Rembulan Tenggelam di Wajahmu Flipbook PDF

Ray adalah seorang laki-laki yang hidup di panti asuhan. Namun karena penjaga panti asuhan melakukan tindakan semena-men

6 downloads 105 Views 43MB Size

Story Transcript

41 R em lrulan T enggelam di W ajak-M u $► K arnaval M alam Takbiran MALAM terang. Langit bersih tak tersaput awan. Bintang gemintang tumpah mengukir angkasa, membentuk ribuan formasi menawan tak terlupakan. Angin malam membelai rambut. Lembut. Menyenangkan. Menelisik. Bernyanyi di sela-sela telinga. Gema takbir memenuhi jalanan. Malam ini, karnaval hari raya\ Kesenangan melingkupi kota kami. Beduk bertalutalu digebuk. Dalam irama rupa-rupa. Sedikit kasidahan. Menyerupai orkes melayu. Dangdut ada. Sedikit nge-rock juga ada. Bukjmkah ddak ada standar baku dalam urusan menabuh beduk takbiran? Bahkan di masjid sebelah rumah, menggunakan gaya jazz full-swing segala. Seperti halnya irama beduk, takbir pun dilafalkan berdasarkan versi masing-masing. Sesuai dengan logat muasal keturunan mereka. Kalau hendak mendengar aksen ketimuran dengarlah di masjid sana. Aksen kental daerah ke- - 7 -


■« Tere-Liye ^ baratan dengarlah di masjid sini. Langgam takbir pulau itu. Langgam takbir pulau ini. Apapun itu, semuanya sama. Malam kemenangan. Semua berlomba menggemakan nama besar Allah. Semua wajah mengekspresikan kebahagiaan. Mulut-mulut mendesah atau malah berteriak seperd anak-anak di masjid ujung gang yang berebut megaphone. Berguling-guling menyibak bahkan menyikut rekan sepantaran. Meneriakkan takbir dengan suara fals bin cempreng. Asyik sekali. Tidak penting keluh-protes telingatelinga yang mendengarkan. Dan tangan-tangan reflek mulai bekerja. Memukulmukul. Lihatlah orang-orang tua di panti jompo perempatan utama kota. Umurnya sih berbilang delapan-puluhan. Di malam ini mereka sepi. Tak ada sanak-famili mendatangi. Siapa yang peduli? Tapi tangan mereka mulai mengetukngetuk pelan dinding tanpa disadari, pinggiran ranjang, pegangan kursi rotan, meja jati atau entahlah dengan irama yang pernah mereka mainkan dulu. Irama waktu kanak-kanak sungguh membahagiakan. Berlari-lari takbir sambil memukul galon plastik. Ah, mereka sebentar lagi juga kembali kanak-kanak. Simaklah laki-laki yang duduk di sudut. Setahun terakhir kelakuannya sempurna sudah macam kanak-kanak. Mandi dimandikan. Makan disuapi. Dua kali sehari merengut kepada gadis-gadis perawat untuk urusan sepele. Mulai dari memaksa memakai rok dan gincu, hingga enggan buang air kalau tak diceboki. Simaklah, malam ini tangannya ter- - 8 -


kulum di mulut, tidak sibuk mengetuk seperti temannya. Dia lagi merajuk soal buka puasa tadi sore. Ingin makan sate kambing. Mana bolehlah. Mau ditaruh di mana penyakit darah-tinggi, jantung, asam urat, dan kolesterolnya. Aduh, meski sedang sebal, wajahnya tetap menyeringai bagai anak kecil dijanjikan baju baru lebaran. Maklum, hari-raya! Tidak. Kisah ini tidak akan membicarakan panti jompo. Malam ini kita akan membicarakan panti asuhan. Tempat anak-anak tidak beruntung ditampung. Cerita mengharukan ini toh juga bermula dari masa kanak-kanak. Masamasa (yang seharusnya) indah itu! Masa saat pemahaman hidup mulai dibentuk— Sepelemparan batu dari gedung panti jompo itu, berdiri seadanya sebuah panti asuhan. Masih satu yayasan, maka letaknya berdekatan. Rumah itu bercahaya, lazimnya sebuah rumah yang sedang menyambut hari raya. Tiga lampu teras dihidupkan semua. Tak apalah. Malam ini lupakan soal tarif listrik yang mencekik. Di dalam,'panti itu lebih ‘bercahaya’ lagi. Anak-anak panti berlarian riang sibuk memamerkan baju baru untuk shalat Id esok di lapangan dekat rumah. Televisi dihidupkan menyiarkan (akbir akbar dari halaman Istana Negara. Radio dinyalakan merelai acara yang sama. Pembawa acaranya bak komentator bola sibuk berkomentar tentang prosesi menabuh beduk oleh presiden sebentar lagi. Anakanak itu sih tidak peduli dengan tontonan, mereka sedang asyik saling jahil-menjawil. Sibuk dorong-mendorong. ^ R em bulan T enggelam di W ajah-M u » - 9 -


< lere-L iyc » Sambil mulut tak henti mengunyah, makanan kecil yang berserak di meja. Tertawa riang. Sayang, ketika malam ini, di ruang depan panti, di istana, di jalanan kota dan di seluruh bumi buncah oleh kegembiraan, lihadah kesedihan yang memancar di mata gadis kecil berumur enam tahun. Gadis kecil malang yang apa mau dibilang akan memegang semuxpenjelasan kisah ini. Namanya Putri. Ia sedang memeluk boneka beruang madu berwarna biru. Duduk di ayunan tua yang terbuat dari ban raksasa mobil Fuso. Berayun-ayun di bawah jambu biji halaman depan pand. Maju-mundur. Terhenti. Maju-mundur. Berderit. Ayunan itu amat berisik, mengingat enam bulan engselnya lupa diminyaki. Gadis kecil itu menatap kosong keramaian di hadapannya. Mata hijaunya redup menyimak orang-orang yang berlalu lalang, mobil-mobil bak terbuka yang sarat penumpang, rombongan demi rombongan karnaval. Jalanan yang sibuk. Putri mendesah ke langit-langit malam. Gadis kecil itu sedang sedih. Ia tidak tahu apa itu hari raya. Ia tidak mengerti ketika teman-temannya ramai bercerita tentang makan besar besok. Ramai berceloteh soal hadiah-hadiah yang banyak terkirimkan ke panti mereka seminggu terakhir. Berebut. Bertengkar. Putri justru sedih karena tidak paham apa itu hari raya? Putri rirtdu ayah-bunda. Itulah yang Putri paham. Itulah yang Putri mengerti. Tapi bagaimanalah ia akan bertemu dengan mereka kalau gadis kecil berkepang dua itu bahkan - 1 0 -


« R em bu lan T enggelam

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.