menjadi orang tua efektif Flipbook PDF

menjadi orang tua efektif

96 downloads 110 Views 2MB Size

Story Transcript

Dr. Thomas Gordon

Menjadi Orang Tua Efektif Petunjuk Terbaru Mendidik Anak yang Bertanggung Jawab Kata Pengantar Prof. Dr. Saparinah Sadli

Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1985

Judul asli “P.E.T. Parent Effectiveness Training The Tested New Ways to Raise Responsible Children” (A Plume Book, New American Library, New York, 1975) Judul Terjemahan Indonesia Menjadi Orang Tua Efektif Petunjuk Terbaru Mendidik Anak yang Bertanggung Jawab Oleh: Dr. Thomas Gordon Alihbasa: Tim Psikolog Klinis: Dra. Farida Lestira Subardja (koordinator), Dra. Suprapti Sumarmo, Dra. Jeanette Murad Lesmana, Dra. Istiwidayanti, Dra. Pamugari Sutomo Diperiksa dan disunting oleh Drs. Alois A. Nugroho GM 83.092 Copyright © 1970,1975 by Thomas Gordon Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang All rights reserved Disain sampul, perwajahan, dan lay-out oleh Purnama Sidhi Diterbitkan pertama kali dalam terjemahan Indonesia oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI, Jakarta, 1983

Cetakan pertama: Agustus 1983 Cetakan kedua: Maret 1984 Cetakan ketiga: Mei 1985

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia

ii

Daftar Isi “Diagram Penerimaan” bagi Para Orang Tua/ Orang Tua Dapat dan Boleh Tidak Konsisten/ Orang Tua Tidak Perlu Tampil Sebagai “Satu Pihak”/ Penerimaan Palsu/Dapatkah Anda Menerima Anak Anda Tanpa Menerima Tingkah Lakunya?/ Definisi Kami Mengenai Orang Tua Selaku Pribadi Sejati Kekuatan Bahasa Penerimaan/ Sikap Menerima Harus Ditunjukkan/ Menyampaikan Rasa Menerima Tanpa Kata-kata/ Menyatakan Rasa Menerima Tanpa Campur Tangan/ Mendengarkan Secara Pasif Menunjukkan Sikap Menerima/ Mengutarakan Penerimaan Dengan Katakata/Apakah “12 Ciri” Itu?/ Membuka Pintu/Mendengar Aktif?/ Mengapa Orang Tua Harus Belajar Mendengar Aktif?/ Syarat-syarat untuk Menggunakan Cara Mendengar Aktif/ Akibat dari Cara Mendengar Aktif Bilakah Anak Mempunyai “Masalah”?/ Bagaimanakah Orang Tua Dapat Mendengar Aktif?/ Kapan Orang Tua Memutuskan untuk Menggunakan Mendengar Aktif?/ Kesalahan-kesalahan Umum dalam Menggunakan Mendengar Aktif/ Menanggapi dengan “Bimbingan”/ Membuka Pintu Kemudian Menutupnya/ Orang Tua yang Membeo/ Mendengar Tanpa Empati/ Mendengar Aktif pada Saat yang Salah Apakah Sebenarnya “Bayi” Itu?/ Memahami Kebutuhan-kebutuhan dan Persoalan-persoalan Bayi/ Menggunakan Cara Mendengar Aktif untuk Menolong Bayi-bayi/ Berilah Anak Kesempatan untuk Memuaskan Sendiri Kebutuhan-kebutuhannya Bila Pemilik Persoalan Adalah Orang Tua/ Cara-cara yang Tidak Efektif untuk menanggapi Anak-anak/ Mengirim Suatu “Pesan Pemecahan”/ Mengirim Suatu “Pesan yang Meremehkan”/ Cara-cara Efektif untuk Menghadapi Anak/ “Pesan Kamu” dan “Pesan Aku”/ Mengapa “Pesan Aku” Lebih Efektif “Pesan Kamu” yang Terselubung/ Jangan Terpaku pada yang Negatif/ Menyuruh Anak Melakukan Pekerjaan Orang Dewasa/ Menghadapi Letusan Merapi/ Pengaruh “Pesan Aku” yang Efektif/ Mengirim “Pesan Aku” yang Tanpa Kata pada Anak-anak yang Sangat Kecil/ Tiga Masalah pada “Pesan Aku” Memperkaya Lingkungan/ Mempermiskin Lingkungan/ Menyederhanakan Lingkungan/ Membatasi Ruang Gerak Anak/ Menciptakan Lingkungan “Tahan Anak”/ Mengganti Satu Kegiatan dengan Kegiatan Lain/ Mempersiapkan Anak untuk Mengalami Perubahan-perubahan Lingkungan/ Membuat Rencana dengan Anak-anak yang Lebih Besar Adu Kekuatan antara Orang Tua dan Anak/ Dua Cara Pendekatan MenangKalah/ Kenapa Metode I Tidak Efektif?/Kenapa Metode II Tidak Efektif?/ Beberapa Masalah Tambahan dari Penggunaan Metode I dan Metode II Apakah Kekuasaan Itu?/ Keterbatasan-keterbatasan Serius dari Kekuasaan Orang Tua/ Kekuasaan Orang Tua pada Akhirnya Surut/ Remaja-remaja yang Membuat Cemas/ Mendidik dan Menggunakan Kekuasaan Membutuhkan Kondisi-kondisi yang Ketat/ Pengaruh Kekuasaan Orang Tua atas Diri Anak/

iii

Mempertahan Diri, Menentang, Memberontak, Menyangkal/ Perasaan Benci, Marah, Bersikap Bermusuhan/ Menyerang, Mendendam, Membalas/ Berbohong, Menyembunyikan Perasaan/ Menyalahkan Orang Lain, Mengadu, Menipu/ Menguasai, Mengatur, Memaksakan Kehendak/ Mau Menang Sendiri, Tidak Mau Kalah/ Membentuk Persekutuan, Berorganisasi Melawan Orang Tua/ Bersikap Tunduk, Patuh, dan Menurut/ Mengambil Hati, Menjilat/ Menyesuaikan Diri, Tidak Memiliki Kreativitas, Takut Mencoba Sesuatu yang Baru, Membutuhkan Sesuatu Jaminan Akan Mencapai Suatu Sukses/ Menarik Diri, Menghindar, Berfantasi, Regresi/ Tinjauan Lebih Mendalam tentang Kekuasaan Orang Tua/ Apakah Anak-anak Memang Tidak Menghendaki Sikap Otoriter dan Pembalasan?/ Apakah Sikap Otoriter Itu Dapat Dibenarkan, Apabila Dilaksanakan Orang Tua secara Konsisten?/ Bukankah Orang Tua Bertanggung Jawab untuk Memengaruhi Anak?/ Mengapa Kekuasaan Masih Digunakan dalam Mendidik Anak? Kenapa Metode III Begitu Efektif?/ Anak Tergerak untuk Melaksanakan Penyelesaian/ Lebih Banyak Kemungkinan untuk Menemukan Pemecahan yang Bermutu/ Metode III Mengembangkan Ketrampilan Berpikir Anak/ Rasa Bermusuhan Berkurang-Cinta Bertambah/ Kurang Butuh Pemaksaan/ Metode III Menghilangkan Kebutuhan Akan Kekuasaan/ Metode III Mengena pada Masalah Sebenarnya/ Memperlakukan Anak Sebagai Orang Dewasa/ Metode III Sebagai “Terapi” bagi Anak Hanya Nama Baru bagi Musyawarah Keluarga Biasa?/ Metode III Dilihat Sebagai Kelemahan Orang Tua/ “Kelompok Tak Dapat Membuat Keputusan”/ “Metode III Terlalu Banyak Makan Waktu”/ “Orang Tua Boleh Menggunakan Metode I, Bukankah Mereka Lebih Bijaksana?”/ “Dapatkah Metode III Diterapkan Kepada Anak-anak Kecil?”/ “Apakah Ada Saat-saat Metode I Harus Digunakan?”/ “Apakah Saya tak Akan Kehilangan Wibawa?” Bagaimana Anda Harus Mulai?/ Keenam Langkah Anti-Kalah/ Membuat Identifikasi dan Menentukan Konflik/ Melahirkan Pemecahan-pemecahan Pengganti/ Menentukan Pemecahan Paling Baik yang Dapat Diterima/ Melaksanakan Keputusan/ Melakukan Tindak Lanjut/ Kebutuhan untuk Mendengar Aktif dan “Pesan Aku”/ Usaha Anti-Kalah yang Pertama/ Persoalan-persoalan yang Akan Dihadapi Orang Tua/ Rasa Tak Percaya dan Penolakan/ “Bagaimana Seandainya Kami Tak Bisa Menemukan Jalan Keluar yang Dapat Diterima?”/ Kembali ke Metode I Bila Metode III Mengalami Kemacetan/ Apakah Pemberian Hukuman Juga Harus Dimasukkan Sebagai Bagian dari Kesepakatan yang Dibuat?/ Bila Persetujuan Dilanggar/ Bila Anak Sudah Biasa Menang/ Metode Anti-Kalah untuk Konflik Antar-Anak/ Bila Kedua Orang Tua Tersangkut dalam Konflik Orang Tua-Anak/ Setiap Orang untuk Diri Sendiri/ Salah Satu Menggunakan Metode III, yang Lain Tidak/

iv

“Dapatkah Kami Menggunakan Ketiga Metode Tersebut?”/ “Apakah Metode Anti-Kalah Pernah Gagal?” Masalah Nilai-nilai/ Masalah Hak-hak Asasi/ “Tidak Dapatkah Saya Mengajarkan Nilai-nilai Saya?”/ Orang Tua Sebagai Contoh/ Orang Tua Sebagai Konsultan/ “Menerima Hal-hal yang Tidak dapat Saya Ubah”/ Metode Pembagian Kertas untuk Mulai Pemecahan Masalah Anti-Kalah Apakah Anda Dapat Lebih Menerima Diri?/ Anak-anak Siapakah Mereka?/ Apakah Anda Benar-benar Menyukai Anak-anak atau Hanya Jenis Anak Tertentu?/ Apakah Nilai-nilai dan Keyakinan-keyakinan Anda Saja yang Benar?/ Apakah Hubungan Anda dengan Suami/Istri Anda Utamakan?/ Dapatkah Orang Tua Mengubah Sikap-sikap Mereka?

1. Mendengarkan Perasaan (Suatu Latihan)/ 2. Mengenali Pesanpesan Tak Efektif/ 3. Mengirim “Pesan-pesan Aku” (Suatu Latihan)/ 4. Daftar Tentang Akibat Cara Bereaksi Orang Tua Terhadap Anak

v

Kata Pengantar Buku ini merupakan hasil terjemahan yang telah ditangani oleh sejumlah anggota/staf Bagian Psikologi Klinis dan Psikoterapi Fakultas Psikologi U.I. Mereka telah mengambil prakarsa untuk menerjemahkan buku dari Dr. T. Gordon, seorang Ahli Psikologi Klinis dari Amerika, atas dasar pertimbangan bahwa masih sedikit sekali buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dalam bidang Pendidikan Orang Dewasa. Pilihan telah jatuh pada buku Dr. T. Gordon dengan judul asli Parent Effectiveness Training karena buku ini terdiri dari petunjuk praktis yang dapat diterapkan seorang tanpa perlu mengikuti suatu kursus, khususnya bila yang bersangkutan mau membacanya dengan serius. Petunjuk-petunjuk praktis tersebut menyangkut cara-cara apa yang dapat ditugaskan untuk meningkatkan kualitas hubungan yang akhir-akhir ini dirasakan menimbulkan berbagai kesulitan oleh cukup banyak orang tua. Saya sendiri menganggap bahwa prakarsa dari beberapa anggota staf Bagian Psikologi Klinis dan Psikoterapi Fakultas Psikologi U.I. untuk menerjemahkan buku Dr. T. Gordon sebagai suatu sumbangan kongkret terhadap kebutuhan orang tua di kalangan kita untuk memperoleh pegangan kongkret dalam menghadapi tugasnya mengasuh dan mendidik putra-putrinya. Tidak berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Dr. T. Gordon peranan yang diisi orang dewasa pada umumnya berdasarkan pada metode-metode yang telah diturunkan dari generasi ke generasi lainnya. Berbagai permasalahan dan kesulitan yang dirasakan orang tua masa kini dalam menghadapi pendidikan putra-putrinya menggambarkan bahwa tidak setiap orang tua merasa telah mempunyai bekal yang cukup untuk dapat mengisi peranannya secara baik. Bahwa perasaan ini ada pada cukup banyak orang tua terungkap dari kebutuhan mereka untuk mengikuti kursus-kursus Kesehatan Mental yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi; adanya permintaan akan ceramahceramah mengenai pendidikan anak, mengenai kenakalan remaja, mengenai berbagai aspek yang menyangkut hubungan orang tua anak. Pengalaman dalam lingkungan kita selama ini juga menunjukkan bahwa permintaan dan kebutuhan tersebut tidak terbatas pada ibu-ibu dalam kelompok arisan, tetapi juga berasal dan dirasakan oleh instansi formal, oleh pendidik, ulama, dan lain-lain anggota masyarakat yang mempunyai perhatian dan minat terhadap masa depan anak-anak sebagai generasi muda yang perlu mendapat bimbingan dan pembinaan agar menjadi orang dewasa yang mengerti akan tanggung jawabnya. Karena Dr. Gordon telah mencoba untuk menghindarkan diri dari memberikan petunjuk-petunjuk yang abstrak seperti anak ibu membutuhkan kasih sayang, atau: anak itu memerlukan pengertian dari orang tua sesuai dengan tahap usianya, atau: berilah ia bimbingan tanpa memberikan perasaan bahwa ia diarahkan. Kesemuanya ini betul, tetapi sangat sulit dilaksanakan dalam keadaan kongkret menghadapi berbagai

vi

perilaku anak yang tidak selalu dapat diterima oleh orang tua. Dan tepat sekali pembukaan dari bab pertama dalam buku ini, ialah: bahwa orang tua disalahkan tetapi tidak diberi latihan. Betapa seringnya kita harus mendengarkan atau membaca dalam pidato resmi, dalam ceramah para ahli, dalam ucapan pendidik, ulama, maupun sesama orang tua bahwa permasalahan anak merupakan kesalahan orang tua. Isi dari buku ini telah disusun untuk membantu orang tua dalam meningkatkan ketrampilannya agar dapat mengisi peranannya sebagai orang tua seoptimal mungkin. Konsep-konsep teoritis yang pada dasarnya berasal dari teori hubungan antar-manusia oleh Dr. Gordon telah dituangkan dalam petunjuk-petunjuk praktis berikut cara-cara melakukannya. Karena buku ini merupakan terjemahan maka tidak semua contoh yang ada akan dirasakan relevan bagi lingkungan kita. Dr. Gordon telah menyusun buku ini berdasarkan pengalamannya dengan orang tua di lingkungan budaya di mana ia berada. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi nilai dari petunjukpetunjuk praktis yang telah ia bukukan, karena konsep-konsep dasar yang dipilihnya diperlukan oleh setiap orang tua. Umpamanya, bahwa perasaan memegang peranan penting dalam menghadapi orang lain (anak); bahwa dalam mendidik anak disiplin diri perlu dikembangkan; bahwa bukan hanya anak yang mempunyai kebutuhan tetapi orang tua pun mempunyai kebutuhan yang perlu dipertimbangkan, dan lain sebagainya. Buku ini terutama dibuat untuk orang tua yang ingin meningkatkan ketrampilannya sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, dan sedang mencari metode yang dapat diterapkan secara langsung dalam lingkungan keluarganya. Tujuan dari berbagai ketrampilan yang dapat dipelajari dengan membaca isi buku ini ialah agar orang tua dapat sejak semula menghindari terjadinya permasalahan anak di kemudian hari. Dr. Gordon memang pada mulanya membantu orang tua yang anak-anaknya bermasalah, seperti membolos, yang suka nyontek, yang tidak mau mendengarkan nasihat orang tua, yang minum obat atau sering berkelahi, dan lain-lain kenakalan yang semuanya bukan lagi suatu hal asing bagi kita, khususnya bagi orang tua yang hidup di kota-kota besar. Namun demikian, isi buku ini yang disusun berdasarkan pengalamannya yang bertahun-tahun ternyata juga berguna bagi orang tua yang belum mengalami permasalahan kongkret, tetapi sebagai orang tua merasa perlu pegangan jelas dan pengetahuan mengenai pendidikan anak yang melebihi daripada yang telah dimilikinya. Saya sangat senang dengan prakarsa dari teman-teman sejawat di Bagian Psikologi Klinis dan Psikoterapi di samping kesibukan sehari-harinya sesuai dengan pengalaman kerja dan pengamatannya mengenai kebutuhan masyarakat telah mengambil inisiatif menyumbangkan terjemahan buku Parent Effectiveness Training ini pada para orang tua. Mudah-mudahan orang tua

vii

dapat mengambil manfaat dari usaha mereka, dan dapat menemukan pedoman praktis yang dicari. Saran dan kritik terhadap terjemahan ini akan diterima dengan hati terbuka. Jakarta, Januari 1983 Prof. Dr. Saparinah Sadli

viii

1 Orang Tua Disalahkan Tapi Tidak Dilatih Semua orang menyalahkan orang tua atas kesulitan-kesulitan remaja dan kesulitan-kesulitan dalam masyarakat yang nampak disebabkan oleh kaum muda. Semua adalah kesalahan orang tua, demikian keluhan para ahli kesehatan jiwa, setelah mempelajari statistik yang mencemaskan mengenai cepat meningkatnya jumlah anak-anak remaja yang dirundung masalah emosional yang serius atau melumpuhkan, yang menjadi korban penyalahgunaan obat bius, atau yang melakukan bunuh diri. Pemimpinpemimpin politik dan para penegak hukum menyalahkan orang tua yang mereka anggap telah membesarkan generasi yang tidak tahu terima kasih, pemberontak, pembangkang, hippies, pelaku demonstrasi damai, dan pengacau. Dan apabila anak-anak gagal di sekolah maka para guru dan para penyelenggara sekolah menuduh bahwa orang tualah yang salah. Lantas siapakah yang membela para orang tua? Berapa banyak usaha yang dilakukan untuk membantu orang tua agar lebih efektif dalam membesarkan anak-anak? Dari manakah orang tua dapat mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan bahwa ada cara lain yang dapat mereka lakukan? Orang tua disalahkan, tetapi tidak dilatih. Berjuta-juta kaum ibu dan ayah yang masih muda menerima tugas yang paling sulit setiap tahunnya, yakni memperoleh bayi, seorang manusia kecil yang hampir tidak berdaya sama sekali, bertanggung jawab penuh bagi kesehatan badan dan jiwa anak itu serta membesarkannya sehingga ia dapat menjadi warga negara yang produktif, koperatif serta berguna bagi masyarakat. Adakah tugas lain yang lebih sukar dan lebih menyita perhatian? Namun begitu, sudah berapa banyak orang tua dilatih untuk ini? Sekarang tentu lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun 1962, ketika di Pasadena, California, saya memutuskan untuk menyusun suatu program latihan bagi para orang tua. Hanya ada 17 orang dalam kelompok saya yang pertama, kebanyakan adalah para orang tua yang sedang mengalami masalah serius dengan anakanak mereka. Kini, beberapa tahun kemudian, setelah melatih sekitar seperempat juta orang tua, kami dapat menunjukkan bahwa kursus ini, yang dinamakan Melatih Orang Tua menjadi Efektif (MOE), dapat mengajarkan kepada kebanyakan orang tua ketrampilan-ketrampilan yang mereka perlukan agar lebih berhasil dalam tugas mereka membesarkan anak-anak. Kami telah membuktikan dalam program yang mengasyikkan ini, bahwa dengan suatu latihan tertentu, banyak orang tua dapat meningkatkan secara pesat kemampuan mereka dalam bertugas sebagai orang tua. Mereka dapat

1

memperoleh ketrampilan-ketrampilan yang amat khusus yang dapat membuat saluran-saluran komunikasi antara orang tua dan anak senantiasa terbuka dalam dua arah. Dan mereka dapat mempelajari suatu metode baru dalam menyelesaikan konflik antara orang tua dengan anak yang akan lebih mempererat hubungan mereka, bukan malah merusaknya. Program ini telah memberi keyakinan kepada kami bahwa orang tua dan anak-anaknya dapat mengembangkan hubungan yang hangat dan akrab yang didasarkan atas saling mengasihi dan saling menghargai. Program ini juga membuktikan bahwa “jurang antar-generasi” tidak perlu terjadi dalam keluarga. Sebagai seorang psikolog klinis yang berpraktek, dulu pun saya sama yakinnya dengan kebanyakan orang tua, bahwa masa “remaja yang penuh pergolakan” adalah normal dan tak dapat dielakkan – yang merupakan akibat dari keinginan umum kaum remaja untuk menegakkan kebebasan mereka dan memberontak terhadap orang tua mereka. Saya yakin bahwa masa remaja sebagaimana telah ditunjukkan melalui kebanyakan studi, selalu merupakan masa badai dan ketegangan dalam keluarga. Pengalaman kami dengan MOE telah membuktikan bahwa hal ini salah. Berkali-kali, orang tua yang telah dilatih MOE melaporkan kenyataan mengejutkan mengenai tidak adanya pemberontakan dan pergolakan dalam keluarga mereka. Kini saya yakin bahwa anak remaja tidak memberontak terhadap orang tua. Mereka hanya memberontak terhadap beberapa metode disiplin tertentu yang bersifat merusak yang hampir selalu dipakai oleh orang tua. Pergolakan dan perselisihan di dalam keluarga akan menjadi suatu perkecualian, dan bukan suatu kecenderungan umum, apabila orang tua belajar untuk beralih pada suatu metode baru dalam menyelesaikan konflik. Program MOE juga telah memberikan pandangan baru mengenai hukuman – dalam mendidik anak. Banyak di antara orang tua MOE kami telah menunjukkan kepada kami bahwa pemberian hukuman dapat ditiadakan untuk seterusnya dalam menanamkan disiplin anak – maksud saya semua jenis hukuman, bukan hanya yang bersifat fisik saja. Orang tua dapat membesarkan anak-anak yang bertanggung jawab, memiliki disiplin diri dan koperatif, tanpa menakut-nakuti; mereka dapat belajar bagaimana mempengaruhi anak-anak untuk bertindak atas dasar pertimbangan tulus bagi kebutuhan-kebutuhan orang tua dan bukan atas dasar takut dihukum atau dikurangi hak-hak mereka. Apakah hal ini kedengaran terlalu indah? Mungkin hal ini saya rasakan sendiri sebelum saya memperoleh pengalaman melatih para orang tua dalam MOE. Sebagaimana umumnya orang profesional, saya telah menilai orang tua terlalu rendah. Orang tua dari MOE telah mengajarkan kepada saya betapa besarnya kemampuan mereka untuk berubah, jika diberi

2

kesempatan berlatih. Saya mempunyai keyakinan baru mengenai kemampuan para ibu dan ayah untuk memahami pengetahuan baru dan memperoleh ketrampilan-ketrampilan baru. Para orang tua dari MOE kami, dengan sedikit perkecualian, ternyata sangat berhasrat mempelajari suatu pendekatan baru dalam membesarkan anak-anak namun pertama-tama mereka harus yakin bahwa cara-cara baru itu akan berhasil. Kebanyakan orang tua telah mengetahui bahwa cara-cara yang mereka gunakan tidaklah berhasil. Jadi orang tua masa kini telah siap untuk mengadakan perubahan, dan program MOE kami menunjukkan bahwa mereka dapat berubah. Kami memetik satu hasil lain dari program MOE. Salah satu tujuan kami semula adalah untuk mengajarkan kepada orang tua beberapa ketrampilan yang digunakan oleh seorang terapis dan penyuluh profesional yang telah mengikuti pendidikan formal dalam menolong anak-anak mengatasi masalah emosional dan tingkah laku yang mengganggu. Memang nampaknya aneh atau bahkan sombong kalau kami mempunyai niat seperti itu. Meskipun kedengarannya mustahil bagi beberapa orang tua (dan bagi beberapa ahli) kami mengetahui kini bahwa orang tua meski belum pernah mengikuti kursus dasar formal psikologi, terbukti dapat mempelajari ketrampilan ini, dan dapat belajar bagaimana dan bilamana menggunakannya secara efektif untuk membantu anak-anak mereka. Selama perkembangan MOE kami telah dihadapkan pada kenyataan yang kadang-kadang membuat kami putus asa, tetapi lebih sering membuat kami merasa semakin ditantang: para orang tua masa kini hampir selalu percaya pada metode yang sama dalam membesarkan anak-anak dan menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga, metode yang telah digunakan oleh orang tua mereka, oleh kakek dan nenek mereka, oleh orang tua dari kakek-nenek mereka. Berlainan dengan hampir semua lembaga dalam masyarakat, hubungan orang tua – anak nampaknya tetap tak berubah. Orang tua mengandalkan metode-metode yang telah digunakan dua ribu tahun yang lalu. Ini bukan karena manusia tidak mendapat pengetahuan yang baru mengenai hubungan-hubungan manusiawi. Bahkan sebaliknya. Psikologi, ilmu perkembangan anak, dan lain-lain ilmu mengenai tingkah laku telah menyodorkan pengetahuan baru yang mengagumkan mengenai anak, orang tua, hubungan antar manusia, bagaimana membantu seseorang mengembangkan diri, bagaimana menciptakan iklim psikologis yang sehat bagi manusia. Banyak yang sudah diketahui mengenai komunikasi efektif antar pribadi, mengenai pengaruh kekuasaan terhadap hubungan antar manusia, mengenai penyelesaian konflik secara konstruktif, dan selanjutnya. Sayangnya, mereka yang telah menyingkapkan kenyataan-kenyataan baru dan mengembangkan metode-metode baru itu tidak berbaik hati untuk

3

menyampaikan kenyataan-kenyataan itu kepada para orang tua. Kami menyebarluaskan itu kepada rekan-rekan kami melalui buku, jurnal profesional, tetapi tidak menyampaikan sebaik itu kepada para orang-tua, yang merupakan konsumen paling berhak atas metode-metode baru ini. Beberapa ahli tentu saja telah mencoba gagasan-gagasan dan metodemetode baru kepada para orang tua, khususnya Haim Ginott, yang menjelaskan dalam bukunya Antara Orang Tua dan Anak, bagaimana orang tua dapat berbicara secara lebih terapetis dengan seorang anak dan menghindari gangguan dari harga diri. Meskipun demikian dari relatif sedikit orang tua yang telah membaca buku itu atau buku-buku lainnya hanya dalam kelompok kami yang menunjukkan bukti-bukti bahwa mereka telah mengubah tingkah laku mereka secara berarti, khususnya pendekatan mereka terhadap disiplin dan penanganan konflik antara orang tua dan anak. Buku ini mungkin terbukti mempunyai keterbatasan yang sama seperti buku-buku sebelumnya, tetapi saya berharap mudah-mudahan tidak demikian, karena buku ini memberikan suatu falsafah yang lebih menyeluruh mengenai apa yang perlu untuk menegakkan dan mempertahankan suatu hubungan total yang efektif dengan seorang anak, dalam setiap dan semua keadaan. Dalam buku ini orang tua dapat mempelajari bukan saja metode-metode dan ketrampilan-ketrampilan, tetapi juga bilamana dan mengapa metode dan ketrampilan ini harus digunakan, dan untuk tujuan apa. Sebagaimana dalam kelompok-kelompok MOE kami, orang tua akan diberi sebuah sistem yang lengkap – prinsip-prinsip dan juga teknik-teknik. Saya yakin bahwa para orang tua harus diberi tahu mengenai keseluruhan – semua yang kami ketahui mengenai penciptaan hubungan antara orang tua dan anak yang efektif, dimulai dari beberapa dasar mengenai apa yang terjadi bila dua orang berhubungan. Kemudian mereka akan mengerti mengapa mereka menggunakan metode-metode MOE, kapan saja metode itu cocok untuk digunakan, dan apa hasil yang akan dicapai. Orang tua akan diberi kesempatan untuk menjadi ahli-ahli dalam menangani masalah-masalah yang tidak terelakkan, yang muncul dalam semua hubungan antara anak dan orang tua. Dalam buku ini, sebagaimana dalam program MOE kami, orang tua akan diberi segala hal yang kami ketahui, tidak hanya sebagian-sebagian atau sepotong-sepotong. Sebuah model lengkap mengenai hubungan antara orang tua dengan anak akan diuraikan secara terperinci dan sering dibubuhi ilustrasi berupa kasus-kasus yang berasal dari pengalaman kami, kebanyakan orang tua menganggap MOE amat revolusioner karena MOE secara dramatis berbeda dengan tradisi. MOE juga cocok bagi orang tua

4

yang mempunyai anak-anak yang masih kecil, maupun anak-anak remaja, anak-anak cacat ataupun anak-anak yang “normal”. Sebagaimana dalam program kelompok kami, MOE akan diuraikan dalam istilah-istilah yang jelas bagi setiap orang tua, tidak dalam istilah teknis. Beberapa orang tua mungkin pada mulanya merasa tidak setuju dengan beberapa di antara konsep-konsep baru, tetapi akan sedikit sekali yang tidak mengerti konsep-konsep itu. Karena pembaca tidak mungkin menyatakan minatnya secara tatap muka dengan seorang pendamping, maka di sini akan dikemukakan beberapa pertanyaan dengan jawaban-jawabannya yang mungkin dapat membantu pembaca sebagai permulaan. Apakah MOE ini merupakan suatu pendekatan permisif jenis lain dalam mendidik anak-anak? JAWAB: Jelas tidak. Orang tua yang permisif menghadapi masalah-masalah yang sama banyaknya seperti orang tua yang terlalu keras, oleh karena anak-anak mereka ternyata sering menjadi anak-anak yang egois, tidak dapat dikendalikan, tidak dapat bekerja sama dan tidak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan orang tua mereka. PERTANYAAN: Dapatkah salah satu orang tua menggunakan cara pendekatan ini secara efektif bila yang lain tetap menggunakan cara pendekatan lama? JAWAB: Ya dan tidak. Bila hanya salah satu orang tua mulai menggunakan pendekatan baru, maka akan terjadi perbaikan yang yang jelas dalam hubungan antara orang tua itu dan anak-anak. Tetapi hubungan antara orang tua yang lain dengan anak-anak akan memburuk. Dengan demikian jauh lebih kalu kedua orang tua mempelajari metode-metode baru ini. Lagi pula bila kedua orang tua mencoba mempelajari pendekatan baru ini bersama-sama mereka dapat saling banyak menolong. PERTANYAAN: Apakah orang tua akan kehilangan pengaruh mereka terhadap anak mereka dengan pendekatan baru ini? Apakah mereka akan melepaskan tanggung jawab selaku pembimbing dan pengarah kehidupan anak-anak mereka? JAWAB: Bila orang tua membaca bab-bab pertama, mereka akan memperoleh kesan itu. Sebuah buku hanya memaparkan sebuah sistem secara bertahap. Bab-bab pertama membahas cara-cara membantu seorang anak menemukan pemecahan masalah-masalah yang mereka hadapi sendiri. Dalam keadaan-keadaan ini, peranan orang tua yang efektif akan nampak berbeda – jauh lebih pasif atau “nondirektif” daripada yang biasa mereka lakukan. Tetapi dalam bab-bab selanjutnya akan dibahas bagaimana cara mengubah tingkah laku anak yang dapat diterima, dan bagaimana mempengaruhi mereka untuk mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan Anda sebagai orang tua. Untuk keadaankeadaan demikian, kepada Anda akan diperlihatkan cara-cara khusus untuk menjadi orang tua yang lebih bertanggung jawab. Lebih berpengaruh, daripada apa yang kini telah Anda miliki. Sebaiknya Anda memeriksa Daftar Isi untuk melihat pokok-pokok apa yang dibahas dalam bab-bab kemudian. PERTANYAAN:

Buku ini – sebagaimana lokakarya MOE – mengajarkan kepada para orang tua sebuah metode yang agak mudah dipelajari untuk mendorong

5

anak memikul tanggung jawab dalam usaha memecahkan masalah-masalah mereka sendiri dan melukiskan bagaimana orang tua dapat segera melaksanakan metode ini di rumah. Orang tua yang mempelajari metode ini (yang dinamakan “Mendengarkan secara aktif”) dapat mempelajari sendiri apa yang dilukiskan oleh orang tua yang telah mengikuti lokakarya MOE: “Alangkah leganya saya kini, tidak perlu berpikir bahwa saya harus mempunyai semua pemecahan atas masalah-masalah anak-anak saya”. “MOE telah menjadikan saya seorang yang mempunyai penghargaan yang jauh lebih besar terhadap kemampuan anak-anak untuk memecahkan masalahmasalah mereka sendiri”. “Saya kagum pada metode mendengarkan secara aktif. Anak-anak saya muncul dengan pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah mereka yang sering kali jauh lebih baik daripada pemecahan yang mungkin akan saya usulkan”. “Saya selalu merasa tidak senang menjalankan peranan sebagai Tuhan – merasa bahwa saya tahu apa yang harus dilakukan oleh anak-anak bila mereka mempunyai masalah”.

Dewasa ini beribu-ribu anak remaja sudah tidak lagi mendengarkan orang tua mereka dan ini dilakukan dengan alasan yang baik, sejauh hal itu yang menyangkut anak-anak. “Orang tua saya tidak dapat memahami anak seusia saya”. “Saya benci untuk pulang dan di beri kuliah tiap makan”. “Saya tidak pernah menceritakan apa pun kepada orang tua saya; bila saya lakukan hal itu, mereka tidak akan memahami”. “Saya ingin orang tua saya tidak membebani saya”. “Saya secepatnya akan meninggalkan rumah – saya tidak tahan diomeli terus-menerus”.

Orang tua anak-anak ini biasanya sadar bahwa mereka tidak didengarkan lagi, sebagaimana terbukti dari pernyataan-pernyataan anggota kelompok MOE ini “Saya sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap putra saya yang berumur 16 tahun”. “Kami telah putus asa dengan Sri”. “Tini tidak pernah mau makan bersama dengan kami lagi, dan ia hampir tedak pernah bicara dengan kami. Sekarang ia minta sebuah kamar di luar, di garasi”. “Maman tidak pernah di rumah. Ia tidak pernah memberi tahu ke mana ia pergi atau apa yang dilakukannya. Bila saya bertanya padanya, ia menjawab bahwa hal itu bukan urusan saya”.

Adalah suatu tragedi bagi saya, bahwa satu di antara hubunganhubungan yang paling akrab dan memuaskan dalam kehidupan, demikian seringnya menimbulkan hubungan yang tidak baik. Mengapa demikian banyak remaja melihat orang tua mereka sebagai “musuh”? Mengapa

6

jurang pemisah antara generasi satu dengan yang lain begitu lebar dalam keluarga-keluarga masa kini? Mengapa ada permusuhan antara orang tua dan anak-anak mereka dalam masyarakat ini? Bab 14 akan membahas pertanyaan-pertanyaan ini dan akan menunjukkan mengapa anak-anak tidak perlu menentang dan memberontak terhadap orang tua mereka. MOE adalah revolusioner, ya, tapi bukan merupakan metode yang mengundang revolusi. MOE malah merupakan metode yang dapat membantu agar nasihat orang tua didengar, mencegah permusuhan dalam rumah, dan lebih mendekatkan orang tua dengan anakanak bukan sebagai dua kelompok yang saling bertentangan. Para orang tua yang semula cenderung menolak metode-metode kami karena terlalu revolusioner mungkin memperoleh motivasi untuk mempelajarinya dengan pikiran terbuka bila membaca kutipan suatu riwayat hidup yang dikemukakan oleh seorang ibu dan ayah setelah mereka mengikuti MOE: “Budi, pada waktu ia berumur 16 tahun, merupakan masalah kami paling utama. Ia menyendiri. Ia menjadi liar dan sama sekali tidak bertanggung jawab. Mula-mula ia mendapat nilai kurang di sekolah. Kalau ia pergi, ia tidak pernah pulang pada waktu yang telah dijanjikan, dan sebagai alasan ia mengatakan bahwa ban mobil kempes, arloji tidak jalan, dan bensin habis. Kami mematamatinya dan ia membohongi kami. Kami melarang dia mengendarai mobil. SIM-nya kami ambil. Kami kurangi uang sakunya. Percakapan kami penuh dengan tuduh-menuduh. Semua tidak ada hasilnya. Sesudah suatu pertengkaran sengit, ia berbaring di lantai dapur serta menyepak-nyepak, berteriak dan menjerit-jerit bahwa ia akan menjadi gila. Atas dasar itu kami kemudian mendaftarkan diri dan mengikuti lokakarya untuk orang tua dari Dr. Gordon. Perubahan tidak terjadi dalam satu malam ... Kami tidak pernah merasa sebagai satu kesatuan, suatu keluarga yang hangat, diliputi kasih sayang dan saling mengasuh. Keadaan ini baru terjadi setelah ada perubahan besar dalam sikap dan nilai-nilai kami ... Gagasan baru mengenai menjadi seorang pribadi yang kuat dan berdiri sendiri, yang menganut nilai-nilainya sendiri tanpa memaksanya pada orang lain, selain sebagai model kebaikan merupakan titik balik. Kami mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar ... Dari pemberontakan dan serangan-serangan marah, dari kegagalan di sekolah, Budi berubah menjadi satu pribadi yang ramah, penyayang sesama manusia, dan menyebut kedua orang tuanya sebagai “dua di antara orang yang saya senangi” ... Saya menemukannya kembali dalam keluarga ... Saya mempunyai hubungan dengan dia sebagaimana pernah saya yakini, penuh kasih sayang serta penuh kepercayaan dan kebebasan. Ia memiliki dorongan-dorongan yang datang dari dalam dan bilamana masing-masing dari kita juga demikian keadaannya, maka kita akan betul-betul hidup dan berkembang sebagai satu keluarga.

Para orang tua yang belajar mengunakan cara-cara baru di dalam menyampaikan perasaan-perasaan mereka, tidak mungkin menghasilkan

7

anak seperti sorang pemuda berumur 16 tahun yang mendatangi kantor saya dan dengan wajah yang polos mengaku: “Tak ada yang perlu saya lakukan di rumah. Mengapa tidak? Tugas orang tualah untuk mengurusi saya. Secara hukum mereka berkewajiban demikian. Saya tidak minta untuk dilahirkan, bukan? Selama saya masih kecil mereka berkewajiban mencukupi sandang pangan saya. Saya tidak wajib melakukan apa-apa. Saya sama sekali tidak berkewajiban untuk membuat mereka senang”.

Pada waktu saya mendengar apa yang dikatakan oleh orang muda ini dan tentu mempercayainya, saya berpikir, “Manusia-manusia apakah yang kita hasilkan bila anak-anak itu dibiarkan tumbuh menjadi besar dengan sikap bahwa dunia berutang budi sedemikian besar padanya meskipun mereka sendiri tidak banyak menyumbang kembali? Warga negara macam apakah yang diturunkan orang tua ke bumi ini? Masyarakat bagaimanakah yang akan diciptakan oleh manusia-manusia yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri seperti ini?” Hampir tanpa kecuali, para orang tua dapat digolongkan secara kasar dalam 3 kelompok – mereka yang “menang”, yang “kalah”, dan yang “menang-kalah”. Para orang tua yang tergolong dalam kelompok pertama gigih mempertahankan dan membenarkan hak mereka untuk menggunakan otoritas ataupun kekuasaan atas anak. Mereka percaya perlunya mengekang, menentukan batas, menuntut tingkah laku tertentu, memberi perintah, dan mengharapkan sikap taat, mereka menggunakan ancaman agar anak menurut, dan melaksanakan hukuman bila ia tidak menurut, bilamana timbul konflik antara kebutuhan orang tua dan anak, para orang tua ini selalu memecahkannya dengan cara yang sedemikian rupa sehingga orang tualah yang menang dan anak yang kalah. Umumnya para orang tua ini merasionalisasikan “kemenangan” mereka dengan pikiran yang stereotif seperti “Ayahlah yang paling tahu”, “Semua demi kebaikan si anak”, “Anak-anak umumnya membutuhkan otoritas dari orang tua”, ataupun mereka menyebutkan secara samar-samar bahwa “Adalah tanggung jawab orang tua untuk menggunakan otoritas mereka demi kebaikan anak, orang tualah yang paling mengetahui apa yang benar dan apa yang salah”. Kelompok orang tua yang kedua, yang berjumlah lebih sedikit daripada kelompok pertama, hampir selalu memberikan anak-anak mereka kebebasan. Mereka secara sadar menghindari pemberian batas-batas kepada anak-anak mereka, dan dengan bangga mengemukakan bahwa mereka bukan penganut metode otoriter. Bila terjadi konflik antara kebutuhan orang tua dengan kebutuhan anak, maka agak secara konsisten anaklah yang menang dan orang tualah yang kalah, karena orang tua seperti itu percaya bahwa menghambat kebutuhan-kebutuhan anak berakibat kurang baik. Barangkali kelompok terbesar daripada orang tua terdiri dari mereka yang beranggapan bahwa sulit untuk mengikuti secara konsisten salah satu

8

di antara kedua pendekatan tadi. Akibatnya, untuk mencoba sampai pada “perpaduan yang adil” dari masing-masing cara pendekatan itu, mereka bergerak hilir-mudik antara menjadi orang tua yang keras dan yang lemah, sulit dan mudah, membatasi dan membiarkan, menang dan kalah. Sebagaimana cerita salah seorang ibu kepada kami: “Saya mencoba untuk bersikap permisif terhadap anak-anak saya sampai mereka menjadi sedemikian buruknya sehingga saya tidak tahan lagi. Kemudian saya merasa bahwa harus mengubahnya dan mulai menggunaan kekuasaan saya hingga saya menjadi demikian kerasnya sampai saya sendiri tidak tahan”.

Para orang tua yang mengungkapkan perasaan semacam itu dalam kelompok MOE secara diam-diam mengungkapkan itu atas nama sejumlah besar orang tua dalam “kelompok ragu-ragu”. Mungkin orang tua ini adalah yang paling bingung dan ragu-ragu, namun seperti akan kami tunjukkan kelak, anak-anak merekalah yang sering kali justru paling terganggu. Dilema utama dari orang tua masa kini ialah bahwa mereka hanya melihat dua cara pendekatan dalam mengatasi konflik di rumah – konflik yang mau tak mau akan timbul antara orang tua dengan anak. Mereka hanya melihat dua alternatif dalam pendidikan anak. Beberapa memilih pendekatan “saya menang – kamu kalah”, beberapa yang lain memilih “kamu menang – saya kalah”. Sedangkan yang lain nampaknya tidak memutuskan yang mana yang harus dipilih. Para orang tua MOE heran setelah mengetahui bahwa ada alternatif lain dari metode “menang-kalah” itu. Kami menamakannya metode “antikalah” dalam menyelesaikan konflik, dan salah satu tujuan pokok dari program MOE adalah membantu orang tua menggunakannya secara efektif. Meskipun metode ini telah bertahun-tahun lamanya digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik lain, hanya sedikit di antara orang tua yang pernah memikirkannya sebagai suatu metode untuk menyesaikan konflik orang tua dan anak. Banyak di antara pasangan suami-istri yang menyelesaikan konflik mereka melalui pemecahan masalah antara kedua pihak. Demikian pula partner-partner dalam usaha. Serikat-serikat kerja dan pimpinan perusahaan merundingkan kontrak-kontrak yang mengikat kedua. Pengaturan hak milik atau harta benda dalam perceraian sering kali dicapai melalui pengambilan keputusan bersama. Bahkan anak-anak sering kali menyelesaikan konflik antara mereka melalui kesepakatan bersama atau pengikatan-pengikatan informal yang dapat diterima oleh dua pihak (“Kalau Anda melakukan ini, maka saya akan menyetujui”). Organisasi-organisasi perusahaan semakin meningkatkan frekuensinya untuk melatih pegawai-pegawai mereka dalam hal penggunaan proses pengambilan keputusan melalui partisipasi dalam menyelesaikan konflik-konflik.

9

Tak ada alat atau cara seketika untuk menjadi orang tua efektif, metode “anti-kalah” ini menuntut suatu perubahan mendasar dalam sikap-sikap dari kebanyakan orang tua terhadap anak-anak mereka. Diperlukan waktu untuk dapat menerapkannya di rumah, dan dari pihak orang tua pertama-tama diminta untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan untuk dapat mendengarkan tanpa memberi penilaian dan melangsungkan komunikasi yang jujur dari perasaan-perasaan mereka. Selanjutnya metode “anti-kalah” ini akan diuraikan dan digambarkan dalam bab-bab berikutnya. Kedudukannya dalam buku ini, sekalipun demikian, tidaklah mencerminkan kepentingan sebenarnya dari metode “anti-kalah” untuk pendekatan kami secara menyeluruh terhadap pendidikan anak. Sebenarnya metode baru dalam mengembangkan disiplin di rumah melalui penanganan yang efektif terhadap konflik-konflik, merupakan nafas kehidupan dan falsafah kami. Hal ini adalah kunci utama menuju efektivitas orang tua. Orang tua yang meluangkan waktu untuk memahaminya dan kemudian secara sungguh-sungguh menerapkannya di rumah sebagai kemungkinan daripada kedua metode menang-kalah itu akan memperoleh manfaat yang besar, yang biasanya melampaui harapan dan keinginan mereka.

10

2 Orang Tua Adalah Manusia, Bukan Malaikat Apabila seseorang menjadi orang tua, maka terjadilah suatu keganjilan yang patut disesali. Mereka akan mulai memainkan suatu peran atau jabatan tertentu dan lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah pribadi manusia. Setelah ditahbiskan sebagai orang tua dengan segala kekudusannya, mereka merasa harus mengenakan jubah “orang tua”. Secara sungguh-sungguh mereka kini mencoba untuk bertindak menurut cara-cara tertentu karena mereka mengira memang demikianlah orang tua seharusnya bertindak. Ati dan Win Basarudin, dua makhluk manusia secara mendadak berubah menjadi orang tua, sebagai Tuan dan Nyonya Basarudin. Secara serius, perubahan ini tidaklah menguntungkan, karena sering berakibat orang tua lupa mereka tetaplah manusia dengan segala keterbatasan yang bersifat manusiawi, pribadi dengan segala keterbatasan pribadi, manusia yang nyata dengan dengan pelbagai perasaan yang nyata pula. Dengan melupakan kenyataan manusiawi ini, maka seorang yang menjadi orang tua sering berhenti menjadi manusia. Mereka tidak lagi merasa bebas untuk menjadi diri sendiri, apa pun yang mereka rasakan pada saat-saat yang berbeda. Kini sebagai orang tua, mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjadi lebih baik daripada sekedar sebagai manusia. Beban tanggung jawab yang amat berat ini merupakan tantangan bagi manusia yang telah berubah menjadi orang tua. Mereka merasa bahwa mereka harus selalu bersikap konsisten dalam perasaan-perasaan mereka, harus selalu menyayangi anak-anak, harus menerima dan bersikap toleran tanpa syarat, harus mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan diri sendiri dan berkorban demi anak-anak, harus senantiasa adil, dan yang terpenting adalah tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tua terhadap mereka. Meskipun niat baik ini dapat dipahami dan dapat dipuji, namun niat-niat ini biasanya menjadikan para orang tua menjadi kurang efektif. Melupakan sifat-sifat manusiawi itu sendiri adalah kesalahan serius pertama yang mungkin dibuat seseorang sewaktu memainkan peran sebagai orang tua. Sepasang orang tua yang efektif akan tetap membiarkan dirinya sendiri sebagai pribadi-pribadi sejati. Anak-anak sungguh-sungguh akan menghargai sifat manusiawi ini dan sifat tidak berpura-pura dari orang tua mereka ini. Mereka sering kali mengatakan demikian: “Ayah saya betulbetul manusia tulus”, atau “Ibuku adalah pribadi yang menyenangkan”. Bila mereka menginjak masa remaja, kadang-kadang mereka mengatakan, “Orang tua saya lebih sebagai teman daripada orang tua. Mereka adalah

11

orang-orang hebat. Tentunya mereka mempunyai kelemahan-kelemahan sebagaimana orang lain, namun saya menyukai mereka sebagaimana adanya”. Apakah yang dikatakan oleh anak-anak ini? Jelas bahwa mereka ingin agar orang tua mereka menjadi manusia bukan malaikat. Mereka menunjukkan reaksi yang baik terhadap terhadap orang tua sebagai manusia pribadi, tidak sebagai pemain sandiwara, berpura-pura menjadi tokoh yang bukan dirinya yang sejati. Bagaimana orang tua dapat menjadi pribadi-pribadi manusia terhadap anak-anak mereka? Bagaimana orang tua dapat mempertahankan sifat-sifat kepribadian mereka? Dalam bab ini kami ingin menunjukkan kepada orang tua bahwa untuk menjadi orang tua yang efektif tidak perlu membuang sifat kemanusiaan mereka. Anda dapat menerima diri Anda sebagi seorang yang dapat mempunyai perasaan positif maupun perasaan negatif terhadap anakanak. Anda bahkan tidak perlu bersikap konsisten untuk tetap menjadi orang tua yang efektif. Anda tidak perlu berpura-pura untuk menerima dan mencintai seorang anak apabila Anda sungguh-sungguh tidak merasakannya demikian. Anda juga tidak harus merasakan derajat kecintaan dan penerimaan yang sama terhadap semua anak Anda. Akhirnya, Anda dan pasangan Anda tidak perlu membuat benteng bersama dalam menghadapi anak-anak. Tapi sangatlah penting bagi Anda untuk belajar mengetahui apa yang sungguh-sungguh sedang Anda rasakan. Di dalam kelas-kelas MOE, kami memakai beberapa diagram untuk para orang tua mengenali apa yang mereka rasakan, dan mengenali penyebab timbulnya pelbagai perasaan dan pelbagai keadaan.

“Diagram Penerimaan” bagi Para Orang Tua Semua orang tua adalah pribadi-pribadi yang dari masa ke masa mempunyai dua macam perasaan yang berbeda terhadap anak-anak mereka – menerima dan tidak menerima. Orang tua yang menunjukkan “pribadi yang sesungguhnya” kadang-kadang merasa dapat menerima apa yang dilakukan anak-anak dan kadang-kadang tidak dapat menerimanya, atau menolaknya. Semua tingkah laku yang mungkin dilakukan anak – apa yang mungkin ia lakukan atau katakan – dapat digambarkan dengan sebuah segi empat. semua tingkah laku yang mungkin dilakukan oleh anak-anak Anda

Jelasnya, beberapa di antara tingkah laku anak dapat Anda terima; beberapa tidak. Ini dapat kami gambarkan dalam segi empat yang terbagi dalam daerah yang diterima dan daerah yang tidak dapat diterima.

12

daerah yang dapat diterima daerah yang tidak dapat diterima

Anak Anda yang sedang menonton acara Minggu pagi di TV, memberi Anda kesempatan untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, akan jatuh ke dalam daerah yang dapat diterima. Apabila ia membesarkan suara TV sedemikian kerasnya sehingga menjengkelkan Anda, maka tingkah laku yang demikian masuk ke dalam daerah yang tidak dapat diterima. Garis pemisah antara kedua daerah itu jelas akan berlainan bagi orang tua yang berlainan pula. Seorang ibu mungkin saja tidak banyak menemukan perilaku anaknya yang tidak dapat diterima dan tentu saja lebih sering menunjukkan sikap hangat dan dapat menerima anaknya. daerah yang dapat diterima

Orang tua yang relatif “menerima”

daerah yang tidak dapat diterima

Seorang ibu lain mungkin menganggap bahwa banyak tingkah laku anaknya yang tidak dapat dia terima dan ia jarang secara tulus mampu bersikap hangat dan menerima anaknya. daerah yang dapat diterima

Orang tua yang relatif “tidak dapat menerima”

daerah yang tidak dapat diterima

Bagaimana sikap menerima dari orang tua terhadap anak itu sebagian merupakan fungsi dari sifat pribadi orang tua. Ada beberapa orang tua, yang oleh karena bawaan mereka, memiliki kemampuan untuk sangat dapat menerima anak-anak. Orang tua seperti itu, menarik sekali, mereka biasanya pun dapat menerima orang lain pada umumnya. Mereka juga ditandai oleh sifat menerima diri – rasa aman dalam diri, tingkat toleransi yang tinggi, kenyataan bahwa mereka menyukai dirinya sendiri, kenyataan bahwa perasaan mereka mengenai dirinya sendiri tidak ada hubungannya, atau bebas dari apa yang terjadi di sekitar mereka, dan sejumlah besar variabel kepribadian yang lain. Setiap orang mempunyai kenalan semacam

13

itu, meskipun Anda mungkin tidak mengetahui apa yang membuat mereka menjadi demikian, Anda menganggap sebagai “orang-orang yang mudah dapat menerima”. Orang akan merasa senang berada di sekitar mereka – Anda dapat berbicara secara terbuka dengan mereka, secara terus terang. Masing-masing merupakan dirinya sendiri. Orang tua lain, sebagai manusia, barangkali sukar sekali untuk dapat menerima orang lain. Agaknya mereka beranggapan bahwa banyak tingkah laku orang lain tidak dapat mereka terima. Apabila Anda mengamati mereka sedang bersama dengan anak-anak mereka, Anda mungkin akan heran mengapa demikian banyak tingkah laku anak yang nampaknya dapat Anda terima, tidak dapat diterima oleh mereka. Dalam hati Anda mungkin akan berkata pada diri Anda sendiri, “Ah, biarkan anak-anak itu bermain sendiri – mereka tidak mengganggu siapa-siapa!” Sering kali mereka merupakan orang-orang yang berpendapat tegas dan kaku tentang bagaimana orang lain “seharusnya” bertingkah laku, tingkah laku manakah yang “benar” dan mana yang “salah” – bukan hanya mengenai anak-anak tetapi terhadap setiap orang. Anda akan merasa canggung untuk berada di sekitar orang-orang yang demikian karena Anda sangsi apakah mereka dapat menerima Anda. Baru-baru ini saya mengamati seorang ibu beserta dua putranya yang masih kecil di sebuah toko serba ada. Bagi saya, anak-anak itu nampaknya bertingkah laku wajar. Mereka tidak ribut-ribut ataupun menimbulkan gangguan apa-apa. Namun ibu tersebut tak henti-hentinya mengatakan pada putra-putranya apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan: “Ikuti saya, sekarang”. “Jangan menyentuh kereta dorong”. “Minggir, jangan menghalang-halangi”. “Cepat sedikit!”. “Biarkan kue-kue itu”. “Jangan memegang makanan”. Seolah-olah ibu itu tidak dapat menerima apa pun yang dilakukan oleh anak-anaknya. Garis pemisah antara daerah-daerah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima selain sebagian dipengaruhi oleh faktor-faktor yang hanya terdapat di dalam diri orang tua, hal itu pun ditentukan oleh si anak. Terhadap anak-anak tertentu sering sukar sekali orang tua mempunyai sikap menerima. Mungkin karena anak-anak itu bersikap sangat agresif dan aktif, ataupun kurang menarik penampilan fisiknya, atau mungkin saja mereka menunjukkan sifat-sifat tertentu yang khususnya tidak kita sukai. Seorang anak yang pada awal hidupnya terus sakit-sakitan, atau sukar tidur, ataupun sering menangis, atau sering kejang akan dengan sendirinya lebih sukar dapat diterima oleh orang tua. Gagasan-gagasan yang ditampilkan dalam banyak buku serta artikel yang ditulis untuk para orang tua selalu harus adil dalam sikap dapat menerima terhadap tiap anak, bukan hanya merupakan sesuatu yang keliru, tetapi telah menyebabkan rasa bersalah pada banyak orang tua bila mereka

14

benar-benar merasakan adanya perbedaan derajat penerimaan terhadap orang-orang dewasa yang mereka jumpai. Apa bedanya dengan perasaan mereka terhadap anak-anak? Kenyataan bahwa penerimaan orang tua terhadap anak tertentu itu dipengaruhi oleh ciri-ciri dari anak itu dapat digambarkan sebagai berikut: daerah yang dapat diterima

daerah yang dapat diterima

daerah yang tidak dapat diterima

daerah yang tidak dapat diterima

Orang tua dengan anak A

Orang tua dengan anak B

Beberapa orang tua akan merasa lebih mudah untuk menerima anak-anak perempuan daripada anak laki-laki – orang tua yang lainnya merasakan hal yang sebaliknya. Bagi beberapa orang tua, anak-anak yang sangat aktif, lebih sulit untuk diterima. Anak-anak yang secara aktif ingin mengetahui sesuatu dan yang senang menyelidiki banyak hal secara bebas, lebih sulit untuk dapat diterima oleh orang tua tertentu daripada anak-anak yang lebih pasif dan mempunyai sifat tergantung. Saya mengenal beberapa anak yang entah dari mana memiliki pesona dan daya tarik yang demikian rupa sehingga seolah-olah saya dapat menerima hampir semua yang mereka lakukan. Saya juga pernah secara tidak beruntung menjumpai beberapa anak yang kehadirannya tidak menyenangkan saya, banyak di antara tingkah laku mereka tidak dapat saya terima. Kenyataan lain yang mempunyai arti yang besar adalah garis pemisah antara daerah yang dapat diterima dan daerah yang tidak dapat diterima tidak statis tapi bergerak naik-turun. Ini dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk keadaan jiwa, fikiran sesaat dari orang tua dan situasi di mana anak dan orang tua itu berada. Orang tua yang pada suatu saat tertentu merasa bersemangat, sehat, dan bahagia dengan dirinya sendiri, mungkin sekali lebih banyak dapat menerima tingkah laku anaknya. Lebih sedikit di antara yang dilakukan si anak yang akan mengganggu orang tua bila ia sedang merasa senang dengan dirinya sendiri. daerah yang dapat diterima

Orang tua yang sedang senang dengan dirinya sendiri

daerah yang tidak dapat diterima

15

Bila orang tua merasa lelah sekali karena kurang tidur atau karena sakit kepala, ataupun merasa jengkel kepada diri sendiri, maka banyak hal yang dilakukan anak akan terasa merepotkan mereka. Ketidakserasian ini dapat digambarkan sebagai berikut: daerah yang dapat diterima

Orang tua yang merasa tidak senang dengan keadaan dirinya

daerah yang tidak dapat diterima

Perasaan dapat menerima dari orang tua juga berubah dari satu situasi ke situasi berikutnya. Semua orang tua sering mengalami bahwa mereka biasanya kurang dapat menerima ulah anak mereka apabila mereka sekeluarga mengunjungi rumah kenalan dibandingkan dengan apabila terjadi di rumah. Dan betapa tiba-tiba tingkat toleransi orang tua terhadap anak-anak mereka berubah bila nenek dan kakek datang berkunjung! Tentu sering nampak membingungkan anak-anak bahwa orang tua mereka menjadi marah melihat tata cara anak-anak makan di meja makan bila sedang ada tamu, meskipun tata cara yang sama dapat mereka terima bila keluarga itu tidak sedang menerima tamu. Ketidakserasian ini dapat dilukiskan sebagai berikut: daerah yang dapat diterima

daerah yang dapat diterima

daerah yang tidak dapat diterima

daerah yang tidak dapat diterima

situasi A

situasi B

Adanya dua orang tua menambah rumit gambaran mengenai mana yang dapat dan mana yang tidak dapat diterima dalam keluarga. Pertama-tama, sering kali salah seorang dari orang tua itu lebih dapat menerima dibandingkan dengan yang lain. Joko, seorang anak laki-laki yang berumur 5 tahun yang kuat dan aktif, mengambil sebuah bola dan melemparkannya kepada adiknya di ruang tamu. Ibu marah dan jelas tidak dapat menerima hal ini karena takut kalau-kalau Joko merusak sesuatu di ruangan itu. Tetapi ayah bukan hanya dapat menerima tindakan tersebut, melainkan dengan bangga mengatakan “Lihat itu Joko – ia akan menjadi pemain bola yang baik. Lihat lemparannya itu!”.

Lagi pula, garis pemisah dari masing-masing orang tua itu bergerak naik-turun pada saat-saat yang berbeda tergantung pada situasi dan pikiran masing-masing orang tua iu. Jadi seorang ayah dan seorang ibu tidak selalu mempunyai perasaan yang sama mengenai tingkah laku yang sama dari anak mereka pada suatu saat tertentu.

16

Orang Tua Dapat dan Boleh Tidak Konsisten Tidak dapat dihindarkan kenyataan bahwa orang tua menjadi tidak konsisten. Bagaimana mereka dapat berbuat lain, bila perasaan mereka berubah dari hari ke hari, dari anak ke anak, dari situasi ke situasi? Bila orang tua mencoba menjadi konsisten, mereka tidaklah jujur. Nasehat tradisional kepada orang tua bahwa mereka harus konsisten bagaimanapun juga mengabaikan fakta bahwa situasi adalah berbeda, anak-anak berbeda, dan ibu serta ayah adalah manusia yang berbeda. Lagi pula, nasehat semacam itu mempunyai akibat buruk yakni mendorong orang tua untuk berpura-pura, untuk bersandiwara menjadi seorang manusia dengan perasaan yang senantiasa sama.

Orang Tua Tidak Perlu Tampil Sebagai “Satu Pihak” Bahkan lebih penting lagi, nasehat untuk bersikap konsisten telah mengarahkan banyak ibu dan ayah berpikir bahwa harus selalu seia sekata dalam hal peresaan mereka, menampilkan satu kesatuan sebagai orang tua di depan anak-anak mereka. Ini mustahil. Kendatipun demikian, ini merupakan keyakinan yang sudah sangat berakar dalam pendidikan anak. Orang tua menurut pandangan tradisional ini harus senantiasa saling mendukung hingga anak menjadi percaya bahwa terhadap seatu tingkah laku tertentu kedua orang tuanya mempunyai perasaan yang sama. Terlepas dari tidak adilnya siasat ini – mengelompokkan anak dalam kelompok dua lawan satu – hal ini sering kali mendorong terjadinya kepurapuraan dari pihak orang tua. Kamar seorang gadis berumur 16 tahun umunya tidak bersih sebagaimana dikehendaki ibunya. Kebiasaan membersihkan pada gadis ini tidak dapat diterima oleh sang ibu (berada dalam daerah tidak dapat diterima). Tetapi ayahnya, menganggap bahwa kamar itu cukup bersih dan rapi. Tingkah laku yang sama berada dalam daerah dapat berbeda. Ibu menekan ayah untuk merasakan hal seperti dirinya, hingga mereka berdua berada di satu pihak (yang mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap anak gadis mereka). Bila ayah mengikuti ini, maka ia tidak jujur dengan memalsukan perasaan yang sebenarnya. Seorang anak laki-laki berumur 6 tahun sedang gaduh bermain mobilmobilan truk melebihi apa yang dapat diterima oleh sang ayah. Ibu, sama sekali tidak merasa terganggu olehnya. Ia bersyukur bahwa si anak bermain sendiri dan bukannya sebentar-sebentar mengganggu dirinya sebagaimana biasa dilakukannya sepanjang hari. Ayah mendekati ibu, “Mengapa kamu tidak berbuat sesuatu agar ia berhenti berbuat gaduh seperti itu?”. Apabila sang ibu mengikutinya, ia akan menyangkal perasaannya yang sebenarnya.

Penerimaan Palsu 17

Tak ada orang tua yang pernah merasa dapat menerima semua tingkah laku seorang anak. Beberapa tingkah laku anak akan selalu terletak dalam “daerah yang tidak dapat diterima” dari orang tua. Saya mengenal para orang tua yang “garis penerimaan”-nya sangat rendah daam empat persegi panjang kit, tapi tak pernah saya menjumpai orang tua yang “dapat menerima tanpa syarat”. Beberapa orang tua berpura-pura dapat menerima banyak dari tingkah laku anak-anak mereka, tetapi semua orang tua itu sebenarnya memainkan peranan sebagai orang tua yang baik. Karenanya, sebagian tertentu dari sikap dapat menerimanya adalah palsu. Secara lahir mereka mungkin bertindah seolah-olah dapat menerima, tetapi secara batin mereka sebenarnya merasa tidak dapat menerima. dapat diterima penerimaan palsu tak dapat diterima

Misalkan ada orang tua merasa gusar karena anaknya yang berusia 5 tahun terlambat tidur. Orang tua ini mempunyai kebutuhannya sendiri – katakanlah membaca sebuah buku yang baru. Ia jauh lebih menyukai untuk melakukan hal ini daripada mencurahkan waktu untuk anaknya. Juga, ia khawatir mengenai kemungkinan si anak kekurangan tidur dan menjadi rewel keesokan harinya atau menjadi pilek. Meskipun demikian sang ibu, yang mencoba untuk mengikuti pendekatan “permisif”, bersikap lunak dalam mengajukan tuntutan kepada anaknya karena ia takut bahwa hal ini akan tidak konsisten dengan prinsip-prinsipnya. Orang tua ini tidak dapat menghindar dari penampilan “penerimaan palsu”. Ia mungkin bertindak seolah-olah ia menerima bahwa anaknya belum tidur tetapi dalam batinnya ia sama sekali tidak dapat menerimanya; ia merasa sangat terganggu, mungkin marah, dan jelas frustrasi karena kebutuhan-kebutuhannya sendiri tak terpenuhi. Apakah akibatnya terhadap anak jika orang tua secara palsu bersikap dapat menerimanya? Anak-anak, sebagaimana umumnya diketahui, sangatlah peka terhadap sikap-sikap orang tua mereka. Mereka amat peka menangkap perasaan sejati orang tua mereka, karena orang tua menyampaikan “pesan-pesan tanpa kata” kepada anak-anak mereka – isyarat-isyarat yang ditangkap oleh anak-anak, kadang-kadang secara sadar, kadang-kadang secara tak sadar. Orang tua yang sikap batinnya terganggu atau marah, tak dapat tidak akan menyampaikan isyarat-isyarat halus, mungkin berupa kerutan kening, alis terangkat, nada bicara yang khusus, sikap tubuh tertentu, ketegangan otot-otot muka. Bahkan anak-anak kecil sekalipun dapat menangkap isyarat-isyarat seperti itu, yang dipelajari dari

18

pengalaman bahwa isyarat-isyarat seperti itu biasanya berarti ibunya tidak sungguh-sungguh dapat menerima apa yang mereka lakukan. Akibatnya, anak muda merasa bahwa dirinya tidak disetujui – pada saat khusus itu ia merasa bahwa orang tuanya tidak menyukai dirinya. Apa yang terjadi bila ibu sungguh-sungguh merasa tidak dapat menerima, tapi tingkah lakunya tampil pada anak sebagai dapat menerima? Anak dapat juga menangkap tingkah laku ini. Kini ia betul-betul bingung. Ia menerima “pesan-pesan campuran” atau isyarat-isyarat yang saling bertentangan – tingkah laku yang menyatakan padanya bahwa “belum tidur” (waktu sudah malam) tidak apa-apa, tapi juga isyarat-isyarat non verbal yang mengatakan padanya bahwa ibu sebenarnya tidak suka jika ia belum tidur. Anak berada dalam keadaan “terjepit”. Keadaan si anak bahwa ia belum tidur nampaknya dapat diterima sang ibu, namun ada kerutan kening di wajah ibu. Kini apa yang harus ia lakukan? Menempatkan anak dalam keadaan terjepit semacam itu dapat mempengaruhi kesehatan psikologis anak secara serius. Tiap orang mengetahui betapa terhambat dan tidak enak bila Anda tidak tahu tingkah laku mana yang harus Anda pilih karena Anda mendapat pesan-pesan tercampur dari orang lain. Misalkan Anda menanyakan kepada tuan rumah apakah Anda boleh mengisap rokok dengan pipa di rumahnya. Ia menjawab, “Saya tidak keberatan”. Tetapi wajahnya menunjukkan isyaratisyarat tanpa kata yang mengatakan pada Anda bahwa sebenarnya ia keberatan. Apa yang akan Anda lakukan? Anda dapat menanyakan, “Apakah Anda yakin Anda tidak keberatan?” Anda dapat meletakkan pipa Anda dalam saku dan merasa kecewa. Atau Anda terus merokok, dan untuk selanjutnya merasa bahwa tuan rumah tidak menyukai tingkah laku ini. Anak-anak menghadapi dilema dari jenis yang sama, dihadapkan dengan penerimaan yang mereka anggap sebagai tidak jujur. Penampilan yang berulang-ulang dari keadaan-keadaan yang semacam itu dapat membuat anak sering kali harus meragukan keadaan, menyebabkan anak-anak memikul bebas kecemasan yang berat, memupuk perasaan cemas, dan selanjutnya. Saya percaya bahwa bagi anak-anak yang tersulit adalah bergaul dengan orang tua bermulut manis, “mengalah”, tidak menuntut, yang bertingkah laku seolah-olah ia menerima, tetapi secara halus mengkomunikasikan sikap tidak dapat menerima. Ada akibat samping yang serius dari sikap dapat menerima yang palsu ini, dan pada akhirnya hal ini mungkin lebih merusak hubungan anak dan orang tua. Bila anak menerima “pesan-pesan campuran”, ia dapat mulai mempunyai keragu-keraguan yang hebat mengenai kejujuran atau ketidakaslian dari orang tuanya. Ia belajar dari pengalaman-pengalaman bahwa ibu sering kali mengatakan begini bila ia merasa begitu. Akibatnya,

19

anak tumbuh untuk tidak mempercayai orang tua semacam itu. Berikut ini dikemukakan beberapa perasaan yang diungkapkan oleh beberapa remaja: “Ibu saya pembohong. Ia bertindak begitu manis tapi sebenarnya ia tidak begitu”. “Saya tidak pernah dapat mempercayai orang tua saya, karena meskipun mereka tidak mengatakannya, tapi saya tahu bahwa mereka tidak setuju dengan banyak hal yang saya lakukan”. “Saya terus berpikir bahwa orang tua saya tidak peduli kapan saya pulang. Dan jika saya pulang terlambat saya didiamkan keesokan harinya”. “Orang tua saya sama sekali tidak galak. Mereka membiarkan saya melakukan hal-hal yang saya sukai. Tapi saya dapat mengatakan apa yang mereka tidak setujui”. “Tiap kali saya datang ke meja makan tanpa sandal, ibu saya cemberut. Namun ia tidak pernah mengatakan sesuatu”. “Ibu saya demikian manis dan penuh pengertian selalu, namun saya tahu bahwa ia tidak menyukai adik saya karena adik lebih mirip dengan dia”.

Bila anak mempunyai perasaan-perasaan seperti itu, jelaslah bahwa orang tua tidak sungguh-sungguh menyembunyikan persaa mereka yang sesungguhnya, meskipun mereka pikir hal itu telah mereka lakukan. Dalam suatu hubungan yang erat dan abadi seperti hubungan orang tua dan anak, perasaan-perasaan yang sebenarnya dari pihak orang tua jarang dapat disembunyikan dari kepekaan anak. Jadi bila orang tua telah dipengaruhi oleh para pendukung “sikap-sikap permisif” untuk mencoba berlaku dengan cara menerima, yang sebenarnya jauh sekali dari sikap-sikap mereka sendiri yang sejati, maka mereka merusak secara serius hubungan mereka dengan anak-anak mereka dan juga menghasilkan kerusakan-kerusakan psikologis anak-anak itu sendiri. Orang tua perlu mengerti bahwa mereka lebih baik tidak mencoba untuk memperluas daerah dapat menerima mereka melebihi apa yang sudah merupakan sikap mereka yang sejati. Lebih baik jika orang tua menyadari bila mereka merasa tidak menerima, daripada berpura-pura dapat menerima.

Dapatkah Anda Menerima Anak Anda Tanpa Menerima Tingkah Lakunya? Saya tidak tahu dari mana asalnya gagasan ini, tetapi gagasan ini memperoleh persetujuan dan daya tarik yang besar, khususnya bagi orang tua yang telah dipengaruhi oelh penganut-penganut sikap permisif, tapi yang masih cukup jujur terhadap dirinya sendiri untuk menyadari bahwa mereka tidak selalu menerima tingkah laku anak mereka. Saya jadi percaya bahwa ini merupakan salah satu gagasan keliru dan merusak gagasan yang menghambatorang tua menjadi manusia sejati. Meskipun gagasan ini telah meringankan rasa salah yang diderita para

20

orang tua bia mereka tidak dapat menerima anak-anak mereka, gagasan ini banyak merugikan hubungan orang tua dan anak. Orang tua diperbolehkan memakai kekuasaan atau otoritas mereka untuk membatasi tingkah laku tertentu yang tidak dapat mereka terima. Orang tua beranggapan bahwa mengendalikan, membatasi, melarang, menuntut, atau menyangkal adalah benar asal dilakukan dengan cara yang cerdik hingga anak melihatnya bukan sebagai suatu yang menolak dirinya, melainkan tingkah lakunya. Disinilah letak kekeliruannya. Bagaimana Anda dapat menerima anak Anda, lepas dari bahkan bertentangan dengan perasaan Anda yang sebenarnya tidak dapat menerima apa pun juga yang dilakukan atau dikatakan oleh anak Anda itu? Apakah “anak-anak” itu kalau bukan dia bertingkah laku, bertindak dengan suatu cara yang khas pada waktu tertentu? Perasaan menerima tataupun tidak menerima adalah perasaan orang tua terhadap anak dengan segala tingkah lakunya, bukan terhadap sesuatu yang abstrak yang disebut “anak”. Saya yakin bahwa dari sudut pandangan anak nampaknya kedua hal ini sama saja. Bila ia merasa bahwa Anda tidak menerima kalau ia meletakkan sepatu yang kotor di atas kursi malas Anda yang baru, saya amat menyangsikan apakah anak kemudian akan membuat kesimpulan “tingkat tinggi” bahwa meskipun Anda tidak menyukai tingkah laku meletakkan sepatu di atas kursi tadi, Anda masih merasa dapat menerima dirinya sebagai “pribadi”. Bukan sebaliknya, ia jelas merasa bahwa karena apa yang ia lakukan pada saat itu dilakukannya sebagai pribadi total, maka tidak menerima kelakuannya berarti tidak menerima dirinya sama sekali. Meskipun orang tua dapat memisahkan kedua hal itu, namun bagi anak sulitlah mengerti bahwa orang tua hanya tidak dapat menerima kelakuannya dan bukan dirinya, itu sama sulitnya seperti mengusahakan agar anak percaya bahwa suatu pukulan yang sedang dilakukan orang tua terhadap dirinya “lebih menyakiti orng tua daripada menyakiti dirinya”. Perasaan seorang anak bahwa dia sebagai pribadi tidak dapat diterima ditentukan oleh berapa banyak tingkah lakunya yang tidak dapat diterima. Orang tua yang tidak dapat menerima banyak sekali kelakuan dan kata-kata anak-anaknya, tidak bisa tidak akan memupuk perasaan mendalam pada diri anak-anak bahwa mereka sebagai pribadi tidak diterima. Sebaiknya Anda mengakui pada diri sendiri (dan anak) bahwa Anda tidak dapatmenerimya sebagai pribadi bia ia melakukan atau mengatakan sesuatu, dengan cara tertentu, pada waktu tertentu. Dengan jalan ini anak akan belajar melihat Anda sebagai seorang yang terbuka dan jujur, oleh karena Anda adalah manusia sejati. Juga, bila Anda mengatakan kepada seorang anak: “Saya menerimamu, tetapi hentikan apa yang sedang kau lakukan”, Anda mungkin tidak akan dapat mengubah reaksinya sedikit pun terhadap penggunaan kekuasaan

21

Anda. Anak-anak tidak suka disangkal, dibatasi ataupun dilarang oleh orang tua mereka, tidak perduli jenis penjelasan apa yang menyertai penggunaan otoritas dan kekuasaan semacam itu. “Menggariskan batas-batas” mengandung kemungkinan besar akan terjadinya serangan balasan terhadap orang tua dalam bentuk hambatan, pemberontakan, bohong, dan kekesalan. Lagi pula ada cara-cara yang jauh lebih efektif untuk mendorong anak-anak mengubah tingkah laku mereka yang tidak dapat diterima daripada sekedar menggunakan kekuasaan orang tua untuk “menggariskan batas-batas” ataupun membatasi.

Definisi Kami Mengenai Orang Tua Selaku Pribadi Sejati “Diagram dapat menerima” membantu orang tua untuk memahami perasaan-perasaan yang tidak terelak dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi perubahan perasaan-perasaan ini. Orang tua yang jujur tentu akan merasakan kedua-duanya, dapat menerima dan tidak dapat menerima anak-anak mereka; sikap mereka terhadap tingkah laku yang sama tidak selalu konsisten; sikap ini berbeda-beda dari waktu ke waktu. Mereka tidak dapat dan tidak perlu menyembunyikan perasaan mereka yang sesungguhnya; mereka harus menerima kenyataan bahwa satu orang tua mungkin dapat menerima sedangkan orang tua lain tidak dapat menerima tingkah laku yang sama; dan mereka harus sadar ada tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam penerimaan mereka terhadap masing-masing anak mereka. Singkatnya, orang tua adalah manusia, bukan malaikat. Mereka tidak harus bersikap dapat menerima tanpa syarat atau dapat menerima secara konsisten. Juga mereka tidak harus berpura-pura bersikap dapat menerima bila mereka sebenarnya tidak dapat menerima. Meskipun anak-anak jelas lebih suka untuk dapat diterima, namun mereka akan mampu mengatasi secara konstruktif perasaan-perasaan tidak dapat menerima dari orang tua mereka, bila orang tua mengirim pesan-pesan yang jelas dan jujur, yang sesuai dengan perasaan-perasaan mereka yang sebenarnya. Hal ini tidak saja memudahkan anak-anak untuk menyesuaikan diri, tetapi akan membantu setiap anak untuk melihat orang tua mereka sebagai pribadi yang sejati – transparan, manusiawi, menyenangkan.

22

3 Bagaimana Cara Anda Mendengarkan Sehingga Anak-anak Mau Berbicara pada Anda: Bahasa Penerimaan Seorang gadis 15 tahun, sesudah konseling dengan saya, sebelum keluar ruang, berhenti sebentar dan berkata: “Alangkah senangnya dapat mengungkapkan perasaan saya yang sesungguhnya kepada seseorang. Belum pernah saya ceritakan hal-hal ini pada orang lain sebelumnya. Saya tidak akan bisa berbicara seperti ini dengan orang tua saya”.

Orang tua dari seorang laki-laki berusia 16 tahun yang gagal sekolahnya bertanya pada saya: “Bagaimana caranya agar Budi mempercayai kami? Kami tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya. Kami tahu bahwa ia tidak berbahagia, tapi kami tidak tahu apa yang terjadi pada diri anak itu”.

Seorang anak perempuan cerdas berusia 13 tahun setelah lari dari rumah bersama dua orang teman perempuannya, menceritakan kepada saya mengenai hubungannya dengan ibunya: “Sekarang ini kami sama sekali tidak bisa saling mempercayai lagi, bahkan tentang hal-hal yang kecil sekalipun ... seperti pekerjaan sekolah. Saya khawatir hasil ulangan saya buruk dan saya katakan pada ibu bahwa ulangannyatidak saya kerjakan dengan baik. Ibu berkata: “Mengapa begitu” dan kemudian ia marah. Selanjutnya saya mulai bohong. Sebenarnya saya tidak suka berbohong, tapi saya melakukannya juga. Akhirnya ibu dan saya seperti dua orang asing saja kalau bicara – hanya basa-basi saja, tidak ada yang menyatakan apa yang sesungguhnya kami rasakan dan pikirkan”.

Contoh-contoh itu merupakan contoh yang umum, bagaimana anak menarik diri dari orang tuanya, dan segan mengungkapkan perasaan-perasaannya. Anak-anak itu belajar dari pengalaman bahwa berbicara dengan orang tu tidaklah menolong malah membuat tidak aman. Akibatnya banyak orang tua kehilangan beribu-ribu kesempatan untuk menolong anak-ananya yang menghadapi pelbagai masalah hidup. Mengapa begitu banyak orang tua yang oleh anak-anak mereka tidak “dianggap” sebagi sumber pertolongan? Mengapa anak-anak tidak lagi berbicara kepada orang tua tentang masalah-masalah yang mereka hadapi? Mengapa hanya sedikit orang tua yang berhasil mempertahankan hubungan saling menolong dengan anak-anak mereka? Dan mengapa anak-anak merasa lebih mudah berbicara dengan konselor daripada dengan orang tua mereka sendiri? Apakah yang dilakukan oleh konselor profesional sehingga ia dapat mengadakan hubungan saling menolong dengan anak-anak?

23

Dalam tahun-tahun terakhir ini, ahli psikologi telah menemukan beberapa jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini. Melalui penelitian dan penglaman klinis, mulai dimengerti unsur-unsur yang penting bagi hubungan tolong-menolong yang efektif. Unsur yang paling penting adalah ”bahasa penerimaan”.

KEKUATAN BAHASA PENERIMAAN Jika seorang dapat merasa dan dapat mengungkapkan bahwa ia memahami serta menerima oarang lain sebagaimana adanya, adalah faktor penting guna menjalin hubungan, di mana orang lain dapat tumbuh, berkembang, membuat perubahan-perubahan yang membangun, belajar memecahkan masalah-masalah, secara psikologis semakin sehat, semakin produktif dan kreatif, dan mampu mengaktualisasikan potensi sepenuhnya. Ini merupakan salah satu paradoks yang indah dalam hidup: Bila seseorang merasa ia sepenuhnya diterima oleh orang lain, sebagaimana adanya, maka ia merasa bebas dan mulai memikirkan perubahan yang diingini, bagaimana ia akan mengembangkan diri, bagaiman ia dapat menjadi lain, bagaimana ia dapat menjadi lebih daripada yang kini ada. Penerimaan adalah bagaikan tanah yang subur, yang memungkinkan benih kecil berkembang menjadi bunga yang indah. Tanah hanya memberi kemungkinan benih berkembang menjadi bunga, tetapi kemampuan berkembang sepenuhnya tetletak pada benih itu sendiri. Seperti benih, seorang anak mempunyai kemampuan sepenuhnya di dalam dirinya untuk berkembang. Penerimaan – seperti halnya dengan tanah – hanya memberi kemungkinan bagi anak untuk mengaktualisasikan potensinya. Mengapa rasa diterima oleh orang tua mempunyai pengaruh positif yang amat berarti bagi anak-anak? Hal ini umumnya tidak diketahui oleh orang tua. Banyak yang mengira bahwa bila orang tua “menerima” anaknya, si anak tidak akan berubah; bahwa cara terbaik untuk menolong anak agar jadi lebih baik pada masa mendatang adalah mengatakan sekarang apa-apa yang tidak dapat diterima. Oleh karena itu, banyak orang tua berpegang pada “bahasa penolakan” dalam mendidik anak-anak, berdasarkan keyakinan bahwa itulah cara terbaik untuk menolong anak. Tanah yang disediakan oleh kebanyakan orang tua untuk pertumbuhan anak-anak, penuh dengan penilaian, kritik, nasihat, peringatan, anjuran moral, dan perintah – pesan-pesan yang mengisyaratkan bahwa anak tidak diterima sebagaimana adanya. Saya teringat kata-kata seorang gadis berusia 13 tahun yang baru mulai menentang nilai-nilai dan patokan-patokan orang tuanya: “Mereka sering sekali mengatakan betapa buruknya saya dan betapa bodohnya gaagasan-gagasan saya, dan betapa saya tidak dapat dipercaya dan bahwa saya banyak melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai. Bila mereka

24

telah menganggap saya buruk dan bodoh, lebih baik saya terus melakukan halhal yang tidak mereka sukai”.

Anak yang cerdik ini cukup bijaksana untuk mengerti pepatah kuno: “Katakan pada anak bahwa ia buruk, kemudian ia benar-benar akan menjadi buruk”. Anak-anak sering menjadi apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Kecuali itu, bahasa penolakan membuat anak-anak tertutup. Anak berhenti bicara dengan orang tuanya. Mereka beranggapan bahwa jauh lebih baik menyimpan perasaan-perasaan dan masalah-masalahnya. Bahasa penerimaan membuat anak-anak terbuka. Anak-anak menjadi bebas mengungkapkan perasaan-perasaannya dan persoalan-persoalannya. Terapis dan konselor profesional telah menunjukkan betapa besarnya peranan “rasa diterima” itu. Para terapis dan konselor itu dapat meyakinkan orang-orang yang datang membutuhkan pertolongan, bahwa mereka benar-benar diterima. Inilah sebabnya mengapa sering kali terdengar orang berkata bahwa dalam konseling atau terapi merekamerasa sepenuhnya bebas dari penilaian konselor. Mereka mengatakan bahwa mereka mengalami suatu kebebasan untuk menceritakan hal-hal terburuk mengenai diri mereka – mereka merasa bahwa konselor akan menerima apa pun yang mereka katakan atau rasakan. Penerimaan ini adalah salah satu unsur terpenting agar seseorang dapat tumbuh dan berubah melalui konseling dan terapi. Sebaliknya, kita juga belajar dari “para pembaharu profesional” ini bahwa rasa tidak diterima sering kali menjadikan orang tertutup, mereka merasa “defensif”, tidak senang, takut bicara atau melihat diri sendiri. Jadi, sebagian dari “rahasia keberhasilan” para terapis profesional untuk menimbulkan pertumbuhan dan perubahan pada orang-orang yang mengalami kesukaran terletak pada tiadanya rasa tidak diterima dalam hubungannya dengan mereka dan kemampuan untuk mengucapkan bahasa penerimaan. Dalam kursus MOE telah diperlihatkan bahwa orang tua dapat mempelajari ketrampilan yang dipergunakan oleh para konselor profesional. Sebagian besar orang tua ini mengurangi tindakan-tindakan yang mengandung pesan tidak menerima dan secara mengagumkan meraoh kemahiran dalam mengucapkan bahasa penerimaan. Apabila orang tua belajar bagaimana mengungkapkan melalui kata-kata suatu perasaan tulus menerima seorang anak, maka mereka memiliki alat yang dapat memberikan hasil-hasil yang menakjubkan. Ini dapat memberikan pengaruh dalam usahanya untuk menerima dan menyukai diri sendiri serta untuk memiliki harga diri. Itu juga dapat mendorong ia berkembang serta mengaktualisasikan potensi-potensinya. Itu dapat mempercepat pergeseran untuk melepaskan diri dari ketergantungan ke arah kemandirian dan penentuan diri. Itu dapat menolong memecahkan masalahmasalah yang timbul dalam hidup, dan dapat memberikan kekuatan untuk

25

mengatasi secara konstruktif kekecewaan-kekecewaan dan ketidaksenangan yang dialami pada masa kanak-kanak serta masa remaja. Dari semua akibat penerimaan, tak ada yang lebih penting dari timbulnya rasa yang tulus dari anak bahwa ia dicintai. Sebab menerima orang lain “sebagaimana adanya” sesungguhnya merupakan tindakan cinta kasih; merasa diterima adalah merasa dicintai. Dalam psikologi kita baru mengakui betapa besarnya pengaruh rasa dicintai; ia dapat mendorong perkembangan jiwa dan raga dan merupakan kekuatan terapeutis paling efektif untuk memperbaiki kerusakan psikologis maupun fisik.

Sikap Menerima Harus Ditunjukkan Bagi orang tua, merasa “menerima” anak dan menunjukkan perasaan tersebut sehingga anak yang bersangkutan merasakannya, adalah dua hal berbeda. “Rasa menerima” tidak akan ada pengaruh bagi anak, bila anak tidak merasakannya. Orang tua harus belajar untuk memperlihatkan “rasa menerima” ini sehingga anak dapat merasakannya. Untuk melakukan hal ini diperlukan suatu keahlian khusus. Kebanyakan orang tua menganggap “rasa menerima” merupakan sesuatu yang pasif – suatu keadaan jiwa, suatu sikap, suatu perasaan. Benar, rasa ini berasal dari dalam tetapi agar merupakan suatu kekuatan efektif dalam mempengaruhi orang lain, haruslah secara aktif dikomunikasikan atau diperlihatkan. Saya tidak bisa yakin bahwa diri saya diterima oleh orang lain sebelum ia memperlihatkannya secara aktif. Konselor psikologis profesional atau psikoterapis yang keberhasilannya sebagai pemberi pertolongan sangat tergantung pada kemampuannya untuk memperlihatkan penerimaannya terhadap klien, membutuhkan waktu lama untuk mengamalkan sikap ini melalui kebiasaannya berkomunikasi. Melalui pendidikan formal dan pengalaman yang banyak, konselor profesional memperoleh keahlian khusus dalam mengkomunikasikan rasa diterima. Para ahli ini belajar bahwa apa yang mereka katakan merupakan tolok ukur bagi kemampuannya menolong, atau sebaliknya keridakmampuannya menolong. Berbicara dapat menyembuhkan, dan dapat menimbulkan perubahan yang konstruktif. Tetapi pembicaraan harus merupakan pembicaraan yang benar. Demikian juga halnya dengan orang tua. Bagaimana mereka berbicara kepada anak-anaknya, akan menentukan apakah mereka menolong atau justru menghancurkan. Orang tua yang efektif, sebagaimana halnya dengan konselor yang efektif, harus belajar mengkomunikasikan rasa penerimaannya. Di kelas kami ada orang tua yang secara ragu bertanya: “Apakah mungkin bagi orang yang bukan ahli seperti saya untuk mempelajari

26

keahlian seorang konselor profesional?”. Sepuluh tahun yang lalu kita akan mengatakan: “Tidak mungkin”. Namun, di dalam kursus, telah kita tunjukkan bahwa orang tua dapat mempelajari bagaimana menjadi penolong efektif bagi anak-anak mereka. Kita mengetahui sekarang, bahwa bukan pengetahuan tentang psikologi atau pengertian intelektual tentang manusia, yang membuat seorang konselor menjadi konselor yang baik. Itu pada pokoknya terletak pada usaha untuk berbicara secara konstruktif. Ahli psikologis menyebutnya sebagai “komunikasi terapeutis”, yang berarti bahwa beberapa macam pesan mempunyai pengaruh “terapeutis” pada orang yang ditolong. Mereka dapat merasa lebih baik, terdorong untuk berbicara, mengekspresikan perasaan-perasaan memiliki harga diri, mengutangi rasa takut atau terancam, merangsang pertumbuhan dan perubahan yang membangun. Jenis pembacaraan lain adalah pembicaraan “tidak terapeutis” atau destruktif. Pembicaraan jenis ini cenderung membuat orang merasa dinilai atau bersalah, membatasi pengungkapan perasaan-perasaan yang sebenarnya, mengancam, membangkitkan perasaan tidak berharga atau harga diri yang rendah, menghambat pertumbuhan dan perubahan konstruktif dengan membuat seseorang semakin defensif. Hanya sedikit saja orang tua yang memiliki kemampuan terapeutis ini secara naluriah dan alamiah, kebanyakan orang tua harus menjalani suatu proses, mula-mula untuk menghilangkan cara-cara komunikasi yang merusak dan kemudian mempelajari cara-cara yang lebih membangun. Ini berarti bahwa orang tua harus memaparkan bagi diri sendiri kebiasaan berkomunikasi mereka agar dapat melihat bahwa kebiasaan mereka itu adalah destruktif atau tidak terapeutis. Setelah itu kepada mereka diajarkan beberapa cara baru dalam memberikan tanggapan kepada anak-anak.

MENYAMPAIKAN RASA MENERIMA TANPA KATA-KATA Pesan-pesan dapat disampaikan melalui kata-kata (apa yang diucapkan) atau melalui apa yang oleh ahli-ahli sosial disebut sebagai pesan-pesan nonverbal atau pesan-pesan tanpa kata (apa yang tidak diucapkan). Pesanpesan nonverbal disampaikan melalui isyarat, sikap, ekspresi wajah, atau tingkah laku lainnya. Arahkan telunjuk kanan kepada anak, maka kemungkinan anak akan mengartikannya sebagai “Pergi” atau “Jangan dekat-dekat” atau “Aku tidak mau diganggu sekarang”. Lambaikan tangan ke arah tubuh Anda dan anak akan menerima isyarat ini sebagai pesan untuk “Mendekat”, “Kemarilah” atau “Aku ingin kau bersamaku”. Isyarat pertama menunjukkan rasa tidak menerima, yang kedua rasa menerima.

Menyatakan Rasa Menerima Tanpa Campur Tangan 27

Orang tua dapat menyatakan rasa menerima dengan tidak mencampuri kegiatan-kegiatan anaknya. Seorang anak mencoba membuat bangunan istana dari pasir di pantai misalnya. Orang tua yang mengambil jarak dan sibuk dengan kegiatannya sendiri memperbolehkan anak untuk membuat “kesalahan-kesalahan” atau menciptakan suatu istana yang unik (yang mungkin tidak sama dengan disain orang tua, atau bahkan sama sekali tidak menyerupai istana) – orang tua ini menyampaikan penerimaannya melalui pesan tanpa kata. Anak akan merasa “Apa yang kulakukan adalah baik”, “Istanaku diterima”, “Ibu menerima apa yang sedang kulakukan sekarang”. Tidak mencampuri anak yang sedang sibuk melakukan sesuatu adalah cara penyampaian rasa menerima tanpa kata. Banyak orang tua tidak menyadari betapa sering mereka menyampaikan rasa tidak menerima hanya karena turut campur, memaksakan pendapat, mengawasi, menggabungkan diri. Sering kali orang tua tidak membiarkan anak-anaknya. Mereka memasuki dunia anak-anak dengan masuk kamarnya, ingin tahu apa yang dipikirkan, tidak mengijinkan suatu perpisahan. Acap kali ini merupakan akibat dari rasa takut dan kecemasan orang tua, rasa tidak aman mereka sendiri. Orang tua ingin anak-anak belajar (“Beginilah seharusnya membuat istana”). Mereka tidak senang biala anak-anak membuat kesalahan (“Buatlah istana jauh dari air, sehingga tidak akan terkena gelombang”). Mereka ingin dapat membanggakan hasil kerja anak-anaknya (“Lihatlah, istana yang bagus itu buatan anakku”). Mereka memaksakan konsep baikburuk dari orang dewasa yang kaku (“Apakah istanamu tidak sebaiknya diberi pagar?”). mereka mempunyai ambisi tersendiri untuk anak-anak mereka (“Kamu tidak akan belajar sesuatu dengan membuat istana sepanjang hari”). Mereka sangat mementingkan pendapat orang lain tentang anak-anak mereka (“Kamu dapat membuat istana yang lebih bagus”). Mereka ingin merasa dibutuhkan oleh anaknya (“Mari ayah tolong”), dan sebagainya. Dengan demikian, sikap “tidak melakukan sesuatu” ketika anak sibuk dalam suatu kegiatan dapat menunjukkan dengan jelas bahwa orang tua menerimanya. Pada umumnya orang tua tidak terlalu menyukai keadaan “terpisah” seperti ini, dapat dimengerti, bahwa sikap “lepas tangan” adalah sukar. Pada suatu pesta yang diselengarakan oleh anak gadis saya, saya ingat betapa saya merasa tidak berguna dan ditolak, setelah anak saya mengatakan bahwa ia tidak memerlukan saran saya yang baik untuk menjamu tamutamunya. Setelah saya dapat mengatasi perasaan sedih ini, baru saya menyadari betapa banyak saya menyampaikan pesan tidak menerima. “Kamu tidak bisa menyelenggarakan pesta yang baik”, “Kamu membutuhkan bantuan ibu”, “Ibu tidak mempercayai pandanganmu”, “Kamu tidak dapat

28

menjadi nyonya rumah yang baik”, “Kamu akan membuat kesalahan”, “Ibu tidak ingin pesta ini gagal”, dan sebagainya.

Mendengarkan secara Pasif Menunjukkan Sikap Menerima Tidak mengatakan sesuatu juga merupakan cara penyampaian dari rasa menerima. Diam atau “mendengar pasif” – merupakan pesan tanpa kata yang manjur dan dapat digunakan secara efektif untuk membuat seseorang sungguh-sungguh merasa diterima. Para ahli mengetahui hal ini dan menggunakannya dalam wawancara-wawancara mereka. Seseorang yang melukiskan pengalamannya dalam wawancara pertama dengan ahli psikologi atau psikiater, mengatakan: “Ia tidak mengatakan sesuatu, saya yang terus berbicara”. Atau “Saya ceritakan hal-hal yang buruk tentang diri saya, tapi sedikitpun ia tidak menyangkalnya”. Atau, “Saya kira saya tidak bisa mengatakan sesuatu kepadanya, tapi ternyata saya bicara terus selama satu jam”. Apa yang dikatakan adalah pengalamannya berbicara kepada seseorang yang hanya mendengarkan. Mungkin hal ini merupakan pengalamannya yang pertama. Pengalaman ini dapat merupakan pengalaman yang menyenangkan, bila diamnya seseorang membuat Anda merasa diterima. Tidak mengadakan komunikasi sesungguhnya berarti mengkomukasikan sesuatu, seperti contoh di bawah ini: ANAK: “Saya dipanggil ke kantor kepala sekolah tadi.” IBU: “Oh ya?” ANAK: “Ya, Pak Kosim mengatakan saya ngobrol terus IBU: “Begitu.” ANAK: “Saya tidak suka guru tua itu.”

di kelas.”

Ia duduk dan menceritakan kesusahannya atau cerita tentang cucu-cucunya dan mengharapkan murid-murid mendengarkan. ANAK: “Saya bosan.” IBU: “Hmm …..” ANAK: “Saya tidak bisa duduk diam. Bisa gila jadinya. Tini dan saya ngobrol sendiri selama pak guru berbicara. Ah, ia guru yang paling saya tidak sukai.” IBU: (diam saja) ANAK: “Kalau gurunya baik, saya senang dan mau mendengarkan. Tapi dari Pak Kosim kita tidak belajar apa-apa. Kenapa ia diperbolehkan mengajar?” IBU: (mengangkat bahu) ANAK: “Barangkali saya harus membiasakan diri, karena tidak selamanya saya akan mendapat guru-guruyang baik. Lebih banyak guru yang tidak menyenangkan dibandingkan dengan guru yang menyenangkan. Dan kalau saya terpengaruh, nilai saya bisa merosot. Saya merugikan diri sendiri.”

29

Dalam adegan singkat ini, arti dari sikap diam jelas terlihat. Orang tua yang mendengarkan dengan pasif, memungkinkan anak melihat lebih jauh daripada sekedar melaporkan bahwa ia dipanggil Kepala Sekolah. Hal itu membuat anak mengaku mengpa ia dihukum; rasa amarah dan benci kepada guru tersalurkan; merenungkan akibat-akibat yang timbul bila terusmenerus bereaksi demikian terhadap guru yang kurang baik; dan akhirnya mencapai kesimpulan bahwa ia akan menyakiti diri sendiri dan rugi dengan sikap demikian. Ia berkembang dalam waktu singkat, yaitu selama ia merasa diterima. Ia diperbolehkan mengutarakan perasaan-perasaannya; ia ditolong untuk bergerak sendiri ke arah memecahkan masalah dengan inisiatifnya sendiri. Dari sini timbul penyelesaian yang konstruktif, walaupun sementara. Sikap diam orang tua memungkinkan adanya suatu “perkembangan”, “pertumbuhan”, suatu kesempatan bagi suatu makhluk untuk menjalani proses perubahan yang diarahkan oleh diri sendiri. Alangkah menyedihkan bila orang tua kehilangan kesempatan ini, bila ia mencampuri ungkapanungkapan anak dengan memberikan reaksi tidak menerima, seperti: “Apa? Kau dipanggil Kepala Sekolah? Celaka!” “Tahu rasa!” “Guru itu kan tidak terlalu menjengkelkan.” “Kau harus belajar mengendalikan diri.” “Sebaiknya kau belajar menyesuaikan diri dengan bermcam-macam guru.”

Semua pesan semacam ini, tidak hanya menyampaikan rasa tidak menerima anak, tetapi dapat menghentikan komunikasi dan mencegah suatu penyelesaian masalah.

MENGUTARAKAN PENERIMAAN DENGAN KATA-KATA Kebanyakan orang tua menyadari bahwa dalam interaksi manusia, seseorang tidak dapat tetap diam dalam waktu lama. Orang menginginkan semacam interaksi verbal. Jelaslah bahwa orang tua harus bicra dengan anak-anak, dan anak-anak butuh bicara dengan orang tua, bila mereka menghendaki hubungan yang erat. Bicara memang penting, tetapi bagaimana orang tua bicara kepada anakanak adalah lebih menentukan. Saya dapat bercerita banyak tentang hubungan orang tua-anak hanya dengan mengamati jenis komunikasi verbal yang terjadi antara orang tua dan anak, terutama dari cara orang tua mengajukan tanggapan terhadap komunikasi anak. Orang tua perlu meneliti bagaimana mereka secara verbal menanggapi anak-anak, karena di sinilah kunci keefektifan orang tua. Dalam kelas-kelas MOE, kami menggunakan latihan untuk menolong para orang tua mengenali jenis tanggapan verbal mereka bila anak-anak mengutarakan perasaan-perasaan atau masalah-masalahnya. Bila Anda

30

ingin melakukan latihan ini, yang diperlukan hanyalah secarik kertas dan pensil. Misalkan anak Anda berusia 15 tahun pada suatu malam mengatakan di meja makan: “Sekolah ini brengsek. Yang diajarkan adalah hal-hal yang tidak penting dan tidak berguna. Saya telah memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Untuk menjadi seorang penting, tidak diperlukan pendidikan tinggi. Ada banyak cara untuk maju di dunia ini.”

Sekarang tulislah di atas secarik kertas bagaiman tanggapan verbal Anda terhadap pesan di atas. Tulis dengan tepat kata-kata Anda. Setelah Anda lakukan, cobalah situasi lain. Anak gadis Anda berusia 10 tahun berkata: “Saya tidak tahu apa salah saya. Biasanya Tati senang pada saya, tetapi sekarang tidak lagi. Dan bila saya ke rumahnya, ia selalu bermain dengan Yanti. Mereka bermain dan bersenang-senang. Sedang saya berdiri saja sendirian. Saya benci mereka.”

Tulislah dengan tepat apa yang Anda katakan pada anak gadis Anda. Sekarang situasi lain lagi, di mana anak Anda berusia berusia 11 tahun berkata: “Mengapa saya harus membersihkan halaman dan membuang sampah keluar? Ibu Yono tidakpernah menyuruh Yono mengerjakan pekerjaan semacam itu. Ibu tidak adil. Anak-anak tidak perlu mengerjakan pekerjaan sebanyak yang saya kerjakan.”

Tulislah tanggapan Anda. Situasi terakhir. Anak Anda laki-laki berumur 5 tahun makin lama makin merasa kecewa karena tidak dapat perhatian dari ayah, ibu dan kedua tamunya. Anda berempat asyik bercakap-cakap karena sudah lama tidak berjumpa. Tiba-tiba Anda terkejut ketika anak Anda berteriak dan mengatakan: “Saya benci. Semua nakal.”

Lagi, tulislah dengan tepat apa tanggapan Anda kepada pesan tersebut. Macam-macam tanggapan terhadap pesan-pesan yang dikatakan dalam situasi-situasi tadi, dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori. Pilihan kategori yang tepat bagi tanggapan Anda. 1. MEMERINTAH, MENGARAHKAN Mengatakan kepada anak untuk mengerjakan sesuatu, memberikan perintah: “Tak peduli apa yang dikerjakan orang tua lainnya, kau harus membersihkan halaman!” “Jangan bicara begitu kepada ibu!” “Jangan mengeluh!”

31

2. MENGANCAM, MEMPERINGATKAN Mengatakan akibat-akibat yang akan terjadi bila anak melakukan sesuatu: “Kau akan menyesal kalau kau melakukan hal itu!” “Sekali lagi bicara kau harus keluar dari ruang ini!” “Sebaiknya tidak kau lakukan kalau kau sudah apa-apa yang baik buatmu!”

3. MENDESAK, MEMBERI KHOTBAH Mengatakan apa yang harus atau boleh dilakukan: “Kamu tidak boleh berbuat begitu.” “Kamu harus ….” “Kamu harus selalu menghormati orang tuamu.”

4. MENASEHATI, MEMBERI PENYELESAIAN ATAU SARAN-SARAN Mengatakan bagaimana menyelesaikan suatu masalah, memberi nasihat atau saran-saran,menyediakan jawaban atau penyelesaianpenyelesaian bagi masalah anak: “Mengapa tidak undang Tati dan Yanti main ke sini?” “Tunggu beberapa tahun lagi sebelum memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.” “Saya anjurkan kau bicarakan dengan guru-gurumu tentang hal itu.” “Bergaullah dengan gadis-gadis.”

5. MEMBERI KULIAH, MENGAJARI, MEMBERI ALASAN-ALASAN LOGIS Berusaha mempengaruhi anak dengan fakta-fakta, kontra argumen, logika, informasi atau pendapat-pendapat pribadi: “Anak-anak harus belajar bagaimana menyesuaikan diri.” “Mari kita lihat fakta-fakta mengenai lulusan akademis.” “Lihatlah, ibumu membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan urusan rumah tangga.” “Ketika ibu seumurmu, ibu harus mengerjakan dua kali lebih banyak dari apa yang kau kerjakan sekarang.”

6. MENILAI, MENGRITIK, TIDAK SETUJU, MENYALAHKAN Membuat penilaian negatif atau memberi pendapat negatif: “Kau tidak berpikir dengan baik.” “Itu pandangan yang terlalu kekanak-kanakan.” “Dalam hal ini, engkau salah.”

7. MEMUJI, MENYETUJUI Melontarkan pujian, menyetujui, memberi penilaian positif: “Hm, ibu kira kau cukup cantik.” “Kau mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik.” “Ayah berpendapat, kau benar.” “Saya setuju.”

8. MENCEMOOH, MEMBUAT MALU Membuat anak merasa bodoh, menggolongkan anak ke dalam suatu kategori, membuat malu: “Kau anak manja.”

32

“Lihat sini, Tuan sok tahu.” “Kau bertingkah seperti binatang buas.” “Baiklah, Anak manis.”

9. MEMBUAT INTERPRETASI, ANALISA, DIAGNOSIS Mengatakan pada anak apa motivasinya, menganalisa mengapa ia melakukan ataupun mengatakan sesuatu; memberitahukan bahwa Anda mempelajari anak atau membuat diagnosis tentang dirinya: “Kau hanya iri hati, Tuti.” “Kau katakan itu untuk membujuk.” “Kau sebenarnya tidak mempercayai hal itu.” “Kau merasa begitu karena kau tidak menyelesaikan dengan baik pekerjaanmu di sekolah.”

10. MEYAKINKAN, MEMBERI SIMPATI, MENGHIBUR, MENDORONG Berusaha agar anak merasa senang; menghilangkan perasaanperasaan yang tidak menyenangkan; memberi dorongan: “Besok kau akan merasa lebih baik.” “Setiap anak tentu mengalaminya.” “Jangan khawatir, segalanya akan beres nanti.” “Dengan potensimu, kau akan jadi murid yang baik.” “Ibu tahu, kadang-kadang sekolah membosankan juga.”

11. MENYELIDIKI, MENGUSUT Berusaha mencari alasan, sebab-sebab, mencari informasi lebih banyak untuk menolong menyelesaikan masalah: “Kapan perasaan itu mulai timbul?” “Mengapa kau tidak menykai sekolah?” “Apakah teman-teman mengatakan mengapa mereka tidak mau bermain denganmu?” “Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?” “Apa yang akan kau lakukan bila kau tidak lanjutkan ke universitas?”

12. MENGHINDAR,

MENGALIHKAN

PERHATIAN,

MENERTAWAKAN,

MEMBELOKKAN

Berusaha menjauhkan anak dari masalahnya; menarik diri dari persoalan, mengalihkan perhatian, mengolok-olokkan; mengesampingkan masalah: “Lupakan saja hal itu.” “Jangan bicara hal itu sekarang.” “Marilah kita bicarakan hal yang lebih menyenangkan.” “Bagaimana pertandingan basket tadi?” “Mengapa tidak kau coba membakar gedung sekolahmu?” “Kita pernah mengalami sebelumnya.”

Bila Anda mencocokkan tanggapan-tanggapan Anda daam salah satu penggolongan di atas, Anda adalah orang tua rata-rata. Bila satu di antara tanggapan-tanggapan tidak sesuai dengan kedua belas kategori di atas, dapat Anda sesuaikan dengan kategori-kategori lain yang akan kami berikan.

33

Dalam kelas MOE kami, lebih dari 90% tanggapan-tanggapan orang tua dapat digolongkan dalam 12 kategori ini. Kebanyakan orang tua tidak menyangka adanya keseragaman ini. Juga, orang tua tidak pernah memikirkan bagaimana mereka bicara dengan anak-anak. Komunikasi bagaimana yang mereka gunakan sebagai reaksi terhadap perasaan dan masalah anak-anak. Biasanya, salah satu orang tua akan mengajukan pertanyaan: “Apa yagn dapat kita pelajari setelah kita ketahui bahwa kita semua menggunakan kategori “dua belas ciri”?”

Apakah “12 Ciri Itu? Untuk mengerti pengaruh-pengaruh “12 ciri” pada anak-anak atau pengaruhnya terhadap hubungan orang tua – anak, terlebih dulu harus diketahui bahwa tanggapan-tanggapan verbal orang tua biasanya dapat diartikan lebih dari satu arti, atau menyampaikan lebih dari satu pesan. Misalnya, anak mngeluh bahwa temannya tidak mau bermain lagi dengannya. Terhadap keluhan ini, ibu berkata: “Ibu anjurkan agar kau bersikap lebih baik kepada Tati, nanti barangkali ia mau bermain denganmu”. Di samping “isi” anjuran, anak dapat menangkap pesan-pesan lain: “Ibu tidak mengerti perasaan saya, sehingga saya harus berubah.” “Ibu tidak percaya saya dapat mengatasi masalah ini sendiri.” “Kalau begitu,ibu menganggap saya salah.” “Ibu kira saya tidak sepandai ibu.”

Atau, bila seorang anak berkata, “Saya tidak senang sekolah”, dan reaksi orang tua adalah, “Ah, kita semua pernah merasa demikian, perasaan itu nanti akan hilang”, anak dapat menangkapnya sebagai berikut: “Ibu tidak menganggap penting perasaan saya.” “Ibu tidak memperdulikan perasaanku.” “Ibu pikir bukan sekolahnya, tapi saya yang salah.”

Bilamana orang tua mengatakan sesuatu kepada anak, sering kali mereka mengatakan sesuatu tentang dirinya sendiri, inilah sebabnya mengapa komunikasi dengan anak mempunyai arti tertentu baginya sebagai individu dan mempunyai arti tersendiri bagi hubungan orang tua – anak. Setiap saan Anda berbicara dengan anak Anda, Anda menambah landasain lain untuk merumuskan hubungan yang sedang dijalin antara Anda dan anak Anda. Setiap pesan memberi gambatan tentang bagaimana Anda memandangnya sebagai satu pribadi. Bicara dapat merupakan suatu yang konstruktif bagi anak dan hubungan anak – orang tua. Atau juga dapat merupakan suatu yang destruktif.

34

Satu cara untuk menolong orang tua mengerti bagaimana “12 ciri” dapat merusak adalah dengan meminta mereka mengingat-ingat tanggapan mereka sendiri bila sedang mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dengan seorang teman. Para orang tua dalam kelas-kelas kami hampir semua menyatakan bahwa pada umumnya “12 ciri” mempunyai pengaruh yang merusak baik pada anak maupun pada hubungan anak dengan orang yang mereka keluhi. Di bawah ini adalah beberapa pernyataan orang tua: Hal itu membuat saya berhenti bicara. Hal itu membuat saya mempertahankan diri (bertahan keras). Hal itu membuat saya berdebat, menyerang. Hal itu membuat saya rendah diri. Hal itu membuat saya merasa benci atau marah. Hal itu membuat saya merasa bersalah atau buruk. Hal itu membuat saya merasa diperlakukan seperti anak kecil. Hal itu membuat saya merasa tidak dimengerti. Hal itu membuat saya merasa bahwa perasaan-perasaan saya tidak dibenarkan. Hal itu membuat saya merasa kecewa. Hal itu membuat saya merasa diganggu. Hal itu membuat saya merasa sebagai saksi yang sedang diperiksa. Hal itu membuat saya merasa bahwa yang mendengar tidak menaruh minat.

Para orang tua segera melihat bahwa bila “12 ciri” menimbulkan akibatakibat yang kurang baik pada mereka dalam hubungannya dengan orang lain, hal itu juga dapat menimbulakan akibat yang sama terhadap anak-anak mereka. Dan mereka benar. Kedua belas jenis tanggapan verbal tersebut adalah hal-hal yang sangat dihindari oleh terapis profesional dan konselor bila menghadapi anak-anak. Cara-cara demikian secara potensial adalah tidak terapeutis” atau “destruktif”. Para ahli belajar untuk berpegang pada caracara lain untuk menanggapi pernyataan anak-anak yang tidak mengakibatkan anak berhenti bicara, merasa bersalah, mengurangi harga diri, menimbulkan rasa benci, merasa tidak diterima, dan sebagainya. Dalam lapiran buku ini, dimuat secara terperinci pengaruh-pengaruh destruktif yang bisa ditimbulkan oleh “12 ciri” tanggapan. Bila orang tua sadar betapa mereka mengandalkan pada “12 ciri”, mereka akan bertanya: “Bagaimana lagi kami harus berespons? Apa ada cara-cara lain?” kebanyakan orang tua tidak dapat menemukan kemungkinan lain, tetapi kemungkinan itu ada.

MEMBUKA PINTU

35

Salah satu cara efektif dan konstruktif dalam menanggapi ungkapan perasaan atau ungkapan persoalan anak-anak adalah “membuka pintu” atau “mengundang untuk berbicara lebih banyak”. Ini adalah tanggapantanggapan yang tidak berhubungan dengan pendapat, gagasan atau perasaan si pendengar, namun yang mengundang anak untuk membagi pendapat, gagasan atu perasaan-perasaannya. Hal ini membuka pintu bagi anak, mengajaknya untuk berbicara. Sebagai tanggapan sederhana itu adalah seperti berikut: “Saya mengerti.” “Oh.” “Mm hmm.” “Ya.” “Sangat menarik.”

“Bagaimana?” “Sungguh.” “Oh begitu?” “Tidak main-main.”

Cara lain adalah dengan jelas mengajak anak bicara lebih banyak, misalnya: “Ceritakan.” “Saya ingin mendengar itu.” “Ceritakan lebih banyak.” “Saya berminat pada pendapatmu.” “Maukah kau membicarakannya?’ “Mari kita bicarakan.” “Ceritakan seluruhnya.” “Teruskan, saya mendengarkan.” “Apa yang hendak kau katakan.” “Agaknya kau akan mengatakan sesuatu tentang hal ini.” “Kelihatannya ini penting bagimu.”

Membuka pintu atau menyilahkan berbicara dapat memudahkan komunikasi. Hal itu mendorong orang untuk mulai atau meneruskan bicara. Cara ini juga membuat masalah tetap pada tempatnya, yaitu masalah anak; cara ini tidak mengakibatkan pengambilalihan masalah dari anak, sebagaimana halnya bila orang tua mengajuka pertanyaan-pertanyaan, memberi nasihat, mengajari, memberi khotbah, dan sebagainya. Cara buka pintu ini menjauhkan perasaan-perasaan dan pendapat-pendapat orang tua dari proses komunikasi. Reaksi anak-anak dan para remaja terhadap cara buka pintu ini dapat membuat para orang tua terheran-heran. Anak-anak muda merasa terdorong untuk mendekat serta mencurahkan isi hati mereka. Sebagaimana halnya dengan orang dewasa, anak-anak senang berbicara, terlebih-lebih bila ada seseorang mengajaknya untuk berbicara. Cara buka pintu ini juga menimbulkan rasa diterima dan menghargai anak sebagai seorang pribadi, dengan mengatakan: “Kau berhak mengutarakan perasaanmu.”

36

“Saya hargai kau sebagai seorang dengan perasaan-perasaan dan gagasangagasan.” “Saya bisa belajar sesuatu darimu.” “Saya sungguh-sungguh ingin mengetahui pandanganmu.” “Pendapatmu patut didengar.” “Saya menaruh minat padamu.” “Saya ingin mengenalmu lebih baik.”

Siapa yang tidak senang dengan sikap demikian? Orang dewasa mana yang tidak merasa senang bila ia dihargai, diterima, dan dianggap penting? Anakanak juga deikian. Lontarkan suatu ajakan verbal, kemudian janganlah menghalangi mereka ynag sedang mengutarakan diri. Dalam proses ini, Anda mempelajari sesuatu tentang mereka atau tentang diri Anda sendiri.

MENDENGAR AKTIF Ada cara lain yang lebih efektif daripada cara “buka pintu” semata-mata ialah hanya ajakan untuk berbicara. Cara itu hanya membuka pintu untuk anak agar ia berbicara. Orang tua perlu mempelajari bagaimana caranya agar pintu tetap terbuka. Jauh lebih efektif daripada mendengar pasif (diam), mendengar aktif adalah cara yang baik untuk melibatkan “pengirim” dengan “penerima”. Penerima aktif dalam proses, sebagaiman di pengirim. Untuk belajar bagaimana mendengar secara aktif, umumnya orang tua perlu mengerti lebih banyak tentang proses komunikasi antara dua orang. Beberapa diagram di bawah ini dapat mempermudah. Bilamana seorang ank memutuskan untuk mengadakan komunikasi dengan orang tua, berarti ia mempunyai suatu kebutuhan. Selalu ada sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Ia menginginkan sesuatu, ia merasa tidak senang, ia mempunyai suatu perasaan tentang sesuatu. Atau ia terganggu katakanlah bahwa organisme anak berada dalam ketidakseimbangan. Untuk mengembalikan organisme dalam keadaan seimbang, anak memutuskan untuk bicara. Misalnya anak merasa lapar. ANAK

lapar

Untuk menghilangkan rasa lapar (keadaan tidak seimbang) anak menjadi “pengirim”, ia mengkomunikasikan sesuatu yang diperkirakan dapat memberi makan. Ia tidak dapat melukiskan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam dirinya (rasa laparnya), karena lapar adalah suatu proses fisiologis yang kompleks, yang terjadi di dalam organisme. Karenanya, untuk

37

menyatakan rasa laparnya kepada orang lain, ia harus memilih beberapa isyarat yang dapat merepresentasikan “Saya lapar”. Proses memilih ini disebut “pengisyaratan” (encoding) – anak memilih suatu isyarat. ANAK proses pengisyaratan (encoding)

lapar

Misalkan anak ini memilih isyarat “Kapan makanan siap, Bu?” Isyarat atau kombinasi dari simbol-simbol verbal ini kemudian dikirimkanke dalam suasana di mana penerima (ibu) dapat menerimanya. ANAK

lapar

proses pengisyaratan (encoding)

Isyarat “Kapan makanan siap?”

Bila ibu menerima pesan melalui isyarat itu, ia harus mengadakan proses mengurai (decoding), agar ia mengerti apa yang dimaksud oleh anak. ANAK

lapar

Ibu proses pengisyaratan (encoding)

Isyarat “Kapan makanan siap?”

proses penguraian (decoding)

“Ia lapar”

Jika ibu mengurai isyarat dengan tepat, ia akan mengerti bahwa anak lapar. Tetapi bila ibu mengartikan isyarat itu bahwa anak ingin cepat-cepat makan agar bisa segera bermain sebelum tidur, ia akan salah mengerti; proses komunikasi terputus. Timbullah kesukaran – anak tidak mengetahui hal ini, demikian juga ibu, karena anak tidak dapat melihat apa yang dipikirkan oleh ibudan ibu juga tidak dapat melihat apa yang terjadi dalam diri anak. Kesalahan ini sering terjadi dalam proses komunikasi antara dua orang; terjadi salah paham atau salah mengerti antara si pengirim pesan dan penerima pesan dan kedua belah pihak tidak sadar bahwa telah terjadi salah paham itu. Misalkan, ibu memutuskan untuk memeriksa kebenaran uraian terhadap isyarat yang diterimanya, untuk meyakinkan bahwa ia tidak salah paham. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatakan apa yang dipikirkan – hasil proses uraiannya, “Kau ingin segera bermain di luar sebelum tidur?”. Mendengar “umpan balik” ibu, anak mengetahui bahwa ibu telah salah tangkap.

38

“Bukan itu maksud saya, Bu. Maksud saya, saya benar-benar lapar dan ingin segera makan.” IBU: “Oh begitu. Kau sangat lapar. Mau makan biskuit dulu? Kita tunggu Ayah pulang sebentar lagi, baru kita makan.” ANAK: “Baik, saya makan biskuit dulu.” ANAK:

Bila ibu dalam memberi “umpan balik” memberikan pengertiannya tentang isyarat anak, maka berarti ia terlibat daam mendengar aktif. Tetapi dalam contoh di atas, mula-mula ibu salah mengerti, dan melalui umpan baliknya anak mengetahui kesalahan ini, sehingga ia memberi isyarat lain dan akhirnya tercapailah saling pengertian. Bila ibu dari mula menguraikan pesan berita dengan tepat, prosesnya dapat digambarkan sebagai berikut: ANAK

lapar

Ibu proses pengisyaratan (encoding)

Isyarat “Kapan makanan siap?”

proses penguraian (decoding)

“Ia lapar”

Mendengar aktif “Kau sangat lapar”

Beberapa contoh mendengar aktif: 1. ANAK: (menangis) “Budi mengambil mobil-mobilanku.” ORANG TUA: “Kau merasa tidak senang – kau tidak menyukai

bila ia berbuat begitu.” ANAK: “Ya” 2. ANAK: “Saya tidak punya teman bermain; Toto pergi berlibur dengan orang tuanya, saya tidak tahu apa yang harus saya akukan.” ORANG TUA: “Kau kehilangan Toto dan tidak tahu apa yang kau lakukan.” ANAK: “Ya, saya harap sayatahu apa yang dapat saya lakukan.” 3. ANAK: “Wah, saya dapat guru yang tidak menyenangkan tahun ini. Saya tidak suka Ibu guru itu.” ORANG TUA: “Tampaknya kau kecewa dengan gurumu.” ANAK: “Memang.” 4. ANAK: “Kesebelasan saya menang.” ORANG TUA: “Kau merasa bangga.” ANAK: “Tentu.” 5. ANAK: “Pak, waktu bapak masih muda, apa yang Bapak sukai dari seorang gadis? Apayang menyebabkan Bapak menyukai seorang gadis?” BAPAK: “Sepertinya kau ingin tahu bagaimana caranya agar anak laki-laki menyukaimu.” ANAK: “Betul Pak, rasanya mereka tidak menyukai saya. Entah mengapa.”

39

Dalam setiap contoh di atas, orang tua menguraikan perasaan anak dengan tepat – mengerti apa yang terjadi “di dalam” diri anak. Kemudian anak membenarkan ketepatan uraian orang tua dengan pernyataanpernyataan yang menunjukkan “Ibu (atau Bapak) mendengar dengan tepat”. Dalam mendengar aktif, penerima berusaha untuk mengerti perasaan pengirim, atau berusaha mengerti arti dari pesan yang dikirim. Kemudian pengertiannya dinyatakan dalam kalimat dan dikirim kembali kepada pengirim. Penerima tidak mengirim pesannya sendiri – seperti penilaian, pendapat, nasihat, analisa, dan pertanyaan. Yang diumpanbalikkan Hanyalah apa yang dianggapnya sebagai arti pesan si pengirim. Itu saja. Di bawah adalah suatu percakapan yang lebih panjang, di mana orang tua terus-menerus mendengar aktif. Perhatikan bagaimana anak setiap kali membenarkan umpan balik oarang tua. Perhatikan juga bahwa mendengar memudahkan anak untuk bercerita lebih banyak. Perhatikan bahwa anak mulai merumuskan kembali masalahnya, kemudian lambat-lain mencapai wawasan tentang dirinya sendiri, dan mulai dapat mengatasi masalahnya. TUTI: AYAH: TUTI: AYAH: TUTI: AYAH: TUTI: AYAH: TUTI: AYAH: TUTI: AYAH: TUTI: AYAH: TUTI:

AYAH: TUTI: AYAH:

“Sekali-kali saya ingin sakit demam seperti Wati. Ia beruntung.” “Kau merasa agak dibohongi.” “Ya, ia tidak masuk sekolah sedang saya selalu masuk.” “Kau ingin lebih sering tidak sekolah.” “Benar. Saya tidak suka sekolah setiap hari, dari hari ke hari. Saya bosan.” “Kau benar-benar bosan sekolah.” “Kadang-kadang saya tidak menyukainya.” “Malahan kadang-kadang kau membenci sekolah.” “Benar. Saya benci pekerjaan rumah, saya benci pelajaran-pelajaran, dan saya benci guru-guru.” “Kau benci semuanya.” “Tidak semua guru saya benci, hanya dua orang. Terutama yang satu itu. Dia yang paling menjengkelkan.” "Kau benci Ibu guru itu?” “Bukan main bencinya saya. Rasanya saya tidak bisa melihatnya. Padahal satu tahun ini ia mengajar.” “Kau terikat dengan Ibu guru itu selama setahun.” “Ya, saya tak tahu bagaimana menghadapinya. Setiap hari kami mendapat pelajaran yang panjang-panjang, ia berdiri di depan kelas dan senyum seperti begini (menirukan) dan mengajarkan bagaimana seorang murid harus bertingkah laku, bagaimana caranya agar bisa mencapai nilai terbaik. Ah, memuakkan.” “Kau benci mendengarnya.” “Ya, seolah-olah tidak mungkin murid mencapai nilai terbaik, kecuali ia seorang yang sangat pandai, atu murid kesayangan guru.” “Kau merasa putus asa sebelum kau berusaha, karena rasanya tidak mungkin mencapai nilai terbaik.”

40

TUTI:

AYAH: TUTI:

AYAH: TUTI:

AYAH: TUTI: AYAH: TUTI:

AYAH: TUTI: AYAH: TUTI:

“Ya, dan saya tidak mau menjadi murid kesayangan guru. Teman-teman akan membenci saya. Mereka sekarang sudah tidak menyukai saya (menangis).” “Kau merasa tidak disukai, tidak populer. Dan hal ini membuatmu sedih.” “Tentu saja, Ayah. Ada kelompok anak-anak yang top di sekolah. Anakanak perempuan itu yang paling populer. Saya ingin masuk dalam kelompok itu. Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya.” “Kau ingin sekali masuk dalam kelompok itu, tapi tak tahu caranya.” “Betul, Terus terang, say tidak tahu bagaimana teman-teman bisa mesuk kelompok itu, mereka tidak cantik dan juga tidak selalu mendapat nilai tinggi. Ada yang lebih bodoh daripada saya.” “Kau heran dan bingung.” “Ya, mereka semuanya ramah, banyak bicara dan mau berteman. Mereka menegur dengan ramah dan mudah ngobrol. Saya tidak bisa.” “Kau pikir mungkin itu sebabnya.” “Saya tahu saya tidak pandai bicara. Saya dapat bicara dengan mudah pada satu orang, tetapi tidak pada sekelompok orang. Saya lebih banyak diam. Saya tidak tahu apa yang harus dibicarakan.” “Kau merasa lancar bicara dengan satu orang tetapi di hadapan banyak orang kau merasa lain.” “Saya selalu takut kalau-kalau saa mengatkan sesuatu yang salah. Jadi saya diam saja dan merasa dikucilkan. Tidak enak rasanya.” “Pasti kau tidak menyukai perasaan itu.” “Saya benci dikucilkan, tetapi saya tidak berani ikut ngobrol.”

Dalam percakapan Tuti dan ayah, ayah mengesampingkan pendapat dan perasaannya sendiri (“pesan saya”) untuk dapat mendengar, menguraikan dan mengerti pendapat serta perasaan-perasaan Tuti. Perhatikan bahwa umpan balik ayah umumnya selalu dimulai dengan “Kau”. Perhatikan juga bahwa ayah Tuti menahan diri untuk menggunakan “12 ciri” tadi. Dengan terus-menerus mendengar aktif, ayah menunjukkan pengertian terhadap perasaan-perasaan Tuti, tetapi tetap membiarkan ia bertanggung jawab terhadap persoalannya.

Mengapa Orang Tua Harus Belajar Mendengar Aktif? Beberapa orang tua yang telah mengenal tehnik ini mengatakan: “Rasanya tidak wajat buat saya.” “Bukan begitu caranya orang bicara.” “Apa tujuannya ‘mendengar aktif’?” “Saya merasa bodoh bereaksi demikian terhadap anak saya.” “Anak saya akan menertawakan saya kalau saya mulai menggunakan ‘mendengar aktif’ kepadanya.”

41

Reaksi-reaksi semacam ini bisa dimengerti karena orang tua terbiasa mengajari, menggurui, bertanya, mengancam, menilai, atau meyakinkan. Dengan sendirinya wajarlah biala mereka bertanya apa perlu mereka mengubah dan belajar mendengar aktif. Dalam kelas MOE, seorang ayah yang semula amat sangsi, menjadi yakin akan manfaat cara ini, setelah mengalaminya sendiri dengan anak gadisnya yang berusia 15 tahun. “Saya ingin melaporkan pengalaman saya yang menakjubkan minggu ini. Anak saya, Anti dan saya, selama sekitar dua tahun tidak pernah berbicara, kecuali beberapa patah kata, seperti “buatkan minum”. Pada suatu malam, ia dan teman laki-lakinya duduk di teras depan ruah ketika saya pulang. Saya dengar Anti bercerita betapa ia benci sekolah dan bagaimana ia tidak menyukai sebagaian besar teman-teman perempuannya. Saya putuskan saat itu duduk tanpa berbuat sesuatu, hanya mendengar secara aktif, walau tidak menyenangkan. Mengherankan, hal tersebut tidak terlampau buruk. Percaya atau tidak, mereka berdua mulai berbicara pada saya dan selama dua jam tidak berhenti. Saya belajar mengenal anak saya lebih banyak dalam dua jam itu, lebih dari lima tahun terakhir. Setelah itu, ia menjadi dekat dan ramah pada saya. Suatu perubahan yang menyenangkan!”

Ayah yang heran ini bukanlah satu-satunya. Banyak orang tua memperoleh hasil yang baik setelah mencoba teknik baru ini. Bahkan sebelum mereka menguasai teknik ini dengan baik, mereka telah melaporkan hasilnya yang memuaskan. Banyak orang menganggap bahwa mereka dapat mengatasi perasaanperasaan mereka dengan cara menekannya, melupakan, atau memikirkan hal-hal lain. Sebenarnya, mereka terlepas dari beberapa kesulitan perasaan bila mereka didorong untuk mengungkapkannya secara terbuka. Mendengar aktif mendorong terjadinya katarsis. Hal ini menolong anak-anak menemukan apa yang sesungguhnya mereka rasakan. Sesudah mereka mengutarakan perasaan-perasaan mereka, mereka merasa lega, perasaanperasaan yang menyusahkan seolah-olah menghilang. Mendengar aktif, menolong anak-anak menjadi tidak terlalu takut terhadap perasaan-perasaan negatif. “Perasaan itu menyenangkan”, itulah penyataan yang kami gunakan di dalam kelas MOE untuk menolong orang tua menyadari bahwa perasaan-perasaan tidaklah “buruk”. Bila orang tua melalui mendengar aktif memperlihatkan bahwa ia menerima perasaanperasaan anak, anak juga tertolong untuk dapat menerima perasaanperasaannya sendiri. Dari tanggapan orang tuanya, ia belajar bahwa perasaan-perasaan adalah menyenangkan. Mendengar aktif, mengembangkan hubungan yang hangat antara orang tua dan anak. Pengalaman didengar serta dimengerti orang lain demikian memuaskan sehingga membuat penerima merasa hangat terhadap

42

pendengarnya. Anak-anak, khususnya menanggapinya dengan perasaanperasaan dan gagasan-gagasan yang menyenangkan. Perasaan yang sama juga timbul dalam diri pendengar, ia mulai merasa hangat dan dekat pada pengirim pesan. Bila seseorang mendengarkan dengan sungguh-sungguh, ia akan mengerti orang yang berbicara, menghargai pendapatnya, ia dapat menjadi orang utuh dengan menempatkan diri di tempat orang tersebut. Dengan membiarkan dirinya “masuk ke dalam” orang lain, seseorang dapat menimbulkan kedekatan perhatian dan rasa kasih. Berempati dengan orang lain berarti melihatnya sebagai pribadi yang tersindiri, namun mau berada bersamanya. Hal itu berarti “menjadi teman” dalam satu masa dari kehidupannya. Tindakan semacam itu melibatkan rasa kasih yang mendalam. Orang tua yang belajar mendengar aktif dan empatis, menemukan rasa menghargai dan rasa menghormati, suatu rasa kasih sayang yang mendalam dan sebaliknya anak memberikan respons yang sama terhadap orang tua. Mendengar aktif, memudahkan pemecahan soal oleh anak. Pemecahan dan penyelesaian suatu masalah adalah lebih baik bila dapat “dibicarakan” daripada hanya dipikirkan saja. Karena mendengar aktif memudahkan seseorang berbicara, maka hal itu menolong seseorang dalam mencari penyelesaian atas masalahnya. Setiap orang tentu pernah mendengar pernyataan “Saya ingin membicarakannya denganmu” atau “Mungkin dapat lebih menolong untuk membicarakannya denganmu”. Mendengar aktif, mempengaruhi anak untuk mau lebih mendengarkan pendapat-pendapat orang tua. Merupakan pengalaman umum, bahwa bial seseorang mau mendengar pendapat orang lain, maka pendapatnya akan lebih mudah didengar. Anak-anak akan lebih terbuka untuk menerima pendapat orang tua, bial orang tua mau mendengar pendapatnya lebih dulu. Bila orang tua mengeluh bahwa anak-anak tidak mau mendengar mereka, dapat diduga bahwa mereka tidak berusaha secara efektif untuk mendengarkan anak-anak. Mendengar aktif, membuat anak bertanggung jawab. Bial orang tua menghadapi maslah anak-anak mereka dengan mendengarkan aktif, mereka akan melihat bahwa anak-anak mulai berpikir sendiri. Seorang mulai menganalisa masalahnya sendiri, dan mencapai suatu penyelesaian yang konstruktif. Mendengar aktif mendoron anak untuk berpikir sendiri, menemukan diagnosis untuk masalahnya, untuk menemukan penyelesaian masalahnya. Mendengar aktif menimbulkan rasa percaya, sedangkan memberi nasihat, instruksi dan sebagainya, menimbulkan rasa tidak percaya karena mengambil alih rasa tanggung jawab penyelesaian masalah dari tangan anak. Mendengar aktif oleh karenanya merupakan cara yang paling efektif dalam menolong anak untuk lebih mengarahkan diri, bertanggung jawab, dan berdiri sendiri.

43

Syarat-syarat untuk Menggunakan Cara Mendengar Aktif Mendengar aktif bukanlah teknik yang sederhana yang dapat sewaktuwaktu dipergunakan bilamana anak mempunyai masalah. Metode ini memerlukan sikap dasar tertentu. Tanpa sikap ini, metode mendengar aktif tidak akan efektif. Sikap-sikap dasar tersebut adalah: 1. Anda harus mau mendengar apa yang akan dikatakan anak. Ini berarti Anda harus meluangkan waktu untuk mendengar. Bila Anda tidak mempunyai waktu, katakan saja. 2. Anda harus sungguh-sungguh mau menolong anak Anda menghadapi masalahnya pada saat itu. Bila Anda tidak mau, tunggu sampai Anda mau. 3. Anda harus benar-benar dapat menerima perasaan-perasaanya, apa pun perasaan itu atau walaupun perasaan itu berlainan dengan perasaan Anda sendiri atau berbeda dengan perasaan-perasaan yang “seharusnya” dimiliki oleh seorang anak. Untuk mengembangkan perasaan ini diperlukan waktu. 4. Anda harus mempercayai kemampuan anak untuk mengatasi perasaan-perasaannya, dan mencari penyelesaian terhadap masalahnya. Anda akan memperoleh rasa percaya ini dengan melihat anak Anda menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. 5. Anda harus menyadari bahwa perasaan hanyalah sementar, tidak permanen. Perasaan berubah, benci dapat berubah menjadi cinta, putus-asa dapat segera diganti dengan harapan. Karenaya Anda tidak perlu takut akan ungkapan-ungkapan perasaan; perasaan-perasaan itu tidak akan selamanya berada dalam diri anak. Mendengar aktif akan menunjukkan hal ini pada Anda. 6. Anda harus dapat melihat anak Anda sebagai seseorang di luar diri Anda, seorang pribadi yang unik, seorang individu yang terpisah, yang mempunyai kehidupan sendiri dan identitas sendiri. “Keterpisahan” ini memungkinkan Anda “membolehkan” anak memiliki perasaan-perasaannya sendiri, memiliki cara sendiri dalam memperhatikan segala sesuatu. Hanya dengan merasa “terpisah” Anda dapat merupakan agen penolong bagi anak Anda. Anda harus “bersamanya” dalam mengalami masalah-masalah, tetapi tidak ikut terlibat dengannya.

Akibat dari Mendengar Aktif Mendengar aktif jelas meminta penerima menyingkirkan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaannya sendiri, untuk dapat memahami pesan anak. Hal itu memeaksanya untuk menerima secara tepat, bila orang tua ingin mengerti pesan sabagaimana diartikan oleh anak, orang tua harus

44

menempatkan dirinya di tepat si anak (dalam frame of reference-nya, ke dalam dunia realitasnya), baru orang tua dapat mengerti arti yang dimaksud oleh si pengirim. Bagian “umpan balik” dari mendengar aktif semata-mata adalah untuk mencocokkan ketepatan orang tua mendengar. Hal ini juga untuk meyakinkan pengirim (anak) bahwa ia dimengerti pada saat ia mendengar pesannya “diumpanbalikkan” secara tepat. Sesuatu terjadi pada seseorang pada waktu ia mengamalkan mendengar aktif. Untuk mengerti dengan tepat bagimana orang lain berpikir atau merasa, untuk menempatkan diri di tempat orang lain, untuk melihat dunia sebagaimana orang lain melihatnya, Anda sebagai pendengar menanggung akibat akan kemungkinan berubahnya pendapat dan sikap Anda. Dengan perkataan lain, orang dapat berubah oleh apa yang sungguh dimengertinya. “Terbuka untuk pengalaman” orang lain, mengundang kemungkinan utnuk menginterpretasikan kembali pengalaman-pengalaman Anda sendiri. Ini dapat menakutkan. Seorang yang “defensif” tidak dapat menghadapi gagasan-gagasan serta pendapat-pendapat yang berbeda dengan pendapatnya sendiri. Seorang yang fleksibel tidak takut untuk berubah. Anak-anak yang mempunyai orang tua fleksibel menanggapi secara positif bila mereka melihat ibu dan ayah mau berubah, mau bersikap manusia.

45

4 Mengamalkan Mendengar Secara Aktif Orang tua pada umumnya kagum terhadap apa yang dapat dicapai melalui mendengar aktif. Akan tetapi untuk mengamalkannya perlu suatu usaha sungguh-sungguh. Meskipun pada mulanyakelihatan sukar, mendengar secara aktif harus sering digunakan. “Dapatkah saya mengetahui bilamana menggunakannya?” tanya para orang tua. “Dapatkah saya melakukannya sedemikian rupa sehingga saya dapat menjadi penasihat yang efektif bagi anak-anak saya sendiri?” Nyonya T, seorang ibu dari 3 orang anak yang pandai dan berpendidikan, mengaku pada orang tua-orang tua lain dalam kelas-kelas MOE kami: “Sekarang saya baru sadar akan kebiasaan saya untuk memberi nasihat atau mengatakan pada anak-anak pendapat saya tentang bagaimana menyelesaikan masalah mereka. Memang ini juga kebiasaan saya pada orang lain, teman-teman, dan suami saya. Dapatkah saya mengubah sikap ‘nyonya serba tahu’ ini?” Jawabannya adalah “dapat”. Sebagian besar orng tua dapat mengubah, dan dapat mempelajari bilamana mendengar secara aktif harus dilakukan, asalkan segera dimulai. Praktek membuat orang merasa mampu. Kepada orang tua yang ragu-ragu, yang pada mulanya merasa tidak dapat mencoba cara baru untuk berbicara, kami katakan: “Cobalah, manfaatnya sebanding dengan usaha mencobanya”. Dalam bab ini, akan kami perlihatkan bagaimana orang tua belajar melakukan mendengar aktif. Sebagaimana halnya dalam mempelajari setiap kegiatan baru, tentu saja orang tua akan menghadapi pelbagai kesulitan, bahkan kegagalan. Tetapi sekarang kita ketahui, bahwa orang tua yang sungguh-sungguh mencoba mengembangkan kepekaan dan ketrampilannya, akan melihat perkembangan anak-anak mereka ke arah kedewasaan, dan akan menikmati hubungan yang lebih mesra dengan mereka.

BILAKAH ANAK MEMPUNYAI “MASALAH”? Mendengar aktif paling baik digunakan bila anak menyatkan bahwa ia mempunyai masalah. Umumnya orang tua kan memeprhatikan situasi ini, karena mereka akan mendengar anak mengungkapkan perasaanperasaannya. Dalam hidupnya, semua anak pernah menghadapi situasi yang mengecewakan, menyakitkan, atau menghancurkan: masalah dengan teman, dengan adik atau kakak, orang tua, guru, lingkungan, dan masalah dengan dirinya sendiri. Anak-anak yang mendapat bantuan untuk mengatasi masalah-masalah itu dapat memepertahankan kesehatan psikologis mereka dan merasa lebih kuat serta lebih percaya diri. Anak-anak yang tidak

46

memperoleh bantuan, akan mengidap masalah-masalah emosional, yang terus berkembang. Untuk mengetahui waktu yang tepat untuk menggunakan cara mendengar aktif, orang tua harus dibiasakan mendengar ungkapan perasaan – “saya punya masalah”. Sebelumnya, ada baiknya untuk menyadari suatu prinsip penting, yaitu prinsip dari “memiliki masalah”. Dalam setiap hubungan manusia, terdapat saat-saat di mana seseorang (A) “memiliki masalah”, yaitu bila beberapa kebutuhannya tidak terpenuhi atau bila ia tidak puas dengan tingkah lakunya. Pada waktu-waktu tertentu dalam hubungannya dengan orang lain ia merasa terganggu, kecewa, dan susah. Hubungan tersebut dirasakan tidak memuaskan A. A “memiliki masalah”. Pada saat lain, kebutuhan A terpenuhi oleh tingkah lakunya, tetapi tingkah laku ini menganggu B dalam memenuhikebutuhannya. Sekarang B yang terganggu, kecewa, dan susah, karena tingkah laku A. Akibatnya, pada saat itu B “memiliki masalah”. Dalam hubungan orang tua – anak, tiga keadaan di bawah ini bisa terjadi: 1. Anak mempunyai masalah karena ia terhalang untuk memuaskan suatu kebutuhan. Masalah itu bukan masalah orang tua karena tingkah laku anak tidak mengganggu orang tua dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Karena itu, anaklah yang memiliki masalah. 2. Anak memuaskan kebutuhannya sendiri (ia tidak mengalami rintangan) dan tingkah lakunya tidak mengganggu kebutuhan orang tua. Dalam hal ini tidak ada masalah dalam hubungan mereka. 3. Anak memuaskan kebutuhannya sendiri (ia tidak mengalami rintangan) tetapi tingkah lakunya merupakan masalah bagi orang tua, karena mengganggu orang tua dalam memuaskan kebutuhankebutuhan mereka. Sekarang orang tua memiliki masalah. Tergolong kategori manakah suatu situasi tertentu? Ada baiknya mengingat diagram di bawah ini. ANAK MEMILIKI MASALAH

Daerah Dapat Diterima

TAK ADA MASALAH

Daerah Tidak Dapat Diterima

ORANG TUA MEMILIKI MASALAH

Tingkah laku anak merupakan masalah bagi dirinya Tingkah laku anak merupakan masalah bagi orang tua

Mendengar aktif sebaiknya dilakukan orang tua bila anak memiliki suatu masalah, kurang tepat dilakukan bilamana orang tualah yang memiliki masalah. Memang hal ini menolong anak menemukan penyelesaian bagi

47

masalahnya, namun jarang menolong orang tua menemukan penyelesaian jikalau tingkah laku anak menimbulkan masalah bagi orang tua. (Dalam bab berikut akan diperkenalkan metode-metode bagi orang tua untu mengatasi masalah-masalah sendiri). Di bawah ini ada beberapa masalah yang mungkin dimiliki seorang anak: Tono merasa tidak disukai oleh salah seorang temannya. Hasan sedih karena ia tidak terpilih dalam kesebelasan sepak bola. Sri merasa kecewa karena tidak ada yang mengajaknya berkencan. Sudin tidak dapat menentukan pekerjaan apa yang akan dilakukannya kelak. Tanti ragu-ragu apakah ia akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak. Rini tidak senang belajar piano. Andi marah karena ia dikalahkan oleh adiknya dalam permainan tenis meja. Hamid memperoleh nilai buruk di sekolah karena ia membenci gurunya. Anti merasa malu karena gemuk. Dino mengalami kesukaran mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Masalah-masalah semacam ini adalah masalah-masalah yang mungkin dihadapi anak dalam usahanya mengatasi hidupnya – kehidupannya sendiri. Kekecewaan, keraguan, kesedihan, keprihatinan, bahkan kegagalankegagalan adalah masalahnya sendiri, bukan masalah orang tua. Ini adalah suatu konsep yang pada mulanya sukar diterima oleh orang tua. Kebanyakan ibu dan ayah cenderung membuat masalah anak-anaknya menjadi masalah mereka. Dengan demikian, secara sia-sia mereka membuat diri mereka sedih, memperburuk hubungan dengan anak-anak dan kehilangan banyak kesempatan untuk bertindak sebagai konselor ang efektif bagi anak-anak mereka. Bila orang tua menerima kenyataan bahwa masalah-masalah itu adalah masalah anak, ini tidak berarti bahwa orang tua tidak bisa memperhatikan, mengurus atau menawarkan pertolongan. Seorang konselor profesional benar-benar memperhatikan dan ingin menolong tiap anak yang dihadapinya. Tetapi, berbeda dengan kebanyakan orang tua, ia meletakkan tanggung jawab menyelesaikan masalah di tangan anak sendiri. Ia membolehkan anak memiliki masalah. Ia menerima anak sebagai seorang pribadi di luar diri konselor. Dan ia percaya bahwa sumber-sumber di dalam diri anak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Hanya dengan membiarkan anak memiliki masalahnya, dapatlah konselor melakukan mendengar aktif. Mendengar aktif merupakan cara yang tangguh untuk menolong orang lain menyelesaikan masalah yang dimilikinya, asalkan pendengar dapat menganggapnya sebagai milik orang lain itu dan membiarkan orang itu menyelesaikan masalahnya sendiri. Mendengar aktif dapat menambah efektivitas orang tua sebagai penolong anak-anak mereka, tetapi sayangnya bukan cara ini yang biasa dilakukan oleh orang tua.

48

Padahal metode ini akan memperbesar pengaruh orang tua terhadap anak, pengaruh yang berbeda dari pengaruh yang umumnya didesakkan oleh orang tua. Mendengar aktif adalah suatu metode untuk mempengaruhi anak agar mencari penyelesaian terhadap masalahnya sendiri. Umumnya orang tua cenderung untuk mengambil alih persoalan anak, seperti halnya di bawah ini: “Tomo tidak mau bermain dengan saya hari ini. Ia tidak mau melakukan apa yang saya inginkan.” IBU: “Mengapa tak kau biarkan dia melakukan apa yang ia inginkan? Kau harus dapat bergaul dengan teman-temanmu.” (Menasihati, memberi khotbah) DODI: “Saya tidak mau melakukan apa yang Tomo inginkan dan kecuali itu, saya tidak mau berteman dengan anak itu.” IBU: “Cobalah cari teman yang lain, kalau kau merusak permainan.” (Menawarkan suatu penyelesaian, mengatasi) DODI: “Tomo yang merusak permainan, bukan saya. Dan tidak ada seorang pun yang bisa diajak bermain.” IBU: “Kau susah karena lelah. Besok tentu akan baik lagi.” (Membuat interpretasi, menentramkan) DODI: “Saya tidak lelah dan besok tidak akan berbeda. Ibu tidak tahu betapa bencinya saya pada si kecil itu.” IBU: “Jangan bicara seperti itu. Kalau ibu dengar sekali lagi kau membicarakan temanmu seperti itu, awas …..” (Memerintah, mengancam) DODI: (pergi dan menggerutu) “Saya benci lingkungan sini. Saya ingin pindah.” DODI:

Di bawah ini adalah contoh bagaimana orang tua menolong anak yang sama, dengan mendengar secara aktif: “Tomo tidak mau bermain dengan saya hari ini. Ia tidak mau melakukan apa yang saya inginkan.” IBU: “Kau agak marah pada Tomo.” (Mendengar aktif) DODI: “Ya. Saya tidak mau bermain dengannya lagi. Saya tidak mau berteman dengannya.” IBU: “Kau begitu marah sehingga rasanya tidak mau melihatnya lagi.” (Mendengar aktif) DODI: “Ya. Saya kira saya harus tetap berteman dengan Tomo. Tapi sukar menahan marah.” IBU: “Kau ingin bergaul dengan baik tetapi sukar untuk tidak marah terhadap Tomo.” (Mendengar aktif) DODI: “Saya tidak perlu marah, kalau ia mau melakukan apa yang saya inginkan. Ia tidak mau saya perintah lagi.” IBU: “Tomo tidak mudah dipengaruhi sekarang.” (Mendengar aktif) DODI: “Benar. Ia bukan anak kecil sekarang. Walaupun ia lebih menyenangkan.” IBU: “Kau lebih menyukainya.” (Mendengar aktif) DODI:

49

“Ya. Tapi sukar untuk tidak memerintahnya. Saya sudah terbiasa. Barangkali kami tidak akan sering bertengkar kalau sesekali saya biarkan ia berbuat semuanya. Bukankah begitu?” IBU: “Kau pikir bila kadang-kadang mengalah, akan lebih baik.” (Mendengar aktif) DODI: “Ya, mungkin, akan saya coba.” DODI:

Dalam contoh pertama, ibu menggunakan delapan kategori dari “12 ciri”. Dalam contoh kedua, ibu terus-menerus mempergunakan mendengar aktif. Dalam contoh pertama, ibu “mengambil alih masalah”, dalam contoh kedua, dengan mendengar aktif, masalah tetap merupakan masalah Dodi. Pada contoh pertama, Dodi menolak usul-usul ibu, rasa marah dan kecewa tidak hilang, masalah tetap tidak terselesaikan dan Dodi tidak berkembang. Pada contoh kedua, rasa marah hilang, ia mulai menagadakan pemecahan persoalan dan melihat dirinya lebih dalam. Ia sampai pada penyelesaian masalah dan berkembang menjadi seorang yang bertanggung jawab serta mengarahkan pemecahan persoalan sendiri. Berikut ini situasi lain yang memberi gambaran bagaimana umumnya orang tua menolong anak-anak: “Saya tidak mau makan malam ini.” “Ayo, makanlah. Manusia harus makan tiga kali sehari.” (Instruksi, membujuk dengan logika) TANTI: “Saya sudah makan banyak siang tadi.” AYAH: “Coba pergi ke meja dan lihat apa yang disajikan.” (Menyarankan) TANTI: “Saya tidak mau makan apa-apa.” AYAH: “Mengapa kau malam ini?” (Menjajagi) TANTI: “Tidak apa-apa.” AYAH: “Kalau begitu, pergilah ke meja makan.” (Memberi perintah) TANTI: “Saya tidak lapar dan saya tidak mau ke meja makan.” TANTI: AYAH:

Tanti dapat ditolong dengan mendengar aktif seperti di bawah ini: “Saya tidak mau makan malam ini.” “Kau tidak ingin makan malam ini.” (Mendengar aktif) “Ya, perut saya tidak enak hari ini.” “Kau merasa tegang hari ini, benarkah?” (Mendengar aktif) “Bukan tegang, tapi takut.” “Kau benar-benar takut akan sesuatu.” (Mendengar aktif) “Ya, saya memang takut. Anton tadi mengatakan bahwa ia ingin berbicara nanti malam. Tidak seperti biasanya, nampaknya kali ini ia sungguh-sungguh.” AYAH: “Kau merasa sesuatu akan terjadi.” (Mendengar aktif) TANTI: “Bisa habis riwayatku! Lebih-lebih saya menduga ia akan berteman dengan Sri.” AYAH: “Itu yang kau takutkan, bahwa Anton akan berkencan dengan Sri.” (Mendengar aktif) TANTI: AYAH: TANTI: AYAH: TANTI: AYAH: TANTI:

50

“Ya, ia selalu menggaet pemuda baik-baik. Betul-betul memuakkan. Sri selalu bisa bergaul dengan ramah pada anak laki-laki. Semuanya menyukai Sri. Selalu saja ada dua atau tiga anak laki-laki di sekitarnya. Saya tidak tahu bagaimana ia bisa begitu, saya tidak pernah bisa bicara di depan anak laki-laki.” AYAH: “Kau ingin bisa mudah berbicara dengan anak laki-laki seperti Sri.” (Mendengar aktif) TANTI: “Ya, saya sangat ingin agar mereka menyukai saya, sehingga saya takut mengatakan sesuatu. Takut salah.” AYAH: “Kau sangat ingin menjadi seoran yang populer sehingga kau takut kalau-kalau berbuat sesuatu kesalahan.” (Mendengar aktif) TANTI: “Ya, tapi akan saya ciba faripada diam saja.” AYAH: “Kau merasa hal itu mungkin lebih baik.” (Mendengar aktif) TANTI: “Ya, pasti. Saya sudah bosan berdiam diri saja.” TANTI:

Pada contoh pertama, ayah Tanti dari permulaan telah gagal menguraikan masalah dan pembicaraan berlangsung sekitar soal makan saja. Dalam contoh kedua, kepekaan ayah dalam mendengar aktif menolongnya untuk menemukan masalah dasar, mendorong Tanti untuk mengatasi masalahnya dan menolong Tanti mempertimbangkan untuk membuat suatu perubahan.

BAGAIMANA ORANG TUA DAPAT MELAKUKAN MENDENGAR AKTIF?: Ilustrasi di bawah ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana orang tua melakukan mendengar aktif di rumah bilamana mereka menghadapi masalah anak-anak. Janganlah Anda terlalu melibatkan diri dalam situasisituasi ini sehingga lupa membuat catatan-catatan.

Adi: anak yang sukar tidur Dalam menghadapi situasi ini, seorang ibu yang telah menyelesaikan kursus MOE, menggunakan beberapa respons “12 ciri”, tetapi juga mendengar aktif. Adi, 8 tahun sejak berumur 5 tahun mempunyai “masalah tidur”. Delapan bulan sebelum pembicaraan yang dikutip ini terjdi, ia pindah kamar. Tadinya ia sekamar dengan dua adiknya. Walaupun Adi senang sekali memperoleh kamar sendiri, namun masalah tidur malahan semakin meningkat. IBU: ADI: IBU: ADI: IBU: ADI:

“Sudah malam. Matikan lampu dan tidurlah.” “Saya tidak mau tidur.” “Kau harus tidur, sudah malam. Besok kau lelah.” “Saya tidak mau tidur.” (Kasar). “Matikan lampu segera!” (Tegas). “Saya tidak akan tidur.”

51

IBU:

ADI: IBU: ADI: IBU: ADI:

IBU: ADI: IBU: ADI: IBU: ADI: IBU: ADI: IBU: ADI: IBU: ADI: IBU: IBU: ADI: IBU: ADI: IBU: ADI:

IBU: ADI: IBU: ADI:

(Saya ingin memukulnya. Saya sangat lelah, saya tidak dapat menghadapinya malam ini. Saya pergi ke dapur, mengambil minum, dan memutuskan untuk mencoba mendengar aktif walaupun akan membosankan masuk ke kamar Adi) “Ayolah hari sudah malam. Ibu akan duduk di sini sebentar sebelum mencuci piring.” (Ibu mengambil buku Adi, mematikan lampu, menutup pintu, dan duduk di tempat tidur di samping Adi). “Berikan buku itu! Jangan matikan lampu. Ibu keluar saja, saya tidak suka Ibu di sini. Saya tidak akan tidur. Saya benci Ibu!” “Kau marah.” “Ya, saya benci sekolah dan tidak mau ke sekolah lagi, selamanya!” (Ia suka sekolah). “Kau jemu dengan sekolah.” “Menyebalkan! Saya tidak pandai di sekolah. Tidak mengerti apa-apa. Saya seharusnya duduk di kelas dua (ia di kelas tiga). Matematika, saya tidak bisa (ia pandai atematika). Apa guru mengira kita ini murid sekolah menengah?” “Matematika amat sukar bagimu.” “Tidak, mudah sekali. Saya hanya tidak suka mengerjakannya.” “Oh ….” (Tiba-tiba beralih pembicaraan). “Saya suka main bola. Lebih suka bermain bola daripada sekolah.” “Kau suka main bola.” “Apakah seseorang harus masuk ke perguruan tinggi?” (Kakak tertua akan masuk perguruan tinggi dan keluarga asyik membicarakannya). “Tidak.” “Berapa lama saya harus sekolah?” “Kau harus selesaikan SMA.” “Saya tidak akan kuliah di perguruan tinggi. Tidak harus, bukan?” “Benar.” “Saya akan main bola.” “Main bola memang menyenangkan.” “Betul.” (Sekarang sudah tenang, tidak marah lagi). “Selamat malam, Ibu.” “Ibu masih mau duduk di sini sebentar lagi?” “Ya.” (Memperbaiki selimut yang tadinya ditendang; menyelimuti lutut ibu dan menepuk-nepuk). “Enak duduk di sini?” “Ya.” (Diam sebentar, kemudian Adi mulai mendengus, napasnya sukar karena hidungnya penuh lendir. Adi memang menderita alergi hidung, tetapi gejalanya tidak pernah akut. Ibu tidak pernah mendengar Adi mendengus seperti ini). “Hidungmu mengganggu?” “Ya. Apa perlu obat hidung?” “Apa obat itu bisa menolong?” “Tidak.”

52

IBU: ADI: IBU:

ADI: IBU: ADI:

IBU: ADI:

IBU:

ADI: IBU: ADI: IBU: ADI: IBU:

ADI: IBU: ADI: IBU: ADI: ADI:

“Tampaknya hidungmu sangat mengganggu.” “Ya.” (Menghela napas dengan sukar). “Alangkah enaknya tidur tanpa harus bernapas melalui hidung.” (Heran mendengar pendapat ini, ingin tanya darimana Adi memperoleh gagasan ini). “Apa kau pikir kau harus bernapas melalui hidung kalau kau tidur?” “Saya tahu itu harus.” “Kau merasa pasti.” “Saya tahu itu. Tono yang mengatakannya dulu.” (Teman baiknya, 2 tahun lebih tua). “Menurut Tono, orang tidak bisa bernapas melalui mulut kalau tidur.” “Maksudnya, tidak boleh bernapas melalui mulut?” “Bukankah begitu Ibu? Maksud saya, harus bernapas melalui hidung kalau tidur.” (Penjelasan-penjelasan yang panjang, banyak pertanyaan Adi tentang teman yang dikaguminya “Ia tidak akan membohongi saya”). (Menerangkan bahwa teman bermaksud menolong, tetapi anak-anak kadang-kadang memperoleh onformasi yang salah. Ibu menekankan berulang-ulang bahwa setiap orang bernapas melalui mulut bila tidur). (Merasa sangat lega). “Selamat malam, Bu.” “Selamat malam.” (Adi bernapas dengan mudah melalui mulut). (Tiba-tiba mendengus). “Masih takut?” “Uh-uh. Ibu, apa yang akan terjadi bila saya bernapas dari mulut dan hidung saya penuh lendir – kemudian di tengah malam mulut tertutup?” (Sadar bahwa selama bertahun-tahun Adi takut tidur karena hanya takut akan tercekik sampai mati; ia berpikir, “Oh, kasihan anakku”). “Kau takut akan tercekik?” “Ya. Saya harus bernapas.” (Ia tidak dapat mengatakan, “Saya bisa mati.”) (Menerangkan lagi). “Itu tak mungkin terjadi. Mulutmu akan terbuka – sebagaimana jantungmu berdenyut atau matamu berkedip.” “Ibu yakin?” “Ya, Ibu yakin.” “Nah, selamat malam.” “Selamat malam, Sayang.” (Mencium. Adi segera tidur dalam beberapa menit).

Kasus Adi bukanlah contoh yang unik dari orang tua yang menggunakan mendengar aktif mencapai penyelesaian masalah emosional secara dramatis. Laporan-laporan semacam ini dari orang tua yang mengikuti kursus ini menambah keyakinan kami bahwa orang tua dapat mempelajari keahlian yang digunakan para konselor profesional untuk menolong anakanaknya yang mempunyai masalah mendalam. Kadang-kadang mendengar aktif terapeutis semacam ini hanya mencapai pelampiasan katarsis dari perasaan-perasaan anak; apa yang dibutuhkan

53

anak adalah pendengar yang baik, sebagaimana halnya Retno, seorang anak cerdas berumur 10 tahun. Ibu Retno menyarankan agar percakapan direkam, sehingga rekaman dapat dibawa ke dalam kelas MOE. Tentu saja hal ini deperbolehkan, dan sekaligus rekaman dapat dipergunakan untuk melatih orang tua lain. Bila Anda mambaca turunan rekaman di bawah ini, cobalah bayangkan bagaimana para orang tua yang belum terlatih menggunakan “12 ciri” dalam menanggapi perasaan-perasaan Retno tentang gurunya. IBU: “Retno, kau segan masuk sekolah besok, ya?” RETNO: “Tidak ada yang dicari di sekolah, Bu.” IBU: “Maksudnya, agak membosankan.” RETNO: “Ya, tak ada yang dilakukan kecuali melihat

Ibu Rodah – yang gemuk dan kelihatannya dungu.” IBU: “Kau tidak menyukai apa-apa yang dilakukannya ….” RETNO: “Ya, dan sambil berkeliling ia berkata, ‘Besok akan kuberikan ini padamu.’ Esok harinya ia berkata, ‘Oh, saya lupa. Lain kali saja’.” IBU: “Kau tidak menyukai hal itu.” RETNO: “Ya, ia belum memberikan penjepit kerta yang dijanjikannya padaku dalam bulan September.” IBU: “Ia mengatakan akan melakukan banyak hal, dan kau mengharapkannya, tetapi ia tidak melakukannya.” RETNO: “Dan dalam segala macam rencana perjalanan, antara lain ia katakan kami akan ke perpustakaan satu hari dalam minggu ini ... tetapi kemudian ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai rencana tersebut – ia hanya mengatakannya saja, hanya itu – dan kemudian ia menjanjikan yang lain lagi.” IBU: “Jadi, ia memberiakn harapan dan semangat, tetapi tidak pernah menjadi kenyataan.” RETNO: “Ya.” IBU: “Kau merasa kecewa.” RETNO: “Ya, satu-satunya yang saya sukaiadalah pelajaran kesenian, karena ia tidak pernah menegur tulisanku. Paling-paling ia menegur: ‘Oh, tulisanmu amat buruk! Mengapa tidak kau perbaiki tulisanmu? Mengapa kau begitu ceroboh?’” IBU: “Seolah-olah ia mengawasimu terus-menerus.” RETNO: “Ya. Pada pelajaran menggambar ia mengatakan warna apa yang harus dipergunakan dan saya tidak menggunakannya .... Saya membuat gambar yang bagus, dan ia mengajarkan bagaimana membuat bayangan ….” IBU: “Selanjutnya kau dibiarkan berbuat semaunya.” RETNO: “Ya. Kecuali waktu membuat atap rumah....” IBU: “Ia menyuruhmu melakukan hal-hal tertentu.…” RETNO: “Huh, saya tidak mau mengerjakannya.” IBU: “Kau tidak suka bila ia memaksakan gagasannya agar kau lakukan….”

54

RETNO: “Saya

tidak mau. Saya ingin mengabaikannya tapi kemudian saya menghadapi kesukaran.” IBU: “Bila kau mengabaikan pendapatnya kau takut akan menemui kesukaran.” RETNO: “Ya, biasanya saya tidak berani. Saya selalu harus melakukan apa yang dikehendakinya. Caranya ia memaksa saya membuat nomor dalam Matematika satu A, satu B dan … huh.” IBU: “Kau ingin sekali tidak menuruti kemauannya tetapi kau tetap menurutinya, dan kau merasa benci ….” RETNO: “Segala sesuatu yang ia lakukan memakan waktu lama, ia selalu harus menerangkan segala sesuatu kemudian memberi contoh dan hal ini membuat saya merasa seperti bayi. Ia memperlakukan kita seperti anak taman kanak-kanak.”

Kadang-kadang berat bagi orang tua untuk membiarkan pembicaraan berakhir tanpa suatu kesimpulan. Bial orang tua mengerti bahwa hal ini sering terjadi dalam pertemuan-pertemuan konseling, mereka akan lebih mudah membiarkan anak menghentikan pembicaraan dan memberikan kepercayaan pada anak untuk mencari penyelesaian selanjutnya. Para ahli belajar dari pengalaman bahwa anak-anak dapat dipercaya untuk mampu mengatasi masalah hidupnya secara konstruktif. Orang tua sering mengabaikan kemampuan ini. Di bawah ini adalah suatu contoh yang diambil dari wawancara saya dengan seorang remaja. Wawancara ini menggambarkan bahwa mendengar aktif tidak selalu membawa perubahan. Sering kali mendengar aktif hanya memulai suatu rangkaian kejadian-kejadian dan hasilnya mungkin tidak pernah diketahui oleh orang tua atau mungkin tidak tampak untuk sementara waktu. Ini terjadi karena anak-anak acap kali membuat suatu penyelesaian sendiri setelah pembicaraan-pembicaraan berlangsung. Konselor profesional mengalami hal ini terjadi setiap kali. Seorang anak dapat mengakhiri pertemuan di tengah-tengah pembicaraan masalahnya, dan minggu berikutnya mengatakan bahwa masalahnya telah terselesaikan. Hal ini terjadi pada Rudi, berusia 16 tahun, yang dibawa untuk suatu konseling, karena orang tuanya khawatir akan nilai-nilainya di sekolah, senantiasa melawan orang dewasa, menyalahgunakan obat, dan tidak bisa bekerja sama di rumah. Selama beberapa minggu, Rudi menghabiskan pertemuan konseling dengan membela dirinya sehubungan dengan kesenangannya merokok mariyuana dan mencela orang-orang dewasa karena minum alkohol serta merokok sigaret. Ia tidak melihat kesalahannya. Ia menganggap setiap orang harus mencobanya, karena merokok mariyuana merupakan pengalaman yang mengasyikkan baginya. Ia juga meragukan perlunya sekolah. Ia berpendapat bahwa sekolah hanya merupakan persiapan untuk memperoleh pekerjaan. Ia memperoleh angka di bawah rata-rata di sekolah. Bagi Rudi, melakukan sesuatu yang

55

konstruktif adalah sia-sia. Pada suatu hari ia datang dan tiba-tiba mengatakan ia telah memutuskan untuk berhenti merokok mariyuana, tidak akan merusak hidupnya. Walaupun ia belum tahu apa yang akan dikerjakan dalam hidupnya, ia mengatakan tidak akan menyia-nyiakan hidupnya di jalan yang salah. Ia juaga mengatakan akan bekerja keras untuk memperbaiki angka-angkanya. Akhirnya Rudi tamat SMA dengan nilai yang cukup baik dan masuk perguruan tinggi. Saya tidak tahu apa yang menyebabkannya berubah tetapi saya menduga bahwa karena didengar secara aktif, tergeraklah hatinya.

Kadang-kadang mendengar aktif hanya menolong anak untuk menerima situasi yang diketahuinya sebagai tidak dapat diubah. Mendengar aktif menolong anak mengungkapkan perasaan-perasaan seperti itu. Ini mungkin gejala yang sama seperti keluhan di lingkungan tentara; orang yang mengeluh biasanya sadar bahwa ia tidak dapat mengubah situasi tetapi tampaknya dapat membantu untuk mengutarakan perasaan-perasaan negatif di hadapan seseorang yang menerima dan memahami perasaan tersebut. Di bawah ini digambarkan pembicaraan berikutnya antara Lisa, 12 tahun, dengan ibunya: “Saya benci sekali pada guru bahasa Inggris yang baru! Dia guru yang terburuk.” IBU: “Kau dapat guru yang buruk semester ini.” JONI: “Ya! Ia banyak bicara sampai saya bosan. Ingin saya menyuruhnya diam.” IBU: “Kau betul-betul marah padanya” JONI: “Semua orang tidak menyukainya. Mengapa guru semacam itu bisa mengajar di sekolah ini?” IBU: “Kau bingung, bagaimana guru seburuk itu diperbolehkan mengajar.” JONI: “Ya, tapi ia sudah ada di kelas, dan saya harus menghadapinya setiap hari. Ah, saya harus buat pekerjaan rumah dulu.” JONI:

Tidak dicapai suatu penyelesaian, Lisa tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan. Namun Lisa merasa lega dapat mengutarakan perasaannya dan ibu mengerti serta menerima perasaan itu. Orang tua menunjukkan bahwa bila anak mempunyai kesukaran, ia memiliki seseorang untuk tempat mengadu.

KAPAN ORANG TUA MEMUTUSKAN UNTUK MENGGUNAKAN MENDENGAR AKTIF? Apakah untuk menggunakan mendengar aktif harus menunggu timbulnya masalah serius, sebagaimana halnya Adi yang takut tidur? Tidak. Anak-anak mengirim pesan setiap hari yang menandakan bahwa perasaan mereka terganggu. Jari Joni baru saja terbakar, terkena alat listrik.

56

“Oh, tangan saya terbakar! Ibu, tangan saya terbakar. Oh, sakit, sakit sekali! (menangis) Tangan saya terbakar.” IBU: “Ooo, sakit sekali.” JONI: “Ya, lihatlah lukanya.” IBU: “Kelihatannya lukanya besar. Sakitnya bukan main.” JONI: (Berhenti menangis). “Oleskan sesuatu.” IBU: “Baik, ibu ambilkan es agar lebih dingin, kemudian ibu oleskan salep.” JONI:

Menanggapi kecelakaan yang biasa terjadi dalam rumah tangga, ibu menghindari pernyataan-pernyataan seperti “Oh, tidak apa-apa”, atau “Nanti akan baik”, atau “Lukanya tidak terlalu besar”. Ibu menghargai perasaan Joni bahwa lukanya besar dan rasanya sakit sekali. Ibu juga menahan diri agar tidak menggunakan tanggapan yang khas dalam menghadapi situasi semacam ini: “Joni jangan seperti bayi. Hentikan tangismu sekarang juga.” (Menilai dan memerintah)

Sikap ibu yang mendengar aktif, mencerminkan beberapa sikap penting terhadap Joni: - Ia mengalami suatu saat yang menyakitkan dalam hidupnya – ini adalah masalahnya dan ia berhak memeberikan reaksinya yang unik.

- Saya tidak mau mengingkari perasaan-perasaannya sendiri – perasaan tersebut adalah benar baginya.

- Saya dapat menerima betapa ia merasakan betapa hebatnya luka bakarnya dan betapa sakitnya.

- Saya tidak berani membuat ia merasa bersalah akan perasaan-perasaannya sendiri.

Para orang tua melaporkan bahwa mendengar aktif pada saat anak sakit dan menangis sering kali mengakibatkan berhentinya tangis secara tiba-tiba, setelah anak merasa yakin bahwa orang tua tahu dan mengerti betapa sakitnya atau betapa besar rasa takutnya. Memang bagi anak, yang sangat dibutuhkan adalah agar perasaan-perasaannya dipahami. Anak-anak kadang kala dapat sangat mengganggu orang tua bila mereka merasa khawatir, takut atau tidak aman bila orang tua pergi malam hari atau bila merasa kehilangan boneka kesayangannya atau selimutnya, atau harus tidur di tepat tidur yang asing, dan sebagainya. Meyakinkan saja jarang berhasil dalam situasi-situasi seperti ini, dan orang tua menjadi tidak sabar bila anak tidak berhenti merengek atau mencari barangnya yang hilang. “Saya mau selimutku, saya mau selimutku, saya mau selimutku!” “Ibu janganpergi, ibu jangan pergi!” “Saya mau bonekaku. Mana bonekaku? Saya mau bonekaku!”

57

Mendengar aktif dapat menghasilkan sesuatu yang ajaib dalam situasisituasi seperti itu. Yang terutama diinginkan anak adalah agar perasaanperasaanya dipahami oleh orang tua. Tuan H melaporkan peristiwa di bawah ini segera setelah mengikuti kursus MOE: Eka, 3½ tahun, mulai merengek ketika ibunya turun dari mobil untuk berbelanja dan meninggalkan Eka di mobil dengan saya. “Eka mau Ibu”, pintanya berkali-kali, walaupun telah saya katakan bahwa ibu akan segera kembali. Kemudian tangisnya semakin keras. “Eka mau boneka Eka, mau boneka Eka”. Segala usaha tidak berhasil mendiamkannya. Kemudian saya ingat metode mendengar aktif. Dengan putus asa saya berkata, “Eka kehilangan Ibu”. Ia mengangguk. “Eka tidak suka Ibu pergi sendiri tanpa mengajak Eka”. Ia mengangguk lagi, masih kelihatan ketakutan. Saya lanjutkan, “Kalau Eka kehilangan Ibu, Eka akan punya boneka Eka”. Ia mengangguk keras. “Tapi bineka Eka tidak ada di mobil dan Eka kangen bonekanya juga”. Tiba-tiba, bagaikan kena sihir, ia berhenti menangis, pindah duduknya mendekati saya dan mulai berbicara tentang orang-orang yang dilihatnya.

Pelajaran bagi orang tua, sebagaimana hanya bagi Tuan H, adalah menerima perasaan anak, dan bukan berusaha dengan cara yang langsung untuk menghentikan rengekan melalui ancaman atau bujukan. Anak-anak ingin supaya orang tua memahami betapa susahnya perasaan mereka. Situasi lain di mana mendengar aktif dapat dilakukan adalah bilamana anak mengirim pesan yang dinyatakan secara aneh, sehingga menyukarkan orang tua untuk mengerti apa yang dimaksud. Sering kali, tetapi tidak selalu, pesan-pesan mereka dinyatakan dalam pertanyaan-pertanyaan: “Apakah saya akan kawin?” “Bagaimana rasanya mati?” “Mengapa teman-teman menyebut saya pengecut?” “Ayah, ketika saya masih muda, apa yang ayah sukai pada gadis-gadis?”

Pertanyaan terakhir datang dari anak gadis saya pada suatu pagi ketika makan pagi sebelum ia berangkat ke sekolah. Seperti ayah-ayah yang lain, saya ingin mengenang kembali masa muda. Untunglah saya sadar dan menanggapi dengan cara mendengar aktif. AYAH: ANAK: AYAH: ANAK: AYAH: ANAK: AYAH: ANAK:

“Kelihatannya kau ingin tahu supaya bagaimana anak laki-laki menyukaimu, begitu” “Ya. Nampaknya mereka tidak menyukaiku entah mengapa.” “Kau bertanya-tanya mengapa mereka tidak menyukaimu.” “Saya tidak banyak bicara. Saya takut bicara di depan anak laki-laki.” “Kau tidak bisa terbuka dan bersikap santai dengan anak laki-laki.” “Ya, saya takut saya akan mengatakan sesuatu yang tampaknya bodoh.” “Kau tidak ingin mereka menyangka engkau bodoh.” “Benar. Kalau saya diam, ha itu tidak akan terjadi.”

58

“Lebih baik kau diam.” “Ya, tetapi itu pun tidak benar, karena mereka akan menganggap saya menjemukan.” AYAH: “Dengan diam kau tidak akan mencapai sesuatu yang diinginkan.” ANAK: “Benar. Saya kira saya harus berani memanfaatkan kesempatan.” AYAH: ANAK:

Apa yang akan saya capai bila saya menceritakan tentang masa muda saya bersama gadis-gadis! Berkat mendengar aktif, anak saya memperoleh suatu kesimpulan yang konstruktif untuk mulai mengubah tingkah lakunya. Pesan-pesan yang terselubung, biasanya berbentuk pertanyaan, acap kali berarti bahwa anak menghadapi masalah yang lebih dalam. Mendengar aktif memungkinkan orang tua menolong anak merumuskan masalahnya sendiri. Kesempatan untuk menjadi konselor yang efektif akan terbuang siasia bila orang tua memberikan jawaban langsung terhadap pertanyaan terselubung. Ketika mula-mula mencoba melakukannya, orang tua sering kali lupa bahwa mendengar aktif adalah suatu ketrampilan yang mempunyai nilai besar dalam menanggapi masalah-masalah intelektual anak. Anak-anak terus-menerus menghadapi masalah tentang apa yang dibaca ataupun yang didengarnya – protes-protes mahasiswa, keributan-keributan, integrasi, perang, polusi udara, kejahatan, perceraian, pembunuhan dan sebagainya. Yang sering kali mengejutkan orang tua adalah anak-anak pada umumnya menyatakan pandangannya secara polos atau sangat naif. Orang tua ingin segera membenarkan atau menunjukkan pandangan yang lebih luas. Motivasi orang tua di sini bisa lunak – berudaha mengembangkan kepandaian anak. Atau dapat juga mementingkan diri sendiri – menunjukkan keunggulannya. Cara lain, orang tua menggunakan satu atau lebih dari “12 ciri”, yang berakhir dengan menyakitkan hati atau menyinggung perasaan. Kami harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan agar orang tua mulai menggunakan mendengar aktif bila anak-anak mereka menghadapi masalah-masalah, baik masalah pribadi maupun masalah mengenai berita yang mutakhir. Kami bertanya: “Apakah anak Anda harus berpikir seperti Anda?” “Mengapa Anda merasa perlu untuk mengajarnya?” “Apakah Anda tidak dapat bersikap toleran terhadap pendapat yang bertentangan dengan pendapat Anda?” “Tidak dapatkah Anda membiarkan ia menghadapi masalahnya?” “Tidak dapatkah Anda mengingat bagaimana pada masa kanak-kanak Anda memiliki gagasan-gagasan yang ganjil dan lucu mengenai masalah dunia?”

Bilamana orang tua mulai menjaga lidah dan membuka telinga, mereka dapat menyaksikan perubahan-perubahan dalam percakapan dengan anak-

59

anak mereka. Anak-anak mulai mengungkapkan masalah-masalah yang tadinya tidak pernah mereka kemukakan pada orang tua – seks, obatobatan, aborsi, alkohol, moralitas, dan sebagainya. Mendengar aktif dapat membuat rumah menjadi suatu tempat di mana orang tua dan anak bisa terlibat dalam pembicaraan mendalam serta terbuka mengenai masalahmasalah kompleks dan kritis yang dihadapi anak-anak. Bila ada orang tua mengeluh bahwa anak-anak mereka tidak pernah membicarakan masalah-masalah serius di rumah, biasanya ternyata bahwa masalah-masalah itu sudah dikemukakan dengan hati-hati dan ragu-ragu oleh anak-anak, namun orang tua menanggapi dengan cara rutin tradisional: memberi peringatan, memberi khotbah, mengajari, menilai, menyindir, atau mengalihkan perhatian. Lambat-laun anak-anak akan menutup diri dan selanjutnya memisahkan diri dari orang tua. Tidak mengherankan bila sampai terjadi generation gap. Karena dalam keluarga, orang tua biasanya tidak mendengarkan, mereka hanya mengajar, membenarkan, mencela, dan mengejek pesan-pesan yang datang dari anak-anak yang sedang tumbuh itu.

KESALAHAN-KESALAHAN UMUM DALAM MENGGUNAKAN MENDENGAR AKTIF Orang tua tidak mengalami kesukaran untuk mengerti apa yang dimaksud dengan “mendengar aktif” dan untuk melihat perbedaannya dengan “12 ciri”. Demikian pula, jarang ada orang tua yang tidak mengetahui keuntungan-keuntungan mendengar aktif. Namun, untuk menjalankannya dengan baik banyak orang tua mengalami kesulitan. Sebagaimana setiap usaha mempelajari ketrampilan baru, kesalahankesalahan wajar saja terjadi, baik disebabkan karena ketrampilan itu belum sungguh-sungguh dikuasai maupun karena ketrmpilan itu dipergunakan secara tidak tepat. Beberapa kesalahan akan dijelaskan dengan harapan agar orang tua menghindarinya.

Menanggapi dengan “Bimbingan” Beberapa orang tua gagal waktu mulai menjalankan mendengar aktif hanya karena tujuannya salah. Mereka mau menggunakannya untuk membuat anak bertindak atau berpikir seperti yang dinginkan orang tua. Nyonya J dalam pertemuan keempat suatu kursus MOE, mengungkapkan kekecewaan serta kekesalannya sewaktu pertama kali menjalankan mendengar aktif. “Anak saya hanya memandang saya tanpa mengatakan sesuatu pun. Padahal Anda mengatakan bahwa mendengar aktif dapat mendorong anak untuk berbicara. Ternyata tidak!” Atas permintaan pembina, Nyonya J menceritakan apa yang terjadi. Didi, 16 tahun, pulang dari sekolah mengatakan bahwa ia diberi peringatan karena ada dua mata pelajaran bernilai buruk. Segera Nyonya J berusaha

60

mengajak Didi bicara dengan menggunakan cara yang baru dipelajarinya. Didi bungkam dan pergi meninggalkan ibunya.

Pembina kemudian menganjurkan agar peristiwa itu dimainkan kembali ia akan berperanan sebagai Didi. Nyonya J setuju, walaupun ia mengatakan bahwa pembina tidak akan bisa berperan seperti anaknya di rumah. Dalam dialog berikut pembina berperan sebagai Didi. Perhatikan tanggapan ibu kepadanya. DIDI: NYONYA J: DIDI: NYONYA J: DIDI: NYONYA J: DIDI: NYONYA J: DIDI:

“Wah, saya dapat peringatan hari ini. Dua pelajaran nilainya kurang. Matematika dan bahasa Inggris.” “Kau merasa susah,” (dingin). “Tentu saja saya susah.” “Kau kecewa,” (tetap dingin). “Itu berarti saya tidak akan naik.” “Kau merasa tidak ada yang dapat dilakukan setelah diberi peringatan.” (ibu mengirimkan pesannya di sini). “Maksud ibu, saya harus belajar lebih banyak lagi?” (Didi menangkap maksud ibu). “Ya, belum terlambat bukan?” (sekarang ibu mendesak keputusannya). “Mengapa saya harus mempelajari pelajaran-pelajaran brengsek itu? Saya tidak suka!”

Berakhirlah pembicaraan. Didi terpojokkan oleh Nyonya J yang menggunakan mendengar aktif, berusaha membuat Didi belajar lebih giat. Didi merasa terancam oleh ibunya dan menjadi defensif. Nyonya J, seperti kebanyakan orang tua, pada mulanya ingin menggunakan mendengar aktif, karena melihatnya sebagai suatu cara baru untuk memanipulasi anak – suatu cara halus untuk menggiring mereka ke arah yang diinginkan orang tua atau membimbing tingkah laku dan cara berpikir anak. Bukankah membimbing adalah salah satu tanggung jawab orang tua? “Bimbingan orang tua” merupakan salah satu fungsi orang tua yang umumnya disetujui. Namun hal itu juga merupakan sesuatu yang sering disalahartikan. Ini berarti bahwa tangan orang tua memegang kemudi. Sering kali bila orang tua memegang kemudi dan mengarahkan anak kepada suatu arah tertentu, mereka mendapat perlawanan. Anak-anak cepat menangkap maksud orang tua. Mereka segera mengetahui bahwa bimbingan orang tua biasanya berarti kurang diterimanya anak sebagaimana adanya. Anak merasa orang tua memaksakan sesuatu kepadanya. Ia takut akan pengendalian tidak langsung seperti itu. Kebebasannya terancam. Mendengar aktif bukanlah suatu cara bimbingan menuju perubahan yang diarahkan oleh orang tua. Orang tua yang menganggapnya demikian akan

61

mengirim pesan-pesan tak langsung: gagasan-gagasan, tekanan-tekanan halus, dan prasangka-prasangka. Berikut ini contoh pesan-pesan “selundupan” semacam itu. “Saya marah pada Asti dan saya tidak mau bermain lagi dengannya.” ORANG TUA: “Kau tidak suka bermain dengannya hari ini, karena hari ini kau sedang marah padanya.” YUNI: “Saya tidak mau main lagi – selamanya!” YUNI:

Perhatikan bagaimana orang tua menyelundupkan pesannya: “Saya harap ini hanya sementara saja, besok kau tidak marah lagi”. Yuni menangkap keinginan orang tua untuk mengubahnya, dan dalam pesan berikutnya menolak kehendak itu. Contoh lain: “Apa salahnya mengisap mariyuana? Kan tidak merusak, tidak seperti rokok atau alkohol. Larangan mengisap mariyuana adalah salah. Peraturan harus diubah.” ORANG TUA: “Kau menganggap bahwa peraturannya harus diubah, sehingga akan lebih banyak anak menjadi korban.” BOBI:

Jelas bahwa umpan balik orang tua adalah suatu usaha untuk melarang anak berpikir salah tentang mariyuana. Tidak heran bahwa umpan balik ini tidak tepat, karena berisi pesannya sendiri yang bertentangan dengan pendapat anak. Umpan balik yang lebih tepat adalah: “Kau yakin bahwa mariyuana sebaiknya diizinkan bukan?”

Membuka Pintu Kemudian Menutupnya Dalam mencoba memperguankan mendengar aktif, beberapa orang tua pada mulanya mulai dengan tujuan membuka pintu bagi anak-anak untuk berkomunikasi tetapi kemudian mereka menutup pintu tersebut karena mereka tidak sabar mendengar aktif sampai tuntas. Seolah-olah mereka menyatakan, “Ayo, ceritakan apa yang kau rasakan, saya akan mengerti”. Kemudian, setelah orang tua mendengar apa yang dirasakan anak cepatcepat ditutupnya pintu karena orang tua tidak menyukai apa yang didengar. Agus, 10 tahun, tampak cemberut dan ibunya berusaha menolong: IBU: AGUS: IBU: AGUS: IBU: AGUS:

“Kelihatannya kau tidak senang,” (mendengar aktif) “Koko menggoda terus.” “Kau tidak menyukainya,” (mendengar aktif) “Ya. Saya akan menampar mulutnya.” “Itu tidak baik,” (menilai) “Tidak peduli. Saya akan pukul begini,” (mengayunkan tangan kuatkuat).

62

“Agus, berkelahi bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan pertikaian dengan teman-teman,” (mengajari). “Mengapa kau tidak menghampiri Koko dan mengatakan kalian sebaiknya berbaik kembali?” (menasehati, menawarkan penyelesaian). AGUS: “Tidak lucu!” (diam). IBU:

Pintu tertutup bagi Agus, tidak ada komunikasi lagi. Dengan menilai, mengajari, dan menasihati, orang tua kehilangan kesempatan untuk menolong Agus mangatasi perasaan-perasaannya dan mencapai penyelesaian yang konstruktif atas masalahnya sendiri. Agus juga mengetahui bahwa ibunya tidak memberinya kepercayaan untuk memecahkan masalah-masalah semacam itu, bahwa ibunya tidak dapat menerima perasaan amarahnya, bahwa ibunya menganggap dirinya bukan anak yang baik, dan bahwa orang tua tidak bisa memahaminya. Menggunakan mendengar aktif untuk mendorong anak mengungkapkan perasaan-perasaannya, kemudian disusul dengan memberi penilaian atau pendapat, mengajari dan menasihati, adalah suatu kegagalan. Orang tua yang melakukannya akan segera merasakan bahwa anak-anak menjadi curiga dan mengetahui bahwa orang tua hanya memancing mereka bicara untuk kemudian menghakimi atau memberi penilaian.

Orang Tua yang Membeo Tuan T merasa putus-asa dengan usaha mendengar aktifnya yang pertama kali. “Anak saya memandang saya dengan geli dan mengatakan agar saya berhenti mengulang apa yang ia katakan”. Tuan T kemudian melaporkan suatu pengalaman yang banyak dialami oleh orang tua bila mereka hanya mengulang atau meniru saja apa yang dikatakan, dan bukan apa yang dirasakan oleh anaknya. Orang tua ini perlu diingatkan bahwa kata-kata anak (isyarat khusus) adalah alat untuk mengkomunikasikan perasaan-perasaan. Isyarat bukanlah pesan; isyarat itu harus diuraikan oleh orang tua. “Ia kutu busuk yang bau!” kata anak menceritakan kemarahannya kepada temannya. Jelas anak mengerti perbedaan antara kutu busuk dan temannya, pesannya bukanlah “Si Adi adalah kutu busuk”. Isyarat khusus ini hanyalah cara yang unik untuk menyatakan kemarahannya. Bila orang tua menanggapi dengan “Kau samakan Adi dengan kutu busuk”, snsk merasa bahwa orang tua tidak menangkap maksudnya. Bila orang tua mengatakan “Kau betul-betul marah pada Adi”, maka anak akan mengatakan “Ya”, dan ia akan merasa dimengerti. Contoh-contoh di bawah ini menunjukkan perbedaan antara tanggapantanggapan yang hanya mengulang atau membeo dengan tanggapantanggapan orang tua yang lebih dahulu menguraikan isyarat baru kemudian

63

mengumpanbalikkan perasaan-perasaan anak (pesan yang sesungguhnya ingin ia sampaikan): “Saya tidak pernah mendapat kesempatan menggiring bola kalau anak-anak yang besar ikut main.” a. ORANG TUA: “Kau tidak pernah mendapat kesempatan menggiring bola bila ada anak-anak yang besar,” (mengulang isyarat). b. ORANG TUA: “Kau ingin main juga dan kau merasa tidak adil kalau mereka bermain sendiri,” (mengumpanbalikkan maksud). 2. WATI: “Tadinya nilai saya baik, tapi sekarang nilai saya buruk sekali – tidak pernah seburuk ini. Apa pun yang saya lakukan tidak bisa memperbaikinya. Buat apa berusaha?” a. ORANG TUA: “Kau tidak pernah memperoleh nilai seburuk ini dan usaha apa pun tidak bisa memperbaikinya,” (mengulang isyarat). b. ORANG TUA: “Kau putus asa dan ingin menyerah,” (mengumpanbalikkan maksud). 3. DINO: “Lihat ayah, saya membuat pesawat udara dengan alat-alat yang baru.” a. ORANG TUA: “Kau membuat pesawat udara dengan alat-alatmu,” (mengulang isyarat). b. ORANG TUA: “Kau bangga akan pesawat udara buatanmu,” (mengumpanbalikkan maksud). 1. DIDI:

Mendengar Tanpa Empati Bahaya bagi orang tua yang mencoba mempelajari mendengar aktif langsung dari buku, adalah ketidakmampuan mereka untu mendengar dengan kehangatan dan empati yang harus menyertai usaha mereka. Empati adalah corak komunikasi membuat pengirim pesan yakin bahwa si pendengar merasa bersamanya, menempatkan diri di tempat si pengirim pesan, ikut hidup biarpun sesaat di dalam diri si pengirim pesan. Setiap orang bila berbicara ingin agar orang lain mengerti perasaannya, tidak hanya mengerti apa yang dikatakan. Anak-anak khususnya adalah makhluk perasa. Oleh karenanya, sebagaian besar ungkapan mereka disertai dengan perasaan-perasaan: senang, benci, kecewa, takut, cinta, marah, bangga, sedih, dan sebagainya. Bila mereka berkomunikasi dengan orang tua, mereka mengharapkan adanya empati dengan perasaan-perasaannya. Bilamana orang tua tidak berempati, anak-anak tentu merasa bahwa hal yang terpenting baginya pada saat itu – yaitu perasaannya – tidak dimengerti. Kesalahan umum yang dilakukan oleh orang tua pada waktu pertama kali mencoba mendengar aktif adalah mengumpanbalikkan sesuatu tanggapan tanpa mengikutsertakan unsur perasaan dari pesan anak. Yani, 11 tahun masuk ke dapur di mana ibu sedang memasak:

64

“Yanto (adiknya, 9 tahun) nakal! Ia keluarkan semua pakaianku dari lemari. Aku benci Yanto! Aku dapat membunuhnya.” IBU: “Kau tidak suka ia melakukan hal itu.” YANI: “Tidak suka! Aku membencinya!” YANI:

Ibu Yani mendenar kata-katanya, tetapi tidak perasaannya. Pada saat itu Yani merasa marah dan dan benci. Pernyataan “Kau marah sekali pada Yanto” dapat menangkap perasaannya. Bila ibu hanya mengumpanbalikkan ketidaksenangan Yani, karena Yanto mengaduk-aduk lemarinya, Yani merasa tidak dimengerti dan dalam pesan berikutnya memperbaiki ibu dengan “Tidak suka!” (agak halus), dan “Aku membencinya” (ini yang lebih penting). Di bawah ini adalah percakapan Luki, 6 tahun, dengan ayahnya yang sedang memaksanya turun ke air di tepi pantai, ketika mereka sedang berlibur: LUKI: AYAH: LUKI:

“Saya tidak mau masuk air. Terlalu dalam! Saya takut ombak.” “Airnya tidak terlalu dalam buatmu.” “Saya takut! Jangan paksa saya!”

Ayah salah menangkap perasaan anak, dan ini tampak dalam umpan baliknya. Luki tidak menyampaikan perkiraan intelektual tentang dalamnya air. Ia menyampaikan suatu permintaan penting pada ayah. “Jangan paksa saya masuk air karena saya sangat takut!” Ayah seharusnya menanggapi dengan, “Kau takut dan tidak mau saya paksa masuk air”. Beberapa orang tua yang mengikuti kursus MOE mengatakan bahwa mereka sangat tidak akrab dengan perasaan-perasaannya sendiri maupun perasaan anak. Seolah-oleh mereka mereka dipaksa mengabaikan perasaanperasaan anak karena mereka tidak bisa menerima anak memiliki perasaanperasaan tersebut. Atau mereka ingin cepat-cepat menghilangkan perasaan anak dan oleh karenanya sengaja mengabaikannya. Beberapa orang tua begitu takut terhadap perasaan-perasaan sehingga mereka benar-benar gagal menemukan unsur perasaan dalam pesan-pesan anak. Orang tua seperti ini dalam kursus biasanya belajar bahwa anak-anak (dan orang dewasa) pasti berperasaan. Perasaan adalah bagian terpenting dari kehidupan, bukan sesuatu yang berbahaya ataupun patologis. Keadaan manusia juga menunjukkan bahwa perasaan-perasaan pada umumnya bersifat sementara – datang dan pergi, tanpa meninggalkan cedera pada anak. Kunci untuk menghilangkan perasaan adalah penerimaan dan pengertian orang tua yang disampaikan kepada anak melalui empati mendengar aktif. Orang tua berusaha melakukan hal ini, mengatakan betapa cepatnya perasaan-perasaan negatif menghilang. Heru dan Titi, pasangan yang masih muda dengan 2 anak perempuan, menceritakan suatu peristiwa yang membuat mereka yakin akan

65

kemanjuran mendengar aktif. Keduanya dibesarkan dalam lingkungan agama yang kuat. Orang tua mereka mengajarkan melalui berbagai cara bahwa mengutarakan perasaan-perasaan adalah suatu tanda kelemahan dan seorang “kristen” tidak akan pernah melakukannya. Heru dan Titi belajar: “Membenci adalah dosa”, “Cintailah sesamamu!”, “Tutup mulutmu!”, “Kalau kau bisa bicara sopan pada ibu, baru kau boleh makan bersamasama!” Dibesarkan dalam suasana demikian, Heru dan Titin sebagai orang tua mengalami kesukaran untuk menerima perasaan anak-anak mereka dan untuk mendengar ungkapan-ungkapan yang penuh perasaan. MOE membuka mata mereka. Mula-mula mereka mulai menerima adanya perasaan-perasaannya dalam hubungan mereka sendiri. Kemudian, sebagaimana halnya dengan banyak orang tua yang mengikuti MOE, mereka mulai mengkomunikasikan perasaan-perasaan antar-mereka sendiri, ditolong dengan mendengar aktif. Merasakan manfaat dari cara ini, Heru dan Titin yakin dan mulai menggunakannya terhadap kedua anaknya. Dalam beberapa bulan, kedua anak berubah. Yang tadinya diam, tertutup dan terhambat, sekarang menjadi lebih spontan, ekspresif, terbuka dan gembira. “Keadaan lebih menyenangkan sekarang”, kata Heru, “Kami tidak perlu merasa bersalah karena perasaan-perasaan tertentu. Anak-anak lebih terbuka dan lebih jujur terhadap kami sekarang”.

Mendengar Aktif pada Saat yang Salah Tidak berhasilnya penggunaan mendengar aktif, acap kali disebabkan karena orang tua menggunakannya pada saat yang tidak tepat. Ada saat di mana anak tidak mau bicara tentang perasaan-perasaannya, meskipun pendengarnya berempati. Mungkin mereka ingin membiarkan perasaan-perasaan tersebut untuk sementara. Mungkin sangat menyakitkan untuk dibicarakan saat itu. Mungkin tidak ada waktu untuk berbicara panjang-lebar dengan orang tua. Orang tua harus menghargai kebutuhan anak akan privacy dan tidak memaksanya untuk berbicara. Meskipun mendengar aktif membukakan pintu bagi anak, kadang kala anak tidak mau memasukinya. Seorang ibu bercerita tentang anaknya yang mengatakan bahwa ia tidak ingin bicara: “Saya tahu barangkali berbicara bisa menolong, tapi sekarang ini rasanya saya segan bicara. Janganlah ibu melakukan mendengar aktif sekarang”. Kadang-kadang orang tua membuka pintu dengan mendengar aktif, padahal mereka kurang mempunyai waktu untuk mendengarkan semua perasaan yang terpendam dalam diri anak. Cara ini bukan saja tidak adil bagi anak, tetapi juga merusak hubungan. Anak akan merasa bahwa orang tuanya tidak cukup sabar untuk mendengar. Pesan pada orang tua,

66

“Janganlah mulai menggunakan mendengar aktif kalau tidak mempunyai waktu cukup untuk mendengarkan semua perasaan yang mudah terungkap melalui teknik ini”. Ada orang tua yang ditolak, karena mereka menggunakan mendengar aktif di kala anak membutuhkan pertolongan yang lain. Bila anak membutuhkan penjelasan-penjelasan atau keterangan-keterangan tertentu dari orang tua, ia tidak perlu mengungkapkan sesuatu hal. Kadang-kadang orang tua begitu bersemangat menggunakan cara mendengar aktif, padahal anak tidak memerlukannya atau tidak ingin diselami perasaannya. Dari situasi-situasi di bawah ini akan jelaslah betapa tidak tepatnya penggunaan mendengar aktif: 1. ANAK: “Dapatkah Ibu atau Ayah mengantar saya ke tolo hari Minggu?” ORANG TUA: “Kau ingin diantar ke toko hari Minggu?” 2. ANAK: “Pukul berapa Ibu dan Ayah pulang?” ORANG TUA: “Kau ingin tahu pukul berapa kami pulang?” 3. ANAK: “Berapa banyak saya harus membayar pajak kalau saya membeli

mobil?” khawatir tentang besarnya pajak yang harus kau bayar.”

ORANG TUA: “Kau

Anak-anak ini membutuhkan bantuan yang lain daripada bantuan yang dapat diperoleh melalui mendengar aktif. Mereka tidak mengungkapkan perasaan-perasaan. Mereka menginginkan penjelasan. Menanggapi permintaan semacam ini dengan mendengar aktif tidak saja dirasakan aneh oleh anak, tetapi dapat menimbulkan kekecewaan dan kejengkelan karena yang diperlukan adalah jawaban langsung. Orang tua juga harus mengetahui kapan mereka harus berhenti. Anak menjadi gelisah bial orang tua terus berusaha mendengar aktif sesudah anak selesai menyampaikan pesan. Umumnya, anak akan memberi isyarat – ekspresi wajah, diam, pergi, gelisah, melihat arloji dan sebagainya atau anak akan mengatakan: “Nah, sudah cukup”. “Tidak ada waktu untuk bicara lebih lanjut”. “Saya masih harus belajar”. “Saya terlalu banyak menyita waktu”.

Orang tua yang bijaksana segera berhenti setelah menangkap isyaratisyarat ini, walaupun masalahnya belum teratasi oleh anak. Terapis profesional menyadari bahwa mendengar aktif hanya membuka langkah pertama dari pemecahan-pemecahan masalah – mengungkapkan perasaanperasaan dan merumuskan masalah. Sering kali dari sini anak-anak dapat mencapai penyelesaian sendiri.

67

5 Bagaimana Cara Mendengarkan Anak-anak yang Masih Terlalu Muda untuk Diajak Bicara? Banyak orang tua bertanya: “Memang benar bahwa mendengar aktif memberikan hasil yang menakjubkan dengan anak-anak berumur tiga, empat tahun atau lebih, tetapi apa yang harus kita lakukan dengan anakanak yang lebih kecil atau bayi yang belum bisa bicara?” Atau, “Saya memahami bahwa kita harus lebih bertumpu pada kemampuan anak-anak kita untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mereka sendiri, dengan bantuan sikap orang tua yang mau mendengar secara aktif. Tetapi anak-anak yang lebih muda tidak mempunyai kecakapan untuk memecahkan persoalan, dalam hal ini apakah bukan kita yang harus menyelesaikan buat mereka?” Adalah suatu pandangan yang salah bahwa mendengar aktif hanya beguna bagi anak-anak yang sudah cukup besar untuk bicara. Menggunakan cara mendengar aktif dengan anak-anak yang lebih kecil memang memerlukan pengertian tambahan tentang komunikasi tanpa-kata dan bagaimana orang tua dapat bereaksi secara efektif terhadap pesan-pesan tanpa-kata yang dikirimkan oleh anak-anak ini. Lagi pula, orang tua dari anak-anak yang masih sangat kecil sering kali berpikir bahwa karena anakanak ini untuk banyak kebutuhan mereka tergantung pada orang-orang dewasa maka anak-anak kecil ini hanya sedikit saja mempunyai kemampuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Hal ini tidaklah benar.

Apakah Sebenarnya “Bayi” Itu? Pertama, bayi mempunyai kebutuhan seperti halnya anak-anak yang lebih besar dan orang-orang dewasa. Dan mereka juga mempunyai persoalan mengenai bagaimana caranya kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Mereka merasa dingin, lapar, haus, kecewa, sakit. Menolong bayi-bayi dengan persoalan-persoalan semacam itu meerupakan suatu persoalan khusus bagi orang tua. Kedua, bayi dan anak-anak yang sangat kecil tergantung sekali kepada orang tua mereka dalam memuaskan kebutuhan mereka atau mencarikan jalan keluar bagi persoalan mereka. Sumber dan kemampuan yang ada dalam diri mereka masih sangat terbatas. Belum pernah kita melihat bayi yang haus pergi ke dapur sendiri, mengambil gelas, dan membuat susu buat dirinya sendiri. Ketiga, bayi-bayi dan anak-anak yang masih sangat kecil belum memperkembangkan kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhan-

68

kebutuhan mereka melalui simbol-simbol verbal. Mereka belum bisa menggunakan kata-kata untuk mengemukakan persoalan dan kebutuhan mereka kepada orang lain. Sering kali, orang tua sangat bingung menghadapi apa yang sednag berlangsung pada anak-anak yang belum mempunyai kemahiran berbahasa, karena bayi tidak dapat mengatakan bahwa mereka membutuhkan perhatian atau bahwa perut mereka kembung. Keempat, bayi-bayi dan anak-anak yang sangat kecil, umumnya tidak tahu apa sebenarnya yang menyusahkan mereka. Hal ini terjadi karena banyak sekali kebutuhan mereka yang sifatnya fisiologik – yaitu, persoalan yang timbul dari kebutuhan fisik (lapar, haus, sakit, dan sebagainya). Juga, karena fungsi pengenalan dan kecakapan berbahasa belum mereka kembangkan, mereka tidak tahu persoalan apa yang sedang dialaminya. Dengan demikian, membantu ana-anak yang sangat kecil memenuhi kebutuhan mereka dan memecahkan persoalan yang mereka hadapi agak berbeda dengan membantu anak-anak yang lebih besar, meski tidak sama sekali berbeda seperti yang dipikirkan kebanyakan orang tua.

Memahami Kebutuhan-kebutuhan dan Persoalan-persoalan Bayi Betapapun juga keinginan orang tua agar bayi-bayi dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan memecahkan persoalan mereka sendiri, namun biasanya tergantung pada orang tua juga untuk manjaga Tono kecil cukup makan, pakaiannya kering, hangat, mendapat perhatian, dan sebagainya. Persoalannya adalah: bagaimana orang tua bisa menemukan apa yang tidak menynangkan bayi yang rewel dan cerewet? Kebanyakan orang tua mengikuti “buku pinter” – apa yang pernah dibaca orang tua mengenai kebutuhan bayi umumnya. Tidak dapat disangkal bahwa Dr. Benjamin Spock telah membantu orang tua dengan memberikan informasi mengenai bayi-bayi dan kebutuhan mereka dan halhal yang dapat dilakukan orang tua supaya kebutuhan tersebut terpenuhi. Tetapi, seperti yang juga diketahui oleh para orang tua, tidak semua hal dapat dibicarakan oleh Dr. Spock. Supaya dapat secara efektif membantu seorang anak tertentu yang mempunyai kebutuhan dan persoalan yang unik, orang tua wajib memahami anak tersebut. Hal ini dapat dilakukannya terutama karena bayi-bayi berkomunikasi tanpa-kata. Seorang bayi sudah menangis pada pukul 5.30 pagi. Jelaslah ia tentu mempunyai persoalan – ada sesuatu yang tidak beres, ia mempunyai kebutuhan, ia menginginkan sesuatu. Ia tidak dapat mengirim pesan verbal pada orang tuanya, “Saya merasa kurang nyaman dan terganggu”. Dengan demikian, orang tua tidak dapat menggunakan cara mendengar aktif, yang sudah kami kemukakan terdahulu (“kamu merasa kurang nyaman, kamu terganggu oleh sesuatu”). Anak tentu saja tidak akan mengerti hal ini.

69

Orang tua menerima pesan tanpa-kata (menangis) dan ia harus melalui proses “menterjemahkan” pesan tersebut, bila ia ingin tahu apa yang terjadi di dalam diri anaknya ini. Karena orang tua tidak dapat menggunakan umpan balik verbal untuk mencocokkan ketepatan terjemahannya, ia harus menggunakan cara umpan balik tanpa-kata atau melalui tingkah laku. Mungkin orang tua akan menyelimuti anak tersebut (menterjemahkan tangisan anak sebagai “ia merasa dingin”). Tetapi anak masih menangis terus (“Kamu belum memahami pesan saya”). Lalu orang tua mengangkat anak dan mengayun-ayunkan (menterjemahkannya sebagai “Ia ketakutan karena mimpi”). Akhirnya, orang tua memasukkan botol susu ke dalam mulut anak (“Ia merasa lapar”) dan setelah beberapa isapan, anak berhenti menangis (“Itu yang saya maksud – saya merasa lapar – kamu akhirnya mengerti saya”). Menjadi orang tua yang efektif dari seseorang anak yang sangat kecil, seperti halnya dengan anak yang lebih besar, sebagian besar tergantung pada ketetapan komunikasi antara orang tua dan anak. Dan tanggung jawab utama untuk memperkembangkan komunikasi yang tepat, terletak pada orang tua. Ia harus belajar untuk menterjemahkan tingkah laku tanpakata dari bayi tersebut, sebelum menentukan apa yang mengganggunya. Ia juga harus menggunakan proses umpan balik yang sama untuk tujuan mencocokkan ketepatan penterjemahannya. Proses umpan balik ini dapat juga disebut cara mendengar aktif; hal ini merupakan mekanisme yang sama dengan yang sudah dilukiskan dalam proses komunikasi dengan anak yang sudah pandai bicara. Tetapi dengan seorang anak yang mengirimkan pesan tanpa-kata (menangis) orang tua harus menggunakan umpan balik tanpa-kata juga (botol di dalam mulut). Perlunya komunikasi dua arah yang efektif semacam ini, dapat menerangkan apa sebabnya perlu sekali bagi orang tua untuk memberikan banyak waktu bagi anaknya, pada dua tahunpertama kehidupannya. Orang tua dapat “mengerti” anaknya, lebih daripada orang lain – yaitu, orang tua mengembangkan kecakapan menterjemahkan tingkah laku nonverbal bayi dan dengan demikian menjadi lebih cakap dari siapa pun juga untuk mengetahui apa yang harus dilakukan untuk memuaskan kebutuhan anak atau mencari pemecahan bagi persoalan-persoalannya. Setiap orang pernah mempunyai pengalaman tidak dapat menterjemahkan tingkah laku anak temannya. Kami bertanya, “Apa maksudnya kalau dia memukul-mukul tiang-tiang tempat tidurnya? Mestinya ia menginginkan sesuatu”. Ibu menjawab, “Oh, ia selalu begitu kalau mengantuk, anak kami yang pertama menarik-narik bajunya kalau ia mengantuk”.

Menggunakan Cara Mendengar Aktif untuk Menolong Bayi-bayi 70

Terlalu banyak orang tua yang memiliki bayi tidak menggunakan cara mendengar aktif untuk mencocokkan ketepatan proses penafsiran mereka. Mereka tanpa berpikir panjang mengambil suatu tindakan tertentu untuk menolong anak tanpa menemukan apa yang sesungguhnya mengganggu. Budi berdiri di tempat tidurnya dan mulai merengek, lalu menangis keras. Ibu mendudukkannya kembali dan memberi gelang-gelang. Budi berhenti menangis sebentar, kemudia melemparkan gelang-gelang tersebut ke luar dari tempat tidurnya dan jatuh ke tanah, dan mulai menangis lagi bahkan lebih keras. Ibu mengambil gelang-gelang itu dan menjejalkannya kembali ke tangan Budi sambil berkata seraya marah, “Kalau kamu lempar lagi, tidak akan kuambilkan”. Budi menangis terus dan melemparkan lagi gelang-gelang itu keluar tempat tidur. Ibu memukul tangannya. Budi benar-benar menjerit-jerit.

Ibu ini membuat dugaan bahwa ia tahu apa yang dibutuhkan bayinya, tetapi ia gagal “mendengar” bayi ini “berkata” bahwa terjemahannya tidak tepat. Seperti yang dilakukan banyak orang tua lain, ibu ini tidak cukup berusaha untuk menyelesaikan proses komunikasi. Ia tidak memastikan apakah ia benar-benar mengerti apa yang dibutuhkan atau digunakan anaknya. Ana tetap frustasi dan ibu menjadi marah. Dengan cara inilah ditabur benih-benih hubungan yang kurang baik dan anak yang secara emosional tidak sehat. Jelaslah, bahwa makin kecil seorang anak, orang tua makin tidak bisa bertumpu pada sumber-sumber dan kemampuan yang ada dalam diri anak sendiri. Hal ini berarti bahwa makin banyak diperlukan campur tangan (atau bantuan) dalam proses pemecahan persoalan pada anak-anak yang lebih kecil. Setiap orang tua tahu bahwa mereka harus menyiapkan botol susu, mengganti popok, menyelimuti anak, membebaskan anak dari lilitan selimutnya, memindahkan dia, mengangkatnya, mengayunnya, menyayanginya, dan ribuan hal lain yang perlu diperhatikan suapaya anak merasakan kebutuhannya tidak disampingkan. Semua ini lagi-lagi berarti perlunya ada waktu bersama anak dan amat banyak waktu diperlukan. Masa-masa dini ini menuntut kehadiran orang tua yang hampir terusmenerus. Bayi membutuhkan orang tuanya dan membutuhkan mereka secara luar biasa. Hal inilah yang menyebabkan mengapa dokter ahli penyakit anak sangat menganjurkan supaya orang tua ada di dekat anak pada tahun-tahun pertama perkembangan anak, ketika anak masih sangat tak berdaya dan tergantung, tetapi ada di dekat anak saja tidaklah cukup. Faktor yang sangat penting adalah kemampuan orang tua untuk mendengar secara tepat pesan yang disampaikan anak melalui komunikasi tanpa-kata sedemikian rupa sehingga ia tahu apa yang terjadi di dalam diri anak dan dapat secara efektif memberikan kepada anak apa yang dibutuhkannya dan bilamana dia membutuhkannya.

71

Banyak spesialis-spesialis dalam pendidikan anak yang gagal memahami hal ini, sehingga terjadilah penelitian-penelitian yang kurang bermutu dan beberapa interpretasi kurang benar terhadap hasil-hasil penelitian perkembangan anak. Banyak penelitian yang dilakukan untuk memperagakan keunggulan satu metode dibandingkan dengan metode lain – pemberian susu botol dibandingkan dengan susu ibu, pemberian minum sewaktu-waktu dengan minuk menurut jadwa yang teratur, apakah lebih baik “toilet training” (“latihan bercermin”) yang dini atau yang lambat, penyapihan dini atau lambat, disiplin yang ketat atau kebebasan. Kebanyakan dari studi ini gagalmemperhitungkan adanya perbedaan yang besar dalam kebutuhan anak-anak dan perbedaan yang menyolok yang terdapat di antara ibu-ibu dalam menangkap pesan anak-anak mereka. Apakah anak disapih dini atau lambat, misalnya, mungkin bukan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kepribadian atau kesehatan mentalnya kemudian. Yang penting adalah, apakah ibu mendengar secara tepat pesan-pesan yang disampaikan oleh anak yang tertentu ini mengenai kebutuhan-kebutuhan makanya, sedemikian rupa sehingga ia akan dapat memilih cara pemecahan yang benar-benar dapat memuaskan kebutuhankebutuhan anaknya. Jadi, mendengar dengan tepat, mungkin mengakibatkan seorang ibu lambat menyapih anaknya, ibu yang lain cepatcepat melakukannya, ibu yang ketiga memilih waktu diantaranya. Saya sangat percaya bahwa prinsip yang sama ini juga berlaku bagi kebanyakan praktek-praktek pendidikan anak lainnya yang selama ini begitu diperdebatkan – seperti bagaimana memberi minum anak, berapa banyak mengelus-elus, derajat perpisahan dengan ibu, cara tidur, “toilet training”, mengisap ibu jari, dan sebagainya. Bila prinsip ini dapat dipertanggungjawabkan, maka dapatlah kami berkata kepada orang tua: “Anda akan menjadi orang tua paling efektif dengan menyediakan bagi anak Anda suatu suasana rumah di mana Anda tahu bagaimana memuaskan kebutuhannya secara tepat, dengan menggunakan cara mendengar aktif untuk memahami pesan-pesannya yang secara khas mengungkapkan apa kebutuhannya.”

Berilah Anak Kesempatan untuk Memuaskan Sendiri Kebutuhankebutuhannya Sudah barang tentu tujuan utama kebanyakan orang tua seharusnya adalah membantu anak yang masih muda ini untuk secara bertahap mengembangkan sumbernya sendiri – disapih dari ketergantungan pada sumber-sumber yang disediakan orang tua, menjadi mampu untuk memuaskan kebutuhannya sendiri, memecahkan persoalan-persoalannya sendiri. Yang akan menjadi orang tua paling efektif dalam hal ini, adalah orang tua yang secara konsisten memakai prinsip: pertama-tama memberi

72

kesempatan pada anak untuk menyelesaikan persoalannya sendiri sebelum memberikan pemecahan yang sudah disiapkan oleh orang tua. Dalam ilustrasi berikut ini, prinsip tersebut diikuti secara sangat efektif: ANAK: ORANG TUA: ANAK: ORANG TUA: ANAK: ORANG TUA: ANAK: ORANG TUA: ANAK: ORANG TUA:

“Mobil, mobil – mobil hilang.” (menangis) “Kamu ingin mobilmu, tapi kamu tak bisa mencarinya,” (mendengar aktif) (Mencari-cari di bawah sofa, tapi tak menemukan mobil) “Mobil tak ada di sana,” (memberikan umpan balik terhadap pesan tanpa-kata) (Lari ke kamarnya, mencari, tak dapat menemukannya) “Mobil tak ada di sana,” (memberikan umpan balik terhadap pesan tanpa-kata) (Berpikir, kembali ke pintu) “Mungkin mobil itu ada di halaman belakang,” (memberikan umpan balik terhadap pesan tanpa-kata) (Lari keluar, menemukan mobil di bawah pohon belimbing, kelihatan bangga) “Itu dia!” “Kamu sendiri menemukan mobilmu,” (mendengar aktif)

Orang tua ini meletakkan tanggung jawab pemecahan persoalan kepada anaknya dengan menghindari campur tangan langsung atau memberi nasihat. Dengan bertindak demikian, orang tua menolong anak untuk mengembangkan sumber-sumber sendiri. Kebanyakan orang tua terlalu bernafsu untuk mengambil alih pemecahan persoalan anak-anak mereka. Mereka begitu cemas untuk segera membantu anak atau demikian resah kalau-kalau kebutuhan anak akan tidak terpenuhi sehingga mereka terdorong untuk mengambil alih pemecahan persoalan dan memberi anak pemecahan yang cepat. Bila hal ini sering dilakukan, pasti akan menghambat anak belajar menggunakan sumber-sumbernya sendiri dan menghambat perkembangan ketidaktergantungan dan kemampuannya untuk mencari berbagai macam cara penyelesaian masalah.

73

6 Bagaimana Cara Berbicara Supaya Anak-anak Mau Mendengar Anda? Sering kali ketika orang tua belajar cara mendengar aktif dalam kursuskursus yang kami selenggarakan, orang tua menjadi tidak sabar dan bertanya, “Kapan kami belajar bagaimana caranya supaya anak mau mendengar kami? Ini yang merupakan masalah di rumah kami”. Tidak dapat diragukan lagi, inilah yang merupakan masalah dalam banyak keluarga, karena mau tak mau, anak kadang-kadang menjengkelkan, mengganggu, dan membuat orang tuanya frustasi, mereka bisa bersikap semau sendiri demi kebutuhan mereka, tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Seperti anak-anak anjing, anak-anak bisa bersemangat dan merusak, ribut dan menuntut. Seperti diketahui oleh setiap orang tua, anak dapat memberi pekerjaan tambahan, menghambat Anda bila Anda tergesa-gesa, menjengkelkan Anda bila Anda lelah, bicara bila Anda ingin ketenangan, mengotori baju Anda bila Anda sudah berpakaian rapi, dan seterusnya tanpa batas. Ibu-ibu dan bapak-bapak memerlukan cara efektif untuk menanggulangi tingkah laku anak yang merintangi kebutuhan orang tua. Karena bagaimanapun juga, orang tua mempunyai kebutuhan sendiri. Mereka memiliki hidupnya sendiri, dan mempunyai hak untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari hidup mereka. Tetapi banyak orang tua yang mengikuti latihan MOE (Menjadi Orang tua Efektif), telah pernah bertindak dan bersikap sedemikian rupa sehingga anak-anak menduduki posisi terpenting di rumah. Anak-anak semacam ini menuntut supaya kebutuhankebutuhan mereka dipenuhi, tetapi tak mau tahu bahwa orang tua mereka juga punya kebutuhan. Ketika anak menjadi lebih besar, orang tua menyesal karena mereka bersikap seakan-akan tidak tahu bahwa orang tua juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Bila orang tua sampai membiarkan hal ini terjadi, maka anak-anak akan menjalani hidup ini dengan sikap seakan-akan hidup ini merupakan jalan satu arah yang khusus diperuntukkan bagi pemuasan kebutuhan mereka secara terus-menerus. Orang tua dari anak-anak semacam ini biasanya menjadi kecewa, dan merasakan kejengkelan luar biasa terhadap anak-anak mereka yang “tidak tahu terima kasih” dan “mementingkan diri sendiri”. Ketika Ny. Subono mulai mengikuti latihan MOE, ia bingung dan merasa sakit hati, karena putrinya Ratna menjadi makin mementingkan diri sendiri tanpa mempertimbangkan orang lain. Dimanja oleh kedua orang tuanya sejak bayi, Ratna hanya sedikit berbuat sesuatu bagi keluarga, tetapi

74

ia mengharap orang tuanya memenuhi segala yang dimintanya. Seandainya permintaannya tak dituruti, ia akan mengucap kata-kata kasar kepada orang tuanya, marah-marah hebat atau pergi keluar rumah dan tidak kembali untuk beberapa jam. Ny. Subono, dididik oleh ibunya untuk berpikir bahwa konflik atau emosi yang kuat adalah hal yang tidak pantas ditunjukkan oleh keluarga priayi. Maka ia memenuhi hampir semua tuntutan Ratna supaya tidak terjadi pertengkaran, atau seperti dikatakannya, “Untuk menjaga kedamaian dan ketenangan keluarga”. Ketika ratna menjadi remaja, ia menjadi makin sombong dan makin mementingkan dirinya sendiri, jarang mau membantu di rumah, dan hampir tidak pernah mengalah demi kebutuhan orang tuanya. Ia sering berkata kepada orang tuanya, bahwa adalah tanggung jawab mereka sehingga ia dilahirkan, dengan demikian adalah tanggung jawab mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ny. Subono, orang tua yang sungguh-sungguh ingin menjadi ibu yang baik, mulai dihinggapi perasaan jengkel luar biasa terhadap Ratna. Setelah semua dikerjakannya bagi Ratna, ia merasa sakit hati dan marah melihat sikap Ratna yang terlalu mementingkan diri sendiri dan kurang mempertimbangkan kebutuhankebutuhan orang tuanya. “Kami terus-menerua memberi, ia selalu meminta”, adalah kalimat yang digunakan ibu ini untuk melukiskan suasana keluarganya. Ny. Subono merasa pasti bahwa ia telah melakukan sesuatu kesalahan, tetapi ia tidak pernah bermimpi bahwa tingkah laku Ratna adalah akibat langsung dari ketidakberaniannya mempertahankan hak-haknya sendiri. MOE pertama-tama membantunya untuk mengakui bahwa ia memang berhak mempunyai kebutuhan-kebutuhan, dan kemudian memberi kecakapan-kecakapan khusus untuk menghadapi Ratna bila tingkah lakunya tidak dapat diterima oleh orang tuanya. Apa yang dapat dilakukan orang tua kalau mereka benar-benar tidak dapat menerima tingkah laku anak? Bagaimana mereka dapat mendidik anak untuk juga mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan orang tuanya? Sekarang kita memusatkan perhatian pada bagaimana seharusnya orang tua berbicara dengan anak supaya mereka mau mengerti perasaan-perasaan orang tua dan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan orang tua. Diperlukan kecakapan komunikasi yang berbeda bila anak menimbulkan persoalan bagi orang tua, dan bila anak menimbulkan persoalan bagi dirinya sendiri. Dalam hal yang kedua, anaklah yang “mempunyai” persoalan; dala yang pertama, orang tualah yang “memiliki” persoalan itu. Bab ini akan menunjukkan pada orang tua kecakapan-kecakapan yang mereka perlukan supaya secara efektif dapat memecahkan persoalan yang timbul oleh anakanak mereka.

BILA PEMILIK PERSOALAN ADALAH ORANG TUA 75

Banyak orang tua mula-mula sulit mengertipemisahan dalam hal “memiliki persoalan”. Barangkali mereka terbiasa untuk berpikir dalam ungkapan “persoalan anak-anak”. Dengan istilah ini, persoalan diletakkan di dalam diri anak, dan tidak diletakkan pada orang tua. Sangatlah penting supaya orang tua memahami perbedaannya. Tanda paling jelas bahwa orang tua sendiri memiliki masalah biala mereka mulai merasa tidak dapat menerima, mulai mempunyai perasaan jengkel, frustasi, marah. Barangkali mereka mengalami ketegangan, merasa tidak nyaman, dan tidak menyukai apa yang dilakukan anak, atau mengawas-awasi tingkah laku anaknya. Misalnya bila: Seorang anak terlalu dekat dengan barang keramik yang sangat berharga. Seorang anak meletakkan di atas kursi Anda yang baru. Seorang anak menarik-narik baju Anda, supaya Anda menghentikan percakapan Anda dengan tetangga. Seorang anak meninggalkan mainannya berserakan di kamar tamu. Seorang anak hampir menumpahkan susu ke atas karpet. Seorang anak menuntut supaya Anda menceritakan satu cerita lagi, satu lagi, dan satu lagi. Seorang anak tidak mau memberi makan binatang kesayangannya. Seorang anak tidak melaksanakan bagian tugas pekerjaannya di rumah. Seorang anak mempergunakan peralatan Anda dan meninggalkannya di halaman depan. Seorang anak mengendarai mobil Anda terlalu cepat.

Semua tingkah laku ini secara aktual ataupun potensial mengancam kebutuhan-kebutuhan orang tua. Tingkah laku anak mempengaruhi orang tua secara langsung dan menyolok: Ibu tidak ingin jambangan bunganya pecah, kursinya tergores, karpetnya kotor, percakapannya terhenti, dan sebagainya. Berhadapan dengan tingkah laku semacam ini, orang tua perlu mengetahui cara-cara untuk menolong dirinya sendiri, bukan anak yang memerlukan pertolongannya. Bagan berikut ini membantu untuk memperlihatkan perbedaan yang ada pada peranan orang tua bila orang tua yang memiliki persoalan dan bila anak yang memilikinya. Bila anak pemilik persoalan

Bila orang tua pemilik persoalan

Anak memulai komunikasi Orang tua adalah pendengar Orang tua membimbing Orang tua ingin menolong anak Orang tua adalah “pemantul suara” Orang tua memberikan fasilitas kepada anak untuk memecahkan persoalannya sendiri

Orang tua memulai komunikasi Orang tua adalah pengirim Orang tua mempengaruhi Orang tua ingin menolong diri sendiri Orang tua ingin “bersuara” Orang tua harus menemukan pemecahannya sendiri

76

Orang tua terutama kebutuhan anak Orang tua lebih pasif

memperhatikan Orang tua terutama kebutuhannya sendiri Orang tua lebih agresif

memperhatikan

Bila orang tua adalah pemilik persoalan, ia mempunyai beberapa pilihan: 1. Ia dapat mencoba untuk mengubah anak secara langsung. 2. Ia dapat mencoba untuk mengubah lingkungan. 3. Ia dapat mencoba untuk mengubah dirinya sendiri. Putra Tuan Adam, Jono, mengambil alat-alat ayahnya dari kotak peralatan dan biasanya meninggalkan berserakan di atas rumput. Hal ini tidak dapat diterima oleh Tuan Adam, maka dialah pemilik persoalan. Ia dapat mengkonfrontasikan Jono dengan keadaan ini, mengatakan sesuatu, mengharap bahwa ini barangkali dapatmengubah tingkah laku Jono. Ia dapat mengubah lingkungan Jono dengan membelikannya seperangkat alat-alat, dengan harapan bahwa hal ini dapat mengubah tingkah laku Jono. Ia dapat mencoba mengubah sikapnya tentang tingkah laku Jono, mngatakan pada dirinya sendiri “Dasar anak laki-laki” atau “Pada waktunya nanti ia akan belajar merawat alat-alat”. Dalam bab ini, kami hanya akan membicarakan pilihan pertama, dengan menitikberatkan pada bagaimana seharusnya orang tua berbicara atau menghadapi anak-anaknya, supaya mereka dapat mengubah tingkah laku yang tidak dapat diterima orang tua. Dalam bab-bab yang kemudian, kami akan membicarakan dua pilihan lainnya.

CARA-CARA YANG TIDAK EFEKTIF UNTUK MENGHADAPI ANAK-ANAK Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa sembilan puluh sembilan dari seratus orang tua yang mengikuti MOE menggunakan cara komunikasi yang tidak efektif bila tingkah laku anak-anak mereka menghalangi kehidupan orang tua. Dalam suatu kelas yang terdiri dari 25 orang tua pembina membacakan suatu situasi yang agak umum terdapat dalam setiap keluarga, seorang anak menjengkelkan orang tuanya: “Anda sangat lelah setelah seharian bekerja keras. Anda perlu duduk dan istirahat sejenak. Anda ingin beristirahat sambil baca koran sore. Tetapi, anak Anda yang berumur lima tahun terus-menerus merengek meminta Anda bermain dengannya. Ia menarik-narik lengan Anda, naik ke pangkuan, meremas-remas koran. Bermain dengannya adalah hal terakhir yang ingin Anda lakukan pada waktu itu”.

Lalu pembina meminta setiap orang untuk menuliskan pada secarik kertas jawaban yang akan diberikan kepada anak tersebut (pembaca bisa

77

mengikuti latihan ini juga dengan menuliskan pada secarik kertas jawaban apa yang akan Anda berikan). Lalu pembina membacakan satu situasi lain kemudian membacakan lagi situasi ketiga, dan meminta setiap orang untuk menuliskan jawaban-jawaban mereka. “Anak Anda berumur 4 tahun mengeluarkan beberapa panci dan aat dapur dari lemari dan bermain dengan barang-barang itu di lantai dapur. Hal ini mengganggu Anda menyiapkan makan buat tamu yang Anda undang. Anda sudah terlambat dari jadwal yang Anda siapkan!” “Anak Anda yang berusia 12 tahun pulang dari sekolah, menyiapkan roti buat dirinya sendiri dan meninggalkan dapur dalam keadaan berantakan padahal Anda baru saja menghabiskan waktu 1 jam untuk membersihkan dapur agar dapur Anda bersih ketika Anda mulai menyiapkan makan malam!”

Dari latihan ini kami menarik kesimpulan bahwa umumnya orang tua, dengan sedikit kekecualian, menanggulangi situasi umum ini secara tidak efektif. Mereka mengatakan hal-hal tertentu yang kemungkinan besar akan: 1. Menyebabkan anak menolak usaha orang tua untuk mengubah tingkah laku yang bisa diterima orang tua. 2. Membuat anak merasa bahwa orang tua tidak menganggapnya cukup pandai. 3. Membuat anak merasa bahwa orang tuanya tidak mempertimbangkan kebutuhan yang dipunyai anak. 4. Membuat anak merasa bersalah. 5. Menghancurkan harga diri anak. 6. Menyebabkan anak membuat pertahanan diri yang kuat. 7. Mendorong anak untuk menyerang orang tua atau menimbulkan keinginan membalas dendam kepada orang tua. Orang tua terkejut menghadapi kesimpulan ini, karena jarang sekali ada orang tua yang secara sadar bermaksud melakukan hal ini terhadap anaknya. Kebanyakan orang tua tidak pernah memikirkan akibat-akibat apa yang mungkin timbul dalam diri anak karena perkataan-perkataan orang tua. Dalam kursus yang kami selenggarakan, kami melukiskan cara konfrontasi verbal yang kurang efektif ini dan menerangkan di mana letak ketidakefektifannya.

Mengirim Suatu “Pesan Pemecahan” Pernahkan Anda berada dalam suatu situasi di mana Anda sebenarnya sudah siap melakukan sesuatu bagi seseorang (atau siap mengubah tingkah laku Anda untuk memenuhi kebutuhan seseorang) ketika tiba-tiba orang tersebut memerintahkan Anda, memaksa Anda, atau menasihati Anda untuk berbuat persis seperti yang sudah mau Anda lekukan sendiri?

78

Reaksi Anda barangkali adalah, “Saya tak perlu diberi tahu” atau “Sialan, kalau Anda menunggu satu menit lagi saya sudah akan berbuat begitu tanpa Anda beritahu”, atau barangkali Anda jengkel karena Anda merasa bahwa orang itu tidak cukup mempercayai Anda atau menghilangkan kesempatan bagi Anda untuk berbuat sesuatu dengan penuh pertimbangan atas inisiatif Anda sendiri. Bila orang berbuat semacam ini, mereka “mengirim suatu pemecahan”. Inilah yang sering dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka. Mereka tidak menunggu anak melakukan tingkah laku yang penuh pertimbangan; mereka mengatakan apa yang harus atau seharusnya atau semestinya dilakukan. Semua pesan berikut ini termasuk dalam jenis pesan “mengirim suatu pemecahan”: 1. MENGATUR, MENGARAHKAN, MEMERINTAH

“Carilah sesuatu yang lain untuk bermain!” “Hentikan meremas-remas koran!” “Singkirkan panci-panci dan alat-alat ini!” “Bersihkan barang-barang yang berantakan ini!”

2. MEMPERINGATKAN, MEMARAHI, MENGANCAM

“Kalau kamu tidak berhenti, Ibu akan berteriak!” “Ibu akan marah kalau kamu tidak berhenti mengganggu.” “Kalau dapur tidak kau bersihkan seperti keadaan tadi, akan menyesal kamu.”

3. MEMAKSA, BERKHOTBAH, MENGAJAR MORAL

“Jangan menganggu orang yang sedang membaca.” “Mainlah di tempat lain saja.” “Kamu tidak seharusnya bermain-main bila Ibu sedang tergesa-gesa.” “Apa saja yang habis kau pakai selalu harus kamu bersihkan sendiri.”

4. MENASEHATI, MEMBERI SARAN ATAU PEMECAHAN

“Kenapa tidak bermain di luar?” “Lebih baik kau kerjakan sesuatu yang lain.” “Tidak dapatkah kamu merapikan barang-barang yang habis kamu pakai?”

Jawaban-jawaban verbal semacam ini, mengkomunikasikan kepada anak, pemecahan Anda untuknya – apa yang Anda pikir harus dilakukannya. Anda yang berkuasa; Anda yang mengendalikan; Anda yang mengambil alih; Anda yang memegang kemudi. Anda tidak mengikutsertakan anak dalam pemecahan masalah ini. Jenis pesan yang pertama memerintahkan dia untuk menggunakan pemecahan Anda; yang kedua mengancamnya; yang ketiga memaksanya; dan yang keempat menasihatinya. Orang tua bertanya, ”Apa salahnya mengirimkan pemecahan orang tua – bukankah anak yang menimbulkan persoalan bagi saya?” Memang benar begitu. Tetapi memberi anak pemecahan bagi “persoalan orang tua” bisa menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:

79

1. Anak menolak diberi tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka mungkin juga tidak suka dengan pemecahan yang Anda buat. Bagaimanapun juga, anak menolak memodifikasi tingkah laku mereka bila mereka diberi tahu bagaimana mereka harus atau seharusnya atau lebih baik berubah. 2. Mengirim pemecahan pada anak juga mengetengahkan pesan lain, “Saya tidak percaya kamu bisa memilih pemecahannya” atau “Saya berpikir kamu tidak cukup peka untuk dapat membantu saya dalam persoalan saya ini”. 3. Mengirim pemecahan adalah mengatakan pada anak bahwa kebutuhan Anda adalah lebih penting dari kebutuhannya, bahwa dia harus melakukan apa yang menurut Anda seharusnya dilakukannya, tidak peduli bagaimana kebutuhannya (“Kamu melakukan sesuatu yang tidak dapat saya terima, jadi pemecahan satu-satunya adalah apa yang saya katakan”). Seandainya seorang teman bertamu ke rumah Anda dan meletakkan kaki di atas kursi yang baru, pasti Anda tidak akan berkata: “Turunkan kaki Anda dari kursi itu sekarang juga”. “Tidak seharusnya menumpangkan kaki di atas kursi baru orang lain”. “Kalau Anda tahu apa yang baik buat Anda, Anda akan menurunkan kaki dari kursi saya”. “Saya usul supaya Anda jangan menumpangkan kaki di atas kursi saya”.

Hal ini sangat menggelikan bila menyangkut teman, karena kebanyakan orang memperlakukan teman-teman dengan lebih hormat, orang-orang dewasa ingin supaya teman-teman mereka dapat “menyelamatkan muka”. Mereka juga menduga bahwa seorang teman cukup berotak untuk menemukan sendiri pemecahan persoalan Anda, bila ia sudah diberitahu duduk persoalannya. Seorang dewasa akan mengatakan kepada temannya bagaimana perasaanya. Ia akan membiarkan itu memberi reaksi yang pantas dan menduga bahwa temannya itu akan cukup menaruh perhatian pada perasaan seseorang. Mestinya, pemilik kursi ini akan mengirim pesan-pesan seperti: “Saya kuatir kursi baru saya ini mungkin tergores oleh kakimu”. “Saya seperti duduk di atas bara api karena saya lihat kakimu di atas kursi saya yang baru”. “Saya merasa tidak enak mengatakan ini, tetapi kursi-kursi ini baru kami beli dan saya ingin sekali supaya kursi-kursi ini tidak tergores”.

Pesan-pesan semacam ini tidak “mengirim suatu pemecahan”. Umumnya orang mengirim jenis pesan semacam ini kepada teman-teman, tetapi jarang kepada anak-anak mereka sendiri; mereka menahan diri untuk memerintah, memaksa, mengancam, dan menasihati teman-teman untuk mengubah

80

tingkah laku mereka ke dalam suatu pola tertentu, tetapi sebagai orang tua hal seperti ini terus-menerus dilakukan terhadap anak-anak mereka. Tidak mengherankan bila anak-anak bertahan atau bereaksi dengan cara defensif dan bermusuh. Tidak mengherankan bila anak-anak merasa diremehkan, ditindas, dan dikendalikan. Tidak mengherankan bila mereka “kehilangan muka”. Tidak mengherankan bila beberapa di antaranya tumbuh menjadi orang yang penurut dan mengharapkan bahwa orang lain akan memecahkan persoalan-persoalan mereka. Orang tua sering mengeluh bahwa anak-anak mereka tidak mempunyai tanggung jawab dalam keluarga; mereka tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan untuk kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki orang tua mereka. Bagaimana anak akan bisa belajar tanggung jawab bila orang tua tidak memberi kesempatan kepada anak untuk mengerjakan sesuatu yang bertanggung jawab atas prakarsanya sendiri yang dilandasi oleh pertimbangan mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan yang dipunyai orang tua mereka.

Mengirim Suatu “Pesan yang Meremehkan” Setiap orang tahu bagaimana rasanya diremehkan oleh suatu pesan yang membuat kita merasa disalahkan, dinilai, ditertawakan, dikritik, atau dipermalukan. Dalam menghadapi anak-anak, orang tua biasanya bertumpu pada pesan-pesan semacam itu. “Pesan-pesan meremehkan” semacam ini, dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori di bawah ini: 1. MENILAI, MENGRITIK, MENYALAHKAN

“Kamu mestinya tahu sendiri”. “Kamu sangat tidak memikirkan orang lain”. “Kamu memang nakal”. “Kamu adalah anak yang paling tidak punya pertimbangan”. “Kamu yang bisa menyebabkan saya mati, pada suatu hari”.

2. MENGEJEK, MENERTAWAKAN, MEMPERMALUKAN

“Kamu anak manja”. “Baiklah, Tuan cerewet”. “Apa kamu ingin jadi benalu yang hanya mementingkan diri sendiri di rumah ini?” “Tidak malu kamu?”

3. MEMBUAT INTERPRETASI, MEMBUAT DIAGNOSIS, MENGANALISIS

“Kamu hanya ingin diperhatikan”. “Kamu memang sengaja mau membuat saya marah”. “Kamu hanya ingin tahu sampai kapan saya dapat menahan kemarahan saya”. “Kamu selalu ingin main kalau saya ingin kerja”.

4. MENGAJAR, MEMERINTAH

“Tidak sopan memotong pembicaraan orang”. “Anak-anak manis tidak melakukan hal semacam itu”. “Apa kamu senang kalau saya berbuat begitu terhadapmu?”

81

“Kenapa kamu tidak jadi anak baik sekali-kali”. “Berlakulah terhadap orang lain … dsb”. “Kami tidak meninggalkan piring-piring kami dalam keadaan kotor”.

Pesan-pesan semacam ini adalah pesan-pesan yang meremehkan seseorang – pesan-pesan ini menghambat watak anak, merendahkan dirinya sebagai seorang pribadi, merusak harga dirinya, menonjolkan ketidakmampuannya, melontarkan penilaian terhadap kepribadiannya. Mereka mempersalahkan anak. Akibat-akibat apa yang mungkin ditimbulkan oleh pesan-pesan semacam itu? 1. Anak-anak sering merasa salah atau menyesa kalau mereka dinilai atau disalahkan. 2. Anak-anak merasa orang tua tidak adil – mereka merasa diperlakukan tidak adil: “Saya tidak melakukan sesuatu yang salah” atau “Saya tidak bermaksud jadi anak nakal”. 3. Anak-anak sering merasa tidak dicintai, ditolak: “Ia tidak menyukai saya, karena saya melakukan sesuatu kesalahan”. 4. Anak-anak sering menunjukkan tingkah laku yang sangat menolak terhadap pesan-pesan semacam ini – mereka mempertahankannya mati-matian. Mengubah tingkah laku yang mengesalkan orang tuanya, merupakan suatu pengakuan bahwa kritik atau penilaian orang tuanya memang benar. Reaksi anak yang umum adalah: “Aku tidak menjengkelkan kamu” atau “Piring-piring itu tidak mengganggu orang lain”. 5. Anak-anak sering membalas orang tuanya dengan bumerang: “Ibu sendiri juga tidak selalu rapi” atau “Bapak selalu letih” atau “Ibu selalu sibuk kalau ada tamu” atau “Kenapa rumah tidak bisa jadi tempat yang menyenangkan?” 6. Meremehkan membuat anak merasa tidak mampu. Keadaan ini mengurangi rasa harga dirinya. Pesan-pesan meremehkan bisa mempunyai akibat yang sangat dahsyat terhadap perkembangan citra diri anak. Anak-anak yang bertubi-tubi dijatuhi pesan-pesan yang meremehkan akan memandang dirinya sebagai orang yang tidak baik, jahat, tak berguna, malas, tak pernah memikirkan orang, tidak punya pertimbangan, “bodoh”, tidak mampu, tidak dapat diterima, dan seterusnya. Karena citra diri yang buruk yang dibentuk pada masa kanak-kanak cenderung untuk bertahan sampai dewasa, pesan-pesan yang meremehkan ini akan menaburkan benih-benih yang menghambat eseorang dalam hidupnya. Cara-cara semcam ini bila digunakan orang tua, hari demi hari berperanan dalam menggerogoti harga diri anak-anak mereka. Seperti titik-

82

titik air yang jatuh ke batu, pesan-pesan semacam ini, yang diberikan setiap hari, secara bertahap tanpa terasa merusak hidup anak-anak.

CARA-CARA EFEKTIF UNTUK MENGHADAPI ANAK Apa yang diucapkan orang tua, dapat pula diperbaiki. Kebanayakan orang tua, jika mereka sudah enyadari kekuatan merusak yang ditimbulkan oleh pesan yang meremehkan, biasanya ingin sekali belajar cara-cara yang lebih efektif untuk berkonfrontasi dengan anak-anak mereka. Dalam kursuskursusyang kami selenggarakan, kami tidak pernah menjumpai satu orang tua pun yang secara sadar ingin menghancurkan harga diri anak-anaknya.

“Pesan Kamu” dan “Pesan Aku” Suatu cara yang mudah untuk menunjukkan pada Anda perbedaan antara cara efektif dan cara kurang efektif dalam berkonfrontasi dengan anak adalah dengan mengajak Anda berpikir tentang “pesan kamu” dan “pesan aku” atau “pesan saya”. Apabila kami meinta kepada orang tua untuk memeriksa pesan-pesan yang kurang efektif yang sudah disebut terdahulu, mereka heran karena menemukan hampir semuanya dimulai dengan kata “kamu” atau mengandung perkataan itu. Semua pesan-pesan ini berpusat pada “kamu”: “Kamu hentikan hal itu”. “Kamu tidak seharusnya melakukan itu”. “Jangan sesekali kamu…”. “Kalau tidak kamu hentikan hal itu, maka…”. “Kenapa tidak kamu lakukan hal ini?” “Kamu memang nakal”. “Kamu bertingkah seperti bayi”. “Kamu mau diperhatikan”. “Kenapa kamu tidak jadi anak baik?” “Kamu seharusnya tahu”.

Tetapi bila orang tua mengatakan kepada anak bagaimana tingkah laku yang tidak dapat diterima itu membuat orang tuanya merasa, pesan-pesan ini biasanya berubah menjadi “pesan aku”: “Aku tidak bisa istirahat kalau seseorang naik ke pangkuanku”. “Aku tidak ingin main kalau aku lelah”. “Aku tidak bisa masak, kalau aku harus menhindari barang-barang yang berserakan di dapur ini”. “Saya ingin sekali bisa menyiapkan makan malam pada waktunya”. “Saya betul-betul merasa kesal kalau melihat dapur saya yang bersih menjadi kotor lagi”.

Orang tua biasanya segera mengerti perbedaan antara “pesan aku” dan “pesan kamu”, tetapi artinya yang sebenarnya baru benar-benar dipahami

83

setelah kami kembali kepada diagram proses komunikasi, yang pertamatama kami perkenalkan untuk menerangkan cara mendengar aktif. Hal ini membantu orang tua memahami pentingnya “pesan aku”. Bila tangkah laku anak tidak bisa diterima orang tua karena tingkah laku itu menghalangi orang tua menikmati hidup atau menghalangi halnya untuk memuaskan kebutuhannya sendiri, jelas bahwa orang tua yang “memiliki” persoalan. Ia terganggu, kecewa, lelah, cemas, terbebani, dan sebagainya. Dan untuk membiarkan anak tahu apa yang ada di dalam dirinya, orang tua harus memilih kode yang tepat. Untuk orang tua yang lelah dan tidak ingin bermain dengan anaknya yang berumur 4 tahun, diagram kita akan berbentuk sebagai berikut: ORANG TUA

lelah

proses menterjemahkan kode

Kode “Saya lelah”

Tetapi bila orang tua ini memilih suatu kode yang berorientasi pada “kamu”, dia tidak akan mengkodekan “perasaan lelahnya” secara tepat: ORANG TUA

lelah

proses menterjemahkan kode

Kode “Kamu tukang ganggu”

“Kamu tukang ganggu” adalah suatu kode yang sangat buruk bagi perasaan lelah orang tua. Suatu kode yang jelas dan tepat selalu akan bersifat “pesan aku”: “Saya lelah”, “Saya merasa tidak sanggup bermain”, “Saya ingin beristirahat”. Hal-hal ini mengkomunikasikan apa yang dirasakan orang tua. Suatu kode “pesan kamu” tidak menyertakan perasaan. Kode ini lebih menunjuk anak daripada orang tua. Suatu “pesan kamu” adalah berpusat pada anak, bukan pada orang tua. Perhatikan pesan-pesan ini dari segi apa yang didengar anak: ORANG TUA

lelah

ANAK proses menterjemahkan kode

Isyarat “Kamu tukang ganggu”

84

proses menterjemahkan kembali kode

“Saya jahat”

ORANG TUA

lelah

ANAK proses pemberian kode

Isyarat “Saya sangat lelah”

proses penguraian kode

“Ayah lelah”

Pesan yang pertama, diuraikan oleh anak sebagai suatu penilaian terhadap dirinya. Yang kedua, diuraikan sebagai pernyataan sebuah fakta tentang orang tua. “Pesan kamu” merupakan cara yang buruk untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakan orang ua, karena pesan semacam ini akan diterima anak sebagai sesuatu yang harus ia lakukan (mengirim pemecahan) atau bagaimana jeleknya dia itu (menyaahkan atau memberi penilaian).

Mengapa “Pesan Aku” Lebih Efektif “Pesan aku” lebih efektif untuk mempengaruhi anak mengubah tingkah laku yang tidak dapat diterima orang tua, dan pesan-pesanini juga lebih sehat untuk hubungan orang tua – anak. “Pesan aku” tidak mengundang penentangan dan pemberontakan. Untuk dengan jujur mengatakan kepada anak akibat dari tingkah lakunya terhadap diri Anda adalah kurang mengancam dibandingkan bila kita mengatakan bahwa ada sesuatu yang buruk pada dirinya karena ia bertingkah laku seperti itu. Pikirkanlah perbedaan besar yang ada pada reaksi anak terhadap dua macam pesan yang berikut ini, yang dikirimkan orang tua setelah seorang anak menendang tulang keringnya: “Aduh! Saya kesakitan sekali – saya tidak suka ditendang”, dengan “Kalau begini kamu anak jahat. Jangan menendang orang seperti itu”.

Pesan yang pertama hanya mengatakan pada anak bagaimana tendangannya itu Anda rasakan, suatu fakta yang tidak dapat dibantahnya. Yang kedua mengatakan pada anak bahwa ia “jahat” dan memperingatkannya supaya tidak melakukannya lagi, kedua-duanya dapat dibantah. Dan barang kali akan sangat ditentangnya. “Pesan aku” juga lebih efektif karena dalam pesan-pesan semacam ini tanggung jawab untuk mengubah tingkah laku diletakkan pada diri anak sndiri. “Aduh! Saya kesakitan sekali” dan “Saya tidak suka ditendang” mengatakan pada anak bagaimana preasaan Anda, tetapi membiarkan anak Anda bertanggung jawab untuk berbuat sesuatu bagi hal itu. Dengan demikian, “Pesan aku” membantu anak tumbuh, membantunya untuk belajar mengambil tanggung jawab bagi tingkah lakunya sendiri. Suatu “pesan aku” mengatakan pada anak bahwa Anda meletakkan tanggung jawab pada dirinya, mempercayainya untuk dapat menanggulangi situasi tersebut dengan baik, mempercayainya bahwa dia akan

85

memperhatikan kebutuhan Anda, dan memberinya kesempatan untuk bertingkah laku konstruktif. Karena “pesan aku” itu pesan jujur, pesan-pesan semacam ini cenderung mempengaruhi anak untuk juga mengirim pesan-pesan yang jujur bilamana dia mempunyai suatu perasaan tertentu. Dalam suatu hubungan timbalbalik, bila satu pihak mengirim “pesan aku” maka pihak lain akan cenderung untuk melakukan hal serupa. Inilah sebabnya, bila terjadi kemunduran dalam suatu hubungan timbal-balik, sering timbul konflik yang berakhir pada saling menyalahkan dan saling menuduh: “Kamu tidak punya tanggung jawab sama sekali sekarang. Mencuci piring sendiri sesudah sarapan saja tidak mau,” (“pesan kamu”) ANAK: “Ibu juga tidak selalu mencuci piring tiap pagi,” (“pesan kamu”) ORANG TUA: “Itu lain – Ibu punya banyak pekerjaan lain, membersihkan kamar anak-anak jorok,” (“pesan kamu”) ANAK: “Saya tidak jorok,” (pesan defensif) ORANG TUA: “Kamu sama brengseknya seperti yang lain,” (“pesan kamu”) ANAK: “Ibu mengharapkan supaya setiap orang sempurna,” (“pesan kamu”) ORANG TUA: “Hm, kamu masih perlu banyak belajar banyak dalam hal kebersihan rumah,” (“pesan kamu”) ANAK: “Ibu sekarang cerewet benar,” (“pesan kamu”) ORANG TUA:

Percakapan ini adalah percakapan yang banyak terjadi antara orang tua dan anak-anak, bila orang tua memulai konfrontasinya dengan suatu “pesan kamu”. Biasanya berakhir dengan pertikaian, dan keduanya ganti-berganti bertahan dan menyerang. “Pesan aku” hampir tidak menimbulkan pertentangan semacam ini. Ini tidak berrti bahwa bila orang tua mengirim “pesan aku”, semuanya akan manis seperti madu. Ini dapat dimengerti, karena anak-anak idak ingin mendengar tingkah laku mereka menimbulkan persoalan bagi orang tuanya (sama seperti orang dewasa, yang tidak pernah merasa enak bila seseorang menunjukkan fakta bahwa tingkah lakunya menimbulkan rasa sakit dalam diri orang lain). Bagaimanapun juga, mengatakan pada seseorang apa yang Anda rasakan jauh kurang mengancam daripada menuduhnya sebagai penyebab perasaan yang kurang nyaman. Diperlukan keberanian untuk mengirimkan “pesan-pesan aku”, tetapi keuntungan biasanya cukup berarti dibandingkan dengan risikonya. Diperlukan keberanian dan perasaan aman supaya seseorang dapat membeberkan perasaan-perasaannya dalam berhubungan dengan orang lain. Pengirim “pesan aku” yang jujur mengambil risiko bahwa orang lain akan tahu bagaimana dia sebenarnya. Ia membuka dirinya sendiri – menjadi “nyata”, “transparan”, “tulus”, memperlihatkan “kemanusiaannya”. Ia menunjukkan pada pihak lain bahwa ia adalah seorang pribadi yang dapat

86

disakiti, merasa malu atau takut atau kecewa atau marah atau putus asa, dan sebagainya. Bagi seseorang, memperlihatkan apa yang ia rasakan berarti membuka diri untuk diteliti oleh orang lain. Bagaimana pendapat orang lain tentang saya? Apakah saya akan ditolak? Apakah orang lain akan memandang rendah saya? Orang tua, terutama, merasa sukar untuk bersikap tulus terhadap anak-anak, karena mereka ingin dilihat sebagai orang yang tak punya kekurangan – tanpa kelemahan, tidak mudah tersinggung, seimbang. Untuk kebanyakan orang tua, memang jauh lebih mudah untuk menyembunyikan perasaan mereka di balik “pesan kamu” yang meletakkan kesalahan pada diri anak daripada harus membeberkan perasaan manusiawi. Barangkali, manfaat terbesar yang dirasakan orang tua dengan bersikap tulus adalah bahwa sikap ini memperbaiki hubungan dengan anak. Kejujuran dan keterbukaan membuat akrab – suatu hubungan yang benarbenar antar pribadi. Bila anak saya mengenal saya seperti apa adanya, maka ia akan terdorong untuk menunjukkan kepada saya bagaimana dia sebenarnya. Daripada memperkembangkan hubungan antar-dua orang asing, yang kita perkembangkan adalah suatu hubungan antar-dua orang karib. Hubungan kami menjadi hubungan yang sejati – dua pribadi yang sejati, yang mau mengerti kenyataan pihak lain. Bila orang tua dan anak belajar untuk terbuka dan jujur satu sama lain, mereka tidak lagi “orang-orang asing di satu rumah”. Orang tua dapat berbahagia menjadi orang tua dari suatu pribadi yang benar-benat nyata – dan anak-anak berbahagia karena dikaruniai orang tua yang bertindak selaku manusia-manusia sejati.

87

7 Menerapkan “Pesan Aku” Para orang tua di dalam kursus MOE dengan gembira menyambut pengarahan mengenai bagaimana mengubah perilaku anak yang tidak dapat mereka terima. Bahkan ada yang berseru: “Saya tidak tahan menunggu sampai pulang untuk mencoba menerapkannya pada anak saya yang kelakuannya sudah lama menjengkelkan saya”. Biasanya orang tua yang baru saja mengikuti kursus ini belum memperoleh hasil sebagaimana mereka harapkan. Paling tidak, pada mulanya. Kami dengan demikian membahas kesalahan-kesalahan yang sering dibuat ketika mereka mencoba menerapkan “pesan aku”, dan membantu meningkatkan ketrampilan mereka, dengan memberikan banyak contoh-contoh.

”Pesan Kamu” yang Terselubung Tuan G, ayah dari dua remaja, masuk kelas dan melaporkan bahwa usahanya untuk menerapkan “pesan aku” pertama kali, telah gagal. “Anak saya, Paul, kebalikan daripada apa yang Anda ceritakan pada kami, langsung mulai mengarahkan “pesan kamu”-nya sendiri pada saya, sebagaimana biasa ia lakukan”. “Apakah Anda telah menggunakan “pesan aku”?”, tanya pembina. “Tentu saja – atau saya kira demikianlah; pokoknya saya telah berusaha”, jawab Tuan G. Pembina menyarankan agar situasi tersebut diperagakan di dalam kelas, dia sendiri akan memainkan peran Paul dan Tuan G mengambil peranannya sendiri. Sesudah menjelaskan situasinya di hadapan kelas, Tuan G mulai mengulangi peristiwanya: TUAN G: PAUL: TUAN G:

“Saya rasa, kau boleh melalaikan tugas-tugasmu di rumah.” “Maksudnya?” “Yah, misalnya tugasmu memotong rumput. Saya merasa jengkel setiap kali kau kbur begitu saja. Seperti Sabtu yang lalu. Saya gusar padamu karena diam-diam kau pergi tanpa memotong rumput halaman belakang. Saya kira itu tidak bertanggung jawab, dan hal yang seperti itu membuat saya jengkel.”

Pada saat ini pembina menghentikan peragaan dan berkata pada Tuan G, “Saya telah mendengar bahwa Anda telah banyak mengemukakan perasaan Anda, tetapi baiklah kita menanyakan pada kelas apakah mereka menangkap sesuatu yang lain”. Salah seorang ayah di kelas langsung menyela, “Dalam beberapa detik Anda telah mengatakan pada Paul bahwa ia lalai, ia gagal, ia licik, dan tidak bertanggung jawab”.

88

“O ya. Betukah demikian? Ya,barangkali demikian”, kata Tuan G malumalu. “Yang tadi kedengarannya seperti “pesan kamu”. Tuan G, benar. Ia telah membuat kesalahan sebagaimana banyak dilakukan orng tua pada awal mula mengirim “pesan kamu” di bawah selubung penggunaan “Saya rasa” pada awal penyampaian pesan. Kadang kala perlu menghadapkan orang tua kepada situasi sebenarnya, untuk menunjukkan mereka bahwa pernyataan “Saya rasa bahwa Anda seorang pengecut”, sama saja dengan suatu “pesan kamu” seperti “Kamu seorang pengecut”. Para orang tua diberi petunjuk untuk menghilangkan “Saya rasa” dan menyatakan saja apa yang sebenarnya mereka hayati seperti “Saya kecewa”, “Saya ingin agar halaman nampak rapi pada hari Minggu”, atau “Saya kesal karena kupikir kita telah bersepakat bersamasama bahwa halaman rumah dibersihkan setiap hari Sabtu”.

Jangan Terpaku pada yang Negatif Kesalahan lain yang sering dilakukan oleh para orang tua yang baru saja menjalani latihan adalah menyampaikan “pesan aku” untuk menyatakan perasaan-perasaan negatif mereka, dan lupa menyampaikan “pesan aku” mengenai perasaan positif mereka. Ny. K dan anaknya, Linda, telah bersepakat bahwa Linda akan pulang ke rumah tidak melebihi pukul 12.00 malam sehabis nonton film. Linda akhirnya baru muncul pukul 01.30. Ibunya telah berjaga selama satu setengah jam dan khawatir setengah mati kalau-kalau telah terjadi sesuatu atas diri Linda.

Peragaan oleh Ny. K mengenai kejadian tersebut adalah sebagai berikut: (pada saat Linda memasuki ruangan) “Saya marah padamu.” “Saya tahu, saya terlambat.” “Saya jengkel padamu karena telah membuat saya tidak bisa tidur.” “Mengapa Ibu tidak bisa tidur? Sebaiknya Ibu tidur saja dan tidak perlu khawatir.” NY. K: “Bagaimana mungkin? Saya begitu cemas mengenai kamu dan khawatir setengah mati bahwa teah terjadi sesuatu atas dirimu. Saya betul-betul kecewa terhadapmu karena tidak menepati janjimu.” NY. K: LINDA: NY. K: LINDA:

Pembina menghentikan peragaan dan berkata kepada Ny. K, “Anda telah menyampaikan beberapa “pesan aku” yang baik namun hanya yang negatif saja. Apa yang sesungguhnya Anda rasakan ketika Linda masuk melewati pintu depan? Apakah perasaan yang pertama timbul?” Cepat-cepat Ny. K menjawab, “Saya betul-betul lega bahwa Linda selamat sampai di rumah. Saya ingin memeluk dia dan menceritakan padanya bagaimana senangnya saya melihatnya selamat tanpa kekurangan apa-apa”.

89

“Saya percaya”, sahut pembina. “Sekarang saya akan menjadi Linda kembali, sampaikan pada saya perasaan Anda yang sesungguhnya berupa ‘pesan aku’. Kita coba kembali”. “Oh, Linda, syukur pada Tuhan bahwa kau telah selamat sampai di rumah. Saya senang melihatmu kembali. Lega rasanya (memeluk pembina). Saya begitu takut kalau-kalau terjadi sesuatu atas dirimu.” LINDA: “Aduh, Ibu betul senang melihat saya, ya!”. NY. K:

Pada saat itu, kelas bertepuk tangan untuk Ny. K, sebagai pernyataan kekaguman dan kesenangan mereka terhadap pertemuan kedua yang sama sekali berbeda sifatnya, dimulai dengan mengemukakan perasaan “pada keadaan dan saat itu” yang paling dirasakan. Kemudian terjadilah suatu diskusi yang mengasyikkan mengenai kesempatan-kesempatan baik yang telah terlewatkan di mana sesungguhnya orang tua dapat secara terus terang menyatakan perasaan-perasaan positif dan penuh kasih sayang. Karena bersemangat untuk “memberi pelajaran pada anak-anak kita”, kesempatankesempatan yang berharga untuk memberi mereka pelajaran yang jauh lebih dasar sifatnya sering terlewatkan. Seperti misalnya, bahwa kita begitu mencintai mereka, bahwa kita sangat menderita apabila mereka sampai terluka ataupun terbunuh. Setelah pertama-tama menyampaikan pernyataan tulus mengenai apa yang terkandung dalam hati sanubari Ny. K, masih ada cukup waktu menghadapkan Linda kekecewaan-kekecewaan ibunya mengenai pelanggaran yang telah dilakukan putrinya itu. Suatu percakapan yang berbeda sama sekali tentu akan terjadi bila pembicaraan dimulai dengan menyampaikan suatu “pesan aku” yang positif.

Menyuruh Anak Melakukan Pekerjaan Orang Dewasa Para orang tua di dalam kursus MOE sering mendengar mengenai penggunaan “pesan aku” yang lemah. Banyak di antara mereka mengalami kesukaran pada mulanya untuk menyampaikan “pesan aku” sesuai dengan intensitas atau besarnya perasaan mereka. Biasanya bila ada orang tua yang tidak tepat mengungkapkannya, maka penggunaan “pesan aku” itu tidak mempengaruhi anak dan tidak mengubah tingkah laku. Ny. B melaporkan sesuatu kejadian di mana putranya, Bambang, tidak mengubah tingkah laku yang tidak dapat diterima, sekalipun Ny. B merasa telah menyampaikan “pesan aku”, dengan baik. Bambang, berumur 6 tahun, memukul kepala adik lelakinya yang masih bayi, dengan raket tenis ayahnya, yang sedang dimainkannya. Ibu mengirim “pesan aku”, tetapi Bambang meneruskan dan mengulangi penganiayaan yang berbahaya itu terhadap adiknya.

90

Pada waktu kejadian itu diperagakan di dalam kelas, menjadi jelas bagi orang tua lainnya bahwa Ny. B telah keliru karena mengungkapkan perasaannya secara tidak tepat. Ny. B:”Bambang, saya tidak suka kau memukul Budi”

“Saya terkejut, Ny. B”, kata pembina, “Anda mempunyai perasaan begitu lemah mengenai keadaan si bungsu yang dipukul keras-keras dengan raket tenis”. “Oh, saya begitu ketakutan kalau-kalau kepalanya yang kecil itu terluka parah, saya yakin akan melihat darah bercucuran di kepalanya”. “Kalau demikian”, kata pembina, “sertakan perasaan yang begitu kuat itu ke dalam “pesan aku” yang sesuai dengan intensitas perasaan Anda sebenarnya”. Dengan anjuran untuk lebih jujur mengenai perasaannya yang sebenarnya, Ny. Bkemudian dengan tegas berseru, “Bambang, saya takut setengah mati kalau Budi dipukul di kepala! Saya betul-betul tidak akan senang bila ia begitu disakiti. Dan saya menjadi marah sekali bila melihat seseorang yang lebih besar menyakiti orang lain yang jauh lebih kecil. Ooooh, saya begitu takut kepalanya berdarah”. Ny. B dan orang tua lainnya di dalam kelas setuju bahwa untuk kali ini tidak “menyuruh anak kecil menjalankan pekerjaan orang dewasa”. “Pesan aku” yang kedua ini, yang jauh lebih sesuai dengan perasaannya yang sebenarnya mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk mempengaruhi Bambang.

Menghadapi Letusan Merapi Beberapa orang tua, sesudah mempelajari “pesan aku”, sesampainya di rumah segera mulai bersemangat menghadapi anak-anak mereka, tetapi berakhir dengan menyemburkan dan memuntahkan emosi mereka yang tertahan itu bagaikan gunung berapi. Seorang ibu kembali ke kelas dan menceritakan bahwa ia menghabiskan minggu itu dengan marah-marah pada kedua anaknya. Satu-satunya ersoalan adalah bahwa anak-anaknya sangat takut dengan ledakan emosi ibu mereka. Ternyata bahwa ada beberapa orang tua yang menafsirkannya sebagai izin untuk melampiaskan perasaan marah mereka terhadap nak-anak, sehingga memaksa saya untuk meninjau kembali fungsi persaan marah dalam hubungan orang tua – anak. Peninjauan kembali yang kritis mengenai perasaan merah ini memberi banyak penjelasan pada pemikiran saya sendiri dan membawa saya pada suatu rumusan baru mengenai sebabsebab orang tua melampiaskan kemarahan mereka, mengapa keadaan itu berakibat kurang baik bagi anak-anak, dan bagaimana caranya menolong orang tua menghindari rasa marah.

91

Tidak seperti perasaan-perasaan lain, perasaan marah itu selalu diarahkan pada orang lain. “Saya marah” merupakan suatu pesan yang biasanya berarti “Saya marah padamu” atau “Kamu membuat saya marah”. Jelas merupakan “pesan kamu” dan bukan suatu “pesan aku”. Orang tua tidak dapat menyembunyikan “pesan kamu” dengan menyatakan sebagai “Aku merasa marah”. Akhirnya pesan yang demikian itu tertangkap sebagai suatu “pesan kamu” oleh anak-anak. Anak mengira bahwa ia dipersalahkan sebagai orang yang menyebabkan orang tuanya menjadi marah. Diduga pengaruh terhadap anak adalah bahwa ia merasa diremehkan, dipersalahkan, dan merasa berdosa sama dengan akibat “pesan kamu” lainnya. Saya kini yakin bahwa perasaan marah adalah sesuatu yang dibangkitkan oleh orang tua, setelahia mengalami suatu perasaan lain sebelumnya. Orang tua membuat kemarahan sebagai akibat dari suatu perasaan yang primer. Demikian proses kerjanya: Saya sedang mengendarai mobil sepanjang jalan raya dan sebuah mobil lain memotong jalan di dekat bumper kiri depan. Perasaan utama saya adalah takut, tingkah lakunya membuat saya takut. Sebagai akibat dari tindakannya yang membuat saya ketakutan, beberapa detik kemudian, saya membunyikan klakson saya dan “bersikap marah”, dan bahkan mencaci-maki seperti “Bangsat, mengapa kamu tidak belajar mengendarai mobil dengan baik”, suatu pesan singkat yang oleh siapa pun tidak dapat disangkal merupakan suatu “pesan kamu” yang murni. Fungsi dari “sikap marah”itu adalah untuk menghukum pengemudi itu, atau untuk membuatnya merasa berdosa karena telah membuat saya menjadi takut, agar supaya ia tidak mengulanginya.

Dalam sebagian besar kasus, orang tua yang marah menggunakan kemarahan mereka untuk memberi pelajaran pada anak. Seorang ibu kehilangan anaknya di dalam sebuah toko serba ada. Perasaannya yang primer adalah takut. Ia takut kalau-kalau telah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan atas diri anak itu. Apabila ada yang bertanya padanya apa yang dirasakan sewaktu mencari anak itu, ibu ini akan berkata “Saya takut setengah mati” atau “Saya khawatir sekali dan takut”. Apabila ia akhirnya menemukan kembali anaknya, ia lega. Kepada dirinya ia berkata, “Oh Tuhan terima kasih, anakku selamat”. Akan tetapi, pernyataannya berbeda sama sekali. Dengan sikap marah ia akan berseru misalnya “Anak nakal!” atau “Saya marah padamu! Mengapa kamu sebodoh itu dan pergi meninggalkan saya?” ataupun “Sudah saya katakan untuk tetap berada di dekat saya bukan?” Di dalam situasi ini, sang ibu melontarkan kemarahannya (perasaan sekunder), dan hendak memberi suatu pelajaran pada anak atau menghukum dia karena telah membuat dirinya khawatir.

Sebagai perasaan sekunder, hampir selalu menjadi suatu “pesan kamu” yang menunjukkan suatu penilaian dan menyalahkan si anak. Saya yakin

92

bahwa marah itu merupakan suatu sikap yang diambil dengan sengaja dan disadari orang tua dengan tujuan menyalahkan, menghukum, ataupun memberi “pelajaran” kepada anak karena tingkah lakunya telah membangkitkan suatu perasaan lain (perasaan primer). Bilamana Anda marah pada seseorang, maka Anda bersandiwara untuk mempengaruhi pihak lain, untuk memperlihatkan apa yang telah ia perbuat, memberikan dia pelajaran, mencoba meyakinkan dirinya untuk tidak mengulang perbuatannya itu. Saya tidak menyatakan bahw perasaan marah itu tidak murni atau tidak sungguh-sungguh. Marah itu justru sesuatu yang sungguhsungguh dan membuat orang mendidih atau tergoncang dalam dirinya. Saya hendak mengatakan bahwa manusia sendirilah yang membuat dirinya marah. Berikut ini beberapa contoh: Seorang anak bertingkah di sebuah rumah makan. Perasaan primer orang tua adalah perasaan malu. Perasaan yang berikutnya adalah marah: “Hentikan tingkah lakumu seperti anak berumur 2 tahun”. Anak lupa bahwa hari ini hari ulang tahun ayahnya dan dengan demikian ia gagal memberikan ucapan “Selamat ulang tahun” atau memberinya sebuah hadiah. Perasaan primer yang timbul pada sang ayah adalah tersinggung. Perasaan kedua berupa marah: “Kau sama seperti anak-anak lainnya jaman sekarang yang tidak memikirkan orang lain”. Anak pulang dengan buku raport yang penuh dengan C dan D. Perasaan primer dari ibu berupa kekecewaan. Perasaan yang kedua adalah marah: “Saya tahu kamu bergadang terus sepanjang semester ini. Mudah-mudahan masih ada yang bisa kau banggakan”.

Bagaimana cara orang tua belajar untuk menghindari penggunaan “pesan kamu” yang bernada marah terhadap anak-anak? Pengalaman di dalam kelas kami agak menggembirakan. Kami membantu orang tua untuk dapat lebih mengerti dan membedakan antara perasaan-perasaan primer dan sekunder. Dengan demikian diharapkan mereka akan lebih menyadari perasaan-perasaan mereka yang primer pada anak-anak mereka dan tidak melontarkan perasaan-perasaan marah yang sekunder itu. MOE membantu orang tua untuk semakin menyadari apa yang sesungguhnya berkecamuk dalam diri mereka apabila mereka sedang marah, setidak-tidaknya menolong mereka mengenali perasaan yang primer. Ny. C seorang ibu yang sangat teliti, menceritakan pada kelas MOE-nya bagimana ia akhirnya mengetahui bahwa luapan marah yang kerap kali dilontarkan terhadap putrinyayang berumur 12 tahun sekedar merupakan reaksi sekunder atas kekecewaannya karena anak itu bukan seorang yang rajin dan berminat terhadap pelajaran sebagaimana ibunya waktu masih anak-anak. Ny. C kini menyadari bahwa keberhasilan putrinya di sekolah mempunyai arti yang

93

begitu besar bagi dirinya, dan setiap kali pendidikan putrinya mengecewakan dirinya ia selalu melontarkan marahnya dengan “pesan kamu”. Tuan J, seorang konselor profesional, mengaku di dalam kelas bahwa ia kini mengerti mengapa ia menjadi begitu marah terhadap putrinya yang berumur 11 tahun sewaktu mereka berada di depan umum. Putrinya itu seorang pemalu, tidak seperti ayahnya yang ramah dalam pergaulan sosial. Setiap kali ia memperkenalkan putrinya itu pada kenalannya putrinya itu tidak mau mengulurkan tangannya untuk memberi salam atau mengatakan suatu yang menyenangkan seperti “Apa kabar” atau “Halo” yang hampir tidak terdengar membuat ayahnya malu. Ia mengaku sebenarnya takut kalau-kalau kenalankenalannya menganggap dia sebagai orang tua yang keras dan mengekang sehingga putrinya itu menjadi seorang yang menarik diri dan penakut. Sekali ia sampai pada kesimpulan ini, maka selanjutnya ia dapat mengatasi perasaan marahnya itu. Dan ketika ia berhenti menjadi marah, anaknya berkurang perasaan malu-malunya.

Para orang tua dalam MOE belajar bahwa apabila mereka saling melontarkan “pesan kamu” yang bernadakan marah, mereka sebaiknya bercermin dan bertanya, “Apa gerangan yang terjadi dalam diri saya?”. “Kepentingan apa pada diri saya yang terancam oleh tingkah laku anak saya itu?”, “Apa perasaan primer saya sendiri?”. Seorang ibu dengan berani mengakui dalam kelas bahwa ia begitu seing marah pada anak-anaknya, karena ia sangat kecewa: mempunyai anak menyebabkan ia terhalang untuk melanjutkan pendidikannya menjadi seorang guru. Ia menemukan bahwa perasaan-perasaan marahnya itu sebenarnya merupakan perasaan kecewa karena kariernya terganggu.

Pengaruh “Pesan Aku” yang Efektif “Pesan aku” dapat memberikan hasil yang menakjubkan. Orang tua sering melaporkan bahwa anak-anak mereka sering tercengang bia mengetahui bagaimana sesungguhnya perasaan orang tua mereka. Mereka mengatakan pada orang tua mereka: “Saya tidak tahu bahwa saya sangat mengganggu Bapak”. “Saya tidak mengetahui bahwa hal itu begitu merisaukan”. “Mengapa sebelumnya tidak pernah dicritakan pada saya mengenai apa yang dirasakan oleh Ibu?” “Kelihatannya perasaan Ibu itu betul-betul kuat dalam hal ini!”

Seperti halnya orang dewasa, anak-anak itu sering tidak mengetahui bagaimana tingkah laku mereka mempengaruhi orang lain. Di dalam usaha mencapai tujuannya sendiri, mereka sering kali sama sekali tidak menyadari pengaruh yang mungkin diakibatkan tindakan mereka itu. Apabila mereka suatu kali diberi tahu hal itu, mereka biasanya menjadi lebih memikirkan orang lain. Sikap acuh dapat berubah menjadi sikap memikirkan orang lain

94

jika anak itu sudah pernah mengetahui pengaruh kelakuannya terhadap orang lain. Ny. H menceritakan suatu kejadian yang terjadi waktu liburan keluarga. Anak-anak mereka yang masih kecil-kecil sangat gaduh dan ribut di bagian belakang mobil. Ny. H dan suaminya sekalipun kesal tetap mencoba bersikap sabar, namun akhirnya Tn. H dan tidak dapat tahan lebih lama. Ia mendadak menghentikan mobilnya di tepi jalan dan berseru: “Saya sudah tidak tahan mendengarkan suara gaduh seperti ini serta kelakar yang tidak habis-habisnya di belakang. Saya ingin menikmati masa liburan saya ini dan ingin mendapatkan kesenangan sewaktu mengendarai mobil. Namun persetan, bila ada ribut-ribut di belakang sana, saya menjadi tidak tenang dan benci mengendarai mobil. Saya rasa saya pun punya hak menikmati liburan ini”. Anak-anak terkejut mendengar seruan ini. Mereka tidak menyadari bahwa kegaduhan mereka di bagian belakang mobil itu telah mengganggu ayah mereka. Mereka tadinya beranggapan bahwa ayah mereka dapat menerimanya. Ny. H menambahkan bahwa setelahkejadian tersebut anak-anak jauh lebih hatihati dan secara menyolok mengurangi ulah mereka.

Tn. G,seorang kepala sekolah lanjutan yang menampung anak-anak yang suka memberontak dan menyusahkan, menceritakan sebuah cerita dramatis: Telah berminggu-minggu lamanya saya bersabar terhadap ulah sekelompok pemuda yang terus-menerus tidak mematuhi beberapa aturan sekolah. Pada suatu pagi saya menengok keluar jendela kantor sekolah dan melihat mereka dengan santai menyeberang lapangan rumput sambil membawa botol Cocacola, hal mana melanggar peraturan sekolah. Karena saya baru saja mengikuti kelas MOE yang menerangkan mengenai “pesan aku”, saya segera lari keluar dan mulai menyampaikan perasaan saya: “Saya begitu putus-asa dengan kalian! Saya telah berusaha melakukan apa saja dengan tujuan membantu kalian agar dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah ini. Dan kalian semuanya hanya bisa melanggar peraturan-peraturan yang berlaku. Saya telah memperjuangkan peraturan yang masuk akal mengenai panjangnya rambut, namun itu pun tidak kalian taati. Sekarang kalian membawa botol-botol Coca-cola, itu juga melanggar peraturan yang ada. Saya rasa lebih baik berhenti dari pekerjaan ini dan kembali bekerja pada SLA biasa, di mana saya dapat merasa mencapai sesuatu. Saya merasa sebagai orang yang betulbetul gagal dalam tugas ini”. Sore itu Tn. G dikejutkan oleh kunjungan kelompok tersebut. “Pak G, kami telah merenungkan kejadian tadi pagi. Kami tidak tahu bahwa Anda bisa marah. Anda tidak pernah marah sebelumnya. Kami tidak menginginkan seorang pemimpin lain di sini; ia pasti tidak akan sebaik Anda. Jadi kami semuanya setuju seandainya Anda mengambil gunting dan mencukur rambut kami. Kami pun akan mentaati peraturan-peraturan lainnya”. Setelah sadar kembali dari kejutan itu, Tn. G kemudian bersama-sama dengan pemuda-pemuda itu menuju ruangan lain, dan masing-masing menyerahkan diri untuk digunting rambutnya sesuai dengan peraturan yang

95

berlaku. Tn. G bercerita pada kelas MOE bahwa hal yang terpenting dari kejadian tersebut adalah kegembiraan yang mereka alami bersama sewaktu pencukuran sukarela dari rambut mereka. “Kami semuanya gembira”, ia melaporkan. Terasa anak-anak dekat dengan dirinya dan dekat dengan sesamanya. Mereka meninggalkan ruangan secara bersahabat, dengan kehangatan dan keakraban yang sering kali menjadi hasil dari sesuatu pemecahan persoalan bersama.

Ketika saya mendenga cerita Tn. G, saya mengakui bahwa saya mempunyai perasaan kagum sama seperti para orang tua lainnya di dalam kelas, atas pengaruh dramatis dari “pesan aku” yang dilontarkan Tn. G. Hal tersebutmemperkuat dugaan saya bahwa orang dewasa sering kali menganggap remeh kemauan anak-anak untuk bertenggang rasa terhadap kebutuhan orang dewasa, apabila anak-anak diberi tahu secara terbuka dan langsung mengenai perasaan orang lain. Anak-anak dapat tergerak dan bertanggung jawab, asalkan orang dewasa menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan mereka. Berikut ini ada beberapa contoh lagi mengenai “pesan aku” yang efektif, yang tidak mengandung cercaan ataupun celaan, dan di mana orang tua tidak mengirimkan suatu penyelesaian: Ayah pulang dari kantor ingin membaca koran dan beristirahat. Si anak tak henti-hentinya naik ke atas pangkuannya dan merenggut-renggut koran ayah: “Saya tidak bisa membaca koran bila kau ada di pangkuanku. Saya tidak ingin bermain denganmu sekarang, karena saya sedang lelah dan ingin beristirahat sejenak!” Ibu sedang menggunakan alat pengisap debu. Si anak berkali-kali menarik steker listrik. Ibu sedang dalam keadaan terburu-buru. Ibu: “Saya sedang terburu-buru dan apabila saya setiap kali harus menyabung kembali aliran listrik maka pekerjaan tidak akan selesai-selesai. Saya tidak ingin bermain, selama masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan”. Anak datang ke meja makan dengan tangan dan muka sangat kotor. Ayah: “Saya tidak dapat menikmati makan malam apabila melihat semua kotoran itu. Itu membuat saya tidak enak dan menghilangkan nafsu makan saya”. Ibu dan ayah ingin membicarakan suatu permasalahan yang bersifat pribadi yang menyangkut diri mereka. Anak terus berada di dekat mereka sehingga menghalangi mereka untuk berbicara. Ayah: “Ibu dan saya hendak mendiskusikan bersama, sesuatu yang sangat penting. Kami tidak bisa membicarakannya apabila kamu asa di sini!” Anak sedang membunyikan cassette recorder-nya sedemikan kerasnya sehingga mengganggu pembicaraan orang tuanya di ruangan sebelah. Ibu: “Kami tidak bisa berbincang-bincang jika kaset dibunyikan begitu keras. Suaranya terlalu bising”. Anak telah berjanji menyeterika serbet untuk pesta makan malam. Sapanjang hari ia bermalas-malasan; dan kini tinggal satu jam lagi sebelum tamu-tamu datang ia belum juga melaksanakan pekerjaan itu. Ibu: “Saya betul-

96

betul merasa kecewa. Seharian saya sudah bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta malam ini dan kini masih perlu merisaukan serbet-serbet yang diperlukan”. Anak tidak muncul tepat pada waltunya sebagaimana telah disepakati bersama agar ibu dapat membawanya pergi untuk membeli sepatu yang diperlukan. Ibu dalam keadaan tergesa-gesa. Ibu: “Saya betul-betul tidak suka bila saya sudah merencanakan sebaik mungkin jadwal hari ini supaya kita isa bersama-sama pergi ke toko untuk membeli sepatu baru untukmu dan kau tidak juga muncul.

Mengirim “Pesan Aku” yang Tanpa Kata pada Anak-anak yang Sangat Kecil Para oran tua yang mempunyai anak di bawah 2 tahun menanyakan bagaimana mereka dapat mengirimkan “pesan aku” pada ana-]k-anak yang masih terlalu kecil untuk dapat mengerti arti kata-kata dari suatu “pesan aku”. Menurut pengalaman kami, banyak orang tua menilai terlalu rendah kemampuan anak kecil untuk mengerti “pesan aku”. Pada umumnya anakanak di bawah umur 2 tahun telah belajar mengenal apakah orangtua setuju atau tidak, senang atau tidak, suka atas kelakuan anak atau tidak. Pada umur 2 tahun kebanyakan anak telah mengetahui betul arti dari “Ibu tidak mau main”. Demikian pula: “Itu bukan permainan untuk Jimmi”, “Itu panas” ataupun “Itu akan melukai Jimmi”. Anak-anak yang sangat muda juga peka sekali terhadap pesan-pesan yang tidak terucapkan sehingga orang tua dapat menyampaikan perasaanperasaan mereka pada anak dengan menggunakan isyarat-isyarat tanpa katakata. Tobi tidak bisa tenang sewaktu ibu membantunya berpakaian. Ibu secara lembut namun tegas mengekangnya dan melanjutkan mengenakan pakaiannya. (Pesan: “Saya tidak dapat membantu kamu berpakaian selama kamu tidak bisa diam”). Marini melompat-lompat di atas kursi panjang dan ibu takut ia akan menerjang lampu di atas meja pojok. Ibu secara lembut tetapi tegas mengangkat Marini dari kursi panjang dan bersama Marini melompat-lompat di lantai. (Pesan: “Saya tidak suka bila kau melompat-lompat di atas dipan, tetapi saya tidak keberatan bila kau melompat-lompat di lantai”). Jany merajuk dan enggan masuk ke dalam mobil, sedangkan ibu sedang terburu-buru. Ibu meletakkan tangannya pada punggung Joni dan secara lembut tetapi tegas mengarahkannya ke dalam mobil. (Pesan: “Saya sedang terburuburu dan saya mau kamu masuk ke dalam mobil sekarang juga”). Heni menarik gaun pesta ibu yang baru yang sedang dikenakan untuk pergi. Ibu memindahkan tangan Heni dari gaun itu. (Pesan: “Saya tidak mau kamu menarik-narik pakaian saya”).

97

Sewaktu ayah sedang menggendong Toni di toko serba ada, ia mulai menendang perut ayah. Ayah segera menurunkan Toni. (Pesan: “Saya tidak suka menggendongmu bila kau menendang”). Ari meraih makanan dari piring ibu. Ibu mengambil kembali makanan itu darinya dan memberi Ari bagiannya sendiri dari piring sayur. (Pesan: “Saya menghendaki bagian saya dan saya tidak suka apabila kau mengambilnya dari piring saya”).

Pesan-pesan sikap yang demikian dapat dimengerti oleh anak-anak yang kecil. Pesan-pesan tersebut menyampaikan pada anak kebutuhan-kebutuhan orang tuanya, namun tidak mengatakan pada anak bahwa anak itu nakal karena mempunyai kebutuhan sendiri. Dengan demikian jelaslah juga bahwa jika orang tua mengirimkan pesan-pesan tanpa kata-kata, ia tidak menghukum anak.

Tiga Masalah pada “Pesan Aku” Para orang tua menjumpai persoalan-persoalan pada waktu menerapkan “pesan aku”. Tidak ada yang tidak dapat diatasi, namun masing-masing memerlukan ketrampilan-ketrampilan khusus. Anak-anak sering kali memberirespons terhadap “pesan aku” dengan mengacuhkan, khususnya pada waktu orang tua baru mulai menggunakan “pesan aku”. Tidak seorang pun akan senang bila mengetahui bahwa ingkah lakunya mengganggu kebutuhan orang lain. Ini pun berlaku bagi si anak. Mereka kadang-kadang lebih suka “tidak mendengar” bagaimana tingkah laku mereka mempengaruhi perasaan orang tua mereka. Kami menyarankan agar para orang tua itu mengirimkan lagi suatu “pesan aku” yang lainnya, apabila yang pertama tidak memperoleh tanggapan. Mungkin “pesan aku” yang kedua ini akan jauh lebih kuat, lebih meneka, lebih keras ataupun, dengan tekanan perasaan yang lebih kuat. Pesan yang kedua memberitahukan kepada anak “Perhatikan, saya tidak main-main”. Ada sementara anak yang acuh tak acuh terhadap suatu “pesan aku” seraya mengangkat bahu seolah berkata: “Apa salahnya?”. “Pesan aku” kedua kali ini lebih kuat, mungkin dapat berpengaruh. Kalau perlu orang tua dapat berkata seperti: “Dengarlah, saya sekarang memberitahu padamu apa yang saya rasakan. Ini penting bagi saya. Dan saya tidak suka diremehkan. Saya benci bila kau pergi meninggalkan saya begitu saja dan tidak mau mendengarkan perasaan saya. Saya rasa kurang adil bila kau acuh tak acuh sementara saya betul-betul mempunyai masalah”.

Bentuk pesan ini kadang kala dapat menginsafkan anak atau mengarahkan perhatiannya. Pesan itu memberitahukan padanya, “Saya sedang sungguhsungguh”.

98

Ada kalanya anak-anak kerap menjawab suatu “pesan aku” dengan memberikan “pesan aku” kembali. Mereka menginginkan agar Anda mendengar perasaan mereka, daripada segera mengubah tingkah lakunya, misalnya seperti pada contoh berikut ini: “Saya benci melihat ruang tamu yang baru saya bersihkan kotor kembali begitu kamu pulang sekolah. Saya merasa putus asa setelah bekerja keras untuk membersihkannya, enak saja orang lain mengotorinya.” ANAK: “Menurut saya, Ibu terlalu berlebih-lebihan membersihkan rumah”. IBU:

Dalam hubungan ini, para orang tua yang tidak terlatih sering kali menjadi defensif dan tersinggung, dan serta-merta menangkis kembali sambil menjawab, “Itu tidak betul” atau “Itu bukan urusanmu”. Untuk dapat mengendalikan situasi-situasi yang demikian secara efektif, hendaknya para orang tua mengingat kembali prinsip-prinsip dasar pertama – apabila anak mempunyai perasaan tertentu ataupun suatu persoalan hendaknya Anda menjadi seorang pendengar yang baik. Di dalam kejadian di atas, “pesan aku” yang diberikan ibu menimbulkan persoalan bagi si anak (sebagaimana biasa terjadi). Kini saatnya untuk menunjukkan pengertia dan penerimaan terhadap si anak karena “pesan aku” itu telah menimbulkan persoalan bagi anak: “Kamu merasa bahwa tuntutan-tuntutan saya dalam soal kebersihan terlau tinggi, bahwasanya saya terlalu berlebih-lebihan?” ANAK: “Ya, benar Bu.” IBU: “Ya, itu mungkin betul juga, saya akan mempertimbangkan hal itu. Namun sementara saya belum berubah, saya betul merasa putus asa bahwa segala pekerjaan saya itu tidak dihargai. Pada saat ini saya sangat kecewa mengenai ruangan ini”. IBU:

Tidak jarang terjadi, setelah si anak dapat merasakan bahwa orang tuanya telah mengerti perasaannya, ia akan mengubah tingkah lakunya. Yang biasanya diminta oleh anak adalah bahwa perasaan dia dimengerti, sesudah itu ia akan merasa bahwa ia perlu melakukan sesuatu perbaikan demi perasaan Anda. Yang juga mengejutkan kebanyakan orang tua adalah pengalaman bahwa menjadi pendengar yang baik dapat mengeluarkan perasaanperasaan anak, yang kini dimengerti oleh orang tua, sehingga perasaan tidak menerima dari pihak orang tua dapat menghilang atau berubah. Dengan mendorong anak untuk mengemukakan perasaan-perasaannya, orang tua dapat melihat seluruh situasi dengan lebih jelas. Sebelumnya saya pernah beri contoh mengenai anak yang takut tidur karena takut menutup mulutnya sehingga tidak dapat bernafas. Pesan ini segera mengubah sikap ibu yang tadinya tidak bisa menerima menjadi sikap penuh pengertian.

99

Situasi lain yang dilaporkan oleh salah satu peserta, menggambarkan bagaimana sebagai pendengar yang baik orang tua dapat mengubah perasaan “dirinya sendiri. AYAH:

GIDO: AYAH: GIDO: AYAH:

“Saya marah karena piring kotor habis makan malam ditinggal begitu saja dalam bak cucian. Bukankah kita telah bersepakat bahwa Anda akan mencucinya segera setelah makan malam?” “Saya begitu lelah setelah makan malam, karena saya telah lembur hingga pukul tiga pagi menyelesaikan pekerjaan rumah”. “Kamu sedang mencuci piring-piring itu segera seusai makan malam?” “Memang begitu. Kalau demikian saya tidur sebentar sampai setengah sebelas. Saya akan mengerjakannya sebelum tidur. Oke?” “Setuju saja”

Persoalan yang dijumpai oleh semua orang tua dalam pelaksanaan “pesan aku” adalah bahwa anak kadang kala menolak untuk mengubah tingkah lakunya sekalipun ia sudah mengerti pengaruh tingkah lakunya terhadap orang tuanya. Kadang kala “pesan aku” yang jelas pun tidak ada efeknya – si anak tidak mengubah tingkah lakunya yang mengganggu kebutuhan orang tua. Kebutuhan anak untuk bertingkahlakunya dalam cara tertentu bertabrakan dengan kebutuhan orang tua agar anak tidak bertingkah laku demikian. Di dalam MOE, ini dinamakan situasi “konflik antar-kebutuhan atau antar-motif”. Apabila ini berlangsung, sebagaimana mungkin muncul dalam setiap situasi hubungan antar-manusia, maka ini merupakan saat yang menunjukkan makna sesungguhnya dalam hubungan antar-pribadi yang sedang berlangsung. Mengenai bagaimana situasi “konflik antar-motif” ini dapat dikendalikan akan dibicarakan sebagai inti buku ini, dimulai dalam bab 9.

100

8 Mengubah Tingkah Laku yang Tidak Dapat Diterima dengan Cara Mengubah Lingkungan Hanya sedikit orang tua yang berusaha mengubah tingkah laku anakanak mereka dengan mengubah lingkungan hidup anak. Mengubah lingkungan lebih banyak digunakan terhadap bayi daripada anak-anak yang lebih tua, karena ketika anak bertambah besar orang tua lebih suka memakai metode verbal, terutama cara yang “meremehkan” atau yang mengancam anak; mereka mengabaikan pengubahan lingkungan dan berusaha mengubah tingkah laku anak yang tidak dapat diterima melalui kata-kata. Hal ini agak merugikan, karena mengubah lingkungan sering sangat sederhana dan sangat manjur untuk anak-anak dari semua usia. Orang tua mulai menggunakan cara ini dengan lebih luas, segera setelah mereka menyadari kemungkinan-kemungkinan besar yang dapat tersedia: 1. Memperkaya lingkungan. 2. Mempermiskin lingkungan 3. Menyederhanakan 4. Membatasi 5. Menciptakan lingkungan “tahan anak” 6. Mengganti satu kegiatan dengan yang lain 7. Mempersiapkan anak untuk mengalami perubahan-perubahan dalam lingkungannya 8. Bersama-sama membuat rencana dengan anak-anak yang sudah lebih besar

MEMPERKAYA LINGKUNGAN Setiap guru taman kanak-kanak yang baik tahu bahwa satu cara yang manjur untuk menghentikan atau mencegah tingkah laku yang tidak dapat diterima adalah dengan menyediakan berbagai kegiatan yang menarik – memperkaya lingkungan dengan alat-alat mainan, bahan-bahan bacaan, permainan-permainan, tanah liat, baneka, dan sebagainya. Orang tua yang efektif juga menggunakan prinsip ini; apabila terlibat dalam sesuatu yang menarik mereka tidak akan “melakukan hal kurang baik” atau mengganggu orang tua. Beberapa peserta kursus telah melaporkan hasil yang baik dengan memberi anak suatu tempa khusus di garasi atau sudut tertentu dari rumah atau halaman belakang dan mengatakan bahwa di situ ia bebas menggali, memukul, membangun sesuatu, menggambar, membuat berantakan, pokoknya tempat di mana anak bisa mengerjakan apa yang dia kehendaki tanpa menimbulkan kerusakan. Perjalanan jauh adalah waktu di mana anak-anak biasanya membuat orang tua kesal. Beberapa keluarga mengatasi dengan membawa bahan-

101

bahan permainan, teka-teki, dan sebagainya yang dapat mencegah anak menjadi bosan atau gelisah. Kebanyakan ibu tahu bahwa anak-anak mereka tidak akan menunjukkan tingkah laku yang tidak bisa diterima kalau ada teman-teman yang datang bermain ke ruamah. Sering kali dua atau tiga anak lebih mudah menunjukkan tingkah laku yang dapat “diterima” daripada seorang anak sendirian. Kuda-kuda untuk melukis, tanah liat untuk membuat bentuk, bonekaboneka untuk main sandiwara, keluarga bineka dan rumah boneka, cat untuk dicoret-coretkan, balok-balok untuk membuat bangunan – semua ini dapat mengurangi tingkah laku agresif, gelisah, atau mengganggu. Orang tua terlalu sering lupa bahwa anak-anak membutuhkan kegiatan yang menarik dan penuh tantangan, seperti juga halnya orang-orang tua.

MEMPERMISKIN LINGKUNGAN Ada kalanya anak-anak memerlukan lingkungan yang rangsangannya sedikit – misalnya menjelang tidur. Orang tua kadang-kadang terlalu merangsang anak sebelum tidur atau sebelum makan dan kemudian mengharapkan bahwa mereka tiba-tiba menjadi tenang atau terkendali. Pada waktu-waktu ini lingkungan anak sebaiknya dibuat miskin, tidak diperkaya. Banyak tekanan dan kesulitan yang terjadi pada waktu ini dapat dihindarkan bila orang tua berusaha untuk mengurangi rangsangan dalam lingkungan anak.

MENYEDERHANAKAN LINGKUNGAN Anak-anak sering berbuat sesuatu yang “tidak dapat diterima” karena lingkungan mereka terlalu sukar atau majemuk bgi mereka, mereka mengganggu orang tua, ingin supaya dibantu, sama sekali menghentikan kegiatan, melempar barang-barang ke lantai, merengek, lari, menangis. Lingkungan rumah perlu diubah dalam banyak hal untuk memudahkan anak mengerjakan hal-hal tertentu bagi dirinya, untuk menggunakan obyekobyek yang ada dengan aman, dan untuk menghindarkan kekecewaan yang timbul karena ia tidak mampu mengendalikan lingkungannya sendiri. Banyak orang tua secara sadar berusaha menyederhanakan lingkungan anak dengan: - Membuat peti atau tempat pijakan sehingga anak dapat mengambil sendiri pakaiannya di dalam lemari. - Membeli alat-alat makan yang khusus bagi anak-anak. - Meletakkan paku gantungan pakaian di tempat yang rendah. - Membeli cangkir-cangkir dan gelas-gelas yang tidak bisa pecah - Memaku pajangan pintu sedemikian rupa hingga mudah dicapai anak - Mencat kamar anak dengan cat tembok yang dapat dicuci

102

MEMBATASI RUANG GERAK ANAK Bila seorang ibu meletakkan anaknya yang menunjukkan tingkah laku tidak dapat diterima di dalam boks-main yang tertutup, ia berusaha untuk membatasi “ruang geraknya” sehingga tingkah lakunya kemudian dapat diterima oleh ibu ini. Halaman yang dipagari berguna untuk mencegah tingkah laku seperti lari ke jalan, menginjak-injak kebun bunga tetangga, dan sebagainya. Ada orang tua yang mengikat anaknya dengan selendang bila membawanya berbelanja. Orang tua yang lain menyediakan suatu tempat khusus di rumah, di situ anak diizinkan bermain dengan tanah liat, melukis, menggunting-gunting kertas, atau bermain dengan benda-benda lain, sehingga pengotoran hanya terjadi pada daerah yang khusus tersebut. Dapat juga disediakan tempat khusus di mana anak boleh berteriak-teriak, bermain-main dengan lumpur, main kasar, dan sebagainya. Anak-anak biasanya menerima pembatasan ruang gerak semacam itu, bila batas-batas bisa diterima akal dan anak cukup mendapatkan kebebasan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kadang-kadang seorang anak menolak pembatasan dan menimbulkan konflik dengan orang tua. (Dalam bab berikut akan kami bicarakan bagaimana konflik dengan orang tua dapat diselesaikan).

MENCIPTAKAN LINGKUNGAN “TAHAN ANAK” Meskipun kebanyakan orang tua menyingkirkan obat-obatan, pisaupisau tajam, dan bahan kimia yang berbahaya dari jangkauan anak-anak, menciptakan lingkungan “Tahan Anak” juga dapat mencakup hal-hal seperti: -

Memutar pegangan panci ke arah belakang, bila sedang memasak. Membeli cangkir dan gelas yang anti pecah. Menyingkirkan korek api dari jangkauan anak. Membetulkan kabel-kabel listrik yang terbuka. Mengunci gudang, Menyingkirkan benda-benda berharga yang mudah pecah. Menyimpan alat-alat yang tajam. Meletakkan karpet plastik di kamar mandi. Memasang jendela dengan terali di tingkat atas. Menyimpan karpet-karpet yang licin.

Setiap keluarga harus meneliti sendiri keadaan yang bagaimana yang “Tahan Anak”. Dengan sedikit kesukaran kebanyakan orang tua dapat menemukan banyak cara untuk membuat rumah menjadi “Tahan Anak”, dengan demikian mencegah timbulnya tingkah laku yang tidak dapat diterima.

103

MENGGANTI SATU KEGIATAN DENGAN KEGIATAN LAIN Bila seorang anak bermain dengan pisau tajam, gantilah dengan pisau tumpul. Bila dia selalu ingin memeriksa apa isi laci kosmetik Anda, berilah ia beberapa botol kosong atau kotak untuk bermain-main di lantai. Bila ia akan menyobek majalah yang ingin Anda simpan, berilah ia majalah lain yang boleh disobeknya. Bila ia ingin menggambari tembok Anda dengan pensil berwarna, berilah ia kertas bungkus besar yang dapat dicoretcoretnya. Kegagalan untuk memberikan pengganti sebelum mengambil sesuatu dari anak biasanya akan menyebabkan anak frustasi dan menangis. Tetapi sering kali anak-anak mau menerima pengganti tanpa rewel, bila orang tua melakukannya dengan halus dan tenang.

MEMPERSIAPKAN ANAK UNTUK MENGALAMI PERUBAHAN-PERUBAHAN LINGKUNGAN Banyak tingkah laku anak yang tidak dapat diterima dapat dicegah dengan sebelumnya mempersiapkan anak untuk perubahan-perubahan dalam lingkungannya. Apabila pengasuhnya harus pulang ke kampung pada hari Jumat, mulailah bercakap-cakap dengan anak-anak hari Rabu, tentang pengasuh baru yang akan datang. Bila Anda akan berlibur ke pantai, persiapkan anak berminggu-minggu sebelumnya mengenai hal-hal baru yang akan dijumpainya – tidur di tempat tidur yang asing, berkenalan dengan teman-teman baru, sepeda tidak bisa dibawa, ombak yang bergulung-gulung, bagaimana ia harus bertingkah laku kalau ia naik perahu, dan sebagainya. Anak-anak mempunyai kemampuan yang mengherankan untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan-perubahan, seandainya orang tua mau membicarakan perubahan-perubahan ini sebelumnya. Hal ini tetap berlaku bahkan bila anak harus mengalami sakit atau rasa tidak nyaman, seperti misalnya pergi ke dokter untuk disuntik. Mendiskusikan hal ini dengan terus terang, bahkan akan sakit sebentar, dapat membantu anak menanggulangi situasi ini, bila situasi tersebut benar-benar dialaminya.

MEMBUAT RENCANA DENGAN ANAK-ANAK YANG LEBIH BESAR Konflik-konflik juga dapat dicegah dengan cara hati-hati mengatur lingkungan para remaja. Mereka juga membutuhkan cukup tempat untuk barang-barang pribadinya, tempat untuk kegiatan independen. Berikut ini beberapa usul untuk “memperbesar tingkah laku anak yang dapat diterima”.

104

-

-

-

Berilah anak jam beker untuk dirinya sendiri. Sediakan lemari pakaian yang cukup besar dengan banyak gantungan. Tentukan sebuah tempat di mana keluarga dapat saling meninggalkan pesan. Sediakanlah penanggalan pribadi supaya anak dapat saling mencatat janji yang dibuatnya. Bila Anda membeli peralatan baru, bacalah intruksi penggunaannya bersamasama. Beritahukanlah sebelumnya kepada anak bila Anda menantikan tamu, sehingga mereka tahu kapan harus membersihkan kamar mereka. Sediakanlah kunci pintu rumah yang bertali sehingga dapat dipenitikan pada tas tangan (untuk anak gadis) atau dikalungkan di leher (untuk anak laki-laki). Berilah uang saku bulanan, jangan mingguan, dan bicarakanlah sebelumnya pengeluaran apa saja yang tidak termasuk dalam uang saku itu. Terangkanlah macam-macam biaya ekstra dalam pembicaraan telepon. Diskusikanlah sebelumnya hal-hal seperti pukul berapa ia harus sudah ada di rumah, persoalan-persoalan asuransi kalau ada, apa yang harus dilakukan bila terjadi tabrakan, penggunaan alkohol dan obat-obatan, dan sebagainya. Bila seorang remaja harus mencuci pakaiannya sendiri, usahakan supaya semua peralatan yang perlu sudah tersedia. Usulkan ia supaya selalu membawa uang kecil, sehingga kalau perlu ia bisa menelepon sewaktu-waktu. Suruhlah anak membuat daftar nama dan alamat beserta telepon (kalau ada) dari teman-temannya, untuk memudahkan seandainya anak harus cepat-cepat pulang. Katakanlah pada anak, makanan-makanan mana dalam lemari makan yang Anda sediakan untuk tamu. Beritahukanlah sebelumnya diperlukan kerja tambahan karena ada tamu yang akan menginap. Doronglah anak untuk membuat daftar dan jadwal kegiatan untuk mempersiapkan suatu liburan keluarga. Beritahukanlah lebih dahulu kepada anak, siapa nama tamu-tamu Anda yang akan datang, untuk mencegah anak menjadi bingung. Beritahukanlah sebelumnya bila Anda hendak pergi ke luar kota, supaya mereka dapat membuat rencana kegiatan mereka. Bila Anda mempunyai telepon, ajarlah mereka bagaimana caranya menerima telepon dan mencatat pesan. Hendaknya selalu mengetuk pintu sebelum masuk kamar. Bila mau mengadakan pesta, rundingkanlah dahulu “aturan” pesta yang akan diselenggarakan.

Kebanyakan orang tua dapat menemukan banyak contoh lain dalam halhal tersebut. Makin banyak orang tua mengubah lingkungan makin terasa nikmatnya hidup mereka dengan anak-anak, dan makin sedikit orang tua harus berkonfrontasi dengan anak-anak mereka. Dalam MOE, orang tua yang belajar mengubah lingkungan harus mengalami perubahan-perubahan yang cukup mendasar dulu dalam sikap

105

mereka terhadap anak-anak dan hak-hak mereka di rumah. Salah satu perubahan itu berhubungan dengan pertanyaan: Rumah siapakah ini? Kebanyakan orang tua dalam kursus kami beranggapan bahwa rumah kami adalah rumah mereka; bahwa anak-anak karena itu, harus dilatih dan dididik untuk bertingkah laku pantas dan benar. Hal ini berarti anak harus “dibentuk” dan “ditempa” sampai akhirnya ia tahu apa yang diharapkan daripadanya dalam rumah orang tuanya. Orang tua semacam ini jarang tergerak untuk mengadakan perubahan besar dalam lingkungan rumah, ketika seorang anak lahir di rumah itu. Mereka cenderung membiarkan rumah sama seperti sebelum anak lahir dan mengharapkan agar anaklah yang menyesuaikan diri. Kami mengajukan pertanyaan ini kepada para orang tua: “Apabila hari ini Anda dikabari bahwa minggu depan Anda harus membawa salah satu orang tua Anda ke rumah karena sebagian tubuhnya lumpuh dan kadangkadang harus menggunakan kayu topang atau kursi roda, perubahan apa yang akan Anda lakukan di rumah?” Pertanyaan ini biasanya akan menghasilkan daftar yang panjang seperti: -

Membuang karpet yang licin. Menambah besi-besi pegangan pada tangga. Menyingkirkan perabotan rumah, supaya kursi roda lebih leluasa bergerak. Menempatkan barang-barang yang sering digunakan di rak-rak lemari makan bagian bawah sehingga mudah dicapai. Menyediakan bel yang bersuara nyaring yang dapat dibunyikan bila ia menghadapi kesukaran. Memasang pesawat telepon tambahan. Menyingkirkan meja-meja yang mudah ambruk. Membuat tangga khusus, hingga ia dapat membawa sendiri kursi rodanya turun ke halaman. Membeli karpet untuk kamar mandi.

Bila orang tua melihat betapa banyaknya usaha mengubah rumah yang akan mereka lakukan demi orang tua mereka yang cacat, maka mereka tentu lebih bersedia menerima usul untuk mengadakan perubahan demi anakanak. Kebanyakan orang tua terkejut ketika menyadari bahwa sikap mereka terhadap orang tua yang lumpuh amat berbeda dengan sikap mereka terhadap anak-anak ketika dihadapkan pada pertanyaan “Rumah siapakah ini?” Para orang tua mengakui bahwa mereka akan berulang-ulang berusaha meyakinkan orang tuanya yang cacat bahwa rumah mereka sekarang adalah juga rumahnya, tetapi tidak demikian halnya terhadap anak-anak. ”Saya sering heran kalau melihat bagaimana – melalui sikap dan tingkah laku mereka – orang tua menunjukkan bahwa mereka memperlakukan

106

tamu-tamu dengan jauh lebih hormat dibandingkan dengan perlakuan terhadap anak-anak mereka sendiri. Terlalu banyak orang tua yang bertingkah laku seakan-akan anak yang harus melakukan semua penyesuaian terhadap lingkungan mereka.

107

9 Konflik-konflik Orang Tua –Anak yang Tidak Bisa Dihindari: Siapa yang Harus Menang? Semua orang tua pernah mengalami situasi di mana anak tidak juga mengubah tingkah laku mereka, sekalipun situasi sudah diubah dan anak sudah diajak berbicara; anak tetap melakukan hal-hal yang mengganggu kepentingan orang tua mereka. Situasi-situasi semacam ini tidak dapat dielakkan dalam hubungan antara orang tua dengan anak, karena si anak mempunyai “kebutuhan” untuk bertingkah laku demikian, sekalipun ia telah menyadari bahwa tingkah lakunya itu mengganggu atau bertentangan dengan kebutuhan orang tua. Joni masih saja bermain bola basket di lapangan sebelah, padahal ibunya sudah berulang kali memperingatkan bahwa setengah jam lagi mereka harus pergi. Ny. J telah memberitahu pada Mari bahwa ia harus segera berbelanja ke toko X, namun Mari masih saja sebentar-sebentar berhenti melihat-lihat etalase toko-toko sepanjang jalan. Sari tidak mau mempedulikan perasaan-perasaan orang tuanya. Ia bersikeras juga untuk pergi berkemah di pantai bersama teman-temannya akhir pekan ini, sekalipun ia tahu orang tuanya tidak setuju

Konflik-konflik antara kebutuhan orang tua dan anak semacam ini tidak hanya tidak dapat dielakkan, tetapi cenderung terjadi berulang kali dalam setiap keluarga. Itu bisa berkisar mulai dari perbedaan-perbedaan kecil sampai pertengkaran-pertengkaran serius. Itu semuanya merupakan persoalan-persoalan bersama – bukan hanya persoalannya anak saja atau orang tua saja. Baik orang tua maupun anak, kedua-duanya terlibat dalam persoalan itu – kepentingan bersamalah yang terancam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persoalannya adalah persoalan hubungan orang tua – anak. Persoalan-persoalan inilah yang timbul apabila metode-metode yang lain tidak berhasil mengubah tingkah laku anak yang tidak dapat diterima oleh orang tua. Suatu konflik merupakan suatu saat penting dalam suatu hubungan – suatu ujian mengenai sehat tidaknya hubungan tersebut, suatu krisis yang dapat melemahkan ataupun menguatkan hubungan tersebut, suatu kejadian berbahaya yang dapat membawa perasaan dendam yang berlarut-larut, sikap permusuhan yang membawa luka psikologis. Konflik dapat menjauhkan seseorang dari yang lain ataupun menarik mereka ke suatu persatuan yang lebih mesra; konflik mengandung benih-benih kehancuran dan benih-benih kesatuan; konflik dapat mencetuskan perang terbuka ataupun saling pengertian yang lebih mendalam.

108

Bagaimana cara konflik itu diselesaikan, mungkin merupakan faktor paling menentukan dalam hubungan antara orang tua dan anak. Tapi sayang kebanyakan orang tua mencoba menyelesaikannya dengan hanya menggunakan dua cara pendekatan dasar yang kurang efektif dan dapat membahayakan anak maupun hubungan itu sendiri. Hanya segelintir orang tua dapat menerima kenyataan bahwa konflik merupakan bagian dari kehidupan dan tidak selalu jelek. Kebanyakan orang tua memandang konflik sebagai sesuatu yang bagaimanapun harus dihindari. Kami sering mendengar suami-suami dan istri-istri yang berbangga bahwa tidak pernah terjadi suatu peselisihan paham yang serius – seolah-olah mau mengatakan bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Orang tua mengatakan pada anak-anak, “Baiklah, hari ini tidak perlu bertengkar sewaktu makan malam, kita tidak ingin merusak suasana makan malam bersama”. Ataupun mereka berseru, “Hentikan pertengkaran itu sekarang juga!”. Orang tua yang mempunyai anak-anak remaja sering kali mengeluh bahwa dengan bertambahnya umur anak-anak mereka, makin banyak timbul perbedaan pendapat dan konflik-konflik dalam keluarga: “Dulu kita telah sepaham mengenai kebanyakan hal”. Atau, “Dulu anak saya selalu menurut dan mudah dikendalikan, namun kini seolah-olah berjalan sendiri-sendiri”. Kebanyakan orang tua enggan terlibat dalam situasi konflik, mereka menjadi sangat risau jika terjadi konflik, dan sangat bingung serta tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasinya secara kontruktif. Sesungguhnya, jarang terdapat suatu hubungan antar-manusia yang bebas dari konflik. Bila dua orang atau dua kelompok berada berdekatan, maka suatu konflik akan terjadi, karena manusia memang berbeda satu sama lain, masing-masing berbeda dalam hal pemikiran, mempunyai kepentingan yang berlainan, dan bukan sering kali menginginkan hal-hal berbeda. Oleh karena itu, konflik tidak selalu jelek – ia timbul sebagai suatu kenyataan dalam setiap hubungan antar manusia. Malahan suatu hubungan timbal-balik yang tidak pernah ada konfliknya, justru dapat merupakan suatu hubungan yang tidak sehat dibandingkan dengan suatu hubungan yang kerap ada konfliknya. Satu contoh yang baik adalah, suatu perkawinan di mana sang istri selalu menuruti kemauan suami yang sangat dominan, atau dalam suatu hubungan antara orang tua dan anak di mana si anak begitu takut pada orang tuanya sehingga ia sama sekali tidak berani menentang mereka dalam hal apa pun juga. Kita sering menjumpai keluarga-keluarga, terutama keluarga-keluarga besar, di mana meski konflik terus terjadi namun keluarga-keluarga itu tetap bahagia dan sehat. Sebaliknya, saya sering baca berita surat kabar mengenai tindak kejahatan anak muda yang orang tuanya sama sekali tidak mengerti

109

mengapa itu sampai terjadi. Mereka tidak pernah mendapat kesulitan dengan anaknya; anaknya selama ini selalu menurut. Konflik keluarga yang dapat dinyatakan secara terbuka dan diterima sebagai gejala wajar, jauh lebih sehat bagi anak-anak. Di dalam keluargakeluarga demikian, anak paling sedikit mempunyai kesempatan untuk mengalami suatu konflik, belajar mengatasinya, dan akan lebih siap bilamana di kemudian hari mengalaminya kembali. Sebagai persiapan yang perlu terhadap konflik-konflik yang tidak dapat dihindari kelak di luar rumah, maka konflik dalam keluarga bahkan menguntungkan anak, asalkan konflik yang terjadi dalam lingkungan rumah dapat diselesaikan secara konstruktif. Ini merupakan faktor kritis di dalam setiap bentuk hubungan yaitu: bagaimana suatu konflik itu dapat diselesaikan dan bukannya berapa konflik yang terjadi. Saya yakin bahwa hal tersebut merupakan faktor kritis yang terpenting untuk menentukan apakah kelanjutan dari suatu hubungan akan menjadi sehat atau tidak sehat, saling memuaskan atau tidak memuaskan, bersahabat ataupun tidak bersahabat, mendalam atau dangkal, mesra atau dingin.

ADU KEKUATAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Di dalam kursus-kursus MOE, jarang ditemukan orang tua yang memikirkan penyelesaian suatu konflik tanpa istilah menang dan kalah. Orientasi “menang-kalah” ini agaknya mendasari dilema para orang tua dewasa ini – antara mengambil sikap keras (orang tua yang menang) atau bermurah hati (anak yang menang). Dalam membesarkan anak, kebanyakan orang tua melihat seluruh masalah kedisiplinan sebagai suatu pertanyaan apakah harus bersikap keras, ataukah bersikap lunak, kasar ataukah lembut, memaksa ataukah membiarkan. Karena mereka terjerat oleh pendekatan “menang atau kalah”, maka mereka melihat hubungan dengan anak-anaknya lebih sebagai suatu perjuangan adu kekuatan, suatu pertarungan antar-kemauan, suatu perkelahian untuk menentukan siapa yang menang, siapa yang kalah. Mereka bahkan memperbincangkan perjuangan mereka dengan cara yang sama seperti dua negara yang berperang. Salah seorang ayah dalam kursus MOE memberikan suatu ilustrasi yang jelas mengenai hal ini sebagai berikut: “Anda harus sejak awal-mula menunjukkan siapa yang berkuasa. Bila tidak, maka mereka akan mencoba mencari kemungkinan untuk menguasai Anda. Di situ letak kesukarannya dengan istri saya – ia selalu membiarkan anak-anak menang dalam semua pertengkaran. Ia selalu mengalah dan anak-anak mengetahui hal itu”.

Seorang ibu dari seorang remaja mencoba menceritakannya dengan gayanya sendiri:

110

“Saya membiarkan anak saya melakukan apa yang ia kehendaki, namun biasanya sayalah yang menderita. Saya seperti diinjak-injak. Bila Anda memberikan padanya satu meter, ia akan mengambil sepanjang satu kilometer”.

Seorang ibu yang lain begitu yakin bahwa ia tidak akan kalah dalam “perang mengenai panjang gaun”. “Saya tidak memperdulikan perasaannya, dan tidak jadi soal bagi saya apakah yang dilakukan oleh orang tua lainnya – tidak satu pun anak-anak perempuan saya, saya izinkan mengenakan rok sependek itu, saya tidak mundur setapak pun juga. Saya harus memenangkan pertarungan ini”.

Anak-anak pun melihat hubungan mereka dengan orang tua mereka sebagai suatu pertarungan kalah atau menang. Titi seorang pemudi pandai berumur 15 tahun, yang membuat orang tuanya cemas karena enggan bercakap-cakap dengan mereka, pada salah satu kesempatan bercerita pada saya sebagai berikut: “Apa gunanya membantah? Merekalah yang selalu menang. Saya sudah tahu itu sebelum kami terlibat dalam suatu perdebatan. Mereka selalu mau menang sendiri. Bagaimana juga, mereka adalah orang tua saya. Mereka selalu beranggapan bahwa mereka benar. Maka dari itu, saya tidak pernah berusaha untuk berdebat. Saya keluar dan tidak berbicara dengan mereka. Tentu saja mereka marah bila saya berbuat demikian. Tetapi, saya tidak peduli”.

Karim, seorang pelajar SLA, menghadapi sikap menang-kalah orang tuanya dengan cara lain: “Apabila saya memang berminat berbuat sesuatu, saya tidak pernah pergi kepada ibu saya, karena reaksi pertama dari ibu adalah selalu “tidak”. Saya akan menunggu sampai ayah pulang. Pada umumnya saya dapat mengajak dia agar mau berada di pihak saya. Ia jauh lebih murah hati, dan biasanya saya mendapatkan apa yang saya kehendaki daripadanya”.

Apabila pecah konflik antara orang tua dan anak, maka orang tua pada umumnya mencoba menyelesaikan sesuai dengan apa yang diharapkan sedemikian rupa sehingga orang tua akan menang dan anak kalah. Orang tua lain sekalipun tidak banyak jumlahnya selalu menuruti kehendak anakanak karena takut terlibat konflik atau takut membuat anak-anak frustasi. Di dalam keluarga-keluarga yang demikian si anaklah yang menang dan orang tua kalah. Dilema utama dari orang tua dewasa ini adalah bahwa mereka hanya mengenal cara-cara pendekatan menang-kalah.

Dua Cara Pendekatan Menang-Kalah Di dalam MOE, dua cara penyelesaian konflik dengan pendekatan menang-kalah secara sederhana disebut sebagai Metode I dan Metode II. Dalam kedua metode ini ada orang yang menang serta ada yang kalah –

111

yang satu memperoleh apa yang dikehendaki dan yang lain tidak. Berikut ini akan dijabarkan cara kerja Metode I dalam konflik orang tua – anak: Kebutuhan orang tua bertentangan dengan kebutuhan anak. Orang tua menentukan cara penyelesaiannya. Setelah orang tua memilih cara penyelesaiannya, mereka mengatakannya kepada anak dan berharap anak akan menerimanya. Apabila anak tidak menerima cara penyelesaian yang demikian, boleh jadi orang tua berusaha membujuk anak agar mau menerimanya. Apabila itu pun gagal, maka orang tua biasanya berusaha memaksakan kehendaknya melalui kekuasaan dan otoritas mereka.

Konflik berikut ini merupakan konflik antara ayah dan putrinya yang berumur 12 tahun, dan memperoleh penyelesaian melalui Metode I: YANI: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA:

YANI: ORANG TUA: YANI:

“Daag. Saya mau berangkat ke sekolah.” “Hari hujan Sayang, kenapa kau tidak memakai jas hujan?” “Saya tidak memerlukannya.” “Tidak memerlukannya? Nanti kau basah kuyup, pakaianmu akan menjadi kotor, dan kamu akan masuk angin.” “Yah, hanya gerimis.” “Cukup deras.” “Tapi, saya tidak mau mengenakan jas hujan. Saya benci memakainya.” “Tapi Sayang, kamu akan lebih hangat dan kering bila mengenakannya. Ayolah, ambil.” “Saya benci jas hujan itu – saya tidak mau mengenakannya!” “Cepat kembali ke kamarmu dan ambil jas hujan itu! Saya tidak akan mengijinkanmu ke sekolah tanpa mengenakan jas hujan pada hari seperti ini.” “Tapi saya tidak menyukainya....” “Tidak pakai ‘tapi-tapi’ – apabila kamu tidak mau mengenakannya kami akan memaksamu.” (MARAH) “Baik, bapak menang! Saya akan memakai jas hujan keparat itu!”

Sang ayah mendapatkan apa yang diinginkan. Keputusan ayah bahwa Yani akan mengenakan jas hujan terlaksana, sekalipun Yani tidak menghendaki demikian, orang tua menang dan Yani kalah. Yani sama sekali tidak senang dengan cara penyelesaian yang demikian, namun ia menyerah terhadap ancaman bahwa orang tuanya akan menggunakan kekuasaan (hukuman). Contoh berikut ini menunjukkan cara kerja Metode II dalam penyelesaian antara orang tua dan anak. Orang tua dan anak terlibat dalam suatu situasi konflik kebutuhan. Orang tua mungkin saja sudah mempunyai suatu cara penyelesaiannya, mungkin belum. Bila ada, ia akan mencoba mempengaruhi anak untuk menerimanya. Sudah jelas bahwa si anak pun sudah mempunyai cara penyelesaiannya sendiri dan ia sedang berusaha mempengaruhi orang tua untuk menerimanya. Apabila orang

112

tuanya menolak, anak akan mencoba mengunakan kekuatannya agar orang tua menurut. Pada akhirnya orang tua menyerah.

Sehubungan dengan konflik mengenai jas hujan, maka metode II kirakira akan bekerja sebagai berikut: “Daag. Saya mau berangkat ke sekolah.” “Hari hujan Sayang, kenapa kau tidak memakai jas hujan?” “Saya tidak memerlukannya.” “Tidak memerlukannya? Kamu akan basah kuyup, pakaianmu akan menjadi kotor, atau kau akan masuk angin.” YANI: “Hanya gerimis saja.” ORANG TUA: “Saya ingin agar kau memakainya.” YANI: “Saya membenci jas hujan itu. Saya tidak mau mengenakannya. Jika Bapak memaksa saya, saya akan marah.” ORANG TUA: “Baiklah, saya menyerah! Pergilah ke sekolah tanpa jas hujanmu, saya tidak ingin bertengkar denganmu lebih lama lagi – kau menang.” YANI: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA:

Yani berhasil memperoleh apa yang dikehendakinya – ia menang dan orang tuanya kalah. Orang tua itu tentu tidak senang dengan penyelesaian yang demikian, tetapi ia menyerah agar Yani tidak menggunakan kekuatannya (dalam hal ini, menjadi marah terhadap ayah). Metode I dan metode II mempunyai kesamaan sekalipun hasilnya berbeda. Dalam kedua metode tersebut, masing-masing menginginkan agar kemauannyalah yang dituruti dan masing-masing mengambil sikap “Saya mau demikian, dan kalau perlu saya akan memperjuangkannya”. Pada metode I, orang tua tidak mempertimbangkan dan tidak menghargai kebutuhan-kebutuhan anak. Pada metode II, anak tidak mempertimbangkan dan tidak menghargai kebutuhan-kebutuhan orang tua. Pada kedua-duanya, salah satu pergi dengan perasaan terpukul, biasanya disertai perasaan marah terhadap yang lainnya yang menyebabkan ia kalah. Kedua metode ini melibatkan suatu adu kekuatan, dan setiap pihak tidak segan-segan menggunakan kekuatan mereka apabila mereka merasa bahwa hal itu perlu untuk memperoleh kemenangan.

Kenapa Metode I Tidak Efektif? Demi kemenangannya, orang tua yang memakai Metode I untuk menyelesaikan suatu konflik membayar mahal sekali. Hasil dari Metode I ini sudah dapat diperkirakan sebelumnya – anak kurang berminat untuk memecahkan persoalan, sakit hati terhadap orang tua, orang tua mengalami kesukaran untuk memaksa pelaksanaannya, dan anak tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan disiplin diri. Apabila dalam suatu konflik orang tua memaksakan cara penyelesaian mereka sendiri, maka baik motivasi maupun kegairahan anak untuk

113

melaksanakan keputusan itu hanya kecil karena anak tidak merasa terlibat, dia tidak diberi kesempatan untuk mengajukan usul. Apa pun motivasinya pelaksanaan itu bukan berasal dari dalam dirinya – tetapi berasal dari luar dirinya. Bisa jadi ia patuh, tetapi hanya karena ia takut dihukum atau ditolak oleh orang tuanya. Tidak ada keinginan dari anak sendiri untuk melaksanakan apa yang diperlukan dan tidak lebih. Pada umumnya anak-anak merasa sakit hati terhadap orang tua mereka bila keputusan bercorak Metode I memaksa mereka menjalankan sesuatu. Mereka merasa diperlakukan tidak adil, mereka marah dan sakit hati terhadap orang tua, yang mereka anggap sebagai yang bertanggung jawab. Orang tua yang menggunakan Metode I kadang kala mendapat sikap menurut dan patuh dari anak-anak mereka, tetapi itu dibayar dengan sikap permusuhan dari anak-anak mereka. Perhatikanlah anak-anak yang baru saja menyelesaikan suatu konflik dengan orang tua mereka melalui Metode I; pada umumnya mereka akan menunjukkan suatu kesalahan dan kemarahan yang nampak pada raut muka mereka atau mengatakan sesuatu yang bernada permusuhan, atau bahkan mereka bisa menyerang orang tua mereka secara fisik. Metode I menaburkan benih-benih yang merusak dalam hubungan antara anak dan orang tua. Dendam dan kebencian akan mengambil alih tempat cinta dan kasih sayang. Orang tua yang menggunakan Metode I harus membayar ongkos mahal lainnya: mereka harus menghabiskan waktu yang lama untuk memaksakan putusan itu, mengawasi apakah anak betul-betul melaksanakannya, mengomel, mengingatkan mendorong. Para orang tua yang datang ke MOE, sering kali mempertahankan pilihan mereka pada Metode I dengan alasan bahwa metode itu merupakan jalan tercepat untuk memecahkan suatu konflik. Keuntungan ini sering kali hanyalah semu belaka, karena begitu banyak menuntut pengorbanan orang tua untuk mendapat kepastian bahwa keputusan itu dilaksanakan. Orang tua yang terbiasa menggunakan Metode I sering kali mengeluh karena mereka harus terus-menerus menegur anak-anaknya. Saya tidak dapat menghitung jumlah percakapan yang telah saya lakukan dengan orang tua di tempat praktek saya, yang serupa dengan percakapan di bawah ini: ORANG TUA:

“Anak-anak kami tidak mau membantu mengerjakan pekerjaanpekerjaan di rumah. Agar mereka mau menolong mengerjakan pekerjaan di rumah, rasanya kami harus selalu unjuk gigi. Setiap hari Sabtu seperti berperang saja rasanya untuk menggerakkan mereka turun tangan mengerjakan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Kami betul-betul harus mengawasi mereka untuk melihat apakah pekerjaan diselesaikan atau tidak.”

114

KONSELOR: ORANG TUA:

KONSELOR: ORANG TUA: KONSELOR: ORANG TUA: KONSELOR:

ORANG TUA: KONSELOR: ORANG TUA: KONSELOR: ORANG TUA:

“Bagaimana caranya memutuskan jenis pekerjaan yang harus dilakukan?” “Kamilah yang memutuskannya, karena kami tahu apa yang harus dikerjakan. Kami membuat daftar pada hari Sabtu pagi, dan anakanak melihat daftar itu dan tahu apa yang harus dikerjakan.” “Apakah anak-anak memang ingin bekerja?” “Oh, tentu tidak!” “Mereka merasa bahwa mereka wajib melaksanakannya.” “Ya, betul.” “Apakah anak-anak pernah diberi kesempatan untuk menentukan apa-apa yang harus dikerjakan? Apakah mereka mempunyai suara dalam memilih pekerjaan apa yang harus ditanganinya?” “Tidak.” “Pernahkah mereka diberi kesempatan untuk menentukan siapa harus mengerjakan apa?” “Tidak, kamilah yang membagi-bagi pekerjaan yang beraneka itu serata mungkin.” “Jadi Andalah yang menentukan apa yang harus dikerjakan dan siapa yang harus melaksanakannya?” “Ya, betul.”

Hanya sedikit orang tua yang melihat hubungan antara kurangnya motivasi anak-anak untuk membantu dengan kenyataan bahwa keputusan tentang tugas-tugas di rumah pada umumnya dibuat melalui Metode I. “Anak pemalas” itu sebenarnya sekedar seorang anak yang tidak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam kerja sama, orang tua selalu menggunakan Metode I sebagai cara untuk mengambil suatu keputusan. Memaksakan anak mengerjakan sesuatu, tidak membina kerja sama. Hasil lain yang dapat diramalkan dari Metode I adalah bahwa anak tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan disiplin dari – pengarahan “dari dalam” diri, inisiatif, bertingkah laku secara bertanggung jawab. Salah satu mitos yang umum diterima dalam mendidik anak-anak, adalah pendapat bahwa apabila orang tua memaksa anak-anak kecil untuk melakukan sesuatu, maka mereka kelak akan tumbuh menjadi anak yang mempunyai disiplin diri dan berkembang menjadi anak yang bertanggung jawab. Anak-anak yang menghadapi pemaksaan orang tua dengan bersikap menurut, patuh, dan mengalah biasanya tumbuh menjadi orang yang tergantung pada otoritas lain di luar diri mereka sendiri untuk mengontrol tingkah laku mereka. Sebagai remaja maupun orang dewasa, mereka tidak akan memiliki kemampuan mengendalikan diri yang berasal “dari dalam diri mereka sendiri”; sepanjang hidup mereka, mereka akan tergantung dari tokoh atau otoritas satu ke tokoh lainnya yang dapat memberi jawabanjawaban dalam kehidupan mereka atau dapat mengendalikan tingkah laku mereka. Orang-orang demikian kurang memiliki disiplin diri, pengendalian

115

yang berasal dari dalam dirinya, karena tak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan sikap-sikap semacam itu. Kalaupun hanya satu hikmah dapat dipetik dari buku ini, mudahmudahan itu adalah: bahwa memaksa anak melakukan sesuatu melalui penggunaan kekuasaan atau otoritas, berarti tidak memberi anak suatu kesempatan belajar mengembangkan disiplin diri dan tanggung jawab atas tindakannya sendiri. Chatib, seorang pemuda berumur 17 tahun yang mempunyai orang tua keras dan selalu menggunakan kekuasaan untuk memaksa Chatib mengerjakan pekerjaan rumah, memberi pengakuan sebagai berikut: “Apabila orang tua saya tidak ada di rumah, saya seolah-olah tak mampu meninggalkan TV. Saya sudah begitu terbiasa diperintah untuk mengerjakan pekerjaan rumah saya, sehingga saya tidak menemukan dalam diri saya sendiri suatu kekuatan yang mendorong untuk mengerjakannya apabila perintah itu tidak ada”. Saya juga teringat sebuah pesan menyedihkan yang ditulis dengan sebuah pemerah bibir pada sebuah cermin di kamar mandi oeleh seorang pembunuh anak, yang bernama William Heirens dari Chicago, segera setelah ia membunuh salah seorang korbannya: “Demi Allah, tangkaplah saya, sebelum saya membunuh lebih banyak lagi”.

Sebagian besar orang tua di dalam kursus MOE tidak pernah berkesempatan menguji secara kritis hasil dari “sikap mereka yang kaku” itu. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa mereka telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang tua, yaitu menggunakan otoritas mereka. Namun, sekali mereka dibantu untuk melihat akibat-akibat Metode I itu, jarang saja mereka tidak menerima kebenaran itu. Karena pada dasarnya, orang tua pun pernah menjadi anak yang juga mengembangkan kebiasaannya yang sama dalam menghadapi perlakuan orang tua mereka sendiri.

Kenapa Metode II Tidak Efektif Bagaimana dengan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga di mana mereka biasa menang dan orang tua kalah? Apakah akibatnya terhadap anak-anak yang biasa memperoleh apa yang diinginkan? Yang jelas anakanak ini akan berbeda dari mereka yang berasal dari keluarga yang menggunakan Metode I sebagai cara utama untuk menyelesaikan suatu konflik. Anak-anak yang terbiasa melakukan apa-apa yang mereka inginkan tidak begitu menunjukkan sikap memberontak, bermusuhan, tergantung pada orang lain, agresif, tertutup, menurut, mencari hati orang lain, menarik diri, dan sebagainya. Mereka tidak mengembangkan cara-cara untuk menghadapi kekuasaan orang tua. Metode II menumbuhkan keberanian anak untuk menghadapi kekuasaan orang tua, mengalahkan dan merugikan orang tua. Anak-anak ini tahu bagaimana melampiaskan amukan mereka guna mengendalikan orang tua; bagaimana membuat orang tua mereka merasa

116

bersalah; bagaimana berbicara kurang ajar dan mencela orang tua mereka. Anak-anak yang demikian sering kali sembrono, tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diatur, dan impulsif. Mereka menganggap kebutuhan mereka lebih penting daripada kebutuhan siapa pun. Mereka pun kurang memiliki kemampuan mengendalikan tingkah laku mereka sendiri dan menjadi orang yang berorientasi pada dirinya sendiri, menuntut, mementingkan diri sendiri. Anak-anak ini sering kali tidak menghargai milik atau perasaanperasaan orang lain. Hidup bagi mereka berarti mendapat, sekali lagi mendapatkan dan mendapatkan – mengambil, dan sekali lagi mengambil. “Aku” itulah yang terpenting. Anak-anak yang demikian jarang mau bekerja sama atau membantu di rumah. Anak-anak ini sering kali mengalami kesukaran dalam pergaulannya dengan anak-anak sebaya. Anak-anak lain tidak menyukai “anak-anak yang dimanja” – anak-anak tidak suka bergaul dengan mereka. Anak-anak yang datang dari rumah di mana Metode II amat dominan begitu terbiasa memperoleh apa-apa yang mereka kehendaki dari orang tua mereka, sehingga mereka pun ingin memaksakan kemauannya kepada anak-anak lain. Anak-anak ini pun sering kali mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di sekolah, yakni lembaga yang mendasarkan diri pada Metode I. Anakanak yang terbiasa dengan Metode II akan terkejut bila masuk sekolah dan menemukan bahwa kebanyakan guru dan pimpinan biasa menyelesaikan suatu konflik dengan menggunakan Metode I, yaitu berdasarkan sikap otoritas dan kekuasaan. Mungkin pengaruh paling serius dari Metode II adalah bahwa anak-anak sering kali mengembangkan perasaan-perasaan yang mendalam mengenai tidak pastinya cinta kasih orang tuanya. Tidaklah begitu sukar mengerti reaksi demikian, mengingat betapa sukarnya bagi orang tua untuk mencintai dan menerima anak yang selalu menang, sementara orang tua selalu kalah. Pada Metode I kekesalan terpancar dari anak ke orang tua dan pada Metode II dari orang tua ke anak. Pada Metode II anak merasa bahwa orang tuanya sering kesal, mudah terdinggung dan marah padanya. Bilamana kelak ia mendapat pesan yang sama dari anak-anak sebaya lainnya dan mungkin pula dari orang tua lainnya, maka tidaklah mengherankan apabila ia mulai merasa tidak ada yang mencintainya – karena, tentu saja, ia memang begitu sering tidak dicintai oleh orang lain. Ada penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang menggunakan Metode II ternyata lebih kreatif daripada mereka yang berasal dari rumah tangga yang menggunakan Metode I, tetapi kerap kali orang tua harus membayar imbalan yang cukup tinggi karena tidak kuat menghadapi anak-anak yang kreatif tersebut.

117

Di dalam keluarga dengan Metode II, sering kali orang tua menderita. Demikianlah kira-kira gambaran suasana keluarga-keluarga itu, sebagaimana sering kali saya dengar dari cerita orang tua: “Ia melakukan semaunya saja, dan Anda sama sekali tidak dapat mengendalikannya”. “Saya bersyukur kalau semua anak sudah masuk sekolah, dengan demikian saya bisa memperoleh ketenangan.” “Menjadi orang tua itu merupakan suatu beban – sepanjang waktu saya sibuk melayani anak-anak saja.” “Yang saya ingin katakan adalah, kadang-kadang saya tidak tahan lagi – ingin minggat saja.” “Anak-anak jarang sekali menyadari bahwa saya pun perlu hidup.” “Kadang kala – dan saya merasa berdosa untuk mengatakan demikian – saya ingin menenggelamkan mereka dan menyerahkan mereka pada orang lain.” “Saya begitu malu membawa serta mereka berkunjung ke mana-mana atau mengundang kenalan-kenalan ke rumah kami untuk melihat anak-anak itu.”

Peranan orang tua dalam Metode II jarang merupakan sesuatu yang menyenangkan – alangkah malang dan sedihnya membesarkan anak-anak yang tidak dapat Anda cintai, atau bahkan Anda benci.

Beberapa Masalah Tambahan dari Penggunaaan Metode I dan Metode II Sedikit orang tua yang menggunakan Metode I saja atau Metode II semata-mata. Di dalam banyak keluarga salah satu orang tua menekankan pada Metode I, sedangkan orang tua satunya pada Metode II. Ada beberapa bukti bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang demikian punya kemungkinan lebih besar untuk mengidap kesulitan-kesulitan emosional yang parah. Boleh jadi keadaan serba tidak menentu ini lebih berbahaya daripada penggunaan salah satu cara pendekatan saja. Beberapa orang tua mulai dengan menggunakan Metode II, namun setelah anak menjadi lebih besar dan menjadi orang yang semakin tak tergantung dan mempunyai kemauan sendiri, mereka bergeser ke Metode I. Jelas ini dapat merugikan anak yang semula terbiasa memperoleh apa saja yang mereka kehendaki dan kini mulai mengalami keadaan sebaliknya. Beberapa orang tua lain mulai dengan menggunakan Metode I dan kemudian beralih ke Metode II. Khususnya ini sering terjadi pada orang tua yang mempunyai anak yang semula suka memberontak dan menentang otoritas orang tua; lambat-laun orang tua itu menyerah dan kemudian mengikuti kemauan anak. Adapula orang tua yang mulai menggunakan Metode I pada anak sulung mereka dan pada anak kedua berganti dengan Metode II, dengan harapan akan memperoleh hasil yang lebih baik. Di dalam keluarga-keluarga sering terdengar bahwa anak sulung memendam rasa dendam terhadap adiknya, yang boleh melakukan hal-hal yang bagi anak sulung merupakan hal

118

terlarang. Kadang kala anak sulung ini mengira bahwa kejadian itu merupakan bukti bahwa orang tuanya “pilih kasih” terhadap anak kedua. Pola umum yang ada, khususnya di antara para orang tua yang sangat dipengaruhi oleh anjuran untuk memberi kebebasan dan menentang pemberian hukuman, adalah membiarkan anak menang terus-menerus sampai tingkah laku itu menjadi begitu buruk sehingga orang tua secara mendadak beralih ke Metode I. Mereka kemudian merasa berdosa dan kembali bergeser ke Metode II, dan lingkaran itu setiap kali kembali lagi. Salah seorang dari orang tua mengekspresikannya secara jelas sebagai berikut: “Saya membiarkan anak-anak saya sampai saya tidak tahan lagi. Kemudian saya menjadi sangat otoriter sampai sayatidak tahan lagi dengan sikap saya itu.”

Namun banyak orang tua, terjerat baik oleh Metode I ataupun Metode II. Dengan keyakinan penuh atau hanya karena tradisi, orang tua menjadi penganjur gigih dari Metode I. Dari pengalamannya ia menemukan bahwa metode tersebut tidak begitu baik hasilnya dan bahkan bisa menimbulkan perasaan bersalah karena menjadi penganut Metode I; ia tidak menyukai dirinya sendiri karena memberi batasan, mendominasi, ataupun menghukum. Namun satu-satunya pilihan lain yang dikenal adalah Metode II – yaitu membiarkan anak menang. Secara naluriah, orang tua itu tahu bahwa hasilnya pun tidak akan membawa kebaikan, bahkan bisa menjadi lebih buruk. Dengan demikian ia berpegang teguh pada Metode I, sekalipun ia tahu bahwa metode itu akan membuat anak menderita dan lebih merusak hubungan orang tua – anak. Kebanyakan orang tua yang menggunakan metode II tidak suka berpindah ke cara pendekatan yang otoriter sifatnya karena mereka mengikuti falsafah yang menentang sikap otoriter terhadap anak ataupun karena kepribadian mereka sendiri memang tidak memungkinkan untuk menggunakan kekuatan yang diperlukan atau karena mereka tidak tahan mengalami konflik. Saya mengenal banyak ibu, dan beberapa ayah, yang menganggap Metode II lebih menyenangkan karena mereka takut terlibat dalam suatu konflik dengan anak-anak mereka (dan umumnya dengan siapa pun juga). Orang tua yang demikian, tidak mau mengambil resiko menggunakan kekuasaan mereka atas anak-anak, mereka memilih cara pendekatan seperti “asal damai” – menyerah, menentramkan, dan pasrah. Dilema yang dihadapi kebanyakan orang tua yang datang ke kursus MOE, nampaknya terjerta dalam Metode I atau Metode II, atau terombangambing antara keduanya, karena mereka tidak mengetahui pilihan lain selain dari kedua metode “menang-kalah” yang tidak efektif ini. Kami mendapat kesan bahwa kebanyakan orang tua bukan hanya tahu metode mana paling sering mereka gunakan; mereka pun menyadari bahwa kedua metode tersebut tidak efektif. Nampaknya mereka menyadari bahwa mereka

119

berada dalam keadaan yang sulit, biar metode mana pun yang mereka gunakan, tetapi tidak tahu metode apa yang lebih baik. Kebanyakan dari mereka bersyukur bahwa mereka akhirnya dibebaskan dari perangkap yang mereka buat sendiri.

120

10 Kekuasaan Orang Tua: Apakah Perlu dan Dapat Dibenarkan? Suatu keyakinan yang umumnya sudah berurat berakar mengenai pendidikan anak adalah bahwa orang tua merasa perlu dan berhak menggunakan kekuasaan mereka dalam mengatur, mengarahkan, dan membina anak-anak. Dari beribu-ribu orang tua di kelas kami, hanya beberapa saja yang mempersoalkan atau menanyakan gagasan tersebut. Kebanyakan dari mereka cepat membenarkan penggunaan kekuasaan mereka. Mereka beranggapan bahwa anak-anak membutuhkan dan menginginkan atau menganggap orang tualah yang lebih bijaksana. “Ayah mengetahui yang terbaik”, demikian bunyi pepatah lama. Gagasan yang sulit dihilangkan, bahwa orang tua harus menggunakan kekuasaan dalam menghadapi anak-anak, menurut pendapat saya, selama berabad-abad merupakan penghalang bagi terciptanya perubahan atau perbaikan cara-cara mendidik anak atau cara-cara orang dewasa memperlakukan anak. Bertahannya gagasan ini sebagian karena para orang tua pada umumnya tidak mengerti arti sebenarnya dari kekuasaan atau apa pengaruhnya bagi anak. Semua orang tua sangat mudah berbicara mengenai kekuasaan tetatpi jarang yang dapat merumuskannya atau memerinci sumber-sumber kekuasaan mereka.

APAKAH KEKUASAAN ITU? Salah satu ciri dasar dalam hubungan orang tua – anak adalah: orang tua mempunyai “ukuran psikologis” yang lebih besar daripada anak. Kalau kita mencoba menggambarkan masing-masing sebagai sebuah lingkaran, maka adalah salah apabila kita menggambarkannya seperti ini: orang tua anak

Berapa pun umur anak, maka ia tahu bahwa orang tua mempunyai “ukuran” yang tidak sama dengan dirinya. Saya tidak membicarakan ukuran fisiknya (walaupun perbedaan fisik tetap ada sampai anak mencapai masa remaja), namun lebih menekankan “ukuran psikologisnya”. Suatu penggambaran yang lebih tepat mengenai hubungan antara orang tua – anak adalah seperti ini:

121

orang tua anak

Bagi anak, orang tua selalu mempunyai “ukuran psikologis” yang lebih besar daripada dirinya, ini akan membantu menerangkan ungkapanungkapan seperti “Babe”, “Tuan besar”, “Ayah pengendali besar hidup saya”, “Ia orang besar bagiku”, atau “Saya tidak berdaya terhadapnya”, “Saya menggunakan setiap kesempatan di mana saya dapat mengecilkan ukuran mereka.” Berikut ini, suatu kutipan dari tulisan yang diperlihatkan pada saya oleh seorang pemuda yang mengalami kesulitan dan meminta saya menjadi pembimbingnya: “Karena saya seorang anak kecil, saya memandang orang tua saya sebagaimana orang dewasa memandang Tuhan ....”

Perbedaan “ukuran psikologis”ini terjadi tidak hanya karena anak-anak melihat orng tua mereka sebagai lebih besar dan lebihkuat, tetapi juga sebagai yang bijaksana dan leih mampu. Bagi anak-anak yang masih kecil agaknya tidak ada sesuatu pun yang tidak diketahui ataupun tidak dapat dilakukan oleh orang tua mereka. Anak sungguh-sungguh mengagumi luasnyapengertian mereka, jitunya ramalan mereka, adilnya penilaian mereka. Anggapan ini pada saat tertentu ada yang tepat dan ada yang tidak. Banyak sifat, ciri maupun kemampuan yang diberikan anak-anak pada orang tua sebenarnya tidak berdasarkan kenyataan yang ada. Hanya beberapa orang tua yang mengetahui sebanyak yang diperkirakan anakanak. Pengalaman tidak selalu merupakan “guru yang terbaik”, ini akan disimpulkan anak kelak, bila ia menginjak remaja dan menjadi dewasa dan menilai orang tua mereka atas suatu dasar yang lebih luas daripada pengalamannya sendiri. Dan kebijaksanaan tidak selalu seiring dengan umur. Banyak di antara para orng tua sukar mengakui ini, namun mereka yang lebih jujur terhadap diri sendiri akan mengenali bagaimana penilaian anak terhadap ibu-bapak mereka terlalu berlebihan. Sementara segala sesuatu lebih menyokong ukuran psikologis orang tua yang lebih besar; atau banyak orang tua akan mencoba mempertahankan itu. Terhadap anak, mereka sengaja mencoba menyembunyikan keterbatasan-keterbatasan dan kesalahan-kesalahan mereka dalam membuat pertimbangan; atau mereka membuat mitos-mitos seperti “Kamilah yang

122

paling mengetahui apa yang terbaik bagi kalian”, atau “Kalau kamu sudah lebih besar, kamu akan menyadari bahwa kami benar”. Saya selalu tertarik bila memperhatikan bahwa jika oarang tua berbicara mengenai ibu dan bapak mereka sendiri, mereka cepat mengenali kesalahan-kesalahan dan keterbatasan-keterbatasan orang tua mereka; namun mereka akan menolak mati-matian bahwa mereka telah membuat kesalahan yang sama dalam menilai dan bersikap kurang bijaksana dalam hubungan mereka terhadap anak-anak mereka sendiri. Namun meskipun tidak selayaknya, orang tua memang secara psikologis memperoleh ukuran yang lebih besar – hal ini merupakan sumber penting dari kekuasaan orang tua terhadap anak. Oleh karena orang tua dilihat sebagai kekuasaan yang demikian maka usaha-usaha untuk mempengaruhi anak mempunyai arti yang besar. Barang kali akan bermanfaat kalau kita menyebutnya sebagai “otoritas yang terberi” karena anaklah yang memberikannya pada orang tua. Terlepas daripada patut tidaknya, soal ini cukup relevan dengan kenyataan bahwa “ukuran psikologis” memberi orang tua pengaruh atas anak itu. Suatu kekuasaan yang sama sekali berbeda berdasar atas kenyataan bahwa orang tua memiliki hal-hal yang diperlukan anak-anaknya. Ini pun memberikan otoritas bagi mereka. Orang tua mempunyai kekuasaan atas anak-anaknya oleh karena anak-anak begitu tergantung padanya dalam hal pemuasan kebutuhan dasar mereka. Anak-anak dilahirkan di dunia dalam keadaan hampir sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memperoleh makanan dan pengasuhan fisiknya. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan itu. Semuanya itu dikuasai dan dikendalikan oleh orang tua. Dengan bertambahnya umur, dan apabila mendapat kesempatan menjadi lebih tidak tergantung pada orang tua, maka dengan sendirinya kekuasaan itu makin lama makin berkurang. Namun pada usia berapa saja, sampai pada anak memasuki masa dewasa, di mana ia dapat berdiri sendiri dan hampir mampu memenuhi kebutuhan dasar sepenuhnya atas usaha sendiri, sampai tingkat tertentu orang tuanya tetap masih mempunyai kekuasaan atas dirinya. Sehubungan dengan pemuasan dasar si anak, orang tua mempunyai kemampuan untuk “menghadiahi” anak. Ahli psikologi menggunakan istilah “hadiah” atau “ganjaran” untuk segala sesuatu yang dimiliki orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak (memperoleh hadiah daripadanya). Apabila seorang anak lapar (mempunyai kebutuhan akan makan) dan orang tua memberikannya sebotol susu, kita katakan bahwa anak itu diberi hadiah (kebutuhan makan telah dipuaskan atau dipenuhi). Orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya sakit ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang

123

dibutuhkan (tidak memberi makan pada anak yang sedang lapar) ataupun melakukan sesuatu yang menimbulkan rasa sakit atau tidak senang (memukul tangan anak bila ia menggapai gelas kakaknya yang berisi susu). Ahli psikologi menggunakan istilah “hukuman” sebagai lawan dari “hadiah” atau “ganjaran”. Setiap orang tahu dari pengalamannya sendiri bahwa manusia (dan binatang) cenderung untuk mengulangi tingkah laku yang dapat menghasilkan hadiah dan menjauhi tingkah laku yang tak menghasilkan bahkan mendatangkan hukuman. Dengan demikian orang tua dapat “memperkuat” suatu tingkah laku tertentu dari anak dengan memberikan hadiah, dan menghilangkan tingkah laku lain dengan pemberian hukuman. Anda ingin agar anak Anda bermain dengan permainan baloknya, tidak dengan asbak mahal yang terbuat dari keramik di atas meja tamu. Untuk memperkuat kebiasaan bermain dengan balok-balok, hendaknya Anda duduk bersama dia pada saat ia sedang bermain dengan balok-baloknya, sebentar-sebentar tersenyum, dan menunjukkan sikap menyenangkan atau berkata, “Begitulah anak yang baik”. Untuk menghilangkan kebiasaannya bermain dengan asbak, Anda dapat memukul tangannya, memukul pantatnya, mengerutkan dahi, menunjukkan wajah yang tidak mengiyakan, ataupun mengatakan “Itu bukan anak yang baik”. Anak akan cepat belajar bahwa bermain dengan balok-balok akan menimbulkan suatu hubungan yang menyenangkan dengan kekuasaan orang tua. Dan tidak demikian halnya bila ia bermain dengan asbak. Ini sering dilakukan oleh orang tua untuk mengubah tingkah laku anakanak. Biasanya disebut sebagai “melatih anak”. Sebenarnya orang tua itu menggunakan kekuasaannya dengan tujuan agar anak melakukan sesuatu sebagaimana dikehendaki ataupun mencegah anak melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki orang tua. Cara yang sama dilakukan oleh pelatih-pelatih anjing untuk mengajarkan kepatuhan, dan oleh mereka dari kalangan sirkus untuk melatih beruang mengendarai sepeda. Apabila seorang pelatih menghendaki agar anjing itu berjalan didekatnya, ia mengikat leher anjing itu dengan tali dan mulai berjalan, sambil memegang ujung tali. Kemudian ia berkata, “Maju”. Apabila anjing itu tidak mau mendekati pelatih, ia akan menerima sentakan yang sakit di leher (hukuman). Bila ia jalan di samping pelatih, ia mendapat belaian di kepala (hadiah). Anjing itu akan cepat belajar untuk berjalan di dekat pelatih dan menuruti perintahnya. Tidak ada yang dirugikan: kekuasaan jelas mempunyai pengaruh. Melalui cara-cara ini anak-anak dapat dilatih untuk bermain dengan balokbalok dan bukan dengan asbak yang mahal harganya; anjing dapat dilatih berjalan atas perintah; dan beruang naik sepeda (bahkan mengendarai sepeda roda satu secara menakjubkan).

124

Pada usia yang sangat muda pun, setelah diberi hadiah dan hukuman secukupnya, anak-anak cukup dapat dikendalikan dengan hanya janji hadiah apabila mereka bertingkah laku tertentu, atau ancaman hukuman apabila mereka bertingkah laku dengan cara yang tidak diinginkan. Keuntungan cara-cara ini jelas, yaitu bahwa orang tua tidak perlu menunggu sampai tingkah laku yang diinginkan terjadi agar dapat memberi hadiah (untuk memperkuat), ataupun menunggu tingkah laku yang tidak diinginkan untuk kemudian diberi hukuman atasnya (untuk menghilangkannya). Pada saat itu ia dapat mempengaruhi si anak hanya dengan memberitahukan akibatnya, “Bila kau berkelakuan tertentu kau akan kuberi hadiah; jika kau berkelakuan lainnya, saya akan memberimu hukuman”.

KETERBATASAN-KETERBATASAN SERIUS DARI KEKUASAAN ORANG TUA Apabila para pembaca berpendapat bahwa kekuasaan orang tua untuk memberi hadiah ataupun hukuman (atau menjanjikan hadiah dan mengancam dengan hukuman) nampak sebagai suatu cara yang dapat mengendalikan anak-anak, maka di satu pihak ia betul, namun di lain pihak ia salah: Penggunaan otoritas orang tua, untuk kondisi tertentu nampak efektif, namun tidak untuk kondisi yang lain. (Pada kesempatan lain akan saya kemukakan bahaya-bahaya yang sesungguhnya dari kekuasaan orang tua). Banyak, bahkan barangkali hampir semua akibat sampingannya merugikan. Sebagai hasil “latihan kepatuhan”, misalnya anak-anak sering ketakutan, menjadi penakut, dan gugup; malah sering kali menunjukkan sikap yang bermusuhan dan ingin membalas dendam pada para “pelatih” mereka; dan kerap jatuh sakit atau menjadi emosional di bawah tekanan yang dirasakan pada waktu berusaha mempelajari tingkah laku yang mendatangkan kesulitan atau tidak menyenangkan mereka. Penggunaan kekuasaan dapat menimbulkan akibat-akibat yang merugikan, selain resikoresiko untuk para pelatih binatang – ataupun anak-anak.

Kekuasaan Orang tua pada Akhirnya Surut Penggunaan kekuasaan untuk mengendalikan anak hanya akan berhasil bagi situasi tertentu. Orang tua harus yakin memiliki kekuasaan itu – hadiahnya harus cukup menarik bagi anak dan hukumannya harus cukup kuat, sehingga ada usaha untuk menghindarinya. Anak hendaknya tergantung pada orang tua; semakin anak itu tergantung pada apa yang dimiliki orang tua (hadiah-hadiahnya), semakin besar kekuasaan orang tua. Ini adalah suatu kenyataan yang ada dalam setiap hubungan antarmanusia. Apabila saya sangat membutuhkan sesuatu – katakanlah uang untuk membeli makanan bagi anak-anak saya – dan saya tergantung hanya pada orang lain untuk memperoleh uang tersebut, misalnya majikan saya,

125

maka jelaslah bahwa ia akan mempunyai kekuasaan yang besar atas diri saya. Apabila saya hanya tergantung pada seorang majikan ini, saya cenderung untuk melakukan hampir semua kehendaknya untuk menjamin bahwa saya akan memperoleh apa yang saya butuhkan itu. Namun seseorang hanya mempunyai kekuasaan atas orang lain selama orang yang kedua itu berada dalam kedudukan yang lemah. Yang kekurangan, yang membutuhkan, yang tidak berdaya, yang tergantung. Semakin seorang anak dapat menolong dirinya, kurang tergantung lagi pada orang tuanya, kekuasaan orang tua secara bertahap akan berkurang. Inilah yang menyebabkan mengapa orang tua itu akan kecewa setelah menyadari bahwa hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman yang berpengaruh ketika anak masih kecil, kini menjadi kurang efektif setelah anak bertambah umur. “Kami kehilangan pengaruh kami atas anak kami”, demikian keluhan salah satu orang tua. “Tadinya ia menghargai kekuasaan kami, tetapi sekarang kami tidak kuasa mengendalikannya lagi”. Yang lain berkata, “Putri kami telah menjadi begitu tidak tergantung lagi pada kami – kami tidak tahu bagaimana caranya agar ia mau mendengarkan kami”. Seorang ayah dari pemuda berumur 15½ tahun bercerita dalam kelas MOE akan ketidakberdayaannya sebagai berikut: “Kami tidak mempunyai apa-apa lagi untuk mendukung otoritas kami terhadapnya, kecuali mobil keluarga. Itu pun sekarang sudah tidak begitu manjur lagi, karena ia telah mengambil kunci kami dan membuat duplikat untuk dirinya. Pada saat kami tidak ada di rumah, ia menggunakan mobil itu sekehendaknya. Kini sejak kami tidak mempunyai apa-apa lagi yang ia butuhkan, saya tidak dapat menghukumnya lagi”.

Kedua orang tua ini mengungkapkan perasaan yang juga dialami oleh para orang tua lain sewaktu anak-anak mereka menjelang dewasa dan mulai melepaskan ketergantungan mereka. Ini jelas akan terjadi sejak anak menginjak masa remaja. Kini ia akan memperoleh banyak hadiah melalui aktivitasnya sendiri (sekolah, olahraga, sahabat-sahabat, prestasi-prestasi). Ia pun mulai memperoleh cara-cara untuk menghindari hukuman-hukuman orang tuanya. Di dalam keluarga-keluarga di mana orang tua tergantung sepenuhnya pada kekuasaan mereka untuk mengarahkan dan mengendalikan anak-anak mereka sewaktu masih kecil, tidak akan dapat dihindari kejutan yang menyakitkan ini setelah kekuasaan mereka menyurut dan pengaruh mereka tinggal sedikit atau bahkan tidak ada lagi sama sekali.

Remaja-remaja yang Membuat Cemas Kini saya yakin bahwa kebanyakan teori yang bicara mengenai “tekanan-tekanan dan ketegangan-ketegangan dalam masa remaja” telah melakukan penyorotan keliru pada faktor-faktor seperti perubahanperubahan fisik, perkembangan kehidupan seksualitasnya, tuntutan-tuntutan sosial yang baru, pergulatan antara dirinya sebagai orang yang sudah

126

dewasa dan sebagainya. Periode ini menjadi periode yang sukar bagi anak maupun bagi orang tuanya, sebagian besar disebabkan oleh karena si remaja menjadi begitu tidak tergantung lagi pada orang tua mereka. Dan oleh karena kebanyakan orang tua begitu mengandalkan diri pada hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman, maka para remaja justru bereaksi dengan menunjukkan tingkah laku yang lebih mengandung ketidaktergantungannya, bersikap bertahan, memberontak, dan memperlihatkan sikap yang bermusuhan. Para orang tua beranggapan bahwa sikap berontak dan bermusuhan remaja itu merupakan fungsi tahap perkembangan yang tidak dapat diingkari. Saya kira ini tidak benar – hal tersebut lebih disebabkan karena para remaja itu menjadi semakin mampu untuk bertahan dan memberontak. Ia tidak lagi dikendalikan oleh sistem hadiah orang tua mereka, karena ia tidak lagi begitu membutuhkannya; dan ia kebal terhadap sistem hukuman karena sudah tidak mempan lagi. Remaja biasanya bertingkah laku demikian karena ia telah memperoleh kekuatan dan kemampuan yang cukup untuk memuaskan kebutuhannya sendiri serta memiliki kekuasaan diri yang cukup hingga ia tidak perlu takut menghadapi kekuasaan orang tuanya. Maka, seorang remaja bukannya berontak terhadap orang tuanya. Ia hanya berontak terhadap kekuasaan orang tuanya. Apabila para orang tua tidak begitu mengandalkan pada kekuasaan mereka, dan lebih menggunakan sistem kekuasaan untuk mempengaruhi anak-anak mereka semenjak kecil, maka setelah mereka menjadi remaja kemungkinan untuk memberontak lebih sedikit. Penggunaan kekuasaan untuk mengubah tingkah laku anak-anak dapat dikatakan sangat terbatas sifatnya: Tidak dapat dimungkiri bahwa orang tua akan kehilangan kekuasaan, dan lebih cepat daripada yang mereka perkirakan.

Mendidik dan Menggunakan Kekuasaan Membutuhkan Kondisikondisi yang Ketat Pembatasan lain dalam hal penggunaan sistem hadiah dan hukuman untuk mempengaruhi anak yaitu: membutuhkan kondisi yang dikendalikan secara sangat ketat selama masa “latihan” pendidikan. Psikolog-psikolog yang mempelajari proses belajar dengan menggunakan binatang-binatang di dalam laboratorium, menemukan banyak kesukaran dengan “binatang percobaan” mereka kecuali dengan menciptakan kondisi-kondisi yang ketat. Banyak syarat-syarat tersebut sangat sulit dipenuhi dalam melatih anak-anak melalui sistem hadiah dan hukuman. Kebanyakan orang tua, hampir setiap hari melanggar salah satu atau mungkin lebih dari “aturan-aturan” untuk melakukan “latihan” secara efektif.

127

1. “Subyek” hendaknya bermotivasi kuat – ia harus benar-benar mempunyai kebutuhan kuat untuk “bekerja guna memperoleh hadiah itu”. Tikus-tikus harus dilaparkan agar dapat belajar bagaimana caranya, melalui jalan-jalan yang berliku-liku, mendapatkan makanan pada ujung jalan. Orang tua sering kali mencoba mempengaruhi anak dengan menawarkan suatu hadiah pada anak yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkannya (menjanjikan pada anak akan menyanyikan sebuah lagu baginya apabila ia pergi tidur pada waktunya, padahal anak tidak menginginkan nyanyian itu). 2. Apabila hukumannya terlalu kejam, subyek sama sekali akan menghindari situasi tersebut. Apabila tikus-tikus itu diberi aliran listrik agar belajar untuk tidak memasuki lorong yang buntu, maka mereka akan “berhenti mencoba” belajar mencari jalan keluar bilamana aliran listrik itu terlalu kuat. Apabila seorang anak diberi hukuman yang terlalu kuat atas suatu kesalahan, boleh jadi ia akan “belajar” untuk tidak mencoba lagi melakukan sesuatu dengan baik. 3. Hadiah hendaknya tersedia dalam waktu yang cukup cepat agar dapat berpengaruh atas tingkah laku subyek. Untuk melatih seekor kucing agar ia dapat menekan tombol yang tepat yang dapat menghasilkan makanan, maka apabila jarak waktu antara penekanan tombol yang betul dengan pengeluaran makanan itu terlalu lama, si kucing tidak akan belajar mengetahui tombol mana yang betul. Coba saja mengatakan pada anak bahwa ia mengerjakan tugas-tugasnya sekarang, maka ia boleh pergi ke Ancol tiga minggu yang akan datang, Anda akan menemukan bahwa hadiah yang terlalu jauh dijanjikan itu kurang kuat untuk mendorongnya melakukan tugas-tugas di rumah saat itu. 4. Harus ada suatu keajekan dalam memberikan hadiah bagi tingkah laku yang diinginkan dan hukuman bagi tingkah laku yang tidak diinginkan dan hukuman bagi tingkah laku yang tidak diinginkan. Apabila Anda memberikan makanan pada anjing di ruang tamu dan memberikan hukuman padanya apabila ia meminta-minta pada saat Anda kedatangan tamu, maka anjing itu akan menjadi bingung dan mengalami frustasi (kecuali apabila ia telah belajar membedakan saat-saat kapan Anda kedatangan tamu, dan kapan tidak). Orang tua sering tidak konsisten dalam menggunakan sistem hadiah dan hukuman. Misalnya: kadang kala anak diperkenankan jajan antara waktu makan, namun ibu melarangnya apabila kebetulan hari itu telah membuat sesuatu yang khusus dan ibu tidak menginginkan anak itu akan berkurang nafsu makannya pada waktu malamnya (mungkin lebih tepat bila dikatakan makan malam dari sang ibu?). 5. Sistem hadiah dan hukuman biasanya kurang efektif untuk mengajarkan tingkah laku yang kompleks sifatnya, kecuali dengan menggunakan metodemetode yang sangat kompleks dan metode “penguatan” yang sangat memakan waktu. Memang benar bahwa ada psikolog-psikolog yang berhasil mengajari burung merpati menggunakan peluru kendali (boleh percaya, boleh tidak), namun prestasi-prestasi demikian membutuhkan latihan yang sangat sukar dan membutuhkan banyak waktu di bawah kondisi yang dikendalikan secara ketat.

128

Para pembaca yang memiliki binatang, tahu betapa sulitnya melatih seekor anjing agar bermain di halaman rumah sendiri, mengambil baju hangat apabila hujan, atau berbaik hati membagi makanannya dengan anjing-anjing tetangga. Namun orang-orang tersebut tidak akan bertanya mengenai kemungkinan mengajari anak tingkah laku yang sama, dengan menggunakan sistem hadiah dan hukuman. Dengan memberikan hadiah dan hukuman, seorang anak dapat diajar untuk tidak menyentuh benda-benda di meja tamu atau mengatakan “tolong ambilkan” apabila meminta sesuatu di waktu makan, namun orang tua akan merasakan bahwa cara ini kurang efektif untuk menghasilkan kebiasaan belajar yang baik, bersikap jujur, bersikap baik terhadap anak-anak lain, ataupun bersikap koperatif sebagai salah satu anggota keluarga. Pola-pola tingkah laku yang kompleks itu sebenarnya bukan diajarkan pada anakanak; namun anak-anak itu belajar dari pengalamannya sendiri dalam pelbagai situasi, dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor lainnya. Saya baru menunjukkan hanya sedikit dari pelbagai keterbatasan dalam hal menggunakan sistem hadiah dan hukuman untuk melatih anak-anak. Ahli-ahli psikologi yang mendalami soal proses belajar mengajar dan latihan tentu dapat menambah banyak lagi. Melatih binatang atau anak-anak untuk melakukan tindakan-tindakan yang kompleks berdasarkan pemberian hadiah dan hukuman tidak hanya merupakan suatu ketrampilan tersendiri, karena menuntut pengetahuan yang luas dan ketersediaan waktu yang lama dan kesabaran, namun yang lebih penting yaitu: pelatih binatang sirkus yang trampil dan ahli-ahli psikologi eksperimental bukan model yang baik bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya sendiri agar bertingkah laku sebagaimana dikehendaki orang tua.

PENGARUH KEKUASAAN ORANG TUA ATAS DIRI ANAK Walaupun kekuasaan itu mempunyai keterbatasan yang serius, anehnya cara ini tetap dipilih oleh kebanyakan orang tua dari pelbagai taraf pendidikan, tingkatan sosial ataupun ekonomi. Para pembina MOE kerap menemukan bahwa pasangan orang tua dari kelas mereka secara mengejutkan menyadari pengaruh jelek dari kekuasaan itu. Kami hanya perlu menanyakan pada orang-orang tersebut untuk mengungkapkan kembali pengalaman mereka sendiri dan menceritakan kepada kami bagaimana pengaruh kekuasaan orang tua mereka sendiri atas diri mereka. Suatu paradoks yang aneh adalah bahwa mereka ingat bagaimana pengaruh kekuasaan yang ditimpakan pada mereka sewaktu masih anak-anak membuat mereka menderita namun “lupa” pada waktu mereka mengenakan kekuasaan atas anak-anak mereka sendiri. Pada setiap kelas, kami meminta untuk membuat suatu daftar mengenai apa saja yang mereka lakukan dalam menghadapi kekuasaan orang tua mereka. Masing-

129

masing kelas membuat daftar dari mekanisme-mekanisme perlawanan yang tidak jauh berbeda dari daftar ini: Mempertahankan diri, menentang, memberontak, menyangkal. Perasaan benci, marah, bersikap bermusuhan. Menyerang, mendendam, memukul kembali. Berbohong, menyembunyikan perasaan. Menyalahkan orang lain, mengadu, menipu. Menguasai, mengatur, memaksakan kehendak. Mau menang sendiri, tidak mau kalah. Membentuk persekutuan, berorganisasi melawan orang tua. Bersikap tunduk, patuh, menurut. Mengambil hati, menjilat. Menyesuaikan diri, tidak memiliki kreativitas, takut mencoba sesuatu yang baru, membutuhkan suatu jaminan akan mencapai suatu sukses. 12. Menarik diri, menghindar, berfantasi, regresi. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Mempertahankan Diri, Menentang, Memberontak, Menyangkal Salah seorang di antara orang tua mengenang kembali suatu kejadian yang pernah dialami dengan ayahnya: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA: YANI:

“Kalau tidak berhenti bicara, saya tampar kau.” “Lakukan, pukullah.” (Memukul anak). “Pukul lagi, kurang keras, saya tidak akan berhenti bicara!”

Beberapa anak justru berontak terhadap penggunaan kekuasaan oleh orang tua dengan melakukan hal-hal yang justru berlawanan dengan apa yang diinginkan orang tua. Salah seorang ibu bercerita demikian: “Kami menggunakan kekuasaan kami untuk 3 hal utama, yang harus dikerjakan putri kami yaitu bersikap rapi dan cermat, pergi ke gereja secara teratur, dan menghindari minuman keras. Kami selalu berlaku ketat dalam hal ini. Sekarang kami baru tahu betapa ia menjadi seorang ibu rumah tangga yang paling tidak baik yang pernah saya temui, ia tidak pernah menginjakkan kaki di Gereja dan hampir setiap malam minum alkohol”.

Dalam salah satu acara terapi, seorang remaja berkisah demikian: “Saya bahkan tidak pernah berusaha untuk memperoleh angka yang tinggi di sekolah, karena orang tua saya begitu menekan saya untuk menjadi murid teladan. Apabila saya mendapatkan angka yang tinggi, hal tersebut akan membuat mereka senang – seperti merekalah yang benar dan menang. Saya tidak akan membiarkan mereka mempunyai perasaan yang demikian. Makanya saya tidak mau belajar”.

Seorang remaja lain berkisah mengenai reaksi-reaksinya terhadap omelan orang tuanya tentang rambut gondrongnya: “Saya kira saya akan memotong rambut saya, asalkan mereka tidak mengomel-omel terus. Selama mereka mendesak saya agar saya memotongnya, saya akan tetap membiarkannya tetap panjang”.

Reaksi-reaksi demikian terhadap kekuasaan orang dewasa adalah umum. Dari generasi ke generasi, anak-anak mempertahankan diri dan

130

memberontak terhadap kekuasaan orang dewasa. Sejarah telah mencatat bahwa tidak banyak perbedaan antara generasi muda masa kini dan masa lampau. Anak-anak, seperti halnya orang dewasa, dengan gigih akan memperjuangkan kemerdekaan mereka yang terancam, dan sepanjang jaman kebebasan anak-anak selalu terancam. Salah satu cara anak-anak menanggulangi ancaman terhadap kebebasan dan kemerdekaan adalah berjuang melawan orang-orang yang hendak mengambilnya.

Perasaan Benci, Marah, Bersikap Bermusuhan Anak-anak tidak senang terhadap orang yang menguasai mereka. Itu sering dirasakan sebagai tidak adil dan tidak pada tempatnya. Mereka tidak menyukai kenyataan bahwa orang tua atau para guru itu lebih besar dan lebih kuat daripada mereka, jika kelebihan semacam itu digunakan untuk mengendalikan atau mengekang kebebasan mereka. “Carilah orang yang sebaya dengan dirimu”, demikianlah perasaan yang sering kali timbul pada anak-anak apabila seorang dewasa menggunakan kekuasaannya”. Terlepas dari umur seseorang, manusia itu umumnya menunjukkan perasaan tidak senang, dan benci terhadap siapa pun yang sedikit banyak merupakan tempat bergantung untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Banyak diantara mereka yang menunjukkan reaksi kurang menyenangkan terhadap orang yang menggunakan kekuasaan untuk memberi hadiah ataupun menekan pemberian hadiah. Mereka membenci kenyataan bahwa orang lain menguasai cara-cara untuk memuaskan kebutuhannya. Mereka mau agar mereka-mereka sendirilah yang menguasainya. Juga, banyak di antara mereka berharap untuk dapat berdiri sendiri oleh karena ketergantungan pada orang lain mengandung bahaya. Bahayanya adalah bila orang yang digantungi itu pada suatu saat ternyata tidak dapat diandalkan – menjadi bersikap tidak adil, menaruh syak wasangka, bersikap tidak konsisten, tidak mempunyai pertimbangan yang baik; atau orang yang berkuasa memintanya menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan patokanpatokan yang dianutnya sebagai imbalan atas hadiah-hadiah yang telah diberikan. Itulah sebabnya mengapa para pegawai dari majikan yang sangat paternalistis – yaitu mereka yang sangat bermurah hati dalam memberikan “keuntungan-keuntungan” dan “bonus” (dengan syarat bahwa mereka menyetujui sistem kontrol atas dasar otoritas pimpinan) seringkali merasa sungguh-sungguh membenci “tangan yang menyuapi” itu. Ahli-ahli sejarah mengenai hubungan manusia dalam industri, menunjukkan bahwa beberapa pemogokan yang hebat umumnya ditemukan pada perusahaan-perusahaan dengan manajemen yang bersifat “otoriter sepenuhnya”. Ini pun kiranya yang menyebabkan mengapa kebijaksanaan negara-negara “kaya” untuk memberikan pertolongan pada negara-negara yang “miskin” seringkali berakhir dengan sikap permusuhan dari negara-negara yang lemah itu

131

terhadap negera-negera yang lebih kuat, yang kesemuanya ini sering di luar dugaan para “pemberi dana”.

Menyerang, Mendendam, Membalas Oleh karena dominasi pihak orang tua melalui sikap otoriter terlalu mengecewakan kebutuhan anak, dan frustasi sering mengarah kepada agresi, maka orang tua yang menggantungkan diri pada sikap otoriter, dapat membuat anak-anak mereka bersikap agresif. Anak mencoba membalas dendam, mencoba untuk dapat menundukkan orang tua, menunjukkan sikap kritis yang berlebihan, sering mengungkapkan hal-hal yang tidak menyenangkan, menggunakan siasat “diam seribu bahasa”, ataupun melakukan salah satu dari seratus tindakan agresif yang kiranya dapat membalas sikap orang tuanya ataupun bahkan menyakiti mereka. Agaknya cara penanggulangan semacam ini dapat dirumuskan sebagai, “Bapak menyakiti saya, maka saya pun akan menyakiti Bapak kembali sehingga kemudian hari barangkali Bapak tidak akan menyakiti saya lagi”. Bentuk ekstrem dari hal ini terlihat pada kasus-kasus yang sering dilaporkan dalam suratkabar, tentang anak yang membunuh orang tuanya sendiri. Tidak perlu disangkal lagi bahwa banyak tingkah laku agresif yang ditujukan terhadap pimpinan sekolah (perusakan lingkungan), terhadap polisi, atau terhadap pimpinan-pimpinan politik didasari oleh keinginan untuk membalas dendam ataupun menghantam orang lain.

Berbohong, Menyembunyikan Perasaan Beberapa anak, semenjak kecil sudah sadar bahwa dengan berbohong mereka dapat menghindari hukuman-hukuman. Kadang kala berbohong justru dapat menghasilkan hadiah bagi mereka. Semua anak-anak mulai mempelajari nilai-nilai dari orang tua mereka – dan tahu dengan tepat apa yang disetujui oleh orang tua mereka. Setiap anak yang saya jumpai dalam terapi, sebagai anak dari orang tua yang menggunakan sistem hadiah dan hukuman yang keterlaluan, mengemukakan bagaimana seringnya mereka berbohong kepada orang tuanya. Seorang pemudi menceritakan pada saya: “Orang tua saya melarang saya pergi ke teater mobil, sebab itu saya katakan pada mereka bahwa saya mau pergi ke rumah teman wanita. Kemudian kami pergi ke teater mobil!”

Ada yang bercerita demikian: “Ibu tidak mengijinkan saya menggunakan gincu, maka saya baru menggunakan setelah agak jauh dari rumah. Kalau saya pulang, saya menghapusnya terlebih dulu sebelum masuk ke dalam rumah”.

Seorang gadis berumur 16 tahun mengakui: “Ibu tidak mengijinkan saya pergi dengan teman pria yang satu ini, maka saya minta pada teman wanita saya untuk menjemput saya dan kemudian mengatakan pada Ibu bahwa kami akan pergi nonton atau apa saja. Sesudah itu saya pergi menemui pacar saya”.

132

Melihat bahwa banyak di antara anak-anak itu berbohong karena orang tua begitu menekankan sistem hadiah dan hukuman, maka saya sampai pada kesimpulan bahwa kecenderungan untuk berbohong itu sebenarnya bukan kodrat manusia. Berbohong merupakan sesuatu yang dipelajari – suatu cara untuk menanggulangi usaha orang tua mengendalikan anak dengan memanipulasi sistem hadiah dan hukuman. Di keluarga di mana mereka diterima dan di mana kebebasan mereka dihargai, anak-anak nampaknya tidak suka berbohong. Orang tua yang mengeluh bahwa anak-anak mereka tidak mau membicarakan persoalan mereka ataupun menceritakan perihal kehidupan mereka, biasanya merupakan orang tua yang banyak menggunakan hukuman pada anak-anak mereka. Akhirnya anak akan belajar juga menggunakan aturan permainan yang berlaku, dan salah satu cara adalah tetap diam.

Menyalahkan Orang Lain, Mengadu, Menipu Dalam keluarga-keluarga dengan lebih dari satu anak, anak-anak biasanya berlomba untuk memperoleh hadiah dari orang tua mereka dan menghindari hukuman. Mereka secara cepat mempelajari suatu mekanisme penanggulangan lain yaitu, merugikan orang lain, menjelek-jelekkan anakanak lain, membuat mereka tampak tidak baik, mengadu, melemparkan kesalahan pada anak lain. Ini merupakan suatu perumusan sederhana – “Dengan membuat orang lain kelihatan buruk (tidak baik), barangkali saja saya akan kelihatan baik”. Alangkah mengecewakan orang tua; mereka menginginkan suatu sikap saling menunjang dari anak-anak mereka, namun dengan menggunakan hadiah dan hukuman mereka justru mengembangkan sikap saling bersaing – persaingan antar-saudara, perkelahian, saling memfitnah antar-saudara kandung. “Ia lebih banyak mendapat es krim daripada saya”. “Mengapa saya harus bekerja membersihkan kebun sedangkan Joni tidak?” “Dia memukul saya dulu – dia yang memulai”. “Ibu tidak pernah menghukum Joni ketika ia seumur saya melakukan apaapa yang saya lakukan sekarang”. “Mengapa Anda membiarkan Tono melakukan segala hal?”

Banyak pertengkaran anak-anak, sebagai akibat dari persaingan dan saling melempar kesalahan, dapat dikembalikan pada bagaimana orang tua menggunakan sistem hadiah dan hukuman dalam mendidik anak-anak. Oleh karena tidak ada yang memiliki waktu, sifat atau kebijaksanaan untuk menggunakan sistem hadiah dan hukuman secara adil dan sama pada setiap saat, maka sebenarnya orang tua tidak dapat menghindari timbulnya persaingan. Hal yang lazim adalah bahwa setiap anak ingin mendapatkan hadiah sebanyak mungkin dan melihat kakak serta adik-adiknya mendapatkan lebih banyak hukuman.

133

Menguasai, Mengatur, Memaksakan Kehendak Mengapa anak ingin mencoba menguasai atau memaksakan kehendaknya atas anak-anak lain yang lebih kecil? Salah satu alasan adalah oleh karena orang tua mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk menguasai dirinya. Itulah sebabnya, bila ia berada dalam kedudukan yang lebih tinggi atas anak lain, ia pun mencoba untuk menguasai dan memerintah mereka. Ini dapat diamati pada waktu anak-anak bermain dengan boneka-boneka. Mereka biasanya memperlakukan boneka-boneka mereka (sebagai “anak-anaknya sendiri”) sebagaimana orang tua memperlakukan mereka, dan ahli-ahli psikologi telah mengetahui ini, mereka dapat mengetahui bagaimana orang tua memperlakukan anakanaknya melalui pengamatan terhadap anak-anak pada waktu bermain dengan boneka-boneka. Apabila anak itu bersikap menguasai, mengatur, dan menghukum bonekanya ketika ia sedang memainkan peranan itu, maka pasti demikianlah cara anak itu diperlakukan ibunya sendiri. Oleh sebab itu maka secara tidak disengaja orang tua menanggung risiko yang besar dalam mendidik anak-anak, karena anak akan bersikap otoriter terhadap anak-anak lain bia orang tua menggunakan sikap otoriter mereka untuk mengarahkan dan mengendalikan anak-anak itu.

Mau Menang Sendiri, Tidak Mau Kalah Anak yang dibesarkan dalam suasana penuh hadiah dan hukuman, akan mengembangkan kebutuhan kuat untuk kelihatan “baik” atau mengejar kemenangan, dan berusaha jangan sampai kelihatan “tidak baik” atau kalah. Ini merupakan salah satu ciri khas dari keluarga-keluarga di mana orang tua sangat berorientasi pada sistem hadiah dan yang memberi penekanan pada apa yang mereka nilai positif, pemberian uang, medali emas, bonus, dan semacam itu. Celakanya banyak orang tua yang demikian, khususnya yang berasal dari kelas sosial menengah dan tinggi. Meskipun saya memang menemukan beberaa orang tua yang sungguh-sungguh menolak pemberian hukuman sebagai metode pengendalian, namun jarang saya berjumpa dengan orang tua yang mempertanyakan manfaat pemberian hadiah. Orang tua dibanjiri tulisan-tulisan dan buku-buku yang menganjurkan untuk kerap memberikan pujian dan hadiah. Banyak di antaraorang tua menerima nasihat ini tanpa kritik, dengan hasil banyak di antara anak-anak itu oleh orang tua mereka dimanipulasi dengan macam-macam pujian, mendapatkan keistimewaankeistimewaan, aneka hadiah, gula-gula, es krim, dan semacam itu. Tidak mengherankan bahwa generasi anak-anak “manja” ini mempunyai orientasi untuk selalu menang, dipandang baik, selalu menonjol, dan yang paling menyolok adalah menghindari kekalahan. Pengaruh negatif lainnya dari pendidikan anak berdasarkan orientasi hadiah adalah bila kemampuan anak sungguh terbatas, baik di bidang

134

intelektual maupun fisik, yang membuat mereka sukar memperoleh hadiah hadiah. Anak-anak tersebut bila berada bersama dengan saudara-saudaranya dan anak-anak sebaya lainnya yang berbakat lebih, selalu akan “kalah” dalam pelbagai usahanya baik di rumah, di gelanggang permainan, ataupun di sekolah. Banyak keluarga mempunyai satu atau lebih anak yang demikian, yang selama hidup seolah ditakdirkan untuk mengalami rasa sakit, gagal, dan frustasi melihat anak lain mendapat pujian. Anak-anak seperti itu mempunyai harga diri yang rendah, serba tidak berdaya dan patah semangat. Pokoknya: suasana keluarga yang sangat mementingkan sistem hadiah akan lebih merugikan bagi anak-anak yang tidak dapat mencapainya daripada bagi anak yang dapat memperolehnya.

Membentuk Persekutuan, Berorganisasi Melawan Orang Tua: Anak-anak yang memperoleh pengawasan dan pengendalian melalui otoritas dan kekuasaan orang tua mereka, pada suatu saat setelah mereka bertamabah besar, menemukan cara lain untuk menanggulangi kekuasaan itu. Pola yang sudah dikenal yaitu anak membentuk persekutuan bersama anak-anak lain, baik di linggkungan rumah maupun di luar. Anak-anak menemukan bahwa “di dalam suatu persatuan” akan terbentuk kekuatan yang lebih besar – mereka dapat “membentuk suatu persatuan” sebagaimana para buruh membentuk persatuan untuk menanggulangi kekuasaan dari para pemilik, dan majikan. Anak-anak sering kali membentuk persekutuan-persekutuan untuk mengahdapi orang tua dengan cara: Bersama-sama sepakat untuk menceritakan hakyang sama. Menceritakan pada orang tua mereka bahwa teman-teman yang lain telah memperoleh persetujuan dari orang tuanya, maka dari itu mengapa mereka tidak? Mempengaruhi teman-teman lain untuk ikut bersama-sama melakukan kegiatan yang dilarang, dengan harapan bahwa orang tua mereka tidak dapat menyisihkan mereka untuk dihukum.

Dewasa ini keampuhan kaum muda sungguh-sungguh terasa, timbul dari pengabungan dan gerakan melawan otoritas orang tua ataupun orang dewasa – kegiatan kaum hippi, pelajar, pemogokan di sekolah, demonstrasi para pelajar menentang aturan berbusana, gerakan aksi mahasiswa dalam menuntut hak suara, aksi perdamaian, dan sebagainya. Oleh karena sistem kekuasaan itu berjalan terus dan nampaknya dianggap sebagai salah satu cara yang lebih disukai dalam usaha mengarahkan dan mengendalikan tingkah laku anak, maka dengan demikian para orang tua dan orang dewasa lainnya justru mengundang reaksi yang paling dikhawatirkan- kaum muda justru membentuk suatu persekutuan untuk menjatuhkan kekuasaan mereka itu. Akibatnya masyarakat terpecah jadi dua golongan yang saling berperang – kaum muda bergabung melawan generasi di atasnya, atau dapat pula disebutkan sebagai kelompok “yang tidak punya” melawan kelompok “yang punya”. Dalam

135

hubungan ini, maka bukannya anak mengadakan identifikasi diri dengan keluarganya, melainkan mereka semakin menumbuhkan identifikasi antarmereka sendiri untuk melawan orang dewasa.

Bersikap Tunduk, Patuh, dan Menurut Beberapa anak memilih untuk menyerah pada kekuasaan orang tua mereka karena alasan yang biasanya tidak dapat dimengerti dengan jelas. Mereka bersikap tunduk, patuh, dan menurut. Reaksi terhadap otoritas orang tua ini sering timbul bila orang tua bersikap terlalu keras dalam menggunakan kekuasaan. Terutama apabila hukuman-hukumannya terlalu keras, maka anak-anak belajar untuk bersikap patuh karena sangat takut dihukum. Reaksi anak-anak terhadap kekuasaan orang tua bisa seperti anjing-anjing yang takut memperoleh hukuman keras. Pada waktu anakanak masih sangat muda, maka hukuman yang keras cenderung mengakibatkan anak menjadi tunduk, karena untuk bereaksi memberontak ataupun bertahan terlalu banyak mengandung bahaya. Reaksi-reaksi mereka terhadap kekuasaan orang tua hampir selalu bersifat patuh dan menurut. Pada waktu anak-anak menginjak masa remaja, reaksi tersebut bisa berubah secara mendadak karena mereka telah memperoleh kekuatan dan keberanian yang lebih besar untuk berusaha mempertahankan diri dan memberontak. Ada beberapa anak yang tetap bersikap tunduk dan menurut sepanjang masa remaja dan bahkan sampai masa dewasa. Anak-anak yang demikianlah yang paling menderita akibat kekuasaan orang tua mereka, oleh karena mereka merupakan orang-orang yang takut terhadap mereka yang berada dalam kedudukan yang lebih tinggi yang mereka jumpai di mana pun di dalam kehidupan ini. Mereka akan menjadi orang dewasa yang tetap bersikap seperti anak-anak sepanjang hidup mereka, bersikap takluk secara pasif terhadap otoritas, menyangkal kepentingan diri sendiri, takut untuk menjadi dirinya sendiri, takut menghadapi konflik, terlalu penurut, tidak mampu mempertahankan pendiriannya sendiri. Mereka inilah yang akan membanjiri tempat praktek psikolog dan psikiater.

Mengambil Hati, Menjilat Salah satu cara untuk menghadapi seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memberikan hadiah atau hukuman adalah “berdiri di sisinya”, berusaha menarik dirinya dengan cara-cara tertentu agar ia menyukai Anda.cara inilah yang digunakan oleh anak-anak tertentu dalam usaha mendekati orang tuanya atau orang dewasa lainnya. Rumusannya kira-kira demikian: “Apabila saya dapat membuat Anda senang dan Anda menyenangi saya, maka barangkali Anda akan mau memberi saya hadiahhadiah dan mengurungkan niat memberikan hukuman pada saya”. Anakanak cepat sadar bahwa pemberian hadiah ataupun hukuman tidak didasarkan pada ukuran yang sama. Orang dewasa dapat dirayu; mereka

136

mempunyai pilih kasih. Ada anak-anak yang dapat mengambil manfaat dari kenyataan ini dan mengambil sikap yang dikenal sebagai “mengambil hati”, “asal bapak senang”, “menjadi anak kesayangan”, istilah-istilah lainnya yang dalam masyarakat yang sehat sepantasnya ditolak. Celakanya, sementara ada anak-anak yang pandai mengambilhati orang dewasa, anak-anak lainnya sangat tidak menyukai hal itu; penjilat-penjilat itu sering kali mendapat cemoohan dan ditolak oleh teman-teman sebayanya yang menaruh curiga terhadap motivasi dan iri hati terhadap kedudukannya yang baik.

Menyesuaikan Diri, Tidak Memiliki Kreativitas, Takut Mencoba Sesuatu yang Baru, Membutuhkan Sesuatu Jaminan Akan Mencapai Suatu Sukses Otoritas orang tua lebih menumbuhkan sikap taat daripada menumbuhkan kreativits pada anak-anak, seperti suasana otoritas dalam suatu organisasi juga memadamkan usaha-usaha pembaharuan. Kreativitas bermula dari kebebasan untuk bereksperimen, mencoba sesuatu yang baru dan kombinasi-kombinasi yang baru. Anak-anak yang dibesarkan dalam suasana yang diwarnai oleh pemberian hadiah dan hukuman, tidak akan merasakan kebebasan sebagaimana pada anak-anak yang dibesarkan dalam suasana di mana mereka merasa diterima. Kekuasaan akan menghasilkan sikap takut, dan perasaan takur akan menghambat kreativitas serta menumbuhkan sikap penurut. Rumusannya sederhana saja: “Demi mendapatkan hadiah-hadiah, maka saya lepas tangan dan menurut saja seperti yang dikehendaki dari diri saya. Saya tidak berani bertindak di luar ketentuan, karena terlalu banyak risikonya akan mendatangkan hukuman”.

Menarik Diri, Menghindar, Berfantasi, Regresi Apabila keadaan menjadi terlalu sulit bagi anak-anak untuk menghadapi sikap otoriter orang tua, mereka akan mencoba untuk “melarikan diri” atau “menarik diri”. Kekuasaan orang tua dapat menyebabkan anak menarik diri apabila hukuman dirasakan terlalu berat, apabila orang tua tidak konsisten dalam memberikan hadiah-hadiahnya, apabila hadiah itu terlalu sukar diraih, ataupun apabila terlalu sukar untuk belajar tingkah laku sebagaimana diperlukan agar terhindar dari hukuman. Kondisi-kondisi seperti itu dapat menyebabkan anak menyerah untuk terur belajar “mematuhi aturan-aturan yang berlaku”. Singkatnya, ia berhenti untuk mencoba menghadapi realitas – karena terlalu menyakitkan atau terlalu kompleks bila dihadapi. Anak tersebut tidak dapat menemukan penyesuaian diri yang cicik dengan kekuasaan-kekuasaan dalam lingkungannya. Ia tidak dapat menang. Maka dengan deikian, nalurinya menganjurkannya untuk lebih baik melarikan diri agar selamat. Bentuk-bentuk penarikan diri dan pelarian diri dapat berkisar antara penarikan diri dari realitas secara total sampai hanya sesaat saja, termasuk:

137

Melamun dan berkhayal. Tidak aktif, bersikap pasif, apatis. Regresi sampai pada tingkah laku yang kekanak-kanakan. Nonton TV secara berlebihan. Membaca novel secara berlebihan. Bermain sendiri (sering kali bersama-sama teman khayalannya). Menjadi sakit. Lari dari rumah. Minum obat-obatan. Makan secara berlebih-lebihan. Depresi.

TINJAUAN LEBIH MENDALAM TENTANG KEKUASAAN ORANG TUA Sekalipun para orang tua di dalam kursus MOE telah menyusun daftar mekanisme-mekanisme penanggulangan mereka sendiri semasa kanakkanak, bahkan sudah menggunakan daftar kami untuk mengenal mekanisme-mekanisme perlawanan tertentu yang sering digunakan oleh anak-anak mereka sendiri, tetapi sebagian daripada mereka tetap berpendapat bahwa otoritas dan kekuasaan masih dapat dibenarkan dalam mendidik anak-anak sehingga di dalam kebanyakan kursus MOE, sikapsikap dan perasaan-perasaan tertentu mengenai sikap otoriter orang tua msih perlu dilontarkan untuk didiskusikan secara terbuka.

Apakah Anak-anak Memang Tidak menghendaki Sikap Otoriter dan Pembatasan? Suatu pendapat umum yang masih bertahan, baik pada orang awam maupun para ahli (dan sering kali dikemukakan para orang tua di dalam kursus MOE) adalah bahwa pada hakikatnya anak-anak menginginkan sikap otoriter – mereka suka kalau orang tua mengekang dan membatasi tingkah laku mereka. Apabila orang tua menggunakan sikap otoriter, demikian alasan-alasannya, anak-anak akan merasa dirinya lebih aman. Tanpa pembatasan, mereka bukan saja menjadi liar dan tidak berdisiplin, tetapi juga merasa tidak aman. Bila diperluas, pendapat ini berbunyi: Apabila orang tua tidak menggunakan sikapotoriter untuk menentukan pembatasan-pembatasan, maka anak-anak akan merasa seolah-olah orang tua mereka tidak mempedulikan dan tidak mencintai mereka. Saya yakin bahwa pendapat ini banyak penganutnya karena paling sedikit akan membenarkan mereka untuk menggunakan kekuasaan, meski saya tidak akan mengurangi nilai pendapat ini dengan mengatakannya hanya sebagai suatu bentuk rasionalisasi. Pendapat tersebut ada benarnya juga, dan karena itu perlu diteliti lebih lanjut. Pengalaman dan akal sehat menunjukkan bahwa anak-anak memang menghendaki pembatasan dalam hubungan mereka dengan orang tua. Mereka perlu mengetahui seberapa jauh mereka dapat bertindak, sebelum

138

tindakan mereka itu ditolak. Dengan mengetahuinya, maka anak-anak dapat mencegah adanya tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Dan ini berlaku bagi semua bentuk hubungan manusia. Sebagai contoh: Saya akan merasa lebih aman apabila saya mengetahui tindakan saya yang mana yang tidak dapat diterima oleh istri saya. Saya sedang merencanakan untuk bermain golf atau pergi ke kantor pada saat kami sedang kedatangan tamu. Dengan mengetahui terlebih dahulu, bahwa istri saya tidak dapat menerima ketidakhadiran saya karena ia memerlukan pertolongan saya, maka saya dapat memutuska untuk tidak pergi bermain golf ataupun pergi ke kantor dan menghindari ha-hal yang tidak menyenangkan istri atau menimbulkan kemarahan dan mungkin juga mengundang suatu konflik. Bagaimana juga, anak ingin mengetahui “batas-batas tingkah laku yang dapat diterima oleh orang tuanya”, dan ini tidak berarti bahwa ia menghendaki orang tua menentukan pembatasan atas tingkah lakunya. Kembali pada contoh yang melibatkan istri saya dan saya sendiri: saya akan tertolong apabila saya tahu apa yang diraskan olehnya apabila saya pergi bermain golf atau pergi bekerja pada hari-hari kami sedang menjamu tamu. Tetapi saya tentu saja akan marah dan benci apabila ia mencoba membatasi tingkah laku saya dengan pernyataan-pernyataan seperti: “Saya tidak mengijinkanmu bermain golf atau pergi bekerja pada saat kita sedang menerima tamu. Itu keterlaluan. Kamu tidak dapat berbuat demikian”. Saya sama sekali tidak menghargai cara-cara pendekatan dengan menggunakan kekuasaan seperti ini. Tidak pada tempatnyalah apabila istri saya mencoba mengendalikan dan mengarahkan tindakan-tindakan saya dengan cara yang demikian. Reaksi anak-anak pun tidak akan jauh berbeda dengan reaksi orang tua terhadap cara pembatasan seperti itu. Mereka juga merasa gusar dan kesal apabila orang tua secara sepihak mencoba membatasi tindakan-tindakan mereka. Saya belum pernah menjumpai seorang anak yang ingin agar orang tuanya membatasi tingkah lakunya seperti dalam batasan-batasan berikut ini: “Kau sudah harus berada di rumah sebelum tengah malam – itu batasannya”. “Saya tidak mengijinkanmu menggunakan mobil”. “Kamu tidak boleh bermain dengan mobil-mobilanmu di ruang tamu”. “Kami melarangmu merokok terlalu banyak”. “Kami melarangmu pergi dengan kedua pria itu”.

Para pembaca akan mengenal semua komunikasi itu sebagai “mengirimkan pemecahan” (demikian juga semua merupakan “pesan kamu”). Prinsip yang meyakinkan daripada sekedar menyatakan “Anak-anak menghendaki agar orang tua menggunakan otoritas dan menentukan pembatasan-pembatasan”, adalah sebagai berikut: Anak-anak menghendaki dan membutuhkan informasi dari orang tua yang mencerminkan perasaan-perasaan orang tua terhadap tingkah laku mereka.

139

Dengan demikian mereka sendiri dapat mengubah tingkah laku yang barangkali tidak dapat diterima oleh orang tua. Bagaimanapun juga, anak-anak tidak menginginkan bahwa orang tua mencoba membatasi ataupun mengubah tingkah laku mereka itu melalui ancaman penggunaan sikap otoriter. Pendeknya, anakanak seperti halnya orang dewasa, lebih suka berkuasa atas tingkah lakunya sendiri.

Satu hal tambahan: Anak-anak pada dasarnya lebih suka apabila semua tindakannya dapat diterima orang tuanya, sehingga tingkah laku mereka tidak perlu diubah ataupun dibatasi. Saya pun, lebih suka kalau istri saya dapat menerima segala tindakan saya tanpa syarat. Itulah yang lebih saya sukai, tetapi saya tahu bahwa itu bukan hanya tidak realistis, bahkan tidak mungkin. Dengan demikian, para orang tua hendaknya jangan mengharapkan, seperti halnya harapan anak-anak terhadap mereka, bahwa semua tindakan mereka itu dapat diterima. Yang seyogyanya dapat diharapkan anak adalah bahwa kepada mereka diberi tahu apabila orang tua merasa tidak dapat menerima salah satu tindakan mereka (“Saya tidak ingin diganggu dan ditarik apabila saya sedang berbicara dengan seorang teman”). Ini jelas berbeda daripada keinginan agar orang tua menggunakan otoritas mereka guna membatasi tingkah laku mereka.

Apakah Sikap Otoriter Itu Dapat Dibenarkan, Dilaksanakan Orang Tua secara Konsisten?

Apabila

Ada orang tuayang membenarkan penggunaan kekuasaan dengan beranggapan bahwa hal tersebut cukup efektif dan tidak berbahaya, asal digunakan secara konsisten. Di kursus kami, para orang tua terheran-heran ketika diberi tahu bahwa mereka benar dalam hal perlunya pendirian tetap. Para pembina meyakinkan mereka perlunya pendirian tetap, apabila mereka memilih untuk menggunakan kekuasaan dan otoritas. Selain daripada itu, anak-anak lebih senang kalau orang tua mereka bersikap konsisten, apabila orang tua memilih menggunakan otorias. Itu bukan berarti bahwa penggunaan kekuasaan dan otoritas itu tidak merugikan; penggunaan kekuasaan dan otoritas itu akan lebih berbahaya apabila orang tua tidak konsisten. Bukannya anak-anak menginginkan orang tua mereka menggunakan otoritas; akan tetapi apabila hal itu digunakan, hendaknya digunakan secara konsisten. Apabila orang tua merasa bahwa mereka perlu menggunakan otoritas, maka konsistensi di dalam penerapannya akan memberikan kesempatan yang lebih banyak pada anak untuk mengenali tingkah laku mana yang mendapat hukuman dan mana yang tidak. Bukti-bukti percobaan cukup memperlihatkan bagamana ketidaktetapan dalam penggunaan metode hadiah dan hukuman untuk membentuk tingkah laku binatang dapat mempunyai efek-efek yang merugikan. Sebagai contoh,

140

kami ambil saja suatu percobaan klasik yang telah dilakukan oleh seorang psikolog bernama Norman Maier. Maier memberikan hadiah pada tikustikus yang berhasil melompat dari suatu ketinggian ke arah pintu berengsel yang telah dicat dengan sebuah motif tertentu, katakanlah sebuah segi empat. Pintu terbuka ke arah makanan dan tikus-tikus tersebut mendapatkan hadiahnya. Kemudian Maier memberikan hukuman kepada tikus-tikus yang melompat ke arah pintu yang dicat bermotifkan sebuah segi tiga. Pintu tidak terbuka, akibatnya tikus-tikus menubrukkan hidung mereka dan jatuh ke dalam sebuah jaring. Ini menyebabkan tikus-tikus itu “belajar” untuk membedakan bentuk segi empat dan bentuk segi tiga. Suatu percobaan bersyarat yang sederhana. Sekarang Maier memutuskan untuk bersikap tidak ajek dalam pendiriannya memberikan hadiah ataupun hukuman. Ia sengaja mengubahubah syarat mengenai pembelian motif. Kadang-kadang motif segi empat berada pada pintu yang menuju ke makanan, kadang-kadang ditempatkan pada pintu yang tidak terbuka dan menyebabkan tikus-tikus jatuh. Seperti halnya banyak orang tua, psikolog tersebut tidak tetap dalam pendiriannya mengenai pemberian hadiah dan hukuman. Apa akibat bagi tikus-tikus tersebut? Keadaan itu membuat mereka menjadi “neurotis”; ada yang mengalami kelainan kulit, ada yang mengalami keadaan katatonik, ada yang berlari-lari di sekitar sangkar mereka secara buas dan tidak mau makan. Maier telah menciptakan keadaan “neurotis eksperimental” pada tikus-tikus itu dengan bersikap tidak tetap. Akibat dari ketidaktetapan dalam penggunaan hadiah dan hukuman dapat pula merugikan anak-anak. Ketidaktetapan dalam pendirian ini tidak akan memberikan kesempatan pada mereka untuk belajar melakukan tingkah laku yang “dibenarkan” (yang mendapatkan hadiah) dan menghindari tingkah laku yang “tidak diinginkan”. Mereka tidak akan berhasil. Mereka akan mengalami frustasi, menjadi bingung, marah, dan bahkan “neurotis”.

Bukankah Orang Tua Bertanggung Jawab untuk Mempengaruhi Anak? Sebagaimana diekspresikan oleh para orang tua di dalam kursus MOE, sikap yang paling sering dipakai untuk membenarkan penggunaan otoritas adalah karena orang tua dianggap bertanggung jawab untuk mempengaruhi anak-anak mereka bertingkah laku tertentu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para orang tua ataupun “masyarakat” (apa pun artinya). Pandangan klasis yang dianut sejak dahulu kala mengatakan bahwa penerapan kekuasaan dalam hubungan antar-manusia dibenarkan sejauh digunakan demi kebajikan dan secara bijaksana – “demi kepentingan dan kesejahteraan orang lain” atau “ demi kesejahteraan masyarakat”.

141

Masalahnya adalah, siapa yang memutuskan apa yang paling baik untuk masyarakat? Anakkah? Orang tuakah? Siapakah yang paling tahu? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sukar, dan ada bahayanya untuk bertahan pada ketentuan bahwa pihal orang tualah “yang paling baik memutuskannya”. Ia mungkin saja tidak cukup ijaksana untuk membuat ketentuan ini. Setiap orang dapat membuat kesalahan, dan ini berlaku pula bagi orang tua dan orang-orang lainnya yang memiliki kekuasaan. Dan siapa yang menggunakan kekuasaan, dapat saja membela diri dengan alasan bahwa itu adalah demi kebaikan orang lain. Sejarah umat manusia mencatat adanya banyak penindas yang mengatakan bahwa mereka menggunakan kekuasaanya itu demi kesejahteraan orang yang tertindas. “Saya melakukan ini dekedar demi kebaikanmu sendiri” bukan merupakan suatu pembenaran yang meyakinkan untuk menggunakan kekuasaan. “Kekuasaan itu merugikan, dan kekuasaan mutlak cenderung menyeleweng secara mutlak” demikian ditulis oleh Lord Acton. Dan menurut Shelley “Kekuasaan adalah bagaikan penyakit yang berjangkit, dan akan menodai apa saja yang terjamah olehnya”. Edmund Burke berpendapat bahwa “Makin besar kekuasaan, makin berbahayalah penyalahgunaannya”. Negarawan dan pujangga-pujangga menyadari bahwa bahaya kekuasaan tersebut tetap ada. Penggunaan kekuasaan dipersoalkan sungguh-sungguh dalam hubungan antar-negara. Pemerintahan dunia dengan pengadilan dunia pada suatu ketika akan diperlukan agar manusia tetap bertahan dalam abad atom ini. Penggunaan kekuasaan oleh bangsa kulit putih atas bangsa kulit hitam kini tidak lagi dibenarkan oleh mahkamah agung. Di dalam dunia industri dn wiraswasta, manajemen secara otoriter sudah dianggap sebagai falsafah kuno. Adanya perbedaan kekuasaan antara suami dan istri yang dikenal sejak dahulu, telah berkurang secara berangsur-angsur namun jelas. Akhirnya kekuasaan mutlak dan sikap otoriter dalm gereja kini pun telah diperdebatkan di dalam maupun di luar lembaga itu sendiri. Hubungan antara orang tua dan anak di dalam rumah merupakan bentuk sederhana dari kekuatan dan kekuasaan yang masih bertahan. Suatu tempat serupa adalah sekolah – dalam hubungan antara guru dan murid, di mana otoritas tetap bertahan sebagai metode utama untuk mengendalikan dan engarahkan tingkah laku para pelajar. Mengapa anak-anak dijadikan insan terakhir yang dilindungi terhadap kejahatan potensial dari kekuasaan dan otoritas? Apakah ini disebabkan oleh karena mereka lebih lemah atau karena orang dewasa merasa lebih mudah untuk membenarkan penggunaan kekuasaan mereka terhadap dalih seperti “Ayahlah yang paling tahu” atau “Itu adalah demi kebaikan mereka sendiri?”

142

Saya sendiri berpendapat bahwa semakin banyak orang mulai mengerti secara lebih menyeluruh ihwal kekuasaan dan otoritas ini dan menerimanya sebagai suatu yang kurang etis, makin banyak di antara orang tua yang akan menerapkan pengertian-pengertian ini dalam hubungan orang dewasa – anak; akan mulai merasa bahwa hubungan yang demikian tidak bermoral, dan kemudian terpaksa mencari metode-metode baru yang tidak menggunakan kekuasaan, yang kreatif, yang dapat mereka kenakan pada anak-anak dan kaum muda. Tetapi terlepas dari masalah moral dan etis dari penggunaan kekuasaan, pertanyaan orang tua seperti, “Apakah bukan tanggung jawab saya untuk menggunakan kekuasaan guna mempengaruhi anak saya?” menampakkan suatu tafsiran umum yang salah mengenai efektivitas kekuasaan sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi anak-anak. Kekuasaan orang tua pada hakikatnya tidak “mempengaruhi” anak-anak; melainkan memaksa anak bertindak bertindak sesuai apa yang telah ditentukan. Kekuasaan tidak “mempengaruhi” dalam arti membujuk, meyakinkan, mendidik, ataupun memotivasi anak untuk bertingkah laku tertentu. Melainkan, kekuasaan itu memaksa atau mencegah suatu tindakan. Memaksa atau mencegah suatu tindakan melalui kekuasaan bukanlah sesuatu yang meyakinkan. Malahan, umumnya anak akan kembali pada cara-cara terdahulu segera setelah kekuasaan atau otoritas itu hilang, karena kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginannya sendiri itu tidak berubah. Tidak jarang pula terjadi bahwa anak akan membalas orang taunya sebagai akibat dari frustasi atas kebutuhan-kebutuhannya maupun karena ia merasa diremehkan. Dengan demikian kekuasaan adalah “senjata makan tuan”, kekuasaan menciptakan perlawanannya sendiri, mendorong kehancurannya sendiri. Pada hakikatnya, orang tua yang menggunakan kekuasaan, sebenarnya mengurangi pengaruh mereka atas anak-anak karena kekuasaan itu sering kali menumbuhkan sikap memberontak (anak menghadapi kekuasaan justru dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan apa yang diharapkan orang tua). Saya mendengar ada orang tua berkata: “Pengaruh kai atas anak kami akan lebih besar apabila kami menggunakan otoritas kami agar dia melakukan hal-hal yang berlawanan daripada apa yang kami kehendaki. Dengan demikian justru ia akan melakukan apa yang kami kehendaki”. Memang seperti bertentangan, namun benar bahwa orang tua justru kan kehilangan pengaruhnya bila menggunakan kekuasaan dan akan mempunyai pengaruh yang lebih besar apabila mereka mengurangi penggunaan kekuasaan mereka atas anak-anak mereka, atau bahkan menolak untuk menggunakannya. Orang tua akan lebih berwibawa atas anak-anak mereka apabila cara pendekatan yang mereka gunakan adalah tanpa paksaan, dan tidak menumbuhkan pemberontakan dan tingkah laku yang reaktif. Cara-cara

143

pendekatan yang tidak menggunakan kekuasaan akan mendorong anak untuk lebih mempertimbangkan pendapat ataupun perasaan orang tua sehingga mereka mengubah tingkah laku mereka sedemikian rupa ke arah yang dikehendaki orang tua. Mereka tentu saja tidak selalu akan mengubah tingkah laku, tetapi adakala mereka lakukan juga. Sebaliknya anak yang memberontak jarang mau mengubah tingkah lakunya karena mempertimbangkan kebutuhan orang tuanya.

Mengapa Kekuasaan Masih Digunakan dalam Mendidik Anak? Pertanyaan ini begitu sering dilontarkan di dalam kursus MOE, sehingga membuat saya berpikir lebih lanjut dan merasa ditantang. Sukarlah mengerti kenapa setiap orang membenarkan penggunaan kekuasaan di dalam mendidik anak atau di dalam hubungan apa pun antar-manusia, meskipun sudah mengetahui hal-ihwal kekuasaan dan akibatnya atas orang lain. Setelah bekerja sama dengan orang tua, saya kini yakin bahwa semua, kecuali sebagian kecil orang tua, benci menggunakan kekuasaan atas anakanak mereka. Hal itu membuat mereka merasa tidak enak dan membawa mereka pada perasaan bersalah. Sering kali orang tua meminta maaf pada anak-anak mereka setelah menggunakan kekuasaan mereka. Ataupun mereka mencoba menenangkan perasaan bersalah mereka dengan menggunakan rasionalisasi: “Kami melakukan itu semata-mata demi kesejahteraan dirimu!”. “Pada suatu hari kamu akan merasa berterima kasih pada kami untuk hal ini”. “Apabila kelak kau menjadi orang tua, kau akan mengerti mengapa kami mencegahmu berbuat demikian”. Selain perasaan bersalah, banyak orang tua mengakui bahwa penggunaan kekuasaan tidak begitu efektif, terutama bagi anak-anak yang sudah cukup besar untuk mulai melawan, mengatakan hal yang tidak sebenarnya, sembunyi-sembunyi, ataupun melawan secara pasif. Saya sampai pada kesimpulan, bahwa di masa yang lalu orang tua tetap menggunakan kekuasaan mereka karena mereka memiliki sedikit, kalaupun ada, pengalaman hidup bersama yang menggunakan metode-metode mempengaruhi tanpa menggunakan kekuasaan. Kebanyakan orang semenjak masa kanak-kanak dan seterusnya, telah dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan yang dikenakan padanya oleh orang tua, pimpinan sekolah, pelatih-pelatih, guru-guru agama, paman, bibi, nenek dan kakek, pemimpin pramuka, pemimpin regu perkemahan, perwira-perwira ABRI, dan para atasan. Orang tua tetap menggunakan kekuasaan karena kurang pengetahuan dan pengalaman mengenai metode lain sehubungan dengan penanggulangan konflik dalam hubungan antar-manusia.

144

11 Metode “Anti-Kalah” untuk Menyelesaikan Konflik Bagi orang tua yang secara tradisional terbiasa dengan metode-metode “kalah-menang” dalam menyelesaikan konflik, pengetahuan akan adanya alternatif lain sering terasa seperti terbukanya tabir rahasia. Hampir tanpa kecuali, para orang tua lega bahwa ada metode ketiga. Meskipin metode ini mudah dimengerti, namun untuk mahir menggunakannya orang tua biasanya memerlukan pendiikan, latihan, dan bimbingan. Alternatif itu adalah metode “anti-kalah” dalam pemecahan konflik di mana tidak ada orang yang kalah. Dalam MOE kami menamakannya sebagai Metode III. Meskipun Metode III bagi hampir semua orang tua dianggap sebagai suatu gagasan baru bagi pemecahan konflik orang tua dengan anak, namun mereka segera mengenali metode ini karena sering digunakan dalam hubungan-hubungan lain. Suami-istri sering kali menggunakan Metode III untuk menyelesaikan perbedaan pendapat antarmereka melalui kesepakatan bersama. Partner-partner dalam usaha, mengandalkannya untuk mencapai persetujuan bagi konflik yang sering kali terjadi antar-mereka. Serikat-serikat buruh dan peminmpin-pemimpin perusahaan menggunakannya untuk merundingkan kontrak-kontrak yang akan ditaati kedua belah pihak. Dan konflik-konflik hukum yang tak terhitung jumlahnya diselesaikan lewat persetujuan-persetujuan di luar sidang pengadilan, melalui Metode III. Metode III sering digunakan untuk menyelesaikan konflik antar-individu yang mempunyai kekuasaan sama atau hampir sama. Bila hanya sedikit atau tak ada perbedaan kekuasaan antar-dua orang, tidak ada alasan tepat dan jelas mengapa tidak ada satu diantara keduanya mencoba untuk menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan konflik-konflik. Bila orang tidak mempunyai kekuatan berlebih, maka penggunaan metode berdasarkan kekuasaan hanya merupakan kebodohan yang akan mengundang cemoohan orang saja. Saya dapat membayangkan reaksi istri saya bila saya mencoba menggunakan Metode I untuk menyelesaikan suatu konflik yang kadang-kadang kami hadapi – mengenai berapa orang yang akan kami undang bila kami hendak menjamu tamu. Saya umumnya lebih menyukai kalau orang yang datang lebih banyak daripada yang disanggupi istri saya. Andaikan saya berkata kepadanya: “Saya telah memutuskan bahwa kami akan mengundang sepuluh pasang suami-istri, tak kurang dari itu”. Setelah sadar dari awal keterkejutan dan ketidakpercayaannya, ia mungkin akan kembali dengan mengatakannya kira-kira: “Kamu telah memutuskan”, atau “Kalau begitu, saya memutuskan bahwa kita tidak jadi mengundang siapasiapa”, atau

145

“Bagus! Saya harap kamu sendiri memasak makanan malam dan mencuci piring!”

Saya cukup bijaksana untuk sekedar menyadari betapa menggelikannya usaha saya menggunakan Metode I dalam situasi seperti itu. Istri saya memiliki kekuatan (kekuasaan) yang cukup besar dalam hubungan kami berdua untuk menolak usaha saya mengalahkannya. Mungkin dapat dianggap prinsip bahwa manusia yang mempunyai kekuasan yang sama atau relatif sama (suatu hubungan setara) jarang menggunakan Metode I. Bila suatu waktu mereka mencobanya, bagaimanapun juga orang lain tak akan mengizinkan adanya penyelesaian konflik secara ini. Akan tetapi bila seseorang berpikir atau bila ia yakin bahwa orang lain mempunyai kekuasaan lebih besar, maka orang itu tak ada pilihan lain selain menerima, kecuali bia ia memilih untuk menolak atau berjuang dengan kekuasaan apa pun yang dianggapnya dia memiliki. Jelaslah kini bahwa Metode III merupakan metode tanpa kekuasaan – atau lebih tepat metode “anti-kalah”; konflik diselesaikan tanpa ada salah satu yang menang maupun kalah. Kedua-duanya malah dapat dianggap menang karena penyelesaian harus dapat diterima oleh dua belah pihak. Hal ini meupakan penyelesaian konflik dengan persetujuan bersama. Dalam bab ini, saya akan melukiskan bagaimana jalannya metode itu. Pertama-tama sebuah paparan singkat mengenai Metode III: Orang tua dan anak menghadapi situasi konflik kepentingan. Orang tua meminta anak untuk bersama orang tua mencari beberapa penyelesaian yang dapat diterima oelh kedua belah pihak. Salah satu atau kedua belah pihak dapat menyodorkan kemungkinan penyelesaian. Mereka bersama menilainya secara kritis dan membuat keputusan akhir yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setelah keputusan dipilih, tidak perlu lagi merisaukan kemungkinan pemecahan yang lain, karena kedua belah pihak telah menerimanya. Tidak diperlukan kekuasaan untuk memaksakan kepatuhan, karena tidak ada pihak yang menolak keputusan itu.

Masalah jas hujan yang telah diuraikan sebelumnya dapat diselesaikan dengan menerapkan Metode III seperti berikut: “Daag, saya pergi ke sekolah.” “Hari hujan Sayang, kenapa tak memakai jas hujan?” “Saya tidak memerlukannya.” “Saya pikir hujannya cukup deras dan saya khawatir kamu akan basah kuyup atau menjadi pilek, dan ini akan mempengaruhi kami semua.” YANI: “Ah, saya tak mau mengenakan jas hujan itu.” ORANG TUA: “Kamu kelihatannya sungguh-sungguh tak mau mengenakan jas hujan itu.” YANI: “Ya, betul saya membencinya.” ORANG TUA: “Kamu benar-benar benci jas hujan itu?” YANI: “Ya, jas hujan itu berkotak-kotak.” YANI: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA:

146

ORANG TUA: YANI: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA:

YANI: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA: YANI:

ORANG TUA: YANI: ORANG TUA: YANI: ORANG TUA:

“Jadi sesuatu yang coraknya kotak-kotak kamu benci, ya?” “Ya, di sekolah tak seorang pun mengenakan jas hujan berkotakkotak.” “Kamu tak mau menjadi satu-satunya orang yang mengenakan sesuatu yang berbeda.” “Jelas tidak. Semua orang memakai jas hujan putih polos, biru atau hijau.” “Kalau begitu, baiklah kita benar-benar bertentangan saat ini. Kamu tak mau mengenakan jas hujanmu karena jas hujan itu kotak-kotak, saya tidak ingin membayar ongkos cuci, dan tidak senang kalau kamu menjadi pilek. Dapatkah kamu memikirkan suatu cara pemecahan yang dapat sama-sama kita terima? Bagaimana kita dapat menyelesaikan hal ini agar kita berdua sama-sama senang?” Diam sejenak. “Mungkin saya dapat meminjam jas-mobil Ibu hari ini.” “Bagaimana coraknya? Apakah putih polos?” “Ya, putih.” “Apakah kau pikir Ibu akan mengizinkanmu untuk meminjamnya hari ini?” “Saya akan menanyakannya.” (Kembali lagi beberapa menit kemudian dengan mengenakan sebuah jas-mobil; lengannya yang terlalu panjang nampak tergulung). “Kata Ibu, boleh.” “Kamu senang dengan jas itu?” “Tentu, ini bagus.” “Ya, saya yakin kamu akan tetap kering. Jadi kalau kamu senang dengan cara pemecahan ini, saya juga demikian.” “Ya, daag.” “Daag. Selamat bersekolah.”

Apakah yang terjadi di sini? Jelaslah bahwa Yani dan ayahnya menyelesaikan konflik mereka dengan memuaskan kedua belah pihak. Konflik ini juga diselesaikan dengan cukup cepat. Ayah tidak perlu membuang waktu menjadi “salesman”, yang membujuk-bujuk, mencoba menjual cara penyelesaiannya sendiri, sebagaimana terjadi dalam Metode I. Tak ada masalah kekuasaan – baik dari pihak ayah maupun dari pihak Yani. Sesudah memecahkan persoalan, keduanya berpisah dengan penuh kehangatan. Ayah mengatakan: “Selamat bersekolah” secara tulus, dan Yani pergi ke sekolah dengan perasaan bebas dari kekesalan yang ditimbulkan oleh jas hujan yang berkotak-kotak. Di bawah ini adalah contoh konflik lain yang sering dihadapi oleh orang tua, diselesaikan dengan Metode III. Tidaklah perlu kami melukiskan bagaimana konflik ini dihadapi dengan Metode I dan II; bukankah para orang tua sudah amat terbiasa dengan “perang” bekepanjangan mengenai kerapian dan kebersihan kamar tidur anaknya? Sebagaimana dilaporkan

147

oleh salah seorang ibu yang telah selesai mengikuti kursus MOE, inilah yang terjadi: IBU:

WIWIN: IBU: WIWIN:

IBU: WIWIN: IBU: WIWIN: IBU:

“Wiwin, saya pusing dan bosan menegurmu karena kamarmu jorok, saya yakin kamu juga bosan mendengar omelan saya itu. Sekali-sekali kamu memang membereskannya, tetapi lebih sering kamarmu itu berantakan; dan saya marah. Marilah kita coba suatu cara baru yang saya pelajari dalam kursus! Mari kita lihat apakah kita dapat mencari suatu penyelesaian yang dapat kita terima bersama. Suatu penyelesaian yang memuaskan kita berdua. Saya tidak ingin memaksamu membersihkan kamarmu sehingga kamu merasa tertekan, tetapi saya juga tidak mau sedih, tertekan, dan marah kepadamu. Bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah ini supaya beres seterusnya? Dapatkah kamu mencoba?’ “Yah, akan saya coba, tapi saya tahu bahwa saya akhirnya harus mempertahankan kebersihan kamar saya.” “Bukan. Saya mengajakmu mencari penyelesaian yang dapat kita terima bersama, bukan oleh saya saja.” “Ya, kalau begitu saya punya usul. Ibu tak suka masak tapi suka bersihbersih, saya tak suka bersih-bersih tapi suka memasak. Selain itu saya ingin lebih banyak belajar dalam masak-memasak. Bagaimana jika saya memasak makanan malam dua kali seminggu untuk ibu, ayah dan saya, lalu ibu dapat membersihkan kamar saya satu atau dua kali seminggu.” “Apakah kamu yakin ini dapat terlaksana?” “Ya, saya benar-benar menyukainya.” “Baik, marilah kita coba. Apakah kamu juga menawarkan diri untuk mencuci piring?” “Tentu saja.” “Baik. Barangkali kini kamarmu akan bersih sesuai dengan patokan kebersihan saya. Lagi pula, saya akan melakukannya sendiri.”

Kedua contoh tentang penyelesaian konflik melalui Metode III ini mengungkapkan suatu segi sangat penting yang pada mulanya tak mudah dimengerti oleh para orang tua. Dengan menggunakan Metode III ini, setiap keluarga akan menemukan penyelesaian yang berbeda-beda atas masalah yang sama. Ini merupakan suatu cara untuk sampai pada beberapa penyelesaian yang dapat diterima oleh baik orang tua maupun anak di setiap keluarga, bukan metode untuk mendapatkan suatu penyelesaian utama yang “paling baik” untuk semua keluarga. Dalam menyelesaikan masalah jas hujan suatu keluarga lain yang menggunakan Metode III mungkin muncul dengan usul bagi Yani untuk memakai payung. Dalam keluarga lain lagi mungkin mereka setuju agar ayah mengantarkan Yani dengan mobil ke sekolah hari itu. Dalam keluarga keempat, mereka mengkin sepakat bahwa Yani mengenakan jas hujan berkotak-kotak hari itu dan ayah akan membelikan Yani jas hujan baru kemudian. Sudah banyak bacaan-bacaan mengenai pendidikan orang tua terarah pada “pemecahan masalah”; orang tua dinasihati untuk menyelesaikan

148

suatu masalah khusus dalam pengasuhan anak dengan cara penyelesaian bercorak “resep masak-memasak” yang dianggap merupakan patokan yang terbaik oleh para ahli. Orang tua telah ditawari “penyelesaian terbaik” bagi masalah tidur anak, bagi anak yang rewel di meja makan, bagi masalah TV, kamar tidur yang berantakan, masalah kerja rutin, dan selanjutnya sampai tak terhingga. Pendapat pokok saya ialah bahwa orang tua hanya memerlukan Satu Metode Tunggal untuk Menyelesaikan Konflik, metode yang dapat digunakan untuk anak segala usia. Dengan cara pendekatan ini, tak ada cara pemecahan “terbaik” yang dapat diterapkan pada semua keluarga atau bahkan pada kebanyakan keluarga. Suatu penyelesaian terbaik bagi satu keluarga – yakni penyelesaian yang dapat diterima oelh orang tua dan anak tertentu – mungkin bukan merupakan yang terbaik bagi keluarga yang lain. Di bawah ini digambarkan bagaimana suatu keluarga menyelesaikan konflik tentang pemakaian sepeda mini baru dari anak. Ayah melaporkan sebagai berikut: “Robi, umur 13½, dibelikan sepeda mini. Beberapa hari kemudian seorang tetangga mengeluh karena Robi mengendarai sepeda mininya di jalan bebas hambatan, hal ini merupakan suatu pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. Seorang tetangga lain mengeluh bahwa Robi telah mengendarai sepedeanya masuk ke halaman mereka, mengayuh sepedanya, dan merusak rumput-rumput. Ia juga telah merusak taman bunga Ibunya. Kami menyelesaikan masalah ini dan muncul dengan beberapa kemungkinan penyelesaian: 1. Tak boleh memakai sepeda kecuali waktu berkemah. 2. Tak boleh mengendarai sepeda kecuali di daerah milik kami. 3. Tak boleh mengendarai sepeda di taman bunga Ibu. 4. Ibu menggiring Robi ke taman untuk beberapa jam setiap minggu. 5. Robi dapat pergi ke lapangan bila ia ingin memakai sepedanya. 6. Robi dapat membuat jalur khusus di halaman tetangga. 7. Tak boleh mengendarai sepedea di lapangan rumput milik orang lain. 8. Tidak boleh meletakkan sepeda di taman rumput Ibu. 9. Menjual sepeda mini. Kami meniadakan penyelesaian no1,2,4, dan 9. Tapi kami mencapai persetujuan bagi semua yang lain. Dua minggu kemudian semuanya berjalan baik. Semuanya tenang”.

Dengan demikian, Metode III adalah suatu metode yang memungkinkan orang tua tertentu dengan anak tertentu, dapat menyelesaikan tiap konflik mereka yang tertentu dengan menemukan cara-cara pemecahan khas mereka sendiri yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Metode ini nampaknya bukan hanya merupakan suatu pendekatan yang lebih realistis bagi pendidikan orang tua tapi juga melatih orang tua untuk efektif dalam mendidik anak menjadi lebih sederhana. Bila kita menemukan satu metode tunggal yang dapat dipakai oleh kebanyakan orang tua untuk menyelesaikan konflik-konflik, maka harapan kami bagi meningkatnya

149

efektivitas orang tua pada masa mendatang menjadi semakin besar. Mempelajari efektivitas orang tua mungkin bukan merupakan suatu tugas rumit seperti sebelumnya diyakini oleh para orang tua dan para ahli.

KENAPA METODE III BEGITU EFEKTIF? Anak Tergerak untuk Melaksanakan Penyelesaian Metode III menghasilkan derajat motivasi yang lebih tinggi pada anak untuk melaksanakan keputusan, oleh karena metode ini menggunakan prinsip partisipasi: Seseorang lebih terdorong untuk melaksanakan suatu keputusan kalau kelutusan itu dapat dibuat dengan mengikutsertakan dirinya daripada kalau keputusan itu dipaksakan kepadanya oleh orang lain.

Kebenaran prinsip ini telah terbukti berkali-kali dengan eksperimeneksperimen dalam industri. Bila para pegawai turut membantu dalam membuat suatu keputusan, maka mereka akan melaksanakan keputusan itu dengan motivasi yang lebih besar daripada bila keputusan dibuat oleh atasannya secara sepihak. Dan para atasan yang mengundang partisipasi bawahan dalam soal-soal yang juga mempengaruhi mereka, mempertahankan produktivitas yang tinggi, kepuasan kerja yang tinggi, semangat kerja yang tinggi, dan sedikitnya pekerja yang berpindah. Meskipun Metode III tidak menjamin bahwa anak-anak akan selalu melaksanakan pemecahan sebagaimana telah disetujui, namun Metode III memberi kemungkinan besar bahwa anak-anak akan melaksanakannya. Anak-anak juga merasakan bahwa keputusan melalui Metode III adalah keputusan mereka juga. Mereka merasa telah melibatkan diri dalam suatu pemecahan, dan mereka merasa mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakannya. Mereka juga memperlihatkan kesan gembira karena orang tua mereka melepaskan kemungkinan untuk menang atas anak. Penyelesaian-penyelesaian yang dihasilkan dalam Metode III sering kali merupakan usul anak sendiri. Dengan sendirinya hal ini meningkatkan keinginan anak untuk melihat bagaimana hasilnya. Orang tua yang telah mengikuti kursus MOE, memberikan contoh penyelesaian konflik dengan Metode III: Yuyun, 4 tahun, ingin bermain-main dengan ayahnya segera setelah ayahnya pulang dari pekerjaannya tiap malam. Sebaliknya, ayah merasa lelah setelah pulang dari mengendarai mobil lewat jalan-jalan raya yang padat dan ia memerlukan istirahat. Yuyun biasanya naik ke pangkuan ayah, mengadukadukkoran, dan terus-menerus merepotkan ayahnya dengan minta ini – itu dan merayunya. Ayah mencoba Metode I dan Metode II. Ia tak puas kalau mengecewakan anaknya bila ia menggunakan Metode I dan menolak untuk bermain-main, dan ia menyesal kalau ia mengalah bila ia menggunakan Metode II. Ia menyatakan kesulitan ini pada Yuyun dan menyarankan agar dicari penyelesaian yang dapat disetujui dua belah pihak. Dalam beberapa menit mereka menyetujui suatu penyelesaian: Ayah berjanji untuk bermain dengan

150

Yuyun asalkan menunggu sampai Ayah selesai membacakoran dan minum segelas air. Keduanya memegang perjanjian mereka ini dan kemudian Yuyun mengatakan kepada ibunya, “Sekarang Ibu tidak boleh mengganggu ayah selama ayah sedang istirahat”. Beberapa hari kemudian, waktu seorang teman bermainnya mendekati ayahnya untuk bicara atau bermain, Yuyun secara bersungguh-sungguh mengatakan kepadanya bahwa ayahnya tak boleh diganggu selama ia sedang istirahat.

Kejadian ini melukiskan betapa kuatnya motivasi yang ada pada seorang anak untuk melaksanakan dan menerapkan suatu keputusan, bila anak berpartisipasi dalam membuat keputusan itu. Dalam membuat keputusan melalui Metode III nampaknya anak-anak merasa bahwa mereka membuat sautu keterlibatan – mereka telah mempertaruhkan sebagian dari dirinya sendiri dalam proses pemecahan masalah. Juga orang tua menampilkan sikap percaya kepada anak untuk menepati janjinya. Bila anak-anak merasa bahwa mereka dipercayai, mereka lebih dapat bertindak dengan cara yang dapat diandalkan.

Lebih Banyak Kemungkinan untuk Menemukan Pemecahan yang Bermutu Selain menghasilkan pemecahan-pemecahan yang lebih disetujui dan lebih mungkin terlaksana, Metode III menghasilkan pemecahan yang lebih bermutu daripada Metode I dan Metode II – lebih kreatif, lebih efektif dalam menyelesaikan konflik; penyelesaian-penyelesaian yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang tua maupun anak, dan yang tak seorang dari kedua pihak ini dapat menemukan sendiri. Cara penyelesaian konflik tentang kebersihan kamar antara ibu dan anak tadi – di mana anak gadisnya kemudian mengambil alih beberapa tugas masak – merupakan ilustrasi yang baik mengenai betapa sangat kreatifnya suatu penyelesaian dapat terjadi. Baik ibu maupun anak gadisnya mengakui bahwa penyelesaian akhir merupakan suatu yang menakjubkan bagi mereka. Satu cara penyelesaian lain yang bermutu tinggi muncul dari suatu keluarga yang menggunakan Metode III untuk menyelesaikan konflik antara orang tua dan dua anak gadisnya yang masih kecil mengenai kebisingan pesawat TV yang mereka menikmati sewaktu makan malm bersama orang tua. Satu di antara dua anak itu menyarankan agar mereka menikmati acara itu tanpa suara – hanya melihat gambarnya saja. Semua setuju pada cara penyelesaian ini – suatu cara yang baru, memang, meskipun cara ini tak dapat diterima oleh anak-anak dari keluarga lain.

Metode III Mengembangkan Ketrampilan Berpikir Anak Metode III mendorong – sesungguhnya meminta – anak-anak untuk berpikir. Orang tua memberi aba-aba kepada anak: “Kita ada konflik, marilah kita bersama-sama memikirkannya – marilah kita cari satu pemecahan yang baik “. Metode III merupakan suatu latihan penalaran,

151

baik bagi orang tua maupun bagi anak. Metode ini hampir menyerupai sebuah teka-teki yang menggugah dan memerlukan “pemikiran tuntas” atau “mencari penyelesaian”. Saya tak akan heran bila penelitian di masa depan membuktikan bahwa anak-anak dalam keluarga yang menggunakan Metode III mengembangkan kemampuan-kemampuan mental yang lebih unggul daripada anak-anak yang keluarganya menggunakan Metode I dan II.

Rasa Bermusuhan Berkurang – Cinta, Bertambah Orang tua yang secara konsisten menggunakan Metode III, umumnya melaporkan bahwa rasa bermusuhan pada anak-anak mendadak berkurang. Ini tidaklah mengherankan; bila tiap-tiap dua orang menyetujui suatu cara penyelesaian, maka penyesalan-penyesalan serta rasa bermusuhan jarang terdapat. Dalam kenyataan, bila orang tua dan anak menyelesaikan secara tuntas “mengolah” suatu konflik sampai pada suatu penyelesaian yang menyenangkan bagi kedua belah pihak, mereka sering merasakan perasaan cinta dan kemesraan yang mendalam. Konflik, bila diselesaikan dengan suatu pemecahan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, akan mendekatkan mereka yang berkonflik. Mereka bukan saja lega bahwa konflik telah dilenyapkan, tapi masing-masing lega bahwa dirinya tidaklah kalah. Akhirnya, masing-masing secara tulus menghargai kesediaan orang lain untuk mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhannya dan menghargai hak-haknya. Dengan jalan ini maka Metode III memperkuat dan memperdalam hubungan antar-manusia. Banyak orang tua telah melaporkan bahwa segera setelah pemecahan suatu konflik, tiap orang merasakan suatu perasaan gembira yang istimewa. Mereka sering tertawa, menyatakan perasaan-perasaan mesra terhadap anggota-anggota keluarga, dan sering berpelukan atau berciuman. Kegembiraan dan rasa cinta semacam itu nampak jelas dari ringkasan rekaman tape recorder dari suatu pertemuan dengan seorang ibu, dua gadis remaja, dan satu anak laki-laki remaja. Keluarga ini seminggu yang lalu baru saja menyelesaikan beberapa konflik dengan Metode III. “Kami lebih saling cocok kini, kami semuanya menyukai satu sama lain.” KONSELOR: “Anda benar-benar merasakan suatu perbedaan dalam seluruh sikap Anda, dalam cara Anda merasakan hubungan satu sama lain.” HESTI: “Ya saya benar-benar menyukai mereka kini. Saya menghormati Ibu dan kini saya suka pada Tedi, jadi saya merasa semua menggembirakan.” KONSELOR: “Anda sungguh senang bahwa Anda termasuk dalam keluarga ini.” TEDI: “Ya, saya pikir kami senang.” ANNA:

Sekitar satu tahun kemudian salah satu orang tua menulis kepada saya sebagai berikut:

152

“Perubahan-perubahan dalam hubungan keluarga kami meski kecil tapi nyata. Khususnya anak-anak yang lebih tua amat menghargai perubahanperubahan ini. Pada suatu kali rumah kami diliputi “mendung” – penuh kritik, penyesalan, rasa bermusuhan yang tertahan hingga beberapa soal kecil mencetuskan suatu ledakan. Sejak MOE dan sejak kami menerapkan ketrampilan baru itu bersama anak-anak semua, maka “mendung” ini hilang. Udara menjadi cerah dan tetap cerah. Kami tidak diliputi ketegangan di rumah kecuali ketegangan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan jadwal kegiatan sehari-hari. Kami menangani masalah-masalah bila timbul masalah, dan kami semua menyesuaikan diri dengan perasaan orang lain serta perasaan kami sendiri. Anak laki-laki saya yang berusia 18 tahun mengatakan bahwa ia merasakan ketegangan di rumah tamn-temannya, dan ia menghargai kurangnya ketegangan dalam rumah kami. MOE telah menutup “jurang antar-generasi” bagi kami. Dan oleh karena kami dapat berkomunikasi secara ebas, anak-anak saya bersikap lebih terbuka terhadap pelajaran yang saya berikan tentang sistem nilai saya dan pandangan saya tentang kehidupan. Pandangan-pandangan mereka pun lebih memperkaya pandangan saya.”

Kurang Butuh Pemaksaan Metode III memerlukan sangat sedikit pemaksaan, oleh karena sekali anak-anak bersepakat atas suatu pemecahan yang dapat diterima, mereka biasanya melaksanakannya, sebagian oleh karena mereka menghargai bahwa mereka tidak dipaksa untuk menerima suatu pilihan di mana mereka kalah. Dengan Metode I, umumnya diperlukan pemaksaan, karena pemecahan orang tua sering kali tidak dapat diterima anak. Semakin suatu pemecahan kurang dapat mereka terima, padahal merekalah yang harus mengerjakannya, semakin besar kebutuhan untuk memaksa – mengganggu, merayu, menyindir, mengingatkan, menyusahkan, memeriksa, dan selanjutnya. Seorang ayah dari kursus MOE menjadi sadar akan berkurangnya kebutuhan melakukan pemaksaan: “Dalam keluarga kami setiap Sabtu pagi selalu terjadi perdebatan besar. Tiap Sabtu saya “berperang” dengan anak-anak mengenai apa tugas mereka di rumah. Tiap kali sama saja yang terjadi – perdebatan besar, kemarahan, dan kepahitan. Setelah kami menggunakan Metode III untuk menyelesaikan masalah tugas-tugas rutin, anak-anak seolah-oleh melakukan tugasnya atas kesadaran sendiri. Mereka tidak perlu diingatkan dan dipaksakan”.

Metode III menghilangkan Kebutuhan Akan Kekuasaan Metode anti-kalah menyebabkan bahwa penggunaan kekuasaan oleh orang tua atau anak menjadi tidak perlu. Bila Metode I dan II menumbuhkan perebutan kekuasaan, maka Metode III menuntut adanya suatu sikap yang sama sekali berbeda. Orang tua dan anak tidak berkelahi satu sama lain, melainkan bekerja bersama-sama untuk suatu tugas bersama, hingga anak-anak tidak perlu mengembangkan metode yang mana pun untuk menyesuaikan diri dengan kekuasaan orang tua.

153

Dalam Metode III, sikap orang tua adalah sikap yang menghormati kebutuhan anak. Tapi ia juga menghormati kebutuhannya sendiri. Metode ini menyampaikan kepada anak: “Saya menghormati kebutuhankebutuhanmu serta hakmu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, tapi saya juga menghormati kebutuhan-kebutuhan saya dan hak saya untuk memenuhi kebutuhan saya. Marilah kita cari suatu penyelesaian yang dapat diterima oleh kita berdua. Dengan cara ini kebutuhan-kebutuhanmu akan dipenuhi, tapi demikian juga kebutuhan-kebutuhan saya. Tak ada yang kalah – dua-duanya menang”. Seorang gadis berusia 16 tahun pada suatu malam pulang ke rumahnya dan mengatakan kepada orang tuanya: “Bapak-Ibu tahu, saya merasa lucu di antara teman-teman saya waktu mereka semua berbicara dan mengeluh betapa tidak adilnya orang tua mereka. Mereka terus-menerus bicara tentang kemarahan serta kebencian mereka terhadap orang tuanya. Saya berdiam diri saja karena saya tidak punya perasaan seperti itu. Saya benar-benar di luarnya. Seseorang menanyakan kepada saya mengapa saya tidak merasa benci pada orang tua saya – apa bedanya dengan keadaan di keluarga kami. Mula-mula saya tak tahu apa yang harus saya katakan, tapi setelah memikirkannya, saya mengatakan bahwa dalam keluarga kami tidak seorang pun melakukan sesuatu secara terpaksa. Tidak ada ketakutan bahwa orang tua akan memaksa seorang anak untuk melakukan sesuatu atau menghukum seorang anak. Orang selalu merasa bahwa ia punya kesempatn untuk berkembang”.

Orang tua dalam MOE secara cepat dapat menangkap apa artinya mempunyai keluarga di mana masalah kekuasaan dapat dibuang. Mereka melihat implikasi-implikasi yang menggembirakan – suatu kesempatan untuk membesarkan anak-anak yang bebas dari mekanisme-mekanisme penyesuaian diri yang merusak dan defensif. Anak-anak mereka hampir tidak perlu mengembangkan pola-pola kebiasaan untuk menolak dan memberontak (tak ada yang patut mereka tolak atau berontak); jauh lebih sedikit kebutuhan untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk mengalah dan menyerah secara pasif (tidak ada penguasa yang harus ditaati); jauh lebih sedikit kebutuhan untuk menjauhkan diri atau melarikan diri (tak ada hal yang patut dihindari atau dijauhi); jauh lebih sedikit kebutuhan untuk mengadakan serangan balasan dan merendahkan orang tua (orang tua tidak mau menang sendiri dengan memanfaatkan ukuran psikologisnya yang serba lebih).

Metode III Mengena pada Masalah Sebenarnya Bila orang tua menggunakan Metode I, mereka sering kali kehilangan kesempatan untuk menyelidiki apakah yang sesungguhnya mengganggu anaknya. Orang tua yang cepat-cepat memutuskan pemecahan mereka sendiri dan kemudian menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan pemecahan-pemecahan yang cepat itu, menghambat anak

154

mengkomunikasikan perasaan-perasaan yang terletak jauh di lubuk hatinya dan yang pada waktu itu merupakan penentu yang lebih berarti bagi tingkah lakunya. Jadi Metode I menghalangi orang tua untuk memahami masalah yang lebih dasar, dan metode ini menghalangi anak menyumbangkan sesuatu yang jauh lebih berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dalam jangka panjang. Metode III sebaliknya, merupakan awal dari suatu reaksi berantai. Anak diperbolehkan terjun ke dalam masalah-masalah rumit yang sesungguhnya, yang menyebabkan anak bertingkah laku secara khusus. Sekali masalah yang sesungguhnya ditemukan, maka pemecahan yang cocok bagi konflik itu sering kali menjadi hampir jelas. Metode III sebenarnya merupakan proses pemecahan masalah: metode ini umumnya memungkinkan anak dan orang tua mampu merumuskan apakah masalah yang sebenarnya, yang memperbesar kemungkinan mereka untuk mencapai penyelesaian yang sungguh-sungguh memecahkan masalah dasar, bukan masalah yang “disajikan” pada awal yang sering kali merupakan masalah yang dangkal yang menggejala di permukaan. Sebuah olustrasi yang baik adalah “masalah jas hujan”, yang ternyata disebabkan oleh rasa takut anak untuk mengenakan jas hujan bercorak kotak-kotak. Dan di sini dikemukakan beberapa contoh lain. Freddy, 5 tahun, menolak pergi ke taman kanak-kanak beberapa bulan setelah dia mulai sekolah. Mula-mula ibunya beberapa kali memaksa dia tiap-tiap pagi. Kemudian dia mengikuti cara pemecahan maslah, ia melaporkan bahwa hanya diperlukan sepuluh menit untuk menemukan penyebab sesungguhnya: Freddy takut bahwa ibunya tidak akan menjemputnya dan jarak waktu antara selesainya sekolah dan kedatangan ibu terasa lama sekali, tak kunjung berakhir. Ia juga bertanya-tanya apakah ibu mencoba mengesampingkan dirinya dengan mengirimnya ke sekolah. Ibu mengatakan kepada Freddy bagaimana perasaannya: Ia tidak mencoba mengesampingkan Freddy dan ia senang kalau Freddy di rumah. Tetapi ia juga menghargai sekolahnya. Dengan proses pemecahan masalah melalui Metode III, beberapa cara pemecahan muncul dan mereka memilih satu: ibu sudah harus berada di sekolah untuk menjemputnya sebelum sekolah usai. Ibu melaporkan bahwa setelah itu Freddy berangkat ke sekolah dengan senang hati dan bahwa ia sering menyebutkan perjanjian mereka, sambil menunjukkan betapa pentingnya hal ini baginya. Konflik sejenis dalam keluarga lain diselesaikan dengan cara yang lain karena proses Metode III menggali masalah dasar yang berbeda. Dalam keluarga ini, Bonnie, 5 tahun, juga menolak bangun dan berpakaian untuk berangkat ke taman kanak-kanak, hingga setiap pagi menjadi masalah bagi keluarga.

155

Di sini akan dilukiskan sebuah rekaman ulang yang agak panjang tapi cantik, kata demi kata, di mana Bonnie dan ibunya menggarap suatu pemecahan yang kreatif. Contoh ini tidak hanya menggambarkan bagaimana proses ini membantu orang tua menemukan masalah yang dasar, tapi juga betapa pentingnya “mendengar aktif” dalam pemecahan konflik melalui Metode III ini, dan bagaimana Metode III ini menghasilkan persetujuan yang tulus ikhlas terhadap suatu pemecahan. Akhirnya hal ini dengan tajam melukiskan betapa dalam Metode III anak-anak maupun orang tua sama yakin bahwa sekali suatu cara pemecahan telah disepakati maka itu akan dilaksanakan. Ibu baru saja menyelesaikan suatu masalah yang menyangkut keempat anak-anaknya. Kini ia mengarahkan percakapannya kepada Bonnie, dan memberikan suatu masalah yang ia hadapi hanya dengan Bonnie. IBU:

BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE:

IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU:

BONNIE: IBU:

“Bonnie, ada masalah yang ingin saya kemukakan yakni bahwa setiap pagi Bonnie demikian lambatnya berpakaian hingga mengakibatkan semua yang lain terlambat dan kadang-kadang menyebabkan Terri tertinggal bis sekolah, dan karena begitu lama menolong Bonnie berpakaian, Ibu tidak ada waktu lagi untuk menyiapkan sarapan pagi bagi orang-orang lain, dan Ibu harus buru-buru dan berteriak kepada Terri untuk cepat-cepat mengejar bis. Jadi masalahnya besar.” (Keras) “Tapi saya tak suka berpakaian pada pagi hari.” “Kamu tak suka berpakaian untuk pergi ke sekolah.” “Saya tidak senang pergi ke sekolah – saya senang tinggal di rumah melihat buku-buku bila Ibu bangun dan semua orang berpakaian rapi.” “Kamu lebih suka tinggal di rumah daripada pergi ke sekolah?” “Ya.” “Kamu lebih suka tinggal di rumah dan bermain-main dengan ibu?” “Ya, … seperti bermain-main dan melihat-lihat buku.” “Kamu tak banyak kesempatan untuk melakukannya.” “Tidak. Saya tidak mendapat kesempatan untuk bermain-main seperti yang diadakan pada waktu perayaan ulang tahun – kami tidak melakukannya di sekolah – kami melakukan jenis-jenis permainan yang berbeda di sekolah.” “Kamu senang dengan permainan yang dilakukan di sekolah.” “Tidak terlalu suka oleh karena ita selalu memainkan yang itu-itu.” “Kamu pernah menyukainya, tapi kamu tidak terus-menerus menyukainya.” “Ya, karena itu saya senang memainkan beberapa permainan di rumah.” “Karena permainan-permainan itu lain daripada permainan yang dilakukan di sekolah; dan kamu tidak suka melakukan hal yang sama setiap hari.” “Ya, saya tidak suka terus-menerus melakukan hal yang sama setiap hari.” “Tentunya senang ya, untuk melakukan sesuatu yang agak lain.”

156

BONNIE: IBU: BONNIE: IBU:

BONNIE: IBU: BONNIE:

IBU: BONNIE: IBU: BONNIE:

IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU:

BONNIE: IBU:

BONNIE: IBU: BONNIE: IBU:

“Ya, seperti mengerjakan prakarya seni di rumah.” “Apakah kamu melakukan prakarya seni di sekolah?” “Tidak, kami hanya mewarnai, melukis, dan merekat pada papan.” “Kedengarannya yang paling tidak kamu senangi di sekolah ialah bahwa kamu tetap melakukan hal-hal yang sama berulang-ulang kali – benar?” “Tidak tiap hari – kami tidak mengerjakan permainan yang sama setiap hari.” “Kamu tidak mengerjakan permainan yang sama setiap hari?” (Frustasi) “Saya mengerjakan permainan yang sama setiap hari tetapi kadang-kadang kami mempelajari permainan-permaian baru – tapi saya tidak suka. Saya senang tinggal di rumah.” “Kamu tidak suka mempelajari permainan yang baru.” (Sangat kesal) “Ya, betul ….” “Tapi lebih senang tinggal di rumah.” (Lega) “Ya, saya benar-benar senang tinggal di rumah dan memainkan berbagai permainan, melihat buku-buku serta tidur – bila Ibu ada di rumah.” “Hanya bila saya ada di rumah.” “Bila Ibu tinggal di rumah sepanjang hari, saya ingin tinggal di rumah. Bila Ibu pergi, saya pergi ke sekolah.” “Kedengarannya Ibu tidak cukup tinggal di rumah.” “Ya, Ibu selalu harus pergi ke sekolah mengajar di pagi hari atau malam hari.” “dan kamu lebih suka Ibu tidak demikian banyak pergi (keluar).” “Ya.” “Kamu merasa tak cukup banyak bertemu dengan Ibu.” “Tiap malam saya hanya bersama seorang baby sitter bernama Susinah, bila Ibu pergi.” “Dan kamu lebih senan bersama Ibu.” (Tegas) “Ya.” “Dan kamu pikir mungkin di pagi hari bila Ibu di rumah ….” “Saya tinggal di rumah.” “Kamu ingin tinggal di rumah supaya dapat bersama Ibu.” “Ya.” “Baik, mari coba pecahkan. Ibu harus mengajar. Ibu bertanya-tanya apakah kita dapat menyelesaikan masalah ini dengan satu atau lain cara. Apakah kamu ada usul?” “(Ragu-ragu) “Tidak.” “Ibu sedang memikirkan mengenai kemungkinan meluangkan sedikit waktu supaya kita dapat cukup bertemu, lebih-lebih di siang hari bila Ricky sedang tidur.” (Gembira) “Itu yang saya inginkan!” “Kamu menyukainya.” “Ya.” “Kamu ingin mengisi waktu berdua saja bersama Ibu.”

157

BONNIE:

IBU:

BONNIE: IBU:

BONNIE: IBU:

BONNIE: IBU:

BONNIE:

IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE:

IBU: BONNIE: IBU: BONNIE: IBU: BONNIE:

“Ya, tanpa Randy, tanpa Terry, tanpa Ricky – hanya dengan Ibu dan saya bermain-maian serta membaca buku-buku cerita. Tapi saya tak akan senang kalau Ibu membaca buku-buku cerita, karena nanti Ibu akan mengantuk – bila Ibu membacanya, Ibu selalu….” “Ya, benar. Lalu kamu ingin barangkali bukannya tidur tapi – ini merupakan masalah lain, juga kamu akhir-akhir ini tidak tidur siang, dan Ibu pikir barangkali kamu tidak memerlukan benar.” “Saya tak suka tidur siang – tapi kita kan tidak membicarakan masalah tidur siang.” “Betul kita tidak bicara soal tidur, tapi saya sedang memikirkan, daripada tidur barangkali kita dapat menyisihkan waktu itu – waktu yang biasa kamu pakai untuk tidur – kita dapat menggunakan waktu itu untuk kita sendiri.” “Buat kita sendiri ….” “Ya. Lalu mungkin kamu tak akan begitu merasa bahwa kamu ingin tinggal di rumah pada pagi hari. Apakah bagimu akan menyelesaikan masalah?” “Saya tak mengerti apa yang Ibu katakan.” “Saya mengatakan bahwa barangkali bila kita mempunyai waktu beberapa jam di siang hari di mana kita bisa sekedar bersama-sama dan melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan saja, dan waktu itu Ibu bahkan Ibu tak akan bekerja apa-apa – selama melakukan hal-hal yang kamu inginkan – barangkali kamu lalu ingin pergi ke sekolah di pagi hari, karena tahu bahwa siang hari ada waktu untuk bermain bersama Ibu.” “Ya, itu yang saya ingin lakukan. Saya ingin pergi ke sekolah pagipagi dan bila sudah waktunya tidur siang – karena kita tidak ada waktu istirahat di sekolah – waktu itu Ibu kan tidak bekerja. Ibu tinggal di rumah dan melakukan apa yang ingin saya kerjakan,” “Kamu ingin agar waktu itu Ibu hanya bermain denganmu dan tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.” (Tegas) “Ya, tidak mengerjakan pekerjaan rumah.” “Baiklah, apakah kita akan mencobanya? Kapan kita mulai – besok?” “Baik, tapi kita harus mencatat ini karena Ibu bisa saja lupa.” “Lalu kalau saya tidak ingat, kita harus mulai lagi memecahkan persoalan kita.” “Ya. Tapi, Ibu mungkin bisa mencatat dan meletakkannya di pintu kamar, atau di dapur agar Ibu ingat, dan bila Ibu turun dari tempat tidur, Ibu akan ingat karena Ibu akan melihat catatan Ibu.” “Dan saya tak akan secara kebetulan melupakannya dan mulai tidur atau melakukan pekerjaan di rumah.” “Ya.” “Baik, ide yang bagus. Saya akan membuat catatan itu.” “Dan buatlah nanti malam bila saya sedang tidur.” “Baik.” “Dan setelah itu Ibu dapat pergi rapat.”

158

IBU: BONNIE:

“Baik, saya rasa kita telah menyelesaikan masalah ini, bukan?” (Dengan senang hati) “Ya.”

Ibu ini, yang dengan begitu efektif menggunakan Metode III untuk memecahkan masalah yang umumnya menjengkelkan, kemudian melaporkan bahwa Bonnie telah menghentikan tingkah laku seenaknya dan keluh-kesahnya di pagi hari. Beberapa minggu kemudian Bonnie mengumumkan bahwa ia lebih suka pergi keluar dan bermain-main daripada menggunakan demikian banyak waktu bersama ibunya. Pelajaran yang diperoleh dari sini ialah bahwa sekali kebutuhan-kebutuhan sebenarnya dari anak telah diketemukan melalui cara pemecahan masalah, dan sekali satu pemecahan yang cocok ditemukan bagi kebutuhankebutuhan sementara dari anak telah dipenuhi.

Memperlakukan Anak Sebagai Orang Dewasa Cara pendekatan Metode III menyampaikan kepada anak-anak bahwa orang tua menganggap kebutuhan-kebutuhan mereka adalah penting juga, dan bahwa anak-anak sebaliknya dapat dipercayai akan mempertimbagnkan kebutuhan orang tua. Ini berarti memperlakukan anak-anak seperti kita memperlakukan teman-teman atau pasangan kita. Metode ini terasa baik sekali untuk anak-anak karena anak-anak senang sekali dipercaya dan diperlakukan setaraf dengan orang dewasa. (Metode I memperlakukan anak seolah-olah anak adalah kurang matang, tak bertanggung jawab, dan tanpa otak). Seorang lulusan MOE melaporkan percakapan berikut ini: AYAH:

LAURA:

IBU: LAURA: AYAH: LAURA: IBU:

LAURA: AYAH:

“Saya bermaksud mengajakmu menyelesaikan masalah tidur malam. Tiap malam Ibu dan saya atau dua-duanya harus memarahimu dan kadang-kadang memaksa kamu untuk tidur pada waktu yang teratur, pukul 8 malam. Saya tak begitu senang melakukan hal ini sebenarnya dan saya bertanya-tanya bagaimana kamu merasakannya.” “Saya tak senang ayah mengomeli saya … dan saya tak suka tidur begitu cepat. Saya sudah besar sekarang dan saya harus bisa berjaga lebih lama daripada Joni (adik, 2 tahun lebih muda).” “Kamu merasa bahwa kmi memperlakukanmu sama seperti Joni dan memperlakukan secara demikian menurutmu tidak adil.” “Ya, saya dua tahun lebih tua dari Joni.” “Dan kamu merasa bahwa kami harus memperlakukan kamu sebagai seorang yang lebih tua.” ”Ya!” “Kamu benar dalam hal itu. Tapi bila kami biarkan kamu tidak tidur cepat lalu kamu bermain-main terus, saya takut kamu benar-benar akan tidur terlambat.” “Tapi saya tak bermain terus bila saya dapat berjaga lebih lama.” “Saya ingin tahu apakah kamu dapat menunjukkan kepada kami bagaimana kau bisa membantu kami menjelang tidur, kalau demikian kami bisa mengubah waktu.”

159

LAURA: AYAH: LAURA:

IBU:

LAURA: AYAH: LAURA: IBU:

“Itu juga tidak adil.” “Akan tidak adil untuk memintamu “bekerja” bagi waktu tidur yang lebih lambat, ya?” “Saya pikir saya harus dapat bangun lebih lama karena saya lebih tua (Diam). Mungkin jika saya tiduran di tempat tidur pukul 8 dan membaca di tempat tidur hingga pukul 8.30?” “Kamu akan berada di tempat tidur pada waktu yang sama seperti sekarang tapi lampu dapat terus dinyalakan sementara kamu membaca?” “Ya, saya senang membaca di tempat tidur.” “Kedengarannya ini baik sekali bagi saya – tapi siapa yang akan melihat jam?” “Oh, saya yang akan melakukannya. Saya akan mematikan lampu segera setelah pukul 8.30.” “Kedengarannya usul yang cukup baik Laura. Akan kita coba sementara?”

Hasil telah dilaporkan oleh ayah seperti berikut: “Kami sesudah itu hanya sedikit mempermasalahkan waktu tidur. Pada waktu-waktu di mana lampu Laura belum dimatikan pada pukul 8.30, satu di antara kita akan mengkonfrontasikan Laura dengan peringatan seperti: “Sekarang sudah pukul 8.30, Laura, bukankah engkau sudah berjanji akan mematikan lampu?” Terhadap peringatan-peringatan ini ia selalu tanggap dan dapat menerimanya. Cara pemecahan ini memberi kesempatan bagi Laura menjadi ‘anak yang sudah besar’ dan membaca di tempat tidur seperti Ibu dan Ayah”.

Metode III Sebagai “Terapi” bagi Anak Sering kali Metode III membawa perubahan-perubahan dalam tingkah laku anak, yang banyak mirip dengan perubahan-perubahan yang terluhat bila anak sedang menjalani terapi pada seorang terapis profesional. Ada sesuatu yang secara potensial terapeutis dalam menyelesaikan konflik atau memecahkan masalah dengan metode ini. Seorang ayah yang ikut MOE mengajukan dua contoh di mana penggunaan Metode III menghasilkan perubahan-perubahan “terapeutis” seketika pada anaknya yang berusia 5 tahun: “Ia telah mengembangkan minat yang besar dalam bidang keuangan dan sering kali mengambil uang kembalian recehan yang terletak di laci saya. Kami mengadakan percakapan untuk menyelesaikan konflik dengan Metode III yang menghasilkan persetujuan bahwa kami akan memberinya lima puluh ribu rupiah sehari sebagai uang saku. Hasilnya, ia berhenti mengambil uang dari laci, dan selama ini sangat konsisten menabung untuk membeli barang-barang yang diinginkannya”. “Kami cukup prihatin mengenai minat anak kami yang berusia 5 tahun atas film fiksi ilmiah dalam TV, yang nampaknya menyebabkan ia gelisah di malam hari. Suatu acara lain di TV pada saat yang sama cukup mendidik sifatnya dan tidak mengerikan. Ia juga menyenangi program ini tapi jarang memilihnya.

160

Dalam percakapan memakai Metode III, kami semua memutuskan suatu pemecahan bahwa ia akan secara sili-berganti melihat program itu. Sebagai hasilnya, mimpi yang menakutkan menghilang dan akhirnya ia mulai lebih sering menonton program pendidikan dari pada film fiksi ilmiah.”

Orang tua lain telah melapoekan perubahan-perubahan yang menyolok pada anak-anaknya setelah orang tua menggunakan Metode III selama satu jangka waktu tertentu – di sekolah nilai-nilai bertambah baik, hubungan dengan teman sebaya lebih baik, lebih terbuka dalam menyatakan perasaan, jarang marah-marah, berkurangnya sikap bermusuhan terhadap sekolah, lebih bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan dalam rumah, lebih berdikasi, lebih percaya diri, lebih bergembira, kebiasaan makan lebih baik, dan perbaikan-perbaikan lain yang disambut baik oleh orang tua.

161

12 Kekhawatiran dan Ketakutan Orang Tua Terhadap Metode Anti-Kalah Metode anti-kalah sebagai cara untuk menyelesaikan konflik, mudah dan cepat dimengerti oleh para orang tua peserta MOE, sebagai alternatif baru yang menjanjikan efektivitas. Meskipun demikian, ketika dari diskusidiskusi teoritis dalam kelas mereka harus melangkah ke pelaksanaanya di rumah, banyak orang tua yang mengalami kekhawatiran yang memang wajar dan dapat dimengerti. “Kedengarannya bagus dalam teori”, begitu kami pernah dengar; “Tapi dapatkah metode ini dipraktekkan?” Memang wajar bila manusia mencurigai setiap hal baru dan menginginkan keterangan sedalamdalamnya mengenai hal baru itu, sebelum meninggalkan sesuatu kebiasaan lama. Juga, para orang tua agak enggan “bereksperimen” dengan anakanak yang amat mereka sayangi. Sebagai permulaan, di sini akan dikemukakan beberapa kekhawatiran dan ketakutan terpenting dengan harapan bahwa para orang tua akan sungguh-sungguh mencoba metode anti-kalah.

HANYA NAMA BARU BAGI MUSYAWARAH KELUARGA BIASA? Beberapa orang tua mula-mula menolak Metode III karena mereka pikir kedengarannya sama seperti “musyawarah keluarga” yang pernah dicoba oleh orang tua mereka dulu. Waktu kami minta mereka melukiskan bagaimana musyawarah keluarga mereka itu berlangsung, hampir semuanya melukiskan sesuatu yang mirip dengan gambar ini: “Tiap hari Minggu, Ibu dan Ayah menyuruh kami duduk mengelilingi meja makan untuk mengadakan musyawarah keluarga guna membicarakan masalahmasalah. Bisanya merekalah yang mengemukakan masalah-masalah, tapi kadang-kadang kami anak-anak mengungkapkan juga beberapa hal. Ayah dan Ibu paling banyak bicara, dan Ayah yang memimpin rapat. Sering kali mereka memberikan sejenis ceramah atau wejangan. Biasanya kami mendapat kesempatan untuk menggunakan pendapat kami, tapi mereka hampir selalu memutuskan apa pemecahannya. Mula-mula kami merasa lucu, tetapi kemudian jadi membosankan. Kami tidak dapat mempertahankannya terlalu lama, seingat saya. Hal-hal yang kami bicarakan adalah pekerjaan-pekerjaan rutin dan waktu tidur, dan bagaimana kita dapat bersikap dengan lebih mempertimbangkan Ibu.”

Meskipun hal tersebut tidak mewakili semua musyawarah keluarga, pertemuan-pertemuan ini cukup terpusat pada orang tua, ayah jelas merupakan ketua, anak “diajari” atau “disadari”, pemecahan masalahmasalah umumnya agak abstrak dan tidak kontroversial dan biasanya suasana cukup menyenangkan dan bersahabat.

162

Metode III tidak sama dengan pertemuan tapi merupakan metode menyelesaikan konflik, sedapat mungkin segera setelah terjadi. Tidak semua konflik melibatkan seluruh keluarga; kebanyakan menyangkut salah satu orang tua dan salah satu anak. Orang-orang lain tidak perlu dan tidak boleh hadir. Metode III juga bukan merupakan alasan bagi ibu-ibu dan anak-anak untuk memberi wejangan atau “mengajar”, “mendidik”, yang biasanya mengandaikan bahwa guru atau “penceramah” sudah mempunyai jawabannya. Dalam Metode III, orang tua dan anak mencari jawaban mereka sendiri yang unik dan biasanya tidak ada jawaban yang baku terhadap masalah-masalah yang muncul bagi suatu pemecahan “anti-kalah”. Juga tidak ada “ketua” atau “pemimpin”, orang tua dan anak merupakan pelaku setara yang bekerja keras untuk menemukan suatu pemecahan atas masalah mereka bersama. Umumnya, Metode III diterapkan dengan cara singkat, saat ini dan di sini, kami menamakannya sebagai pemecahan “sambil berdiri”, karena peserta menangani konflik segera setelah konflik terjadi, dan tidak menunggu dulu untuk dikemukakan secara abstrak pada suatu pertemuan keluarga yang dilakukan “sambil duduk”. Akhirnya suasana selama menyelesaikan konflik dengan Metode III tidak selalu menyenangkan dan bersahabat. Konflik antara orang tua dan anak sering kali menjadi agak emosional dan perasaan-perasaan sering berjalan dengan cukup memuncak. Ayah perlu mobil untuk pergi ke rapat, tapi Joko mau menggunakan juga karena sudah ada janji (dengan pacarnya). Sally berkeras untuk pergi (dengan pacarnya) memakai sweater baru milik ibunya. Timmy masih kecil ingin pergi berenang padahal ia sedang selesma. Ucok memainkan gitarnya dengan volume amat kuat pada amplifiernya. Konflik semacam ini biasanya melibatkan perasaan-perasaan sungguhsungguh. Bila orang tua mulai mengerti perbedaan-perbedaan antara musyawarah keluarga menurut gaya lama dengan cara pemecahan konflik ini, maka menjadi jelaslah bahwa kamu bukan menghidupkan tradisi kuno di bawah nama yang baru.

METODE III DILIHAT SEBAGAI KELEMAHAN ORANG TUA Beberapa orang tua, khususnya para ayah, mula-mula menyamakan Metode III dengan “mengalah” kepada anak, “menjadi orang tua yang lemah”, “berkompromi dengan mengurbankan keyakinan sendiri”. Seorang ayah, setelah mendengar rekaman pembicaraan Bonnie dan ibunya dalam menyelesaikan konflik pergi ke sekolah, dengan agak marah memprotes, “Mengapa, ibu itu jelas-jelas mengalah pada anaknya! Kini ia harus menyisihkan waktu satu jam dengan anaknya yang manja itu tiap-tiap siang. Anak itu menang, bukan?” Tentu saja anak itu menang, tapi demikian juga

163

ibunya. Ibu tidak perlu mengalami suatu ketegangan emosional 5 kali dalam seminggu. Para pembina memahami reaksi ini, mereka pernah mendengarnya pada hampir semua kelas karena orang tua sudah terbiasa memikirkan konflikkonflik dalam kerangka “menang-kalah”. Mereka pikir bila seseorang mendapat apa yang diinginkan, yang lain pasti gagal memperoleh keinginannya. Harus ada yang kalah. Pada mulanya sukar bagi orang tua untuk mengerti bahwa ada suatu kemungkinan bagi kedua orang untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Metode III bukan Metode II di mana anak memperoleh apa yang diinginkannya dengan mengurbankan keinginan orang tua. Pada mulanya orang tua umumnya berpikir, “Bila saya lepaskan Metode I, maka saya tinggal mempunyai Metode II”. “Bila saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan, anaklah yang akan mendapat apa yang ia inginkan”. Ini merupakan pemikiran “ini atau itu” yang lazim dalam konflik-konflik. Orang tua harus mengerti perbedaan dasar antara Metode II dan Metode III. Mereka perlu diingatkan secara berulang-ulang bahwa dalam Metode III, mereka juga harus berusaha memenuhi keinginan mereka sendiri, mereka harus juga menerima penyelesaian akhir. Bila mereka merasa telah mengalah, maka mereka sebenarnya telah menggunakan Metode II, bukan Metode III. Misalnya, dalam konflik antara Bannie dengan ibunya (Bonnie tak mau pergi ke sekolah), ibu harus benar-benar rela memberi perhatian khusus kepada Bonnie selama satu jam seperti terjadi dalam kasus tadi. Kalau tidak, maka ia sebenarnya mengalah pada Bonnie (Metode II). Beberapa orang tua mula-mula gagal melihat bagaimana ibu Bonnie juga beruntung karena ia tidak perlu lagi mengomel dan berdebat setiap pagi, mereka juga gagal melihat bahwa ibu juga tidak merasa bersalah lagi setiap kali Bonnie berangkat ke sekolah, dan ibu puas karena mengetahui Bonnie ternyata mempunyai kebutuhan yang tak terpenuhi, bahkan menemukan suatu cara untuk memenuhinya. Bagaimanapun juga beberapa orang tua memandang Metode III tak lain sebagai suatu “kompromi” dan bagi mereka kompromi berarti menurunkan atau mengurangi apa yang mereka inginkan, membuat orang tua menjadi orang yang “lemah”. Bila saya mendengar mereka menyuarakan perasaan seperti itu, saya sering ingat apda ucapan John F. Kennedy pada pidato pelantikannya, “Jangan takut berunding, tapi jangan sekali-kali berunding karena takut”. Metode III berartti berunding tapi bukan berunding tanpa keberanian untuk bertahan agar penyelesaian memenuhi baik keinginan orang tua maupun keinginan anak. Kami tidak menyamakan Metode III dengan istilah “kompromi” dalam arti menerima lebih sedikit daripada apa yang kita inginkan, karena menurut pengalaman kami pemecahan-pemecahan yang terjadi hampir selalu

164

menghasilkan lebih banyak daripada yang diharapkan baik oleh anak maupun orang tua. Pemecahan-pemecahan semacam inilah yang sering kali disebut oleh para psikolog sebagai “pemecahan yang elegant” – hasilnya baik, sering kali malah terbaik, bagi kedua belah pihak. Jadi Metode III bukan berarti bahwa orang tua tunduk atau mengalah. Bahkan sebaliknya. Perhatikan konflik berikut ini yang melibatkan seluruh keluarga dan perhatikan betapa menggembirakannya apa yang kemudian terjadi itu bagi orng tua dan anak-anak. Seorang ibu berkisah demikian: “Kami sedang merencanakan pesta ‘Thanksgiving’ (pesta syukuran khas Amerika). Seperti lazimnya ada kebutuhan untuk menyiapkan makan malam bersama yang terdiri dari ayam kalkun sambil mengadakan pertemuan keluarga secara resmi. Ketiga putra saya dan suami saya menyatakan keinginan yang berbeda-beda, sehingga kami mesti memecahkan masalah. Ayah ingin mencat rumah dan tak suka membuangbuang waktu untuk suatu acara makan malam yang tentu berlangsung lama bila ada tamu yang diundang. Putra saya yang di perguruan tinggi justru ingin mengajak ke rumah kami seorang teman yang keluarganya belum pernah merayakan sungguh-sungguh pesta ’Thanksgiving’. Putra saya yang masih SMA ingin pergi ke Bungalow keluarga selama empat hari penuh. Si bungsu mengeluh bila harus berpakaian rapi dan merasa tersiksa bila harus menghadiri upacara makan malam ‘resmi’. Dengan sendirinya saya mendambakan keluarga yang merasa bersatu waktu berkumpul dan saya juga ingin menjadi ibu yang baik dengan cara menyiapkan acara makan malam yang anggun dengan suguhan aya kalkun.” “Rencana yang dihasilkan lewat proses pemecahan masalah ialah bahwa saya harus menyiapkan makan mlam kalkun yang akan dibawa ke bungalow setelah ayah selesai menct rumah. Putra saya yang diperguruan tinggi akan mengajak kawannya ke rumah dan semua anak akan membantu ayah mencat rumah agar kami semua dapat lebih cepat pergi ke Bungalow. Hasilnya: Tidak ada pintu yang dibanting, tak ada kemarahan. Semuanya senang waktu itu, hari ‘Thanksgiving’ yang terbaik yang pernah dialami oleh keluarga kami bersama-sama. Bahkan semua anak saya menolong mencat. Baru pertama kali terjadi bahwa anak-anak menolong ayahnya mengerjakan suatu pekerjaan di rumah tanpa perdebatan yang besar. Ayah senang sekali, dan saya merasa senang menjalankan peran saya dalam acara itu. Padahal saya tidak banyak pekerjaan seperti biasanya terjadi kalau harus mempersiapkan makan malam yang besar. Hasilnya lebih baik daripada mimpi kami yang paling indah. Saya tak akan pernah lagi mendiktekan keputusan-keputusan keluarga!”

Dalam keluarga saya sendiri, pernah timbul suatu konflik yang serius sekali mengenai libur paskah, dan Metode III menghasilkan suatu pemecahan baru yang di luar dugaan dapat diterima oleh kami semua. Saya dan istri saya

165

sama sekali tidak merasa lemah pada akhirnya; kami merasa beruntung bahwa kami telah dapat menghindari “mimpi buruk Newport Beach”. “Anak gadis kami yang berusia 15 tahun ingin memenuhi undangan untuk meleewatkan liburan Paskah bersama beberapa teman wanitanya di Newport Beach (“tempat mangkal cowok-cowok” di California, pusat bir, ganja, dan polisi). Saya dan istri saya benar-benar mengkhawatirkan kemungkinan terpengaruhnya anak kami oleh kejadian-kejadian yang menimpa ribuan anak sekolah pada pertemuan tahunan semacam itu, seperti sering kami dengar. Kami menyatakan kekhawatiran-kekhawatiran, yang oleh anak gadis kami didengar juga tapi tidak begitu diindahkan oleh karena keinginannya untuk bersama dengan teman-temannya di pantai itu sedemikian kuatnya. Kami tahu bahwa kami akan kurang tidur dan takut dipanggil tengah malam untuk menarik anak kami itu dari kesulitan yang sungguh besar. Melalui mendengar aktif telah terungkapkan sesuatu hal yang di luar dugaan – kebutuhan utamanya adalah untuk bisa bersama dengan seorang teman wanita tertentu, dan untuk berada di salah satu tempat di mana terdapat anak-anak laki-laki, dan untuk berada di pantai agar ia dapat kembali ke sekolah dengan warna kulit yang coklat karena sinar matahari. Dua hari setelah timbulnya konflik, yang masih belum diselesaikan, anak kami muncul dengan pemecahan baru. Dapatkah kita mempertimbangkan suatu akhir pekan sambil main golf (“Kita sudah lama tidak main golf, bukan?”). Ia dapat mengajak temannya dan kita semua akan tinggal di motel di salah satu padang golf yang saya sukai, yang kebetulan juga letaknya dekat pantai. Bukan pantai Newport, tapi pantai lain di mana mungkin ada juga anakanak laki-laki. Kami hampir-hampir saja melompat gembira atas usul itu karena sangat lega setelah mendapatkan cara unuk menghindari semua kekhawatiran yang mungkin timbul bila anak kami ke Newport tanpa pengawasan. Ia juga senang, karena semua kebutuhannya terpenuhi, kami melaksanakan rencana itu. Kami semuanya senang pada malam setelah saya dan istri saya main golf dan anak-anak menghabiskan waktu di pantai. Kebetulan hanya beberapa anak laki-laki di pantai itu, hal ini cukup mengecewakan anak-anak. Tapi tak ada anak yang mengeluh kepada kami atau menyatakan perasaan apa pun yang menunjukkan penyesalan terhadap kami atas keputusan yang telah dicapai.”

Situasi ini juga melukiskan bagaimana beberapa cara penyelesaian keputusan melalui Metode III ternyata tidak sempurna. Kadang-kadang, di luar dugaan, apa yang sebelumnya nampak sebagai suatu cara pemecahan yang memenuhi kebutuhan semua orang, ternyata kemudian mengecewakan seseorang. Bagaimanapun juga dalam keluarga-keluarga yang menggunakan Metode III hal ini nampaknya tidak menyebabkan penyesalan dan kekecewaan, mungkin karena jelas bahwa bukanlah orang tua yang menyebabkan kekecewaan anak (seperti pada Metode I) tapi agaknya nasib, atau kebetulan saja, atau cuaca, atau keberuntungan. Mereka dapat menyalahkan kekuatan-kekuatan yang tak dapat diramalkan, tapi tak

166

dapat menyalahkan orang tua. Faktor lain adalah, tentu saja karena Metode III membuat anak-anak merasa bahwa penyelesaian merupakan penyelesaian bersama.

“KELOMPOK TAK DAPAT MEMBUAT KEPUTUSAN” Biasanya orang percaya bahwa hanya individu yang mampu membuat keputusan-keputusan, bukan kelompok. “Sebuah panitia yang bermusyawarah mengenai bagaimana membuat seekor kuda, akan menghasilkan seekor unta”. Lelucon ini sering kali dikemukakan oleh orang tua untuk menyokong pendapatnya bahwa kelompok tidak dapat membuat keputusan atau kalau membuat keputusan, keputusan itu rendah mutunya. Pernyataan lain yang sering dikemukakan orang tua pada kursus MOE ialah bahwa, “Seseorang akhirnya harus memutuskan untuk kelompok”. Mitos ini bertahan karena demikian sedikitnya orang yang diberi kesempatan untuk ikut serta secara aktif dalam kelompok pengambil keputusan. Sepanjang hidupnya, kebanyakan orang tua tak mendapat kesempatan ini karena dihambat oleh mereka yang berkuasa yang menggunakan Metode I secara konsisten untuk menyelesaikan masalahmasalah atau konflik-konflik – orang tua, guru, bibi, pemimpin pramuka, pelatih olahraga, pengasuh anak, pemimpin militer, majikan, dan seterusnya. Kebanyakan orang dewasa dalam masyarakat kita yang “demokratis” ini jarang diberi kesempatan untuk mengalami dan melihat adanya kelompok yang secara demokratis menyelesaikan masalah-masalah dan konflik-konflik. Tidaklah mengherankan bahwa orang tua meragukan kemampuan kelompok untuk memutuskan: “Mereka belum pernah mendapat kesempatan menyaksikannya”. Akibat lanjutnya cukup mencemaskan apalagi bila diingat seringnya pemimpin-pemimpin mengamanatkan pentingnya mendidik anak-anak agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Mungkin inilah sebabnya mengapa beberapa orang tua pada kursus MOE kami, memerlukan sangat banyak bukti-bukti bahwa sebuah kelompok seperti keluarga dapat membuat keputusan-keputusan yang bermutu tinggi dalam menyelesaikan masalah, bahkan masalah yang sering kali menjengkelkan dan ruwet, seperti konflik mengenai: uang, khususnya uang saku, perawatan rumah, pekerjaan-pekerjaan rutin, pembelian barang-barang untuk keluarga, penggunaan mobil, penggunaan TV, liburan, tingkah laku anak-anak, pada waktu pesta di rumah, penggunaan telepon, waktu tidur, waktu makan, penentuan tempat duduk di mobil, penggunaan kolam renang, penyediaan makan, pembagian kamar dan lemari, keadaan kamar.

Daftar ini dapat dibuat lebih panjang lagi – keluarga sebagai kelompok terbukti mampu membuat keputusan, dan buktinya akan terlihat tiap-tiap hari bila keluarga itu menggunakan metode anti-kalah. Tentu saja orang tua harus bersungguh-sungguh menggunakan Metode III dan harus memberi

167

kesempatan kepada mereka sendiri maupun anak-anaknya untuk mengalami bagaimana sebuah kelompok sesungguhnya mampu mencapai penyelesaian yang kreatif dan dapat diterima oleh kedua belah pihak.

“METODE III TERLALU BANYAK MEMAKAN WAKTU” Dugaan bahwa MOE banyak memakan waktu guna memecahkan masalah, membuat para orang tua khawatir. Tuan W, seorang pegawai yang sibuk di mana tugasnya menyita banyak waktu, mengatakan “Tak mungkin saya punya waktu satu jam untuk bersama anak-anak saya satu per satu, tiap kali muncul suatu konflik; itu mustahil”. Nyonya B, ibu dari lima orang anak, mengatakan: “Saya tak akan selesai dengan pekerjaan di rumah bila saya harus menggunakan Metode III dengan tiap anak yang semuanya ada lima orang itu”. Tak dapat disangkal bahwa Metode III memerlukan waktu. Beberapa banyaknya waktu yang diperlukan tergantung dari masalahnya dan kesediaaan orang tua dan anak untuk mencari cara penyelesaianpenyelesaian anti-kalah. Berikut ini dikemukakan pengalaman para orang tua yang telah melakukan usaha sungguh-sungguh dengan Metode III: 1. Banyak konflik merupakan masalah-masalah sensitif dan “pemberontakan” yang memerlukan waktu beberapa menit hingga 10 menit. 2. Beberapa masalah memerlukan waktu lebih banyak misalnya uang saku, pekerjaan-pekerjaan rumah, penggunaan TV, waktu tidur. Meskipun demikian, sekali masalah itu diselesaikan dengan Metode III, masalahmasalah itu umumnya tetap selesai. Tidak seperti halnya keputusankeputusan dengan Metode I, keputusan dengan Metode III umumnya tidak muncul berkali-kali. 3. Dalam jangka panjang, orang tua menghemat waktu karena mereka tak perlu menggunakan waktu berjam-jam untuk mengingatkan, menguatkan, memeriksa, berdebat. 4. Bila Metode III baru pertama kalinya diperkenalkan dalam keluarga, sidangsidang permulaan Metode III biasanya memakan waktu yang lebih lama oleh karena anak-anak (dan orang tua) tidak berpengalaman dengan proses yang baru itu, karena anak-anak mungkin tidak percaya akan maksud baik orang tuanya (“Apakah teknik baru ini bermaksud mengendalikan kami”); atau karena masih mempunyai sisa-sisa kejengkelan atau masih mempunyai kebiasaan mengambil sikap menang-kalah (“Saya harus memperoleh apa yang saya inginkan”). Hasil paling besar yang diperoleh, keluarga-keluarga yang menggunakan

cara anti-kalah mungin justru penghematan waktu; ini sebenarnya sama sekali tak saya duga: setelah suatu waktu tertentu, konflik-konflik sering tidak muncul. “Kami seakan-akan kehabisan masalah untuk dipecahkan”, demikian dilaporkan oleh seorang ibu kepada kami setelah mengikuti MOE selama kurang-lebih satu tahun.

168

Seorang ibu lain, sebagai jawaban terhadap permintaan saya untuk memberikan contoh-contoh mengenai Metode III dalam keluarganya, menulis, “Kami ingin menanggapi permintaan Anda untuk memberikan kasus, tapi kami nampaknya tidak banyak mengalami konflik akhir-akhir ini untuk dapat berlatih lebih lanjut dengan Metode III”. Dalam tahun terakhir, dalam keluarga kami sendiri, demikian sedikit terjadi konflik anak – orang tua, hingga saya terus terang tak dapat mengingat satu konflik pun karena masalah-masalah demikian mudah terselesaikan tanpa menjadi suatu konflik yang meruncing. Saya menduga bahwa konflik-konflik tetap akan terjadi, dari tahun ke tahun, dan saya yakin bahwa semua orang tua mengira demikian juga. Tetapi mengapa terjadi pengurangan konflik? Saya baru mengerti sekarang setelah saya memikirkannya: Metode III memberikan suatu pandangan yang secara radikal berbeda mengenai hubungan antara anak dengan orang tua. Setelah mengetahui bahwa orang tua tidak lagi menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh apa yang diinginkannya, untuk menang dengan jalan menindas kebutuhan-kebutuhan anak-anak, maka anak-anak tidak ada alasan untuk memaksakan keinginan mereka atau untuk mempertahankan diri terhadap kekuasaan orang tua. Akibatnya, benturan kepentingan hampir seluruhnya hilang. Sebagai gantinya, seorang anak jadi menyesuaikan diri, ia menghargai kebutuhan-kebutuhan orang tua seperti juga menghargai kebutuhan-kebutuhan sendiri. Bila orang tua mempunyai kebutuhan-kebutuhan, mereka menyatakannya dan anak-anak mencari caracara untuk menyesuaikan diri. Bila salah satu mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri, maka hal ini lebih akan terlihat sebagai suatu masalah yang perlu diselesaikan daripada melihatnya sebagai suatu pertarungan yang harus dilakukan. Satu hal lain terjadi: Orang tua dan anak mulai mencari cara untuk menghindari konflik. Seorang remaja putri meninggalkan catatan untuk ayahnya di depan pintu, untuk mengingatkan ayahnya bahwa sang remaja perlu memakai mobil malam itu. Atau ia sebelumnya bertanya apakah ayah terganggu bila ia mengundang teman putrinya untuk makan malam Jumat depan perhatikan bahwa ia bukan minta izin. Minta izin atau restu orang tua adalah suatu pola yang dihasilkan oleh keluarga dengan Metode I, dan mengandaikan bahwa bahwa orang tua berkuasa untuk memberi atau tidak memberi izin. Dalam suasana Metode III, anak mengatakan: “Saya ingin melakukan apa yang saya senangi, kecuali bila saya mengetahui bahwa hal itu akan mempengaruhi kesenangan Anda”.

“ORANG TUA BOLEH MENGGUNAKAN METODE I, BUKANKAH MEREKA LEBIH BIJAKSANA” Pandangan bahwa orang tua boleh menggunakan kekuasaan terhadap anak-anaknya karena ia lebih bijaksana dan lebih berpengalaman, sudah

169

sangat kuat berakar. Tadi kami telah mengemukakan rasionalisasi atau pembenaran yang biasa dilancarkan: “Berdasarkan pengalaman, kami paling mengetahui”, “Kami melarang demi kebaikanmu sendiri”, “Bila kamu sudah dewasa kelak, kamu akan berterima kasih kepada kami karena memaksamu melakukan hal-hal ini sekarang”, “Kami hanya ingin mencegahmu melakukan kesalahan-kesalahan yang sama seperti yang telah kami lakukan”, “Kami sungguh-sungguh tak dapat membiarkanmu melakukan sesuatu yang kami tahu akan kau sesali di kemudian hari”, dan lain sebagainya. Banyak orang tua yang menyampaikan pesan-pesan ini atau pesan-pesan lain yang sejenis kepada anak-anaknya, sungguh percaya akan apa yang mereka katakan. Tidak ada sikap lain yang lebih sulit untuk diubah dalam kursus-kursus kami daripada sikap orang tua yang merasa berhak menggunakan kekuasaan, bahkan merasa mempunyai tanggung jawab untuk menggunakan kekuasaan. Oleh karena mereka lebih tahu, lebih pandai, lebih bijaksana, lebih matang, atau lebih berpengalaman. Sikap ini bukanlah sikap yang hanya dianut oleh para orang tua. Sepanjang sejarah, para tiran telah menggunakan alasan-alasan ini juga untuk membenarkan kekuasaan mereka memandang rendah sekali kaum tertindas, apakah itu disebut budak, petani, barbar, orang-orang hutan, orang-orang kulit hitam, imigran gelap, orang Kristen, penantang agama, massa, “orang biasa”, pekerja, buruh, orang Yahudi, Amerika Latin, orang-orang Timur, atau para wanita. Hampir merupakan gejala umum bahwa mereka yang menggunakan kekuasaan terhadap orang lain bagaimanapun harus merasionalisasi atau membenarkan penindasan dan perlakuan tak manusiawi yang mereka lakukan, dengan mengatakan bahwa orang-orang yang tertindas itu adalah lebih hina. Bagaimana kita dapat menolak pikiran bahwa orang tua lebih bijaksana dan lebih berpengalaman daripada anak-anak? Ini memang nampak sebagai suatu kebenaran yang nyata. Meskipun demikian, bila kami menanyai para orang tua dalam kursus-kursus kami, apakah orang tua mereka sendiri pernah membuat keputusan-keputusan Metode I yang tidak bijaksana, mereka serempak menjawab, “Ya”. Betapa mudahnya orang tua melupakan pengalaman sendiri sebagai anak! Betapa mudahnya untuk melupakan bahwa anak kadang-kadang lebih mengetahui daripada orang tuanya kapan mereka sedang lapar atau mengantuk, mereka juga lebih mengetahui sifatsifat teman-temannya, cita-cita dan tujuan-tujuannya, bagaimana guru-guru mereka memperlakukan murid, anak-anak lebih mengetahui dorongandorongan dan kebutuhankebutuhan di dalam tubuhnya, siapa saja yang mereka cintai dan siapa yang tidak, apa yang mereka hargai dan apa yang tidak mereka hargai.

170

Orang tua selalu bijaksana daripada anak? Tidak, tidak tentang banyak hal yang menyengkut anaknya. Orang tua memang memiliki banyak kebijakan dan pengalaman, dan kebijakan serta pengalaman itu memang tak perlu dikubur begitu saja. Banyak orng tua dalam MOE mula-mula melupakan hal pokok bahw baik kebijakan orang tua maupun kebijakan anak kedua-duanya digunakan dalam metode anti-kalah. Tidak ada salah satu yang dihilangkan dalam pemecahan masalah (sebaliknya Metode I mengabaikan kebijakan anak, Metode II mengabaikan kebijakanorang tua). Seorang ibu dari dua anak gadis yang kembar, yang luar biasa pandainya, melaporkan suatu sidang yang berhasil mengenai apakah si kembar itu harus “melompat” satu kelas di sekolah agar pelajarannya menjadi lebih menarik dan menantang, atau tetap di kelas mereka yang sekarang bersama teman-temannya. Ini merupakan jenis masalah yang biasanya diselesaikan oleh “para ahli”, yakni guru-guru dan orang tua. Dalam kasus ini meski orang tua mempunyai gagasan-gagasan, tapi ia juga percaya akan kebijaksanaan dan perasaan anak-anak gadisnya, pada penilaian mereka sendiri mengenai apa yang terbaik bagi mereka. Setelah beberapa hari menimbang pro dan kontra, termasuk mendengarkan usulusul dan sumbangan-sumbangan pikiran dari ibu serta juga keteranganketerangan yang diberika guru kepada mereka, si kembar menerima keputusan bahwa mereka didahulukan naik kelas. Hasil dari keputusan keluarga ini ternyata menyenangkan, tanpa kecuali, baik untuk kebahagiaaan anak maupun untuk prestasi sekolahnya.

“DAPATKAH METODE III DITERAPKAN KEPADA ANAKANAK KECIL?” “Saya dapat mengerti bagaimana Metode III berhasil pada anak-anak lebih tua yang lebih verbal, lebih matang, dan lebih mampu mengdakan penalaran, tetapi pada anak-anak yang lebih muda, antara dua dan enam tahun, tak akan berhasil. Mereka terlalu muda untuk mengetahui apa yang terbaik bagi mereka, jadi apakah kami tidak diharuskan untuk menggunakan Metode I?” Pertanyaan ini diajukan dalam tiap kursus MOE, namun demikian, pengalaman keluarga-keluarga yang menggunakan Metode III terhadap anak-anak muda usia telah membuktikan bahwa metode ini dapat berhasil juga. Di sini akan dikemukakan suatu percakapan singkat antara seorang anak gadis berusia 3 tahun dengan ibunya: CATHY: IBU: CATHY:

“Saya tak mau pergi ke babysitter lagi.” “Kamu tak mau pergi ke rumah Ny. Crockett bila saya bekerja.” “Ya, saya tak mau.”

171

“Saya perlu bekerja tapi kamu pasti tak senang tinggal di rumah. Apakah ada sesuatu yang dapat dilakukan supaya kamu dapat lebih senang tinggal di situ?” CATHY: (Diam) “Saya dapat tinggal di tepi jalan sampai Ibu pergi.” IBU: “Tapi Ny. Crockett perlu melihat kamu di dalam rumahnya bersama anak-anak yang lain supaya ia tahu kamu ada di sana.” CATHY: “Saya dapat melihat dari jendela bila Ibu pergi.” IBU: “Apakah itu akan menyenangkan bagimu?” CATHY: “Ya.” IBU: “Baik. Mari kita coba lain kali.” IBU:

Seorang anak berusia 2 tahun menjawab cara “tanpa kekuasaan” dalam kejadian dilukiskn oleh ibunya ini: “Pada suatu sore saya sedang memasak untuk makan malam, dan anak gadis saya sedang mengoceh dengan asyiknya di ats kuda-kudanya. Kemudian ia mengambil kulit pengikat yang digunakan untuk mengikatkan anak pada kudakudaan itu dan mulai mencoba mengikatkan tali kulit itu sendiri. Mukanya menjadi merah dan ia mulai berteriak dengan nada tinggi ketika frustasinya memuncak, saya merasa menjadi marah karena teriakkannya, hingga saya pakai cara yang biasa saya lakukan, saya membungkukkan badan untuk membantunya. Tetapi ia melawan saya dan tetap menjerit-jerit. Saat itu saya siap untuk mengangkatnya bersama kuda-kudaannya dan meletakkan mereka dalam kamar, membanting pintu untuk menghindari keributan. Lalu, suatu ilham masuk dalam benak saya. Dan saya membungkukkan badan, meletakkan kedua belah tangan saya di atas tangannya dan mengatakan, “Kamu marah sekali karena kamu tak dapat mengerjakannya sendiri?” Ia menganggukkan kepalanya, “Ya”, berhenti menjerit, beberapa isak tangis dan sesuah itu senang lagi. Dan saya pikir. “Demikian sederhananya…”.

Kepada ibu yang agak keheranan ini seharusnya saya ingin mengatakan, “Tidak, tidak selalu sesederhana itu”, tapi Metode III benar-benar berhasil baik sekali pada anak-anak yang lebih kecil. Saya masih ingat pada insiden dalam keluarga kami: “Waktu anak kami berusia 5 bulan, kami pergi berlibur selama satu bulan dan tinggak di sebuah villa di tepi telaga untuk sekedar memancing. Sebelum tamasya itu kami merasa beruntung karena anak kami tak pernah memerlukan minum susu antara pukul 11 malam hingga pukul 7 pagi. Perubahan lingkungan membawa juga perubahan dalam keberuntungan kami. Ia mulai bangun pukul 4 pagi untuk minta minum. Untuk bangun pada jam itu guna memberi minum anak, sangat tidak menyenangkan. Di sebelah utara Wisconsin pada bulan September, villa sangat dingin dan satu-satunya yang kami miliki adalah tungku pemanas dengan kayu sebagai bahan bakarnya. Ini berarti bahwa kami harus bersusah-payah untuk membuat perapian, atau sama buruknya, meringkuk dalam selimut dan mencoba untuk tetap merasa hangat pada jam itu untuk menyiapkan susu, memanaskan botol dan memberinya minum. Kami benarbenar merasakan hal ini sebagai ‘situasi konflik kebutuhan’, yang memerlukan pemecahan masalah secara bersama-sama. Setelah bersama-sama dipikirkan, istri saya dan saya memutuskan untuk memberianak itu suatu pemecahan

172

alternatif dengan harapan bahwa ia akan dapat menerimanya. Kami tidak membangunkan dan memberinya minum pada pukul 11, tapi keesokan malamnya kami membiarkannya tidur hingga pukul 12, lalu memberinya minum. Pagi itu ia tidur hingga pukul 5.00 pagi. Sampai di situ baik. Keesokan malamnya kami melakukan usaha khusus untuk menyuruh dia minum susu lebih dari biasanya dan menidurkannya sekitar pukul 12.30. ini berhasil, ia menyukainya. Pagi itu dan pagi-pagi berikutnya ia tidak bangun sebelum pukul 7.00 waktu kami bangun untuk pergi memancing ke danau. Tak ada pihak yang kalah, kami semua menang”.

Menggunakan Metode III dengan anak kecil bukan hanya mungkin; hal ini penting untuk dilakukan selagi anak masih muda. Makin cepat dimulai, makin cepat pula anak belajar bagaimana ia harus mengadakan hubungan dengan orang lain secara demokratis, bagaimana menghargai kebutuhankebutuhan orang lain mengakuinya bila kebutuhan-kebutuhan sendiri dihargai. Orang tua yang mengikuti MOE setelah anak-anaknya lebih besar dan memperkenalkan Metode III kepada anaknya setelah mereka terbiasa memakai metode perjuangan antara dua kekuasaan, selalu lebih banyak menemui kesulitan daripada orang tua yang mulai menggunakan Metode III sejak awal. Seorang ayah mengatakan kepadateman-teman peserta kursus MOE bahwa pada waktu-waktu ia dan istrinya mencoba menggunakan Metode III, putra sulungnya berkata: “Apakah teknik psikologi baru yang Bpak-Ibu cobakan ini merupakan cara baru untuk memaksa kami melakukan apa yang Bapak-Ibu inginkan?” Putra yang perseptif ini, yang terbiasa dengan cara pemecahan menang-kalah (biasanya anak-anak yang kalah), sulit untuk mencapai itikad baik orang tuanya dan keinginan mereka yang sungguhsungguh untuk mencoba metode anti-kalah. Dalam bab berikut, saya akan menunjukkan bagaimana menangani hambatan-hambatan dari anak-anak remaja seperti itu.

“APAKAH ADA SAAT-SAAT METODE I HARUS DIGUNAKAN?” Hal yang menggelitik pada pembina MOE bahwa dalam hampir tiap kursus baru, tentu ada orang tua yang menantang kebenaran atau keterbatasan Metode III melalui satu atau dua pertanyaan: “Tapi bagaimana kalau anak lari ke jalan dan ada mobil? Apakah kita tidak harus menggunakan Metode I?” “Tapi bagaimana kalau anak kita terserang apendisitis yang berat. Apakah Anda tidak harus menggunakan Metode I supaya anak mau pergi ke rumah sakit?”

Jawaban kami terhadap kedua pertanyaan ini ialah: “Ya, tentu saja”. Kedua keadaan ini merupakan keadaan-keadaan kritis yang menuntut

173

dilakukankannya tindakan segera dan tegas. Tetapi sebelum keadaan kritis ini terjadi, metode-metode “tanpa kekuasaan” dapat digunakan. Bila seorang anak mengembangkan kebiasaan untuk berlari-lari ke jalan raya, orang tua mula-mula dapat mencoba untuk membicarakan mengenai bahaya mobil, berjalan dengan anaknya melingkari tepi halaman, dan mengatakan kepadanya bahwa segala sesuatu yang berada di luar halaman tidaklah aman, menunjukkan sebuah gambar dari seorang anak yang ditabrak mobil, membangun pagar di sekitar halaman, atau mengawasi naka untuk beberapa hari waktu ia sedang bermain-main di halaman muka, dengan tiap kali mengingatkannya bila ia melampaui batas-batas. Meskipun dalam hal ini saya memilih pendekatan melalui hukuman, saya tak akan mempertaruhkan nyawa anak saya atas dasar asumsi bahwa hukuman saja dapat mencegahnya pergi ke jalan raya. Saya akan melaksanakan metodemetode yang lebih tegas dalam tiap kesempatan. Dengan anak-anak yagn sakit dan memerlukan operasi atau suntikan atau obat, cara-cara tanpa kekuasaan juga dapat sangat efektif. Dalam situasi berikut, seorang anak berusia 9 tahn dan ibunya sedang mengendarai mobil menuju ke klinik alergi untuk memulai suatu pengobatan suntikan dua kali seminggu untuk penyakit demamnya. Ibu hanya menggunakan cara mendengarkan dengan aktif. BETTY:

IBU: BETTY: IBU: BETTY:

IBU: BETTY: IBU: BETTY:

(Dengan melolong yang panjang). “Saya tak mau disuntik. Siapa yang mau disuntik?…. Suntikan sakit… Barangkali untuk seterusnya saya harus disuntik… Dua kali seminggu… Lebih baik saya pilek dan bersin terus… Untuk apa Ibu membawa saya kemari?” “Hm… mm.” “Ibu, ingatkah Ibu ketika saya banyak kemasukan duri di lutut saya dan sesudah itu saya disuntik?” “Ya, saya ingat. Kamu mendapat suntikan anti-tetanus setelah dokter mengeluarkan duri-duri itu.” “Perawat berbicara kepada saya dan mengatakan kepada saya supaya saya melihat gambar yang ada di dinding, hingga saya tidak tahu kapan jarum suntikan itu dimasukkan.” “Beberapa perawat dapat menyuntik tanpa terasa.” (Waktu tiba di klinik) “Saya tak mau masuk.” (Melalui pundaknya waktu berjalan masuk) “ Kamu lebih senang untuk tidak masuk.” (Berjalan masuk dengan sangat lambatnya)

Ibu ini kemudian melukiskan hasilnya. Betty akhirnya masuk, menepati janjinya sebagaimana direncanakan, ia mau disuntik, dan mendapat pujian dari perawat karena kerjasamanya. Ibu Betty juga menambahkan sebagai berikut: “Sebelum MOE, saya mungkin akan memberi ceramah kepadanya tentang pentingnya menjalankan rencana pengobatan dokter, atau saya akan mengatakan kepadanya betapa banyak menolong suntikan-suntikan anti-alergi

174

yang pernah saya alami, atau mengatakan bahwa suntikan tidaklah demikian sakitnya, atau memberi wejangan mengenai betapa beruntungnya dia bahwa dia tak punya masalah kesehatan yang lain atau kalau tidak saya akan menjadi sangat jengkel dan menegurnya agar berhenti mengeluh. Jelas, saya tak akan memberi kesempatan kepadanya untuk mengingat perawat yang memberi suntikan ‘tanpa kita tahu kapan jaru disuntikkan’”.

“APAKAH SAYA TAK AKAN KEHILANGAN WIBAWA?” Para orang tua, terutama para ayah, takut bahwa dengan menggunakan Metode III anak-anak tak akan menghormati mereka lagi. Mereka mengatakan: “Saya takut anak-anak akan menginjak-injak saya.” “Bukan anak-anak harus menghormati orang tuanya?” “Saya pikir anak-anak harus menghargai orang tuanya?” “Apakah Anda menyarankan bahwa orang tua harus memperlakukan anakanak sebagai sederajat?”

Banyak orang tua bingung pada istilah “hormat”. Kadang-kadang bila mereka menggunakan istilah ini dalam “hormatilah kekuasaan saya”, mereka sebenarnya memaksudkan sebagai “takut”. Mereka takut bahwa anaknya akan kehilangan rasa takut pada orang tua, dan kemudian tidak taat atau menolak usaha-usaha untuk mengendalikannya. Bila dihadapkan pada definisi ini, beberapa orang tua mengatakan: “Tidak, bukan itu yang saya maksud – saya ingin mereka menghormati saya atas kemampuan-kemampuan, pengetahuan saya, dan seterusnya. Saya kira saya benar-benar tidak ingin mereka menjadi takut pada saya”. Kemudian kami tanyakan kepada orang tua seperti itu, “Bagaimanakah Anda menghormati seorang dewasa lain atas kemampuan-kemampuan yang yang ia miliki dan pengetahuannya?”. Biasanya jawabannya adalah “Ya, ia harus menunjukkan kemampuan-kemampuannya, melalui cara itu ia akan membuat saya menaruh hormat”. Biasanya menjadi jelas bagi orang tua ini bahwa mereka pun harus merebut rasa hormat anak-anaknya dengan menunjukkan atau memamerkan kemampuan atau pengetahuannya. Kebanyakan orang tua, bila mereka berpikir jernih, mengetahui bahwa mereka tak dapat menuntut penghormatn dari seseorang – mereka harus menghasilkannya. Bila kemampuan dan pengetahuan mereka berharga untuk mendapat penghormatan, anak-anak mereka akan menghormatinya. Kalau tidak, tidak akan ada rasa hormat bagi mereka. Orang tua yang telah sungguh-sungguh berusaha untuk menggantikan metode menang-kalah dengan Metode III biasanya menemukan bahwa anak-anaknya telah mengembangkan sejenis rasa hormat baru terhadap mereka, bukan rasa hormat yang didasari rasa takut, tapi rasa hormat yang didasari atas pengalaman bahwa orang tua adalah pribadi. Seorang kepala sekolah menulis surat yang mengharukan ini kepada saya:

175

“Saya adalah orang yang dapat menceritakan sebaik-baiknya apa arti MOE dalam kehidupan saya dengan mengatakan kepada Anda bahwa putri tiri saya tidak menyukai saya sejak saya muncul dalam hidupnya waktu ia berumur dua setengah tahun. Ini benar-benar meresahkan saya – kebenciannya. Anak-anak biasanya menyukai saya, tapi Sally tidak. Saya mulai tak menyukainya bahkan benci padanya. Demikian besar benci saya kepadanya hingga pada suatu pagi saya bermimpi di mana perasaan-perasaan saya terhadapnya demikian bertentangan, demikian meresahkan sampai-sampai saya terkejut dan terbangun. Saya tahu bahwa saya perlu pertolongan. Saya menjalani terapi. Terapi itu membantu saya untuk bersikap lebih santai, tapi Sally masih tak menyukai saya. Enam bulan setelah terapi, Sally telah berusia 10 tahun waktu itu, saya mengikuti MOE dan kemudian mulai mengajarkannya. Dalam satu tahun antara Sally dan saya terjalin hubungan yang kaya seperti yang saya inginkan dan impikan. Ia kini berusia 13 tahun. Kami saling menghargai, kami saling menyukai, kami tertawa, berdebat, bermain bekerja dan kadang-kadang saling menangis. Saya menerima “tanda lulus” dari Sally kira-kira sebulan yang lalu. Keluarga kami sedang makan di sebuah restoran Cina. Sementara kami semua sedang membuka “kue keberuntungan” (fortune cookies), secara diam-diam Sally membaca keberuntungan dan kemudian memberikannya kepada saya sambil mengatakan: “Ini sebaiknya untuk Ayah”. Tulisannya adalah, “Anda akan merasakan kebahagiaan pada anak-anak dan mereka pada Anda”. Anda lihat sekarang bahwa saya mempunyai alasan untuk berterima kasih kepada Anda yang telah mengajarkan MOE kepada saya”.

Kebanyakan orang tua akan setuju bahwa rasa hormat Sally terhadap ayah tirinya adalah jenis rasa hormat yang sesungguhnya diinginkan oleh orang tua dari anak-anaknya. Metode III memang menyebabkan anak kehilangan “respek” yang didasarkan atas rasa takut, tetapi apakah yang hilang dari orang tua bila sebagai gantinya orang tua memperoleh rasa hormat yang jauh lebih baik?

176

13 Melaksanakan Metode “Anti-Kalah” Bahkan setelah dalam kursus MOE, para orang tua merasa yakin dan ingin mulai menggunakan metode anti-kalah, mereka masih juga mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana mereka harus mulai. Juga, beberapa orang tua mengalami kesulitan pada mulanya. Berikut ini adalah beberapa petunjuk mengenai bagaimana memulainya, bagaimana menanggulangi persoalan yang paling umum dijumpai orang tua, dan mengenai bagaimana menyelesaikan konflik yang menjengkelkan yang timbul di antara anak-anak.

BAGAIMANA ANDA HARUS MULAI? Orang tua yang mendapatkan sukses gemilang ketika ia menggunakan metode anti-kalah, benar-benar melaksanakan nasihat kami untuk duduk sejenak bersama anak-anak dan menerangkan kepada mereka apa sebenarnya metode ini. Ingat, baik anak-anak maupun orang tua sama-sama belum terbiasa memakai metode ini. Karena sudah terbiasa menyelesaikan konflik dengan Metode I dan Metode II, maka pada mulanya mereka perlu diberi tahu di mana letak perbedaan Metode III ini. Beberapa orang tua menggunakan diagram yang sama seperti yang digunakan pembina MOE di dalam kursus. Mereka menggambar ketiga metode ini dan menerangkan perbedaan-perbedaan yang ada. Mereka mengakui bahwa mereka sering menang dan anak-ana kalah, dan sebaliknya. Kemudian secara bebas orang tua mengemukakan keinginan untuk tidak menggunakan metode menang-kalah, dan mencoba metode anti-kalah ini. Biasanya anak menjadi tergerak oleh “pengantar” semacam ini. Mereka ingin mengetahui Metode III dan ingin mencobanya. Beberapa orang tua pertama-tama menerangkan bahwa mereka sedang mengikuti kursus tentang bagaimana menjadi orang tua yang lebih efektif dan metode ini adalah salah satu hal yang ingin mereka coba. Tentu saja pendekatan ini kurang tepat untuk anak-anak kecil di bawah 3 tahun. Dengan mereka, Anda mulai saja tanpa penjelasan.

KEENAM LANGKAH ANTI-KALAH Sangat bermanfaat bagi orang tua untuk mengerti bahwa metode antikalah sebenarnya terdiri dari 6 langkah yang terpisah-pisah. Bila orang tua mengikuti langkah-langkah ini, mereka akan lebih banyak mengalami keberhasilan: Langkah 1: Membuat identifikasi dan menentukan konflik. Langkah 2: Melahirkan pemecahan pengganti yang mungkin. Langkah 3: Menilai pemecahan-pemecahan pengganti. Langkah 4: Menentukan pemecahan paling baik yang dapat diterima.

177

Langkah 5: Memikirkan cara-cara untuk melaksanakan pemecahan atau keputusan. Langkah 6: Melakukan tindak lanjut untuk menilai bagaimana hasilnya. Ada beberapa hal penting yang harus dipahami dalam masing-masing langkah ini. Bila orang uta memahami dan melaksanakan hal-hal penting ini mereka menghindari banyak kesukaran dan kesulitan. Meskipun beberapa konflik “kecil” dapat diselesaikan tanpa melalui keenam langkah ini, orang tua akan lebih berhasil bila mereka tahu apa yang tercakup di dalam tiaptiap tahap. Langkah 1: Membuat Identifikasi dan Menentukan Konflik Bila orang tua sungguh-sungguh ingin mengikutsertakan anaknya, maka fase ini sungguh menentukan. Mereka harus mendapatkan perhatian anak dan kemudian memperoleh kemauan anak untuk ikut serta dalam pemecahan persoalan. Kesempatan untuk mendapat semua hal ini adalah lebih besar bila mereka ingat untuk: 1. Memilih waktu ketika anak tidak sibuk atau sedang mengerjakan sesuatu atau ingin pergi, dengan demikian anak tidak akan menolak atau marah karena diganggu atau menjadi terlambat. 2. Katakan dengan jelas dan ringkas bahwa ada sesuatu persoalan yang harus dipecahkan. Jangan berputar-putar atau menenggang rasa dengan mengemukakan pertanyaan yang kurang efektif semacam ini, “Maukah kamu melakukan pemecahan persoalan?”, atau “Saya pikir sebaiknya kita mencoba menyelesaikan hal ini”. 3. Katakan dengan jelas kepada anak dan sekeras yang Anda rasakan, tepatnya perasaan-perasaan apa yang Anda punyai atau kebutuhankebutuhan Anda yang mana yang tidak dipenuhi atau apa yang menjengkelkan Anda. Di sini sangat pentinglah mengirim “pesanpesan saya”. “Saya merasa tidak senang bila saya melihat dapur yang sudah saya bersihkan dengan susah payah menjadi berantakan lagi setelah kamu menggoreng telur”, atau “Saya cemas bahwa mobil saya akan hancur dan kamu luka, kalau kamu terus-terusan ngebut”, atau “Saya akan merasa diperlakukan tidak adil kalau harus mengerjakan begitu banyak pekerjaan di rumah tanpa bantuan kalian”. 4. Hindari pesan-pesan yang mengecilkan arti diri atau menyalahkan anak seperti “Kamu jorok benar di dapur”, “Kamu sembrono dengan mobil saya”, “Di rumah ini, kalian semua benalu”. 5. Jelaskanlah bahwa Anda ingin mereka ikut bersama Anda menemukan pemecahan yang dapat diterima kedua pihak, dan pemecahan yang dapat kita laksanakan bersama, di mana tidak ada

178

yang kalah dan kebutuhan kedua belah pihak dapat terpenuhi. Sangat pentinglah agar anak-anak percaya bahwa Anda dengan setulus hati menghendaki suatu pemecahan anti-kalah. Mereka harus tahu “nama permainan” ini adalah Metode III, anti-kalah, dan tidak lagi menangkalah dalam bungkus baru.

Langkah 2: Melahirkan Pemecahan-pemecahan Pengganti Dalam fase ini, kuncinya adalah melahirkan bermacam-macam pemecahan. Orang tua dapat mengusulkan: “Hal-hal apa saja yang mungkin kita lakukan?” “Marilah kita pikirkan pemecahan-pemecahan yang mungkin.” “Marilah kita kerahkan pikiran untuk menemukan pemecahan yang mungkin.” “Mestinya ada banyak cara untuk menyelesaikan persoalan ini.” Titik-titik kunci yang berikut ini dapat membantu: 1. Usahakanlah supaya anak mengemukakan pemecahannya terelebih dahulu, kemudian Anda dapat menambahkan pemecahan yang Anda pikirkan. (Anak-anak yang lebih kecil mungkin tidak dapat menyodorkan pemecahan terlebih dahulu). 2. Penting sekali: jangan menilai, jangan menghakimi, atau meremehkan pemecahan yang diajukan. Ada waktu untuk melakukan semua hal ini pada fase berikutnya. Terimalah semua usul pemecahan. Untuk persoalan yang kompleks, sebaiknya ditulis di kertas. Bahkan jangan menilai suatu pemecahan sebagai “baik”, karena hal ini bisa mengandung arti bahwa cara pemecahan yang lain yang ada dalam daftar adalah kurang baik. 3. Pada fase ini cobalah untuk tidak membuat pernyataan bahwa pemecahan yang diusulkan itu tidak dapat Anda terima. 4. Bila menggunakan metode anti-kalah dalam suatu persoalan yang mencakup beberapa anak, bila seorang anak tidak mengemukakan pemecahan, sebaiknya Anda mendorongnya untuk mengeluarkan pendapat. 5. Usahakanlah terus-menerus supaya dikemukakan pemecahanpemecahan pengganti yang mungkin hingga seolah-oleh tidak ada lagi yang bisa diusulkan.

Langkah 3: Menilai Pemecahan-pemecahan Pengganti Dalam fase ini, adalah pada tempatnya untuk mulai menilai berbagai pemecahan yang diusulkan. Orang tua berkata, “Baiklah, mana dia antara pemecahan-pemecahan ini yang teras paling baik?” atau “Sekarang mari kita lihat, mana di antara pemecahan-pemecahan ini yang kita pilih” atau “Bagaimana pendapat kita semua tentang berbagai pemecahan yang sudah kita usulkan ini?” atau “Mana yang lebih baik dibanding yang lain-lain?”

179

Biasanya, pemecahan-pemecahan ini akan dipersempit sampai menjadi satu atau dua yang dirasa paling baik dengan menghilangkan yang tidak dapat diterima oleh baik anak ataupun orang tua (apa pun alasannya). Pada tahap ini orang tua yang harus ingat bahwa ia harus dengan jujur mengemukakan perasaannya, “Saya tak akan senang dengan hal itu” atau “Hal itu tidak sesuai dengan kebutuhan saya”, atau “Saya pikir, yang itu tidak akan adil buat saya”.

Langkah 4: Menentukan Pemecahan Paling Baik yang Dapat Diterima Langkah ini tidak sesukar seperti yang dibayangkan oleh para orang tua. Bila langkah-langkah lain sudah dilaksanakan dan pertukaran gagasan dan reaksi berlangsung secara terbuka dan jujur, suatu pemecahan yang bagus biasanya muncul secara wajar dari diskusi-diskusi ini. Kadang-kadang, orang tua atau anak mengusulkan jalan keluar yang sangat kreatif yang nyata-nyata merupakan pemecahan yang terbaik – dan juga dapat diterima setiap orang. Beberapa petunjuk untuk sampai pada putusan akhir adalah: 1. Menguji jalan keluar yang ada terhadap perasaan anak-anak dengan pertanyaan-pertanyaan semacam, “Apakah jalan keluar semacam ini dapat disetujui sekarang?”, “Apakah kita semua puas dengan jalan keluar semacam ini?”, “Apakah jalan keluar yang ini akan dapat dilaksanakan?” 2. Jangan berpikirbahwa suatu keputusan adalah final dan tidak mungkin diubah. Anda mungkin isa berkata, “Baiklah, marilah kita coba yang ini dan melihat bagaimana jadinya”, atau “Sepertinya kita menyetujuai jalan keuar yang ini – marilah kita mulai melaksanakannya dan akan kita lihat apakah jalan keluar yang ini benar-benar dapat menyelesaikan persoalan kita”, atau “Saya bersedia untuk menerima yang ini, apakah kamu bersedia untuk mencobanya?” 3. Bila jalan keluar yang diusulkan mencakup beberapa pokok, sebaiknya dibuat catatan supaya tidak dilupakan. 4. Pastikanlah bahwa setiap orang benar-benar memahami komitmennya untuk melaksanakan keputusan yang sudah diambil: “Baiklah, nah, inilah yang kita setujui untuk dilaksanakan”, atau “Kita setuju, ini yang merupakan persetujuan kita bersama dan kita berjanji untuk melaksanakan bagian tugas kita seperti tertuang dalam perjanjian ini”.

Langkah 5: Melaksanakan Keputusan Sering kali setelah mencapai suatu keputusan, perlu untuk menjabarkan secara terperinci bagaimana keputusan ini akan dilaksanakan. Baik orang tua maupun anak mungkin perlu untuk bertanya pada diri mereka sendiri, “Siapa yang akan mengerjakan apa, dan kapan harus melaksanakannya?”

180

atau “Sekarang apa yang perlu kita lakukan supaya keputusan ini dapat terlaksana?” atau “Kapan kita mulai?” Dalam pertentangan tentang tugas-tugas rumah tangga, misalnya, ”Berapa kali?”, “Pada hari-hari apa saja?”, dan “Bagaimana ukuran pekerjaan dapat diterima?”, adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering kali harus didiskusikan. Dalam pertentangan tentang waktu tidur, suatu keluarga barangkali perlu untuk merundingkan siapa yang harus memperhatikan waktu dan mengingatkan yang lain. Dalam pertentangan tentang kerapian kamar anak, pertanyaan tentang “Apa artinya rapi” dapat dibahas lebih lanjut. Kadang-kadang untuk melaksanakan keputusa perlu ada pembelian sesuatu barang, misalnya sebuah papan tulis untuk menulis pesan, keranjang pakaian untuk anak, setrika baru, dan sebagainya. Dalam keadaan semacam ini, mungkin perlu untuk ditentukan siapa yang harus membeli semua keperluan ini atau bahkan siapa yang harus membayarnya. Pertanyaan-pertanyaan tentang pelaksanaan sebaiknya ditunda sampai ada persetujuan tentang keputusan final yang diambil. Pengalaman kami bahwa sekali sudah tercapai keputusan final, pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana pelaksanaannya biasanya dapat diselesaikan dengan relatif mudah.

Langkah 6: Melakukan Tindak Lanjut Tidak semua keputusan dari metode anti-kalah merupakan keputusan yang baik. Sebagai akibatnya, orang tua kadang-kadang perlu menanyakan kembali kepada anak apakah dia tetap menyukai keputusan yang diambil itu. Anak-anak kadang-kadang menetapkan suatu keputusan yang kemudian ternyata sukar untuk dilaksanakan. Atau orang tua barangkali menemukan bahwa sulit untuk berpegang pada apa yang telah ditetapkan, karena bermacam-macam alasan. Orang tua barangkali bisa menanyakan kembali setelah beberapa waktu, “Bagaimana jadinya dengan keputusan kita?”, “Apakah kamu tetap puas dengan keputusan yang sudah kita buat?” Hal ini bisa menunjukkan kepada anak-anak bahwa Anda memperhatikan kebutuhan mereka. Kadang-kadang peninjauan ini menghasilkan keterangan yang menunjukkan perlunya dilakukan perubahan terhadap keputusan yang mula-mula diambil. Barangkali tidak perlu membuang sampah setiap hari; atau ketentuan bahwa anak-anak sudah harus sampai di rumah pada pukul 11.00 malam tidak mungkin terlaksana pada malam Minggu ketika anakanak pergi menonton dua buah film sekaligus. Suatu keluarga menemukan bahwa pemecahan anti-kalah yang mereka buat sehubungan dengan tugas rumah tangga ternyata tidak adil bagi putri bungsu mereka. Putri bungsu ini yang setuju untuk mencuci piring bekas makan malam, ternyata dalam

181

seminggu rata-rata memerlukan waktu lima sampai enam jam. Sedangkan putri yang lebih tua yang tugasnya adalah membersihkan kamar mandi dan kamar rekreasi, seminggu rata-rata hanya memerlukan waktu tiga jam. Putri bungsu mereka menganggap hal ini tidak adil, maka keputusan ini diubah setelah dicoba selama beberapa minggu. Tentu saja cara membuat keputusan anti-kalah tidak selamanya berjalan teratur mengikuti keenam langkah tersebut, kadang-kadang satu ketegangan dapat diselesaikan hanya dengan satu usul. Kadang-kadang jalan keluar final sudah terlontar pada langkah ketiga, ketika mereka masih dalam fase menilai berbagai jalan keluar yang sudah diusulkan sebelumnya. Tetapi bagaimanapun juga, ada gunanya untuk mengingat keenam langkah itu. Kebutuhan untuk Mendengar Aktif dan “Pesan Aku” Karena metode anti-kalah menghendaki pihak-pihak yang bersangkutan bersama-sama mencari pemecahan persoalan, maka adanya komunikasi yang efektif merupakan suatu prasyarat. Akibatnya, orang tua harus banyak sekali mendengarkan secara aktif dan harus mengirim “pesan-pesan aku” yang jelas. Orang tua yang tidak memiliki kecakapan ini jarang berhasil menggunakan metode anti-kalah ini. Mendengarkan secara aktif diperlukan, pertama-tama karena orang tua perlu memahami perasaan-perasaan atau kebutuhan-kebutuhan yang dipunyai anak. Apa yang mereka kehendaki? Mengapa mereka terus ingin melakukan sesuatu bahkan setelah mereka mengetahui bahwa hal tersebut tidak dikehendaki oleh orang tua? Kebutuhan-kebutuhan apa yang mendorong mereka bertingkah laku tertentu? Mengapa Bonnie menolak pergi ke taman kanak-kanak? Mengapa Yani tidak mau memakai jas hujan yang itu? Mengapa Freddy menangis dan meronta kalau ditingga ibunya pergi? Kebutuhan-kebutuhan apa yang dipunyai putri saya sehingga pergi ke pantai dalam liburan puasa merupakan suatu hal yang sangat penting? Mendengar secara aktif merupakan suatu alat penting untuk menolong kaum muda membuka diri dan mengemukakan kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan yang sebenarnya. Apabila hal ini dipahami orang tua, biasanya mudah untuk memikirkan suatu cara lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa mengikutsertakan sautu tingkah laku yang tak dapat diterima orang tua. Karena emosi-emosi yang kuat sering muncul selama proses pemecahan persoalan – baik berasal dari orang tua atau anak, maka mendengar secara aktif merupakan hal yang sangat perlu untuk membantu menyalurkan perasaan sedemikian rupa sehingga pemecahan persoalan yang efektif bisa berlangsung terus. Akhirnya, mendengar secara aktif merupakan suatu cara penting supaya anak mengetahui bahwa jalan keluar yang mereka usulkan dipahami orang

182

tua dan diterima sebagai usulan yang dibuat dengan tujuan baik; dan bahwa pikiran-pikiran dan penilaian mereka sehubungan dengan pencarian jalan keluar, memang diinginkan dan diterima. “Pesan-pesan aku” merupakan hal utama dalam proses anti-kalah sehingga anak-anak tahu apa yang dirasakan orang tua tanpa mengecilkan pribadi anak atau membebaninya dengan rasa salah atau malu. “Pesan-pesan kamu” dalam pemecahan konflik biasanya menimbulkan “Pesan-pesan kamu” balasan dan menyebabkan perundingan menjadi perdebatan yang produktif dan para pelaku yang terlibat saling berebutan untuk melihat siapa yang paling berhasil memukul yang lain dengan hinaan-hinaan. “Pesan-pesan aku” juga harus dipakai untuk menunjukkan kepada anak bahwa orang tua mempunyai kebutuhan yang sungguh-sungguh berhasrat untuk memperlihatkan bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak akan dikesampingkan hanya karena anak muda ini mempunyai kebutuhan. “Pesan-pesan aku” mengungkapkan keterbasan-keterbatasan orang tua – apa yang dapat ditenggang oleh orang tua dan apa yang tidak ingin dikorbankan oleh orang tua. “Pesan-pesan aku” mengandung pesan, “Saya adalah seseorang yang mempunyai kebutuhan dan perasaan”, “Saya mempunyai hak untuk menikmati hidup”, “Saya mempunyai hak di dalam rumah kita bersama”. Usaha Anti-Kalah yang Pertama Kepada orang tua dalam MOE dianjurkan supaya acara pemecahan persoalan anti-kalah mereka yang pertama sebaiknya menyangkut konflik yang sudah berlangsung lama, dan bukan suatu konflik yang baru terjadi akhir-akhir ini. Adalah bijaksana kalau pada acara pertama ini anak-anak diberi kesempatan untuk mengemukakan beberapa persoalan yang mengganggu mereka. Dengan demikian, usaha pertama dari acara pemecahan konflik anti-kalah dapat diketengahkan oelh para orang tua dalam bentuk seperti: “Sekarang setelah kita semua memahami apa yang disebut pemecahan antikalah (atau Metode III), marilah kita mulai mencatat konflik-konflik yang ada dalam keluarga kita. Pertama-tama, menurut kamu anak-anak, persoalan apa yang kita punyai? Persoalan apa menurut kamu perlu diselesaikan? Situasi macam apa yang menimbulkan rasa tak senang pada kamu semua?”

Keuntungan untuk mulai dengan persoalan yang dikemukakan oleh anak agak jelas juga. Pertama, anak-anak merasa senang karena cara baru itu bisa menimbulkan keuntungan pada mereka. Kedua, hal ini akan mencegah timbulnya pikiran yang kurang benar pada anak-anak, yaitu orang tua mereka sedang menjalankan cara baru supaya kebutuhan orang tua dapat terpenuhi. Sebuah keluarga yang mulai dengan cara ini, akhirnya sampai pada suatu daftar yang isinya keluhan tentang tingkah laku ibu mereka: Ibu jarang ke pasar, sehingga di rumah tidak ada makanan.

183

Ibu menjemur pakaian-pakaian dalam di kamar mandi, sehingga tidak cukup tempat untuk mandi. Ibu sering tidak mengatkan kepada anak-anak, pukul berapa kira-kira ia akan sampai di rumah. Ibu terlalu sering menjadikan anak yang tertua (laki-laki) sebagai supir dari dua orang saudara perempuannya.

Setelah mereka mengeluarkan keluhan mereka, anak-anak remaja ini lebih dapat menerima keluhan-keluhan ibu tentang tingkah laku mereka. Kadang-kadang terasa bijaksana bila suatu keluarga mulai dengan membicarakan aturan-aturan dasar yang diperlukan agar acara pemecahan konflik anti-kalah dapat berjalan efektif. Orang tua misalnya dapat menyarankan supaya semua orang membiarkan seseorang berbicara sampai selesai, tanpa interupsi. Harus dengan jelas dikemukakan bahwa cara pemungutan suara tidak bileh digunakan – yang dicari adalah sebuah jalan keluar yang dapat diterima oleh semua pihak. Buatlah persetujuan supaya yang tidak berkepentingan keluar dari ruangan, bila ada dua orang sedang menyelesaikan suatu konflik yang tidak menyangkut anggota-anggota lain. Buatlah persetujuanbahwa tidak ada perkelahaian fisik selama mencari pemecahan persoalan. Suatu kelaurga bahkan membuat persetujuan bahwa selama sidang pemecahan persoalan; mereka tidak akan menjawab telepon. Banyak keluarga merasakan manfaat penggunaan papan tulis atau alat tulis lain dalam membantu mereka menyelesaikan persoalan yang rumit.

PERSOALAN-PERSOALAN YANG AKAN DIHADAPI ORANG TUA Orang tua sering membuat kesalahan dalam usaha mereka untuk melaksanakan cara baru ini. Dan anak-anak juga butuh waktu untuk belajar bagaimana menyelesaikan konflik tanpa kekuasaan, terutama untuk kaum remaja yang selama bertahun-tahun terbiasa dengan metode menang-kalah. Baik orang tua maupun putra-putri mereka harus membuang pola tingkah laku lama dan memperlajari beberapa pola tingkah laku baru, dan tentu saja wajar kalau hal ini tidak selalu berjalan lancar. Dari para orang tua dalam kursus-kursus MOE yang kami selenggarakan, kami telah mempelajari kesalahan-kesalahan apa yang paling sering dilakukan dan persoalan apa saja yang merupakan persoalan umum. Rasa Tak Percaya dan Penolakan Beberapa orang tua menghadapi penolakan terhadap metode anti-kalah – hal ini selalu terjadi bila anak-anak yang tersangkut adalah remaja yang terbiasa dengan pertarungan kekuasaan yang melawan orang tua. Mereka melaporkan: “Yanti sama sekali menolak duduk bersama kami”. “Bono menjadi marah dan meninggalkan acara pemecahan persoalan karena kehendaknya tidak dituruti”. “Pam hanya duduk diam tanpa reaksi”.

184

“Jono mengatakan bahwa seperti bisanya kehendak kami jugalah yang akan terjadi”.

Cara terbaik untuk menanggulangi rasa tidak percaya dan penolakan seperti tersebut di atas adalah dengan cara engesampingkan dulu pemecahan persoalan dan mencoba untuk memahami (disertai dengan empati) apa yang sebenarnya dikatakan oleh anak. Hal ini mungkin mendorong anak untuk lebih mengekspresikan perasaan mereka. Apabila mereka melakukan hal ini, sudah merupakan kemajuan karena sesudah perasaan mereka tersalurkan, anak-anak muda ini biasanya bersedia memasuki pemecahan persoalan. Apabila mereka tetap menarik diri dan tidak bersedia berpartisipasi, orang tua sebaiknya mengemukakan perasaanperasaan mereka – tentu saja dalam bentuk “pesan-pesan aku”. “Saya tidak mau lagi menggunakan kekuasaan saya dalam keluarga ini, tetapi saya juga tidak mau menyerahkannya kepada kamu sekalian”. “Kami benar-benar bermaksud menemukan suatu jalankeluar yang bisa kamu terima”. “Kami tidak berusaha membuat kamu menyerah dan kami juga tidak mau menyerah”. “Kami bosan dengan pertengkaran-pertengakaran yang terjadi dalam keluarga ini. Kami pikir, kita bisa menyelesaikan pertentangan kita melalui cara baru ini”. “Saya benar-benar berharap bahwa kamu mau mencobanya. Kami tahu bahwa kamu akan berhasil”.

Biasanya pesan-pesan semacam ini bermanfaat untuk menghilangkan rasa tak percaya dan penolakan. Seandainya tidak, orang tua bisa membiarkan persoalan tak terselesaikan untuk satu-dua hari dan kemudian mencoba lagi metode anti-kalah. Kami katakan kepada orang tua, “Coba ingat, bagaimana Anda bersikap curiga dan tidak percaya ketika pertama kali Anda mendengar kami membicarakan anti-kalah. Kejadian ini barangkali bisa membantu Anda memahami reaksi curiga yang diperlihatkan oleh anak-anak Anda”. “Bagaimana Seandainya Kami Tak Bisa Menemukan Suatu Jalan Keluar yang Dapat Diterima?” Ini adalah salah satu ketakutan yang sering dialami orang tua. Meskipun hal ini benar pada beberap kasus, mengherankan bahwa hanya sedikit dari percakapan pemecahan konflik anti-kalah yang gagal memperoleh jalan keluar yang dapat diterima. Bila suatu keluarga menghadapi jalan buntu semacam ini, bisanya karena orang tua dan anak masih dalam kerangka berpikir menang-kalah dan masih ada dalam perjuangan untuk menentukan siapa yang berkuasa. Nasihat kami pada orang tua adalah: “Cobalah semua hal yang dapat Anda pikirkan dalam keadaan-keadaan semacam ini”. Misalnya: 1. Bicaralah terus.

185

2. Kembalilah ke langkah 2 dan carilah lebih banyak jalan keluar. 3. Tundalah konflik sampai pertemuan kedua besok. 4. Buatlah permintaan yang sungguh-sungguh seperti, “Ayolah mesti ada jalan untuk menyelesaikan ini”, “Marilah kita sungguh berusaha untuk mencari jalan keluar yang disepakati”, “Apakah kita sudah meninjau semua jalan keluar yang mungkin?”, “Marilah kita berusaha lebih keras”. 5. Bawalah kesukaran. Bicarakanlah kesukaran ini secara terbuka dan cobalah untuk menemukan apakah ada persoalan lain yang mendasari atau ada suatu “agenda tersembunyi” yang menghalangi tercapainya kesepakatan. Anda misalnya dapat berkata, “Apa ya, yang menghalangi kita menemukan suatu jalan keluar?”, “Apakah ada halhal lain yang mengganggu yang belum kita utarakan?” Biasanya, satu atau beberapa pendekatan ini membuat pemecahan persoalan bisa mulai lagi. Kembali ke Metode I bila Metode III Mengalami Kemacetan “Kami mencoba metode anti-kalah dan tidak mendapat kemajuan apaapa. Maka istri saya dan saya harus mengambil alih persoalan dan membuat keputusan”. Beberapa orang tua tergoda untuk kembali ke Metode I. Biasanya hal ini membawa konsekuensi yang cukup parah. Anak-anak menjdi marah; mereka merasa dibohongi supaya percaya bahwa orang tua mereka sedang mencoba cara baaru; dan bila kemudian metode anti-kalah ini dicoba lagi, mereka akan bersikap lebih tidak percaya dan curiga. Orang tua sangat dianjurkan untuk menghindari kembali ke Metode I. Juga, sama jeleknya untuk kembali ke Metode II dan membiarkan anakanak menang, karena bila lain kali metode anti-kalah ini dicoba lagi, mereka cenderung untuk terus-menerus bertengkar, sampai mereka mendapatkan apa yang mereka mau. Apakah Pemberian Hukuman Juga Harus Dimasukkan Sebagai Bagian dari Kesepakatan yang Dibuat? Orang tua telah melaporkan kembali bahwa mereka (atau anak-anak), sesudah tercapai suatu kesepakatan anti-kalah, ternyata memasukkan unsur hukuman atau denda di dalam persetujuan ang telah mereka buat. Hukuman ini akan dilaksanakan bila anak-anak tidak menjalankan apa yang telah mereka setujui. Dahulu, reaksi saya terhadap laporan semacam ini adalah dengan mengusulkan bahwa denda dan hukuman yang sudah disetujui mungkin cukup baik, bila hal ini juga berlaku untuk orang tua, seandainya mereka tidak menepati apa yang mereka sepakati. Sekarang, saya berpikir lain tentang hal ini.

186

Adalah jauh lebih baik bagi orang tua untuk menghindari penggunaan denda atau hukuman untuk kegagalan menepati apa yang telah disetujui atau gagal melaksanakan suatu keputusan yang diambil melalui Metode III. Pertama-tama, orang tua ingin menyampaikan kepada anak-anak muda ini bahwa hukuman sama sekali tidak akan digunakan, bahwa bila hal ini diusulkan oleh anak-anak, seperti yang biasanya terjadi. Kedua, lebih banyak yang bisa dicapai melalui sikap percaya – percaya kepada maksud baik dan integritas anak-anak. Anak-anak muda berkaca kepada kami, “Bila saya merasa sipercaya, saya lebih tidak mungkin mengkhianati kepercayaan itu. Tetapi bila saya merasa orang tua saya atau seorang guru tidak mempercayai saya, saya malah bisa melakukan apa yang mereka pikir sdah saya lakukan. Dalam pikiran mereka, saya sudah merupakan sesuatu yang buruk. Saya sudah kalah, mengapa tidak sekalian saja melakukannya”. Dalam metode anti-kalah, orang tua sebaiknya berpijak pada dugaan bahwa anak-anak akan melaksanakan kuputusan yang dibuat. Hal ini merupakan bagian dari metoe yng baru – saling mempercayai, percaya bahwa komitmen yang dicapai akan dilaksanakan, memegang janji, berpegang pada apa yang sudah disetujui. Pembicaraan tentang denda dan hukuman akan mengungkapkan rasa tidak ercaya, keragu-raguan, keputusasaan. Hal ini tidak berarti bahwa anak-anak akan selalu memegang apa yang sudah mereka setujui. Tidak: Yang hendak kami katakan adalah, orang tua harus mempunyai dugaan bahwa mereka akan melaksanakannya. “Tidak bersalah sebelum dibuktikan bersalah” atau “Bertanggung jawab sebelulm dibuktikan tidak bertanggung jawab”, adalah falsafah yang kami anjurkan. Bila Persetujuan Dilanggar Tidak dapat dihindarkan bahwa anak-anak kadang-kadang tidak menepati janji mereka. Di bawah ini ada beberapa alasan yang mungkin: 1. Mereka menemukan bahwa mereka telah menyetujui melakukan sesuatu yang terlampau sukar untuk dilaksanakan. 2. Mereka tidak mempunyai pengalaman dalam hal disiplin diri dan melaksakan sendiri. 3. Sebelum ini mereka menggantungkan diri pada kekuasaan orang tua untuk disiplin dan kontrol diri mereka. 4. Barangkali mereka lupa. 5. Barangkali mereka sedang menguji metode anti-kalah – menguji apakah Bapak dan Ibu benar-benar mempunyai maksud sama dengan apa yang mereka ucapkan, apakah yang diperoleh anak-anak bila melanggar janji. 6. Barangkali mereka menerima keputusan yang dibuat hanya karena mereka bosan dengan acara pemecahan masalah yang membosankan.

187

Para orang tua melaporkan alasan-alasan ini sebagai sebab mengapa anakanak gagal memenuhi koitmen mereka. Kami mengajar orang tua untuk menghadapi secara langsung dan jujur, setiap anak yang tidak mematuhi persetujuan. Kuncinya adalah untuk mengirimkan kepada anak suatu “pesan aku” – tidak ada yang salah, tidak ada pengecilan arti diri, tidak ada ancaman. Juga, sidang harus diusahakan secepat mungkin, misalnya semacam ini: “Saya kecewa karena kamu tidak mematuhi persetujuan”. “Saya heran bahwa kamu tidak memegang janjimu”. “Heh Jono, saya merasa diperlakukan tidak adil karena saya menepati janji saya sedangkan kamu tidak”. “Saya pikir kita telah menyetujui untuk -, dan sekarang saya dapatkan bahwa kamu tidak melaksanakan janjimu, saya tidak suka hal ini”. “Saya punya harapan bahwa kita sudah menyelesaikan persoalan kita, dan saya kesal karena ternyata kita belum menyelesaikannya”.

“Pesan-pesan aku” semacam ini akan menimbulkan jawaban dari pihak anak yang akan memberi Anda keterangan lebih banyak dan menolong Anda untuk mengerti alasannya. Sekali lagi, saat ini adalah saat untuk mendengarkan secara aktif. Tetapi selalu, pada akhirnya orang tua harus menjelaskan bahwa dalam metode anti-kalah, tiap-tiap orang diharapkan untuk bertanggung jawab sendiri dan dapat dipercaya. Dan komitmen yang suda dibuat, diharapkan untuk dipatuhi. “Yang kita lakukan bukanlah permainan, kami benar-benar berusaha untuk memperhatikan kebutuhan masing-masing orang”. Hal ini memerlukan disiplin yang sungguh-sungguh, integritas yang benar-benar, dan kerja yang berat. Tergantung dari apa alasannya seorang anak tidak menepati perkataannya, orang tua dapat (1) sampai pada kesimpulan bahwa “pesan-pesan aku” adalah tidak efektif (2) sampai pada kesimpulan bahwa mereka perlu untuk membuka kembali persoalan dan menemukan jalan keluar yang lebih baik; atau (3) ingin membantu anak mencari cara yang dapat menolongnya supaya ia ingat. Bila seorang anak lupa, orang tua dapat menimbulkan persoalan tentang apa yang sebaiknya dilakukan supaya dia ingat lain kali. Apakah dia perlu jam, weker, catatan untuk dirinya sendiri, pesan pada papan komunikasi, seutas benang pada jarinya, sebuah penanggalan, suatu tanda dalam kamarnya? Apakah orang ta harus mengingatkan anak-anak ini? Apakah mereka harus mengambil tanggung jawab untuk mengingatkannya kapan dia harus melaksanakan apa yang ia sudah setujui? Dalam MOE dengan tegas kami katakan tidak. Selain menimbulkan hal yang kurang mengenakkan bagi orang tua, hal ini juga mempunyai akibat membuat anak tetap tergantung, memperlambat perkembangan disiplin diri dan tanggung jawab diri. Mengingatkan ank untuk melakukan apa-apa yang sudah mereka janjikan

188

sendiri sama dengan memanjakan mereka – hal ini sama dengan memperlakukan mereka, seakan-akan mereka tidak dewasa dan tidak bertanggung jawab. Dan mereka akan tetap tinggal begitu, kecuali orang tua sejak dari mula memindahkan tanggung jawab kepada anak, yang memang sehatusnya demikian, kemudian, bila anak “lupa”, kirimkanlah suatu “pesan aku”. Bila Anak Sudah Biasa Menang Sering kali, orang tua yang banyak menggunakan Metode II, melaporkan kesukaran untuk berpindah ke Metode III karena anak-anak mereka, sudah biasa mendapatkan apa yang mereka tuntut, sangat menolak untuk ikut serta dalam suatu metode pemecahan persoalan yang mungkin mengharuskan mereka untuk sedikit memberi, untuk mau bekerja sama, dan berkompromi. Anak-anak semacam ini begitu terbiasa untuk menang dan bayaran kekalahan orang tua mereka sehingga wajarlah kalau mereka segan melepaskan posisi kompetitif yang sangat menguntungkan ini. Dalam keluarga-keluarga semacam ini, bila orang tua menemui rintangn kuat terhadap metode anti-kalah, mereka biasanya menjadi takut dan berhenti mencoba metode ini. Sering kali mereka ini adalah orang tua yang melaksanakan Metode II karena merasa takut akan kemarahan dan air mata dari anak-anak mereka. Karena itu suatu perubahan ke Metode III untuk orang tua yang tadinya permisif, sangat menuntut kekuatan dan ketegasan lebih daripada yang sudah biasa mereka tunjukkan kepada anak-anak mereka. Orang tua ini perlu menemukan sumber kekuatan baru supaya mereka dapat beranjak dari sikap “damai, berapa pun harganya”. Sering kali berguna untuk mengingatkan mereka harga luar biasa mahal yang harus mereka bayar pada hari kemudian bial anak-anak mereka selalu menang. Mereka harus diyakinkan bahwa sebagai orang tua mereka juga mempunyai hak. Atau mereka harus diingatkan bahwa kebiasaan mereka untuk mengalah kepada anak telah membuat anak hanya mementingkan diri sendiri dan tidak bisa memperhatikan orang lain. Orang tua semacam ini perlu diyakinkan bahwa orang tua dapat merupakan sesuatu yang menyenangkan, bila kebutuhan-kebutuhan mereka juga terpenuhi. Mereka harus mau berubah, dan merka harus siap untuk menghadapi banyak tantangan dari anak bila mereka berpindah ke Metode III. Selama masa peralihan, orang tua harus siap untuk menghadapi berbagai perasaanperasaan mereka sendiri dengan menggunakan “pesan-pesan aku” yang jelas dan baik. Dalam suatu keluarga, orang tua mempunyai kesukaran dengan nak gadisnya yang berusia 13 tahun yang selalu dituruti kemauannya. Pada usaha mereka yang pertama untuk menggunakan Metode III, ketika tampak pada anak bahwa ia tidak akan mendapat apa yang ia mau, ia menyemburkan kemarahannya dan lari ke kamarnya dengan berurai air mata. Orang tua tidak

189

menghibur atau membiarkannya seperti yang biasa mereka lakukan, ayah membuntuti anak dan berkata, “Saya sangat marah padamu sekarang ini! Kita membicarakan sesuatu yang kurang menyenangkan buat Ibumu dan buat saya, dan kamu lari! Hal ini buat saya menunjukkan sepertinya kamu tidak mau tahu kebutuhan-kebutuhan kami. Saya tiak suka hal ini! Saya pikir tidak adil. Kami ingin supaya persoalan ini diselesaikan sekarang. Kami tidak ingin kamu kalah, tapi kami jelas tidak mau jadi yang kalah sementara kamu jadi pemenang. Saya kira, kita bisa mencari jalan keluar supaya kita berdua menang, tapi hal ini tidak akan mungking kecuali kalau kamu kembali lagi ke meja. Nah, sekarang maukah kamu berhenti menangis dn kembali ke meja untuk mencari jalan keluar yang baik?, Sesudah menghapus air matanya, anak gadis ini kembali bersama ayahnya dan dalam beberapa menit sampai pada suatu jalan keluar yang memuaskan bagi anak dan orang tua. Sesudah itu, gadis ini tidak pernah lagi lari dari acara pemecahan persoalan. Ia berhenti berusaha untuk memegang kendali dengan kemarahannya ketiak jelas baginya bahwa orang tuanya tidak berminat untuk membiarkannya mengendalikan mereka lagi.

METODE ANTI-KALAH UNTUK KONFLIK ANTAR-ANAK Kebanyakan orang tua mendekati konflik-konflik antar-anak, yang tidak dapat dielakkan dan memang sering terjadi, dengan orientasi menang-kalah seperti yang mereka pergunakan dalam konflik orang tua – anak. Orang tua merasa bahwa mereka harus berperan sebagai hakim, wasit, atau penjaga garis – mereka berpikiran bahwa mereka bertanggung jawab untuk mendapatkan fakta, menetukan siapa yang salah dan siapa yang benar dan menentukan bagaimana jalan keluarnya. Orientasi semacam ini mempunyai banyak kekurangan dan biasanya menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan bagi semua pihak yang bersangkutan. Metode anti-kalah umumnya lebih efektif untuk menyelesaikan konflik semacam ini dan lebih ringan untuk orang tua. Ini juga memegang peranan penting dalam mempengaruhi anak-anak untuk menjadi lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, lebih tidak tergantung, lebih mempunyai disiplin diri. Bila orang tua mendekati konflik anak-anak sebagai hakim atau wasit, mereka membuat kesalahan karena berpikir bahwa merekalah yang mempunyai persoalan. Dengan bertindak sebagai pihak yang dapat memecahkan persoalan, mereka tidak memberi kesempatan kepada anak untuk mengakui tanggung jawab bahwa merekalah yang punya konflik. Dan mereka juga tidak memberi kesempatan kepada anak untuk belajar bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut melalui usaha mereka sendiri. Hal ini menghalangi anak-anak untuk berkembang dan menjadi dewasa serta barangkali akan menyebabkan mereka selalu tergantung pada suatu otoritas untuk menyelesaikan konflik-konflik mereka untuk mereka. Dari sudut pandangan orang tua, pengaruh paling buruk dari cara pendekatan menang-kalah adalah bahwa anak-anak mereka akan terus membawa semua konflik-konflik mereka kepada orang tua. Sebagai ganti menyelesaikan

190

konflik mereka sendiri, mereka lari kepada orang tua untuk membereskan pertengkaran dan pertentangan mereka: “Mama, Jono mengganggu saya – suruh dia berhenti”. “Papa, Maggie tidak mengizinkan saya main dengan bonekanya”. “Saya mau tidur tetapi Frankie bicara terus, suruh dia diam”. “Dia yang lebih dulu meninju, itu salahnya. Saya tak berbuat apa-apa padanya”.

“Himbauan pada kekuasaan” semacam ini adalah biasa dalam kebanyakan keluarga karena orang tua membiarkan diri mereka terbawa dalam pertengakaran anak-anak mereka. Dalam MOE, orang tua perlu diyakinkan supaya mereka mau menerima pertengkaran-pertengkaran ini sebagai pertengkaran anak-anak mereka, dan bahwa anak-anaklah yang memiliki persoalan. Kebanyakan pertengkaran dan konflik antar-anak termasuk di dalam golongan Persoalan yang Menjadi Milik Anak daerah atas dari diagram kami: Persoalan yang menjadi milik anak Tidak ada persoalan Persoalan yang menjadi milik orang tua

Bila orang tua dapat menempatkan konflik-konflik ini pada tempat yang sebenarnya, mereka dapat menanggulangi persoalan ini dengan cara yang tepat: 1. Sama sekali tidak mencampuri konflik. 2. Membuka-jalan, undangan untuk berbicara. 3. Mendengar aktif. Jono dan Tono, dua bersaudara, saling memperebutkan sebuah truk mainan, seorang menarik bagian depan dan yang lain bagian belakangnya. Keduanya menjerit dan berteriak, salah seorang menangis. Masing-masing berusaha menggunakan kekuatannya untuk mendapatkan apa yang dimauinya. Bila orang tua tidak mencampuri konflik ini, anak-anak ini mungkin akan menemukan pemecahannya sendiri. Bila demikian, memang baik sekali, mereka diberi kesempatan untuk belajar bagaimana memecahkan sendiri persoalan mereka. Dengan tidak ikut campur, orang tua sudah membantu kedua anak itu untuk sedikit berkembang. Bila anak-anak ini terus bertengkar dan orang tua terdorong untuk ikut campur dan memberi bantuan supaya mereka dapat memecahkan persoalan mereka, maka orang tua dapat bertindak sebagai “pembuka jalan”. Begini caranya: JONO: TONO:

“Aku mau truk! Kasih saya! Lepas!” “Saya dulu yang dapat! Dia datang merebut! Kembalikan!”

191

ORANG TUA:

“Saya lihat kamu betul-betul punya konflik, mengenai truk itu. Apa kamu mau membicarakan hal itu? Saya mau menolong kalau kamu mau membicarakannya.”

Kadang-kadang hanya membuka jalan semacam itu dapat segera membawa penyelesaian. Seakan-akan sepertinya anak-anak lebih senang untuk menemukan jalan keluarnya sendiri, daripada harus menghadapi proses mencari jalan dengan berdiskusi di hadapan orang tua. Mereka berpikir, “Ah, sebenarnya tidak sepenting itu.” Konflik tertentu mungkin menghendaki peran orang tua yang lebih aktif. Dalam hal semacam ini, orang tua dapat mendorong memecahkan persoalan dengan menggunakan cara mendengar aktif dan menjadi transmission belt, dan bukan sebagai wasit. Proses yang terjadi adalah begini: JONO: ORANG TUA: TONO: ORANG TUA:

TONO: ORANG TUA: JONO: ORANG TUA: TONO: ORANG TUA: JONO: ORANG TUA: TONO: ORANG TUA: JONO: ORANG TUA:

“Aku mau truk! Kasih aku! Lepas! Lepas!” “Jono kamu benar-benar ingin truk itu.” “Tapi saya yang lebih dulu dapat. Dia yang merebut, kembalikan!” “Tono, kamu merasa kamu yang mesti dapat truk karena kamu yang dapat lebih dahulu. Kamu marah pada Jono, karena dia merebut. Saya lihat kamu benar-benar punya konflik. Apa kamu melihat suatu cara untuk menyelesaikan persoalan ini? Ada usul?” “Ia harusnya membiarkan saya mendapatkannya.” “Jono, Tono mengusulkan jalan keluar yang ini.” “Ya tentu, karena dia lalu yang akan dapat truk.” “Tono, Jono, berkata bahwa ia tak suka jalan keluar yang ini, karena kamu akan menang dan dia kalah.” “Hm, dia boleh main dengan mobil-mobilan saya, sampai saya selesai main dengan truk ini.” “Jono, Tono mengusulkan jalan lain – kamu boleh main dengan mobil-mobilannya yang lain dan dia akan main dengan truk itu.” “Apa saya bisa main dengan truk setelah ia selesai, Bu?” “Tono, Jono ingin kepastian bahwa kamu akan membolehkan dia main dengan truk itu sesudah kamu.” “Oke, saya akan segera selesai main truk.” “Jono, Tono berkata bahwa memang kamu boleh main dengan truk setelah dia selesai.” “Baik deh!” “Saya rasa, kamu berdua sudah menyelesaikan persoalan ini, benar?”

Dalam kejadian itu, orang tua sudah melaporkan banyak pemecahan yang berhasil dalan konflik antar-anak. Orang tua mula-mula mengusulkan metode anti-kalah dan kemudian memberi sarana komunikasi di antara mereka yang “berperang” dengan mendengar aktif. Orang tua yang mempunyai kesukaran untuk percaya bahwa mereka dapat mengikutsertakan anak-anak mereka dalam pendekatan anti-kalah

192

perlu diingatkan, bahwa dalam keadaan di mana tidak ada orang dewasa, anak-anak sering menyelesaikan konflik mereka dengan metode anti-kalah – di sekolah, di lapangan, dalam permainan dan olahraga, dan di manamana. Bila ada orang dewasa, dan orang ini membiarkan dirinya ditarik sebagai hakim atau wasit, anak-anak cenderung untuk menggunakan orang dewasa ini, masing-masing menghimbau kepada kekuasaan yang dimiliki orang ini dalam usahanya untuk menang dan harganya adalah kekalahan yang lain. Biasanya orang tua menyambut metode anti-kalah ini untuk menyelesaikan konflik antar-anak, karena hampir semua orang tua punya pengalaman buruk dalam usaha mereka menyelesaikan suatu konflik; seorang anak merasa bahwa keputusan orang tua adalah tidak adil dan bereaksi dengan kesal dan memusuhi orang tua. Kadang-kadang orang tua membangkitkan kemarahan kedua anak ini, mungkin karena tidak memberikan kepada kedua anak ini apa yang mereka pertengkarkan (“Sekarang tak seorang pun yang boleh main truk”). Banyak orang tua, sesudah mereka mencoba pendekatan anti-kalah dan menempatkan tanggung jawab untuk menemukan jalan keluar pada diri anak-anak sendiri, mengatakan pada kami betapa leganya mereka dapat menemukan jalan untuk tidak berperan sebagai hakim atau wasit. Mereka berkata kepada kami: “Sungguh lega merasa bahwa saya tidak usah harus menyelesaikan pertengkaran mereka. Biasanya saya selalu jadi orang yang jahat tak peduli apa keputusan saya”. Hasil lain yang dapat diramalkan bila anak dibiarkan menyelesaikan konflik mereka sendiri dengan metode anti-kalah adalah bahwa lambat-laun mereka berhenti mengadakan pertengkaran dan pertikaian mereka kepada orang tua. Mereka belajar bahwa pergi kepada orang tua hanya berarti bahwa akhirnya mereka juga yang menemukan jalan keluar sendiri. Akibatnya, mereka meninggalkan kebiasaan lama ini dan mulai menyelesaikan konflik-konflik mereka tanpa tergantung pada orang lain. Hanya sedikit orang tua yang tidak mengakui keunggulan cara ini.

BILA KEDUA ORANG TUA TERSANGKUT DALAM KONFLIK ORANG TUA – ANAK Persoalan yang rumit kadang-kadang dijumpai dalam keluarga bila mereka menghadapi konflik dengan anak di mana kedua orang tua mempunyai kepentingan. Setiap Orang untuk Diri Sendiri Yang paling penting adalah bahwa masing-masing orang tua harus memasuki pemecahan anti-kalah sebagai “pelaku bebas”. Keduanya jangan mengharap bahwa mereka mempunyai “satu pandangan” atau mempunyai pendapat sama atas setiap konflik, meskipun kadang-kadang hal ini bisa terjadi. Isi pokok dalam pemecahan anti-kalah adalah bahwa masing-

193

masing orang tua harus mengatakan dengan tepat perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Masing-masing orang tua adalah peserta yang mandiri dan unik di dalam pemecahan konflik dan harus berpikir mengenai pemecahan persoalan sebagai proses yang mencakup tiga atau lebih pribadi yang terpisah, bukan orang tua bersatu melawan anakanak. Beberapa jalan keluar yang dapat dipertimbangkan selama pemecahan persoalan mungkin dapat diterima oleh ibu tetapi tidak oleh ayah. Kadangkadang, ayah dan putranya yang remaja mempunyai pendapat yang sama dalam satu hal tertentu dan ibu mempunyai sudut pandangan yang berlainan. Kadang-kadang ibu bersatu lebih erat dengan putranya, sedangkan ayah menghendaki penyelesaian lain. Kadang-kadang ibu dan ayah mempunyai pandangan yang berdekatan dan sudut pandangan anakanak mereka yang remaja berbeda dengan pandanga mereka. Kadangkadang masing-masing peserta tidak mempunyai kecocokan dengan yang lain. Keluarga yang mempraktekkan metode anti-kalah menemukan bahwa semua kombinasi ini bisa saja terjadi, tergantung pada sifatkonflik. Kunci untuk pemecahan anti-kalah adalah bahwa perbedaan-perbedaan ini akan terus dibicarakan sampai ditemukan suatu jalan keluar yang dapt diterima oleh setiap orang. Dalam kursus yang kami selenggarakan, kami belajar dari orang tua, macam konflik mana yang paling membawa perbedaan nyata antara bapakbapak dan ibu-ibu: 1. Para bapak sering sepihak dengan anak dalam hal konflik yang menyangkut luka fisik anak-anak. Pada bapak tampaknya lebih dapat menerima daripada ibu-ibu – hal yang tak dapat dielakkan yaitu bahwa anak-anak suatu waktu akan luka. 2. Para ibu dibandingkan dengan para ayah, rupa-rupanya lebih sepaham dengan anak gadisnya dalam hal hubungan pria-wanita dan semua yang bersangkutan dengan hal ini, yaitu: berdandan, tuntutan potongan baju, kencan, telepon, dan sebagainya. Ayah seringkali menolak melihat gadisnya berkencan dengan pria-pria muda. 3. Para bapak dan para ibu sering tidak sepaham dalam persoalan yang menyangkut kendaraan keluarga. 4. Para ibu dibandingkan dengan para bapak, biasanya mempunyai tuntutan lebih tinggi dalam hal kerapian dan kebersihan rumah. Soalnya ialah,para ibu dan para bapak memang berbeda, dan perbedaanperbedaan ini seandainya masing-masing orang tua mau benar-benar jujur – mau tak mau akan muncul dalam konflik antara orang tua dan anak-anak mereka. Dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan yang ada antara ibu dan bapak dalam pemecahan konflik – memperlihatkan segi kemanusiaan mereka kepada anak-anak – orang tua akan memperoleh jenis rasa hormat

194

dan kasih sayang baru dari putra-putri mereka. Dalam hal ini anak-anak tidak berbeda dari orang-orang dewasa – mereka juga mencintai orang yang mempunyai sifat manusiawi dan mereka tidak mempercayai mereka yang tidak manusiawi. Mereka menginginkan orng tua seperti apa adanya, tidak bersandiwara memainkan peranan “orang tua” dengan selalu saling setuju, tidak peduli apakah persetujuan itu benar-benar dihayati atau tidak. Salah Satu Menggunakan Metode III, yang Lain Tidak Dalam kursus MOE kami sering ditanya apakah mungkin untuk menyelesaikan konflik dengan Metode III yang anti-kalah itu bila pendekatan ini hanya dilakukan oleh salah satu orang tua saja sedangkan yang lain tidak menggunakannya. Pertanyaan ini muncul karena tidak semua peserta yang mengikuti kursus ini bersama dengan pasangannya, meskipun kami sangat menganjurkan supaya kedua orang tua mengikuti kursus ini. Dalam beberapa kasus, di mana hanya satu orang tua yang menggunakan metode anti-kalah, barangkali seorang ibu, dengan sederhana ia mulai menyelesaikan semua konflik-konfliknya dengan anak dengan menggunakan metode anti-kalah dan membiarkan ayah terus menggunakan Metode I dalam konflik-konfliknya. Ini mungkin tidak banyak menimbulkan kesukaran, kecuali bahwa anak-anak menyadari perbedaan yang terjadi, sering mengeluh kepada ayah bahwa mereka tidak lagi menyukai pendekatannya dan mengharap bahwa ia mau menyelesaikan konflik-konfliknya dengan cara yang digunakan ibu. Beberapa ayah menjawab keluhan ini dengan mengikuti kursus MOE yang berikutnya. Ayah semacam ini adalah ayah yang muncul pada acara pertama kursus MOE dan mengatakan: “Malam ini saya ada di sini sebagai suatu cara untuk mempertahankan diri, saya kira, karena saya mulai melihat akibat-akibat baik yang didapat istri saya dengan metodenya yang baru. Hubungannya dengan anak-anak telah membaik sedangkan hubungan saya tidak. Mereka bercakap-cakap dengan istri saya tapi tak mau bercakap-cakap dengan saya”.

Ayah yang lain, dalam acara kursus yang pertama yang diikutinya di mana istrinya sudah lebih dahulu mengikuti kursus sebelumnya, memberikan komentar ini: “Saya ingin mengatakan kepada Anda, para wanita yang mengikuti kursus ini tanpa suami-suami Anda, apa yang mungkin dapat Anda harapkan sehubungan dengan suami Anda. Bila Anda mulai menggunakan cara mendengarkan yang baru dan bagaimana berhadapan serta menyelesaikan, persoalan dengan cara baru, suami-suami Anda akan merasa disakiti dan dikucilkan. Ia akan merasa bahwa perannya sebagai ayah dirampas daripadanya. Anda akan mendapat hasil, sedangkan dia tidak. Saya mengamuk kepada istri dan berkata, “Apa yang kau harapkan dari padaku – aku tak akan mengikuti

195

kursus terkutuk itu”. Pahamkah Anda mengapa sekarang ini saya berkata bahwa saya tidak dapat tidak mengikuti kursus ini?”

Beberapa ayah yang tidak mempelajari ketrampilan-ketrampilan baru ini dan tetap puas dengan cara pendekatan Metode I, sering mengalami masamasa yang kurang menyenangkan. Seorang istri bercerita kepada kami bahwa ia mulai memiliki rasa kesal yang berkembang menjadi permusuhan dengan suaminya karena ia tidak tahan melihat suaminya menyelesaikan konflik dengan kekuasaan. “Sekarang inisaya melihat betapa besarnya kekerasan yang ditimbulkan oleh Metode I terhadap anak dan saya tidak bisa tinggal diam melihat dia menyakiti anak-anak dengan cara ini”, ia bercerita kepada peserta kursus. Seorang lain berkata, “Saya bisa melihat bahwa ia merusak hubungannya dengan anak-anak dan hal ini membuat rasa kecewa dan sedih. Mereka membutuhkan hubungan dengan ayah, tetapi tampaknya hubungan ini memburuk dengan cepat”. Beberapa ibu memohon bantuan peserta lainnya dalam kursus MOE tersebut untuk mendapatkan keberanian untuk secara terbuka dan jujur menghadapi suaminya. Saya ingat seorang ibu muda yang menarik,yang mendapat bantuan peserta kursus untuk melihat seberapa besar sebenarnya rasa takutnya kepada suaminya, dan karena ini ia menghindar untuk membukakan perasaan-perasaannya kepada suaminya sehubungan dengan Metode I yang digunakan suaminya itu. Tidak tahu bagaimana, dengan membicarakan hal ini dalam kursus MOE, ia mendapat cukup keberanian untuk pulang ke rumah dan menyatakan kepada suaminya perasaanperasaan yang telah ditelitinya di dalam kelas MOE: “Saya terlalu mencintai anak-anak sehingga tak bisa tinggal diam melihat kamu menyakiti mereka. Saya tahu, apa yang saya pelajari dalam MOE adalah lebih baik untuk anak-anak, dan saya ingin kamu juga memepajari metode ini. saya selamanya takut padamu dan saya bisa melihat bagimana kamu juga membuat anak-anak takut padamu”.

Akibat keterbukaan ini mengherankan sang ibu. Untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, suami mendengarkannya sampai selesai. Suaminya berkata bahwa dia tidak sadar bagaimana dia menindas istri dan anak-anaknya, dan sebagai akibatnya, dia setuju untuk mengikuti kursus MOE berikutnya. Bila salah seorang terus menerapkan Metode I, keterbukaan tidak selalu berpengaruh baik seperti dalam contoh tadi. Saya yakin bahwa dalam beberapa keluarga tertentu, persoalan ini tidak pernah terselesaikan. Meskipun kami jaran mendengar hal ini, mestinya ada beberapa suami dan istri yang tidak pernah serasi dalam cara mereka menyelesaikan konflik. Atau pada keadaan-keadaan tertentu, salah satu orang tua yang sudah dilatih menggunakan metode-metode MOE barangkali malah kembali kepada caranya yang lama karena tekanan dari pasangannya yang menolak berhenti menggunakan cara kekuasaan untuk menyelesaikan konflik.

196

”DAPATKAH KAMI MENGGUNAKAN KETIGA METODE TERSEBUT?” Kadang-kadang kami menghadapi orang tua yang menerima kebenaran dan percaya kepada keampuhan pendekatan anti-kalah, tetapi tidak mau melepaskan kedua pendekatan kalah-menang yang lain. “Apakah orang tua yang baik tidak menggunakan campuran yang dapat dipertanggungjawabkan ketiga metode ini, tergantung pada sifat dari persoalannya?’, tanya seorang ayah dalam salah satu kursus kami. Memang dapat dipahami ketakutan orang tua untuk melepaskan semua kekuasaan mereka terhadap anak-anak, tetapi sudut pandangan ini tidaklah dapat dipertahankan. Seperti halnya tidak mungkin untuk “sedikit hamil”, juga tidak mungkin untuk “sedikit demokratis” dalam konfik orang tua – anak. Pertama-tama, kebanyakan orang tua yang ingin kombinasi dari ketiga metode ini sesungguhnya bermaksud untuk “menyimpan hak” supaya dapat menggunakan Metode I untuk konflik yang benar-benar genting. Diterjemahkan ke dalam bahasa yang sederhana, sikap mereka adalah: “Dalam persoalan yang tak terlalu penting, saya akan membiarkan mereka turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan, tetapi saya akan mempertahankan hak saya untuk menentukan dalam persoalan-persoalan yang genting”. Pengalaman kami melihat orang tua mencoba menggunakan pendekatan ini adalah, singkatnya, pendekatan ini tidak berhasil. Anak-anak, sekali mendapat kesempatan untuk merasakan bagaimana enaknya menyelesaikan konflik tanpa kalah, merasa tidak senang biala orang tua kembali ke Metode I. Atau mungkin mereka akan kehilangan semua minat untuk melaksanakan Metode III dalam hal persoalan-persoaalan yang tidak penting, karena mereka merasa begitu kesal karena kalah dalam persoalan-persoalan yang lebih penting. Akibat lebih lanjut dari penggunaan pendekatan campuran ini adalah anak-anak memperkembangkan rasa tidak percaya kepada orang tua bila mereka mencoba menggunakan Metode III, karena anak-anak telah belajar, pabila menghadapi kartu mati berupa persoalan yang sangat mempengaruhi orang tua, akhirnya orang tua juga menang. Maka, apa sebabnya mereka harus berusaha mencari pemecahan masalah? Setiap kali terjadi konflik besar, mereka tahu bahwa ayah akan menggunakan kekuasaannya untuk menang. Beberapa orang tua dapat juga berhasil dengan kadangkadang menggunakan Metode I untuk persoalan-persoalan yang tidak menyangkut emosi-emosi yang kuat pada anak-anak – persoalan yang kurang penting – tetapi Metode III harus selamanya dipakai bila suatu konflik sangat genting, mencakup perasaan dan keyakinan yan kuat pada anak-anak. Barangkali merupakan prinsip dalam semua hubungan antar-manusia bahwa bila

197

seseorang tidak terlalu peduli tentang bagaimana menyelesaikan suatu konflik, seseorang mungkin bersedia untuk tunduk pada kekuasaan orang lain; tetapi bila seseorang mempunyai perhatian besar terhadap cara bagimana suatu konflik akan diselesaikan, seseorang ingin mempunyai saham dalam pembuatan keputusannya.

”APAKAH METODE ANTI-KALAH PERNAH GAGAL?” Jawaban terhadap pertanyaan ini sudah barang tentu “tentu saja”. Dalam kursus-kursus kami, kami mempunyai beberapa orang tua yang karena berbagai sebab tidak dapat menggunakan Metode III dengan efektif. Memang kami belum mengadakan telaah sistematik mengenai kelompok ini, tetapi cara mereka berpartisipasi di dalam kelas sering dapat menjelaskan apa sebabnya mereka tidak berhasil. Beberapa orang tua terlalu takut untuk melepaskan kekuasaan mereka. Usul untuk menggunakan Metode III mengancam nilai-nilai dan kepercayaan yang sudah lama mereka anut tentang perlunya otoritas dan kekuasaan dalam membesarkan anak-anak. Orang tua semacam ini sering mempunyai pandangan yang sangat salah tentang sifat manusia. Bagi mereka, makhluk manusia tidak dapat dipercaya dan mereka yakin bahwa menyingkirkan otoritas hanya berakibat anak-anak menjadi buas, menjadi iblis yang mementingkan diri sendiri. Kebanyakan dari orang tua macam ini tidak pernah mencoba menggunakan Metode III. Beberapa orang tidak berhasil melaporkan bahwa pokoknya anak-anak mencoba menolak untuk menggukana pemecahan anti-kalah. Bisanya mereka adalah anak-anak remaja yang sudah lebih tua, yang sudah tidak mau peduli lagi apa yang dilakukan orang tua mereka, sehingga bagi mereka Metode III tampak sebagai suatu cara yang memberi peluang lebih besar kepada orang tua. Saya telah bertemu dengan beberapa dari anak-anak ini dalam terapi pribadi, dan harus saya akui bahwa saya sering merasakan bahwa hal terbaik bagi mereka adalah menemukan keberanian untuk melepaskan diri dari orang tua mereka, pergi dari rumah, dan mencari hubungan baru yang lebih memberi kepuasan. Seorang anak laki-laki yang cukup cerdas, seorang siswa sekolah menengah atas, sampai pada kesimpulan bahwa ibunya tidak pernah akan berubah. Sesudah memahami apa yang yang diajarkan dalam kursus MOE karena membaca buku catatan orang tuanya, remaja yang pandai ini mengungkapkan perasaannya kepada saya: “Ibu saya tidak pernah akan berubah. Ia tidak pernah menggunakan cara yang Anda ajarkan dalam MOE. Saya kira, sebaiknya saya melepaskan harapan bahwa ia akan berubah. Sayang memang, tetapi ia ada di luar jangkauan pertolongan. Sekarang, saya harus mencari jalan supaya dapat menghidupi diri saya sendiri, dengan demikian saya bisa meninggalkan rumah”.

198

Jelas bagi kami semua yang menekuni program MOE bahwa kursus selama 8 minggu, tidak akan mengubah semua orang tua – terutama mereka yang telah menjalankan metode yang tidak efektif selama 15 tahun atau lebih. Untuk beberapa orang tua tersebut, program ini tidak berhasil memberikan suatu titik balik. Inilah sebabnya mengapa kami sangat menganjurkan agar para orang tua mempelajari filsafat baru dalam mengasuh anak ini ketika anak-anak mereka masih muda usia. Seperti halnya dalam semua hubungan antar-manusia, beberapa hubungan orang tua – anak telah sedemikian retak dan mundur sehingga barangkali tidak bisa diperbaiki lagi.

199

14 Cara Menghindari “Pemecatan” Sebagai Orang Tua Semakin sering anak-anak “memecat” orang tua mereka. Pada waktu memasuki masa remaja mereka “memecat” ibu dan ayah mereka, mengenyahkan, memutuskan hubungan dengan ereka. Hal ini dewasa ini terjadi dalam ribuan keluarga, terlepas dari tingkatan sosial ataupun ekonomi. Anak-anak muda meninggalkan orang tua mereka, secara fisik atau psikologis, untuk memberi hubungan yang lebih memuaskan di lain tempat, biasanya dalam kelompok-kelompok anak muda yang usianya sebaya. Mengapa hal ini terjadi? Saya yakin, berdasarkan pengalaman saya bekerja dengan ribuan orang tua dengan menggunakan MOE, anak-anak tersebut telah terusir dari keluarganya karena tingkah laku orang tua mereka – suatu tingkah laku tertentu. Para orang tua dipecat oleh anak mereka jika mengganggu dan memaksa anak-anaknya mengubah keyakinan dan nilainilainya. Para remaja memecat orang tua mereka jika mereka merasa bahwa hak-hak dasarnya tidak diakui. Para orang tua kehilangan kesempatan untuk memberikan pengaruh konstuktif pada anaknya karena terlalu bernafsu untuk mempengaruhi anakanaknya terus-menerus sedangkan anak-anak sangat berkeinginan untuk menentukan keyakinan-keyakinannya dan tujuan hidupnya sendiri. Di sini, seperti yang dilakukan di dalam kelas MOE, saya akan meneliti persoalan kritis ini dan menyajikan metode-metode khusus agar orang tua “tak dipecat” sehubungan dengan masalah-masalah tersebut di atas. Sementara metode anti-kalah dapat secara dramatis berpengaruh, jika ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk menerapkannya sudah dikuasai, terdapat beberapa konflik yang tidak dapat diharapkan akan teratasi; meskipun metode ini telah diterapkan secara mahir, karena konflik itu di luar jangkauan Metode III untuk memecahkannya. Jika para orang tua mencoba untuk melibatkan putra-putranya dalam pemecahan konflik sehubungandengan masalah-masalah ini, mereka akan cenderung gagal. Mengusahakan agar para orang tua mengerti dan menerima kenyataan ini, merupakan suatu pekerjaan yang sulit dalam MOE; karena berarti harus melepaskan pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang sudah sangat lama mengenai peranan orang tua di dalam masyarakat kita. Jika konflik keluarga terjadi karena masalah-maslah yang berhubungan dengan nilai, keyakinan, dan selera pribadi, maka orang tua mungkin harus mengatasi masing-masing konflik dengan cara yang berbeda, karena kerap kali anak-anak tidak ingin memperbincangkan masalah-masalah tersebut, atau diajak untuk memecahkannya. Hal ini tidak berarti bahwa orang tua

200

harus menyerah dan tidak mencoba untuk mempengaruhi anaknya dengan memberikan nilai-nilai tertentu. Namun caranya harus efektif, mereka harus menggunakan pendekatan yang berbeda.

MASALAH NILAI-NILAI Pada hakekatnya konflik-konflik antara orang tua dan anak timbul karena tingkah laku yang berhubungan erat dengan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, gaya, minat, dan falsafah hidup anak. Sebagai contoh pertama misalnya rambut gondrong. Dewasa ini, bagi kebanyakan laki-laki, rambut gondrong mempunyai arti simbolis yang penting. Orang tua tidak perlu mengetahui semua komponen arti simbolis dari rambut gondrong, tetapi adalah penting untuk mengenal betapa pentingnya berambut gondorng bagi anak pria. Ia memberi suatu nilai tertentu pada rambut gondrong. Rambut gondrong adalah suatu yang sangat penting baginya. Ia lebih memilih rambut gondrong – dalam suatu batas tertentu, ia butuh untuk menggondrongkan rambutnya; bukan hanya karena ia ingin. Usaha-usaha orang tua untuk menghambat kebutuhan ini, atau usahausaha yang kuat untuk mengambil darinya apa yang sangat bernilai baginya, pasti akan menimbulkan perlawanan atau pertahanan yang keras. Rambut gondrong merupakan suatu pernyataan dari pemuda yang melakukan kehendaknya, menjalankan hidupnya sendiri, melaksanakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinannya. Cobalah berusaha mempengaruhi anak laki-laki Anda agar memangkas rambutnya yang gondrong dan ia mungkin akan mengatakan sebagai berikut: “Rambut saya sendiri.” “Saya senang rambut begini.” “Tidak usah mengusik saya.” “Saya punya hak untuk memakai rambut saya seperti yang saya inginkan.” “Rambut saya tidak memberi pengaruh apa pun.” “Saya tidak pernah bilang bagaimana ibu harus mengatur rambut, jadi rambut saya tidak perlu dipersoalkan juga.”

Pesan-pesan tersebut, jika diuraikan dengan tepat memberikan keterangan kepada orang tua, “Saya merasa bahwa saya mempunyai hak untuk mempertahankan nilai saya sejauh saya melihat bahwa tidak ada pengaruh apa pun terhadap Anda dengan cara yang bagaimanapun juga”. Jika dia adalah anak laki-laki saya, saya harus mengakui bahwa ia betul. Panjang rambutnya, secara kongkret dan jelas terlihat, tidak mengganggu saya memnuhi kebutuhan-kebutuhan saya sendiri: itu tidak menyebabkan saya dipecat, tidak akan mengurangi pendapatan saya, tidak menghambat saya untuk berteman atau mencari teman baru, tidak akan menurunkan prestasi saya sebagai pemain golf, tidak akan mencegah saya untuk menuliskan buku ini ataupun menjalankan keahlian saya, dan pasti tidak akan menghalangi saya untuk berambut pendek. Bahkan tidak

201

mengharuskan saya untuk mengeluarkan uang (sebenarnya, akan menghemat seandainya selama ini saya yang memberinya uang setiap kali ia cukur rambut). Namun, banyak kelakuan anak, seperti cara seorang anak laki-laki mengatur rambutnya, diambil alih oleh kebanyakan orang tua dan dijadikan masalah-masalah yang dirasakan “dimiliki” orang tua. Di bawah ini contoh bagaimana salah satu orang tua dalam kelas MOE menghadapinya. ORANG TUA: ANAK: ORANG TUA: ANAK: ORANG TUA: ANAK: ORANG TUA: ANAK: ORANG TUA: ANAK: ORANG TUA: ANAK:

“Saya tidak tahan melihat rambutmu begitu gondrong. Rupamu jelek sekali, mengapa tidak kamu potong?” “Saya senang begini.” “Yang betul saja. Rupamu seperti gembel.” “Bodoh, amat!” “Kita harus memecahkan konflik ini. saya tidak bisa menerima keadaan rambutmu begitu. Apa yang dapat kita lakukan?” “Ini adalah rambut saya dan saya akan mengaturnya sesuka saya.” “Pokoknya, dipotong saja sedikit.” “Saya tidak pernah bilang sama Bapak bagaimana harus mengatur rambut Bapak, kan?” Memang tidak. Tetapi penampilan saya kan tidak seperti gembel.” “Yang betul saja, saya tidak seperti gembel. Teman-teman saya menyukainya – terutama teman-teman wanita.” “Tidak peduli, rambut itu memuakkan saya.” “Ya, kalau begitu, jangan dilihat saja.”

Jelas, bahwa si anak tidak ingin diajak untuk mencari pemecahan konflik sehubungan dengan rambutnya, karena seperti dikatakannya: “Ini adalah rambut saya”. Jika orang tua tetap bersikeras untuk mengatasi masalh rambut, maka hasilnya yang terakhir adalah anak laki-lakinya akan menarik diri – segan berbicara dengan orang tuanya, pergi, keluar rumah, atau masuk ke kamarnya. Walaupun demikian, orang tua tetap bersikeras melakukan kegiatankegitan untuk mengubah tingkah laku semacam itu, dan sikap ikut campur demikian hampir selalu menyebabkan pertikaian-pertikaian, perlawanan, dan rasa benci dari anak-anaknya dan biasanya hubungan orang tua – anak mengalami kerusakan serius. Pada waktu remaja menentang keras usaha-usaha untuk mengubah pola tingkah laku mereka karena mereka merasa tidak mengganggu kepentingan orang tua, maka sebenarnya sikap mereka itu tidak berbeda dengan sikap orang dewasa. Tidak ada seorang dewasa pun yang ingin mengubah kelakuannya jika ia yakin tidak menyakiti atau mengganggu orang lain. Orang dewasa, seperti halnya anak-anak, akan berjuang keras memeprtahankan kebebasan mereka jika merasa seseorang mendesak mereka untuk mengubah tingkah laku yang tidak mengganggu orang lain.

202

Ini merupakan kesalahan serius yang dibuat orang tua dan merupakan salah satu alasan yang paling sering menyebabkan sikap ini tidak efektif. Seandainya orang tua membatasi usaha-usahanya untuk mengubah tingkah laku anak hanya sampai batas-batas sejauh mengganggu kepentingan orang tua, maka pemberontakan akan jauh berkurang, kurang terjadi konflikkonflik dan sedikit saja hubungan orang tua – anak terganggu. Kebanyakan orang tua secara kurang bijaksana memberi kritik, membujuk, dan menggoda anak mereka untuk mengubah tingkah laku yang tidak ada pengaruh jelas dan kongkret pada orang tuanya. Sebagai langkah pertahanan diri, anak melawan, bertahan, memberontak, atau menarik diri. Tidak jarang, anak-anak bereaksi dengan melebih-lebihkan kelakuan yang justru dilarang oleh orang tuanya, seperti sering terjadi dalam soal rambut gondrong. Anak lain, karena takut terhadap kekuasaan orang tua, akan menyerah pada tekanan-tekanan orang tua tetapi disertai perasaan benci atau kesal yang dalam terhadap orang tuanya karena memaksa mereka untuk berubah. Banyak pemberontakan remaja dewasa ini – protes, pemogokan, perjuangan melawan “generasi tua” – dapat dihubungkan dengan orang tua dan orang dewasa lainnya yang memberi desakan pada remaja untuk mengubah tingkah laku yang dirasakan oleh anak remaja sebagai urusan mereka sendiri. Anak-anak tidak berontak terhadap orang dewasa – mereka berontak terhadap usaha-usaha orang dewasa untuk mengambil kebebasan remaja dan anak-anak. Mereka berontak terhadap usaha-usaha untuk mengubah atau membentuk mereka menurut gambaran orang dewasa, terhadap gangguan orang dewasa, terhadap pemaksaan orang dewasa agar mereka bertingkah laku menurut apa yang oleh orang dewasa dianggap benar atau salah. Tragisnya, jika orang tua menggunakan kekuasaan untuk mencoba mengubah tingkah laku yang tidak mengganggu kehidupan orang tua itu sendiri, maka mereka kehilangan pengaruh untuk mengubah tingkah laku yang benar-benar mengganggu. Pengalaman saya dengan anak-anak dari pelbagai usia menunjukkan bahwa biasanya mereka agak bersedia dan ingin mengubah tingkah lakunya jika jelas bagi mereka bahwa apa yang mereka lakukan pada kenyataannya mengganggu orang lain memenuhi kebutuhannya. Jika orang tua membatasi usaha-usahanya untuk mengubah tingkah laku anak hanya pada tingkah laku yang secara jelas dan kongkret mempengaruhi orang tua, mereka biasanya mendapatkan bahwa anak-anak terbuka terhadap perubahan, bersedia menghargai kebutuhan-kebutuhan orang tuanya, dan dapat menyetujui “pemecahan permasalahan”. Gaya berbusana – seperti rambut gondrong – mempunyai nilai simbolis yang hebat untuk anak-anak. Pada jaman saya masih muda, gayanya adalah

203

celana korduroi kuning yang sudah luntur warnanya dan sepetu kulit yang kotor (selalu sangat kotor). Saya ingat bahwa salah satu kebiasaan saya adalah selalu menggosokkan sepatu kulit baru dengan tanah sebelum memakainya. Dewasa ini gayanya adalah jeans kotor, poncho, kalung mute, sandal, kaca mata ala Ben Franklin, rok mini, tidak memakai beha, dan seterusnya. Saya berjuang keras untuk mempertahankan hak saya memakai selana Korduroi dan sepatu kulit tersebut! Saya sangat membutuhkan simbolsimbol itu. Paling penting, orang tua saya tidak dapat mengajukan suatu perdebatan yang logis bahwa dengan berbusana demikian akan mempengaruhi mereka secara jelas dan kongkret. Ada saat-saat di mana seorang anak akan mengerti dan menerima kenyataan bahwa caranya berbusana akan mempunyai pengaruh yang jelas dan kongkret terhadap orang tuanya. Suatu contoh adalah Yani dan “masalah jas hujan” kotak-kotak yang telah berulang kali saya kutip. Dalam situasi ini, jelas bagi Yani jika ia jalan ke halte bis tanpa perlindungan sesuai, bajunya perlu dikirim ke binatu atau dia bisa jatuh sakit yang akan memaksa orang tuanya membeli obat atau menghabiskan waktu merawatnya di rumah. Contoh kedua yang dapat dikaitkan dengan pemecahan anti-kalah adalah konflik mengenai keinginan anak perempuan saya untuk pergi menginap ke pantai tanpa dijaga orang tua pada waktu liburan Paskah. Dalam kasus ini jelas baginya bahwa kami tidak dapat tidur memikirkannya atau mungkin kami diganggu pada tengah malam kalau kebetulan dia di tengah anak-anak yang digiring ke kantor polisi. Bahkan dalam keadaan yang jarang terjadi konflik mengenai rambut gondrong anak laki-laki mungkin dapat diatasi, seperti halnya yan terjadi dalam satu keluarga yang saya kenal. Ayah adalah kepala sekolah. Ia merasa bahwa ditengah lingkungan yang agak konservatif, pekerjaannya bisa terancam karena masyarakat sekitarnya bisa jadi beranggapan bahwa anaknya yang berambut gondrong merupakan bukti bahwa ayah bersikap terlalu liberal sebagai kepala sekolah. Dalam keluarga ini, anak-anak lakilakinya melihat dan menerima hal ini sebagai pengaruh yang jelas dan kongkret terhadap kehidupan ayahnya. Ia menyetujui untuk memangkas agak sedikit lebih pendek karena adanya perhatian yang murni terhadap kebutuhan-kebutuhan ayahnya. Mungkin penyelesaian ini tidak akan terjadi dalam keluarga lain dalam situasi yang sama. Yang penting adalah bahwa anak harus dapat menerima logika bahwa tingkah lakunya mempunyai akibat yang jelas dan kongkret terhadap orang tuanya. Hanya dengan demikian maka ia akan bersedia diajak dalam suatu pemecahan anti-kalah. Pelajaran bagi orang tua adalah mereka hatus dapat mengajukan suatu alasan bahwa tingkah laku anak

204

mempunyai pengaruh yang jelas dan kongkret terhadap kehidupan orang tua, karena tanpa hal itu anak tak bersedia diajak berunding. Di bawah ini terdapat beberapa tingkah laku yang tidak dapat dirundingkan karena anak-anak mereka tidak dapat diyakinkan bahwa tingkah laku mereka akan mempengaruhi orang tuanya secara jelas dan kongkret: Gadis remaja senang rok mini. Remaja pria berbusana jeans dekil dan sepatu tenis tua. Anak remaja menyenangi sekelompok teman, sementara orang tua tidak. Seorang anak lamban jika mengerjakan pekerjaan rumah. Anak ingin keluar dari perguruan tinggi dan menjadi pemain musik. Anak remaja putri berbusana gaya hippi. Anak berumur empat tahun masih menyeret selimutnya ke mana-mana. Anak wanita inginditindik kupingnya. Anak wanita senang memakai make up mata yang tebal. Anak yang ditegur guru karena bercanda di dalam kelas. Pemuda yang menolak untuk pergi ke gereja.

Ternyata Metode III bukan suatu metode untuk membentuk anak sesuai dengan keinginan orang tua. Jika orang tua menggunakan metode ini untuk tujuan tersebut pasti anak-anak akan mengetahuinya dan bertahan untuk tidak menurut. Dengan demikian orang tua mengambil risiko kehilangan kesempata menggunakana metode tersebut pada masalah-masalah yang jelas dan kongkret mempengaruhinya – seperti jika anak tidak melakukan tugas-tugas di rumah, membuat gaduh, merusak barang, mengendarai mobil ayah terlalu cepat, menaruh pakaiannya dimana-mana, tidak membersihkan kakinya sebelum masuk rumah, menguasai pesawat TV, tidak membersihkan dapur sesudah membuat makanan kecil, tidak mengembalikan alat perkakas ke dalam kotak perkakas, menginjak taman bunga, dan beribu tingkah laku lainnya.

MASALAH HAK-HAK ASASI Konflik orang tua – anak sehubungan dengan rambut dan tingkah laku lainnya yang oleh anak dianggap tidak mempengaruhi secara nyata dan jelas pada orang tuanya, bersangkutan dengan hak-hak asasi pemuda. Mereka merasa mempunyai hal untuk mengatur rambutnya dengan cara mereka sendiri, memilih temannya sendiri, berbusana dengan gaya khas mereka dan seterusnya. Kaum remaja dewasa ini seperti pada waktu-waktu lalu, akan mempertahankan hak ini dengan gigih. Remaja, seperti orang dewasa atau kelompok-kelompok atau bangsabangsa akan berjuang untuk mempertahankan hak mereka sendiri. Mereka akan melawan dengan segala daya upaya, usaha apa pun untuk merampas kebebasannya atau otonominya. Hal-hal ini merupakan hal-hal penting bagi mereka, tidak untuk dirundingkan atau dicari kompromi atau dihapuskan melalui pemecahan masalah.

205

Mengapa para orang tua tidak dapat melihat hal ini? Mengapa orang tua tidak dapat mengerti bahwa anak laki-laki dan wanita mereka adalah manusia dan adalah manusiawi juga untuk berjuang demi kebebasan jika terancam oleh pihak lain? Mengapa orang tua tidak bisa mengerti bahwa kita sedang berurusan dengan sesuatu yang hakiki dan mendasar – kebutuhan manusia untuk mempertahankan kebebasannya? Mengapa orang tua tidak cepat tanggap bahwa hak asasi harus mulai dari rumah? Salah satu alasan mengapa orang tua jarang memikirkan bahwa anakanaknya mempunyai hak-hak asasi adalah karena anggapan umum bahwa orang tua “memiliki” anaknya. Berpegang pada anggapan itu, orang tua membenarkan usaha-usahanya untuk membentuk anaknya, mencetak mereka, mengindoktrinasi mereka, mengubah mereka, mengendalikan mereka, menjejali pikiran mereka. Memberikan hak-hak asasi atau kebebasan-kebebasan mutlak tertentu pada anak-anak berarti memandang anak-anak sebagai manusia yang tak tergantung atau mandiri, yang menggenggam kehidupannya sendiri. Tidak banyak orang tua yang mempunyai pandangan demikian terhadap anaknya, pada waktu permulaan mengikuti MOE. Mereka sulit menerima prinsip kami untuk memberikan kebebasan pada anak untuk menjadi apa yang diinginkannya, asalkan tingkah lakunya secara jelas dan kongkret tidak mengganggu kebutuhan orang tuanya.

“TIDAK DAPATKAH SAYA MENGAJARKAN NILAI-NILAI SAYA?” Pertanyaan di atas paling sering diajukan dalam MOE, karena kebanyakan orang tua mempunyai keinginan kuat untuk “mewariskan” nilai-nilai mereka yang dijunjung tinggi kepada turunannya. Jawaban kami adalah: “Tentu – Anda tidak hanya dapat mengajarkan nilai-nilai, tetapi pada akhirnya Anda mau tak mau mengajarkan nilai-nilai tersebut”. Orang tua tidak dapat menahan diri untuk mengajarkan nilai-nilainya pada anakanaknya, karena anak-anak pasti akan belajar mengenal nilai-nilai orang tuanya dengan mengamati apa yang dilakukan ayah dan ibunya, dan dengan mendengarkan apa yang dikatakan orang tuanya. Orang Tua Sebagai Contoh Orang tua, seperti halnya orang dewasa lainnya yang berhubungan dengan anak-anak selama perkembangannya, akan menjadi contoh utntuk anak-anak. Orang tua secara terus menerus memberi contoh untuk keturunannya apa yang diyakininya sebagai nilai – melalui tindakannya, yang lebih memberi pengaruh daripada kata-kata. Orang tua dapat mengajarkan nilainya dengan menjalankannya. Jika mereka menginginkan agar anak-anak mereka menjunjung nilai kejujuran, orang tua harus setiap hari memperlihatkan kejujurannya sendiri. Jika mereka menginginkan agar anak mereka menjunjung nilai kedermawanan

206

atau kemurahan hati, mereka harus bertingkah murah hari. Jika mereka ingin agar anak mereka menganut nilai-nilai “Pancasila”, mereka harus bersikap “Pancasilawan”. Ini adalah cara yang terbaik, meungin satusatunya cara bagi orang tua untuk dapat “mengajarkan” nilai-nilai mereka kepada anak-anak. “Lakukan yang saya katakan, bukan yang saya lakukan”, bukanlah suatu pendekatan yang efektif dalam mengajarkan anak-anak nilai-nilai orang tua. Sebaliknya, “Lakukan yang saya kerjakan” mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk dapat mengubah ataupun mempengaruhi seorang anak. Orang tua yang ingin agar anak-anak bersikap jujur, akan gagal mencapai tujuannya jika pada waktu menerima undangan yang tidak diinginkan melalui telepon mengatakan di depan anak-anaknya, “O, kita ingin datang, tetapi kita sedang menanti tamu dari luar kota”. Atau jika ayah pada waktu makan malam menceritakan bagaimana pandainya ia menyelewengkan uang kantor. Atau jika ibu mengingatkan anak gadisnya, “Jangan cerita pada ayah mengenai harga lampu meja yang baru”. Atau jika kedua orang tuan tidak menceritakan seluruh kebenaran mengenai kehidupan seks, atau agama. Orang tua yang menginginkan agar anak-anaknya menganut nilai antikekerasan dalam hubungan manusia, akan bersikap munafik jika menggunakan hukuman fisik sebagai langkah “disiplin”. Saya teringat film kartun yang tegas menggambarkan seorang ayah sedang memukul pantat anak laki-lakinya yang dibaringkan di atas lututnya sambil berkata, “Mudah-mudahan ini akan mengajar kamu untuk tidak memukul adikmu yang laki-laki”. Orang tua dapat mengajarkan anak-anaknya nilai-nilai tertentu dengan menjalankan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai tersebut, tidak dengan memaksa anak-anak untuk hidup menuruti aturan-aturan tertentu. Saya sepenuhnya percaya bahwa salah satu alasan dasar mengapa remaja masa kini memprotes banyak nilai-nilai dalam masyarakat orang dewasa, adalah karena mereka telah melihat betapa orang dewasa dengan berbagai cara gagal untuk melaksanakan apa yang dikhotbahkan sendiri. Dengan kecewa, anak-anak menemukan bahwa buku pelajaran sejarah di SLA tidak membeberakan kebenaran seluruhnya mengenai pemerintah dan sejarah perkembangannya, atau guru-guru membohongi mereka denan cara tidak menceritakan beberapa kenyataan hidup. Mereka tidak dapat menahan marahnya pada orang dewasa yang menghkhotbahkan beberapa prinsip moral seks tertentu, jika mereka telah melihat di layar TV film yang menggambarkan tingkah laku seksual yang dilakukan orang dewasa, yang tidak konsisten dengan moralitas yang dituntut pada anak mereka. Memang orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai mereka jika mereka menjalankan nilai-nilai tersebut dalam hidup. Tetapi berapa orang tua yang

207

mempunyai sikap demikian? Anda boleh mengajarkan nilai-nilai, namun dengan memberikan contoh tidak dengan pembujukan lisan atau dengan paksaan kekuasaan. Ajarkanlah apa pn yang telah menjadi nilai bagi diri Anda, tetapi harus dengan menjadi contoh sesorang yang melaksanakan nilai-nilai tersebut. Yang merisaukan orang tua adalah kemungkinan turunannya tidak menerima nilai-nilai orang tuanya. Ini benar – bisa saja tidak. Anak-anak mungkin akan menyukai beberapa nilai-nilai orang tua, atau mereka mungkin melihat dengan tepat bahwa beberapa nilai yang dianut orang tua memberikan hasil (seperti halnya para pemuda masa sekarang menolak patriotisme karena mereka menganggapnya sebagai suatu nilai yang menimbulkan tingkah laku yang kerap mengarah pada peperangan). Jika orang tua khawatir bahwa para pemuda mungkin tidak akan menerima nilai-nilai mereka, maka orang tua selalu beralih pada dalih bahwa kekuasaan dapat dibenarkan untuk menanamkan nilai-nilai mereka pada anak-anak. “Mereka terlalu muda untuk mempertimbangkan sendiri”, adalah pembenaran yang paling sering dinyatakan untuk menanamkan nilainilai pada anak-anak. Apakah sebenarnya mungkin untuk memaksakan nilai-nilai pada orang lain yang sehat? Saya pikir tidak. Lebih benar kemungkinannya adalah pikiran-pikiran yang ingin dipengaruhi akan bertahan lebih keras lagi terhadap penguasaan semacam itu, dengan cara kerap membela keyakinankeyakinan dan nilai-nilainya secara lebih gigih. Kekuasaan dan otoritas dapat mengendalikan tindakan-tindakan orang lain; tetapi jarang dapat mengendalikan pikiran-pikiran, ide-ide, dan keyakinan-keyakinan. Orang Tua Sebagai Konsultan Di samping mempengaruhi nilai-nilai anak melaui teladan, paraorang tua dapat menggunakan pendekatan satu lagi untuk mengajarkan apa yang mereka rasakan sebagai “betul atau salah”. Mereka dapat memperbincangkan bersama dengan anak-anaknya; ide-idenya, pengetahuan mereka, dan pengalaman mereka; sama halnya seperti dilakukan oleh seorang konsultan, jika jasanya dimintakan oleh seorang klien. Dalam hal ini ada yang harus diperhatikan. Konsultan yang sukse, membagi bersama dan tidak memberikan khotbah, memberikan dan tidak memaksakan, menyarankan dan tidak menuntut. Lebih penting lagi adalah, konsultan yang sukses, membagi, memberi, dan menyarankan biasanya tiak lebih daripada satu kali. Konsultan yang efektif memberikan kliennya keuntungan memperoleh pengetahuan dan pengalaman, memang, tetapi ia tidak mengganggunya dari minggu ke minggu, tidak menghinanya jika klien tidak menerima ide-idenya, tidak selalu memaksakan pandangannya terus-menerus jika ia merasakan adanya sikap bertahan dari pihak klien. Konsultan yang berhasil mengajukan ide-idenya, kemudian memberikan

208

tanggung jawab pada kliennya untuk menerima atau menolaknya. Jika seorang konsultan bertindak seperti kebanyakan oran tua, kliennya akan memberitahukan kepadanya bahwa jasa-jasanya tidak dibutuhkan lagi. Pemuda sekarang ramai-ramai “memecat” orang tua mereka – memberitahukan bahwa jasa-jasanya tidak diinginkan lagi – karena sedikit orang tua yang merupakan konsultan efektif terhadap anaknya. Mereka memberi ceramah, memaksa, mengancam, memberi peringatan, membujuk, memohon dengan sangat, memberi khotbah, memperbaiki akhlak, dan merendahkan anak-anaknya; semua dalam usaha ntuk memaksa mereka untuk melakukan apa yang dianggap betul oleh orng tua. Para orang tua bicara pada anak-anaknya setiap hari dengan pesan-pesan mereka yang berupa perintah untuk memperbaiki akhlak. Mereka tidak memberi anak tanggung jawab untuk menerima atau menolak, tetapi mengambil alih tanggung jawab anak untuk belajar sendiri. Sebagai konsultan, sikap kebanyakan orang tua adalah bahwa klien mereka harus menerima apa yang ditawarkan; jika klien-kliennya tidak mau maka orang tua merasa telah gagal. Para orang tua mempunyai rasa bersalah bila “dagangannya sulit laku”. Tidaklah mengherankan jika dalam kebanyakan keluarga, anak-anak disertai putus-asa mengatakan kepada orang tua mereka, “Jangan mengusik saya”, “Jangan memaksakan saya, “Saya mengetahui apa yang sedang dipikirkan, tidak perlu saya diberi tahu setiap hari”, “Hentikan menceramahi saya”, “Terlalu banyak”, “Selamat tinggal”. Pelajaran yang bisa dipetik oleh orang tua adalah bahwa mereka sebenarnya dapat menjadi konsultan yang berguna untuk anak-anak mereka – mereka dapat membagi ide-ide, pengalaman dan kebijaksanaannya – jika mereka ingat untuk bertindak sebagai konsultan yang efektif; agar tidak “dipecat” oleh klien-klien yang ingin mereka bantu. Jika Anda mempunyai pengetahuan yang berguna mengenai pengaruh merokok terhadap kesehatan manusia, beritahu anak-anak Anda mengenai hal itu. Jika Anda merasa agama telah memberikan pengaruh yang penting dalam kehidupan Anda, pada suatu hari ceritakan pada anak-anak Anda. Jika membaca artikel yang baik mengenai pengaruh obat-obatan terhadap kehidupan pemuda, perlihatkanlah majalah atau bcaan itu kepada anak-anak atau bacakan denan keras kepada seluruh keluarga Anda. Jika mempunyai data mengenai manfaat mengikuti sekolah kejuruan, bagilah dengan anakanak. Jika sewaktu muda Anda telah mengetahui cara agar pekerjaan rumah itu tidak begitu membebankan, tawarkan metode itu pada anak-anak. Jika Anda merasa menjadi ahli seks sebelum masa perkawinan, laporkan penemuan-penemuan Anda kepada anak-anak pada waktu yang tepat. Satu saran lagi berdasarkan atas pengalaman saya sendiri sebagai konsultan, adalah bahwa alat paling berharga pada waktu bekerja dengan

209

klien-klien, adalah mendengar aktif. Sewaktu saya menawarkan ide-ide baru, klien-klien saya hampir selalu mulai memberikan reaksi bertahan dan membela diri, sebagian dikarenakan biasanya ide-ide saya bertentangan dengan kepercayaan atau pola-pola kebiasaan mereka. Jika saya mendengar secara aktif perasaan-perasaan mereka itu, maka sikapsikap di atas biasanya menghilang dan ide-ide baru akhirnya diterima. Orang tua yanghendak mengajarkan anak-anak, nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan mereka, haruslah waspada mengenai perlawanan terhadap pengajarannya, peka terhadap penolakan ide-idenya. Jika Anda mendengar adanya perlawanan, jangan lupa mendengar secara aktif. Cara ini akan berguna jika menjadi konsultan anak-anak Anda sendiri. Dengan demikian kepada orang tua yang mengikuti MOE dan para orang tua yang membaca buku ini, kami katakan, “Tentu, Anda dapat mencoba mengajarkan nilai-nilai pada anak-anak Anda, tetapi jangan terlalu bernafsu menjualnya!” Nyatakan secara jelas, tetapi hentikan pengulangan terus-menerus! Bagikan nilai-nilai tersebut secara royal, tetapi jangan memberikan khotbah. Kemudian mundurlah dengan baik-baik dan biarkan “klien-klien” Anda menentukan apakah mereka akan menerima atau menolak ide-ide Anda. Juga jangan lupa untuk mendengar secara aktif! Jika Anda melakukan hal-hal ini, ada kemungkinan anak-anak Anda akan meminta jasa-jasa Anda lagi. Mereka mungkin akan menggunakan Anda sebagai pegangan, karena yakin bahwa Anda dapat menjadi konsultan yang berguna bagi mereka. Mungkin mereka lantas tidak ingin “memecat” Anda. “Menerima Hal-hal yang Tidak Dapat Saya Ubah” Para pembaca mungkin ingat suatu doa yang kerap dikutip. Kira-kira sebagai berikut: “Tuhan, berikan saya keberanian untuk mengubah apa yang dapat saya ubah; Kemampuan untuk menerima dengan tenang apa yang tidak dapat saya ubah; serta kebijakan untuk mengetahui perbedaan antara keduanya”.

“Kemampuan untuk menerima dengan tenang apa yang tidak dapat saya ubah” berhubungan dengan apa yang baru saja saya bicarakan. Karena banyak tingkah laku anak yang mungkin tidak dapat diubah oleh orang tua. Satu-satunya kemungkinan adalah menerima kenyataan ini. Banyak orang tua yang betul-betul melawan ide kami untuk hanya bersikap sebagai konsultan terhadap anak-anak mereka. Mereka katakan: “Tetapi saya mempunyai tanggung jawab terhadap anak saya jangan sampai ia merokok”. “Saya harus gunakan kekuasaan saya untuk mencegah agar anak perempuan saya tidak melakukan hubungan seks sebelum perkawinan”. “Saya tidak bersedia hanya bertindak sebagai konsultan dalam hal narkotik. Saya harus lakukan lebih banyak untuk melindungi anak saya dari godaan itu.” “Saya tidak akan puas jika membiarkan anak saya mengerjakan pekerjaan rumahnya setiap malam”.

210

Dapat dimengerti bahwa banyak orang tua mempunyai perasaan yang kuat mengenai beberapa tingkah laku, sehingga mereka tidak mau menyerah dalam usahanya mempengaaruhi anak-anak mereka; namun akhirnya pandangan yang lebih obyektif biasanya dapat meyakinkan mereka bahwa tidak ada kemungkinan lain kecuali menyerah – yaitu menerima apa yang tidak bisa mereka ubah. Sebagai contoh misalnya, merokok. Anggaplah bahwa orang tua sudah memberi semua data kepada anak remaja mereka (pengalaman mereka sendiri yang pahit, laporan kesehatan Departemen Kesehatan, artikel-artikel dari majalah). Namun si pemuda tetap ingin merokok. Apa yang dapat dilakukan orang tua? Kalau mereka mencoba melarangnya merokok di rumah, ia pasti akan merokok di luar rumah (dan mungkin merokok di rumah jika orang tuanya pergi). Jelaslah orang tua tidak dapat terus mendampingi anak jika ia keluar rumah, atau tinggal di rumah jika anak ada di rumah. Meskipun mereka mendapatinya sedang merokok, apakah yang dapat mereka lakukan? Kalau ia dilarang keluar, ia tinggal tunggu saja sampai masa penahanan berakhir dan mulai merokok lagi. Secara teoritis orang tua dapat mengancam mau mengusirnya dari rumah, tetapi hanya sedikit keluarga yang mengambil langkah begitu ekstrem, dengan menyadari bahwa ada kemungkinan mereka harus melaksanakan ancaman tersebut. Jadi orang tua tidak mempunyai pilihan lain selain menerima ketidakmampuan mereka untuk membuat anak remaja mereka berhenti merokok. Salah satu orang tua menyatakan dilemanya secara tepat pada waktu ia mengatakan, “Cara satu-satunya yang dapat saya lakukan untuk membuat anak perempuan saya berhenti merokok, adalah mengikatnya dengan rantai ke tiang tempat tidur”. Pekerjaan rumah adalah contoh lain dari persoalan-persoalan yang membawa konflik bagi banyak keluarga. Apakah yang dapat dilakukan oleh orang tua jika anak tidak mau membuat pekerjaan rumahnya? Jika ia diharuskan tinggal di dalam kamar, ia mungkin menyetel radionya atau “iseng” mengerjakan yang lainnya yang bukan pekerjaan rumah. Pokoknya, seseorang tidak dapat dipaksa untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau belajar. “Seekor kuda dapat dibawa ke air tetapi tidak dapat dipaksakan untuk minum”, adalah ucapan yang berlaku juga dalam hal membuat anak mengerjakan pekerjaan rumahnya. Bagaimana dengan hubungan seks sebelum perkawinan? Prinsip yang sama berlaku di sini. Tidak mungkin orang tua mengawasi anak-anaknya setiap waktu. Seorang ayah di dalam salah satu kursus MOE mengakui, “Sebaiknya saya menghentikan usaha saya untuk mencegah anak perempuan saya melakukan hubungan seks sebelum perkawinan, karena saya tentu tidak dapat duduk di belakangnya dengan sebuah senapan setiap kali ia pergi berkencan naik mobil”.

211

Tingkah laku lain dapat ditambahkan pada daftar kami mengenai hal-hal yang tidak mungkin diubah orang tua. Pemakaian make up yang berlebihan, minum-minuman keras, membuat gaduh di sekolah, bergaul dengan anakanak tertentu, berkencan dengan orang yang bersuku bangsa atau beragama lain, narkotik, dan seterusnya. Orang tua hanya dapat memberi pengaruh dengan memberi contoh, menjadi konsultan yang efektif, dan membina hubungan “terapeutis” dengan anak-anak. Sesudah itu, apa lagi? Menurut saya, orang tua hanya dapat menerima kenyataan bahwa akhirnya ia tidak kuasa untuk mencegah tingkah laku semacam itu jika anak bersikeras untuk melakukannya. Mungkin inilah salah satu pengorbanan yang harus dijalankan sebagai orang tua. Lakukan yang sebai mungkin dan harapkan yangsebaik mungkin, tetapi pada akhirnya akan didapatkan risiko bahwa usaha-usaha yang terbai tidaklah cukup baik. Akhirnya Anda jugamungkin harus minta: “Tuhan, berikanlah saya ... kemampuan untuk menerima dengan senang hal-hal yang tidak dapat saya ubah.”.

METODE PEMBAGIAN KERTAS UNTUK MEMULAI PEMECAHAN MASALAH “ANTI-KALAH” Di dalam keluarga di mana orang tua telah menggunakan Metode I atau telah mengusik anak mereka sehubungan dengan tingkah laku yang tidak mempengaruhi mereka secara nyata dan kongkret, kerap sukar memulai pemecahan anti-kalah karena hubungan-hubungan dengan anak-anak telah menjadi sedemikian terhambat. Anak-anak sudah marah kepada orang tuanya, mereka merasa harus mempertahankan diri terhadap setiap campur tangan orang tua, dan mereka curiga terhadap usaha baru apa pun untuk mengubah tingkah laku mereka. Kemudian jika orang tua melakukan pendekatan dan menyarankan suatu pertemuan untuk berusaha mengatasi konflik-konflik mereka, anak-anak menolak untuk ikut terlibat atau ikut serta dalam pertemuan dengan tujuan menghindari usaha baru orang tua merampas kemerdekaan mereka. Dalam MOE kami telah mereancang suatu metode yang agak sederhana untu mengatasi perlawanan dan kecurigaan yang dibawa anak-anak pada pertemuan anti-kalah. Yang dibutuhkan orang tua hanyalah sebuah pena dan sehelai kertas. Orang tua dapat memulai pertemuan dengan mengatakan sebagai berikut: “Kita ingin mencoba cara baru untuk mengatasi konflik-konflik yang ada di antara kita. Pada waktu yang lampau kami telah kerap menang dan kamu kalah, atau kamu menang dan kami kalah. Sekarang kita ingin mencoba mencari penyelesaian-penyelesaian terhadap konflik-konflik kita yang dapat diterima oleh kita semua – sehingga tidak ada yang kalah. Aturan pendekatan baru ini adalah, apa pun yang kita putuskan harus dapat diterima semua yang ada di sini, dan kita akan terus mencari pemecahan-pemecahan sampai kita menemukan satu pemecahan yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua.

212

Saya membawa sehelai kertas yang dibagi dua ditengah. Kita akan membuat daftar masalah-masalah dan konflik-konflik di atas kertas ini sewaktu diajukan oleh siapa pun dari kita di sini. Di dalam kolom sebelah kiri, saya akan menulis konflik-konflik yang menyangkut tindakan anak-anak yang sebenarnya tidak secara nyata dan jelas mempengaruhi kami orang tua, meskipun telah merisaukan kami. Salah satu yang dapat segera saya ingat adalah pekerjaan rumahmu. Di dalam kolom sebelah kanan, saya akan menulis konflik-konflik yang kita punyai mengenai tindakan-tindakan anak-anak yang betul mempengaruhi kami, hal-hal yang kamu lakukan yang mengganggu secara langsung kehidupan kita. Misalnya membantu membuang sampah. Jika kita telah selesai membuat daftar, kemudian kita berjanji untuk tidak mengganggu ataupun mengusikmu mengenai masalah apa pun di dalam kolom kiri. Kita akan buang masalah-masalah itu – kamu tidak akan diusik-usik lagi. Ambillah contoh masalah pekerjaan rumah. Kita menyetujui untuk tidak mengungkitnya lagi, terserah pada kamu mau dikerjakan atau tidak. Kamu mampu mengatur dirimu sendiri. Namun semua masalah di kolom sebelah kanan bagaimanapun harus dipecahkan sehingga kita mendapatkan suatu penyelesaian untuk masingmasing yang dapat diterima oleh kita semua – tanpa ada yang kalah. Ada pertanyaan sampai di sini? (Sesudah menjawab pertanyaan-pertanyaan). Baik, mari kita mulai membuat daftar masalah-masalah – siapa pun dapat mengajukan masalah-masalah. Satu persatu kita nilai untuk melihat apakah masuk kolom kiri atau kolom kanan.”

Jika keluarga-keluarga menggunakan metode ini, anak-anak menjadi begitu kagum dan senang semua masalah di kolom kiri dibuang, kemudian mereka mengadakan penyelesaian masalah-masalah di kolom kanan dengan keinginan yang lebih besar untuk berunding, lebih mempunyai motif untuk memberikan pemecahan-pemecahan, dan untuk menyetujui salah satu yang dapat memenuhi kebutuhan orang tua dan juga anak-anak. Di bawah ini adalah daftar masalah-masalah yang diajukan satu keluarga. Di dalam keluarga ini, seperti kebanyakan keluarga, lebih banyak masalah di dalam kolom kiri daripada kolom kanan.

213

Masalah-masalah yang telah disetujui menjadi tanggung jawab anak. (Tidak perlu pemecahan bersama)

Masalah-masalah yang harus dipecahkan

1. Pekerjaan sekolah – apakah belajar atau tidak, bila belajar, berapa lama atau berapa banyak dipelajari 2. Cara mengatur rambut 3. Waktu tidur 4. Makanan yang dimakan 5. Cara berbusana ke sekolah 6. Memilih teman-teman 7. Berapa kali mandi dalam sehari 8. Cara mengatur kamar 9. Tempat-tempat yang didatangi kalau pergi 10. Cara menghabiskan uang saku

1. Berapa banyak ia membantu pada tugas-tugas yang harus dikerjakan di sekitar rumah 2. Masalah jumlah uang saku dan apa yang harus dibeli oleh anak dan apa yang harus dibeli oleh orang tua 3. Sering orang tua tidak diberitahu apakah anak-anak makan di rumah atau tidak 4. Masalah penggunaan kendaraan keluarga 5. Sesudah mengotori ruang keluarga, sering anak tidak membereskan dan membersihkannya kembali

214

15 Orang Tua Dapat Mencegah Timbulnya Konflik Dengan Mengubah Diri Sendiri Konsep terakhir yang kami tawarkan kepada orang tua adalah bahwa mereka dapat mencegah timbulnya bnyak konflik orang tua – anak dengan mengubah beberapa sikeap mereka sendiri. Usul ini diajukan sebagi usul terakhir karena kadang-kadang agak terasa mengancam orang tua jika pada awal sudah dikatakan bahwa kadang-kadang orang tualah yang harus berubah, dan bukannya anak-anaknya. Kebanyakan orang tua lebih mudah menerima metode-metode baru untuk mengubah anak-anaknya dan metodemetode baru untuk mngubah lingkungan daripada menerima ususl mengadakan perubahan-perubahan di dalam diri mereka sendiri. Menjadi orang tua di dalam masyarakat kita dianggap lebih sebagai cara mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak daripada pertumbuhan dan perkembangan orang tua. Menjadi orang tua sering hanya berarti “membesarkan” anak-anak, merekalah yang harus menyesuaikan diri dengan orang tua. Ada “kenakalan anak-anak” tetapi tidak ada “kenakalan orang tua”. Mungkin juga tidak ada masalah hubngan-hubungan orang tua – anak. Meskipun demikian setiap orang tua mengetahui bahwa dalam mengadakan hubungan dengan suami atau istri, teman, saudara, atasan atau bawahan, ada saat-saat ia harus berubah untuk mencegah konflik-konflik serius atau mempertahankan kesejahteraan atau hubungan tersebut. Setiap orang pernah mengalami bagaimana ia harus mengubah sikapnya terhadap tingkah laku orang lain – lebih menerima cara-cara orang lain dengan mengubah sikapnya sendiri terhadap tingkah laku orang tersebut. Mungkin Anda selalu terganggu karena kebiasaan teman yang cenderung terlambat memenuhi perjanjian-perjanjian. Selama berkenalan bertahun-tahun Anda mulai menerimanya, mungkin bergurau mengenai kebiasaan itu dan bercanda dengan teman tersebut mengenai kelakuan itu. Sekarang Anda tidak terganggu lagi karenanya. Anda menerimanya sebagai salah satu sifat teman Anda. Tingkah lakunya tidak berubah. Sikap Anda mengenai tingkah laku itu telah berubah. Anda telah menyesuaikan diri. Anda telah berubah. Orang tua juga dapat mengubah sikap-sikap terhadap tingkah laku anakanak. Ibu menjadi lebih menerima kebersihan Pratiwi untuk memakai rok-rok pendek sesudah ibu merenung kembali suatu masa dalam hidupnya saat ia dilanda mode rok di atas lutut dengan kaos kaki yang digulung, yang mengecewakan ibunya sendiri. Ayah Yono menjadi lebih menerima sikap hiperaktif yang dipelihatkan anaknya yang berumur tiga tahun itu sesudah ia mendengar dalam suatu

215

kelompok diskusi dengan pasangan orang tua lainnya, bahwa tingkah laku semacam itu memang wajar untuk anak laki-laki umur tiga tahun. Orang tua dengan demikian akan menjadi bijaksana jika menyadari bahwa ia dapat mengurangi jumlah tingkah laku yang dianggapnya kurang dapat diterima dengan mengadakan perubahan pada diri sendiri sehingga ia menjadi lebih dapat menerima tingkah laku anaknya atau anak-anak pada umumnya. Hal ini tidak sesulit yang diduga. Banyak orang tua menjadi lebih dapat menerima tingkah laku anak-anak sesudah mempunyai anak satu, dan lebih lagi sesudah anak dua atau tiga. Orang tua yang menjadi lebih menerima anak-anak sesudah membaca buku mengenai anak-anak atau sesudah mendengarkan ceramah tentang pendidikan orang tua atau sesudah mengalami menjadi pembina remaja. Hubungan langsung dengan anakanak, atau bahkan mempelajari tentang anak-anak melalui pengalaman orang-orang lain, dapat sangat mengubah sikap orang tua. Masih banyak cara yang bermanfaat bagi orang tua untuk mengadakan perubahan sehingga mereka dapat menerima anak-anak. APAKAH ANDA DAPAT LEBIH MENERIMA DIRI? Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara bagaimana ornag menerima orang lain dengan bgaimana mereka dirinya sendiri. Seorang yang menerima dirinya sebagai suatu pribadi akan cenderung untuk semakin mudah menerima orang lain. Orang-orang yang tidak dapat menenggang banyak hal dari dirinya sendiri biasanya mengalami kesulitan dalam menenggang banyak hal pada orang lain. Orang tua harus menanyai diri sendiri dengan suatu pertanyaan yang mendalam: “Seberapa jauh saya menyukai diri saya?” Jika jawaban yang jujur menyatakan kurang menerima dirinya sebagai pribadi, orang tua itu harus memeriksa kembali seluruh hidupnya untuk mencari jalan agar dapat merasa lebih puas atas keberhasilan yang dicapainya. Orang-orang yang mempunyai kemampuan besar untuk menerima diri dan menghargai diri, biasanya dapat produktif dalam mencapai keberhasilan-eberhasilan dengan menggunakan bakat-bakatnya, mengaktualisasi potensi sendiri, meyelesaikan hal-hal tertentu, berbuat sesuatu. Orang tua yang memuaskan kebutuhan sendiri dengan usaha produktif tanpa menggantungkan diri pada orang lain, tidak hanya menerima diri mereka sendiri; tetapi juga tidak perlu mencari kepuasan kebutuhankebutuhannya melalui cara anak-anaknya bertingkah laku. Sebaliknya, jika orang tua tidak memiliki sedikit sumber kepuasan dan harga diri dalam kehidupannya dan menggantungkan kepuasannya pada penilaian orang lain atas anak-anaknya, ia akan cenderung untuk tidak dapat menerima anak-anaknya – terutama tingkah laku mereka yang

216

dikhawatirkan dapat menyebabkan ia tampak sebagai orang tua yang kurang baik. Dengan tergantung pada “penerimaan diri yang tidak langsung” tersebut, orang tua seacam itu bekepentingan agar anak-anaknya bertingkah laku menuruti cara-cara tertentu. Ia juga akan lebih sukar menerima anak-anak dan menjadi marah terhadap anak-anaknya jika menyimpang dari pola dasarnya. Menghasilkan “anak-anak baik” – berprestasi tinggi di sekolah, sukses dalam masyarakat, juara dalam olahraga, dan seterusnya – telah menjadi simbol status untuk banyak orang tua. Mereka mempunyai “kebutuhan” untuk menjadi bangga terhadap anak-anak mereka; mereka perlu agar anakanak mereka bertingkah laku sedemikian rupa sehingga mereka tampak sebagai orng tua yang baik. Dalam batas-batas tertentu, banyak orang tua yang menggunakan anak-anaknya untuk memberikan suatu perasaan bernilai dan berharga. Jika tua tidak mempunyai sumber nilai diri dan harga diri lainnya, yang melanda banyak ibu di Amerika (dan beberapa ayah juga yang kehidupannya terbatas pada membesarkan anak-anak “baik”), maka panggung kehidupan menyodorkan ketergantungan pada anak-anak yang membuat orang tua selalu cemas dan sangat membutuhkan anak-anak bertingkah laku tertentu.

ANAK-ANAK SIAPAKAH MEREKA? Banyak orang tua membenarkan usaha-usaha kuat untuk mencetak anakanaknya ke dalam suatu pola yang sudah ada dengan mengatakan, “Pokoknya mereka anak saya, bukan?” atau, “Apakah orang tua tidak mempunyai hak untuk mempengaruhi anak-anak mereka sendiri dengan cara apa pun yang dianggapnya terbaik?” Orang tua yang terlalu mau memiliki anak, dan dengan demikian merasa mempunyai hak untuk membentuk anak secara tertentu, akan lebih cenderung untuk tidak dapat menerima tingkah laku ank jika menyimpang dari bentuk yang telah ditentunkan. Orang tua yang memandang anak sebagai seseorang yang agak terpidah dan malahan agak berbeda – sama sekali tidak “dimiliki” orang tua – akan merasa dapat menerima lebih banyak tingkah laku anak karena tidak ada bentuk tertentu, tidak ada pola yang sudah ditetapkan untuk anak. Orang tua semacam itulebih cepat menerima ciri khas seorang anak, lebih dapat memperbolehkan anak menjadi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Orang tua yang bersikap menerima, bersedia membiarkan anak mengembangkan “rencana” hidupnya sendiri, orang tua yang bersikap kurang menerima merasakan suatu kebutuhan untuk memaksakan rencana kehidupan untuk anaknya. Banyak orang tua menganggap anak sebagai “cabang dari orang tua”. Hal ini kerap menyebabkan orang tua berusaha keras mempengaruhi anak

217

menjadi apa yang diartikan orang tua sebagai anak yang baik atau untuk menjadi apa yang gagal dicapai oleh orang tua itu sendiri. Ahli psikologi humanistik dewasa ini banyak membicarakan mengenai “keterpisahan”. Bukti menunjukkan bahwa dalam hubungan sehat antar-manusia masingmasing dapat memperbolehkan yang lainnya “berpisah” darinya. Semakin besar terdapat sikap “keterpisahan” ini, maka semakin kurang kebutuhan untuk mengubah satu sama lain, semakin dapat menenggang ciri khasnya dapat dapat menerima perbedaan-perbedaan tingkah lakunya. Di dalam pekerjaan klinis bersama keluarga yang terganggu dan dengan kelas MOE kerap kali kami perlu mengingatkan orang tua: “Anda telah menciptakan hidup, sekarang biarkanlah anak memperolehnya. Biarkanlah ia memutuskan apa yang ia ingin lakukan dengan hidup yang Anda berikan”. Kahlil Gibran telah mengungkapkan prinsip ini dengan indah sekali dalam buku Sang Nabi: “Anakmu bukanlah milikmu. Mereka adalah putra dan putri kerinduan Sang Hidup terhadap dirinya sendiri. Mereka datang melalui kau tetapi bukan dari engkau. Dan meskipun mereka besertamu tetapi bukan hakmu. Kau boleh memberikan cintamu tetapi bukan pikiranmu, Karena mereka punya pikiran sendiri... Kau boleh berusaha menyerupai mereka, tetapi jangan berusaha membuat mereka seperti engkau. Karena hidup ini tidak berjalan mundur ataupun terpancang pada hari kemarin.”

Orang tua dapat mengubah diri mereka sendiri dan mengurangi jmlah tingkah laku yang tidak dapat mereka terima, dengan melihat bahwa anak bukanlah milik, bukan cabang dari diri mereka, melainkan pribadi yang khas dan mandiri. Seorang anak mempunyai hak untuk menjadi apa yang mau dicapainya sendiri menurut kemampuannya, meskipun dangat berbeda dengan cita-cita orang tuanya ataupun pola dasar yang telah dirancang orang tua untuk anak. Inilah hak anak yang tidak dapat diganggu gugat.

APAKAH ANDA BENAR-BENAR MENYUKAI ANAK-ANAK ATAU HANYA JENIS ANAK TERTENTU? Saya mengenal orang tua yang menyatakan senang pada anak-anak, tetapi sikapnya memperlihatkan dengan jelas bahwa ia hanya menyukai jenis anak-anak tertentu. Ayah yang menyukai bidang olahraga kerap secara tragis menolak anak laki-laki yang tidak berbakat dan tidak berminat dalam bidang olahraga. Para ibu yang menilai keindahan badaniah menolak anak perempuannya yang tidak sesuai dengan anggapan umum mengenai wanita yang cantik. Orang tua yang hidupnya telah diperkaya dengan musik kerap kali memperlihatkan kekecewaannya pada anaknya yang tidak berbakat musik. Orang tua yang menilai tinggi kemampuan akademis dapat

218

menyebabkan gangguan emosional yang parah pada anak yang tidak mempunyai kepandaian khusus itu. Makin sedikit tingkah laku yang tidak dapat diterima, jika orang tua makin menyadari adanya variasi yang tidak terbatas dari anak-anak yang dibesarkan di dunia ini dan variasi yang tidak terbatas pula dari cara-cara mereka mengarungi hidup. Keindahan alam dan keajaiban hidup merupakan keanekaragaman bentuk-bentuk hidup. Saya kerap memberitahu orang tua, “Jangan menginginkan anakmu menjadi sesuatu yang tertentu; biarkanlah ia menjadi apa yang diinginkannya”. Dengan sikap semacam itu, orang tua akhirnya mendapatkan bahwa mereka merasa dirinya lebih dapat menerima masingmasing anak dan mengalami rasa gembira menyaksikan anak-anak mereka berkembang.

APAKAH NILAI-NILAI DAN KEYAKINAN-KEYAKINAN ANDA SAJA YANG BENAR? Jelaslah bahwa orang tua lebih matang dan lebih berpengalaman daripada anak-anak mereka, namun kerap kali pengalaman atau kematangan mereka itu kurang jelas menunjukkan bahwa orang tua secara istimewa lebih bijaksana untuk selalu mempertimbangkan apa yang benar dan apa yang salah. ”Pengalaman adalah guru yang baik”, tetapi tidak selalu mengajarkan apa yang benar; “Pengetahuan adalah lebih baik daripada kebodohan”, tetapi seseorang yang berpengetahuan tidak selalu bijaksana. Bagi saya mengesankan untuk melihat bahwa banyak orang tua yang mempunyai masalah berat dalam hubungannya dengan anak-anak mereka, adalah orang-orang yang mempunyai konsep-konsep yang kuat dan kaku mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Terlihat bahwa semakin yakin orang tua atas kebenaran nilai-nilai dari keyakinan-keyakinan mereka, semakin cenderung orang tua itu memaksakannya pada anak-anak mereka (dan biasanya pada orang-orang lain juga). Orang tua semacam itu biasanya juga cenderung untuk tidak dapat menerima tingkah laku yang nampaknya menyimpang dari nilai-nilai dan keyakinan-keyakinannya sendiri. Orang tua yang mempunyai sistem nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang lebih lunak, dan lebih tertembus, lebih mudah berubah, kurang hitam atau putih, cenderung jauh lebih mudah menerima tingkah laku yang nampaknya menyimpang dari nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan mereka. Sekali lagi menurut pengamatan saya, orang tua yang demikian kurang cenderung untuk memaksakan pola dasar arau mencoba mencetak anakanak ke dalam pola-pola yang sudah dirancang. Orang tua macam inilah yang lebih mudah menerima anak lelaki berambut gondrong atau memakai kalung meskipun mereka sendiri kurang menghargai nilai-nilai tersebut, merekalah yang lebih mudah menerima rok pendek, pola-pola seksual yang

219

berubah, gaya berbusana yang berbeda, protes-protes terhadap generasi tua, pemberontakan terhadap pimpinan sekolah, demonstrasi anti-perang atau pergaulan campuran dengan anak-anak yang berbeda suku bangsa atau warisan kebudayaannya. Orang macam inilah yang agaknya dapat menerima bahwa perubahan tak dapat dielakkan, bahwa “hidup tidaklah mundur atau terpancang pada hari kemarin”, bahwa keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai satu generasi tidak selalu dimiliki generasi berikutnya, bahwa masyarakat kita membutuhkan perbaikan, bahwa hal-hal yang harus diprotes dengan keras, dan bahwa otoritas yang tidak masuk akal dan menekan kerap harus ditentang dengan kuat. Orang tua dengan sikap-sikap seperti itu lebih dapat memahami, membenarkan dan menerima tingkah laku kaum muda. APAKAH HUBUNGAN ANDA DENGAN SUAMI/ISTRI ANDA UTAMAKAN? Banyak orang tua di Amerikayang menganggap hubungan dengan anakanak mereka sebagai hubungan utama, dan bukan hubungan antara suamiistri. Teruttama para ibu sangat tergantung pada anak-anak mereka untuk memberi kepuasan dan kenikmatan, padahal seharusnya itu timbul dari hubungan perkawinannya. Sering kali ini menyebabkan sikap “anak-anak yang diutamakan dulu”, “berkorban demi anak-anak”, atau sangat tergantung pada seberapa jauh anak-anak “menjadi orang baik-baik” karena hubungan orang tua – anak berperanan besar bagi kepuasan hidup mereka. Tingkah laku anak mempunyai arti yang terlalu dilebih-lebihkan bagi orang tua tersebut. Bagaimana anak berkelakuan menjadi penting sekali. Orang tua ini merasa bahwa anak harus diawasi, diarahkan, dibimbing, dimatamatai, ditimbang, dinilai, secara terus-menerus. Sukat bagi orang tua ini untuk membiarkan anak-anak mereka membuat kesalahan-kesalahan atau jatuh dalam kehidupannya. Mereka merasa anak harus dilindungi terhadap pengalaman kegagalan, dilindungi terhadap semua bahaya yang mungkin ada. Orang tua yang efektif dapat mengadakan hubungan yang lebih santai dengan anak-anak mereka. Hubungan perkawinanlah yang lebih utama bagi mereka. Anak-anak memang mempunyai tempat yang berarti dalam kehidupan mereka, tetapi hampir bersifat sekunder – kalau tidak betul-betul sekunder, pokoknya tidak lebih penting daripada suami-istri. Orang tua ini memberi anak-anak mereka lebih banyak kebebasan dan kesempatan untuk berlatih sendiri. Orang tua ini senang bersama dengan anak-anaknya tetapi hanya untuk batas waktu tertentu; mereka juga senang berdua dengan suaiistri. Kepuasan hidup mereka tidak hanya pada anak-anak mereka; tetapi juga dalam perkawinan mereka. Bagaimana anak-anak mereka bertingkah laku atau seberapa banyak anak berprestasi, dengan demikian tidaklah begitu menggoncangkan mereka. Mereka cenderung berpendapat bahwa

220

anak-anak mempunyai kehidupan mereka sendiri untuk dijalankan maka perlu banyak kebebasan untuk membentuk diri sendiri. Orang tua ini jarang memberi teguran pada anak-anak mereka dan tidak memata-matai kegiatankegiatan mereka. Mereka hanya tampil jika diperlukan oleh anak-anak, tetapi mereka tidak mempunyai perasaan yang kuat untuk ikut campur atau tampil dalam kehidupan anak-anak tanpa diminta. Mereka pada umumnya tidak menelantarkan anak-anaknya. Mereka menaruh perhatian tetapi tidak cemas. Mereka mempunyai minat tetapi tidak menyesatkan. “Anak adalah anak” itulah sikap mereka, sehingga mereka dapat lebih menerima anak sebagaimana adanya. Orang tua yang efektif lebih sering merasa sikap anak-anak mereka dan kelemahan-kelemahannya sebagai sesuatu yang lucu, dan bukan sesuatu yang menghancurkan. Orang tua dalam kelompok kedua di atas anak cenderung untuk lebih menerima – hanya sedikit tingkah laku dapat merisaukan mereka. Kebutuhan untuk mengendalikan, membatasi, mengarahkan, mengekang, menegur, dan memberi khotbah lebih sedikit. Mereka dapat membiarkan anak menjadi lebih bebas – lebih terpisah. Orang tua dalam kelompok pertama cenderung untuk kurang dapat menerima. Mereka butuh mengendalikan, membatasi, mengarahkan, mengekang, dan seterusnya. Karena hubungan mereka dengan anak adalah yang utama, orang tua macam itu mempunyai kebutuhan kuat untuk mengawasi tingkah laku anak dan menyusun rencana hidup anak-anaknya. Saya dapat melihat lebih jelas mengapa orang tua yang mempunyai hubungan yang kurang memuaskan dengan suami/istrinya, lebih sukar menerima keadaan anaknya. Mereka terlalu membutuhkan anak untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan-kepuasan yang tidak ada dalam hubungan perkawinan. DAPATKAH ORANG TUA MENGUBAH SIKAP-SIKAP MEREKA? Dapatkah buku ini – atau suatu kursus MOE selama delapan minggu menghasilkan suatu perubahan dalam sikap orang tua? Dapatkah orang tua belajar untuk lebih menerima anak-anak mereka? Sebetulnya saya agak ragu. Seperti halnya mereka yang berpraktek dalam bidang yang berhubungan dengan masyarakat langsung, saya pernah mempunyai prasangka-prasangka yang disebabkan pendidikan formal saya. Kebanyakan dari kami diajar bahwa orang tidak berubah kecuali jika menjalankan psikoterapi intensif di bawah bimbingan seorang dokter ahli, yang biasanya memakan waktu enam bulan sampai setahun atau bahkan lebih lama. Namun dalam tahun-tahun belakangan ini, telah terjadi suatu pergeseran besar-besaran dalam pemikiran para ahli. Banyak dari kami yang telah mengamati orang mengalami perubahan berarti dalam sikap dan tingkah laku sebagai hasil pengalaman dalam “kelompok pengembangan diri” – latihan kepekaan, kelompok pertemuan dasar, kelompok maraton akhir

221

minggu, kelompok latihan potensi manusia, kelompok pertemuan tanpa pimpinan, kelompok-kelompok pasangan,, lokakarya dengan menginap sekeluarga, kelompok-kelompok Synanon, lokakarya kepekaan-sensorik, dan sebagainya. Banyak ahli sekarang menerima pendapat bahwa manusia dapat berubah secara berarti jika mereka memperoleh kesempatan untuk mendapat pengalaman kelompok dan dapat berbicara secara terbuka dan bersikap jujur satu sama lain, bertukar perasaan dan membicarakan masalah-masalah dalam suatu suasana di mana mereka merasa dimengerti secara empati dan diterima dengan hangat. Agaknya MOE adalah salah satu pengalaman semacam itu. Orang tua membahas perasaan-perasaan dan memperbincangkan masalah-masalah satu sama lain dalam ruang kelas yang santai. Mereka duduk dalam satu lingkaran, siapa pun dapat berbicara sewaktu ia inginkan, mereka didorong untuk mengungkapkan perasaan tentang anak-anak mereka; mereka belajar bahwa kebanyakan orang tua mempunyai masalah-masalah yang serupa dengan mereka; pembina mendengarkan dan memberikan contoh bagaimana mencapai pengertian melalui mendengar aktif, pendapatpendapat atau perdebatan-perdebatan mereka tidak ditimbang atau dinilai; mereka tidak dicemoohkan oleh pembina dan peserta menyadari melalui pengalaman bahwa orang lain sungguh-sungguh menaruh perhatian pada mereka. Di dalam MOE tidak ada ujian-ujian atau angka-angka. Kehadiran bersifat sukarela. Konsep-konsep dan metode-metode baru ditawarkan, tidak dipaksakan. Orang tua dibuat agar merasa bebas untuk menyatakan sikap tidak setuju, untuk berbicara secara terbuka mengenai pertentangan apa pun terhadap gagasan dan metode-metode baru. Orang tua diberi kesempatan untuk melatih metode-metode baru dalam suasana ruangan kelas yang aman sebelum mereka didorong untuk mencobanya di rumah, dan meski diawali secara kaku penggunaan metode-metode baru diterima dan dimengerti oleh kelompok. Hampir semua orang tua yang mendaftarkan untuk ikut MOE menyadari, dan kerap mengakui secara terbuka di dalam kelas, bahwa sikap-sikap dan metode-metode mereka sebagai orang tua saat itu banyak kekurangannya. Banyak yang mengetahui bahwa mereka tidak efektif terhadap satu atau lebih anak-anak mereka; orang tua lainnya takut akibat dari metode-metodenya terhadap anak-anak; semua menyadari secara jelas berapa banyak hubungan orang tua – anak yang mengalami kerusakan jiwa anak menginjak masa remaja. Hasilnya banyak orang tua di dalam MOE mempunyai kesiapsiagaan dan keinginan untuk berubah – untuk mempelajari metode-metode baru yang lebih efektif, untuk mencegah kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat orang tua lain (ataupun mereka sendiri), dan untuk menemukan

222

teknik apa pun yang sekiranya dapat mempermudah tugas mereka. Belum pernah dijumpai orang tua yang tidak ingin membesarkan anak mereka secara lebih baik. Semua ini berlangsung di dalam MOE, untuk kita semua, sehingga tidak mengherankan bahwa pengalaman latihan membawa perubahan yang berarti dalam sikap dan tingkah laku orang tua. Di bawah ini adalah beberapa contoh pernyataan-pernyataan yang dikutip dari surat-surat atau dari kertas evaluasi yang diisi orang tua secara anonim pada akhir kursus sebagai berikut: “Mestinya kami harus mengikuti kursus ini beberapa tahun yang lalu sebelum anak-anak kami menginjak remaja”. “Kami sekarang memperlakukan anak-anak dengan penghargaan yang sama seperti yang kami perlihatkan kepada teman-teman kami”. “Saya merasa beruntung menjadi salah satu orang tua yang telah mengikuti kursus. Lebih dari itu, saya merasa pandangan saya terhadap umat manusia secara keseluruhan telah meluas, dan saya dapat lebih menerima orang lain, sebagaimana adanya, tidak seperti cara saya memandang mereka sebelumnya”. “Saya selalu menyukai anak-anak, tetapi sekarang saya belajar untuk juga menghargai MOE, bukan hanya pendidikan untuk membesarkan anak. Untuk saya juga merupakan suatu falsafah hidup”. “Kursus ini membuat saya menyadari betapa saya menilai rendah anak-anak saya dan melemahkan mereka melalui sikap saya yang terlalu melindungi dan dan terlalu mengkhawatirkan. Saya pernah menjadi anggota suatu kelompok bermutu yang mempelajari pendidikan anak, tetapi akhirnya itu hanya menguatkan perasaan-perasaan bersalah saya dan membuat saya berusaha terusmenerus untuk menjadi ‘ibu sempurna’”. “Semula saya meragukan dan hampir tak percaya sedikit pun pada kemampuan anak-anak. Ketika saya mengetahui bahwa mereka dapat menanggulangi perasaan-perasaan dan masalah-masalah mereka lebih baik daripada saya sendiri, saya merasakan beban dunia terangkat dari pundak saya. Saya mulai hidup untuk diri sendiri. Saya belajar kembali di suatu fakultas, dan saya menjadi seorang yang lebih bahagia dan puas, dengan demikian menjadi orang tua yang lebih baik”.

Tidak semua orang tua dalam masa delapan minggu dapat mengadakan perubahan-perubahan sikap yang diperlukan agar dapat lebih menerima anak-anak mereka. Beberapa orang menyadari bahwa perkawinannya tidak saling memuaskan sehingga satu atau keduanya tidak dapat bersikap efektif dengan anak-anak. Mereka jarang punya waktu ataupun tenaga karena kebanyakan dipakai untuk konflik-konflik perkawinan sendiri, atau mereka tidak dapat menerima anak-anak mereka sebab mereka tidak merasa dapat menerima diri mereka sebagai suami atau istri. Orang tua lainnya menjumpai kesulitan untuk melepaskan sistem nilai yang menekan itu, yang telah diperoleh dari orang tuanya sendiri dan yang sekarang menyebabkan mereka menjadi terlalu menghakimi dan tidak dapat

223

menerima anak-anak mereka. Masih ada orang tua lainnya yang mengalami kesulitan mengubah sikap “memiliki” anak atau keprihatinannya yang mendalam untuk menghasilkan anak yang menuruti cetakan yang sudah dirancang: sikap ini terdapat pada kebanyakan orang tua yang telah dipengaruhi secara kuat oleh dogma-dogma beberapa aliran agama tertentu yang mengajarkan bahwa orang tua mempunyai kewajiban moral untuk membuat anak-anak bertobat, meskipun berarti harus menggunakan kekuasaan atau otoritas orang tua atau menggunakan metode-metode untuk mempengaruhi yang tidak begitu berbeda dari cuci otak atau pengendalian pikiran. Untuk beberapa orang tua yang sulit mengubah sikap dasarnya sendiri, pengalaman MOE disebabkan satu dan lain hal, membuka pintu pada pencarian bantua jenis lain – terapi kelompok, konsultasi perkawinan, terapi keluarga, atau bahkan terapi perorangan. Agak banyak orang tua mengatakan bahwa setelah ikut MOE, mereka sama sekali tak punya pikiran untuk tolong psikolog, atau psikiater. Kelihatannya MOE menciptakan kesadaran diri, motivasi, serta keinginan yang lebih besar untuk berubah, walaupun MOE itu sendiri tidak cukup menghasilkan perubahan yang berarti. Sesudah kursus MOE, beberapa orang tua meminta untk meneruskannya dengan pertemuan-pertemuan kelompok kecil yang terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak, agar dapat membantu mereka menyingkirkan sikap-sikap dan masaah-masalah yang menghalangi meeka menggunakan metode-metode efektif yang baru dipelajarinya. Di dalam “kelompok-kelompok lanjutan” ini orang tua pada dasarnya hanya mengurus hubungan perkawinan mereka, hubungan mereka dengan orang tuanya sendiri, atau sikap-sikap dasar mereka sebagai manusia. Hanya sesudah pengalaman mereka dalam kelompok-kelompok terapi yang lebih mendalam, maka orang tua tersebut memperoleh wawasan yang menimbulkan perubahan-perubahan dalam sikap-sikap yang memungkinkan mereka mengunakan metode-metode MOE secara efektif. Jadi untuk beberapa orang tua MOE itu sendiri mungkin tidak akan menghasilkan perubahan yang cukup berarti dalam sikap-sikapnya, tetapi sudah memulai suatu proses perubahan atau mendorong mereka untuk mulai mengadakan perjalanan untuk menjadi orang atau orang tua yang lebih efektif. Jelaslah, membaca buku ini pun tidaklah sama dengan menjalankan kursus selama delapan minggu bersama sekelompok orang tua lainnya, di bawah bimbingan dan pengarahan pembina terlatih. Meskipun demikian, saya merasa bahwa kebanyakan orang tua akan memperoleh suatu pengertian yang mendalam mengenai falsafah baru tentang cara membesarkan anak ini, dengan membaca dan mempelajari secara seksama buku ini. Dari buku ini banyak orang tua akan mencapai suatu tingkat

224

kemampuan yang lumayan dalam ketrampilan-ketrampilan khusus yang diperlukan agar falsafah ini dapat diterapkan di rumah. Ketrampilan-ketrampilan tersebut mesti sering dan terus-menerus dilatih oleh pembaca selama mungkin sesudah selesai membaca buku ini – tidak hanya dalam hubungan Anda dengan anak-anak, tetapi juga dalam hubungan dengan suami/istri, teman kerja, orang tua, teman-teman. Pengalaman-pengalaman kita menunjukkan bahwa ntuk menjadi lebih efektif dalam membesarkan anak perlu usaha-usaha yang gigih – apakah itu didorong oleh kursus MOE, atau karena membaca buku ini, atau keduanya tidaklah pokok. Yang pokok adalah, adakah suatu tugas yang tidak menuntut usaha gigih?

225

16 Orang Tua Lain Dari Anak-anak Anda Sepanjang hidup anak-anak Anda akan mendapat pengaruh dari orang dewasa lain yang Anda beri tanggung jawab tertentu. Karena orang-p\orang ini akan menjalankan fungsi orang tua terhadap anak-anak Anda, maka mereka juga akan mempunyai pengaruh besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak ini. Yang saya maksud adalah, nenek dan kakek, keluarga lain, pengasuh anak, guru-guru, kepala sekolah, konselor sekolah, pembimbing olahraga, pemimpin pramuka, pemimpin organisasi pemuda, guru-guru sekolah minggu, guru-guru agama, dan sebagainya. Bila Anda melimpahkan tanggung jawab kepada “pengganti orang tua” semacam itu, jaminan apa yang Anda punyai tentang efektivitas mereka? Apakah orang-orang ini akan menciptakan hubungan yang membangun dengan putra-putri Anda ataukah justru akan menciptakan hubungan yang merusak? Sampai sejauh mana mereka dapat berfungsi efektif sebagai “penolong” bagi anak-anak Anda? Dapatkah Anda mempercayakan putraputri Anda kepada “pengganti orang tua” dan percaya bahwa mereka tidak akan “merusak” anak-anak Anda? Hal ini merupakan pertanyaan-pertanyaan penting karena hidup putraputri Anda akan sangat dipengaruhi oleh semua orang dewasa yang menjalinkan hubungan dengan mereka. Banyak dari para “pengganti orang tua” ini ikut dalam kursus-kursus MOE yang kami selenggarakan. Kami juga banyak bekerja dengan orangorang semacam itu dalam program-program pendidikan kami yang khusus menjadi guru efektif, menjadi konselor efektif, menjadi pemimpin efektif. Dalam pengamatan kami, banyak di antara orang-orang dalam profesi tersebut yang mempunyai sikap dan cara bertindak yang hampir sama dengan sikap dan cara bertindak orang tua terhadap anak-anak mereka, mereka juga berbicara kepada anak dengan cara yang merendahkan dan merusak harga diri anak; mereka juga sangat kuat berpegang pada otoritas dan kekuasaan untuk memanipulasi dan mengendalikan tingkah laku anak; mereka juga berpegang teguh pada kedua metode kalah-menang untuk memecahkan konflik; mereka juga merepotkan, mengusik, berkhotbah, dan membuat malu anak-anak dalam usaha mereka untuk membentuk nilai-nilai dan keyakinan anak-anak ini, mencetakkan dengan pola-pola orang tua. Sudah barang tentu ada perkecualian seperti ada juga perkecualian di antara orang tua. Tetapi, pada umumnya, orang-orang dewasa yang mempengaruhi kehidupan anak-anak Anda, kurang mempunyai sikap dan ketrampilan dasar untuk bisa menjadi penolong efektif bagi anak-anak itu. Seperti halnya para orang tua, mereka tidak mendapat latihan yang efektif sehingga bisa menjadi “pelaku yang membantu” dalam hubungan mereka

226

dengan seorang anak atau remaja. Maka, sangat disayangkan, mereka dapat menimbulkan “kerusakan” pada anak-anak Anda. Saya akan mengambil guru-guru sekolah dan pengelola sekolah sebagai contoh, meski ini tidak berarti bahwa mereka yang paling tidak efektif dan paling memerlukan pendidikan. Tetapi merekalah yang mengisi waktu paling banyak dengan anak-anak Anda, merekalah yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk mempengaruhi anak-anak Anda, baik atau buruk. Berdasarkan pengalaman kami bekerja di banyak sekolah, jelas bagi saya bahwa sekolah, dengan sedikit perkecualian, pada dasarnya adalah lembaga otoriter yang mencontoh organisasi militer dalam hal struktur organisasi dan filsafat kepemimpinan mereka. Aturan-aturan mengenai bagaimana seharusnya seorang siswa bertingkah laku hampir selalu ditentukan secara sepihak oleh orang dewasa yang ada pada puncak organisasi, tanpa ikut sertanya anak-anak yang diharapkan untuk meatuhi aturan-aturan tersebut. Tidak mematuhi aturan ini menyebabkan hukuman – pada kasus-kasus tertentu, boleh percaya atau tidak, menyebabkan hukuman fisik. Bahkan wali kelastidak mempunyai hak suara untuk menetapkan aturan bertingkah laku, padahal guru-guru ini diharapkan untuk menerapkan aturan tersebut. Guru-guru ini biasanya lebih dinilai berdasarkan sampai sejauh mana mereka efektif dalam mempertahankan aturan di kelas, daripada sampai sejauh mana mereka efektif dalam mendorong anak-anak didik mereka untuk belajar. Sekolah juga menerapkan suatu kurikulum yang oleh kebanyakan anak dinilai sebagai membosankan dan tidak berhubungan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Lalu meskipun sekolah-sekolah ini mengerti bahwa kurikulum semacam itu tidak akan menimbulkan motivasi bagi para siswa baik dari segi minat ataupun relevansi dalam hidup, hampir secara umum sekolah-sekolah menggunakan sistem pemberian hadiah dan hukuman dalam bentuk “nilai” yang dipraktekkan di mana-mana yang hampir menjamin bahwa dalam prosentasi agak besar sejumlah siswa akan mendapat label “di bawah rata-rata”. Di dalam kelas anak-anak sering dimaki dan diremehkan oleh guru-guru mereka. Mereka mendapat hadiah untuk kemampuan mereka menghafalkan apa yang disuruh baca dan sering mendapat hukuman karena tidak setuju atau membantah. Hampir agak umum, sedikitnya pada tingkat sekolah dasar, atau di sekolah lanjutan pertama, atau sekolah lanjutan atas, guruguru sangat tidak efektif dalam mendorong anak-anak didik mereka dalam diskusi-diskusi kelompok yang bermanfaat, karena kebanyak guru biasanya “bungkam” terhadap saran-saran para siswa. Dengan demikian komunikasi yang terbuka dan jujur biasanya tidak dimungkinkan oleh hampir semua guru, dengan sedikit perkecualian.

227

Bila anak-anak “bertingkah” di dalam kelas, seperti yang memang sewajarnya terjadi dalam suasana yang tidak menimbulkan minat dan tidak mendorong perkembangan, konflik-konflik yang timbul biasanya ditanggulangi dengan Metode I, dalam beberapa kasus dengan Metode II. Anak-anak sering diperintah untuk menemui kepala sekolah atau konselor, yang mendapat tugas untuk mencoba menyelesaikan konflik guru – anak didik – meskipun satu pihak dari yang berkonflik tidak hadir – yaitu, guru. Dengan demikian, biasanya kepala sekolah atau konselor menduga bahwa si anak adalah pihak yang bersalah dan sebagai akibatnya, ia menghukum atau menghotbahi, atau meminta anak berjanji untuk “berhenti mengacau dan bersikap menurut”. Dalam kebanyakan sekolah, para siswa sering tidak mendapatkan hakhak mereka – hak untuk bicara dengan bebas, hak untuk memilih potongan rambut sendiri, hak untuk memakai pakaian yang mereka sukai, hak untuk tidak setuju. Sekolah juga sering tidak mengindahkan hal anak untuk menolak memberi kesaksian yang bertentangan dengan mereka sendiri. Dan kalau anak berada dalam kesulitan, pengelola sekolah jarang sekali mengikuti prosedur umum yang berlaku bagi “proses hukum”, yang merupakan hak setiap warga negara. Apakah yang diuraikan di atas itu hanya sekedar suatu gambaran “menyimpang” dari sekolah-sekolah? Saya kira tidak! Banyak pengamat sistem sekolah lainnya juga melihat kekurangan atau penyimpangan tersebut di atas. Lebih lanjut lagi, orang hanya perlu bertanya kepada anakanak muda bagaimana perasaan mereka terhadap sekolah atau guru-guru sekolah. Kebanyakan anak berkata bahwa mereka membenci sekolah dan bahwa guru-guru mereka memperlakukan mereka dengan tidak hormat dan tidak adil. Kebanyakan anak sampai pada pengalaman mengenai sekolah sebagai tempat ke mana mereka harus pergi; mereka mengalami belajar sebagai sesuatu yang jarang saja menyenangkan atau menggembirakan; mereka mengalami sebagai suatu kerja keras dan mereka melihat guru-guru sebagai polisi yang tidak ramah. Bila anak-anak diserahkan dalam pengawasan orang dewasa yang perlakuannya terhadap mereka menghasilkan reaksi negatif semacam itu, orang tua tidak dapat diharapkan untuk memikul semua beban kesalahan sehubungan dengan bentuk akhir anak-anak mereka. Orang tua dapat disalahkan, pasti, tetapi orang-orang dewasa lain harus ikut memikul beban kesalahan ini. Apa yang dapat dilakukan oleh orang tua? Apakah mereka dapat menanamkan pengaruh membangun kepada “orang tua-orang tua lain” dari anak-anak mereka? Apakah mereka mempunyai hak suara untuk menentukan bagaimana anak-anak mereka harus dihadapi atau diperlakukan oleh orang-orang lain? Saya percaya bahwa mereka berhak dan harus

228

menggunakan hak ini. Tetapi mereka harus tidak lagi pasif dan tunduk seperti masa-masa lalu. Pertama-tama, mereka harus dapat menemukan bukti bahwa dalam lembaga yang memberi pelayanan kepada kaum muda, anak-anak mereka dikendalikan dan ditekan oleh orang-orang dewasa yang menunjukkan kekuasaan dan otoritas. Mereka harus menentang dan berjuang terhadap mereka yang menerapkan “sikap keras pada anak-anak”, yang menggunakan kekuasaan terhadap anak di bawah lindungan panji-panji “hukum dan aturan”, yang membenarkan otoriter atas dasar prasangka bahwa anak tidak dapat dipercaya untuk bertanggung jawab atau mempunyai disiplin diri. Orang tua harus berani bertindak melindungi hak-hak anak-anak mereka, bila anak diancam oleh orang-orang dewasa yang merasa bahwa anak-anak tidak mempunyai hak semacam itu. Orang tua dapat pula menyarankan dan membantu program-progran yang mengetengahkan gagasan-gagasan baru dan metode-metode yang ditujukan kepada pembaharuan sekolah – misalnya gagasan yang mengemukakan perlunya perubahan kurikulum memperbaharui sistem penilaian, memperkenalkan metodologi instruksional baru, memberi lebih banyak kebebasan kepada anak didik untuk belajar sendiri dan dengan irama mereka sendiri, menyarankan instruksi individual, memberi kesempatan pada anak untuk mengambil bagian bersama orang dewasa dalam proses pengelolaan sekolah atau mendidik para guru supaya lebih manusiawi dan lebih mendorong berkembangnya hubungan mereka dengan anak-anak didik. Program-program semacam ini sudah ada dalam kelompok-kelompok masyarakat yang ingin memperbaharui sekolah-sekolah mereka. Lebih banyak lagi yang sedang diramu dalam tahap perencanaan. Orang tua tidak perlu takut menghadapi program pendidikan baru semacam ini, orang tua justru harus menerimanya dengan terbuka, mendorong para pengelola sekolah untuk mencoba program tersebut dan menilai bagaimana hasilnya. Program yang paling saya kenal adalah program kami sendiri yang terdiri dari dua kursus: MGE dan MPSE (Menjadi Guru Efektif dan Menjadi Pengelola Sekolah Efektif). Kursus-kursus ini sudah banyak diberikan di sekolah negeri dan swasta. Hasilnya, tampaknya cukup memuaskan. Pada salah satu sekolah lanjutan pertama di Copertino, California, program kami ini mempunyai pengaruh sedemikan rupa sehingga kepala sekolah mengikutsertakan guru-guru dan anak-anak didik dalam suatu proyek untuk mengkaji kembali semua aturan tingkah laku yang berlaku bagi para siswa. Kelompok orang dewasa yang bekerja sama dengan para siswa ini, menyingkirkan buku aturan mereka yang tebal dan kuno dan

229

menggantikannya dengan dua aturan sederhana: tidak seorang pun yang berhak merintangi proses belajar orang lain, dan tidak seorang pun yang mempunyai hak untuk menyakiti orang lain! Kepala sekolah melaporkan sebagai berikut: “Pengurangan kekuasaan dan otoritas yang digunakan terhadap para siswa menimbulkan akibat meningkatnya jumlah siswa yang lebih bisa mengatur diri sendiri, anak-anak didik yang lebih bertanggung jawab terhadap tingkah laku mereka sendiri dan juga tingkah laku orang lain”.

Pada lain sekolah, di Palo Alto, California, dengan menggunakan Metode III dalam memccahkan konflik di sebuah kelas yang hampir berantakan karena tidak adanya disiplin, guru berhasil mengurangi jumlah tingkah laku yang “tidak dapat diterima dan mengancam” dari 30 tingkah laku setiap jam pelajaran menjadi rata-rata 4½ setiap jam pelajaran. Suatu kuisioner tindak lanjut menunjukkan bahwa 76 % dari para siswa merasa bahwa kelas dapat memberikan hasil lebih banyak setelah digunakan cara pemecahan persoalan ini, dan 95% merasa bahwa suasana kelas “menjadi lebih baik” atau “sangat lebih baik”. Kepala sekolah lanjutan atas Apollo yang terletak di Lembah Simi, menuliskan manfaat latihan Menjadi Guru Efektif bagi dirinya dan bagi sekolahnya: 1. Persoalan disiplin berkurang sedikitnya 50%. Saya merasakan cara ini sebagai suatu metode yang memuaskan dan efektif untuk menanggulangi persoalan tingkah laku tanpa “menskors” siswa. Saya belajar bahwa “menskors” siswa hanyalah menyelesaikan persoalan untuk 3 atau 4 hari, dan cara ini tidak menyingkirkan apa yang menyebabkan tingkah laku tersebut. Ketrampilan yang saya pelajari dalam kursus MGE mendorong tercapainya pemecahan persoalan di antara siswa, antara staf guru dan pengelola sekolah, dan antara guru dan siswa. 2. Kami mengadakan pertemuan-pertemuan sekolah yang kami rasakan dapat mencegah konflik sebelum konflik tersebut timbul. Kami menggunakan metode pemecahan persoalan dari Dr. Gordon, dan telah berhasil mencegah konflik menjadi persoalan tingkah laku. 3. Hubungan saya dengan para siswa menjadi sangat bertambah baik, dengan membiarkan para siswa bertanggung jawab terhadap tingkah laku dan tindakan mereka sendiri, dan memberi mereka hak istimewa untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri.

Kepala sekolah dari suatu sekolah dasar di La Mesa, menuliskan tanggapan mengenai program Menjadi Guru Efektif seperti ini: Sebagai seorang kepala sekolah dasar yang kebanyakan anggota stafnya mendapat didikan dalam program Menjadi Guru Efektif (16 dari 23), saya melihat adanya perubahan tingkah laku baik dari pihak staf guru maupun dari pihak siswa, dan perubahan ini dapat langsung dikaitkan dengan program latihan ini: 1. Guru merasa yakin akan kemampuannya untk menanggulangi masalah tingkah laku yang sulit.

230

2. Suasana emosional di kelas tampak lebih santai dan lebih sehat. 3. Anak didik ikut serta dalam menentukan aturan tentang bagaimana mengatur pengalaman belajar mereka dalam suatu struktur. Karena hal ini, mereka mempunyai komitmen pribadi terhadap terlaksananya aturan-aturan ini. 4. Anak didik belajar bagaimana caranya memecahkan persoalan sosial tanpa menggunakan paksaan ataupun manipulasi. 5. Jauh lebih sedikit “kasus-kasus disiplin” yang diajukan kepada saya. 6. Tingkah laku guru jauh lebih sesuai, yaitu konseling untuk siswa dilakukan kalau siswa itu memang mempunyai persoalan dan konseling tidak dilakukan bila guru yang mempunyai persoalan. 7. Kemampuan guru untuk menyelenggarakan pertemuan yang berarti antara orang tua dan guru, telah menjadi meningkat.

Perubahan-perubahan yang berarti dapat dihasilkan di sekolah-sekolah dengan memberikan kepada pengelola dan guru, latihan ketrampilan yang sama seperti yang telah kami berikan kepada orang tua dalam MOE. Tetapi kami juga menemukan bahwa sekolah-sekolah tertentu tidak terbuka untuk perubahan, yaitu sekolah-sekolah yang terdapat dalam masyarakat di mana kebanyakan orang tua mempunyai komitmen untuk mempertahankan “status quo”, takut terhadap perubahan, atau terpendam dalam tradisi perlakuan otoriter terhadap anak muda. Harapan saya adalah bahwa lebih banyak orang tua dapat dipengaruhi supaya mau mendengarkan anak-anak mereka bila mereka mengeluh tentang perlakuan yang mereka terima dari banyak guru, pembimbing, guru sekolah minggu, dan pemimpin-pemimpin pemuda. Mereka dapat mulai percaya kepada kebenaran perasaan putra-putri mereka kalau mereka berkata bahwa mereka membenci sekolah atau tidak senang dengan cara mereka diperlakukan oleh orang-orang dewasa. Orang tua dapat menemukan apa yang salah dalam lembaga ini dengan mendengarkan anakanak mereka dan tidak selalu membela lembaga tersebut. Hanya oleh orang tua yang sudah sadar, lembaga ini dapat dipengaruhi supaya menjadi lebih demokratis, lebih manusiawi, dan lebih mendorong perkembangan. Yang diperlukan lebih dari apa pun juga adalah filsafat yang sama sekali baru mengenai bagaimana caranya menghadapi anak dan remaja, suatu undang-undang mengenai hak pemuda. Masyarakat tak lagi bisa memperlakukan anak sebagaimana halnya mereka diperlakukan 2000 tahun yang lalu, sama juga seperti masyarakat tidak lagi bisa memperlakukan kelompok minoritas seperti di masa yang lalu. Saya mengusulkan suatu filsafat yang dapat digunakan dalam hubungan orang dewasa – anak, dalam bentuk suatu “ aku percaya”, atas dasar mana program MOE, telah kami tegakkan. Ditulis beberapa tahun yang lalu dalam usaha untuk menjadikan filsafat MOE, suatu pernyataan yang jelas, singkat, dan mudah dimengerti, “aku percaya” ini kami teruskan kepada

231

para pengikut kursus dan kami persembahkan di sini sebagai suatu tantangan bagi semua orang dewasa.

AKU PERCAYA PADA KAUM MUDA “Kau dan aku berada dalam suatu hubungan yang aku hargai dan ingin kupertahankan. Tetapi masing-masing daripada kita adalah suatu pribadi yang mandiri yang mempunyai kebutuhan-kebutuhannya sendiri, yang unik, dan mempunyai hak untuk mencoba memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Aku akan berusaha untuk benar-benar menerima tingkah lakumu bila kau berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu atau bila kau mempunyai persoalan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Bila kau membagi persoalan-persoalanmu, aku akan berusaha untuk mendengarkan dan memahaminya dengan sepenuh hati, dengan suatu cara yang dapat mendorongmu, supaya kau dapat mencari pemecahan sendiri dan tidak menggantungkan pemecahannya kepadaku. Bila kau punya suatu persoalan karena tingkah lakuku mengganggu pemenuhan kebutuhanmu, kuanjurkan padamu supaya kau katakan padaku secara jujur dan terbuka bagaimana perasaanmu sebenarnya. Pada waktu-waktu itu, aku mendengarkan dan lalu mencoba mengubah tingkah lakuku, seandainya aku bisa. Tetapi, bila tingkah lakumu mengganggu pemenuhan kebutuhanku, sehingga menyebabkan aku merasa tak dapat menerimamu, aku akan membagi persoalanku ini denganmu dan mengatakan dengan sejujur dan seterbuka mungkin bagaimana perasaanku, dan percaya bahwa kamu cukup menghormati kebuthan-kebutuhanku sehingga kamu mau mendengarkan dan lalu berusaha mengubah tingkah lakumu. Bila sampai pada suatu keadaan di mana tak seorang pun di antara kita dapat mengubah tingkah lakunya untuk memenuhi kebutuhan yang lain dan menemukan bahwa kita punya konflik dalam hal kebutuhan dalam hubungan kita, marilah kita tetapkan buat diri kita sendiri bahwa kita akan menyelesaikan konflik semacam itu dengan tanpa pernah menggunakan kekuasaanku atau kekuasaanmu untuk menang di atas puing kekalahan yang lain. Aku hormati kebutuhan-kebutuhanmu, tetapi aku juga harus menghormati kebutuhanku sendiri. Maka, marilah kita selalu berusaha untuk mencari pemecahan yang dapat kita terima terhadap konflik-konflik kita yang tak terelakkan. Dengan cara ini, kebutuhanmu akan terpenuhi, tetapi demikian pula halnya dengan kebutuhanku – tak ada seorang pun yang akan kalah, kita berdua. Sebagai akibatnya, kau dapat tetap berkembang menjadi suatu pribadi dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu, demikian pula aku. Dengan begitu hubungan kita akan selalu berupa hubungan yang sehat karena memuaskan kedua belah pihak. Masing-masing dari kita dapat mengembangkan kemampuannya, dan kita dapat tetap saling berhubungan

232

dengan rasa saling menghargai dan saling mengasihi dalam suasana damai dan bersahabat. Bahwa saya tidak ragu-ragu kalau “aku percaya” ini diambil alih dan dipraktekkan oleh orang-orang dewasa yang bekerja dalam lembaga yang memberi pelayanan kepada pemuda, pada waktunya akan menghasilkan pembaharuan yang membangun, saya juga menyadari bahwa perubahan semacam ini mungkin akan memakan waktu lama. Bagaimanapun juga, yang dewasa hari ini adalah anak hari kemarin, dan mereka sendiri adalah hasil dari menjadi orang tua yang kurang efektif. Kita membutuhkan generasi baru dari orang tua-orang tua yang mau menerima tantangan mempelajari ketrampilan baru untuk mendidik anakanak yang bertanggung jawab di rumah. Karena di sinilah tempatnya semua ini harus mulai. Dan memang hal ini bisa mulai di sini, hari ini, menit ini – di rumah Anda sendiri.

233

APENDIKS 1. MENDENGARKAN PERASAAN (Suatu Latihan) PETUNJUK: Anak mengkomunikasikan kepada orang tua lebih daripada hanya kata-kata atau ide-ide. Di balik perkataan sering terletak perasaan. Yang berikut ini adalah beberapa “pesan-pesan” khas yang dikirim anakanak. Bacalah tiap-tiap pertanyaan satu per satu, berusahalah untuk mendengarkan secara hati-hati perasaan-perasaan yang ada di balik pernyataan itu. Lalu dalam kolom sebelah kanan, tuliskanlah perasaan atau perasaan-perasaan yang Anda “dengar”. Buanglah “isinya” dan tuliskan hanya perasaannya – biasanya satu atau beberapa kata. Beberapa dari pernyataan ini mungkin berisi beberapa perasaan – tuliskan semua perasaan utama yang Anda dengar, dengan mencantumkan nomor pada tiap perasaan yang berbeda. Apabila Anda telah selesai, bandingkan daftar Anda dengan daftar yang ada dalam kunci, berikan nilai sesuai dengan petunjuk pada kunci. Anak berkata Anak merasa CONTOH: “Saya tak tahu apa yang salah. Saya tak bisa 1. Bingung menemukannya. Barangkali saya harus 2. Kecil hati berhenti berusaha”. 3. Terdorong untuk menyerah 1. “Ha, ha! Sepuluh hari lagi liburan sekolah mulai”. 2. “Lihat Pak, saya membuat pesawat terbang dengan alat-alat saya yang baru ini”. 3. “Maukah Ibu memegangi tangan saya kalau kita memasuki Taman Kanak-kanak?” 4. “Ih, saya sama sekali tak gembira. Saya tak bisa memikirkan sesuatu yang bisa saya kerjakan”. 5. “Saya tak akan pernah sebaik Jono. Saya latihan terus dan latihan terus, dan dia masih tetap lebih baik daripada saya”. 6. “Guru saya yang baru memberi terlalu banyak pekerjaan rumah. Saya tak mungkin bisa menyelesaikannya. Apa yang harus saya lakukan?” 7. “Semua orang pergi ke pantai. Saya saja yang tak punya teman main seorang pun”. 8. “Orang tua Jono memperbolehkan Jono naik sepeda ke sekolah, saya bisa menunggang sepeda lebih baik daripada Jono”. 9. “Seharusnya saya tidak begitu jahat terhadap si kecil Jono. Saya kira saya ini jahat sekali”. 10. “Saya ingin punya rambut panjang – rambut ini kepunyaan saya sendiri, bukan?” 11. “Menurut Bapak, laporan saya ini betul atau tidak?

234

Apakah laporan ini cukup baik?” 12. “Mengapa si tua itu menyuruh saya tinggal di

sekolah? Yang ngobrol bukan hanya saya saja. Saya ingin sekali meninju hidungnya”. 13. “Saya bisa mengerjakannya sendiri. Tak usah dibantu. Saya sudah cukup besar untuk mengerjakannya sendiri”. 14. “Berhitung itu sulit sekali. Saya terlalu bodoh untuk dapat memahaminya”. 15. “Pergi! Biarkan saya sendiri. Saya tak ingin berbicara dengan ibu atau siapapun juga. Ibu toh tak peduli apa yang terjadi pada saya”. 16. “Untuk berapa waktu saya bisa mengerjakannya dengan baik, tetapi sekarang ini lebih buruk daripada sebelumnya. Saya berusaha keras, tetapi sepertinya tidak ada hasilnya. Apa gunanya?” 17. “Saya benar-benar ingin pergi, tetapi saya tak mampu mengajaknya. Bagaimana seandainya dia menertawakan saya karena berani mengajaknya pergi?” 18. “Saya tidak pernah ingin main dengan Pam lagi. Ia brengsek dan menyebalkan”. 19. “Saya benar-benar senang karena saya terlahir sebagai anak Papa dan Mama, daripada terlahir sebagai anak orang lain”. 20. “Saya kira saya tahu apa yang harus dilakukan, tetapi mungkin tidak benar. Sepertinya saya selalu mengerjakan sesuatu yang salah. Menurut Bapak, apa yang harus saya lakukan Pak, kerja atau melanjutkan sekolah?” SEKARANG COCOKKAN JAWABAN ANDA DENGAN KUNCI PENILAIAN YANG TERSEDIA DAN NILAILAH JAWABAN-JAWABAN ANDA: 1. Tulislah nilai Anda di sebelah kiri nomor jawaban Anda. 2. Jumlahkanlah semua nilai yang Anda peroleh dan tuliskanlah nilai total jawaban Anda.

235

KUNCI PENILAIAN Mendengarkan perasaan PETUNJUK:

1. Senang 11. Merasakan keraguan 1. Lega 1. Tidak pasti Berilah nilai 4, 2. Bangga 12. Marah, benci bila jawaban 1. Senang 1. Merasa hal itu tidak Anda sama atau 3. Takut,ketakutan adil hampir 4. Bosan 13. Merasa kompeten bersamaan 1. Bingung 1. Tidak membutuhkan dengan Kunci 5. Merasa tidak mampu pertolongan Penilaian. 1. Berkecil hati 14. Merasa frustasi 6. Merasakan pekerjaan 1. Merasa tidak mampu Berilah nilai 2, tersebut terlampau berat 15. Merasa disakiti bila jawaban 1. Merasa terpukul 1. Merasa marah Anda hanya 7. Ditinggalkan 2. Merasa tidak ada sebagian cocok 1. Kesepian yang mengasihi atau bila Anda 8. Merasa orang tua tidak 16. Berkecil hati tidak mengenali adil 1. Ingin menyerah saja suatu perasaan 1. Merasa kompeten 17. Ingin pergi tertentu. 9. Merasa bersalah 1. Takut 1. Menyesal 18. Marah Berilah nilai 0, tindakannya 19. Berterima kasih, senang bila sama sekali 10. Tidak menyukai campur 1. Menghargai orang tua salah tangan orang tua 20. Tidak yakin, tidak pasti NILAI TOTAL ANDA -----------------------------------------------------------------------KEMAMPUAN ANDA MENGENALI PERASAAN: 61 – 80 : Kemampuan istimewa untuk mengenali perasaan 41 – 60 : Kemampuan yang di atas rata-rata untuk mengenali perasaan 21 – 40 : Kemampuan yang di bawah rata-rata untuk mengenali perasaan 0 – 21 : Kemampuan istimewa untuk mengenali perasaan

236

2. MENGENALI PESAN-PESAN TAK EFEKTIF (Suatu Latihan) PETUNJUK: Bacalah setiap situasi dan pesan-pesan yang disampaikan oleh orang tua. Dalam kolom KIRIMAN YANG SALAH KARENA, tuliskan alasan mengapa pesan orang tua tersebut bukan merupakan kiriman yang efektif. Gunakanlah daftar “kesalahan-kesalahan kiriman” sebagai berikut: - Menyalahkan, - Mengirimkan pemecahan, perintah menilai - Melampiaskan perasaan-perasaan sekunder - Pesan tak langsung, - Memberikan “julukan” (“cap”) sarkasme - Tabrak lari Situasi dan Pesan Kiriman yang Salah Karena: CONTOH: Sekarang anak berumur 10 tahun meninggalkan pisau pramuka di Menyalahkan, menilai lantai kamar bayi. “Bodoh amat. Bayi ini bisa saja kena celaka”. 1. Anak-anak meributkan program TV mana yang akan dilihat. “Berhentilah berkelahi dan matikan TV saat ini juga”. 2. Anak gadis tiba di rumah pada jam 01.30 pagi, padahal ia sudah berjanji untuk pulang pada waktu tengah malam. Orang tua sudah sangat cemas memikirkan bahwa sesuatu mungkin terjadi atas dirinya. Orang tua lega ketika akhirnya ia pulang. “Hm, kamu tak bisa dipercaya rupanya. Saya sangat marah padamu. Kamu tak boleh keluar selama sebulan”. 3. Seorang anak 12 tahun membiarkan terbuka pintu yang menuju ke arah kolam, membahayakan adiknya yang berumur 2 tahun. “Apa yang mau kamu lakukan? Menenggelamkan adik kecilmu? Saya marah sekali padamu”. 4. Guru mengirim surat ke rumah menyatakan bahwa anak yang berumur 11 tahun itu berbicara terlalu kasar dan kotor di kelas. “Coba sini dan jelaskan mengapa kamu memalukan orang tua dengan mulutmu yang kotor”. 5. Ibu sangat marah dan mengalami frustasi karena anak berlambat-lambat sehingga dia terlambat untuk memenuhi suatu janji. “Ibu ingin kamu lebih

237

memperhatikan kepentingan orang lain”. 6. Ibu pulang ke rumah dan mendapatkan ruang tamu berantakan padahal ia telah mengatakan kepada anak-anak supaya menjaganya tetap rapi karena akan ada tamu. “Saya harap kamu sangat bersenang hati siang ini, saya jadi pembayarnya”. 7. Ayah jijik oleh bau dan rupa kaki anak gadisnya yang kotor. “Apakah kamu ini tak pernah mandi seperti orang lain? Ayo cepat mandi”. 8. Anak mengganggu Anda karena dia menarik perhatian tamu-tamu Anda dengan berjumpalitan. Ibu berkata: “Kamu, tukang pamer”. 9. Ibu marah pada anak karena piring-piring tidak disimpan setelah dicuci. Ketika anak berlari untuk tidak ketinggalan bis sekolah. Ibu berteriak: “Saya sangat kecewa padamu pagi ini, tahu atau tidak?” Bandingkanlah jawaban-jawaban dengan yang berikut ini: 1. Mengirimkan pemecahan 5. Menyalahkan menilai 2. Menyalahkan, menilai 6. Pesan tak langsung Melampiaskan perasaan sekunder 7. Pesan tak langsung Mengirimkan pemecahan Mengirimkan pemecahan 3. Menyalahkan, menilai Menyalahkan, menilai Melampiaskan perasaan sekunder 8. Memberikan julukan 4. Menyalahkan, menilai 9. Tabrak lari TULISKANLAH “PESAN-PESAN AKU” YANG SEPADAN UNTUK SETIAP SITUASI YANG DISEBUTKAN DI ATAS. HINDARILAH SEMUA “KESALAHAN-KESALAHAN KIRIMAN”. 1. . 2. . 3. . 4. . 5. . 6. . 7. . 8. . 9. . 10. .

238

3. MENGIRIM “PESAN – PESAN AKU” (Suatu Latihan) PETUNJUK: Bacalah setiap situasi, perhatikanlah “Pesan-pesan Kamu” yang ada dalam kolom ke dua, lalu tuliskanlah “Pesan-pesan Aku” dalam kolom ketiga. Bila Anda telah selesai mengisinya, bandingkanlah “Pesan-pesan Aku” yang Anda buat dengan “Pesan-pesan Aku” yang tertulis dalam kunci,yang terdapat pada halaman. Situasi “Pesan-pesan Kamu” “Pesan-pesan Aku” 1. Ayah ingin membaca koran. Anak tak henti-hentinya naik ke pangkuannya. Ayah merasa kurang senang. 2. Ibu sedang menggunakan alat penyedot debu. Anak tak hentihentinya menarik kabel sehingga terlepas. Ibu tergesa-gesa. 3. Anak datang ke meja makan dengan muka dan tangan yang sangat kotor. 4.

5.

6.

7.

8.

9.

“Jangan sekali-kali mengganggu seseorang, kalau ia sedang membaca”. “Kamu nakal”.

“Kamu bukan anak besar yang pandai. Hanya bayi yang melakukan apa saja yang ingin kamu lakukan”. Anak terus-menerus menunda pergi “Kamu tahu sekarang ini sudah melewati tidur. Ibu dan ayah ingin jam tidurmu. Kamu memang sengaja membicarakan sesuatu persoalan menggangu kami. Kamu perlu tidur”. yang sangat pribadi. Anak tak mau pergi, sehingga mereka tidak bisa bicara. Anak tak henti-hentinya merengek “Kamu tak pantas pergi nonton film minta diajak nonton film. Tetapi ia karena kamu sudah tak begitu belum membersihkan kamarnya untuk memperhatikan kepentingan orang lain, beberapa hari, suatu pekerjaan yang dan terlalu memperhatikan kepentingan dia sanggupi untuk mengerjakannya. diri sendiri”. Anak merajuk dan kelihatan sedih “Ayolah. Berhentilah merajuk. Kamu sepanjang hari. Ibu tak tahu harus bergembira atau kamu harus alasannya. keluar kalau kamu mau merajuk. Kamu ini terlalu memandang serius persoalanpersoalan sih”. Anak membunyikan tape recorder “Apakah kamu ini tidak bisa sangat keras. Suara yang terlampau memperhatikan kepentingan orang lain? keras ini mengganggu percakapan Mengapa kamu menyembunyikannya orang tuanya yang ada di kamar sedemikian kerasnya?” sebelah. Anak berjanji untuk menyetrika serbet “Kamu bermalas-malas sepanjang hari yang akan dipakai untuk perjamuan dan lalai melakukan tugasmu. makan. Sepanjang hari ia bermalas- Bagaimana kamu bisa sampai tak malas; sekarang ini satu jam sebelum bertanggung jawab seperti ini?” tamu mulai datang dan ia masih tetap belum mulai. Anak lupa muncul di rumah pada “Kamu seharusnya merasa malu. waktu yang telah dijanjikan. Ibu Bagaimanapun juga saya sudah setuju bermaksud untuk membawanya pergi untuk membawamu, tetapi sekarang membeli sepatu. Ibu tergesa-gesa. kamu yang tidak memperhatikan waktu”.

239

KUNCI

1. “Saya tak dapat membaca sambil bermain. Saya benar-benar merasa terganggu bila saya tidak bisa punya sedikit waktu buat diri sendiri untuk santai dan membaca koran”.

2. “Saya sedang sangat tergesa-gesa dan akan benar-benar marah kalau setiap kali saya harus membetulkan kabel. Saya tak ingin bermain kalau saya ada pekerjaan”.

3. “Saya tak dapat menikmati makanan saya kalau melihat semua kotoran itu. Itu membuat saya mual dan kehilangan nafsu makan”.

4. “Ibu dan saya mempunyai persoalan penting yang harus dibicarakan. Kami tak dapat membicarakannya bila kamu ada di sini, dan kami tidak bisa menunggu sampai kamu mau tidur”. 5. “Saya tak punya minat untuk mengerjakan sesuatu bagimu, sedangkan kamu tak menepati janjimu, mengenai kesediaanmu untuk membersihkan kamar. Saya merasa ‘diperalat’ kalau begini”. 6. “Saya menyesal melihatmu begitu sedih, tapi saya tak tahu bagaimana harus menolongmu karena saya tak tahu mengapa kamu merasa begitu sedih”. 7. “Saya merasa semacam ditipu. Saya ingin berbicara berdua dengan ayahmu dan suara yang keras itu menyebabkan kami jadi gila”. 8. “Saya benar-benar merasa ditelantarkan. Saya sudah bekerja sepanjang hari menyiapkan pesta kita ini, dan sekarang ini saya masih harus cemas dengan serbet makan”. 9. “Saya merasa kurang senang bila saya sudah hati-hati merencanakan keiatan saya sehingga saya bisa membawamu membeli sepatu baru, lalu kamu tidak muncul”. PETUNJUK PENILAIAN 1. Pertama-tama, hitunglah semua “L”, yang dilingkari di belakang angka-angka GANJIL (1, 3, 5, 7, dan sebagainya). 2. Kedua, hitunglah semua “L”, yang dilingkari di belakang angka-angka GENAP (2, 4, 6, 8, dan sebagainya). 3. Masukkan jumlah tersebut dalam tabel di bawah ini dan tuliskanlah jumlah dari semua “L” Jumlah Angka ini menunjukkan sampai sejauh mana Anda menggunakan hukuman L GANJIL atau mengancam untuk menggunakan hukuman untuk mengendalikan anak Anda atau untuk memaksakan pemecahan Anda terhadap persoalan. Angka ini menunjukkan sampai sejauh mana Anda menggunakan hadiah L GENAP atau insentif untuk mengendalikan anak-anak Anda atau memaksakan pemecahan Anda terhadap persoalan. Angka ini menunjukkan sampai sejauh mana Anda menggunakan kedua L TOTAL sumber kekuasaan orang tua untuk mengendalikan anak-anak Anda Penggunaan hukuman Nilai 0–5 6 – 10 11 – 15 16 – 20

Rating Sangat sedikit Kadang-kadang Sering Sangat sering

Penggunaan hadiah Nilai 0–5 6 – 10 11 – 15 16 – 20

Rating Sangat sedikit Kadang-kadang Sering Sangat sering

240

Penggunaan kedua macam sumber kekuasaan Nilai Rating 0 – 10 Tidak otoriter 11 – 20 Agak otoriter 21 – 30 Cukup otoriter 31 – 40 Sangat otoriter

4. DAFTAR TENTANG AKIBAT CARA BEREAKSI ORANG TUA TERHADAP ANAK MENGATUR, MENGARAHKAN, MEMERINTAH

Pesan-pesan ini menyatakan kepada anak bahwa perasaan-perasaan atau kebutuhan-kebutuhannya adalah tidak penting; ia harus menuruti perasaan atau kebutuhan orang tua. (“Saya tak peduli dengan apa yang mau kamu lakukan. Masuk ke rumah, saat ini juga”). Pesan-pesan ini juga mengkomunikasikan bahwa anak tidak diterima sebagaimana adanya pada saat itu. (“Berhentilah berputar-putar”). Pesan-pesan ini menghasilkan rasa takut terhadap kekuasaan yang dipunyai orang tua. Anak mendengar ancaman akan disakiti oleh seseorang yang lebih besar dan lebih kuat daripada dirinya. (“Pergi ke kamarmu – dan bila tidak kamu lakukan, lihat saja nanti”). Pesan-pesan ini mungkin membuat anak merasa tidak senang dan marah, sering kali menyebabkannya mengutarakan perasaan-perasaan bermusuhan, menunjukkan “kemarahan hebat”, melawan kembali, menolak menguji sampai di mana kekuatan orang tua. Pesan-pesan ini mengkomunikasikan kepada anak bahwa orang tua tidak mempercayai pendapat atau kemampuan anak.(“Jangan pegang piring itu”, “Jangan dekati adik kecilmu”). MEMPERINGATKAN, MEMARAHI, MENGANCAM

Pesan-pesan ini dapat membuat seorang anak merasa ketakutan dan taat. (“Kalau kamu lakukan itu, kamu akan menyesal”). Pesan-pesan ini juga bisa menimbulkan rasa tidak senang dan rasa bermusuhan seperti halnya dengan mengatur, mengarahkan, memerintah. (“Bila kamu tidak segera pergi tidur, kamu akan mendapatkan cubitan”). Pesan-pesan ini dapat mengkomunikasikan bahwa orang tua tidak menaruh hormat terhadap kebutuhan atau keinginan anak. (“Kalau kamu tidak berhenti memukul-mukul kaleng, saya akan jadi sangat marah”). Anak-anak kadang-kadang bereaksi terhadap peringatan dan ancaman dengan mengatakan,”Saya tak peduli apa yang terjadi, saya masih tetap merasa begini”. Pesan-pesan ini juga mengundang anak untuk menguji sampai di mana kebenaran ancaman orang tua. Anak-anak kadang-kadang tergoda untuk melakukan sesuatu yang sudah dilarang, hanya untuk melihat apakah konsekuensikonsekuensi yang dijanjikan orang tua memang benar-benar terjadi. MENGANJURKAN, MENGAJAR MORAL, BERKHOTBAH

Pesan-pesan semacam ini menunjukkan kepada anak kekuasaan otoritas dari luar serta kewajiban. Anak-anak mungkin bereaksi terhadap “keharusan”, “mesti”, “wajib” dengan menolak atau mempertahankan sikap mereka dengan lebih kuat. Pesan-pesan ini dapat membuat seorang anak merasa bahwa orang tua tidak mempercayai penilaian mereka – bahwa ia lebih baik menerima apa yang oleh “orang lain” dianggap benar. (“Seharusnya kamu melakukan hal yang benar”). Pesan-pesan ini dapat menimbulkan perasaan salah dalam diri anak bahwa ia “jahat”. (“Tidak seharusnya kamu berbuat begitu”). Pesan-pesan ini bisa membuat anak merasa bahwa orang tua tua tidak mempercayai kemampuannya untuk mengevaluasi validitas nilai-nilai atau pendapat-pendapat orang lain. (“Kamu harus selalu menghormati guru-gurumu”). MEMBERI NASIHAT, MEMBERI SARAN ATAU PEMECAHAN

Pesan-pesan semacam ini sering dirasakan oleh anak sebagai bukti bahwa orang tua tidak mempunyai kepercayaan terhadap penilaian atau kemampuan anak untuk mencari pemecahannya sendiri.

241

Pesan-pesan ini bisa mempengaruhi anak supaya tetap tergantung pada orang tua dan untuk berhenti berpikir bagi dirinya sendiri. (“Apa yang harus kulakukan, Pak?”). Kadang-kadang anak-anak sangat tidak menyenangi usul-usul atau nasihatnasihat orang tua. (“Biarlah saya memikirkannya sendiri”, “Saya tidak ingin diberi tahu apa yang harus saya kerjakan”). Nasihat kadang-kadang mengkomunikasikan sikap-sikap superior Anda kepada anak. (“Ibumu dan saya tahu apa yang terbaik”). Anak dapat pula merasakan inferioritas. (“Mengapa saya tidak berpikir begitu?”, “Ibu selalu tahu yang lebih baik”). Nasihat bisa membuat anak merasa bahwa orang tuanya sama sekali tidak memahaminya. (“Kamu tak akan mengusulkan itu kalau kamu benar-benar tahu apa yang saya rasakan”). Nasihat kadang-kadang berakibat anak memberikan semua waktunya untuk bereaksi terhadap usul orang tuanya sehingga ia tak punya waktu untuk memperkembangkan gagasannya sendiri. MENGULIAHI, MEMBERIKAN ARGUMEN LOGIS

Tindakan mencoba mengajar orang lain sering membuat si “siswa” merasa bahwa Anda membuatnya tampak rendah, bawahan atau tidak mampu. (“Kamu selalu berpikir bahwa kamu tahu segalanya”). Logika dan fakta sering membuat anak menjadi bertahan dan kurang senang. (“Kamu pikir saya tak tahu hal itu?”). Seperti halnya orang tua, anak-anak kurang suka kalau ditunjukkan bahwa mereka bersalah. Sebagai konsekuensinya, mereka mempertahankan posisi mereka sampai titik terakhir. (“Kamu salah, saya benar”, “Kamu tidak dapat meyakinkan saya”). Anak-anak umumnya membenci kuliah orang tua. (“Mereka terus dan terus bicara dan saya hanya harus tunduk mendengarkan”). Anak-anak sering mengambil cara-cara nekat untuk menolak fakta yang dikemukakan orang tua. (“Yah, kamu terlalu tua untuk tahu apa yang terjadi”, “Ideide Anda sudah kuno dan ketinggalan jaman”). Sering kali anak-anak sudah tahu benar fakta yang dipaksakan orang tua untuk diajarkan kepada mereka dan kurang senang terhadap implikasi dari hal ini, yaitu bahwa mereka tak tahu. (“Saya tahu semua itu, kamu tak usah mengatakannya kepadaku”). Kadang-kadang anak-anak memilih mengacuhkan fakta. (“Saya tak peduli”, “Lalu, kenapa?”, “Itu takkan terjadi padaku”). MENILAI, MENGRITIK, TAK SETUJU, MENYALAHKAN

Pesan-pesan semacam ini mungkin lebih daripada yang lain, membuat anak merasa tidak mampu, rendah, bodoh, tak berharga, jahat. Citra diri seorang anak dibentuk oleh penilaian orang tua. Bagaimana orang tua menilai anak, demikian pula anak menilai dirinya sendiri. (“Saya begitu sering mendengar kalau saya jahat, saya mulai juga merasa bahwa saya mestinya memang jahat”). Kritik negatif menimbulkan kritik balasan. (“Saya pernah melihatmu mengerjakan hal yang sama”, “Kamu sendiri tidak seperti itu”). Evaluasi sangat mempengaruhi anak untuk menyimpan sendiri atau menyembunyikan perasaan-perasaan mereka dari orang tuanya. (“Kalau kuceritakan pada mereka, mereka hanya akan mengritik saja”). Anak-anak, seperti halnya orang dewasa benci dinilai negatif. Mereka menjawab dengan sikap bertahan, hanya untuk melindungi citra diri mereka. Sering mereka menjadi marah dan merasakan kebencian terhadap orang tua yang menilai ini, bahkan bila penilaian ini benar.

242

Penilaian dan kritik yang terlalu sering membuat anak-anak tertentu merasa bahwa mereka bukan anak baik dan bahwa orang tua tidak mengasihi mereka. MEMUJI, SETUJU

Bertentangan dengan pendapat umum bahwa pujian membawa akibat baik terhadap anak, pujian sering kali menyebabkan akibat yang sangat negatif. Penilaian positif yang tidak sesuai dengan citra diri anak dapat menimbulkan sikap bermusuhan: “Saya tidak cantik, saya jelek”, “Saya benci rambut saya”, “Saya tidak bisa bermain dengan baik, saya brengsek”. Anak menyimpulkan bahwa kalau orang tua menilai positif, mereka lain kali juga bisa memberi penilaian negatif. Juga tidak adanya pujian dalam keluarga yang sering menggunakan pujian, dapat dianggap sebagai kritik oleh anak. (“Kamu tidak mengatakan sesuatu yang menyenangkan tentang rambut saya, berarti kamu tidak menyukainya”). Anak sering merasakan pujian sebagai alat manipulasi – suatu cara halus untuk mempengaruhi anak supaya mau mengerjakan apa yang dituntut oleh orang tuanya. (“Kamu mengatakan itu hanya supaya saya mau belajar lebih keras”). Anak-anak kadang-kadang menyimpulkan bahwa orang tua mereka tak memahami mereka bila memberikan pujian. (“Kamu tak akan mengatakan hal itu kalu kamu benar-benar tahu apa yang sebenarnya kurasakan”). Anak-anak sering merasa malu dan tidak enak bila diberi pujian, terutama bila di depan kawan-kawannya. (“Oh, Pak, itu sama sekali tidak benar”). Anak-anak yang terlalu banyak dipuji mungkin menggantungkan diri pada hal tersebut dan mungkin bahkan menuntutnya. (“Kamu tidak mengatakan apa-apa tentang prestasi saya membersihkan kamar”, “Bagaimana rupa aku, Bu?”, “Apakah saya bukan anak yang baik?”, “Apakah ini bukan gambar yang baik?”). MEMBERI JULUKAN, MENCEMOOHKAN, MEMBUAT MALU

Pesan-pesan semacam ini dapat membuat efek yang luar biasa terhadap citra diri seorang anak. Pesan-pesan ini dapat membuat seorang anak merasa tak berharga. Jahat dan tidak dicintai. Jawaban anak yang paling sering terhadap pesan-pesan semacam itu adalah memberikan jawaban yang sama kepada orang tuanya. (“Dan kamu ini, kamu mulut besar”, “Nah, coba, siapa yang mengatakan saya pemalas?”). Bila seorang anak menerima pesan semacam itu dari orang tua yang sedang mencoba mempengaruhinya, ia hampir tidak bisa berubah dan melihat dirinya dengan cara yang realistik. Sebagai gantinya ia akan melawan pesan yang dianggapnya tidak adil ini dan memanfaatkan dirinya sendiri. (“Saya tidak kelihatan murahan dengan cat mata yang ini. Sungguh menggelikan dan tak adil”). MEMBUAT INTERPRETASI, MEMBUAT ANALISIS, MEMBUAT DIAGNOSA

Pesan-pesan semacam ini mengkomunikasikan kepada anak bahwa oran tua telah dapat “menebak” dirinya, tahu apa yang menjadi motifnya, atau tahu mengapa dia bertingkah laku semacam itu. Orang tua yang mengadakan psikoanalisis semacam ini terhadap anak dapat menyebabkan anak merasa terancam dan frustasi. Bila analisis atau interpretasi orang tua ternyata tepat, anak mungkin merasa malu sudah dipamerkan semacam itu. (“Kamu tak punya pacar karena kamu terlalu pemalu”, “Kamu melalukan itu hanya untuk menarik perhatian”). Bila analisis atau interpretasi orang tua ternyata salah, seperti yang lebih sering terjadi, anak akan menjadi marah karena dituduh secara tidak adil. (“Saya tidak iri – sungguh menggelikan”). Anak-anak sering dapat menemukan sikap superior dalam tindakan orang tua. (“Kamu pikir, kamu tahu banyak?”). Orang tua yang sering menganalisis anak-

243

anaknya mengkomunikasikan kepada mereka bahwa orang tua merasa superior, lebih bijaksana, lebih pandai. Pesan-pesan “Saya tahu mengapa” dan “Saya dapat menebakmu” sering kali memotong komunikasi dari anak pada saat itu, dan mengajar anak untuk tidak membagi persoalan yang dipunyainya dengan orang tuanya. MENENTRAMKAN, MEMBERI SIMPATI, MENGHIBUR, MEMBERI SOKONGAN

Pesan-pesan itu tidak sangat menolong seperti yang diyakini oleh kebanyakan orang tua. Menentramkan seorang anak bila ia merasa terganggu oleh sesuatu, hanya akan meyakinkan anak ini bahwa Anda tidak memahami dirinya. (“Kamu tak bisa berkata begini kalau kamu benar-benar tahu betapa takutnya saya ini”). Orang tua menentramkan dan menghibur karena merasa kurang enak kalau anaknya merasa disakiti, bingung, kecil hati, dan yang sebangsanya. Pesan-pesan semacam ini mengatakan kepada anak bahwa Anda menginginkan supaya dia berhenti merasakan demikian. (“Jangan merasa sedih, keadaan akan menjadi baik”). Anak-anak bisa melihat usaha orang tua untuk menentramkan ini sebagai usaha untuk mengubah mereka dan sering kali tidak mempercayai orang tua ini. (“Kamu mengatakan itu hanya untuk membuat saya merasa lebih nyaman”). Tidak memperhitungkan atau atau menunjukkan simpati sering kali menghentikan komunikasi lebih lanjut karena anak merasa bahwa Anda menghendaki supaya dia berhenti merasakan apa yang dia rasakan. MENYELIDIKI, MENANYAI, MENGINTEROGASI

Mengajukan pertanyaan-pertanyaan buat anak dapat diartikan sebagai kurang percaya, curiga, atau meragukan. (“Apakah kau sudah mencuci tangan seperti yang saya suruh?”). Anak-anak juga bisa memandang pertanyaan-pertanyaan tertentu sebagai usaha orang tua supaya orang tua bisa menyalahkan dirinya. (“Berapa lama kamu belajar? Hanya satu jam. Nah, memang pantas kalau kamu hanya mendapat nilai ‘C’. Nilai ‘C’ berarti nilai ‘6’ atau ‘7’”). Anak sering merasa terancam oleh pertanyaan-pertanyaan, terutama bila mereka tidak paham apa maksud orang tua menanyainya. Perhatikan betapa seringnya anak berkata, “Mengapa kamu menanyakan itu?” atau “Apa maksudmu sebenarnya?” Apabila Anda menanyai seorang anak yang membagi persoalan dengan Anda, dia bisa curiga bahwa Anda sedang mengumpulkan data untuk membuat penyelesaian persoalan bagi dirinya, dan tidak akan membiarkannya untuk mencari penyelesaiannya sendiri. (“Kapan kamu mulai merasa seperti ini? Apakah ada hubungannya dengan sekolah? Bagaimana keadaan di sekolah?”). Anak-anak sering kali tidak menginginkan orang tua mereka menemukan jawaban bagi persoalan mereka: “Bila saya mengatakannya kepada orang tua saya, mereka akan mengatakan kepada saya apa yang harus saya lakukan”. Bila Anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada seseorang yang membagi persoalannya dengan Anda, tiap pertanyaan membatasi kebebasan individu ini untuk menceritakan apa yang dia inginkan – boleh dikata, tiap pertanyaan mendiktekan pesannya yang selanjutnya. Bila Anda bertanya, “Kapan kamu menyadari perasaan ini?”, Anda mengatakan kepada individe tersebut hanya untuk berbicara tentang mulai timbulnya perasaan tersebut dan tidak yang lainnya. Inilah sebabnya mengapa kalau ditanya-tanya oleh seorang ahli hukum dipengadilan, rasanya adalah sangat tidak nyaman – Anda merasa bahwa Anda menceritakan cerita Anda tepat seperti apa yang dituntut oleh pertanyaannya. Dengan demikian, menginterogasi bukanlah cara cara yang baik untuk mendorong

244

komunikasi dan kebebasannya.

orang

lain,

malah

sebaiknya

dapat

sangat

membatasi

MENARIK DIRI, MENGACAUKAN PERHATIAN, MEMBELOKKAN PERHATIAN, MELUCU

Pesan-pesan semacam ini dapat mengkomunikasikan kepada anak bahwa Anda tidak menaruh minat terhadap dirinya, tidak menghargai perasaanperasaannya, dan begitu saja menolaknya. Anak-anak biasanya sangat serius dan sungguh-sungguh bila mereka butuh mempercakapkan sesuatu. Bila Anda menjawab dengan melucu, Anda bisa membuat mereka sakit hati da ditolak. Mengacaukan perhatian anak atau membelokkan perasaan mereka, barangkali kelihatan berhasil untuk saat itu, tetapi perasaan orang tidak selalu mudah hilang. Sering kali muncul kembali. Penolakan yang ditinggalkan jarang merupakan persoalan yang terselesaikan. Anak-anak, seperti halnya orang dewasa, ingin untuk didengar dan dipahami dengan penuh hormat. Bila orang tuanya mengesampingkan mereka, mereka akan segera belajar untuk membawa persoalan-persoalan dan perasaan-perasaan mereka yang penting ke tempat lain.

245

Daftar Pustaka 1. Axline,Virginia M. Dibs: In Search of Self. New York: Ballatine Books, 1969. 2. Axline,Virginia M. Play Therapy. Boston: Houghton Mifflin, 1947. 3. Baruch, Dorothy W. New Ways in Discipline. New York: McGraw-Hill, 1949. 4. Bettelheim, Bruno. The Children of Dream. New York: Macmillan Co., 1969. 5. Briggs, Dorothy C. Your Child’s Self-Esteem. New York:Doubleday, 1970 6. Bronferbenner, Urie. Two Worlds of Childhood: U.S. and U.S.S.R. New York: Russel Sage Foundation, 1970. 7. Button, Alan DeWitt. The Authentic Child. New York: Random House, 1969. 8. Donovan, Frank R. Wild Kids. Harrisburg, Pennsylvania: Stackpole Books, 1967. 9. Dreikurs, Rudolph. Children: The Challenge. Des Moines, Iowa: Meredith Press (Duell, Sloan and Pearce), 1964. 10. Faber, Adele and Elaine Mazlish. Liberated Parents, Liberated Children. New York: Grosset and Dunlap, 1974. 11. Farson, Richard. Birthrights. New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1974. 12. Ginott, Haim G. Between Parent and Child. New York: Macmillan Co., 1965. 13. Ginott, Haim G. Between Parent and Teenager. New York: Macmillan Co., 1969. 14. Glasser, William. Schools Without Failure. New York: Harper and Row, 1969. 15. Gordon, Thomas. Group-Centered Leadership. Boston: Houghton Mifflin, 1953. (out of print) 16. Gordon, Thomas. Teacher Effectiveness Training. New York: Peter H. Wyden, Inc., 1975. 17. Holt, John. How Children Fail. New York: Dell Publishing Co., 1964. 18. Holt, John. The Underachieving Scholl. New York: Pitman Publishing Corp., 1969. 19. Hymes, James L. The Child Under Six. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1963. 20. Jourard, Sidney M. The Transparent Self. New York: D. Van Norstrand, 1964. 21. Katz, Robert L. Empathy. New York: The Free Press of Glencoe, Macmillan Co., 1963.

246

22. Missildine, W. Hugh. Your Inner Child of the Past. New York: Simon and Schuster, 1963. 23. Neill, A.S. Summerhill. New York: Hart Publishing Co., 1960. 24. Neill, A.S. Freedom-Not License. New York: Hart Publishing Co., 1966. 25. Putney, Shell, and Putney, Gail. The Adjusted American. New York: Harper, 1964. 26. Rogers, Carl R. Client-Centered Therapy. Boston: Houghton Mifflin, 1954. 27. Rogers, Carl R. On Becoming a Person. Boston: Houghton Mifflin, 1963. 28. Rogers, Carl R. Freedom to Learn. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill, 1969. 29. Spock, Benyamin. The Common Sense Book of Baby and Child Care. New York: Duell, Sloan and Pearce, 1957.

247

Indeks "aku percaya pada kaum muda", 234–35 "anti-kalah", metode pemecahan konflik, 9–10, 147–201 keenam langkah anti-kalah, 179– 84 kekhawatiran dan ketakutan orang tua, 164–78 keuntungan penerapannya, 151– 63 konflik antar-anak, 192–95 melaksanakan, 179–201 metode pembagian kertas untuk mulai, 214–16 "pesan aku", 84–101 masalah dengan, 99–101 menerapkan, 89–101 metode "antikalah", 183–85 nonverbal, bayi, 98–100 "pesan kamu", 84–86, 88 kemarahan dan, 92–95 terselubung, 89–90 Acton, Lord, 143 Adjusted American, The (Putney), 247 adu kekuatan, orang tua dan anak, 111–21 Authentic Child, The (Button), 246 Axline,Virginia M., 246 Baruch, Dorothy W., 246 bayi "pesan aku" nonverbal, 98–100 mendengar aktif, 69–74 berbicara, 75–88 Bettelheim, Bruno, 246 Between Parent and Child (Ginott), 246 Between Parent and Teenager (Ginott), 246 Briggs, Dorothy C., 246 Bronferbenner, Urie., 246 Button, Alan DeWitt., 246 Child Under Six, The (Hymes), 247 Children of Dream, The (Bettelheim), 246

Children: The Challenge (Dreikurs), 246 Client-Centered Therapy (Rogers), 247 Common Sense Book of Baby and Child Care, The (Spock), 247 diagram penerimaan, 12–17, 22–23 Dibs: In Search of Self (Axline), 246 Donovan, Frank R., 246 Dreikurs, Rudolph., 246 Empathy (Katz), 247 Faber, Adele and Elaine Mazlish, 246 Farson, Richard, 246 Freedom to Learn (Rogers), 247 Freedom-Not License (Neill), 247 Ginott, Haim G., 246 Glasser, William, 246 Gordon, Thomas, 247 Group-Centered Leadership (Gordon), 247 hadiah, ganjaran, 124–30 hak-hak asasi, 207–8 Heirens, William, 117 Holt, John, 247 How Children Fail (Holt), 247 hubungan seks sebelum perkawinan, 214 hukuman, 2, 8, 124–30 Hymes, James L., 247 Jourard, Sidney M., 247 Katz, Robert L., 247 kedisiplinan, 111 kekuasaan, orang tua, 122–46 keterbatasan, 126–30 pengaruh atas anak, 130–39 kemarahan, 92–95 kesenjangan generasi, 2, 7 ketidakkonsistensian, orang tua, 17 komunikasi cara yang efektif, 88 cara yang tidak efektif, 78–84 konflik memecahkan, 109–21 mencegah, 217–27

248

metode "anti-kalah", 147–201 konfrontasi dengan anak cara yang efektif, 84–88 cara yang tidak efektif, 78–82 konsultan, orang tua sebagai, 210–12 lingkungan anak yang lebih besar dan, 106–8 membatasi ruang geerak anak, 104 mempermiskin, 103 mempersiapkan anak mengalami perubahan, 105–6 mengubah, memperbaiki tingkah laku, 102–8 menyederhanakan, 103–4 tahan anak, 104–5 M.O.E. (Melatih Orang tua Efektif), 1–10 Maier, Norman, 141–42 membuka pintu, 37 mendengar aktif, 6, 37–74, 183–85 empati, 64–66 pasif, penerimaan ditunjuk dengan, 30–31 tanpa empati, 64–66 mendengar aktif, 6, 37–67 akibat, 45 bayi, 69–74 menggunakan ketrampilan, 46–67 metode keputusan "antikalah", 183–85 saat yang salah, 66–67 syarat-syarat, 44–45 menggantikan kegiatan, 105 mengubah diri sendiri, 217–27 merokok, 213 metode pembagian kertas pemecahan "anti-kalah", 214–16 Missildine, W. Hugh, 247

model, orang tua sebagai, 208–10 Neill, A.S., 247 New Ways in Discipline (Baruch), 246 nilai-nilai, 203–14, 221–22 On Becoming a Person (Rogers), 247 orang tua. lihat juga: kekuasaan, orang tua ketidakkonsistensi, 17 pengganti, 228–35 sebagai contoh, 208–10 sebagai konsultan, 210–12 sebagai pribadi, 11–23 ukuran psikologis, 122–26 pekerjaan rumah, 213 pemecahan masalah mendengar aktif, 37–67 metode "anti-kalah", 147–201 penerimaan bahasa, 24–45 diagram, 12–17, 22–23 mendengar pasif dan,, 30–31 menunjukkan, 27–28 orang tua, 12–23 palsu, 18–21 pesan verbal, 31–37 tanggapan verbal, 32–35 pengganti orang tua, 228–35 permisif, 5, 9, 18, 20, 21 pesan meremehkan, 82–84 pemecahan, 79–82 Play Therapy (Axline), 246 pribadi, orang tua sebagai, 11–23 prinsip partisipasi, 152 proses mengurai (decoding), 38 Putney, Gail, 247 Putney, Shell, 247 rambut gondrong, 203–7

249

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.