REURIT Flipbook PDF


20 downloads 97 Views 194KB Size

Recommend Stories


Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF
Get Instant Access to eBook Empresas Headhunters Chile PDF at Our Huge Library EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF ==> Download: EMPRESAS HEADHUNTERS CHIL

Story Transcript

Rewrite

Rewrite

novel

Dirsta Alifia

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Rewrite Copyright ©2016 Dirsta Alifia Editor: Pradita Seti Rahayu

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Diterbitkan pertama kali tahun 2016 oleh PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

716031827 ISBN: 978-602-02-9546-6

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Untuk Umi dan Ayah, Yang telah mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan

BAB 1 This wounds won’t seem to heal This pain is just to real There’s just too much that time cannot erase Evanescence - My Immortal

Saras Jika aku disuruh memilih kegiatan apa yang paling kubenci di dunia ini, aku akan menjawab dengan pasti: Menghadiri acara pernikahan. Bukan, bukan karena iri. Sama sekali bukan. Dulu sekali, sewaktu aku masih berusia belasan—terutama saat aku masih menjabat gelar sebagai mahasiswa—rasanya aku tak pernah merasa sebosan ini ketika menghadiri acara per­nikahan. Justru aku merasa sangat bahagia karena inilah kesempatanku—juga para penghuni kos lainnya—untuk mendapatkan makanan enak tanpa dipungut biaya sama sekali. Terutama ketika akhir bulan sudah datang. Kami akan datang ke acara pernikahan dengan senyum semringah dan semangat empat lima. Tapi, kali ini, duduk di salah satu kursi tamu hanya dengan membawa tas, bukannya anak atau pasangan seperti yang temantemanku lakukan, mau tak mau membuatku gerah sendiri. Bisa kutebak, setelah ini, seseorang pasti akan menanyakan hal yang sama, seperti yang biasa aku terima setiap kali aku menghadiri acara pernikahan sejak usiaku menginjak dua puluh tujuh, “Kapan nyusul?” Pertanyaan yang selalu kujawab dengan senyum yang ku­ manis-maniskan seraya berkata, “Doakan saya ya, Bu.” Atau jika kakak kelasku yang bertanya, aku tinggal mengganti nama subjeknya menjadi, “Doakan saja ya, Kak,” atau “Doakan saja ya, Mbak.” Mereka, para ibu-ibu itu tidak tahu saja bahwa jauh di dalam lubuk hatiku, aku juga meneriakkan pertanyaan yang sama untuk diriku sendiri. Kapan gue bisa nyusul mereka? Aku memang menyedihkan, bukan? 2

Terkadang, hidup itu unik, ya? Atau orang-orangnya saja yang terlalu unik? Entahlah. Aku hanya masih terheran-heran dengan diriku sendiri. Sudah tahu datang ke pernikahan itu bikin makan hati, tapi tetap saja didatangi. Sebenarnya, apa esensi dari menggelar pernikahan itu sen­ diri? Aku tak habis pikir dengan orang-orang yang merela­kan miliaran rupiah habis begitu saja untuk perhelatan sehari dua hari. Padahal, pasangan itu belum tentu akan sehidup semati. Aku sudah banyak menemukan pasangan yang bercerai hanya berselang lima tahun sejak hari pernikahan mereka, membuat miliaran rupiah yang telah mereka gelontorkan untuk acara pernikahan menjadi sia-sia belaka. Atau, apa sebenarnya tujuan orang-orang menghadiri acara per­nikahan? Sekadar memberi selamat pada kedua mempelai? Mendoakan agar keluarga kedua mempelai menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warrahmah? Atau hanya sekadar ingin pamer kekayaan dengan petentang-petenteng membawa clutch bertuliskan merek-merek ternama seperti Chanel, Gucci, dan Charles and Keith? Ketiganya merupakan jawaban yang tepat sih. Namun seper­ ti­nya, yang ketiga adalah jawaban yang paling tepat. Ha. Seems like I’ve heard that question before. Iya. Empat tahun yang lalu, di acara pernikahan Gita, sahabat baikku, aku ditunjuk sebagai salah satu pagar ayu—sebutan bagi orang yang bertugas untuk menyambut tamu. Melelahkan sekali menjadi pagar ayu. Aku harus selalu tersenyum dan berdiri sepanjang acara pernikahan dilaksanakan. Maka, ketika aku diperkenankan untuk beristirahat, langsung saja kugunakan kesempatan itu untuk menyantap makanan yang telah disediakan. Saat itu, urusan katering memang diserahkan padaku. Gita sama sekali tak peduli pada acara pernikahannya karena per­ 3

nikahan itu merupakan hasil perjodohan orangtuanya. Which is, ia harus putus dengan pacarnya saat itu. Mengingat semua makanan yang telah kupesan merupakan makanan kesukaanku, aku jadi bersemangat untuk segera mencicipi semua makanan yang ada. Para tamu undangan yang sedang ramai-ramainya membuat­ ku terpaksa harus mencari kursi kosong, bukannya berkumpul bersama teman-temanku sesama panitia. Aku lalu menemukan kursi kosong di samping seorang laki-laki yang tak kukenal. Ia sedang menunduk, asyik dengan Blackberry miliknya—ponsel yang sedang booming di kalangan anak muda waktu itu. “Permisi,” ujarku, berusaha untuk sopan. Tidak enak rasa­nya jika langsung menyelonong duduk di samping orang yang tak kukenal. “Di sini kosong?” “Oh, iya,” ujarnya sambil tersenyum ramah. “Duduk aja, Dik. Silakan.” Aku balas senyumnya, lalu duduk dan menyantap nasi goreng di piringku. Dia melanjutkan aktivitas-entah-apa-nya. Dari sekilas yang bisa kuintip—aku memiliki rasa penasaran yang sangat tinggi—sepertinya laki-laki itu sedang chatting menggunakan fitur BBM bersama salah seorang kawannya. Ketika aku baru saja menghabiskan nasi gorengku, ia menghela napas panjang sambil menggerutu tidak jelas. Sesekali, umpatan lolos dari mulutnya. Sepertinya seseorang yang sedang berkomunikasi dengannya itu membuat ia kesal. Jadi, karena rasa penasaranku yang sering timbul di saat yang tidak tepat, kuberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa?” Dia menoleh, agak terkejut dengan sikap sok-kenal-sok-dekatku. Aku juga salah. Siapa suruh sok-sok akrab dengan cowok yang jelas-jelas tak kukenal? Tapi begitu melihat dia tersenyum lagi, aku yakin dia tidak akan begitu saja tak mengacuhkanku. 4

“Ah, nggak. Ini ada teman yang ngajakin main futsal. Udah dibilang nggak bisa, tetap aja maksa,” jawabnya. “Maaf, kamu jadi terganggu, ya?” Aku menggeleng. “Nggak sama sekali. Lanjutkan aja.” Aku hendak beranjak untuk mengambil kudapan yang lain, tetapi kepala laki-laki itu sudah sempurna beralih dari Blackberry­­nya dan berbalik menghadapku. “Sendirian aja?” “Nggak. Sama teman-teman. Ini, aku jadi panitianya,” jawab­­ku sambil menunjuk kebaya yang sedang kupakai. Kebaya yang menjadi seragam bagi seluruh panitia dan keluarga dekat mempelai. “Kalau kamu? Sendirian aja?” “Bisa dibilang begitu.” Dahiku berkerut. “Maksudnya?” “Tadinya ke sini gara-gara nemenin Ibu. Tapi nggak tahu deh sekarang Ibu di mana. Paling lagi asyik ngobrol sama temantemannya yang lain.” Aku tertawa kecil, mengingat kebiasaan ibuku yang seperti­ nya sama dengan kebiasaan ibunya. Ketika aku diminta untuk menemani beliau ke acara-acara seperti pernikahan, aku kerap tidak diacuhkan begitu beliau sudah bertemu dengan temantemannya. “Kuliah di mana?” tanyanya tiba-tiba. Aku tersenyum kecut, sudah kebal ditanyai pertanyaan se­ macam itu. Dulu ketika aku masih kuliah, aku juga sering dikenali sebagai anak SMA. Orang-orang berkata bahwa itu adalah salah satu anugerah yang diberikan Tuhan padaku. Aku memiliki wajah baby face. Kupikir, itu hanya bagian dari akalakalan mereka saja untuk menghiburku. Lagi pula, memangnya ada baby yang punya jerawat di dahi?

5

Tetapi, akhirnya tetap saja kujawab pertanyaan dia. “Aku udah kerja.” “Whoa. Tapi kamu masih kayak anak kuliahan, lho. Sung­ guh.” “Yeah. I take that as a compliment.” Dia tertawa. Tawa paling menyenangkan yang pernah ku­ dengar selama dua puluh empat tahun aku hidup. Aku juga tidak tahu apa yang menyebabkan tawanya terdengar begitu berbeda. Yang jelas, aku menyukainya. Dari obrolan ringan kami berikutnya, dia memperkenalkan diri sebagai anak dari sahabat ibunya Gita. Namanya Gilang. Seorang pilot yang bekerja di maskapai penerbangan terbaik di Indonesia, yang membuatnya terpaksa—tetapi terkadang juga dengan senang hati—harus pergi ke luar kota. Bahkan, tak jarang ke luar negeri untuk mengantar para penumpang agar sampai di tempat tujuan dengan selamat. “Jadi, kamu orang Jawa?” tanya Gilang di tengah percakapan kami waktu itu. Aku mengangguk. “Secara teknis sih, iya. Papa orang Malang, Mama orang Solo,” jawabku. Lalu ketika aku melihat dia mulai membuka mulut untuk kembali bertanya, aku cepatcepat menambahkan, “Tapi aku nggak bisa bahasa Jawa. Jadi, jangan tanya-tanya aku tentang bahasa Jawa.” Gilang tertawa. “Aku juga keturunan Jawa dan nggak bisa bahasa Jawa.” “Sama dong.” “Tapi aku pengin belajar,” katanya, membuatku terkejut. Hari gini, di saat semua orang ribut ingin belajar bahasa Inggris atau bahasa internasional lain, laki-laki di depanku ini malah ingin mempelajari bahasa Jawa. “Serius kamu?” tanyaku tak percaya. 6

Tentang Penulis Dirsta Alifia, lahir pada tanggal 15 September 1998, saat ini sedang menikmati hari-harinya sebagai mahasiswi di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Rewrite adalah novel pertamanya yang ia harap dapat menginspirasi teman-teman sebayanya untuk terus berkarya. Kontak Dirsta melalui Wattpad dan Instagram di @dirstaalifia.

249

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.