Story Transcript
when you come, like
SERENDIPITY Sequel of Healing
Written by
Finala
Akhir pekan ini gue memutuskan menggunakannya untuk liburan. Lumayan, melepaskan penat yang sudah menumpuk di dalam kepala gue. Dan gue tidak sendiri. Yap, betul, masih dengan lelaki yang selama tujuh tahun ini selalu berhasil jadi obat buat luka gue. Sembari menunggu lelaki itu menjemput, gue duduk di teras rumah, menyandar pada punggung kursi sambil mendengarkan satu lagu yang akhir-akhir ini gue suka. Hingga akhirnya, gue terlarut dan mengenang semua kenangan gue bersama lelaki itu. Gue inget, bagaimana dia selalu ada ketika gue butuh apapun. Bahkan, ada di mana, dia yang cuek di depan orang, berani menunjukkan perhatiannya demi gak mau gue terluka. Ada juga saat-saat dia datang kembali setelah lebih dari setengah tahun kami tidak berhubungan. Kirakira saat gue tengah sakit karena kecapean, ditambah patah hati waktu itu.
"Ana," panggilnya dalam sebuah pesan. "Ana-nya lagi sakit," jawab gue waktu itu. "Sakit apa? Mau dijenguk gak?" Dan berakhir, dia datang dengan membawa hal yang gue suka dari dia, senyumnya. Pasti mikir, kok dia bisa tau ada sesuatu yang terjadi sama gue? Sini, gue ceritain lagi hal kebetulan (serem) lainnya. Tepat ketika gue mendapati layar ponsel gue mati dengan mesin ponsel masih menyala. Di situ gue panik tidak tau harus bagaimana. Bahkan tidak ada terpikirkan untuk meminta tolong ke dia. Tapi entah bagaimana, gue mendapatkan telepon masuk dari panggilan biasa yang tertulis jelas nama dia sebagai pemilik kontak. Padahal saat itu, kami tidak sedang berkomunikasi apa-apa. Tidak ada pesan yang harus dia balas, atau pesan penting dari dia yang belum gue balas. "Ana, gapapa?"
Jelas gue kaget. Bagaimana dia bisa tau kalau gue lagi gak baik-baik aja? Lantas, gue langsung teriak. "Agaaa, hp gue mati layarnya. Ini gimana dong? Gue ke rumah lo, ya." Dan itu hanya sebagian dari kebetulan (serem) dari dia, yang entah batin atau memang dia dukun? Bahkan pernah ada di mana gue lagi nangis sendirian karena (lagi-lagi) patah hati, dan ada telepon masuk dari dia. "Ana," panggilnya. Gue yang kala itu menjawab dengan nada suara yang berbeda dari biasanya, langsung dikenali oleh lelaki itu. "Lo lagi nangis, ya?" Lalu, gue mengusap air mata dan kembali mengatur nada suara gue.
Gue gak tau, gimana lelaki ini bisa kebetulan telepon, tepat di saat gue lagi menunjukkan sisi lebay gue dalam kisah percintaan. Kemudian yang terjadi, dia membawa gue keliling Jakarta dengan alasan menemani dia beli sesuatu. Padahal, dia bisa saja melakukan itu sendiri. Selagi gue melamun di teras, gue gak sadar kalau sudah ada motor terparkir di depan rumah, bersama pemiliknya; dia. "Dih, ngelamun aja," ucapnya setelah gue sadar dari lamunan dan beranjak ke arahnya. "Tebak, Ana mikirin apa?" Sembari naik ke atas motornya, gue berusaha membawa dia ke dalam obrolan. "Apa tuh?" "Mikirin Aga," jawab gue jujur. Namun, bukan Sagara namanya kalau langsung percaya.
"Paling lagi mikirin doi Ana, ya," ucapnya. "Doi Ana kan Aga." "Iya, doi yang kedua." Detik kemudian tawa gue lepas diikuti suara tawanya. Tidak ada yang aneh dari ucapan dia, karena dia memang terbiasa menemukan gue dalam kondisi sedang menjalin hubungan sama lelaki lain. Dan dia selalu memberi ruang untuk mengganggu gue dan hubungan gue ketika itu.
tidak
Tapi kali ini berbeda, gue yang memutuskan untuk duduk di kursi belakang sedang tak dimiliki siapasiapa, dan lagi-lagi dia memang sengaja hadir buat beri betadine untuk gue. Dan pantai lagi-lagi menjadi tempat pilihan kami untuk saling menyembuhkan. "Aga," panggil gue dengan nada lirih.
"Iya, Ana?" Dia mulai meraih tangan gue kedalam genggamannya. "Kayak gini aja, gapapa kan?" "Ya, gapapa. Kan Ana sering bilang kalau lebih baik kayak gini aja," jawabnya tanpa ragu. "Lagian kalau lebih, takut kalau putus gak bisa deket lagi kayak gini," lanjutnya. Dia sangat mengerti maksud gue tanpa perlu gue jelaskan berkal-kali. "Sakit tau, Ga, kalau putus tapi masih sayang tuh," ujar gue yang dibalas dengan semakin kuat genggaman tangannya. "Gak ngebayangin kalau kita putus, sakitnya kayak gimana," lanjut gue lagi. "Iya makanya, kita kayak gini aja, jadi gak pernah ada kata putus," jawabnya. Gue hanya mengangguk tanpa melirik ke arahnya.
Kalau kalian kira yang egois itu gue, kalian gak sepenuhnya benar. Karena apa yang ditakuti gue, tidak jauh berbeda sama apa yang Sagara takuti. Selagi kami berhubungan baik selama tujuh tahun ini, sudah banyak yang kami lakukan layaknya sepasang kekasih. Dan gue sangat menikmati kebersamaan kami selama ini. "Ana lagi butuh Aga buat nemenin Ana," ucap gue ketika kami sudah menemukan tempat untuk singgah. "Iya, kan Aga pasti nemenin Ana," jawabnya sembari mengeluarkan bungkus rokok. "Sampai Ana lupa sama orang itu," kali ini gue pelankan suara. Gue pikir dia tidak dengar. "Iya Ana, kayak biasa," dia dengar dan menjawabnya dengan suara pelan. Mungkin kalian bertanya-tanya, kok bisa gue berada di posisi rumit bersama lelaki ini? Sini gue kasih tau.
Selama tujuh tahun ini, bukan hanya gue yang memanfaatkan dia untuk kesembuhan luka gue, dia juga melakukannya. Gue adalah orang yang dia cari ketika dia sedang bertengkar dengan kekasihnya. Sekadar bercerita, hingga meluapkan perasaan sedih dan keselnya ke gue. Selain gue yang sering menyedot energi dia ketika gue terluka, gue juga pernah memberikan semua energi gue untuk dia agar dia tetap waras. Bahkan, gue ada di posisi paling sulit waktu itu. Gue harus melihat dia yang hancur berantakan karena memiliki hubungan yang toksik dengan pacarnya. Dan gak tau harus bersyukur atau kasihan ketika hubungan mereka berakhir. "Ana," sebuah panggilan menyadarkan gue dari lamunan gue lagi. "Cantik deh, liat tuh," ujarnya sembari menunjuk sunset di depan kami.
Lalu gue tersenyum. Ini jadi senyum terlega gue setelah beberapa hari ini dibuat sedih oleh kisah percintaan gue sendiri. Gue bersyukur karena tidak dibiarkan sendiri ketika terluka. Ada Sagara, iya, dia. "Ana, jangan galau-galau lagi, ya. Ada Aga kok di sini," ucapnya sebelum mentari benar-benar tenggelam. Gue gak membenarkan hubungan seperti ini, ada di mana gue sadar, kalau kami hanya berputar di lingkaran setan, dan ini salah. Tidak jarang juga gue berusaha memutus lingkaran setan ini dan mulai menjalani hidup tanpa bergantung ke dia. Tapi entah bagaimana, gue selalu saja menerima kehadirannya. Tidak, tidak. Karena yang sebenarnya terjadi, gue memang dan masih berharap dia selalu jadi obat ketika gue terluka.