pdf_20230202_063251_0000 Flipbook PDF

pdf_20230202_063251_0000

79 downloads 98 Views 399KB Size

Recommend Stories


Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF
Get Instant Access to eBook Empresas Headhunters Chile PDF at Our Huge Library EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF ==> Download: EMPRESAS HEADHUNTERS CHIL

Story Transcript

WRIT T EN BY

FINALA

Kamar yang biasanya sepi dan hanya ada gue sebagai penghuni tetapnya, sedang kedatangan seorang tamu malam ini. Entah ada hujan badai apa sehingga membuat Chloe meminta gue untuk menginzinkan dia menginap di rumah; yang notabene dia paling anti menginap di rumah orang. “Ada apa nih? Tumben mau nginep.” Pertanyaan yang terlontar dari mulut gue hanya direspon cengiran oleh gadis rambut pendek yang tengah duduk di atas kasur dengan ponsel digenggaman. “Gue masih main, nih. Kalau lo ngantuk, lo boleh tidur duluan,” ujar gue tanpa melirik lagi ke arahnya dan fokus pada layar ponsel. “I can't sleep.” Terdengar gumaman setelah beberapa saat hening—gue pikir dia sudah tertidur.

“Why? Gue berisik, ya?” Gue yang masih sibuk dengan permainan di dalam ponsel, berusaha mencuri lirik ke arah Chloe. “I want to ask. Lo tiap malem begini?” Gue mengangkat alis dan menatap lekat ke dalam maniknya; guna mencari maksud dari pertanyaannya. “Iya, main game sampe tengah malem gini?” Gue tersenyum, “Ya, lumayan, buat ngeluapin capek seharian.” “What are you feeling right now?” Lagi-lagi gue dibuat mengeryit mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut kecilnya.

“Hah? I feel fun, happy.” Gue mengukir senyum di ujung bibir tepat setelah selesainya permainan gue di dalam ponsel. “Nope, you're not. Lo gak bisa boongin gue, Na. After you broke up with the last, you look like a mess.” Oke, gue tau ke arah mana obrolan selanjutnya. Lantas gue menutup ponsel gue dan beranjak untuk duduk di sebelahnya. “What do you mean? Don't I look so fine?” “Nope. Datang tiap pagi dalam keadaan mata sembab itu baik-baik aja?” “Hah, I'm not.” Gue masih berusaha mengelak. “Lo pikir bisa nutupin auranya pake make up juga?”

Dan seperdetik kemudian gue menghela napas kecil. Oke, oke, gue kalah. Kali ini gue gak bisa mengelak lagi. “Honestly, I still thinking about him.” “Do you still love him?” Gue menggeleng. “Nope. I just missing our memories.” Lalu menarik napas sebelum melanjutkan kalimat gue, “Kangen melakukan hal-hal yang udah menjadi kebiasaan kami selama ini.” “But, you look like still love him.” Lagi, gue memaksa kedua ujung bibir gue membentuk senyum untuk perempuan yang menyandang status sebagai sahabat gue ini. “Even though I still love him, I don't want to be with him again.”

“Why?” Kali ini gantian dia yang memasang mimik bingung dengan alis mengeryit. “Cause, we're done.” Dia masih memasang wajah yang sama, meminta penjelasan lebih dari jawaban singkat gue tadi. “Lo tau gak sih, novel yang indah itu, di mana si penulis tau kapan waktu yang tepat untuk mengakhiri ceritanya agar gak berbelit kayak sinetron,” jelas gue yang diakhiri dengan kekehan dari gue sendiri akibat kata sinetron yang diselipkan dalam penjelasan. “So, you both think this is the right time to end the relationship?” Gue mengangguk. “Cause, we're complicated.” Hening.

“Sejak awal, we already knew that one day we would end. Bahkan gue sering memikirkan, kami nanti bakal udahan karena apa.” Gadis itu menyimak setiap kalimat yang keluar dari mulut gue. “Actually, I felt unfair when we were in the last page of the novel. Bingung juga harus ngucapin apa pas berpisah, atau pasang raut wajah seperti apa ketika udahan.” “Then?” “Ya ... finally, we're done. Enough for us.” “How about him? He thinks the same?” Gue mengangkat bahu karena sedikit ragu. “We have talked about this, if we know that we often hurt each other. That's why, kami memutuskan untuk gak melanjutkan ini.”

“And, you still cry?” “I ... did,” jawab gue lirih dengan satu air mata yang menetes menelusuri bibir gue yang sedang membentuk senyuman. “I still thinking about him at 3am, and still crying.” Ini adalah kali pertama gue menceritakan perasaan gue ke orang lain, selain mantan gue itu. Chloe yang melihat air mata gue jatuh, langsung sigap mengambil kotak tisu yang berada di nakas sebelah kasur dan memberikannya ke gue. “Tapi, bukannya kalian masih kontakan dengan baik?” Gue mengangguk pelan, “Yap. We are still in good communication.”

“Kalau ada waktu, kami suka ngobrol how was our day, what we are going to do tomorrow, or about how we feel,” lanjut ucapan gue. Lalu mengusap lagi bekas air mata gue dengan tisu. “I have told to him, how hard it is without him, and I hope we're still together. But, till the end, I still thinking this is the best way for us.” Perempuan di hadapan gue berusaha meraih tangan gue ke dalam genggamannya. Gue tau, dia berusaha menyalurkan energi baiknya yang bahkan tidak banyak itu di tengah malam seperti ini. “And, he always said, it's normal to feel sad. Cause, in future, we can get through this.” Gue kembali mengukir senyum kalimat.

di akhir

“Don't worry, Chloe, I'm going to fine. Cuma lagi nikmatin pembiasaannya dengan slowly,” ucap gue dengan nada yang dibuat ceria agar sahabat gue ini tidak perlu terlalu khawatir. “So, is that the reason why you stay at my home?” Chloe kembali menunjukkan mendengar pertanyaan gue.

cengirannya

“Yap, mau ngasih bahu buat sahabat gue nangis soalnya,” candanya sembari menepuk bahunya seakan mengisyaratkan gue untuk bersandar. Gue menyambut tawaran bahunya dengan baik, dan langsung menjatuhkan kepala gue ke bahunya.

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.