NEUROLINGUISTIK_NOVITA RAMADHANI Flipbook PDF


91 downloads 103 Views 874KB Size

Recommend Stories


Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF
Get Instant Access to eBook Empresas Headhunters Chile PDF at Our Huge Library EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF ==> Download: EMPRESAS HEADHUNTERS CHIL

Story Transcript

HIPOTESIS PERIODE KRITIS Menurut Kandel & Tauc (dalam Putri, 2020) otak manusia bukanlah organ yang berubah secara statis, melainkan dinamis dan berubah seiring berjalannya waktu dan hal itu telah dibuktikan secara ilmiah. Perubahan ini penting bagi perkembangan otak itu sendiri yang mana salah satu fungsi dari otak itu sendiri adalah pemerolehan bahasa pada tahap awal perkembangan manusia (masa kanak-kanak). Perubahan otak yang dinamis atau fleksibilitas otak ini dalam neurologi dikenal sebagai neuroplasticity. Beberapa ahli percaya bahwa keelastisan otak manusia ini akan berakhir dan bentuknya akan menetap pada saat telah melewati periode kritis, yang mana biasanya terjadi pada masa pubertas manusia. Periode kritis adalah periode dimana seorang manusia sangat sensitif terhadap stimuli lingkungan, biasanya terjadi pada sejak awal manusia itu dilahirkan hingga mereka pubertas. Periode kritis ini erat kaitannya dengan pemerolehan berbahasa seorang manusia. Jika selama periode ini manusia tidak mendapatkan stimulus untuk mempelajari bahasa dengan baik, maka kemampuan untuk berbahasanya kelak akan sulit, atau bahkan gagal (Putri, 2020). Para peneliti menjelaskan pemerolehan bahasa menggunakan istilah periode kritis (critical period) untuk memaparkan bagaimana seorang anak mampu menguasai dengan lebih “mudah” dibandingkan orang dewasa. Sejak tahun 1960- an istilah ini digunakan untuk menelaah fenomena ini. Istilah lain yang juga digunakan untuk menggambarkan keadaan itu ialah periode sensitif (sensitive period). Istilah ini mengacu pada pemerolehan bahasa dengan menekankan pada perkembangan alami dan bertahap. Meskipun demikian, istilah sensitif dan kritis masih digunakan secara bergantian oleh sejumlah peneliti. Kedua istilah ini dalam berbagai literatur tentang pemerolehan bahasa masih belum terlihat perbedaan yang jelas. Namun, istilah yang lebih sering digunakan ialah periode kritis daripada periode sensitif. Di dalam teori Psikolinguistik, hal tersebut dinamakan Critical Period Hypothesis (Hipotesis Periode Kritis), yang mana hipotesis ini digagas oleh Eric H. Lenneberg. Adanya hipotesis ini menjadi tantangan terhadap para ahli yang menganut teori behaviorist yang mana teori tersebut menyatakan bahwa perkembangan bahasa pada manusia lebih ditentukan oleh pembentukan lingkungan di sekitarnya. Namun hipotesis yang dikemukakan oleh Lenneberg ini lebih menekankan pada bagaimana peran kedewasaan pada manusia ketika mereka memperoleh kemampuan berbahasanya yang hubungan sangat terikat dengan waktu.

Sederhananya, hipotesis periode kritis adalah sebuah masa dimana seseorang dapat belajar sebuah bahasa namun masanya terbatas hanya sampai usia remaja (Putri, 2020). Ketika seseorang pada masa kanak-kanaknya mendapatkan stimulus berbahasa yang baik dan cukup, maka ia akan mampu mempelajari bahasa pertamanya dengan bagus. Tetapi jika pada masa itu ia belum atau tidak mendapatkan stimulus berbahasa yang baik dan cukup, dan masa periode kritisnya telah terlewati, diyakini bahwa ia akan mengalami kesulitan dalam mempelajari dan menguasai suatu bahasa (Putri, 2020). Hipotesis tentang periode kritis ini sejalan seperti yang telah dikemukakan oleh Chomsky (dalam Putri, 2020) bahwa manusia memiliki universal grammar yang merupakan sistem pengetahuan linguistik terstruktur yang sangat kaya. Sistem yang kaya ini dapat berkembang alamiah dan maksimal jika seseorang mendapatkan stimulus yang baik dan cukup pada masa kanak-kanak mereka, dan perlahan akan berkurang ketika mencapai periode tertentu. Dengan kata lain ketika seseorang mulai beranjak dewasa atau telah melewati periode kritisnya, maka pemerolehan bahasa yang ia dapatkan tidak secepat dan semaksimal ketika ia masih kanak-kanak (berada pada periode kritis). Menurut Moskovsky (dalam Putri, 2020) ada beberapa aspek yang mencolok dari periode kritis pada seseorang untuk mempelajari sebuah bahasa (bahasa pertama) antara lain pembelajar yang terlibat masih sangat muda dan belum berkembang secara kognitif, namun mereka telah mempelajari sistem komunikasi terstruktur yang sangat kaya dan sangat rumit, mereka mempelajari sistem ini dengan tidak adanya bukti yang cukup tentang sifat dasar sistem (bahasa) tersebut. Pada periode tersebut mereka dapat belajar bahasa manapun dengan tingkat kemampuan yang sama. American Sign Language (ASL) menemukan bahwa performansi berhubungan dengan kemunduran dengan usia pada awal penerimaan. Individu yang diarahkan melalui bahasa isyarat sejak lahir berbahasa lebih baik pada usia dari 4 hingga 6 tahun, kemudian berbahasa lebih baik setelah usia 12 tahun. Begitu juga dengan pembicara yang diarahkan pada bahasa Inggris Amerika sebagai bahasa kedua sebelum usia 7 tahun memperoleh kemampuan alami pada tes morfologi dan sintaksis, sedangkan penutur yang dirahkan setelah usia 7 tahun tidak mendapatkan kompetensi alaminya.

KEKIDALAN DAN KEKINANAN Otak manusia terbagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kiri dan kanan. Belahan otak kiri mengontrol fungsi berbahasa dan kemampuan-kemampuan verbal, seperti kemampuan berbicara, membaca serta menulis, terutama yang berkaitan dengan tata bahasa. Sementara belahan kanan berhubungan dengan kreativitas dan fungsi persepsi atau pengenalan dimensi ruang dan situasi. Kewaspadaan, perhatian serta konsentrasi juga berpusat di belahan otak kanan. Itu sebabnya kemampuan menyelesaikan jigsaw puzzle, membaca peta atau matematika berpusat di sini. Perbedaan fungsi otak kiri dan kanan ini di sebut juga dominansi otak dan proses ini berkaitan pula dengan kecenderungan kecekatan tangan seseorang atau handedness. Anak yang belahan otak kirinya berkembang lebih baik biasanya mempunya tangan kanan yang lebih cekatan, sementara anak kidal justru sebaliknya, tangan kirinya yang lebih cekatan. Kecekatan tangan anak mulai tampak pada usia 2-3 tahun dan menetap sekitar usia 6 tahun. Tidak semua anak kidal selalu menggunakan tangan kirinya. Ada anak-anak kidal yang juga terampil menggunakan tangan kanan yang disebut ambidextrous (serba cakap). Anak serba cakap lebih mudah diarahkan untuk berubah dari pada anak yang betul-betul kidal. Apalagi kekidalannya sudah menetap yang menyebabkan perubahan hanya akan membuat anak protes atau mengalami gangguan emosional. Akibat otak kanan lebih dominan, anak kidal juga biasanya punya daya khayal, kreativitas dan juga imajinasi yang tinggi, yang menjadikan mereka lebih kreatif dibandingkan dengan anak anak lainnya yang lebih dominan menggunakan tangan kanan untuk beraktivitas. Hal-hal tersebut adalah menjadi kelebihan anak kidal. Orang tua atau pendidik ada kecenderungan untuk memaksa anak-anak yang kidal sejak lahir untuk selalu menggunakan anggota tubuh sebelah kanan contoh pada kegiatan makan, minum, menulis dan kegiatan sehari-hari lainnya. Tindakan memaksa anak untu menggunakan tangan kanan ini dapat berefek pada gangguan bicara hingga kesulitan untuk belajar membaca (disleksia) pada anak yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santrok bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa orang kidal lebih cenderung memiliki masalah membaca.

OTAK PRIA DAN OTAK WANITA Dalam perspektif gender, neuroanatomi (struktur organ biologis) otak laki-laki dan perempuan tidak banyak berbeda, kecuali dua hal, yakni corpus callosum dan area brocawernicke. Dengan demikian, neuroanatomi otak laki-laki dan perempuan lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Perbedaan corpus callosum dan area broca-wernicke membawa konsekuensi fungsi otak laki-laki dalam berpikir. Berikut dikemukakan neuroanatomi otak, baik laki-laki mau pun perempuan secara umum, kemudian dikhususkan pada perbedaan pada dua hal tersebut, yakni Corpus callosum dan area broca-wernicke. Corpus collasum merupakan bagian otak yang bentuknya menyerupai pita tebal, letaknya di antara otak besar dan sistem limbik. Fungsi corpus collasum adalah menghubungkan otak kiri dan kanan dengan sistem limbik yang meregulasi emosi, sehingga otak dapat bekerja secara holistik. Keberadaan corpus callosum ini turut memperkuat kritik Hebb tentang oversimplivikasi otak kiri dan kanan. Corpus collasum menjadi jalur pita informasi dari hemisfer kiri dan kanan secara bolak-balik. Pikiran kritis, sistematis dan logis dari otak kiri akan di pertimbangkan aspek etika, estetika, dan holistikanya oleh otak kanan. Demikian pula sebaliknya, pikiran etis, estetis dan holistik dari otak kanan akan dicerna atau diurai secara kritis, sistematis dan logis oleh otak kiri. Corpus collasum pada perempuan lebih tebal daripada laki-laki. Konsekuensinya, perempuan dapat mengerjakan lebih banyak hal secara bersamaan daripada laki-laki. Sebaliknya, corpus callosum pada laki-laki yang lebih tipis daripada perempuan mengkondisikan laki-laki sulit melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan. Corpus collasum merupakan bagian dari limbik sistem yang justru terlihat aktif ketika istirahat, khususnya otak perempuan. Adapun pada otak laki-laki, aktivitas otak yang lebih aktif ketika istirahat adalah limbik temporal. Secara evolutif, corpus callosum merupakan perkembangan sistem limbik, sedangkan limbik temporal merupakan perkembangan otak kecil. Akan tetapi, keduanya (corpus callosum dan sistem limbik) sama-sama meregulasi ekspresi emosi. Secara fisiologis, corpus callosum lebih banyak meregulasi perilaku emosional, khususnya mengekspresikan sikap fleksibilitas, kerjasama, dan deteksi kesalahan

(introspektif). Gangguan pada corpus callosum dapat meng akibatkan letupan emosi yang kurang terkendali, seperti dendam ber kepanjangan, kompulsif, menyalahkan orang lain, atau sekadar marah seraya membelalakkan mata, dan ekspresi motorik lainnya. Penjelasan neuroanatomi dan neurofisiologi corpus callosum di atas relevan dengan penelitian Ratnasari yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara regulasi emosi pada laki-laki dan perempuan. Area broca merupakan bagian otak manusia yang terletak pada lobus prefrontal sebelah kiri. Area broca juga berdekatan dengan area wernicke yang secara umum hanya ada di hemisfer kiri. Area ini berfungsi meregulasi pemrosesan bahasa serta memahami aspek berbicara. Area broca dan wernicke dihubungkan oleh jalur saraf yang disebut. Organ biologis ini bertanggung jawab meregulasi bahasa dan pemahaman pembicaraan. Gangguan pada area broca dan wernicke dapat menyebabkan yang bersangkutan mengalami gangguan berbahasa, seperti gagap bicara atau gangguan lain yang sejenisnya. Namun demikian, Rutten mengktirik doktrin area broca dan wernicke ini karena beberapa kasus pasien yang mengalami gangguan broca masih bisa berbicara dengan lancar. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidak satu-satunya diregulasi area broca dan wernicke, melainkan diproses bagian otak yang lain ketika broca mengalami gangguan. Area broca pada perempuan lebih luas daripada laki-laki. Hal ini berimplikasi pada penguasaan bahasa dan pemahaman artikulasi kata lebih baik daripada laki-laki. Adi W Gunawan juga meyebutkan bahwa setiap hari (24 jam) laki-laki hanya memiliki cadangan kata sebanyak 12.000 kata, sedangkan perempuan memiliki lebih dari 25.000 kata. Oleh karena itu “label” cerewet atau banyak bicara lebih banyak disandang perempuan daripada laki-laki. Awuy (dalam Syanurdin, 2016) meyebutkan Paul Broca, ilmuwan Prancis mengklaim adanya ”medan broca” pada otak tempat produksi bahasa-ujar, juga menyatakan bahwa otak pria lebih besar, mempuyai fungsi lebih baik, lebih cerdas, dan memiliki kelebihan lainnya bila dibandingkan dengan otak wanita. Temuan ini kemudian dijadikan dasar atau pegangan para ahli dalam berbagai bidang untuk memperlakukan wanita berbeda dengan pria. Majalah Femina edisi bulan juni 1999 menurunkan artikel yang berjudul ”Otak Kita, Keunggulan Kita,” dan yang dimaksud dengan kita di sini adalah wanita. Dalam tulisan itu diakui memang ukuran otak pria lebih besar antara 10-15% daripada otak wanita. Konon

karena lebih besar inilah, otak pria dikira lebih unggul. Padahal temuan mutakhir di bidang neurologi menegaskan bahwa dalam beberapa hal otak wanita lebih unggul. Telah dibuktikan bahwa otak wanita berfungsi secara berbeda dengan otak pria dan dalam beberapa hal perbedaan itu membuat wanita lebih unggul. Berikut beberapa keunggulan otak lebih seimbang adalah sebagai berikut. 1. Otak Wanita Lebih Seimbang Asumsi adanya perbedaan cara kerja otak pria dan wanita itu terutama dilakukan oleh perbedaan kapadatan sel-sel saraf atau neuron pada suatu daerah di otak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lepas dari soal ukuran, daerah tertentu otak wanita lebih kaya akan neuron dibandingkan dengan otak pria. Perlu dicatat makin banyak jumlah neuron di suatu daerah, makin kuat fungsi otak di sana. Umpamanya, kesan ”cerewet” (dalam arti positif) yang melekat pada wanita, dalam arti memiliki kemampuan verbal yang tinggi, ternyata dapat dilacak dengan ke otaknya. Daerah otak wanita yang mengurus kemampuan kognitif tingkat tinggi (antara lain kemampuan berbahasa) lebih banyak neuronya dibandingkan dengan daerah yang sama pada otak pria. Selain dari itu, kalau anak perempuan lebih cepat pandai bicara, membaca, dan jarang mengalami gangguan belajar bila dibandingkan dengan anak laki-laki, para ahli memperkirakan ada kaitannya dengan kemampuan wanita menggunakan kedua belah hemisfernya (kiria dan kanan) ketika membaca atau melakukan kegiatan verbal lainnya. Sedangkan pria hanya menggunakan salah satu hemisfernya ( biasanya sebelah kiri). Penggunaan otak kiri dan kanan secara serentak membuat wanita dewasa lebih lincah dalam soal verbal dibandingkan dengan pria. Di dalam tes terbukti dalam waktu yang sama wanita dapat menyebutkan lebih banyak dari suatu huruf serta jauh berbeda cepat dalam mengingat huruf-huruf dibandingkan dengan pria. Begitu juga, bila wanita terserang stroke atau cedera otak kemampuan berbahasanya tidak terlalu terganggu, kalaupun terganggu akan lebih cepat pulih dibandingkan dengan pria. Menurut Mark George M.D, ahli neurologi Medical University South Caroline, Amereka Serikat, apapun yang dilakukan wanita bagian otaknya yang bekerja selalu lebih luas dibandingkan dengan pria. Para peneliti menyimpulkan bahwa wanita memiliki kemampuan memadukan banyak aspek kognitif dalam

berpikir. Bukan hanya rasio, tetapi emosi dan instingnya juga terlibat. Ada yang menyatakan kemampuan ini sebagai intelegensi emosional, atau juga intuisi wanita, meskipun kesimpulan ini masih kontroversial. Kemampuan intuitif ini sepintas tampaknya membuat wanita tidak tegas dalam membuat keputusan. Namun, sebenarnya dia lebih peka dan bisa melihat hal-hal yang tidak tampak oleh pria. Umpanya, wanitalah yang lebih dahulu mendeteksi anak yang sedang menyembunyikan kemurungannya, teman kantor yang sedang punya masalah atau suami yang sedang gelisah, meskipun yang bersangkutan berpura-pura tidak terjadi apapun. Jadi, dengan adanya ”kerja sama” emosi, rasio, dan intuisi menyebabkan wanita tidak melihat segala sesuatu secara apa adanya seperti yang dilakukan pria. 2. Otak Wanita Lebih Tajam Menurut Thomas Crook dan sejumlah ahli (Femina, 17-23 Juni 1999), setelah melakukan pengujian indra, bahwa penglihatan lebih tajam daripada pria, meski diakui bahwa lebih banyak wanita yang lebih dulu memerlukan bantuan kecamata daripada pria. Penglihatan wanita mulai menurun sejak memasuki usia 35 sampai 44 tahun, sedangkan pria mulai 45 sampai 54 tahun. Pria juga relatif tidak tahan terhadap sinar terang. Begitu juga pendengaran wanita lebih tajam daripada pria. Pendengaran wanita selain lebih tajam, juga bisa mendengar lebih banyak ragam bunyi daripada pria. Pendengaran wanita baru mulai berkurang menjelang usia 60-an, sedangkan pria sudah mulai berkurang menjelang usia 50-an. Thomas Crook juga menyimpulkan bahwa ingatan pria kurang tajam bila dibandingkan dengan ingatan wanita. Setelah meneliti dan mengetes lebih dari 50.000 wanita dari berbagai negara bagian Amereka Serikat, Thomas Crook menemukan bukti bahwa wanita lebih banyak mengingat detail, asosiasi, dan pengalaman pribadinya bila dibandingkan dengan pria. Baik wanita maupun pria sama-sama akan mengalami penurunan daya ingat sesuai dengan pertambahan usia. Namun, tampaknya daya ingat wanita akan kosakata dan nama jenis jauh lebih awet dibandingkan pria, karena otak wanita punya cara unik dalam menyimpan informasi ke dalam bank memorinya, yakni dengan cara menyangkutkannya pada daerah emosi. Menurut Thomas Crook wanita lebih banyak menggunakan hemisfer kanannya (yang memproses emosi), maka mengaitkan data ke wilayah memori itu sudah dilakukannya secara otomatis.

Ketajaman otak wanita bukan hanya pada indranya, tetapi juga pada perasaannya.

Hal

ini

terbukti

ketika

diminta

mengenang

pengalaman

emosionalnya dengan bantuan MRI, tampak wanita lebih responsif daripada pria. Hal ini terdeteksi pada perbedaan bagian menyala yang lebih luas pada daerah neuron yang mengaktifkan perasaan malankolis itu. Ini juga menjadi bukti mengapa wanita lebih banyak menderita depresi daripada pria. 3. Wanita Lebih Awet dan Selektif Dalam jurnal kedokteran Archieves of Neurology terbitan tahun 1998 (Femina, Juni 1999) diungkapkan bahwa temuan otak pria mengerut lebih cepat daripada otak wanita. Menurut Ruben Gur, yang meneliti sendiri cara kerja otak pria dan wanita dari berbagai usia. Jaringan otak pria menyusut tiga kali lebih cepat daripada otak wanita. Ketika sama-sama muda memang otak pria lebih besar daripada otak wanita, tetapi ketika keduanya mencapai usia 40 tahun, otak pria menyusut (terutama di bagian depan) sehingga besarnya sama dengan otak wanita. Bagian-bagian lain pun menurut Roben menyusut dengan cepat. Penyusutan ini membawa akibat perubahan yang nyata. Penyusutan otak pria ini, menurut temuan Ruben, berkaitan dengan efiseinsi pemakaian energi. Otak wanita memiliki kemampuan untuk menyesuaikan metabolisme otak semakin boros energi dengan bertambahnya usia. Wanita meskipun juga mengalami penyusutan jaringan secara menyeluruh ketika bertambah tua tubuhnya punya kecenderungan untuk menghemat apa yang ada, termasuk otaknya. Ini pula, menurut Ruben yang membuat harapan hidup wanita rata-rata lebih panjang daripada pria. Namun, lebih awet, belum tentu juga selalu lebih kuat karena wanita tua lebih rentan terhadap penyakit Alzheimer tiga kali lipat dibandingkan dengan pria. Para peneliti mengaitkan kerentanan ini dengan turunnya hormon estrogen pada wanita berusia lebih lanjut. Temuan lain adalah pada waktu rileks ada perbedaan dalam sistem limbik yang mengelola keseluruhan emosi. Rileks pada pria sama dengan mematikan kerja bagian reptilian brain yang memicu ekspresi emosi primitif berupa agresi dan kekerasan. Sedangkan pada wanita rileks sama dengan mematikan bagian yang disebut cingulate gyrus, yaitu bagian yang mengendalikan ekspresi simbolis, seperti gerak-gerik dan kata-kata. Dengan kata lain, dalam keadaan aktif pria cenderung ke arah agresi dan gerak fisik, sedangkan wanita bila sedang aktif lebih

ke arah yang lebih beradab, yaitu bergerak dan berbicara. Maka tidak usah heran bila dalam keadaan ekstrem, misalnya marah, pria lebih suka berkelahi daripada bertengkar. Sebaliknya, wanita lebih siap bertengkar dengan kata-kata.

BAHASA SINYAL Selanjutnya orang yang tidak dapat berkomunikasi melalui lisan, mereka dapat menggunakan bahasa sinyal (sign languange). Bahasa sinyal ini menggunakan tangan dan jari-jari untuk membentuk kata dan kalimat. Bahasa sinyal ini tepatnya digunakan oleh orang tuna rungu. Bahasa ini ada berbagai macam, misalnya Bahasa Sinyal Amerika dan Bahasa Sinyal Inggris (Soenjono Dardjowidjojo, 2012:207). Akan tetapi orang yang tuna rungu hemisfir kirinya kena stroke ternyata juga mengalami gangguan bahasa sama seperti yang dialami oleh penderita afasia Broka atau Wernicke manusia normal. Manusia yang menderita afasia Broca akan kesulitan dalam mensinyalkan apa yang ingin dinyatakan. Mungkin bisa dalam mensinyalkan kata, tetapi untuk gramatikalnya kacau. Begitu juga bagi orang tuna rungu yang daerah Wernickenya terserang, mereka dapat memberikan sinyal dengan lancar tetapi maknanya tidak karuan. Gerakan tangan atau jarinya menghasilkan kata-kata namun tidak selaras dengan maknanya. Fakta lain menunjukkan untuk pengguna bahasa sinyal yang mengalami kerusakan hemisfir kanannya, ia tidak ada gangguan dalam bersinyal. Bentuk tata bahasanya masih utuh dan tidak terbata-bata. Jenis-Jenis bahasa sinyal anatara lain, yaitu bahasa isyarat baku (contohnya: bahasa isyarat Amerika) bahasa isyarat lokal atau daerah bahasa isyarat internasional (contohnya: Gestuno). Adapun fungsi bahasa sinyal sebagai pengganti bahasa lisan pada individu tunarungu atau dengan gangguan pendengaran, sebagai alat komunikasi yang dapat digunakan di tempat atau situasi di mana bahasa lisan tidak dapat digunakan (misalnya saat di tempat umum yang ramai atau saat dalam ruangan yang tenang), dan sebagai alat ekspresi emosi atau perasaan. Proses Pengolahan Bahasa Sinyal dalam otak penelitian menggunakan teknik neuroimaging (misalnya MRI atau EEG) telah membantu memahami bagaimana otak memproses bahasa sinyal beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak memproses bahasa sinyal pada area yang sama dengan pemrosesan bahasa lisan, meskipun ada beberapa perbedaan dalam cara pengolahan informasi.

METODE PENELITIAN OTAK Metode penelitian otak dalam psikolinguistik merupakan cara untuk mempelajari hubungan antara bahasa dan aktivitas otak yang terjadi saat bahasa diproses. Berikut ini adalah beberapa metode penelitian otak psikolinguistik yang sering digunakan: 1. Elektroensefalogram (EEG) Metode EEG mengukur aktivitas listrik yang dihasilkan oleh otak dengan menempatkan elektroda pada kulit kepala. Dengan metode ini, para peneliti dapat mempelajari bagaimana otak bereaksi terhadap rangsangan bahasa, seperti katakata atau frasa. 2. Pemindaian fungsional magnetik (fMRI) Metode fMRI menggunakan medan magnet untuk mengukur aliran darah di otak saat individu mengalami rangsangan bahasa. Dengan metode ini, para peneliti dapat mempelajari area otak mana yang terlibat dalam pemrosesan bahasa dan bagaimana area tersebut berinteraksi satu sama lain. 3. Pemindaian positron (PET) Metode PET juga mengukur aliran darah di otak saat individu mengalami rangsangan bahasa. Metode ini memungkinkan para peneliti untuk mempelajari area mana yang aktif saat individu menggunakan bahasa dan bagaimana aktivitas tersebut berubah seiring waktu. 4. Lesi otak Metode ini melibatkan studi pasien dengan kerusakan pada area tertentu di otak. Para peneliti dapat mempelajari dampak kerusakan tersebut pada kemampuan individu untuk memproses bahasa. 5. Stimulasi magnetik transkranial (TMS) Metode TMS mengirimkan pulsa magnetik ke otak untuk mempengaruhi aktivitas neuron tertentu. Dengan metode ini, para peneliti dapat mempelajari bagaimana area tertentu di otak berkontribusi pada pemrosesan bahasa. 6. Analisis spektrum gelombang otak Metode ini mencatat aktivitas gelombang otak dalam berbagai frekuensi. Para peneliti dapat mempelajari bagaimana pola aktivitas ini berubah seiring waktu saat individu memproses bahasa.

DAFTAR PUSTAKA Anisah, Zulfatun. 2019. Relevansi Operasional Bahasa dengan Otak Manusia. Stilistika. 12(2), 187-196. Aulina, C N. 2017. Metodologi Pengembangan Motorik Halus Anak Usia Dini. Sidoarjo: UMSIDA Press. Putri, T A. 2020. Korelasi antara Periodee Kritis dan Pemerolehan Bahasa. CaLLs. 6(2), 279286. Suhartono. dkk. 2010. Psikolinguistik. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Suyadi. 2018. Diferensiasi Otak Laki-Laki dan Perempuan Guru Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Nyai Ahmad Dahlan Yogyakarta: Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini Perspektif Gender dan Neurosains. Sawwa Jurnal Studi Gender. 13(2), 179-202. Syanurdin. 2016. Pendidikan Berbasis Jender. Jurnal Georafflesia. 1(2), 1-15.

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.