepala dengan tas atau ember berisi jerigen air dan lain sebagainya keliling menyusuri jalan kampung atau gang-gang di kota. Saat memutuskan menjadi warung kaki lima yang semi permanen mereka biasa buka di rumah atau di pojok jalan kampung. Di masa kekinian, terutama di pusat kuliner pecel seperti Madiun, Blitar, dan Kediri, mereka sekarang menetap menempel di tempat dalam zona aman seperti rumah sendiri atau warung semi permanen yang aman dari Satpol PP. Proses menetap di ruang kota ini sering kali terjadi setelah seleksi alam sekian lama jualan secara berkeliling. Penjual pecel di Jawa Tengahan di tahun 80-90an masih banyak yang juga menyediakan sajian pasangan sejati pecel sayurnya yakni: rujak. Rujak cingur dan rujak buah, cemeding (campuran bumbu pecel dan bumbu rujak plus kucuran jeruk nipis), serta rujak plecing (dengan sayur dominan kangkung kulub dan sambal terasi, gula jawa, asam, dan jeruk nipis), atau brambang asem (yang sudah sangat jarang ditemui; dengan sayuran kulub daun ubi dan bumbu seperti plecing namun plus bawang merah) adalah kekhasan dari para penjaja pecel keliling ini. Tak ketinggalan pecel ini SOROTAN 34 OKTOBER 2022


ditemani lontong atau nasi dan ditemani lauk didih (dari darah ayam atau sapi; evolusi lelawaran?) yang kini semakin jarang ditemui, tempe mendol, tahu dan tempe goreng serta warna-wani gorengan lainnya. Jika sang penjual ini sempat, biasanya tersedia juga bermacam-macam jerohan seperti babat, iso, dan paru seperti sajian pecel khas di Madiun dan Ponorogo. Jadi, bilamana pecel lele adalah maskulin maka penjaja pecel sayur ini sangat feminim karena kebanyakan penjajanya adalah ibuibu yang luwes menjelajah ganggang di perkampungan dan kota. Namun kisah dan kreasi evolutif kedua pecel ini ternyata belum berhenti. Apalagi orang masih banyak yang bingung bila ingin membeli pecel sayur namun yang ditemukan adalah penjual pecel lele. Sebaliknya jika masuk ke warung pecel sayur pun orang masih juga tanya menu pecel lele. Tidak semua orang tahu dan paham beda warung pecel lele dan pecel sayur apalagi generasi muda dari luar Jawa. Demand menu yang berulang-ulang ini rupanya menginsipirasi warung pecel lele di dekat Grand City Surabaya yang menjual dua menu ini Pedagang satai di Pulau Jawa yang sedang melayani pelanggan. Foto diambil pada awal abad 20 FOTO: KITLV; PEWARNA: MAHA SULTHAN Pecel, Cita Rasa Segala Strata dan Masa 35 OKTOBER 2022


sekaligus. Kisah ini dari Dhahana Adi (Penulis buku - Archivist - Surabaya Memory) yang akan memberikan senyum kuliner yang mengenyangkan. Pengalaman ini baru saja dialami Dhahana Adi ketika makan siang di salah satu warung dekat Grand City bersama teman. Singkatnya, Penjual : Pesan apa Mas? Saya : Nasi lele ama tempe Mas, tiga bungkus Penjual : Pecel atau sambelan? Saya : Pecel mas Akhirnya kami kembali ke Grand City untuk menikmati pecel lele ini sambil jaga stan pameran. Begitu tas kresek dibuka, saya sempat heran kok kami dikasih peyek? Ah biarin, paling ada teman yang beli, mungkin penggemar peyek, batin saya. Ternyata, begitu bungkusan nasi dibuka, kami mendapati nasi pecel lele yang tak biasa. Yakni nasi putih, lalapan (komplit seperti kita makan penyetan), lele goreng, tahu goreng, tempe goreng, sayuran pecel/kulub, bumbu pecel yang ditaruh dalam plastik, sambal penyetan yang juga diplastik. Saya kira bungkusan saya saja yang seperti itu, ternyata dua lainnya sama persis, Wow! Pecel lele era baru. Ternyata miskomunikasi malah menciptakan menu baru. Aah, indahnya kuliner Nusantara. Meskipun “tragedi” membawa nikmat pesan bungkus pecel ini terlihat unik dan baru namun kisah Dhahana Adi ini adalah murni karena miskomunikasi dan mungkin juga sudah biasa pelanggan di warung itu mendapat pesanan campuran ini. Sehingga karena ragu dengan pesanannya maka sang penjual menyimpulkan untuk mencampur saja. Lagipula pecel sayur dan juga rujak cingur ini juga dulunya sudah biasa memakai toping lauk apa saja. Selain itu pecel sayur ini cocokcocok saja dicampur dengan kuliner berkuah, tentu saja rujak cingur yang intinya juga pecel pastinya akan cocok-cocok saja bila dicampur dengan lodeh-lodehan apalagi kuah berdaging. Fusi masakan Sejak SD di Kudus penulis selalu makan siang di warung dekat sekolahan. Warung sederhana berdinding gedeg bambu, yang menjual es buah, pecel, lodeh dan sup dengan berbagai cemilan gorengan. Penulis selalu memesan pecel dengan lodeh dan lauk tambahan gorengan bakwan sayur/ weci dengan segelas es kelapa sirup frambos. Kalau diingat tidak hanya penulis yang memesan makan campur-campur begini. Jadi apabila kini media dan kumpulan youtuber foodvlogger hype mengulas dan memberitakan fenomena Rujak Soto Banyuwangi (CNN Indonesia, 2019), Pecel Rawon Surabaya (Dyodoran, 2021), SOROTAN 36 OKTOBER 2022


Pecel Penyetan (pecel sayur plus penyetan) atau kini mulai ditengok menu campur kuno Tepo (lontong) Lodeh Pecel di Jabung Ponorogo (Kang Pardi, 2020), sebenarnya itu lumrah dan alamiah terjadi di warung-warung Jawa yang selalu menyediakan sajian berbagai masakan. Dari sini bisa dikatakan bahwa kebiasaan pelangganlah yang kadang-kadang berperan penting dalam terjadinya fusi masakan sehingga menjadi hidangan hibrid yang unik. Selanjutnya sajian hibrid ini menjadi signature dish suatu warung lalu bilamana viral dan laris maka akan cepat ditiru ke para penjual yang bergenre sama. Apalagi bila kuliner itu kemudian diangkat publik menjadi ikon daerah. Adalah warung makan, dengan demikian, yang sejatinya menjadi tempat inkubasi alamiah dari munculnya hidangan-hidangan hibrid ini. Jikalau kita cermati menu campuran atau hibrid antara soto dan pecel (atau rujak cingur) pada dasarnya adalah -setelah kita pilah-pilah bahan-bahannya dan hanya tersisa kuahnya- cita rasa kuah kaldu soto yang berempah itu bertemu dengan bumbu (pecel) kacangnya. Pertemuan soto dengan sambal kacang sudah terjadi lama dalam Coto Makassar dan Soto Banyumasan (Soto Sokaraja, Soto Purworejo, Soto Purbalingga, Soto Banyumas) yang dalam bahasa daerah Banyumasan soto ini dikenal dengan nama genre soto yang khas: sroto. Mutiara Kata “Jangan menunggu. Waktu tidak akan pernah tepat” –Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis (1769 - 1821) dikatakan bahwa kebiasaan pelangganlah yang kadangkadang berperan penting dalam terjadinya fusi masakan sehingga menjadi hidangan hibrid yang unik. Selanjutnya sajian hibrid ini menjadi signature dish suatu warung lalu bilamana viral dan laris maka akan cepat ditiru ke para penjual yang bergenre sama. Pecel, Cita Rasa Segala Strata dan Masa 37 OKTOBER 2022


Pengetahuan Cita Rasa Jawa dari Serat Centhini FOTO: A.S. RIMBAWANA SOROTAN 38 OKTOBER 2022


Bagi sebagian masyarakat awam, Serat Centhini dianggap sebagai kitab sanggama masyarakat Jawa. Itu tidak keliru, tetapi ternyata karya sastra ini juga menyimpan kekayaan yang begitu luas tentang pengetahuan di Jawa pada masa silam. Salah satu pengetahuan yang termaktub di dalam manuskrip itu adalah tentang makanan. A.S. Rimbawana Reporter Intisari 39 OKTOBER 2022


Sayang narasi tentang makanan dalam Serat Centhini ini jarang diketahui orang. Memang, kisah makanan memang tidak gamblang tersusun dalam resep. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan sumbangsih Serat Centhini dalam ilmu pangan di Indonesia. S erat Centhini, karya sastra Jawa klasik ini, memang mengisahkan berbagai hal, antara lain kesenian, kehidupan dan kebudayaan Jawa, agama, botani, ritual, jamu. Yang tak kalah menarik, manuskrip ini juga mengisahkan tata cara dan fungsi boga tradisional Jawa. Manuskrip yang berjudul asli Suluk Tambangraras itu dibuat berdasar candrasengkala –kronogram—”paksa suci sabda ji” bertepatan pada 26 Suro 1742 Jawa. Dalam kalender Masehi, itu bertepatan dengan Januari 1814. Sementara, proyek itu tuntas pada 1823. Manuskrip ini juga telah menghabiskan dana sekitar 10.000 ringgit emas. Motif penyusunan Serat Centhini adalah untuk menghimpun segala jenis pengetahuan di Jawa. Penulisan Serat Centhini dipimpin langsung oleh putra mahkota Keraton Surakarta, putra Pakubuwono IV (menjabat 1788–1820), Amangkunegara III —kelak bertahkta sebagai Sunan Pakubuwana V (menjabat 1820– 1823). Amangkunegara III tidak sendiri. Ia ditemani oleh beberapa pujangga keraton. Mereka adalah Kyai Ngabehi Ranggasutrasna, Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi Sastradipura. Sebelum memulai proyek penulisan, ketiga pujangga itu diminta oleh Amangkunegara III untuk untuk membekali diri dengan berkelana ke berbagai penjuru Jawa. Bahkan, Kyai Ngabehi Sastradipura diminta untuk berhaji ke Mekkah sebelum Heri Priyatmoko SOROTAN 40 OKTOBER 2022


FOTO: A.S. RIMBAWANA Pasar kini jadi salah satu tempat orang dapat menemukan bahan pangan. proyek penulisan dimulai. Maka itu, cakupan wilayah yang dikisahkan dalam Serat Centhini meliputi seluruh Pulau Jawa. Daerah-daerah yang disebutkan antara lain Banten, Bogor, Majalengka, Cilacap, Demak, Gunungkidul, Mataram (Yogyakarta), Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Lumajang, hingga Banyuwangi di ujung timur Jawa. Semula Serat Centhini ditulis menggunakan bahasa dan aksara Jawa, serta dibaca layaknya tembang. Namun kini telah diterbitkan ulang oleh beberapa lembaga ke dalam bahasa Indonesia dan huruf latin. Sayang narasi tentang makanan dalam Serat Centhini ini jarang diketahui orang. Memang, kisah makanan memang tidak gamblang tersusun dalam resep. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan sumbangsih Serat Centhini dalam ilmu pangan di Indonesia. Terdapat aneka ragam makanan dalam Serat Centhini, seperti lauk, sayuran nabati maupun hewani, nyamikan (kudapan), dan minuman. Saya kemudian menghubungi Heri Priyatmoko, 41 OKTOBER 2022


Jenis nyamikan (kudapan) yang juga terdapat di Serat Centhini. FOTO: A.S. RIMBAWANA dosen Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, untuk mengulik kekayaan Serat Centhini. “Ada banyak sekali jenisnya (makanan dan minuman) karena tiga penulis Serat Centhini melihatnya tidak hanya satu sisi, tetapi makanan juga digunakan pada saat ritual,” kata Heri. Menurut Heri, dari segi penulisan Serat Centhini juga unik. Karena para penulis berasal dari pihak keraton, tempat budaya Jawa dijunjung tinggi, maka makanan keraton mestinya juga ditulis. Namun hal demikian tidak terjadi di dalam Serat Centhini. Justru yang terjadi adalah “Makanan desa mengepung kota, benar-benar kuliner jawa yang mana ada semua kuliner perdesaan,” ungkap Heri. Serat Centhini sungguh memperlihatkan kesadaran literasi kuliner yang masih lestari dari serangan kekuatan asing. Sebab pada abad ke-19, makananmakanan Eropa memang mulai masuk seiring makin kuatnya penetrasi kolonial hingga wilayah pedalaman Jawa. Pada awal abad ke-20, masih ditemukan blenyik, dendeng, pecel, dan makanan itu ada dalam Serat Centhini. Menurutnya, itu menunjukkan bahwa makanan para priyayi dan jelata di Jawa tidak ada bedanya. “Artinya, makanan itu juga disantap oleh para bangsawan,” kata pria SOROTAN 42 OKTOBER 2022


yang tengah melanjutkan studi di Solo itu. Pekarangan orang Jawa Bagi masyarakat Jawa pada sekitar dua abad lalu belanja pangan bukanlah suatu hal yang terlalu merepotkan. “Ketahanan pangannya cukup kuat. “Jadi tidak repot mencari, apalagi impor,” kata Heri. Inilah salah satu hal yang patut dicermati dalam Serat Centhini yakni asal masyarakat Jawa memperoleh bahan pangan. Murdijati Gardjito dari Pusat Studi Pangan dan Gizi, Pusat Kajian Makanan Tradisional, UGM dalam “Kuliner Jawa Periode Centhini, 1814–1823” (2008) pernah meneliti hubungan Serat Centhini dengan tempat memperoleh bahan pangan. Dari penelitian itu, Gardjito memperoleh hasil bahwa padi yang lazim ditanam masyarakat yakni jenis padi gaga. Padi gaga adalah varietas yang ditanam di lahan kering. Ini sangat berbeda dengan varietas padi yang tumbuh di lahan basah atau sawah. Namun bila ada pembicaraan tentang sawah, tidak ditemukan bagaimana cara mengatur aliran airnya. Itu tentu berlainan dengan masa kini, ketika padi gaga sudah jarang dikenal. Sementara pategalan atau lahan kering tadi acap dimiliki oleh saban keluarga sebagai tempat budi daya bahan pangan. Bahan pangan tersebut terdiri atas pala kependhem atau akar-akaran yang umbinya tertanam di bawah tanah. Ada pula pala gemanthung adalah buah-buahan, serta pala kesimpar atau buah yang berada di permukaan tanah. Namun, disamping pategalan ada pula pekarangan yang juga tempat ragam buah dan sayur-mayur tumbuh. Dalam Serat Centhini dikisahkan pula tentang kolam. Fungsi kolam adalah untuk memenuhi kebutuhan sumber protein penduduk. Namun, Dalam Serat Centhini dikisahkan pula tentang kolam. Fungsi kolam adalah untuk memenuhi kebutuhan sumber protein penduduk. Namun, kolam memang tidak dimiliki semua orang di sekitar rumah. Bila di daerah yang dekat aliran sungai, ikan hanya perlu ditangkap saja. Menurut Gardjito, hanya ikan laut yang jarang disebut dalam manuskrip ini. “Kecuali berbentuk ikan asin,” tulisnya. 43 OKTOBER 2022 Pengetahuan Cita Rasa Jawa dari Serat Centhini


kolam memang tidak dimiliki semua orang di sekitar rumah. Bila di daerah yang dekat aliran sungai, ikan hanya perlu ditangkap saja. Menurut Gardjito, hanya ikan laut yang jarang disebut dalam manuskrip ini. “Kecuali berbentuk ikan asin,” tulisnya. Sebagaimana kita tahu, ikan asin lazim diupayakan di pesisir. Maka itu, pasar menjadi kunci dalam hal pemerolehan ikan asin serta garam yang digunakan sebagai bumbu masak. Sementara, pasar tradisional juga tidak banyak dikesankan dalam Serat Centhini. Menurut Gardjito, orang-orang hanya akan pergi ke pasar bila membutuhkan empon-empon (ragam jenis tumbuhan rimpang) berjumlah besar, ketika hendak digunakan hajatan misalnya. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan hidup harian, masyarakat Jawa hanya perlu mengolah pategalan, kolam, sawah, hutan, dan pekarangan di sekitar mereka tinggal. Pangan, ritual, kebugaran Bagi masyarakat Jawa, makanan selalu berkaitan erat dengan fungsi ritual, seperti kenduri atau sesaji. Di dalam Serat Centhini, terdapat pula ragam kisah yang memuat fungsi sakral makanan ini. Makanan yang berfungsi untuk ritual lazim terdapat dalam segala Ikan asin, salah satu bahan pangan dari laut yang telah dikenal di pedalaman Jawa dari awal abad ke-19. FOTO: A.S. RIMBAWANA SOROTAN 44 OKTOBER 2022


FOTO: A.S. RIMBAWANA Ragam pangan dalam ritual pengantin Jawa. upacara daur hidup seseorang– lahir, menikah, wafat—, sesaji tolak bala, musim panen, musim tanam, dan sebagainya. Salah satu jenis makanan yang kerap terdapat saban upacara adalah tumpeng. Rudy Wiratama, dosen Jurusan Sastra Jawa UGM berbicara di Jayadipuran Culture and Art III yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY, 9 Juni 2022 lalu. Menurut Rudy, saban tumpeng ini juga mempunyai kelengkapan khusus. “Dari bentuknya saja sudah filosofis, mengerucut, makin ke atas makin kecil. Ini dari bumi ke langit, untuk melangitkan doa-doa,” kata Rudy. Maka, saban doa dan kesempatan khusus tumpeng punya susunan masing-masing. Rudy memberi contoh, untuk kelahiran bayi pasti kelengkapan tumpeng dengan gudangan (urap), sambal kelapa parut dan berlauk telur. Telur, sebagaimana penjelasan Rudy, melambangkan wujud persatuan manusia. “Telur itu wiji dadi, perlambang sel sperma dan ovum, jadi telur itu, cikal bakal kehidupan,” ungkapnya. Sementara, lauk akan berbeda bila digunakan untuk syukuran panen atau lainnya. “Itu pasti menggunakan ayam, karena ayam itu telur yang sudah jadi,” katanya. Untuk upacara memule, penghormatan kepada leluhur, 45 OKTOBER 2022


Sego golong, nasi kepal yang berbentuk bulatan. Hingga kini masih ditemui di masyarakat Jawa sebagai unsur ritual. FOTO: A.S. RIMBAWANA nasinya pun berbeda warna. “Ada putih, kuning, dan wuduk,” ujarnya. Tumpeng dari nasi putih biasanya untuk ritus kehidupan. Ada pula tumpeng dom sewu (bak ditusuk seribu jarum) yang ditusuk di sekelilingnya dengan cabai dan bawang. “Untuk ritual penolak bala,” katanya. “Kalau kuning, dalam Jawa kuno sering disebut sekul paripurna, lama-lama jadi sekul punar, nasinya kuning itu untuk tanda syukur, untuk perhelatan atau pesta-pesta,” imbuh Rudy. Berbicara pada forum yang sama dengan Rudy, Rendra Agusta, filolog asal Surakarta berbicara ihwal aspek kesehatan dalam Serat Centhini. Orang Jawa memang belum mengenal apotek pada waktu itu. Namun, pekarangan sudah menjadi “apotek” itu sendiri dengan beragam tanaman berkhasiat obat seperti sirih dan berbagai obat herbal. Jamu, ramuan yang dipercaya sebagai racikan herbal dan mampu menjaga kebugaran, juga termuat dalam Serat Centhini. Menurut Rendra, di Jawa ada yang disebut jamu dan jampi, doa-doa kepada Tuhan yang dirapal saban mengonsumsi jamu. “Di Serat SOROTAN 46 OKTOBER 2022


Wedang, meskipun tidak selalu, tetapi paling sering dinikmati bersama gula aren atau gula batu. Gula pasir seperti banyak dikenal masyarakat saat ini pada masa itu belum populer. Kemudian, paling tidak, dalam menikmati wedang terdapat dua cara. Pertama, gula batu dilarutkan ke dalam minuman, sehingga menimbulkan rasa manis. Cara lainnya yakni dengan menikmati gula sebagai lalaban atau dinikmati secara terpisah dengan minuman. Centhini tiap jamu ada jampinya sendiri,” katanya. Jamu lazim dibagi menjadi empat. “Unjukan (minuman), jamu yang diminum seperti kunir asem. Loloh, jamu yang dimakan. Kemudian ada pula bobok dan boreh, racikan jamu yang ditumbuk dan dibalurkan di kulit luar,” ujar Rendra. Ada juga parem yang bersifat ekstrak. “Menjadi semacam minyak atsiri dan di Serat Centhini cukup kompleks,” ungkap Rendra. Ragam minuman Mayoritas unjukan atau minuman dalam Serat Centhini disajikan dalam keadaan hangat atau wedang. Berdasar nama-nama yang disebut, antara lain wedang belimbing wuluh, wedang kahwa, dapat diperoleh pula informasi mengenai bahan dan tata saji. Bahan-bahan diperoleh dari ekstrak dedaunan seperti sruni dan teh. Sementara buahbuahan terdiri atas belimbing dan mengkudu. Untuk bebijian digunakan kopi, cokelat, serta berbagai macam rimpang seperti jahe dan temulawak. Wedang, meskipun tidak selalu, tetapi paling sering dinikmati bersama gula aren atau gula batu. Gula pasir seperti banyak dikenal masyarakat saat ini pada masa itu belum populer. Kemudian, paling tidak, dalam menikmati wedang terdapat dua cara. Pertama, gula batu dilarutkan ke dalam minuman, sehingga menimbulkan rasa manis. Cara lainnya yakni dengan menikmati gula sebagai lalaban atau dinikmati secara terpisah dengan minuman. Teknologi fermentasi dan penyulingan juga telah dikenal di Jawa. Maka, minuman beralkohol, sebagaimana juga terdapat di kebudayaan lain, juga disinggung dalam Serat Centhini. Yang menarik, disebutkan pula tata cara dalam menenggak minuman Pengetahuan Cita Rasa Jawa dari Serat Centhini 47 OKTOBER 2022


beralkohol. Ada sepuluh tata cara minum, dan tiap-tiap tahapan dilambangkan dengan perumpamaan. Diawali dengan perumpamaan eka padma sari, berarti menenggak satu sloki ciu akan bak semerbak kembang, harum. Lalu, setelah dua tenggakan, dwi martani, orang akan bertutur kata dengan gamblang, tampak sopan santun. Selanjutnya, dalam sloki ketiga –tri kawula busana— orang tak lagi hirau dengan apa yang dikenakan, entah lusuh, jelek, indah sekalipun tak ada soal. Semua bersaudara. Namun, memasuki sloki keempat, di dalam Serat Centhini menganggap, orang bakal kehilangan kesadaran. Maka, pada tahap ini dilambangkan sebagaimana catur wanara rukem –bak kawanan kera berebut makan. Tahap tertinggi dari minum tuak adalah dasa buta mati, bahwa tiap peminum hanya akan siap melawan siapa pun, bahwa ia telah lupa diri, sebelum akhirnya akan tertidur. Kritik atas Serat Centhini Makanan sering membuat kalap. Apalagi, ternyata bahwa makanan juga disebut dalam sebuah manuskrip Jawa yang sarat akan muatan budaya. Maka itu, dalam membaca Serat Centhini ada satu hal yang tak bisa dilupakan. Menurut Heri, hal itu ialah konsep sak madya–secukupnya. Meskipun konsep itu tidak tercantum di dalam manuskrip, Serat Centhini FOTO: A.S. RIMBAWANA SOROTAN 48 OKTOBER 2022


Mutiara Kata “Hidup adalah 10% apa yang terjadi kepada saya dan 90% bagaimana saya bereaksi terhadapnya” –Charles Swindoll, rohaniawan asal Amerika Serikat tetapi menurutnya pembaca harus memahami bahwa orang Jawa makan sekadarnya saja. “Tak mungkin sajian satu panci tengkleng akan dihabiskan, konsep sak madya harus dicermati. Kita harus mampu membedah etika dalam sejarah,” ujar Heri. Selain itu, Heri juga mengatakan bahwa Serat Centhini harus bisa berguna bagi generasi saat ini. Itu bisa dilakukan dengan kritik terhadap Serat Centhini yang harus dihidupkan kembali dengan caracara modern dalam hal pengawasan narasi. Pertama, Serat Centhini bisa dipakai dan dikembangkan untuk bahan lirik lagu sembari menumpang gelombang popularitas pop Jawa yang tengah naik daun. Menurut Heri hal itu penting, sebab narasi dalam Serat Centhini akan mati jika hanya dibaca untuk masa lalu. “Antikuarian itu,” kata Heri. Kedua, Serat Centhini bisa masuk dalam kurikulum muatan lokal siswa jurusan tata boga. Dengan begitu, para siswa akan diajar ragam penyajian makanan lokal sejak dini. “Makanan di hotel itu jangan Barat terus,” selorohnya. Sejak beberapa tahun terakhir istilah gastronomi juga semakin populer di Indonesia. Lalu, apakah Serat Centhini termasuk dalam kekayaan gastronomi Indonesia? Menanggapi hal ini, menurut Heri definisi gastronomi, sebetulnya bukan hanya memasak tapi juga memilih bahan, hingga menyajikan bahan makanan. Sementara dalam Serat Centhini hanya ada fase penyajian, tidak ada seleksi bahan. Kelemahan manuskrip ini memang terletak pada resep yang nihil. “Karena yang dipotret memang tidak menilik dapur, dan hanya yang terletak di meja makan. Hanya identitas, judul, dan nama kulinernya,” sambung Heri. Akan tetapi, dalam pengetahuan gastronomi Serat Centhini tetap menyumbang pengetahuan yang berharga. Salah satunya, dari Serat Centhini masyarakat sekarang tahu bahwa mana saja makanan yang masih ada, terancam, atau punah. “Ini menjadi penting karena Serat Centhini menjadi pilar dalam ilmu gastronomi,” tandasnya. Pengetahuan Cita Rasa Jawa dari Serat Centhini 49 OKTOBER 2022


JANGAN BERONGKOS, Suatu siang ketika ingin bertemu dengan teman di kawasan Alun-Alun Kidul, Yogyakarta, secara refleks saya meminggirkan motor ketika di depan Warung Handayani. Ya, selain sudah saatnya makan siang, jangan (sayur) berongkos yang dijual warung ini selalu ngangeni. Warung Handayani memang menjadi satu dari sedikit warung yang menjual sayur berongkos dengan cita rasa jempolan. Bagi yang belum kenal, sayur berongkos merupakan masakan khas masyarakat Jawa, khususnya di daerah Yogyakarta. Sayur ini merupakan menu tradisional warisan leluhur masyarakat Yogyakarta. Konon kabarnya, kata brongkos diambil dari kata brownhorst (bahasa Inggris dan Prancis) yang artinya masakan daging yang berwarna cokelat. Kemudian, lidah masyarakat Jawa melafalkan sebagai brongkos agar mudah diucapkan dan didengar. Jika dilihat sekilas, tampilan berongkos mirip dengan rawon. Sama-sama cokelat warna kuahnya. Biang warna ini adalah buah keluwak atau kepayang (ingat mabuk kepayang?). Keluak atau kepayang adalah pohon yang tumbuh liar. Buahnya bulat segitiga dengan kulit tebal dan bertekstur kasar. Sebelum digunakan untuk masakan, buah keluak difermentasikan di dalam tanah terlebih dahulu. Perbedaan kuah berongkos dan rawon adalah jika kuah kental berongkos menggunakan santan, rawon tidak. Daging yang digunakan dalam sayur berongkos adalah daging sapi yang biasanya dipilih yang banyak mengandung lemak, atau dalam bahasa Jawa disebut koyor. Bahan lain yang dipakai adalah kulit melinjo, tahu, dan kacang tolo. Pada zaman dahulu, sayur berongkos ini jarang dijual bebas di masyarakat. Bisa jadi karena hanya kaum ningrat atau kaum bangsawan yang bisa menikmati sayur ini. Soalnya, hanya hanya mereka yang mampu membeli daging sapi. Sayur berongkos ini menjadi menu masakan favorit Sultan Hamengkubuwono X. Meskipun berongkos sering diasosiasikan dengan Yogyakarta, namun di beberapa kota di Jawa Tengah seperti Demak, Solo, atau Magelang juga bisa kita temui berongkos. Tentu dengan versi dan keistimewaannya masing-masing. Kembali ke Warung Handayani 50 OKTOBER 2022


Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.