PerangPadrii Flipbook PDF

PerangPadrii

16 downloads 123 Views 281KB Size

Recommend Stories


Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF
Get Instant Access to eBook Empresas Headhunters Chile PDF at Our Huge Library EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF ==> Download: EMPRESAS HEADHUNTERS CHIL

Story Transcript

QPerang Padri berlangsung di kawasan Kerajaan Pagaruyung atau daerah Minangkabau

(saat ini Sumatera Barat) dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini berawal dari pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat mengenai masalah penerapan ajaran Islam di Minangkabau. Kaum Padri yang terdiri dari sejumlah ulama menentang kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau terkecuali sirih, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Kaum Adat dan Kerajaan Pagaruyung yang telah memeluk Islam tidak secara serius meninggalkan kebiasaan tersebut sehingga memicu kemarahan Kaum Padri dan mengakibatkan peperangan pada tahun 1803.

Penyebab Perang Padri Perang Padri pada mulanya disebabkan adanya perbedaan prinsip mengenai ajaran agama antara

Kaum Padri dan kaum adat. Pertentangan terjadi karena kaum Padri atau kelompok ulama ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada di masyarakat Kaum Adat. Bermula dari kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (2005) karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan pembaruan Islam tersebut dikenal sebagai gerakan Padri karena mereka telah menunaikan ibadah haji di Makkah. Diketahui kebiasaan Kaum Adat dalam kesehariannya waktu itu dekat dengan judi, sabung ayam, minuman keras, tembakau, serta penggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan. Sebelum pertentangan ini terjadi, sudah terjadi perundingan antara Kaum Padri dengan Kaum Adat yang tidak menemukan kata sepakat. Sehingga meskipun Kaum Adat sudah pernah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut, namun nyatanya mereka masih tetap menjalankannya. Hal tersebut yang membuat Kaum Padri marah dan beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak

Kronologi Perang Padri Setelah Kaum Padri melakukan berbagai cara untuk mengajak masyarakat adat meninggalkan perbuatan maksiat dan mengikuti syariat Islam, meletuslah perang pada tahun 1803. Puncak perang saudara ini terjadi pada tahun 1815, di mana Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung sehingga pecah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan, dan Kaum Padri berhasil menekan kaum adat. Saat itu Kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun, atau lebih dikenal dengan sebutan Harimau nan Salapan. Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa Kaum Padri kepada kemenangan dalam perang ini. Namun kemudian pada tahun 1821 Kaum Adat yang terdesak meminta bantuan pada pemerintah Kolonial Belanda.

Dampak Perang Padri Kaum Padri adalah kelompok yang terdiri dari ulama-ulama yang baru tiba dari Timur Tengah dan bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam di tanah Minangkabau. Pasalnya, penerapan syariat Islam di wilayah tersebut dinilai bermasalah sehingga kaum Padri ingin menghapus unsur adat karena bertentangan dengan ajaran Islam. Visi yang dimiliki kaum Padri menciptakan sebuah gerakan yang disebut gerakan Wahabiah di Sumatera Barat. Beberapa kebiasaan yang bertentangan itu seperti judi, minuman keras, sabung ayam, padahal saat itu masyarakat adat disana sebagian besar memeluk Islam. Ketidaksesuaian ajaran Islam dengan adat masyarakat membuat kaum Padri kesal dan berujung timbulnya peperangan dengan cara keras yang disebut sebagai misi amar ma’ruf nahi mungkar. Pasukan Belanda Terlibat Perang Padri Kaum Adat yang semakin tersudutkan oleh karena serangan dari kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyung terpaksa meminta bantuan ke pemerintah kolonial Hindia Belanda yang kala itu masih menjajah wilayah Nusantara. Di tahun 1822, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Raff mengusir kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung. Raff juga mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar yang diberi nama Fort Van der Capellen. Pasukan Belanda terus bergerak namun dihadang laskar kaum Padri, meski akhirnya Belanda berhasil maju ke Luhak Agam. Di tahun yang sama, terjadi pertempuran Baso yang memakan banyak korban jiwa, salah satunya Kapten Goffinet dari pihak Belanda. Serangan kaum Padri membuat Belanda mundur ke Batusangkar. Meski setahun setelahnya, pihak Belanda kembali menyerang namun berakhir mundur. Akhirnya Belanda mengadakan gencatan senjata sambil menyusun strategi licik yang disebut Perjanjian Masang. Perang Padri selama masa gencatan senjata dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Ia mencoba membujuk kaum Adat untuk bersatu karena merasa lawan sebenarnya adalah pasukan Belanda. Akhirnya terjadi kesepakatan dan perdamaian yang mempersatukan kaum Padri dan kaum Adat untuk bersama melawan Belanda.

Sejarah Perang padri Di periode yang pertama, kaum Padri menyerang pos-pos Belanda dan melakukan pencegatan terhadap patroli-patroli mereka. Pada September 1821, pos-pos Belanda di Simawang, Soli Air dan Sipinang jadi sasaran penyerangan kaum Padri. Kala itu, dengan jumlah 20.000-25.000 pasukan, kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman menyerang Belanda di hutan sebelah timur Gurun. Pasukan Belanda yang hanya berjumlah 200 orang serdadu Eropa ditambah 10.000 pasukan kaum Adat melakukan perlawanan. Pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman cukup sulit dikalahkan, hingga akhirnya Belanda memutuskan untuk mengirimkan surat ajakan berdamai. Mengetahui taktik Belanda, Tuanku Pasaman tidak menanggapi ajakan Belanda dan terus menggencarkan perlawanan di berbagai tempat.

Perlawanan Pasukan Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol Pada tahun 1822, pasukan dari Tuanku Nan Renceh menyerang Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet dan meraih kemenangan. Belanda mulai menduduki daerah IV Koto pada Februari tahun 1824, tindakan ini menyulut kemarahan kaum Padri di Bonjol. Di bawah komando Peto Syarif atau yang lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol, kaum Padri melakukan penyerangan ke pos-pos Belanda di Saruaso. Memasuki tahun 1825, Belanda kembali mengajukan perjanjian damai. Perjanjian itu berisi bahwa Belanda mengakui kekuasaan tuanku-tuanku di Lintau, IV Koto, Telawas, dan Agam. Sayangnya, perjanjian tersebut mengecewakan kaum Adat. Mereka menganggap Belanda tidak menepati janji dan lebih mengutamakan kepentingan sendiri.

Nama Kelompok: Dimas Zaki R Fadhlan Eko Saputra M Rakha Jidane Setiawan

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.