Sesat_ebook Flipbook PDF


36 downloads 118 Views 3MB Size

Recommend Stories


Porque. PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial ::
Porque tu hogar empieza desde adentro. www.avilainteriores.com PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com Avila Interi

EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF
Get Instant Access to eBook Empresas Headhunters Chile PDF at Our Huge Library EMPRESAS HEADHUNTERS CHILE PDF ==> Download: EMPRESAS HEADHUNTERS CHIL

Story Transcript

Sulung Prasetyo

Sesat

1

Sesat

Sulung Prasetyo

SESAT Oleh : Sulung Prasetyo

2

Sulung Prasetyo

Sesat

Sesat Penulis: Sulung Prasetyo Penerbit: Lingkar Bumi Editor : Whenny Harimuljati Peta : Mapala UI Edisi : November 2022 ©Hak cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit. Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang HakCipta. 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). 3

Sesat

Sulung Prasetyo

Untuk rekan-rekan Edelweiss 804, Mapala UI, orang gila dan mayat di Pangrango. .

4

Sulung Prasetyo

Sesat

Peta jalur pendakian di Taman Nasjonal Gunung Gede dan Pangrango. (dok. Mapala UI)

1

Sesat

Sulung Prasetyo

HARI PERTAMA

1

Sulung Prasetyo

Sesat

I Basith terbangun dengan kuping masih berdenging. Cukup lama ia mengumpulkan nyawa dahulu. Sebelum akhirnya menyadari sedang berada didalam mobil. Ada dua orang duduk dibangku depan. Satu sedang menyetir, yang disebelahnya sedang mengobrol. Satu orang lain, duduk disamping Basith, terlihat sibuk melihat-lihat keluar mobil. Basith segera mengenali orang disampingnya. Riko, teman mendaki gunung, yang akhir-akhir ini makin kerap dilakukannya. Karena bosan, Riko memindahkan pandangan ke depan. Baru kemudian menyadari, kalau Basith sudah terbangun dari tidur. Ia kemudian melihat Basith dengan pandangan aneh. "Muka bantal", komentarnya sambil terkekeh. Basith melempar bantal yang menjadi sandaran pinggangnya. Tepat mengenai tangan Riko, yang refleks melindungi wajahnya. Kemudian tawanya terdengar lepas. Tawa itu yang membuat dua orang didepan mencari tahu. Yusuf, yang berada disamping pengendara, 2

Sesat

Sulung Prasetyo

segera menoleh kebelakang. Sementara Dodo, sang pengendara mobil hanya mengintip melalui spion tengah mobil. "Mat Pelor. Nempel dikit molor", tambah Dodo meneruskan canda. Setelah menyadari asal penyebab lemparan bantal. "Lapar nih. Bagi makanan dong", suara Basith pecah mengalihkan perhatian. "Bangun tidur makan. Enak sekali hidup kau Lhay", balas Riko dengan logat dibuat seperti orang batak. Tanpa menjawab, Basith mengambil bungkus snack didekat tuas persneling. "Jangan dihabiskan", sergah Dodo. "Bosan juga nih nyopir kalau makanan habis". Tak direspon juga oleh Basith, selain merogoh isi bungkusan snack. Meraup yang ada didalamnya dan menaruh keripik yang didapatkan genggaman ke dalam mulut. Tak lama terdengar suara mulut sibuk mengunyah. "Sudah sampai dimana nih?", tanya Basith sambil melayangkan pandangan mata keluar mobil. "Dekat pertigaan Taman Safari Cisarua", jawab Yusuf. 3

Sulung Prasetyo

Sesat

"Kenapa tidak lewat jalan alternatif? Dari tadi kena macet?" Basith mulai menyadari kenapa tubuhnya terasa panas dari tadi. Panas itu yang membuatnya terbangun. "Kau tidur saja dari tadi. Tak ada yang tahu jalur itu", rutuk Riko. "Sial", maki Basith. Matanya kemudian melihat ke jam tangannya. Pukul setengah sembilan pagi lebih sedikit. "Nanti sebelum masuk pertigaan Taman Safari, berhenti dulu sebentar. Sarapan dulu, sambil pesan nasi bungkus buat bekal dijalan", tambahnya. "Apa tidak kesiangan", Dodo menyahut, sambil membenarkan kacamata hitamnya. "Didi dan Diana sudah menunggu dititik awal pendakian Cisarua", papar Riko. "Telpon mereka. Bilang tunggu sebentar. Kita mendaki bersama", tukas Basith memberi perintah. "Terserah deh", jawab Yusuf mulai menelepon. "Ada kabar baru apa dari Jakarta?" tanya Basith lagi. "Ada pesan lagi dari korban yang hilang tadi malam. Mereka terjebak dilembah. Entah lembah yang mana. Yang jelas, hari ini juga operasi SAR dimulai". 4

Sesat

Sulung Prasetyo

II Langit berwarna kelabu, ketika roda mobil melindas rumput lapangan desa Cisarua. Dikejauhan terlihat dua puncak gunung, masih tersaput kabut. Dua puncak gunung Gede Pangrango, berselimut misterius. Angin sejuk melintas sebentar. Menyelusup masuk ke dalam telinga. Mengingatkan pada kebekuan, yang mulai menjalar. Pada jari-jari tangan dan permukaan kulit. Basith menggosok-gosok kedua telapak tangan. Berusaha mengusir dingin. Kemudian meniupkan udara dari mulutnya, ke dua telapak tangannya yang menyatu. "Semoga tak hujan hari ini", doa Basith. Matanya menerka melihat langit. Dua temannya tampak sedang sibuk mengeluarkan ransel dari dalam mobil. Sementara yang seorang lagi, sedang mengobrol dengan sepasang pria dan wanita dikejauhan. Itu Didi dan Diana yang memang benar telah lebih dulu tiba ditempat itu. Didi melambaikan tangan, ketika melihat Basith. Kemudian berteriak memanggil. "Ahoiii...tampaknya 5

ini

memang

peristiwa

Sulung Prasetyo

Sesat

penting. Sampai dedengkot pendaki gunung, harus turun tangan membantu menangani", ringis Didi, usai bersalaman dengan Basith. "Menurut wangsit, memang bakal ada kejadian hebat bakal terjadi. Jadi kalian berhati-hatilah", balas Basith mencoba bercanda. Mulanya Diana merasa aneh mendengar katakata Basith. Lalu kemudian tertawa kecil, setelah melihat raut muka Basith, yang menunjukan ketidakseriusan. "Apa kata orang-orang disekitar sini? Apa ada yang melihat pergerakan dua orang pendaki yang hilang itu?" suara Basith kembali terdengar. Menghilangkan aura canda, yang memang tak pada tempatnya. "Tak ada", Didi menjawab sambil menggelengkan kepala. "Tak ada orang yang melihat ada pendaki turun gunung lewat jalur ini dari semalam", tambahnya. "Tapi kau yakin mereka mau turun lewat jalur ini?" tanya Basith lagi. "Terakhir, rencana mereka sih seperti itu. Naik dari jalur Ciheulang, terus turun di Cisarua", papar Didi. 6

Sesat

Sulung Prasetyo

"Keponakanmu itu sudah sering mendaki gunung?" Basith mencoba mengingat jalur Ciheulang yang disebutkan. Kedua jalur rencana itu jelas bukan lintasan biasa bagi pendaki, yang baru bisa mendaki gunung. "Lagi doyan aja. Mau ngetest ilmu kali", jawab Didi sekenanya. "Kalau keponakanmu benar kecelakaan bagaimana?" Basith berkata mengingatkan Didi, agar tak meremehkan situasi dan kondisi. "Malas mikir yang tidak-tidak. Nanti malah benar kejadian. Mending dibawa ke yang positif. Biar hasilnya memuaskan", timpal Didi. Basith mengangkat bahu. Dalam hati membenarkan kata-kata lelaki dengan janggut tipis didepannya itu. Optimis lebih baik daripada pesimis. Diana kemudian menceritakan sedikit tentang ciri -ciri korban. Termasuk barang-barang terakhir yang mereka bawa. Lengkap dengan warna dan merk barang-barang tersebut. Semua ada dalam ketikan rapih diatas kertas. Termasuk didalamnya terlampir juga rencana perjalanan yang pernah diungkapkan oleh korban, kepada Didi. "Kalian tim pertama yang mendapatkan semua 7

Sulung Prasetyo

Sesat

berkas ini. Tolong perhatikan baik-baik, terutama daftar barang yang dibawa korban. Karena mungkin tercecer dijalur pendakian", saran Diana usai membagikan salinan kertas. "Malam ini sepertinya kritis buat mereka. Stok makanan mereka jelas sudah habis", suara Yusuf tiba-tiba menyeruak keluar. Ia kemudian merujuk pada daftar menu makanan yang dibawa korban. Daftar menu makanan yang sengaja ditinggalkan korban sebelum pergi, untuk diberikan ke Didi. "Tak perlu terlalu khawatir. Dua orang ini sebenarnya sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Cuma mungkin lagi apes saja. Tersasar didaerah asing", ujar Basith. "Kok bisa begitu?" tanya Didi? "Ini, semua daftar ini. Perlengkapan, menu dan rencana perjalanan. Kalau benar ditinggalkan mereka, berarti mereka bukan anak baru kemarin sore dalam mendaki gunung", analisa Basith. "Kira-kira apa yang membuat mereka mengirimkan kabar SOS?" balas Yusuf yang sedari tadi mengangguk-anggukan kepala, membenarkan analisa Basith. "Jelas, pasti ada masalah. Semoga kita tak terlalu 8

Sesat

Sulung Prasetyo

lambat untuk mengetahuinya", tukas Basith. Perbincangan mereka terhenti, karena Riko dan Dodo menghampiri. Sepertinya mereka sudah selesai menurunkan barang-barang yang diperlukan dari dalam mobil. Lalu turut memperhatikan isi lembaran-lembaran kertas, yang diberikan Diana. "Jadi bagaimana rencana kita?" Diana bertanya sambil menarik ke atas resleting jaketnya. Udara memang makin lama makin terasa dingin. "Rencana awal memulai pencarian dari jalur Cisarua sudah cukup bagus. Karena kalau mereka memang sesuai rencana, seharusnya kita bisa bertemu mereka dibagian jalur Cisarua ini", urai Basith. "Kalau mereka benar turun dijalur ini. Kalau tidak?" tanya Riko. "Yaa...kita runut lagi, menuju ke arah puncak. Mungkin masih tersisa, atau tercecer barang-barang mereka di jalur", balas Basith. "Tidak ingin mencari di jalur lain? Setahuku ada pertemuan dengan jalur Pasir Pangrango di atas, sebelum puncak", imbuh Didi mengingatkan. "Benar itu. Tambah ruwet", rutuk Riko. "Tenanglah, kita bagi orang saja", kali ini Dodo yang bersuara. "Yang jelas aku tak ikut naik ke atas. 9

Sulung Prasetyo

Sesat

Nanti siapa yang bawa mobil pulang?" ujarnya masuk akal. "Dari orang yang ada sih, paling bisa bikin dua tim. Itu juga kalau harus berpisah diatas", Basith menghitung-hitung personil. Didi mengangkat tangan. "Aku juga tak ikut naik. Harus ke kantor Balai Taman Nasional, mengurus proses rencana pencarian", terangnya. "Ya sudah, pas empat orang. Yusuf, Riko, Diana dan saya sendiri", ucap Basith. "Jaga terus komunikasi. Saya akan bantu pantau perkembangam berita, melalui pos induk yang seharusnya sudah berdiri siang ini", tukas Didi. Basith mengangguk. Kemudian melihat pada tiga orang calon rekan perjalanannya. Kesemuanya membalas pandangan itu, dengan kesan berbeda di mata masing-masing. Namun ada satu benang merah yang menghubungkan mereka bersama. Semangat menolong orang yang sedang dalam kesulitan.

10

Sesat

Sulung Prasetyo

III Basith mengenal jalur pendakian Cisarua, seperti halaman belakang rumah sendiri. Sudah berulang kali ia melewati jalur itu, meski tak banyak pendaki lain yang ingin melintasinya. Jalur lawas yang sudah lama ditinggalkan. Karena kebanyakan pendaki sekarang lebih senang melalui jalur pendakian Cibodas, yang memang lebih banyak menampilkan pemandangan indah. Bukannya jalur Cisarua tak punya pemandangan menarik. Tapi memang cenderung monoton, dengan irama terus mendaki hingga tiga perempat waktu perjalanan. Baru setelah itu menemukan pemandangan terbuka menakjubkan, menjelang puncak Pangrango. Karena harus melintasi igir punggungan Pasir Pangrango. Pemandangan yang semula tertutup hutan lebat, mendadak terbuka luas. Mengantarkan pandangan mata pada jalur bersisi jurang dikiri dan kanannya. Yang meliuk dan mendaki seperti punggung naga. Berujung pada puncak Pangrango, yang kerap tertutup kabut. "Kuharap kau masih ingat titik awal jalur pendakian Cisarua ini", suara Diana menyentak, membuyarkan pikiran-pikiran yang ada dikepala Basith tadi. 11

Sulung Prasetyo

Sesat

"Coba kau lihat peta ini", balas Basith sambil menyodorkan peta topografi ditangannya. Di peta satu garis stabilo berwarna terlihat meliuk-liuk, mengikuti jalur lintasan yang dipilih. Kebanyakan melintasi garis punggungan, sebelum akhirnya bertemu punggungan besar sebelum puncak Pangrango. "Yang sulit hanya diawalnya saja. Harus menemukan aliran sungai periodik ini. Baru setelahnya mencari punggungan ke arah utara", urai Basith. Diana memperhatikan peta itu. Matanya yang bulat kecil, lincah mengamati. Alisnya yang tebal kemudian agak menanjak, sebelum akhirnya bertanya, "Kira-kira sampai berapa lama kita bisa mencapai daerah pertemuan dengan punggungan besar Pasir Pangrango?". "Kalau jalan mendaki normal saja sih, paling empat atau lima jam sudah sampai. Tapi sekarang bisa jadi lebih lama, karena harus mengecek bagianbagian jalur, yang mungkin bisa membawa korban ke lembah", Basith menjawab dengan mengerutkan kening. "Apa kita harus menuruni lembah-lembah itu juga?" suara Yusuf terdengar memastikan. Kemudian menyodorkan gelas-gelas berisi kopi dan teh manis. 12

Sesat

Sulung Prasetyo

"Tergantung. Kalau memang mencurigakan, ya harus diperiksa", tandas Basith. "Wah kerja keras kita sepertinya hari ini", sahut Yusuf. "Kira-kira ada berapa area punggungan menuju lembah dipeta yang patut dicurigai?" tanyanya lagi. "Belum sempat kuhitung. Tidak terlalu penting juga. Nanti dilapangan semua bisa berbeda", ujar Basith sambil menghirup kopi. "Coba pelajari lagi semua. Ini data dari korban. Pelajari lagi, agar tak salah-salah duga dijalan", kali ini mulut ceriwis Diana yang akhirnya berbicara. Ia kemudian membagikan kembali beberapa lembar kertas. Diberikan juga kepada Riko yang baru bergabung. Dalam kertas itu berisikan data diri korban sebagai berikut: Nama : Samsu Fajri alias Ciblek Umur

: 27 tahun

Kelamin : Pria Tinggi : 170 cm Berat 13

: 60 kg

Sulung Prasetyo

Sesat

Warna kulit : Sawo matang Rambut

: Ikal keriting hitam

Ciri khusus

: Tahi lalat didekat ketiak

Sementara dari korban kedua terdapat data sebagai berikut. Nama

: Armando Tungga alias Ando

Umur

: 29 tahun

Kelamin

: Pria

Tinggi

: 172 cm

Berat

: 70 kg

Warna kulit : Sawo matang Rambut

: Lurus hitam

Ciri khusus

: Codet di pipi kiri

"Ingat nama-nama itu. Karena kita akan sesering mungkin meneriakan nama itu nanti, selama proses pencarian. Perhatikan juga ciri khusus, tinggi dan berat badan serta jenis rambut. Kalau menemukan seseorang diperjalanan, kita bisa langsung memastikan", tukas Basith tegas. 14

Sesat

Sulung Prasetyo

Riko mengangkat tangan, kemudian menanyakan rencana perjalanan pendakian yang akan dilakukan. Dijawab oleh Basith mengenai rencana yang tadi dibicarakan dengan Diana. "Apa tak ada rencana mencari ke arah punggungan Pasir Pangrango?" tanya Riko memastikan. "Kalau memang ada tanda ke arah sana, kita akan mencari ke arah Pasir Pangrango", jawab Basith. Kemudian Basith menepuk tangan. Memberi tanda agar tim pencari itu segera bersiap. Setelah memakai ransel masing-masing, Basith memberi tanda kepada Diana. Agar dia menghubungi Didi yang telah turun lebih dulu.

15

Sulung Prasetyo

Sesat

IV Awal perjalanan pendakian berupa ujung perkebunan teh sudah mereka lewati tadi. Sekarang mulai masuk batas hutan. Hawa basah lembab mulai terasa melingkupi. Mungkin karena mereka berjalan di jalur rintisan yang berada tak jauh dari aliran sungai. Arus sungai terdengar agak keras dibagian kanan bawah jalur jalan. Suara debur air pecah, menghantam batuan. Mereka terus melintas, melewati deretan pepohonan Honje. Basith teringat, pohon berbatang tipis itu memiliki rasa hangat seperti jahe, bila air rebusannya diminum. Setelah deretan Honje menghilang, berganti dengan rerumpunan bambu yang bertubuh kecil juga. Basith yang berjalan didepan berusaha mencari jalur diantara rumpunan bambu rapuh. Menembus seperti terowongan panjang. Sebelum akhirnya sampai dipuncak punggungan bukit. Jalur kembali terlihat jelas dipuncak punggungan itu. Meliuk-liuk namun tak terlalu curam. Baru setengah jam berjalan, nafas mulai terasa memburu. Bukan karena ransel yang mereka bawa. Lebih karena aura ketergesaan yang menaungi. Sedari tadi mereka tak berbicara sama sekali. Ter16

Sesat

Sulung Prasetyo

us berjalan mengejar target rumah kecil, penjaga pintu air. Riko sudah hampir mengangkat tangan. Ingin meminta waktu istirahat sebentar. Sesaat setelah ia merasa benar-benar ingin menyerah, teriakan Basith terdengar dari arah depan. "Cepat naik, rumah penjaga air sudah kelihatan", teriak Basith. Diana yang juga sempat berhenti jadi mendongak. Berdiri tegak lagi dan mulai melangkah. Yusuf mengikuti gerak maju Diana. Tapi Riko terlanjur berhenti dan duduk. Jadi dia diam saja dulu sebentar. Mengatur nafas. Rumah kecil penjaga pintu air terlihat tak terurus. Dinding kayunya banyak yang hilang. Menyisakan lantai berbahan semen yang kotor. Untungnya atap rumah kecil itu masih tersisa menutupi. Cukup untuk berlindung dibawahnya. Basith menaruh ransel disalah satu pojok rumah. Kemudian memandang berkeliling. Diana yang dilihatnya datang paling awal, dari arah jalur datang. Berjalan menjaga keseimbangan ditepi bak penampungan air, yang serupa septic tank berukuran besar. Saat Diana juga kemudian menaruh ransel, da17

Sulung Prasetyo

Sesat

tang Yusuf. Sambil menunggu Yusuf sampai, Basith melihat-lihat ke belakang rumah. Ia berniat menerka titik mulai pendakian berikutnya. Sebab bila ia salah menentukan jalur pendakian selanjutnya, bisa malah melenceng kemana-mana. Tak lucu kedengarannya, bila regu pencari malah tersesat kemana-mana. Dibelakang rumah tampak sungai kecil berair tenang. Seekor ular hitam sekilas terlihat bergerak cepat pergi, ketika Basith menginjak tepi sungai. Tak dihiraukan ular itu, kemudian kembali melayangkan mata. "Sudah kau temukan jalurnya?" suara Diana mengagetkan dari belakang. Basith menoleh sebelum menjawab. Kemudian mengeluarkan peta dari tas pinggangnya. Diamatinya peta itu, kemudian kembali melihat ke sekelilingnya. "Seharusnya dibelakang pohon rubuh itu", kata Basith sambil menunjuk ke arah pohon tumbang ditepi sungai seberang mereka. Akar besarnya tampak mencuat keluar tanah, meninggalkan banyak bekas tanah terbongkar dibawahnya. "Apa kau yakin? Seperti bukan jalur jalan disana", sanggah Diana kritis. Mungkin karena melihat akar 18

Sesat

Sulung Prasetyo

yang mencuat besar, berlumur lumpur kering. "Prosentasenya diatas 70 persen benar", jawab Basith sambil menunjukan sebuah area di peta. Diana memperhatikan area di peta yang ditunjukan Basith. Kemudian berusaha mencocokan dengan kondisi sekitar. Tidak mudah, karena mereka sekarang berada didaerah lembah. Sekitar mereka tampak tertutup pepohonan, sehingga sangat sulit menentukan titik ketinggian yang dapat dijadikan patokan. Hanya aliran sungai saja titik patokan yang paling jelas. Sementara daerah sekitarnya, hanya bisa menerka saja. "Setidaknya arah itu menuju puncak", kata Diana akhirnya. Berusaha menutupi kekurangannya dalam membaca situasi medan. "Itu juga yang kupikirkan. Sangat sulit sekali membaca medan disini", Basith berkata dengan nada yang lebih jujur, yang membuat Diana terkejut. Sebab ia tak bisa berbuat seperti yang dilakukan Basith. Berkata terlalu lugu, dan menunjukan ketidakmampuannya. Profil pemimpin yang aneh, pikir Diana. Tak menyalahkan, hanya cukup heran. Meski kemudian Diana berpikir, mungkin itulah kelebihan yang dimili19

Sulung Prasetyo

Sesat

ki Basith. Sehingga ia terpilih menjadi pemimpin yang dipercaya. Selain juga jam terbang pendakian gunung, yang memang tak diragukan lagi. "Hai, bagaimana sekarang?" teriak Yusuf dari balik rumah. Setelah beristirahat dan bertemu Riko yang baru tiba. Teriakan Yusuf membuyarkan pikiran-pikiran Diana tentang Basith. Membuat mereka berdua segera berbalik, menemui kedua rekan yang lain didalam rumah. "Aku dan Diana akan jalan lebih dulu. Membuka jalur yang sudah tertutup. Kalian bisa menyusul setelah cukup beristirahat disini", kata Basith. Tangannya kemudian mengeluarkan golok dari dalam ranselnya. "Kalian tak ingin ngopi dulu?" tanya Riko yang baru sampai. "Tak cukup banyak waktu untuk leyeh-leyeh. Kalian hubungi Didi lagi, sebelum berangkat nanti", Basith berkata dengan lugas. Kemudian mengangkat ransel, dan mulai bergerak mendahului. Diana mengikuti Basith tanpa banyak bertanya. Dalam hatinya membenarkan apa yang diucapkan Basith. Tiap detik berharga kini. 20

Sesat

Sulung Prasetyo

Setelah menyebrang sungai, Basith segera menuju ke arah pohon tumbang. Akar pohon yang mencuat keluar terasa besar, karena lebih tinggi dari tubuhnya. Basith mengitari sebentar akar pohon itu, kemudian menemukan celah untuk memanjat. Batang pohon rubuh itu, yang justru kemudian membantunya melewati halangan sebuah batu besar. Ketika ia bisa menginjak batu besar, tampak jalur pendakian dipunggungan, terbentang dihadapannya. Terbuka secara alami. Seperti memang sudah disediakan oleh alam. Sementara dirumah penjaga pintu air, Yusuf sibuk menghubungi Didi. "Gawat ini", kata Yusuf kepada Riko. "Korban mengirim SMS lagi. Mengabarkan kalau salah satu dari mereka jatuh sakit".

21

Sulung Prasetyo

Sesat

V "Cibleeekkkkk....Cibleeeekkkk". "Andooo....Andooo". Teriakan-teriakan memanggil nama korban terdengar bersahut-sahutan. Sambil terus berjalan mendaki, bergantian Yusuf, Diana, Riko dan Basith meneriakan nama-nama tersebut. Berharap kedua korban yang tersesat, mendengar teriakan itu, dan membalasnya. Tapi hanya ada senyap dikejauhan. Suara-suara panggilan itu menggema, kemudian hilang tertelan lembah. Tanpa ada balasan apapun. Sepertinya kedua pendaki tersesat itu, hilang lenyap ditelan bumi. Menjelang dua jam kini mereka sudah mendaki. Seperti kesetanan, menembus lebatnya hutan hujan tropis. Terus berjalan, menelusur jalur rintisan diantara pepohonan tinggi. Hanya sesekali mereka berhenti. Bila menemukan daerah-daerah mencurigakan yang mengarah ke lembah. Mengecek sebentar, dan kembali menemukan hasil yang mengecewakan. Pandangan makin terbatas, karena kabut mulai menebar. Meluas menutupi, membuat pohon22

Sesat

Sulung Prasetyo

pohon seperti bayang-bayang. Sebentar kemudian, gerimis kecil turun mendera. "Kita berhenti dulu sebentar. Buka fly sheet dan masak air panas", kata Basith. Yusuf segera menurunkan ransel. Mengambil fly sheet diranselnya, yang berupa lembaran persegi panjang berbahan parasut anti air. Membentangkannya, melewati atas sebuah batang pohon horizontal dan mengikat tiap ujungnya pada ranting. Jadilah tempat berteduh darurat, untuk mereka berempat. Masing-masing kemudian duduk melingkari kompor yang mulai dinyalakan. Panas api menebarkan rasa hangat, yang sebenarnya sudah didapatkan semenjak mereka mengenakan jaket masingmasing. "Kalau mereka memang cukup berpengalaman. Aneh rasanya, kalau mereka tak bisa memberikan koordinat terakhir, berada dilembah mana", sela Riko diantara perbincangan mereka, mengenai upaya pencarian yang baru dilakukan. "Mungkin saja. Apa kau tak tahu, tadi waktu kita berada dirumah pos penjaga air, juga sulit menentukan posisi di peta", balas Diana sambil melirik ke 23

Sulung Prasetyo

Sesat

Basith. "Tapi buktinya, kita bisa mengira. Kemana jalur yang harus dilalui untuk didaki", sahut Riko lagi. "Beda kondisi mungkin. Kita masih sehat, segar dan kuat karena baru mulai mendaki. Sementara mereka, dalam kondisi tertekan. Kehilangan arah, dan ada yang sakit pula", imbuh Yusuf. "Sudahlah, banyak kemungkinan bisa saja terjadi. Yang jelas kita manfaatkan saja data yang ada", sela Diana lagi. "Tadi kabarnya, siapa diantara mereka berdua yang sakit?", tanya Basith mengalihkan topik pembicaraan. "Ando yang sakit", terang Yusuf sambil tangannya memcomot biskuit tersisa. "Kalau mereka tak ditemukan juga malam ini, bisa tambah parah", ucap Yusuf lagi. "Mereka pasti memaksakan diri menembus hujan semalam. Pantas kalau jadi sakit", analisa Basith. "Apa kira-kira makanan mereka masih cukup", Diana berucap memberikan perhatian. "Mungkin masih ada yang tersisa. Sedikit-sedikit. Semoga masih cukup untuk mereka malam ini", suara Yusuf berkata seperti doa. 24

Sesat

Sulung Prasetyo

"Mereka pasti terus berusaha turun hari ini. Kita masih punya waktu seharian ini untuk menemukan mereka. Kalau tak ketemu juga, tinggal berharap mereka bisa mencapai desa terdekat malam nanti. Separah-parahnya mereka bertahan lagi malam ini dengan makanan seadanya", Basith menerka. "Damned. Tak terbayangkan kalau mereka sampai kelaparan dan kedinginan di gunung", sembur Riko. "Sebaiknya kita mulai mencari lagi. Hujan sepertinya sudah reda", saran Basith. Wajah mungil Diana tampak merona merah. Mungkin karena kedinginan. Tapi dia juga yang paling cepat bergegas. Memanggul ranselnya dan siap berjalan lagi. "Kalian lebih dulu saja lagi. Nanti kami menyusul setelah membereskan fly sheet ini", ujar Yusuf. Basith menatap Diana, kemudian menganggukan kepala. Memberi tanda persetujuan, dan meminta Diana mulai mengikutinya. Tak lama kemudian mereka mulai meninggalkan Yusuf dan Riko, yang masih sibuk melipat fly sheet. Lapisan parasut fly sheet masih terasa basah, ketika dimasukan ke dalam kantong plastik. Baru kemudian masuk ke dalam ransel. Terletak diposisi 25

Sulung Prasetyo

Sesat

teratas. Bersiap diambil diposisi paling mudah, bila diperlukan dalam keadaan darurat, seperti keadaan hujan yang tiba-tiba datang. Usai Riko memanggul ranselnya, tiba-tiba terdengar teriakan Diana dari kejauhan. Tak terlalu jelas, tapi ada kata-kata ada orang sendirian. Kedinginan.

26

Sesat

Sulung Prasetyo

VI Yusuf mendapati Basith sedang jongkok berhadapan dengan orang tersebut. Seorang lelaki dengan baju kemeja lusuh, robek disana-sini. Rambutnya kusut dan wajahnya kotor. Ia mengenakan celana panjang berwarna gelap. Tak mengenakan alas kaki, selain kaus baju yang membalut kakinya. Tubuhnya tampak menggigil hebat. Mungkin karena kehujanan sebelumnya. Bibirnya juga kebiruan. Sementara telapak tangannya tampak memutih pucat. "Siapa nama bapak?" Yusuf mendengar Basith bertanya. Orang itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian kembali menunduk, seperti ingin menyembunyikan wajahnya. "Siapa dia?" tanya Riko yang baru sampai. Diana mengangkat bahu. "Kami temukan dia sudah terduduk disitu. Diam saja. Basith juga sudah berulang kali menanyakan, juga tak jelas jawabannya". "Bapak darimana?" kembali terdengar suara Basith bertanya. Tapi tetap saja jawabannya hanya gelengan kepala. 27

Sulung Prasetyo

Sesat

"Beri dia makan dulu", saran Riko terdengar masuk akal. Basith segera meminta Diana mengeluarkan roti yang tersisa. Beberapa bongkah roti segera berpindah ke tangan Basith. Segera diberikan Basith kepada orang itu. Seperti kesetanan lelaki itu memakan roti yang diberikan Basith. Lima bongkah roti masuk ke dalam mulutnya. Tanpa banyak mengunyah, ia kemudian menelannya. Membuatnya tersedak dan kesulitan bernafas. Untung ada air putih yang diberikan Yusuf. Yang segera diminumnya, seperti sudah menahan haus selama seratus tahun. "Apa bapak melihat kawan kami? Dua orang, sudah dua hari hilang di hutan ini", kembali Basith berbicara dengan orang itu. Berharap mendapatkan sedikit informasi, karena ia orang pertama yang mereka temui didalam hutan itu. Sendirian, namun mungkin sudah lebih lama berada disana. Lelaki itu tetap tak menjawab. Hanya menggeleng -gelengkan kepala. "Gila, apa mungkin dia hidup di hutan ini? Makan apa dia? Tanpa peralatan pula. Cuma orang gila yang bisa 28

Sesat

Sulung Prasetyo

begini", tukas Riko. Ucapan Riko mengingatkan mereka semua. Mungkin benar apa yang diucapkannya. Lelaki ini hanya orang gila, yang tersesat di hutan. Atau memang dibuang di hutan ini, untuk mati. Cukup sering kami mendengar cerita itu, dan cukup masuk akal rasanya. "Bapak tunggu disini. Kami akan ke atas dulu. Nanti kami akan antar bapak ke bawah", ucap Basith, memberikan kesimpulan keputusannya. Melalui kata-kata tersebut, jelas Basith akan segera mengajak rekan-rekannya melanjutkan perjalanan. Mencari korban yang tersesat lebih dahulu. Setelah itu baru mengantarkan orang gila ini turun gunung.

29

Sulung Prasetyo

Sesat

VII Riko menikmati tiap saat berada di hutan. Bau tanah basah, kadang bercampur dedaunan. Meruap membawa kesegaran tersendiri, yang melapangkan dada. Rumput-rumput basah terkena embun. Membawa kesejukan bagi telapak kaki. Belukar yang menggores kulit, kadang menyakitkan. Namun menjadi rasa sakit yang dirindukan. Pepohonan menjulang tinggi. Dengan lumut tebal yang terasa nyaman bila terjamah telapak tangan. Pepohonan dengan kulit kasar, menjulang ke angkasa. Mengingatkan pada dedaunan hijau yang kerap melindungi. Ada rasa damai disana. Jauh dari hiruk pikuk kota. Kesunyian bernuansa apa adanya. Yang memberi tanpa meminta. Yang menghukum tanpa mencela. Alam yang apa adanya. Riko menikmati itu semua. Seperti tiap tetes air dari surga. Mereguknya dalam tiap rasa, kebimbangan, kepuasan, kelelahan, bahkan dalam keputusasaan sekalipun. Itulah sebab mengapa ia selalu berjalan di urutan belakang, dalam setiap pendakian. Sebab ia tak me30

Sesat

Sulung Prasetyo

rasa dikejar-kejar orang dibelakangnya. Bisa lebih menikmati alam, dengan tanpa ketergesaan. Mencumbu sepuas ia mau. Sementara bila rasa lelah sudah merajam tubuhnya. Ia bisa beristirahat, tanpa diganggu pendaki rewel yang mengganggu dibelakangnya. Sebab dia tahu bila saatnya sudah tepat, maka ia akan kembali bergerak maju. Seperti sekarang ini. Riko selalu memilih jadi orang paling belakang dalam pendakian. Sangat berbeda dengan Basith, yang selalu ingin didepan. Meski sebenarnya mereka merupakan sahabat akrab. Mungkin karena perbedaan itu, mereka merasa ada kecocokan. Saling membutuhkan, karena saling mendukung. Tak ada orang terdepan, kalau tak ada orang dibelakang. Dan tak ada orang dibelakang, kalau tak ada yang mau berada didepan. Selain filosofi itu, pada dasarnya mereka memang sebenarnya saling membutuhkan. Apalagi kalau berjalan mendaki dalam satu tim besar. Tak ada orang yang paling dipercaya Basith, untuk berada diposisi paling belakang, selain Riko. Hanya Riko yang paling sabar menunggu anggota tim yang lelet kelelahan. Terus memotivasi, dan siap membantu menyelesaikan apapun halangan yang terjadi. Hanya Riko, yang dengan suara kasar tegas terus menjaga 31

Sulung Prasetyo

Sesat

keutuhan tim. Memastikan semua dapat mencapai puncak tujuan, dan kembali dengan tubuh utuh. "Riko...Riko. Di rojer gitu ganti", suara Basith terdengar di HT. Membuyarkan pikiran-pikiran Riko yang semula terbuai dengan aura alam. "Yoi...di rojer Basith. What's up man ?" jawab Riko berlagak keren. Jarak mereka memang lumayan jauh kini. Karena Riko harus mengecek daerah mencurigakan menuju lembah. Seperti pernah ada orang yang ingin menerobos masuk ke area tersebut. Terlihat dari rantingranting patah yang banyak terdapat disana. Akhirnya diputuskan Riko dan Yusuf menyusuri area itu. Sementara Diana dan Basith terus menuju ke arah puncak. Hanya dengan HT mereka kini terus berkomunikasi. Saling memberi informasi dan berkoordinasi. Semata untuk tetap waspada dan pengambilan keputusan berikutnya. "Bagaimana dibawah? Apa ada tanda-tanda mencurigakan? Ganti", tanya Basith. "Negatif. Negatif. Ganti", kata Riko memberikan kode tak ada yang diharapkan. "Segera meluncur kembali ke atas". 32

Sesat

Sulung Prasetyo

"Coba cek lagi. Mungkin ada barang-barang milik korban yang tercecer. Ganti", pinta Basith. "Siap. Siap. Sambil kembali akan di cek kembali. Ganti". "Riko. Riko. Ganti". "Siap. Ada apa? Ganti". "Jangan lupa plotting jalur yang di cek. Ganti". "Siap. Ganti". "Riko. Barusan ada kabar dari base camp. Operasi SAR resmi dibuka siang ini. Bakal ramai dibawah. Ganti", jelas Basith. "Berarti kita tim pertama yang sudah berada dilapangan. Ganti". "Siap. Benar. Ganti". "Apa ada kabar baru dari korban? Ganti". "Negatif. Negatif. Masih kabar terakhir, ada yang sakit. Ganti". "Oke. Ganti". "Tapi sudah dilaporkan tadi tentang botol setengah kosong yang kita temukan tadi. Ganti", ujar Basith menjelaskan kode tentang orang gila yang mereka temui tadi. 33

Sulung Prasetyo

Sesat

"Ups. Botol setengah kosong. Semoga tak menjadi botol kosong betulan", jawab Riko setengah bercanda, memperkirakan orang gila itu akan tewas. "Botol setengah kosong. Botol setengah kosong. Ganti. Kami tunggu kau dipertigaan Pasir Pangrango. Kita makan siang disana. Ganti". "Siap. Ganti. Siap meluncur ke pertigaan Pasir Pangrango. Ganti". "Over. Hemat baterai. Kabarkan kalau ada yang penting", ucap Basith ingin menutup komunikasi. "Over. Ganti". Riko segera menutup komunikasi. Menyalakan HT dalam posisi siaga. Kemudian berteriak memanggil Yusuf yang masih mencari. "Kita kembali ke atas. Basith sudah menunggu dipertigaan Pasir Pangrango. Base camp sudah berdiri dibawah. Operasi SAR resmi dibuka hari ini", urai Riko. "Semoga belum terlalu terlambat", sahut Yusuf. Ia merapihkan rambutnya yang penuh dengan serpihan bagian pohon kering. Tampaknya ia menerobos daerah yang belum terbuka. "Bagaimana dibawah?" tanya Riko yang merasa lucu melihat rambut acak-acakan Yusuf. 34

Sesat

Sulung Prasetyo

"Negatif. Hanya babi yang pernah lewat sini", balasnya. "Hahahahaha...babi gila".

35

Sulung Prasetyo

Sesat

VIII Sebidang tanah datar kecil dipertemuan punggungan Cisarua dan Pasir Pangrango, menjadi tempat berkumpul untuk makan siang. Kali ini tak membuka fly sheet sama sekali. Membiarkan bagian atas tempat istirahat tanpa pelindung. Sehingga pemandangan langit terbentang luas diatas kepala. Langit siang ini membentang biru kelabu. Penampakan normal, setelah hujan usai terjadi. Biru langit menjadi lebih terang dari biasanya. Bercampur dengan warna kelabu awan yang berarak. Mungkin awan sisa-sisa dari hujan yang belum turun. Masakan hampir matang semua, saat Riko dan Yusuf datang. Nasi putih, dengan lauk tumis toge bercampur oncom dan ikan asin. Bau harum masakan merebak. Membuat Yusuf yang baru menaruh ransel, langsung bergabung tanpa membuka sepatu. "Sambil makan, kita evaluasi pencarian yang tadi dilakukan. Setelahnya baru membicarakan rencana selanjutnya", kata Basith yang baru menutup buku catatannya. "Bagus juga begitu", komentar Riko pendek, kemudian kembali menenggak sisa air di botol minumnya. Sedikit air keluar dari pinggir bibirnya. Yang 36

Sesat

Sulung Prasetyo

kemudian disekanya dengan punggung tangan. "Apa kau sudah mengecek daerah sekitar sini tadi?" tanya Riko kembali kepada Basith. Yang ditanya merubah duduknya menjadi bersila. Dan kemudian mengambil piring. "Sudah. Tak ada tanda-tanda mencurigakan menuju puncak. Tapi belum sempat mengecek ke arah Pasir Pangrango". "Mungkin benar mereka sudah turun", ucap Yusuf. "Seharusnya begitu", respon Riko yang sedang membuka tali sepatunya. "Tapi tak ada tanda-tanda juga di jalur Cisarua. Jadi kemana mereka?" imbuh Yusuf dengan nada tanya. "Aku masih berpikir mereka tersesat di jalur Cisarua. Seperti kataku dulu, mereka bukan pendaki kemarin sore. Pasti mereka sudah melewati pertigaan ini, dan turun ke jalur Cisarua. Kita harus mengecek jalur Cisarua lagi dengan lebih teliti. Memeriksa semua kemungkinan jalur menuju lembah", analisa Basith. "Apa tak ingin memeriksa jalur Pasir Pangrango?" suara Riko menyela. Kali ini dia yang menyendokan nasi dan lauk ke dalam piring. 37

Sulung Prasetyo

Sesat

"Itu tugasmu. Nanti kau dan Yusuf coba mengecek kesana. Aku ingin memberi laporan ke base camp", Basith berkata usai mengunyah. Yusuf yang menyendokan nasi berikutnya hanya menganggukan kepala. Ia tak banyak berkomentar. Mungkin karena pikirannya masih buntu. Sebelum kenyang memenuhi perutnya. "Siapa yang memasak makanan ini? Enak sekali. Mengingatkan pada masakan ibuku", hanya itu komentar yang keluar dari mulut Yusuf. "Diana yang memasak. Jadikan saja dia istrimu. Tapi langkahi dulu mayat Didi. Sebelum menjadikan dia sebagai ibumu", canda Basith. Diana hanya membalas kecut canda Basith. Kemudian menundukan kepala, menyembunyikan senyum dikulum. Kemudian Basith membahas semua yang telah mereka lakukan sejak pagi tadi. Setidaknya hingga siang ini, semua sudah sesuai rencana. Kecuali berhenti karena hujan, dan kejadian bertemu orang gila nyasar di hutan. Mereka setidaknya juga sudah mengecek enam daerah mencurigakan. Kemungkinan jalur yang dilewati dua pendaki hilang itu. Semua menuju lem38

Sesat

Sulung Prasetyo

bah. Hanya sayangnya semua bernilai nihil. Dari semua area penyisiran itu, tak ada tanda-tanda dari dua pendaki yang tersesat tersebut. Baik barang yan tercecer, maupun suara-suara balasan mereka. "Apa tidak mungkin mereka kembali ke puncak, dan turun melewati jalur yang biasa dilewati para pendaki lain?" kali ini Yusuf yang bersuara. Tampaknya otak besarnya sudah mulai terbuka. Itu juga setelah ia menambah porsi makan, menjadi dua piring. "Mungkin saja. Tapi pertanyaan besarnya, apa mungkin mereka tersesat dijalur yang biasa dilewati pendaki? Jalur itu setahuku sangat jelas, besar pula, cukup untuk dua orang berjalan berdampingan", sanggah Basith kritis. Hasil analisa yang telak melumpuhkan teori Yusuf. Sudah jelas, dua pendaki itu tersesat di lembah. Sementara mereka bukan pendaki kacangan. Pasti mereka tetap bersikeras menyusur jalur turun sesuai rencana. Menuju Cisarua. "Tapi untuk memastikan, kita tetap harus mengecek jalur Pasir Pangrango. Kalau kalian sudah selesai makan, sebaiknya segera bergerak kesana" , saran Basith. 39

Sulung Prasetyo

Sesat

Riko segera menaruh piring kotornya, bersamaan dengan Diana yang sedang menuangkan air. Wanita itu lebih banyak diam sekarang. Apa ia kelelahan? Atau ia berpikir semua sudah berjalan sesuai dengan yang diinginkan? Semoga dia baik-baik saja, pikir Riko. Yusuf kemudian menenggak habis semua air yang dituang Diana. Kemudian berdiri dan mulai menyalakan rokok. Pandangannya mencuri ke arah puncak Pangrango. Puncak itu masih terlihat jelas. Kaldera purba dengan kawah mati didalamnya. Puncaknya tertutup pepohonan berbatang keras. Berwarna hijau hingga ke puncaknya, yang serupa payudara wanita. Belum pernah Yusuf mendaki ke puncak itu, melalui jalur yang dilewatinya sekarang. Karena sebab itu juga, ia ngotot ikut menjadi bagian dalam tim pencari ini. Lantaran ia tahu kesempatan seperti ini sangat jarang terjadi. Cuma orang-orang tertentu yang ingin dan bisa melintas di jalur ini. Jalur-jalur pendakian tersembunyi menuju puncak Pangrango, yang tak pernah dibuka untuk umum. "Lupakan niatmu ke puncak", ucap Riko seperti membaca pikiran Yusuf. "Sebaiknya kau bersiap, kita akan mengecek jalur Pasir Pangrango sampai seten40

Sesat

Sulung Prasetyo

gah jam ke depan. Lalu kita kembali lagi, untuk memberikan kesimpulan". Yusuf mengalihkan pandangan ke sisi kanannya. Ke arah barat. Menelusuri lekuk mendaki dan menurun jalur Pasir Pangrango. "Jalur itu tembus kemana?" tanya Yusuf. "Kau belum tahu? Ujungnya tembus ke Cisaat. Tapi bisa juga turun di Lido, Pasir Arca atau ke yang paling ujung itu, Cisaat", jelas Riko. Yusuf kembali mengangguk-angguk. Melihat lagi jalur itu, dan membandingkan dengan peta ditangannya. "Nanti kau jalan didepan. Biar bisa menunggu kalau merasa nyasar", tukas Riko. Yusuf tersenyum, menyadari kekurangan dirinya. Pilihan yang diberikan Riko, memang yang terbaik. Dan ia sama sekali tak merasa rugi, karena akan mendapatkan wawasan baru. Setelah mematikan rokok, dan menyimpan sisa sampahnya ke dalam saku. Yusuf segera merapihkan ranselnya. Memasukan jaket yang dipakai, dan mulai memanggul ranselnya yang lumayan besar. Kemudian Yusuf mulai terlihat berjalan menjauh. Mulai menyisir jalur Pasir Pangrango. 41

Sulung Prasetyo

Sesat

Riko hanya mengucap salam perpisahan sebentar. Berjanji untuk tetap berkomunikasi melalui HT. Namun tetap memberi peringatan untuk hemat baterai. Belum sepuluh menit berlalu, suara HT ditangan Basith nyaring terdengar. Suara Riko terdengar panik. "Segera kesini. Ada mayat ditemukan. Ganti".

42

Sesat

Sulung Prasetyo

IX Kematian bukan akhir segalanya. Kematian bisa jadi merupakan awal kehidupan lain. Ada juga yang percaya tentang dunia akhirat. Ada juga yang percaya kalau manusia akan terlahir kembali. Namun yang jelas, kematian menjadi momok mengerikan bagi banyak orang. Momok mengerikan buat semua orang malah sepertinya. Seperti ada rasa takut yang sulit dilawan, bila membicarakan kematian. Rasa takut akan menerima siksaan. Atau rasa takut menghadapi sesuatu yang tak dipahami. Rasa takut itu juga yang kini menggerayang kemana-mana. Rasa takut yang tertangkap dalam sorot mata Yusuf dan Riko. Ketika Basith dan Diana berhasil menemui mereka dijalur Pasir Pangrango. Wajah Yusuf menunjukan rasa panik berlebihan. Mukanya terlihat pucat, dan dari tingkah lakunya ia terlihat agak kebingungan. Riko sendiri yang menyambut Basith dengan katakata cepat. Tak pernah Basith melihat Riko seperti itu. Ketenangannya seperti hilang. Tiap-tiap orang memang memiliki respon berbeda, terhadap hal-hal tak terduga yang mereka temukan. "Ada mayat. Yusuf menemukannya tak sengaja 43

Sulung Prasetyo

Sesat

disana", suara cepat Riko terdengar, sambil jarinya menunjuk ke satu arah. Rerimbunan pohon dibagian kanan jalur. Masih terlihat berupa tanah datar. Meski semak belukar rapat berusaha menutupi pandangan. Mengapa mereka kesana? Pikir Basith. Sementara ranting-ranting patah baru ada, setelah mereka berusaha menembusnya. "Awalnya ada bau. Seperti telur busuk. Karena penasaran, Yusuf mencari sumber bau. Ternyata ada mayat", urai Riko menjelaskan, seperti apa yang dipikirkan Basith. Tak diduga, Diana yang lebih dulu bergerak menuju arah yang ditunjukan Riko. Gerak tubuhnya yang mungil menyelusup lincah menembus pepohonan. Belum sempat Basith menyusul, terdengar pekik kecil suara Diana. Basith mendapati tubuh mayat itu terbujur kaku, telentang ditanah. Kakinya menekuk ke atas, dan kepalanya menengadah. Mayat itu masih memakai jeans hitam, berpakaian kaos t-shirt berbahan katun. Tampaknya mayat itu sudah cukup lama berada disana. Karena perutnya sudah mengeluarkan lendir berwarna putih. Sementara kedua bola matanya su44

Sesat

Sulung Prasetyo

dah lenyap, berganti dengan belatung. "Kupikir awalnya dia manekin. setelah dihampiri, ternyata benar-benar mayat", urai Yusuf yang akhirnya kembali mengeluarkan suara. "Diana, coba kau foto mayat itu", perintah Basith, mengingatkan Diana yang seperti shock. Menyadari pentingnya anjuran Basith, segera Diana mengeluarkan kamera dari dalam ranselnya. Kemudian mengambil gambar dari berbagai arah berbeda. "Lalu bagaimana sekarang?" terdengar mengagetkan.

suara

Yusuf

Basith mengeluarkan bandana dari bajunya. Bau dari mayat menyebar, menusuk, mengganggu indra penciuman. Dipakainya bandana itu untuk menutupi hidung. "Jangan ada yang memegang mayat dengan tangan langsung. Yang kita bisa hanya mencatat dan mendokumentasikan semua hal tentang mayat ini. Selebihnya itu tugas polisi", ujar Basith. Usai memfoto mayat itu. Basith meminta Riko mencatat posisi mayat itu didalam peta. Kemudian dia mencoba menghubungi base camp, untuk mengabarkan penemuan tersebut. 45

Sulung Prasetyo

Sesat

"Kau yakin itu bukan mayat Ando atau Ciblek?" suara dari telepon genggam terdengar memastikan. "Bukan. Mayat itu bukan mayat Ando atau Ciblek. Entah siapa. Tak ada identitas", balas Basith pada orang ditelepon, yang ternyata Didi. "Oke, akan segera dimasukan ke dalam log catatan penemuan ini. Dan akan segera diteruskan ke pihak berwajib". "Iya. Kau catat saja ciri-ciri dan posisi yang disebutkan tadi. Sebab kami akan segera pergi meninggalkan botol kosong itu", ungkap Basith memberikan kode botol kosong untuk si mayat. "Kalian mau kemana?" tanya Didi. "Meneruskan mencari korban hilang. Balik menelusuri jalur Cisarua. Kami masih penasaran, dan yakin mereka pasti ada disana". "Baik, akan segera dikirimkan tim bantuan untuk kalian. Selain juga untuk mengurus botol kosong itu". "Dimengerti. Segera meluncur turun. Tolong tetap pantau melalui HT". "Di rojer gitu ganti", balas Didi memutuskan hubungan telepon satelit. 46

Sesat

Sulung Prasetyo

X "Jadi kita tinggalkan saja mayat ini disini?" tanya Yusuf hampir tak percaya. "Itu yang terbaik. Tugas kita bukan menemukan dia. Kita masih harus menemukan Ando dan Ciblek. Mereka masih menunggu pertolongan dari kita", ucap Basith tegas. Dengan termangu, Yusuf kembali menatap mayat itu. Seperti ada penyesalan mendalam menggayuti hatinya. Jiwanya seperti terpecah. Satu sisi ingin menolong mayat itu. Di sisi lain, yang sialnya lebih logis, adalah bergerak kembali mmencari Ando dan Ciblek. Yusuf mengutuki dirinya. Berharap keputusan untuk tetap mencari Ando dan Ciblek, merupakan yang terbaik diridhoi Tuhan. Mengingat mereka akan menyelamatkan jiwa yang masih hidup. "Yang mati biar berlalu. Yang masih hidup harus dipertahankan", gumam Basith menguatkan hati teman-temannya. Riko memegang kepalanya yang tak sakit. Sekali lagi keputusan sulit harus diambil. Diantara keputusan-keputusan yang pernah diambilnya. Kejadian ini merupakan salah satu keputusan sulit yang harus dilalui. 47

Sulung Prasetyo

Sesat

Pernah Riko juga mengalami keputusan sulit lain. Seperti keputusan untuk tetap menuju puncak gunung, atau membawa turun teman yang mengalami masalah pada kakinya. Keputusan berat, karena bisa saja ia meninggalkan teman itu, dan tetap menuju puncak. Meraih kenikmatan rasa puas apa yang diidamkan, setelah melalui perjuangan berat. Namun keputusan akhirnya selalu kembali pada hati nurani. Ia memilih melupakan puncak idaman, dan secepatnya membawa turun temannya ke bawah, untuk mendapatkan pertolongan. Di mata Diana, semua keputusan itu sudah tak memiliki rasa heran lagi dihati. Menurutnya hidup itu memang dilematis. Selalu penuh dengan pilihanpilihan yang kadang sulit dinalar akal. Tiap pilihan punya resiko masing-masing. Selalu ada sisi baik dan buruk dari tiap keputusan yang diambil dari sebuah pilihan. Tingkat kedewasaan, kecerdasan, ekonomi, emosi, sosial dan lingkungan mempengaruhi tiap pengambilan keputusan. Tapi selalu, keputusan yang diambil adalah yang memiliki resiko paling rendah. Yang memiliki keuntungan paling tinggi, serta yang paling menuju ke tujuan dan harapan pengambil keputusan. Pada kasus ini, Diana mengenyampingkan masa48

Sesat

Sulung Prasetyo

lah hati nurani. Memang tak terdengar seperti perempuan pada umumnya. Yang katanya lebih mementingkan emosi ketimbang logika. "Sebaiknya kita berdoa bersama dulu, untuk mayat ini. Sebelum kita pergi dari sini", suara Diana terdengar menjadi jalan tengah yang paling bijaksana. Seperti suara hati seorang ibu, sekaligus bapak. Membuat rasa bersalah menjadi sedikit terpendam. Dan mengantarkan rasa pada keikhlasan. Bahwa apapun keputusan yang diambil, adalah juga merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Angin tiba-tiba berhembus kencang, saat mereka mulai menelusuri kembali jalur turun pendakian Cisarua. Langit yang semula terang, perlahan mulai meredup. Awan berarak bersicepat menutupi langit. "Kita harus bergerak cepat, sebelum hujan deras turun sekali lagi", tukas Basith. Yang lain segera bergerak cepat mengejar Basith yang lincah menelusuri jalur turun gunung. Kaki-kaki mereka semua memang sudah terlatih. Seperti memiliki mata, kaki-kaki itu dengan refleks mencari pijakan. Diimbangi dengan daya meluncur turun yang terkendali, menghasilkan keseimbangan tubuh yang diharapkan. 49

Sulung Prasetyo

Sesat

Dengan cepat daerah-daerah yang tadi terasa berat dilewati saat mendaki, berkelebat mudah dilalui. Namun mata mereka tetap mengincar awas, pada tiap-tiap daerah pertemuan punggungan. Sebab di area-area itu biasanya banyak pendaki keliru memilih jalur turun, dan terbawa sesat menuju lembah. Dan mungkin itu juga yang kini terjadi pada Ando dan Ciblek. Sambil turun tak lupa mereka tetap berteriak memanggil. Berharap kali ini, ada balasan teriakan tersebut. Namun semua tetap membisu. Teriakanteriakan hilang diterpa angin, yang makin kencang berhembus. Lalu suara guntur mulai terdengar dari langit. Suaranya lebih keras dari biasanya. Terdengar seperti tak jauh dari telinga, dan menggetarkan tanah. "Basith, bagaimana ini. Hujan tampaknya akan segera turun", teriak Riko dari belakang rombongan. Basith berhenti sebentar. Menunggu temantemannya datang. Setelah semua berkumpul, baru ia berkata, "Kita lanjutkan pencarian. Meski hujan turun. Sebentar lagi kita sampai di rumah penjaga air. Kalau tak ada tanda-tanda dari korban, kita berteduh dirumah itu. Persiapkan pakaian anti hujan kalian". 50

Sesat

Sulung Prasetyo

Rintik air hujan yang turun dengan cepat berubah menjadi lebat. Lebih lebat dari hujan tadi siang. Kali ini dengan guntur yang berulang kali terdengar. Memecah konsentrasi mereka untuk mencari. Sampai akhirnya tujuan akhir dikepala, hanya tersisa secepatnya mencapai rumah penjaga air, dan berteduh disana. Riko yang paling terakhir mencapai rumah penjaga air. Ketika ia tiba, langit tetap mencurahkan hujan tanpa henti. Gelap juga sudah melingkupi langit. Bukan hanya karena awan gelap, tapi hari memang sudah menjelang malam. Nyala kompor tampak terus bergoyang. Angin belum juga menurunkan kecepatannya. Hanya untungnya debit air hujan mulai melemah. Suara komunikasi melalui HT mulai terdengar. Tersambung langsung dengan base camp, nun jauh dibawah sana. "Basith. Rojer. Basith", suara Didi terdengar keras di HT. "Siap. Rojer. SRU satu siap stand by", balas Basith. "Rojer. Basith. Kalian harus segera turun. Korban ditemukan di daerah Pasir Arca. Ganti". Basith melihat ke teman-temannya. Seperti tak 51

Sulung Prasetyo

Sesat

percaya mendengar berita itu. "Tanyakan lagi, apa benar seperti itu", kata Riko. Sementara yang lain mendengarkan baik-baik. "Diulang rojer. Apa benar korban ditemukan? Ganti", suara Basith memastikan. "Positif. Rojer. Korban berada di Pasir Arca. Mereka turun sendiri, dan melaporkan diri ke rumah penduduk. Ganti". "Alhamdulillah. Ganti. Bagaimana? Sehat-sehat? Ganti". "Sehat. Sedikit kelelahan, tapi sehat. Kalian segera turun. Ganti". "Baik-baik. Positif. Korban sehat. Selamat. Tolong jemput kami". "Stand by. Monitor. Mobil jemputan sudah meluncur ke Cisarua". Semua hening seketika.

52

Sesat

Sulung Prasetyo

XI Selalu ada hal tak terduga, diantara semua hal yang sudah kita duga. Hal tak terkira, diantara semua hal yang sudah diperkirakan. Sisi yang harus diperbaiki dari sebuah rencana. Faktor acak dari semua keteraturan, yang terbentuk sebatas pemikiran manusia. Manusia punya keterbatasan. Manusia hanya bisa menduga, memperkirakan, merencanakan dan menjalani. Hasil akhirnya, selalu ada kekurangan. Selalu ada evaluasi dari setiap rencana. Selalu ada yang tak sempurna. Ketidaksempurnaan itu, yang pada akhirnya menjadikan kita manusia seutuhnya. Jadi sebenarnya tak ada yang perlu disesali. Menjadi tak sempurna adalah menjadi manusia. Pikiran-pikiran itu juga yang menggayuti benak Basith. Dalam perjalanan turun menuju titik awal pendakian Cisarua. Dimana tim penjemput sudah berjanji menunggu disana. Dalam keremangan antara siang dan malam. Dalam zona antara terang dan gelap. Semua pemikiran itu menjadi refleksi diri, yang mengingatkan tetang bagaimana rasanya menjadi manusia. 53

Sulung Prasetyo

Sesat

"Apa pernah kau memperkirakan, kalau korban akan menuju daerah Pasir Arca?" gumam Diana sambil menunggu mobil jemputan tiba. Basith terdiam. Pikirannya masih berkecamuk berbagai hal. Termasuk kemungkinan korban berda di wilayah-wilayah yang diluar perkiraan. "Area-area itu memang seharusnya menjadi perhitungan. Tapi wilayah Pasir Arca terlalu jauh, untuk dijadikan target pencarian. Entah setan apa yang membawa mereka sampai kesana", sahut Basith berupaya mempertahankan argumen-argumen sebelumnya. "Tak ada yang perlu dipersalahkan. Benar kata Basith. Tim kita terlalu kecil. Sementara kalau harus mencari sampai Pasir Arca, sangat tak mungkin untuk tim sekecil ini. Dengan kekuatan tim seperti ini, area pencarian yang sudah dilakukan, sudah yang paling masuk akal", tutur Riko. "Tidak bermaksud menyalahkan siapapun. Hanya menyesali, mengapa kita tidak ke Pasir Arca", sahut Diana lagi. "Kita pasti kesana, kalau memang ada tandatanda mencurigakan. Tapi yang seperti kita semua tahu. Langkah kita sudah tertahan dengan 54

Sesat

Sulung Prasetyo

keberadaan mayat itu", suara Riko masih terdengar mendebat. Adu argumentasi mereka tiba-tiba terhenti, karena ada sinar lampu mendekat dari kejauhan. Semua sepertinya berharap sama, jemputan sudah datang. Yusuf yang sepertinya paling berharap. Karena dia yang paling dulu berdiri. Matanya menyipit, mencoba menerka siapa yang datang. "Mobil siapa itu?" suara Yusuf yang pertama terdengar, karena merasa tak mengenali mobil yang datang. Setelah dekat, tampak melongok keluar wajah yang tak asing. Dodo, yang sebelumnya juga mengantar mereka kesini. "Uhh...kupikir ada orang nyasar lagi kesini", canda Yusuf yang menghampiri. Dodo tertawa, "Iya nih. Mobil orang kubawa. Biar muat semua, sama barang-barang juga", alasan Dodo sebelum keluar dari mobil. Setelah keluar mobil, Dodo menyalami semua orang. Ia turut merasakan letih, yang meruap dari masing-masing orang. "Tadi sebelum pergi, aku sempat melihat korban. Mereka baik-baik saja. Sudah bisa tertawa. Sudah 55

Sulung Prasetyo

Sesat

makan banyak pula", urai Dodo. "Oh ya. Jadi bagaimana cerita sebenarnya dari mereka?" tanya Basith ingin tahu. "Sepertinya mereka sendiri tak menduga, bisa sampai ke Pasir Arca. Sebab mereka pikir, Pasir Arca itu justru punggungan Cisarua", ungkap Dodo. "Kok bisa begitu? Memang mereka tidak tahu? Pasti mereka juga membawa peta", tanya Diana. "Entahlah. Gelap. Mungkin panik. Katanya waktu mereka turun, kabut tebal terus. Pandangan terbatas", cerita Dodo. "Apa mereka sebelumnya belum pernah turun lewat Cisarua?" kali ini Yusuf yang menyela. "Belum pernah. Kata mereka sih". "Pantas". Semua jelas sudah. Kecelakaan yang terjadi karena kesalahan manusia. Ditambah cuaca yang terus tak bersahabat, menjadi tekanan yang membuat mereka salah dalam membuat keputusan. Ditambah kiriman SMS yang mencemaskan. Membuat situasi makin bertambah ricuh. Keputusan menggelar operasi SAR juga tak bisa disalahkan. Semua sudah sesuai prosedur. 56

Sesat

Sulung Prasetyo

"Lalu bagaimana dengan botol kosong yang sekarang masih tertinggal?" tanya Basith. "Masih diutus kesana-kesini. Semoga cepat-cepat dikirim tim untuk menurunkannya", jawab Dodo. "Jadi masih belum jelas?" Basith bertanya sambil melihat keluar mobil yang mulai berjalan. "Entahlah. Di base camp juga banyak orang mulai brgerak pulang. Karena berpikir korban sudah ditemukan". Selintas ada perasaan aneh muncul didada Basith. Seperti ada kejanggalan yang terlewatkan. Tapi ia tak mengerti, apa kejanggalan tersebut. Sementara laju mobil terus meluncur kencang. Memasuki jalan raya puncak, dan langsung menembus tol menuju Jakarta. "Mau kemana kita?" tanya Diana. "Kita bertemu Didi di tempat istirahat tol nanti. Dia sudah menunggu disana", Dodo menjelaskan. "Lho kita tak perlu ke base camp dulu?" tanya Riko yang baru bersuara. "Tak perlu. Evaluasi besar sudah dilakukan tadi. Didi sudah menunggu dijalan nanti. Menunggu Diana pastinya", urai Dodo setengah bercanda. 57

Sulung Prasetyo

Sesat

Basith tak banyak berkomentar. Sebentar kemudian mobil yang mereka tumpangi masuk ke rest area tol. Benar saja, Didi sudah menunggu disana. Setelah makan malam bersama, disertai penjelasan tentang korban, yang tak jauh berbeda dengan yang dijelaskan Dodo sebelumnya. Usai makan mereka berpisah. Diana pindah mobil bersama Didi, juga pulang ke Jakarta. Sementara Basith, Riko, Dodo dan Yusuf juga kembali ke Jakarta dengan mobil berbeda. Didalam mobil Basith masih terpaku dengan segala kejanggalan-kejanggalan yang ada. Dalam semua kebingungan yang merajalela didalam otak, ia memutuskan memejamkan mata. Istirahat dan berharap semua akan baik-baik saja.

58

Sesat

Sulung Prasetyo

HARI KEDUA

59

Sulung Prasetyo

Sesat

XII Hawa panas membuat Basith terbangun dari tidur. Sinar matahari masuk dari jendela mobil. Menerobos kaca, membuat hangat bangku yang didudukinya. Ia memperhatikan sekitarnya. Membuatnya terlonjak kaget. "Sudah jam berapa sekarang?" tanya Basith setengah berteriak. "Tidur terus kau lhay. Sudah mau pukul sembilan sekarang", suara jawaban itu dikenal Basith, berasal dari mulut Riko. Basith melihat Riko duduk disebelahnya. Duduk bersama dibangku tengah mobil. Dipandanginya orang-orang yang berada dibangku depan. Dodo dan Yusuf. "Mana Diana?" tanya Basith lagi. "Mimpi indah tampaknya kau, dengan pacar teman pula", timpal Riko. Basith menggerutu. Baru ingat dia Diana sudah pulang bersama Didi semalam. Sementara Riko kembali tertawa, mengejek. "Sabarlah kau, sebentar lagi juga akan bertemu Diana di Cisarua". Diana di Cisarua? pikir Basith. Untuk apa? 60

Sesat

Sulung Prasetyo

"Dia sudah ada disana. Menunggu bersama Didi", tambah Riko. Yusuf menoleh dari depan. Menyadari ada percakapan dibangku belakang. "Bagus kau sudah bangun Basith. Sebentar lagi kita sampai dipertigaan Taman Safari Cisarua", Yusuf menjelaskan. "Mau kemana kita?" tanya Basith lagi belum menyadari situasi. Sementara tangannya mencomot snack dibangku depan. Mencoba menghilangkan rasa lapar yang menggerogoti perutnya. "Jangan dihabiskan", teriak Dodo. "Bosan juga nih nyopir, kalau makanan habis". Basith terkesiap. Ucapan Dodo yang barusan keluar, seperti mengingatkannya pada sesuatu. Ia berusaha mengingat, tapi sulit menjelaskannya. "Masih belum sadar juga? Diana dan Didi sudah menunggu kita di Cisarua. Saudara mereka yang mendaki gunung Pangrango dikabarkan hilang. Kita akan memulai pencarian dari Cisarua", sembur Riko, sambil tangannya merebut snack dari tangan Basith. "Mencari orang hilang?" gumam Basith celingukan. Matanya menatap keluar mobil. Macet membuat mobil berjalan tersendat. Basith mengenali jalan ini merupakan jalur menuju Puncak Pass. Se61

Sulung Prasetyo

Sesat

bentar lagi memang mencapai ke pertigaan Taman Safari Cisarua. "Kenapa tak lewat jalur alternatif di Gadog tadi. Tak terjebak macet kita disini", suara itu seperti terlepas begitu saja dari mulut Basith. "Kau tidur saja dari tadi. Kami tak ada yang tahu jalan itu", rutuk Riko. "Ehh..tunggu dulu. Kita mau mencari siapa?" ulang Basith, mulai merasakan sesuatu yang aneh. "Dua keponakan Didi. Mereka mendaki Pangrango dari lima hari yang lalu. Tiba-tiba mengirimkan pesan SOS. Tersesat. Terakhir katanya ada di lembah. Entah lembah yang mana", urai Riko lagi dengan nada tak serius. Basith menghempaskan badan ke sandaran kursi. Ia memejamkan mata. Seperti terkena Deja Vu. Kejadian yang sepertinya pernah ia alami sebelumnya. "Bukannya kita mau kembali ke Jakarta?" suara Basith kini terdengar seperti igauan. "Gila kau. Kembali ke Jakarta gimana? Kita baru saja mau sampai Cisarua. Sekarang mau balik lagi ke Jakarta?" imbuh Riko sambil melemparkan bantal ditangannya ke kepala Basith. Lemparan bantal telak mengenai muka Basith. 62

Sesat

Sulung Prasetyo

Yang membuatnya segera membuka mata. "Muka bantal. Segera bersiap. Kita sudah hampir sampai ke Cisarua", sembur Riko. "Ada baiknya kita mencari makan sarapan dulu", pinta Basith berusaha menenangkan pikirannya yang kebingungan.

63

Sulung Prasetyo

Sesat

XIII Roda mobil benar-benar kembali melindas tepi lapangan dipinggir desa. Basith melongok keluar, dan mendapati langit berwarna kelabu. Ia kembali mendapati ingatan, pernah melewati hari seperti itu. Dengan was-was Basith melangkah keluar mobil. Mendapati kedua temannya sibuk mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Kembali diperhatikan angkasa. Awan berarak dan angin bertiup ke arah mereka. Dalam hati ia berdoa agar hari tak segera hujan. Dikejauhan, dilihatnya salah seorang teman sedang berbicara dengan Didi dan Diana. Wanita itu benar-benar ada disana. Padahal diingatnya semalam, mereka sudah bergerak pulang ke Jakarta. Basith menyapa dengan pandangan rikuh. Bercampur dengan segala pikiran aneh dikepala. Pandangannya menatap Diana dengan keheranan. "Bukannya kita bersama semalam?" kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Basith. Sekejap suasana menegang. Bagi yang mengerti, kata-kata itu jelas sangat berbahaya. Ibarat melempar sarang lebah dengan batu. Riko yang menyadari 64

Sesat

Sulung Prasetyo

aura ketegangan, segera menyela dengan kata-kata. "Basith dari tadi memang aneh. Mungkin kepalanya kepentok pintu tadi", komentar Riko mencoba mencairkan suasana. Diana memandang Riko. Ucapan Basith tadi sempat membuatnya menelan ludah. Dan berharap kata -kata Riko bisa menormalkan suasana. Kemudian dia melihat Basith dengan pandangan tak percaya. Basith melihat mata Diana, berusaha menyentakan ingatannya. Sedikit sadar dengan situasi beku. Kemudian berpikir cepat, sebelum Didi, kekasih Diana berpikir yang bukan-bukan. "Aku seperti mengalami deja vu. Pernah mengalami pengalaman seperti ini. Dan seingatku sudah pulang bersama Diana semalam", tutur Basith, yang tak menemukan alasan terbaik selain kejujuran. Didi tertawa mendengar alasan Basith. Sebab ia yakin benar, Diana bersamanya sedari tadi malam. Mereka sibuk mengumpulkan data, dan berusaha mengontak pihak-pihak yang bisa menolong mereka. Mengabarkan peristiwa pengiriman pesan darurat dari keponakan mereka. Meminta pendapat banyak pihak mengenai kondisi tersebut. Termasuk menghubungi orang-orang yang siaga mencari. Sam65

Sulung Prasetyo

Sesat

pai akhirnya mereka berkumpul di Cisarua sekarang. "Ada-ada saja kau Basith. Tampaknya kau memang harus memeriksa kepalamu. Tapi nanti saja. Kami masih membutuhkanmu untuk mencari keponakanku. Tampaknya mereka benar-benar tersesat", ujar Didi. Jawaban lugas Didi melegakan banyak orang disana. Termasuk Diana dan Riko, yang sudah cemas suasana menjadi tak terkendali. Basith melepaskan jaket. Badannya terasa panas. Padahal udara jelas-jelas terasa dingin. Mungkin karena batin Basith yang tak tenang. Membuat tubuhnya terasa gerah. Menyadari situasi sudah terkendali, Diana segera membagikan lembaran-lembaran kertas yang sedari tadi dipegangnya. Berisi data diri korban, rencana perjalanan, serta daftar perlengkapan yang dibawa korban. Kembali Basith menatap semua daftar itu dengan tak percaya. Ia masih ingat betul. Semua daftar itu telah dilihatnya kemarin. Pada waktu dan kesempatan serupa. Sebelum mereka berangkat melakukan pendakian pencarian korban. "Kalian tim pertama yang mendapatkan semua 66

Sesat

Sulung Prasetyo

berkas ini. Tolong perhatikan baik-baik, terutama daftar perlengkapan yang dibawa korban. Karena mungkin tercecer di jalur pendakian", suara Diana terdengar mengingatkan. Basith ingat betul. Persis sama dengan sebelumnya. Ada apa ini? Keringat dingin keluar dari tengkuknya. Yusuf yang kemudian berkomentar, mengenai kemungkinan kondisi kritis yang bisa dihadapi korban. Asumsi itu dinyatakan Yusuf berdasarkan daftar makanan yang dibawa korban. Basith melihat lagi data-data yang ada di kertaskertas tersebut. Seperti kurang mengerti, namun tetap berpikir keras. Jelas ini hari yang berulang, pikir Basith. Atau aku mulai gila? "Tak perlu khawatir", kata Basith kemudian. "Mereka akan selamat. Dari data-data yang ditinggalkan. Mereka jelas bukan baru belajar mendaki gunung. Mungkin sekarang sedang apes saja. Mereka tahu apa yang harus dilakukan", tambahnya begitu saja. Basith merutuki kondisi yang dihadapinya kini. Pertanda apa lagi ini. Benarkah ia mengalami hari yang berulang. Apakah sekarang ia sedang di67

Sulung Prasetyo

Sesat

permainkan? Ia mengamati kembali wajah temantemannya. Semua terlihat serius. Tak terlihat ada drama yang disembunyikan. Ia menjadi sangsi. Terlintas dikepalanya bayangan yang tidak-tidak. Temasuk masalah hantu dan mahluk-mahluk dari angkasa luar, yang kerap membuat cerita-cerita aneh seperti ini. Namun tak ditemukan apapun yang mencurigakan. Semua senormal dan sewajar biasa. Lalu ada apa? Pikiran Basith buyar, saat Diana mempertanyakan rencana perjalanan pencarian. Diana terlihat menarik ke atas resleting jaketnya. Berusaha membuat tubuhnya lebih hangat. Dari dingin yang terus menusuk kulit. Semua terdiam menanti jawaban Basith. Sebab ia yang memang secara tak resmi, paling layak menjadi pemimpin regu pencari ini. Basith sendiri sedang berada dalam situasi dilematis, yang sulit dijabarkan nalar. Satu sisi ia ingin bercerita tentang hari yang berulang. Namun ia tahu, semua tak akan ada yang percaya. Selain juga waktu yang tak tepat untuk mengungkapkan itu semua. Akhirnya Basith mengeluarkan desahan, sebelum akhirnya menjawab. "Rencananya sudah baik. Kalau 68

Sesat

Sulung Prasetyo

memang mereka berencana turun di Cisarua, memang sudah seharusnya kita memeriksa jalur itu dahulu. Semoga kita tak terlalu terlambat menolong mereka." "Kalau mereka turun leat jalur lain bagaimana?" bantah Riko. "Aku sudah tahu, kau akan bertanya seperti itu. Kita telusuri saja dulu jalur Cisarua ini. Nanti dipertigaan pertemuan dengan jalur Pasir Pangrango dan menuju puncak, kita bagi tim menjadi dua. Mencari tanda-tanda di kedua jalur itu", tukas Basith dengan sedikit kesal. Hatinya tiba-tiba menjadi tak menentu. Berusaha menerka, namun pikirannya buntu. "Okelah...aku setuju dengan rencana Basith. Tapi aku tak ikut, karena harus ke kantor balai taman nasional. Mengurus masalah operasi SAR", sela Didi. Basith kemudian menengok ke arah Dodo. Yang segera menjawab tak ikut mendaki juga. Karena harus membawa mobil turun kembali. Akhirnya seperti yang sudah diketahui. Mereka sepakat bergerak mencari dengan anggota empat orang saja. Basith, Riko, Yusuf dan Diana. Sejuta praduga seperti ingin meledakan kepala Basith. Berbagai konflik dikepala, akhirnya bermuara 69

Sulung Prasetyo

Sesat

pada satu kesimpulan. Rasa penasaran, untuk mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.

70

Sesat

Sulung Prasetyo

XIV Dipandanginya kembali punggungan-punggungan gunung yang tersaput kabut. Awan putih tampak memenuhi daerah sekitaran puncak. Dua puncak, Gede dan Pangrango. Bersebelahan, menyimpan misteri. Seharusnya hujan siang ini, pikir Basith. Dan ia mulai menerka, seberapa jauh ia bisa berjalan mendaki. Sebelum nanti hujan turun. Jalur Cisarua sudah tak asing bagi Basith. Beberapa kali ia pernah melintasinya. Selain dia, Riko juga pernah mencapai puncak Pangrango, melalui jalur Cisarua. Entah Diana. Tapi ia sangat yakin, hanya Yusuf yang belum pernah melintasi jalur tersebut. Karena ia ingat betul, Yusuf yang mengatakan sendiri, kalau ia belum pernah melewati jalur itu, pada hari sebelumnya. Tepat sesaat sebelum Yusuf bersama Riko bergerak mencari korban, ke arah Pasir Pangrango. Mayat itu? Apakah akan mereka temukan kembali? Bagaimana dengan orang gila itu juga? Berbagai pikiran berkecamuk dikepala Basith. Apakah yang dihadapi hari ini, akan sama dengan hari kemarin? Rasa penasaran menyelusup masuk ke dalam re71

Sulung Prasetyo

Sesat

lung hatinya. Logikanya mulai menerka, meski pada akhirnya menemui jalan buntu lagi. Tak ada teori apapun dikepalanya, yang mampu menjelaskan kondisi yang kini dihadapinya. "Kuharap kau masih ingat jalur awal pendakian dari Cisarua ini", kembali suara Diana terdengar meneguhkan apa yang terjadi pada diri Basith. Pertanyaan yang sama, di waktu yang sama. Basith hanya menyodorkan gambar peta yang sedari tadi dilihatnya. Ia sudah selesai memberi tanda jalur pendakian, yang akan mereka lewati. Sebuah garis berwarna stabilo, meliuk mengikuti garis punggungan di peta. Garis itu bertemu dengan garis lain, yang berasal dari daerah bertuliskan Pasir Pangrango. Kedua punggungan itu bertemu dan menyatu, kemudian mengarah ke puncak Pangrango. "Kudengar, daerah yang paling sulit di jalur Cisarua adalah menentukan punggungan awalnya", tanya Diana kemudian setelah melihat peta. "Tinggal cari sungai ini saja", tutur Basith sambil menunjuk garis aliran sebuah sungai, tanpa menyebut namanya. "Setelah itu baru menentukan titik awal pendakian", tambahnya. Basith lalu meminta data diri korban lagi. Ia mulai 72

Sesat

Sulung Prasetyo

berpikir untuk secepatnya saja mulai mendaki. Namun ia tak boleh melewatkan sesi taklimat terakhir. Sebelum tim itu mulai bergerak mencari. Setelah tim berkumpul, Basith kembali mengingatkan agar masing-masing memperhatikan data diri korban. Basith lalu meminta Yusuf membaca dengan suara keras, data diri korban tersebut. Nama

: Samsu Fajri alias Ciblek

Umur

: 27 tahun

Kelamin :

Pria

Tinggi

: 170 cm

Berat

: 60 kg

Warna kulit : Sawo matang Rambut :

Ikal keriting hitam

Ciri khusus

: Tahi lalat didekat ketiak

Kemudian Yusuf juga membaca dengan keras, data diri dari korban yang kedua.

73

Nama

: Armando Tungga alias Ando

Umur

: 29 tahun

Sulung Prasetyo

Sesat

Kelamin

: Pria

Tinggi

: 172 cm

Berat

: 70 kg

Warna kulit : Sawo matang Rambut

: Lurus hitam

Ciri khusus

: Codet di pipi kiri

"Coba ingat-ingat terus nama dan data diri korban. Karena mungkin kita akan banyak berteriak memanggil nama itu, saat pencarian nanti. Perhatikan juga barang-barang yang mereka bawa. Mungkin tercecer di jalur dan nanti ditemukan", Basith mengatakan itu semua seperti sudah hafal diluar kepala. Riko mengangkat tangan. Pikiran Basith langsung menerka, perihal rencana ke Pasir Pangrango. Dan benar saja, apa yang diduganya itu. Setelah menjawab seperlunya, Basith segera meminta Diana menghubungi Didi. Melaporkan dimulainya rencana pendakian pencarian mereka. Dalam hati, Basith sudah mulai tak sabar. Ia ingin segera bergerak mencari tahu. Benarkah mereka akan menemui orang gila dan mayat itu lagi?

74

Sesat

Sulung Prasetyo

XV Perjalanan menuju batas hutan dapat dilewati dengan mudah. Seingat Basith, setelah melewati batas ujung perkebunan teh, mereka akan menemui jalur dipinggir sungai. Setelah itu mereka akan menemui rerumpunan pohon honje. Baru setelahnya menembus gerombolan rumpun bambu. Kemudian mendaki dan menemui rumah penjaga air. Sama seperti dugaan Basith. Tak ada yang berbeda sedikitpun. Seperti sudah diatur sedemikian rupa. Bahkan sususan deret orang yang bergerak mendaki juga sama. Yang terdepan Basith, diikuti oleh Diana, baru kemudian Yusuf dan Riko paling belakang. Basith terdiam didepan rumah penjaga air. Matanya menatap langkah Diana. Perempuan itu melangkah sigap, di atas batas bak penampung air. Pandangan Basith yang memperhatikan, tertangkap mata Diana. Suasana menjadi canggung, karena Diana merasa risih diperhatikan. Setelah menaruh ransel di dalam rumah penjaga air, Basith segera menarik tangan Diana. Membawanya ke bagian belakang rumah. 75

Sulung Prasetyo

Sesat

"Tingkahmu makin aneh akhir-akhir ini. Ada apa Basith?" suara Diana muncul menerka. "Aku ingin menghentikan semua ini", jawaban Basith terdengar mengagetkan. Diana menatap Basith dengan pandangan terkejut. Mencoba menerka kata-kata yang dikeluarkan, lelaki bertubuh ramping didepannya itu. Wajah Basith terlihat mengeras, ada kesan serius disana. "Ini bukan deja vu. Aku seperti mengalami hari yang pernah kulewati. Aku mulai menjadi gila", tutur Basith dengan terburu-buru. "Sinting. Mengulangi hari bagaimana? Apa yang terjadi denganmu Basith?" tanya Diana dengan tak percaya. "Entah. Aku seperti pernah mengalami semua ini. Aku ingat sekali. Baru kemarin juga seperti ini". Diana lalu teringat perkataan aneh Basith tadi pagi. Saat mereka baru bertemu lagi, dipinggir lapangan batas desa. Sebelum memulai pendakian. "Aku tak mengerti? Apa kau memakai narkoba tadi pagi?" asumsi Diana tumbuh bersama kecurigaan dalam hatinya. Basith memegang kepalanya yang tak sakit. Memang terlalu rumit dinalar akal. Dan seharusnya ia 76

Sesat

Sulung Prasetyo

sudah menduga, orang-orang akan berfikir yang tidak-tidak, bila ia mengungkapkannya. Basith lalu kembali menarik tangan Diana. Membawanya ke pinggir sungai kecil, dibelakang rumah penjaga air. "Kau perhatikan disana. Itu ular yang aku juga lihat kemarin", tunjuk Basith ke seberang sungai. Seekor ular hitam memang bergerak cepat menjauh. Menyadari kehadiran manusia disana. Diana menatap ular itu tak percaya. Semua mungkin saja kebetulan terjadi. Dan semua yang diterangkan Basith, tetap menumbuhkan rasa ketidakpercayaan dalam dirinya. "Kurasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Ada orang hilang yang membutuhkan pertolongan kita", Diana mencoba mengusir semua pikiran-pikiran buruk dikepalanya. Dan mencoba mengembalikan semua pada pikiran logis, sebab dan tujuan keberadaan mereka di hutan ini. Basith menatap Diana dengan tak percaya. Habis sudah kini, kesempatan ia menemukan jawaban permasalahannya melalui pertolongan orang lain. Dan ia menatap hutan didepannya dengan pandangan kosong. "Hooiiii...apa 77

yang

kalian

lakukan

disana?"

Sulung Prasetyo

Sesat

teriakan Riko terdengar dari arah rumah penjaga air. Teriakan itu membuat Diana dan Basith tersentak. Bila mereka salah menjawab, bisa timbul jawaban yang tidak diinginkan. Diana menatap Basith. Matanya meminta Basith yang menjawab teriakan tersebut. "Kami sedang mencari jalur punggungaan naik", Basith yang akhirnya menjawab teriakan Riko. Kemudian memandang Diana dengan mengangkat bahu. Mencoba tersenyum, meski kebingungan masih meliputi dirinya. "Mau kemana kita?" tanya Diana. "Sudah kukatakan. Aku pernah melewati ini kemarin. Kita ke punggungan yang ada dibelakang pohon tumbang itu", ucap Basith sambil menunjuk ke arah akar pohon besar yang mencuat keluar tanah. "Sepertinya yakin sekali", ucap Diana sambil memperhatikan peta ditangannya. "Sudah. Tak perlu lagi kau lihat peta itu. Sulit menerka posisi dari sini. Kita berada didalam lembah. Percaya saja. Aku sudah pernah melewati semua ini". Diana menatap Basith dengan masygul. Hatinya 78

Sesat

Sulung Prasetyo

penuh dinaungi berbagai pertanyaan. Basith yang aneh, dan semua yang akan dihadapi berikutnya. "Ayo kita kembali ke rumah. Daripada mereka berpikir yang tidak-tidak", ucap Basith mulai bergerak ke arah rumah. Di dalam rumah, Yusuf baru saja mengeluarkan kompor. Sepertinya mereka akan membuat minuman panas. Tapi segera terhenti karena kedatangan Basith dan Diana. "Tak ada waktu untuk leyeh-leyeh. Segera bersiap pergi. Waktu sangat penting sekarang", tukas Basith. Ia segera mengangkat ranselnya, diikuti dengan gerakan serupa yang dilakukan Diana. Riko dan Yusuf menatap mereka berdua dengan pandangan kusut. Rencana mengembalikan tenaga dengan kopi panas, pupus sudah. "Aku berangkat duluan dengan Diana. Kalian coba kembali hubungi Didi. Cari kabar terbaru dari base camp", ucap Basith tegas. Lalu Basith berlalu bersama Diana. Meninggalkan Yusuf dan Riko yang masih melongo. Dengan cepat Basith melewati sungai, dan menuju ke arah akar pohon yang mencuat keluar tanah. Kemudian memanjati batang pohon tumbang tersebut. Meniti ba79

Sulung Prasetyo

Sesat

tang yang miring, dan melompat ke batu besar diujung atas pohon. Tak lama terdengar teriakan dari jauh. Suara Yusuf terdengar samar, tepat saat Diana berhasil menyusul Basith. "Itu pasti kabar dari Didi. Kalau salah satu korban mengabarkan sakit", ucap Basith dengan yakin sambil menatap Diana. Kemudian ia berjalan menembus punggungan terbuka, yang membentang didepannya. Meninggalkan Diana yang kini melongo keheranan.

80

Sesat

Sulung Prasetyo

XVI "Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" suara tanya Diana terdengar terengah-engah Basith memandangi gadis itu, sambil duduk beristirahat menunggu. Setelah dekat, dia berdiri memunggunginya. Seperti mengejek, karena akan memulai berjalan mendaki kembali. "Seperti sudah kubilang. Aku pernah mengalami hari yang sama seperti hari ini", ucap Basith pendek. Sementara tangannya sibuk membetulkan tali ranselnya. "Sepertinya efek narkoba belum hilang dari kepalamu", respon Diana sinis, tetap yakin dengan asumsi sebelumnya. "Terserah kau. Yang jelas aku tak mengosumsi narkoba jenis apapun hari ini. Dan ucapanku itu, memang kenyataan yang sebenarnya terjadi". Diana mendesah. Merasa akan makin berat cobaan yang akan dilaluinya hari ini. Mencari orang hilang, bersama orang yang mulai kehilangan akal. Ia kemudian duduk, sambil menatap Basith yang mulai bergerak menjauh. "Ciiiibblleeekkkk !!!!" "Aannnnddddoooo !!!!" 81

Sulung Prasetyo

Sesat

Terdengar teriakan-teriakan dari belakang Diana. Kedua pria dibelakangnya, Yusuf dan Riko sepertinya masih berharap ada teriakan balasan dari korban. Tetapi semua senyap. Semua teriakan-teriakan itu seperti hilang tertelan lembah dalam. Lembah terjal yang kini berada disamping kiri dan kanan, jalur pendakian mereka. Tepat saat Diana melihat kepala Yusuf menyembul dari rerimbunan, dia mulai begerak mengangkat ranselnya. "Cepat !!! Basith sudah jauh didepan", teriak Diana. Muka Yusuf seketika berubah kesal. Keletihan masih menggayuti raut wajahnya. Tapi Diana seperti tak mengacuhkan hal itu. Sudah dua jam ini, mereka mendaki seperti kesetanan. Tanpa ada jeda duduk bersama sekalipun. Terus berteriak-teriak memanggil. Seraya mata mengawasi daerah-daerah menuju lembah, yang mungkin dimasuki dua pendaki tersesat itu. Sesekali mengecek area yang mencurigakan, namun selalu kembali dengan kekecewaan. Karena tak mendapatkan tanda-tanda keberadaan dua pendaki tersesat itu sedikitpuñ. 82

Sesat

Sulung Prasetyo

"Riko, cepat naik. Basith memanggil", kali ini suara Diana terdengar agak keras. Mendengar suara Diana, Riko segera menyalakan HT yang tergantung di bahu ranselnya. "Rojer Basith. Siap pantau. Ganti", Riko mencoba menghubungi. "Riko segera naik. Kita buka fly sheet sebelum hujan turun. Ganti", suara Basith terdengar serak. Riko melihat sekelilingnya. Kabut memang sudah menyelimuti hutan. Membuat batang-batang pohon menjadi seperti bayang-bayang. "Belum ada tanda-tanda akan hujan. Ganti", balas Riko kritis. "Percaya saja. Sebentar lagi hujan. menemukan tempat datar disini. Ganti".

Aku

"Oke. Stand by. Segera meluncur kesana. Ganti", balas Riko setelah menatap Yusuf. Kemudian meminta Yusuf segera bergerak mendaki. Setelah lima belas menit mendaki. Riko dan Yusuf mendapati Basith dan Diana sedang duduk-duduk, disebuah bidang datar diatas tanah. Diatas mereka tampak sebuah batang pohon besar melintang horizontal. 83

Sulung Prasetyo

Sesat

Tepat setelah Riko menaruh ransel. Suara guntur terdengar menggelegar. Diikuti angin yang berhembus makin kencang. Tangan Basith menunjuk ke atas. Seperti ingin mengatakan, kalau semua benar terjadi seperti yang diucapkannya. Yusuf yang belum mengerti, hanya secepatnya berusaha mengeluarkan fly sheet dari ransel. Kemudian membentangkan fly sheet berbahan parasut itu, melewati batang horizontal. Mengikat ujungujungnya pada ranting-ranting disekitarnya. Dalam sekejap, atap naungan darurat sudah menutupi bagian atas kepala mereka. Melindungi dari tetes hujan, dan memberikan tempat untuk menyalakan kompor. "Hari ini kau agak aneh Basith", ujar Riko memecah keheningan. Tangannya sibuk mengaduk kopi hitam panas ditangannya. "Aneh bagaimana?" tanya Basith. Matanya melirik Diana. Curiga kalau perempuan itu sudah bercerita yang tidak-tidak. "Ya aneh. Tidak biasa. Tidak seperti Basith yang kukenal", balas Riko lagi. Yusuf memilih diam, karena ia yang paling muda diantara mereka. Sementara Diana menyibukan diri 84

Sesat

Sulung Prasetyo

dengan rambut sebahunya yang basah. "Tak ada yang aneh. Biasa saja. Aku hanya bingung dengan kejadian hari ini. Tapi pasti kau tak akan percaya, kalau kuceritakan juga". "Lebih baik kita membicarakan apa yang sudah kita lakukani hari ini. Sekalian sedikit evaluasi", sela Diana, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Sebab menurutnya kalau Basith jadi membicarakan hal yang tadi dibicarakan olehnya, maka sama saja membuang waktu sia-sia. "Sepertinya kalian berdua menyimpan sesuatu", sahut Riko, seperti bumerang yang siap melibas Basith dan Diana. Diana terbatuk mendengar kata-kata Riko. Sial, pikirnya. Bisa mengarah ke bermacam-macam asumsi yang merugikan. Matanya kemudian melirik Basith. Yang dilirik malah sibuk mengunyah kudapan. Seperti tak peduli. Meski kemudian tersenyum lebar. Senyum yang tak dimengerti semua orang. "Sudah kubilang. Kau tak akan percaya. Walau susah payah nanti kuceritakan. Sama seperti Diana juga", ucap Basith lagi. Riko menatap Diana, meminta penjelasan. Diana 85

Sulung Prasetyo

Sesat

menjadi serba salah. Ia merutuki Basith, karena seperti bola panas kepadanya. "Aku seperti mengalami hari yang berulang", ujar Basith, merasa tak enak kepada Diana yang menjadi rikuh. "Hari yang berulang bagaimana? Deja.....deja..apa itu? yang kau sebut tadi pagi?" Riko menimpali. "Deja vu. Bukan seperti itu. Ini lebih parah lagi. Kalau deja vu, hanya merasa saja. Pernah mengalami pengalaman yang sama sebelumnya. Ini, hari ini sama seperti hari kemarin. Persis sama", urai Basith. Kemudian terdiam mendengar respon Riko. "Gila. Persis sama. Bagaimana mungkin?" Riko menyahut dengan setengah berteriak. "See. Tak akan ada yang percaya", tukas Basith. Matanya kemudian menatap Yusuf. Mencoba mencari tahu pendapatnya. Yusuf hanya terkekeh. Ia hanya mengangkat bahu. Seperti tak ingin mencampuri urusan orang lain. "Jadi itu, tadi pagi sempat kau bilang, kalau pergi bersama Diana semalam?" tanya Riko, masih tak percaya. "Seperti begitulah. Apa mau kau keceritakan semua apa yang aku pernah lewati kemarin?" tan86

Sesat

Sulung Prasetyo

tang Basith. Yusuf yang pertama mengangguk. Tak konsisten dengan prinsipnya semula. Diikuti anggukan yang lain, termasuk Diana juga. Yang kembali merutuki diri, karena ikut terlarut dalam cerita nonsens Basith. Pelan-pelan Basith mulai menceritakan semua apa yang pernah dilalui hari sebelumnya. Mulai dari awal bangun tidur, hingga tertidur lagi saat menuju Jakarta. "Dan yang terjadi hari ini?" Riko menyela tak sabar. "Kau bisa menilainya, apa yang sudah kita lalui sedari pagi tadi". "Berarti kita akan bertemu orang gila, setelah hujan nanti", kali ini Yusuf yang menebak lebih dulu. "Siapa yang berani bertaruh denganku", kata Basith sambil menenggak habis kopinya.

87

Sulung Prasetyo

Sesat

XVII Riko menatap dengan tak percaya orang yang kini berada dihadapannya. Lelaki yang berjongkok kedinginan. Pakaiannya basah kuyub dan menggigil hebat. Pria itu berambut kusut. Agak panjang dan seperti tak terurus. Rambut kotor, penuh dengan debu basah dan sedikit dedaunan. Wajahnya juga kotor, penuh dengan daki. Debu yang menempel kulit karena basah. Kulit mukanya terlihat pucat. Bibirnya mulai membiru. Tak hentihentinya pria itu menghembuskan angin dingin. Lelaki itu mengenakan kemeja kotor, yang mulai robek disana-sini. Sedikit bagian tubuhnya terlihat, mungkin agak sama juga, keriput membeku. Pria itu memakai celana panjang berwarna gelap. Bagian bawah jahitan celananya, tampak sudah robek sampai selutut. "Bapak dari mana?" suara Basith tampak masih bertanya memburu. Lelaki itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya mengeluarkan kata-kata tak jelas. Sambil tangannya menunjuk ke sebuah arah. "Siapa dia?" sela Riko penasaran. 88

Sesat

Sulung Prasetyo

Diana hanya mengangkat bahu. Kemudian mengatakan kalau mereka juga baru melihat pria itu. Berjongkok dipepohonan dipinggir jalur pendakian. "Nama bapak siapa?" kembali Basith bertanya. Lagi-lagi lelaki itu hanya menggelengkan kepala. Mulutnya menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Lalu kembali badannya menggigil hebat. Riko memperhatikan kembali orang itu. Ia tampak kaget, ketika mengetahui pria itu tak mengenakan alas kaki. Hanya selembar kaus baju, tampak membebat kakinya. Warna kulit kaki itu, juga mulai pucat keputihan. "Beri dia makanan", saran Riko. Yang segera dimahfumi yang lain, sebagai saran terbaik yang bisa dilakukan saat itu. Basith segera meminta roti kepada Diana. Yang segera mengeluarkan beberapa bungkus dari dalam ranselnya. Dengan menggila, lelaki itu memakan roti yang disodorkan. Hampir tiga bongkah roti dimasukan begitu saja ke dalam mulutnya. Kemudian tanpa mengunyah lama-lama, ia menelan roti-roti tersebut. Bongkah-bongkah roti yang belum lumat itu yang 89

Sulung Prasetyo

Sesat

kemudian membuat lelaki itu tersedak. Membuatnya sulit bernafas. Basith segera menyodorkan air minum yang tadi disodorkan Diana. Dengan ganas, lelaki itu menyambar botol air minum. Kemudian menenggak semua sisa air yang ada. Ia menenggak seperti kesetanan. Seperti sudah lama sekali berada di gurun pasir. "Apa bapak melihat teman-teman kami? Dua orang pendaki. Sudah hilang dari dua hari yang lalu", kembali Basith mencoba mengorek keterangan. "Percuma. Ia cuma orang gila. Cuma orang gila yang bertahan dihutan ini, tanpa makanan dan pakaian yang layak", ketus Riko. Basith menatap Riko. Matanya berusaha mengatakan, bahwa semua yang dikatakannya merupakan kebenaran. Terbukti mereka menemukan orang gila itu. Tatapan mata itu dibalas Riko, dengan rasa heran yang jauh terpendam dalam dada. Heran bercampur takjub. Mulutnya tak dapat mengeluarkan kata-kata apapun. Bahkan hingga Basith mengajak mereka pergi, dan meninggalkan lelaki gila itu sendiri.

90

Sesat

Sulung Prasetyo

XVIII "Bagaimana kau bisa melakukan hal itu?" Riko bertanya sambil mengejar mendaki. "Melakukan apa?" tanya Basith sambil melenggang berjalan. Pikirannya sudah berubah kini. Yang semula kisruh karena mengalami hal aneh. Menjadi menikmati, karena bisa mempermainkan perasaan teman-temannya. "Itu tadi. Bisa tepat akan menemui orang gila", kejar Riko lagi. Sementara Diana dan Yusuf, hanya terdiam melihat mereka berkejaran. "Sudah kubilang. Aku mengalami pengulangan hari. Jadi hari ini, sebenarnya sudah kulalui kemarin. Seperti kubilang padamu. Persis sama. Jadi mudah saja sebenarnya kalau aku bisa menebak menemui orang gila itu. Karena aku juga bertemu dengannya kemarin", jelas Basith cuek. "Tapi apa kau baik-baik saja?" tanya Riko lagi, penasaran. "Bagaimana juga bisa seperti itu?" tambahnya. "Mana kutahu. Aku juga bingung awalnya. Tapi sudah terjadi. Mau bagaimana lagi". "Apa kau tak takut, besok akan seperti ini lagi?" pertanyaan Riko menusuk. Membuat Basith berhen91

Sulung Prasetyo

Sesat

ti mendaki. Berbalik badan menatap Riko, dan menunjukan jari ke arah sahabat karibnya itu.. "Itu pertanyaan besar yang belum bisa kujawab. Tapi setidaknya kini aku bisa berpikir, kalau pasti ada sesuatu, yang membuat aku menjadi mengulangi hari seperti ini", analisa Basith. "Sesuatu? Sesuatu apa?" "Kau jangan membuat aku tambah pusing Riko. Seharusnya kau membantu, mencari apa sesuatu itu". "Membantu? Membantu bagaimana?" "Ya, bagaimana gitu. Gimana kalau dengan diam dulu", ucap Basith menohok. "Hei. Apa kalian sudah selesai berdebat. Bagaimana dengan daerah ini. Sepertinya ada daerah baru terbuka yang ke lembah", teriak Diana dari bawah. "Tinggalkan saja. Mereka tak ada disana. Lebih baik kita cepat-cepet mengejar mereka ke Pasir Arca", saran Basith. "Heh, yakin sekali kau mereka ada di Pasir Arca", sanggah Riko. Basith menggeleng-gelengkan kepala. Temannya yang satu ini masih saja tak percaya. Lalu ketimbang 92

Sesat

Sulung Prasetyo

berdebat, Basith meneruskan bergerak cepat menuju pertemuan jalur Cisarua dan Pasir Pangrango. Diana menatap Riko dengan pandangan meminta pendapat. Riko menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Memandangi tubuh Basith yang terus hilang mendaki. Kemudian kembali menatap Yusuf dan Diana. "Diana, kau naik saja dulu. Tahan Basith dipertigaan Pasir Pangrango. Aku dan Yusuf mencari dulu ke lembah. Nanti kita komunikasi dengan menggunakan HT saja", akhirnya Riko mengambil keputusan. Keputusan yang kemudian dianggap paling seimbang, dengan maksud dan tujuan mereka berada di gunung ini. Dengan segera Diana mengejar Basith. Sementara Yusuf dan Riko menerobos ke lembah. Setelah tiga puluh menit berlalu, tiba-tiba terdengar panggilan dari HT. "Kontak Riko. Kontak", suara Basith terdengar di HT. Setelah tiga kali memanggil, baru Riko membalas panggilan tersebut. "Riko disini. Riko disini. Ada apa ganti". 93

Sulung Prasetyo

Sesat

"Kau membuatku sadar. Kalau tak ada yang bisa kurubah. Meski berusaha membedakannya". "Over Basith. Ada apa? Tidak mengerti. Ganti". "Susah menjelaskan. Cepat kesini. Kau tak akan menemukan apa yang kita cari disana. Ganti". "Sial. Kupikir ada apa. Segera meluncur kesana. Ganti". Apa yang dikatakan Basith ada benarnya. Kembali Riko dan Yusuf tak menemukan apa yang mereka cari dilembah itu. Tak ada juga balasan teriakanteriakan panggilan. Semua senyap, sunyi tertelan hutan yang pendiam. Sambil merangsek ke jalur utama. Riko kembali berusaha menghubungi base camp. Dari mulai ramai, oleh orang-orang yang berniat membantu.HT dikabarkan kalau operasi SAR sudah resmi dibuka. Berarti di base camp akan Segera Riko dan Yusuf mendaki ke tempat dimana Diana dan Basith berada. Dalam hati berharap makanan sudah selesai dimasak.

94

Sesat

Sulung Prasetyo

XIX Puncak Pangrango berdiri kukuh dikejauhan. Kabut menutup tipis punggungan-punggungannya. Menjadikan warna hijau hutan, berubah memutih. Diana menatap puncak itu sekali lagi. Seperti tersisa hanya dari leher menuju kepala. Menanjak tanpa jeda, tak menyisakan sedikitpun tempat datar hingga ke puncak. "Apa kaau pernah ke puncak Pangrango dari sini?" Diana bertanya sambil terus menatap puncak. "Kau belum pernah? Enak mendaki ke puncak Pangrango dari sini. Paling lama dua jam sampai ke puncak. Mendaki terus, sedikit tempat buat istirahat. Tapi hutannya alami sekali. Bersih, mungkin karena sedikit pendaki yang lewat sini. Beda dengan jalur Cibodas atau Gunung Putri", urai Basith. "Apa ada kemungkinan orang tersasar, dari arah puncak kesini?" Diana bertanya dengan halus. Berusaha mengembalikan pada tujuan mereka berada di gunung ini. "Hampir tak mungkin. Selama mereka tepat menemukan jalur turun. Setelahnya lintasan pasti akan membawa mereka kesini. Kemungkinan sesat hanya ada di sebelum pertigaan ini. Sebab ada per95

Sulung Prasetyo

Sesat

tigaan serupa menuju ke jalur Citeko", papar Basith, menceritakan itu semua diluar kepala. Seperti menghafal saja. "Berarti seharusnya kita mencari juga ke jalur Citeko?" Basith menatap kompor, dengan panci kecil berisi beras yang sedang dimasak. Kemudian mengusapkan kedua telapak tangan, berusaha mengusir dingin. "Tak perlu. Aku yakin sekali mereka ada di Pasir Arca", ucap Basith masih berkutat dengan apa yang dirasakannya, tentang pengulangan hari. Diana terdiam. Menyesali, karena topik pembicaraan kembali pada diri Basith. Diana bukan tak peduli pada apa yang dialami Basith. Namun situasi dan kondisi menurutnya tak mendukung. Sasaran utama mereka adalah mencari Ciblek dan Ando. Dan itu harus dilakukan bukan berdasarkan perasaan, atau pengalaman aneh yang pernah dirasakan seseorang. "Bagaimana kalau kali berikutnya dugaanmu salah? Lagipula bukannya kita harus mencari sesuai dengan prosedur standar pencarian orang hilang di gunung? Bukan berdasarkan feeling atau pengala96

Sesat

Sulung Prasetyo

man aneh saja", akhirnya Diana mengeluarkan uneguneg dikepalanya. Dengan tawa kecil Basith merespon ucapan Diana. Dia tahu, perempuan itu masih saja tak percaya padanya. "Sampai saat ini sudah lebih dari limapuluh persen semua kejadian hari ini sama dengan hari kemarin. Bahkan ketika aku berusaha merubahnya, tetap saja garis besar kejadian tetap seperti sebelumnya. Tadi, bukan sembarangan bahkan aku melarang Riko dan Yusuf mencari ke lembah. Aku ingin melihat apa mungkin bisa merubah semua kejadian ini. Sebab, kalau Yusuf dan Riko suudah bersama kita sekarang. Mungkin kita bisa lebih cepat mencari Ando dan Ciblek, di Pasir Arca. Tapi kenyataannya, kau lihat sendiri. Mereka tetap memutuskan ke lembah, dan membuat kita menunggu disini. Sama seperti sebelumnya. Harus makan siang dulu, baru setelah itu mengarah ke Pasir Pangrango. Dan menemukan mayat itu lagi", urai Basith panjang lebar. "Tetap tak menjawab pertanyaanku. Kita mencari tak sesuai prosedur. Segala hal bisa saja terjadi", sanggah Diana. "Apa yang tak sesuai prosedur? Semua yang dilakukan hari kemarin, sama seperti hari ini. Hari 97

Sulung Prasetyo

Sesat

kemarin seingatku sudah sangat sesuai dengan prosedur. Kalau hari ini kita melakukan hal yang sama dengan hari kemarin, berarti kita sudah sesuai prosedur juga", balas Basith mengeluarkan argumentasinya. "Tapi kau memasukan hasil perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman anehmu. Membuat semua ini menjadi seperti tak yang diharapkan", Diana mengucapkan itu dengan menghentakan kaki. Seperti anak kecil yang sedang kesal. "Kita seharusnya bersyukur. Karena diberikan kesempatan seperti ini. Kesempatan kedua. Kesempatan kita bisa menyelamatkan dua orang pendaki yang tersesat itu. Ats dasar itu juga aku tetap mencari sekarang. Ketimbang memutuskan pulang, dan hanyut dalam kebingungan. Sebab setidaknya, aku sekarang bisa menyelamatkan dua pendaki itu", Basith berkata berusaha meyakinkan Diana. Perempuan itu kembali menatap puncak Pangrango. Pandangannya menerawang. Terasa sulit baginya memahami lelaki didekatnya itu kini. Frustrasi itu makin hebat, tatkala menyadari ia telah kalah dalam berargumentasi. Diantara kebekuan yang tercipta, suara Yusuf dan Riko terdengar dari arah Cisarua. "Hooiii..sisakan makanan buat kami", teriak Yusuf. 98

Sesat

Sulung Prasetyo

Yang sebentar kemudian muncul sosoknya dari balik pohon. Diikuti dengan tubuh Riko dibelakangnya. Selesai melempar ranel, mereka segera bergabung diatas selembar fly sheet yang dijadikan alas duduk. Dengan langit membentang diatas kepala, mereka mulai menyantap makanan bersama. Riko menatap Diana dan Basith bergantian. Sebelum menyendokan nasi ke dalam piring. Pikirannya mencoba menerka apa yang terjadi. Namun hatinya merasa pesimis, karena melihat muka kusut Diana. "Apa kita akan melakukan evaluasi?" suara Riko memecahkan kesunyian. Matanya menatap ke arah Basith. Sambil mengunyah, Basith terlihat berpikir. Bola matanya melihat ke atas, setelah baru saja menelan suapan nasi pertama. "Kupikir tak perlu, laporkan saja apa yang sudah kita lakukan ke base camp. Selain juga rencana kita berikutnya", ucap Basith tegas. "Memang rencana kita selanjutnya apa?" tanya Riko. "Kita langsung ke Pasir Arca", jawab Basith. "Heh...tunggu dulu. Kalau kau memang yakin dengan kejadian yang menimpa dirimu kemarin dan 99

Sulung Prasetyo

Sesat

hari ini, bagaimana dengan mayat yang kemungkinan akan kita temukan nanti?" Riko bertanya dengan tak yakin. "Kita tinggalkan mayat itu. Aku yakin, kesempatan ulang yang diberikan ini adalah untuk menyelamatkan Ando dan Ciblek di Pasir Arca". Mendengar keputusan itu, Diana hanya menundukan kepalanya. Makin berat hari rasanya.

100

Sesat

Sulung Prasetyo

XX Belum pernah Yusuf merasa sangat ingin kencing seperti sekarang. Bukan diwaktu yang tepat sebenarnya. Saat mereka sedang melaju, melintas jalur Pasir Pangrango, menuju Pasir Arca. Yusuf mengutuk dalam hati. Kenapa ia tidak dari tadi saja buang air kecil. Sesudah makan dan sebelum bergerak seperti sekarang. Sebab rasanya canggung, meminta yang lain untuk berhenti, disaat kondisi tubuh sudah mulai panas seperti ini. Tapi rasa ingin itu seperti sudah diujung kepala. Tinggal menunggu muntahnya saja. Sementara berusaha menahannya, sama saja dengan cari penyakit. Dan memang tak ada yang lebih baik, daripada melepaskannya saja. Masalahnya sekarang, Yusuf menjadi orang terdepan dalam barisan. Riko dan Basith sepakat menaruh Yusuf didepan. Karena dia yang paling tak berpengalaman di jalur itu. Harapannya agar Yusuf lebih cepat paham, pada kondisi jalur. Sementara resiko tersasar lagi, sebenarnya sangat minim terjadi. Mengingat Riko dan Basith selalu menyertai dibelakang. Ketika Yusuf akhirnya mengangkat tangan menge101

Sulung Prasetyo

Sesat

pal. Memberi kode agar berhenti sebentar, membuat Basith dan Riko bertanya-tanya. Mereka baru saja mulai berjalan. Belum ada sepuluh menit. Ada apa gerangan? yang membuat Yusuf memutuskan untuk berhenti. Awalnya Basith berpikir ada halangan berupa semak tebal, atau batang pohon melintang yang menghalangi jalur. Hingga membuat Yusuf membutuhkan waktu untuk melewatinya. "Tunggu sebentar, aku ingin kencing", suara Yusuf seperti terdengar menahan sesuatu. Riko menepuk jidatnya. Tertawa menahan senyum. Turut bersimpati, karena pernah merasakan hal yang sama. Sementara Diana, lebih memilih duduk diam. Seperti mengatur energi. Mungkin karena berpikir akan menempuh perjalanan cukup jauh, disisa hari ini. Hanya Basith yang merasa berat hati. Melihat tubuh Yusuf menembus rerimbunan disisi kanan jalur. Sebab ia tahu, akan makin banyak waktu terbuang percuma. Namun setelahnya Basith merasa pasrah. Menyadari tak ada yang bisa dirubah, segala yang pernah terjadi sebelumnya. Seperti dugaannya, tak lama teriakan Yusuf 102

Sesat

Sulung Prasetyo

terdengar. Membuat kaget semua orang. Serentak semua segera memburu ke arah Yusuf. Mencari tahu penyebab teriakan Yusuf. Mereka mendapati Yusuf berdiri dengan wajah panik. Tangannya menunjuk ke sebuah arah. Dimana ketika mata menoleh ke arah itu, tampak sesosok mayat terbujur kaku. Sesosok mayat yang serupa, seperti yang dilihat Basith hari sebelumnya. Telentang dengan kaki terangkat ke atas. Kepalanya mendongak, dan bola mata hilang berganti belatung. Pakaian yang dikenakan mayat itu juga masih sama. Bercelana hitam dan berkaus gelap. Kaus itu tampak tersingkap dibagian perutnya. Memperlihatkan kulit perut yang mengeluarkan lender. Diana yang kemudian terlihat agak shock melihat mayat itu. Di otaknya berkeliaran berbagai macam asumsi tentang asal-usul mayat, dan penyebab kematiannya. Namun yang paling menjengkelkan, ingatan tentang kejadian yang menimpa Basith. Yang sialnya menurut Diana, selalu tepat sama seperti yang akan terjadi kemudian. "Tak ada apapun yang dapat kita lakukan untuk mayat ini. Selain mendokumentasikan fotonya dan menentukan posisi terakhir", saran Basith termangu. 103

Sulung Prasetyo

Sesat

Kali ini meski tanpa disuruh, Diana langsung mengeluarkan kamera dari dalam ranselnya. Kemudian mengambil foto kondisi mayat, dari berbagai sudut berbeda. Sementara Riko menghubungi base camp untuk mengabarkan penemuan tersebut. Setelah Yusuf bisa menguasai diri, ia kemudian segera menentukan titik geografis penemuan mayat tersebut. "Iya..iya. Kau catat saja posisi penemuan mayat itu. Kalau bisa segera kirim tim kesini untuk mengurusnya. Kami segera beegerak lagi mencari Ando dan Ciblek", urai Basith melalui telepon genggam satelit. Ia baru saja berbicara dengan Didi, seperti sebelumnya.

104

Sesat

Sulung Prasetyo

XXI "Jadi kita tinggalkan saja mayat itu disini?", pertanyaan itu membuat Basith merasa pusing. Pertanyaan yang diulang seperti hari sebelumnya. Sekali lagi Basith menjelaskan, kalau target utama mereka bukan mayat itu. Masih ada Ando dan Ciblek, yang mungkin dalam kondisi kritis sekarang. Sementara mayat itu, hanya bisa didata berbagai hal tentangnya. Termasuk foto kondisi dan lokasi penemuan korban. Setelahnya sudah masuk ranah kerja kepolisian. Semua terdiam menghadapi kondisi dilematis tersebut. Meski menyesali keputusan untuk meninggalkan mayat, namun keputusan untuk secepatnya mencari Ando dan Ciblek memang sudah tak bisa dihindarkan. Buat Basith, sebenarnya keputusan itu sudah bulat. Ia sering mengalami kondisi dilematis seperti ini. Terutama ketika mencari korban bencana alam, yang makin sering terjadi di nusantara. Masih teringat dikepala Basith. Sewaktu ia dikirimkan sebagai regu pencari, ketika bencana tsunami menimpa wilayah Aceh beberapa tahun silam. Sebagai regu awal pencari, tugas Basith waktu itu 105

Sulung Prasetyo

Sesat

sangat penuh dengan situasi serba salah. Sangat banyak mayat-mayat masih terbujur diberbagai tempat. Di jalan-jalan, di kebun-kebun, bahkan di sungai -sungai ribuan mayat mengambang. Tugasnya juga tak mudah. Diantara ribuan, atau bahkan ratusan ribu mayat itu, regu yang dipimpinnya ditugaskan mencari korban yang masih selamat. Karena disaat kritis, paska awal kejadian bencana masih dimungkinkan ada korban yang selamat. Orang-orang yang masih hidup itu diprioritaskan untuk diselamatkan. Teringat dikepala Basith, bagaimana mereka harus meninggalkan mayat-mayat yang berada dalam kondisi mengenaskan. Mayat-mayat itu seperti berteriak, meminta cepat diurus. Namun pilihan yang ada, mereka harus meninggalkannya. Mencari setitik harapan diantara mayat-mayat itu. Berharap masih ada yang hidup, dan dapat diselamatkan. Bila tak ada, mereka segera bergegas pergi, setelah memfoto dan mencatat lokasi penemuan mayat. Kembali bergerak, menyusuri daerah-daerah yang mungkin menjadi tempat berlindung korban selamat. "Setidaknya kita dapat berdoa untuk mayat ini", ucapan Diana membuyarkan ingatan dikepala 106

Sesat

Sulung Prasetyo

Basith. Yang kemudian juga menjadi kesepakatan tersembunyi, semua orang ditempat itu. Setelah berdoa, mereka segera bersicepat turun kembali. Menuju ke Pasir Arca, yang diyakini menjadi lokasi keberadaan korban paling terakhir. Jalur menuju Pasir Arca terasa terus meliuk, turun naik mendaki. Menyusuri puncak-puncak utama punggungan Pasir Pangrango. Punggungan yang kukuh berdiri seperti tembok Cina, mengular dari arah timur menuju barat. Berawal dari lembah desa Cisaat, dan berakhir di puncak Pangrango. Dibagian timur laut, tampak lembah Ciheulang membujur. Panjang, meliuk menyimpan bagianbagian tersembunyi dengan sungai didalamnya. Sungai yang penuh dengan pacet, seingat Riko. Bisa puluhan pacet tiba-tiba sudah menempel disekujur tubuh, tiap usai melintas didaerah pinggir sungai Ciheulang. Dan kondisi seperti itu bisa berhari-hari lamanya. Terus membersihkan diri dari binatang kecil penghisap darah tersebut. Sangat sangat menjengkelkan ingat Riko. Lebih ke timur lagi, membentang punggungan Situ Gunung. Punggungan yang mirip serupa dengan punggungan Pasir Pangrango. 107

Sulung Prasetyo

Sesat

"Kalau mau ke punggungan Situ Gunung bisa masuk melalui telaga Situ Gunung. Kemudian mendaki menuju punggungan utama, dan menyusuri punggungan utama itu sampai ke puncak Pangrango", urai Riko kepada Diana yang penasaran melihat deretan punggungan besar serupa dikejauhan. Untungnya tak sampai dua jam mereka sudah sampai dipertigaan, antara Pasir Pangrango dan Pasir Arca. Pertemuan jalur itu sebenarnya agak sulit dicari. Karena tersembunyi dibalik pohon besar, dan rerimbunan yang jarang tertebas. Daerah itu juga jelas jarang dilewati manusia. Namun Basith mengingat jelas. Karena ia pernah mendaki seorang diri, melewati jalur Pasir Arca. Meski sudah tahunan terlewati. Tapi ingatan itu masih jelas dikepala. Dalam hati Basith bersyukur, karena pernah punya pengalaman mendaki seorang diri, melewati Pasir Arca. Mendaki seorang diri, membuat panca indra terbuka. Membuatnya mengingat dengan jelas, semua detail-detail yang pernah dilaluinya. Termasuk rerumpunan bambu, bercampur pohon rendah berdahan keras, yang menjadi tanda pertigaan menuju Pasir Arca. Tebakannya tepat, saat melihat rerimbunan bam108

Sesat

Sulung Prasetyo

bu tersebut. Yang dipastikan juga dengan jejak tebasan golok, dibeberapa batang bambu. Itu jejak tebasan baru, yang mungkin dibuat oleh Ando dan Ciblek. "Lihat ada bacokan tiga garis didahan ini. Sepertinya mereka tinggalkan", teriak Yusuf, sambil menunjukan temuannya dibatang pohon. Bacokan tiga garis itu terlihat masih segar, tergores didahan. Dari getah yang keluar, dapat diperkirakan bacokan tiga garis itu baru beberapa hari dibuat. "Ayo cepat bergerak. Korban ada didepan kita. Semoga kita masih bisa menyusul mereka", perintah Basith tegas. Jiwanya menggelora, sebab berpikir semua ini akan segera berakhir. Dalam hati ia berdoa, agar tak terjadi lagi pengulangan hari, seperti yang dialaminya hari ini.

109

Sulung Prasetyo

Sesat

XXII Semua terekam jelas dikepala Basith. Jalan menurun menuju lekuk liku miring. Basith teramat ingat, tempat dimana dia dulu tidur dengan hammock. Menggantung diantara dua pohon besar. Diperhatikan daerah itu. Tepat setelah tempat sebuah bidang datar kecil. Tanah datar cukup untuk dua tenda. Tanah datar satu-satunya, dijalur itu sebelum menemui lintasan punggungan Pasir Pangrango. "Cisukabirus", tiba-tiba Basith berteriak. Teriakan yang membuat tiga teman didepannya menoleh ke belakang. "Kenapa kau?" timpal Riko dengan nafas agak terengah-engah. "Coba cek peta. Cari sungai Cisukabirus. Daerah itu yang paling sering membuat pendaki tersesat", ujar Basith bersemangat. Riko segera mengeluarkan peta dari tas pinggangnya. Dibukanya lembar peta foto kopi itu. Matanya kemudian menerabas semua bentukan lembah, diarah jalur punggungan Pasir Arca. "Sungai ini maksudmu?" tunjuk Riko pada sebuah garis meliuk di peta. 110

Sesat

Sulung Prasetyo

Tertulis nama 'Tjisukabirus' disana. Setelah jari Basith menelusuri liukan garis sungai tersebut di peta. "Iya benar sungai ini", timpal Basith. "Coba cari hulunya. Perhatikan juga punggungan-punggungan yang mengarah ke hulu. Cari punggungan yang bertemu dengan jalur Pasir Arca", serunya. Mata Riko kembali mencermati peta tersebut. Diikuti oleh Diana dan Yusuf, juga membuka peta serupa yang mereka miliki. "Lihat punggungan ini. Ada punggungan menuju Pasir Arca yang mengarah ke Cisukabirus", terka Riko. Mendengar Riko sudah menemukan punggungan yang dimaksud. Segera Diana mencari tahu, dan mencocokan dengan peta ditangannya. Punggungan itu memang punggungan pertemuan pertama, yang akan mereka temui didepan. Tak jauh jaraknya dari tempat mereka berhenti sekarang. Paling hanya sekitar lima kilometer lagi. Setidaknya bisa ditempuh dalam waktu satu jam didepan, bila jalan menurun. Punggungan itu memang terlihat menurun langsung, menuju ke arah lembah. Mengantar ke pinggir 111

Sulung Prasetyo

Sesat

sungai Cisukabirus. "Apa mungkin mereka berada di lembahan itu?" tukas Yusuf tak yakin. "Lihat jalur terjal sungai setelahnya", ucapnya kritis. Mau tak mau Basith mengakui analisa Yusuf sangat masuk akal. Lagipula tak ada informasi tambahan, kalau kedua pendaki tersesat itu mengalami kesulitan saat melewati lembahan. Matanya kemudian menelusuri lagi kemungkinan pertemuan punggungan yang lain. "Lihat punggungan ini", ucap Diana menunjuk pertemuan punggungan yang agak lebih ke bawah lagi. Punggungan itu terlihat lebih landai. Namun juga mengarah ke sungai Cisukabirus. Jaraknya sudah mulai dekat dengan desa terakhir dipermulaan jalur Pasir Arca. Wilayah area disitu juga lebih datar. Namun memiliki lembahan yang lebih dalam. Lebih sangat sesuai dengan kemungkinan lokasi terakhir dua pendaki tersebut tersebut. Diperkirakan jarak tempuhnya lebih dari tiga jam, dari lokasi dimana mereka berada sekarang. "Oke coba plotting dua kemungkinan tersebut. 112

Sesat

Sulung Prasetyo

Apa ada lagi kemungkinan jalur yang lain?" tandas Basith. Ia menunggu sebentar dan kemudian mendapati Riko yang pertama menggelengkan kepala. "Setelah selesai disini. Kita segera ke titik pertemuan punggungan pertama. Berusaha mencari ke lembah. Kalau tak ada tanda-tanda dari dua pendaki itu, kita segera ke pertemuan punggungan kedua. Semoga ada tanda baik kali ini", kata Basith mulai mengikat tali sepatu keras-keras. Diantara tumbuhnya harapan menemukan korban, mereka terkesiap kaget karena tiba-tiba guntur terdengar keras di angkasa. Langit mendadak berangsur menghitam, dan angin mulai keras menghembus. "Cepat bergerak. Kita masih punya cukup waktu mencari, sebelum hujan turun", komando Basith. Hujan yang turun kemudian terasa amat deras. Butir-butir hujan besar terasa menyakitkan kulit, karena bercampur dengan dingin. Angin juga berhembus teramat keras. Monggoyang-goyang pohon meliuk kesana-kemari. Kekhawatiran meningkat, takut ada pohon atau dahan yang tumbang seketika. 113

Sulung Prasetyo

Sesat

Dengan pandangan terbatas, mereka tetap melakukan pencarian. Namun hujan lebat membuat mereka tak sadar telah melewati pertemuan punggungan pertama. Baru tersadar setelah Basith berteriak dari belakang. Memperlihatkan jam tangannya, dan menunjukan waktu tempuh turun sudah lebih dari dua jam. "Lalu bagaimana keputusanmu? Hari sudah semakin sore. Kalau kita kembali naik ke pertemuan punggungan pertama itu, pasti tak cukup waktu", suara Riko terdengar serak diantara deras hujan yang terus turun. Basith merasa serba salah juga. Benar kata Riko, kembali ke atas sama saja membuang waktu. Lalu ia teringat kira-kira jam berapa, saat kemarin mereka menerima kabar korban telah selamat. Lalu ia memperhatikan jam di pergelangan tangan. Masih ada waktu sekitar dua setengah jam, menurut perkiraan Basith. Sebelum dua pendaki tersesat itu ditemukan. Ia lalu berpikir keras, dan kemudian mengeluarkan kata-kata, "Kita langsung turun saja ke bawah. Kita cegat kedua pendaki itu dijalan. Syukur-syukur kalau mereka belum menembus jalur jalan menuju ke desa". Di kepala Diana keputusan Basith itu justru 114

Sesat

Sulung Prasetyo

terdengar mengesalkan. Menurut Diana, Basith sudah terlalu berlebihan dengan pengalaman anehnya. Pasti semua keputusan tadi berdasarkan pengalamannya yang aneh itu, pikir Diana. "Sudah kukatakan Basith. Kau tidak bisa mengambil keputusan, hanya berdasarkan pengalaman anehmu mengulang hari itu saja. Kita juga seharusnya mengecek jalur-jalur yang tadi sudah dijadikan target", sembur Diana marah. "Waktunya tinggal sedikit. Aku tak ingin membuang waktu lagi, untuk hal-hal yang tak pasti", ujar Basith mulai bergerak ingin mendahului. "Tunggu dulu. Sebelum kau turun, kau harus mendengar semua pendapat kami. Atau setidaknya kita adakan voting, untuk keputusan bersama yang paling tepat", sergah Diana. Basith menatap kawan-kawannya yang lain. Yusuf dan Riko hanya mengangkat tangan. Antara setuju dengan komando Basith, namun juga menginginkan saran Diana dijalankan. Basith kembali melihat jam. Jarum terus berdetak. Makin lama, makin banyak waktu terbuang. Ia kembali menatap kawan-kawannya. "Baiklah kita adakan voting. Sesuai keinginan Di115

Sulung Prasetyo

Sesat

ana. Aturannya jelas. Karena waktu kita makin mepet, voting dilakukan praktis saja. Yang setuju kita kembali ke atas, dan mengecek jalur ke lembah, harap angkat tangan", ucap Basith. Tak ada yang mengangkat tangan. "Oke, baiklah kalau begitu. Yang setuju kita turun ke pertemuan punggungan kedua dan mencari ke Cisukabirus, harap angkat tangan", tambah Basith. Hanya Diana yang mengangkat tangan. Diana merasa kesal dengan kondisi itu. Sebab ia merasa kelompok pria didepannya sekarang, bersekongkol untuk mengalahkannya. "Yang setuju dengan usul segera kembali ke bawah, mencegat dijalur atau desa terakhir, harap angkat tangan", pilihan terakhir keluar dari mulut Basith. Kali ini yang mengangkat tangan hanya Basith sendiri. Membuat Basith jadi merasa jengkel. Terlihat dari raut mukanya yang berubah. Raut muka yang berubah menjadi lucu, membuat Diana tertawa sembunyi-sembunyi. Basith lalu melihat Yusuf dam Riko. Kedua pria itu tampak berdiri kedinginan. Badan bergetar karena hujan terus turun, menerpa tubuh mereka. Pelan116

Sesat

Sulung Prasetyo

pelan Yusuf mengangkat tangan. "Yang penting cepat turun saja", ucapnya raguragu, tak ingin dipersalahkan oleh Diana. Sementara Riko sudah ngacir terlebih dulu, turun ke bawah.

117

Sulung Prasetyo

Sesat

XXIII Basith menatap jalan setapak dikanan tubuhnya. Jalur itu mengingatkannya pada trek menuju ke Cisukabirus. Jalur itu seingatnya akan berbelok ke kiri kanan mengikuti punggungan. Pada akhirnya jalur akan menemui sungai Cisukabirus. Sungai itu sendiri memiliki tempat tersendiri dikepala Basith. Pernah dua kali ia menyambangi sungai kecil itu. Pertama saat mengantarkan yunioryuniornya latihan navigasi darat. Kedua saat ia nekat ingin mendaki sendiri ke puncak Pangrango, melalui jalur Pasir Arca. Pada pengalaman pertama, Basith sebenarnya tak secara sengaja menemui sungai Cisukabirus. Awalnya mereka ingin berlatih peta dan kompas saja. Lalu seingat Basith dipertigaan ini, arah mengecoh menuju puncak. Sehingga sebagian besar anggota tim mengikuti arah itu. Hasilnya, selama dua hari mereka hanya berkutat dilembah. Semakin jauh ke dalam, semakin sulit jalur mendaki menuju puncak. Sampai akhirnya menyerah dan kembali ke jalur awal. Kesempatan kedua, Cisukabirus malah membuat Basith merinding. Karena ketika dia nekat mendaki seorang diri, 118

Sesat

Sulung Prasetyo

tak sengaja mendengar cerita penduduk sekitar. Kalau mereka pernah menemukan mayat di sungai Cisukabirus. Mayat yang tersangkut pada dahan pohon. Sepertinya mayat itu merupakan pendaki, yang dikabarkan tersesat beberapa hari sebelumnya. Namun konyolnya, tetap saja ia terkecoh dan masuk ke sungai Cisukabirus, pada pengalaman kedua. Untung ia berhasil keluar dari lintasan sungai, yang seperti perangkap tersebut. Karena kedua pengalaman tersebut, membuat Basith tak merasa terlalu asing, dengan suasana disekitar sungai Cisukabirus. Temasuk pertigaan jalan setapak, yang kini berada dibagian kanan tubuhnya. Jalan setapak itu terlihat tertutup kabut. Tak jelas melihat kejauhan, karena hujan terus turun. Basith termangu dipertigaan itu. Ketiga rekan yang tadi menemaninya, sudah melaju lebih dulu ke depan. Sedari tadi mereka memang tampak tergesagesa turun. Mungkin mengejar keinginan mencapai desa terdekat dalam waktu secepatnya. Agar bisa melepaskan diri dalam siksaan hujan yang terus mendera. Namun, hati Basith berkata lain. Seperti ada sesuatu yang menahannya untuk terus berjalan. 119

Sulung Prasetyo

Sesat

Seperti ada benda berat yang menahan langkah kakinya. Membuat tubuhnya berhenti dipertigaan tersebut. Hatinya sekarang bimbang. Terbersit pikiran dikepalanya untuk menembus jalur itu. Menuju ke Cisukabirus, untuk menjawab penasaran hatinya. Sebentar ia berpikir diantara kebimbangan hatinya. Sampai akhirnya, matanya menangkap sosok bergerak. Sosok yang melangkah terburu-buru, dari arah jalur yang menuju sungai Cisukabirus. Kelamaan, sosok itu terlihat makin jelas. Diikuti sosok kedua dibelakangnya. "Andddooo..!!! Cibleeekkk...!!!", teriak Basith saat sosok itu tambah mendekat. Tak ada jawaba. Kembali Basith memanggil memastikan. "Hoiii..!!!", teriak salah satu dari dua sosok asing itu.

120

Sesat

Sulung Prasetyo

XXIV Tak percaya rasanya Riko pada matanya sendiri. Basith datang dari kejauhan, dengan dua orang lain. Jelas dua orang lain itu, pendaki gunung juga. Terlihat dari ransel yang dibawa, dan pakaian yang dikenakan mereka. Namun pikirannya sulit menerka. Siapa dua orang, yang kini berjalan dibelakang Basith. Segera Riko meminta Yusuf menuangkan air panas ke dalam gelas. Sebab siapapun yang datang, pasti mereka membutuhkan kehangatan secepatnya. Dan kehangatan itu bisa mereka dapatkan, melalui air panas. Ditengah hujan lebat yang belum juga berhenti. Ketiga sosok itu terus berjalan mendekat. Makin lama makin mendekat ke tempat berteduh Riko, Diana dan Yusuf yang serupa gazebo. Pandangan Diana terus merekam kejadian tersebut. Dengan kameranya, ia kemudian berusaha mengenali sosok yang berjalan bersama Basith. "Ando. Itu Ando. Aku mengenalinya dari codet di pipi kirinya", ucapan Diana mengagetkan Riko dan Yusuf. "Ando? Yang benar kau Diana. Coba sini kulihat", ucap Riko penasaran dan merebut kamera ditangan 121

Sulung Prasetyo

Sesat

Diana. "Astaganaga", sontak Riko seperti tak percaya. Kemudian segera berlari menjemput. Menembus hujan, memastikan dari dekat. Lalu terlihat Riko menyalami mereka bertiga. Tak lama kemudian, mengajak mereka menuju tempat berteduh sementara. Yusuf yang kemudian paling awal menyalami. Lalu kemudian Diana datang, dengan air panas dalam gelas ditangannya. Memberikan gelas berisi teh manis tersebut, dan kemudian baru memeluk Basith. Pelukan yang sama sekali tak diduga Basith. Lebih terasa sebagai pelukan antar sesama sahabat. Setelah lama tak berjumpa. "Apapun itu. Dugaanmu yang tak beralasan itu terbukti benar", bisik Diana sebelum melepaskan pelukannya. Setelah Diana melepaskan pelukannya. Gantian suara Yusuf yang terdengar, "Jadi bagaimana ceritanya, bagaimana kalian bisa bertemu?". "Lebih baik kau segera melaporkan hal ini ke base camp. Minta juga mereka segera mengirimkan tim kemari", ujar Basitth. Riko memandangi Ando dan Ciblek. Kemudian 122

Sesat

Sulung Prasetyo

mengeluarkan HT dari ranselnya. Sambil menghubungi base camp, tak lepas kedua matanya terus memperhatikan dua pendaki yang baru ditemukan itu. Meski terlihat kurang sehat, Ando dan Ciblek tampak serius berbicara dengan Yusuf. Perbincangan terus dilakukan diantara hujan, yang makin lama terasa makin perlahan. Tak lama langit terlihat mulai membiru. Bercampur dengan jingga matahari sore. Kecemasan masih memenuhi wajah Ando dan Ciblek. Dengan jelas mereka berusaha menceritakan kronologis kejadian yang menimpa. Mulai dari saat tutun dari puncak Pangrango, hingga mengarah ke punggungan Pasir Pangrango. "Apa kalian sempat mencium bau busuk diperjalanan?" pertanyaan Diana mengusik hati kami semua. Cibelek yang kemudian menjawab. Ia sempat mendengar Ando mengatakan seperti mencium bau busuk, seperti telur busuk. Bau itu mereka dapati tak lama setelah melewati ujung leher puncak Pangrango. Tepatnya tak lama setelah memulai jalur punggungan Pasir Pangrango. Yusuf yang kemudian memberitahu, kalau ia menemukan mayat disana. Yang direspon Ando 123

Sulung Prasetyo

Sesat

dengan sangat terkejut. Lalu percaya, setelah ditunjukan foto-foto mayat tersebut, yang ada dikamera Diana. Kesimpulan Basith terakhir, kedua orang yang tersesat ini, memang tak mengetahui jalur turun melalui Cisarua. Sehingga mereka berjalan terus saat melewatinya. Bahkan melewati mayat dipinggir jalur juga. Meninggalkan kesan hanya berupa bau telur busuk. Setelahnya mereka memasuki jalur Pasir Arca. Kembali tersesat, karena terbawa ke arah sungai Cisukabirus. Saat itulah mereka mengirimkan pesan terakhir, tentang Ando yang sakit. Untungnya mereka berhasil cepat melintas turun, mengikuti sungai. Meski terjal, tapi bisa diselesaikan tanpa masalah. Hingga akhirnya bertemu dengan jalur keluar dipinggir sungai. Tak lama menyusuri jalur, baru mereka bertemu Basith.

124

Sesat

Sulung Prasetyo

XXV Kali ini dunia terasa lebih menyenangkan bagi Basith dan rekan-rekan. Mereka dielu-elukan bagaikan pahlawan baru menang perang. Banyak personil-personil tim pencari lain, yang memberikan selamat kepada mereka. Meski sempat terjadi kegaduhan, saat membawa dua pendaki tersesat itu menuju base camp. Namun semua kegaduhan berlalu, bersama semilir angin yang berhembus pelan. Setelah pemeriksaan kesehatan bagi kedua pendaki tersesat itu usai. Konferensi pers segera diadakan secepatnya. Di selasar rumah kerja bagi petugas taman nasional, konferensi pers digelar. Puluhan jurnalis tampak sudah berkumpul. Duduk di kursi-kursi diseberang meja panjang untuk para narasumber. Para jurnalis tiba-tiba memfoto dengan lampu kilat berkelebatan. Ketika dua korban tersesat muncul di ruang konferensi pers. Suara-suara ribut menggema. Namun segera hilang, setelah kepala taman nasional menenangkan mereka. Acara konferensi pers berlalu cepat. Dimulai dengan keterangan-keterangan resmi dari kepala 125

Sulung Prasetyo

Sesat

operasi SAR. Dilanjutkan dengan penjelasan dari kepala taman nasional. Baru kemudian perwakilan dari dua orang pendaki yang tersesat memberikan komentar. Saat termin pertama untuk pertanyaan keluar. Muncul berbagai pertanyaan beragam. Termasuk salah satu yang menarik, pertanyaan mengenai keberadaan mayat, yang kabarnya ditemukan tim pencari. "Kami akan segera mengurus mayat tersebut. Tapi mungkin masih memerlukan waktu agak lama, untuk membawanya turun. Karena perlu berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk kepolisian", terang kepala taman nasional. Basith, Yusuf, Riko dan Diana memperhatikan dari belakang kumpulan para jurnalis. Mengamati dan mempelajari situasi konferensi pers tersebut. Terutama pertanyaan dan jawaban dari orang-orang yang hadir. Namun sebelum acara itu selesai, Basith sudah melangkah keluar ruangan. Pikirannya terasa kacau. Entah mengapa, dan ia memutuskan menghirup udara bebas diluar. Mengamati bintang yang biasanya lebih banyak bersinar, saat hari habis hujan. 126

Sesat

Sulung Prasetyo

"Jadi kau pikir apa semua ini sudah selesai?" terdengar suara yang mengagetkan Basith. Suara perempuan, yang ternyata berasal dari mulut Diana. Basith menarik nafas. Memperhatikan wanita itu menghampiri. Menemaninya berada di balkon rumah pertemuan tersebut. "Entahlah. Aku berharap sudah selesai saja. Lelah rasanya mengalami pengalaman seperti itu lagi", ucap Basith. "Tapi sejujurnya, baru pertamakali ada orang mengalami pengalaman seperti itu. Mungkin ada baiknya kamu membuat buku, tentang pengalaman itu. Mungkin nanti bisa difilmkan dan kau menjadi aktor utamanya", sahut Diana dengan nada bercanda. Basith tertawa mendengar ucapan Diana. "Kalau difilmkan siapa yang menjadi aktor wanitanya?" tanya Basith memancing. Terlihat sepertinya Diana taķ ingin menjawab pertanyaan tersebut. Atau sebenarnya ia menunggu komentar, yang bisa menyenangkan hatinya. "Kalau jadi film, aku memilih Yuki Kato saja yang menjadi pemeran wanitanya", canda Basith. "Mimpi", balas Diana tertawa. Ada keteduhan 127

Sulung Prasetyo

Sesat

dalam suara tawa itu. Basith menikmatinya sesaat, karena sadar akan segera kehilangan lagi. Perbincangan mereka kemudian terhenti, saat melihat orang-orang keluar dari beranda. Tampaknya acara konferensi pers sudah usai. Segera mereka bergegas, berbaur lagi dengan yang lain. Menghindari asumsi liar orang-orang lain, bila melihat mereka berdua saja di balkon rumah pertemuan. Orang-orang cepat menghilang, seperti laron yang terbang menjauh bila lampu dimatikan. Termasuk Basith yang kembali masuk ke mobil, bersama Yusuf, Riko dan Dodo. "Puas rasanya ya, bisa menemukan korban yang hilang. Setidaknya tak sia-sia rasa lelah ini", kata Dodo mencoba dramatis. "Sudahlah, jangan banyak cakap. Pegang saja itu setir baik-baik. Kami ingin istirahat. Tidur", sahut Riko sambil mulai menyenderkan punggung ke sandaran bangku mobil. Kemudian menutup mukanya dengan jaket. Sementara Basith sudah lebih dulu tertidur. Bahkan sebelum roda mobil melintas jalan raya utama menuju Jakarta. 128

Sesat

Sulung Prasetyo

HARI KETIGA

129

Sulung Prasetyo

Sesat

XXVI Mobil yang berhenti mendadak, membuat Basith terbangun dari tidurnya. Silau matahari membuat matanya nanar. Dengan menyipitkan mata, ia mencoba melihat sekitar. Diluar mobil tampak kendaraan lain berderet. Macet membuat hawa panas menyebar. Basith membuka jaketnya, dan kembali menyadari ia berada di jalan raya menuju Puncak Pass. Perlahan pikirannya kembali tersadar. Semua yang pernah dilalui. Sampai pada peristiwa malam sebelumnya. Hatinya kemudian bertanya-tanya dengan was-was. "Mau kemana kita?", suara dari mulut Basith terdengar serak. Baru kemudian ia menyadari kehadiran Riko disampingnya. Di bangku tengah mobil. Riko yang baru sadar, kalau Basith sudah terbangun dari tidur menatapnya dengan aneh. "Muka bantal, kita mau ke Cisarua", jawabnya dengan terkekeh. Seperti ingin pingsan, Basith mendapati jawaban itu. Matanya kembali terpejam, membuatnya menyenderkan tubuh ke sandaran bangku. "Heh, malah tidur lagi. Sebentar lagi kita sampai", 130

Sesat

Sulung Prasetyo

tukas Riko. Kemudian melemparkan bantal ke wajah Basith. "Bersiaplah, Didi dan Diana sudah menunggu di Cisarua", tambah Riko. Aaargghh...damned, pikir Basith. Sulit menjelaskan ini semua. Kembali berulang lagi. Macet menuju Cisarua, serta Didi dan Diana yang menunggu disana. Kembali Basith memaki dirinya. Entah apa yang terjadi padanya. Ia berpikir-pikir, mungkin ada dosa besar yang pernah dilakukannya. Sampai-sampai ia harus mengalami pengalaman aneh ini berulangulang. Namun sejenak kemudian, ia kembali penasaran lagi. Apakah rekan-rekan yang sekarang di mobil, juga mengalami pengalaman yang sama. Diperhatikan Dodo dan Yusuf, yang duduk dibangku depan. Kemudian dia mengambil snack, yang diletakan Dodo di dekat persneling. "Jangan dihabiskan. Bosan nyetir kalau tak ada snack", kembali Dodo mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya. "Apa kalian tak ingat, kalau kemarin kita juga lewat jalan ini?", ucap Basith sambil tangannya me131

Sulung Prasetyo

Sesat

raup snack. "Mimpi apa kau tadi?", hanya itu respon dari Riko. "Apa kau benar-benar tak ingat? Kita sudah melewati semua ini kemarin", jawab Basith mulai kesal. Yusuf yang kemudian menoleh ke belakang. Diikuti pandangan Dodo, melalui kaca spion tengah. Mata mereka memancarkan ketidakpahaman. "Gila kau. Kepentok apa kepalamu tadi?", kembali Riko menjawab dengan heran. Basith kemudian hanya terdiam. Menyadari tak ada lagi yang bisa dilakukan. Semua yang tersisa kini hanya kebuntuan. Kepalanya mampet berpikir. "Masih belum ada kabar baru dari korban. Terakhir hanya SMS itu saja. Mereka mengabarkan tersesat", imbuh Yusuf. "Mereka ada di Pasir Arca", gumam Basith nyaris tak terdengar. "Apa katamu? Pasir Arca? Bagaimana mungkin. Sedangkan menurut info dari Didi, mereka akan turun lewat Cisarua", sahut Riko. Basith menepuk kepalanya yang tak pening. Sial, 132

Sesat

Sulung Prasetyo

rutuk hatinya. Bagaimana menjelaskan kepada mereka. Ia pasti akan disangka gila, seperti sebelumnya.

133

Sulung Prasetyo

Sesat

XXVII Dipandanginya lagi puncak kembar dikejauhan. Masih sama seperti sebelumnya. Agak tertutup kabut, dan menyiratkan akan turun hujan. Tak berapa lama, roda mobil kembali memasuki desa terakhir, sebelum mendaki ke puncak Pangrango melalui jalur Cisarua. Mobil kemudian berhenti tepat dipinggir lapangan desa. Yusuf dan Riko bergegas keluar dari mobil. Sementara Basith masih duduk saja. Kebimbangan memenuhi isi hatinya. Rasa malas serentak menyelubungi tubuhnya. Karena memperkirakan hari ini akan sua-sia saja. Semua akan berulang sama. Tak ada yang bisa dirubahnya. Meski ia ikut mendaki dan mencari juga. Semua akan tetap berulang. Tiba-tiba terbetik pikiran baru diotaknya. Bila ia tetap mendaki dan mencari, semua tak berubah. Bagaimana kalau ia tak mencari? Basith tersenyum sendiri, menyadari pikiran baru tersebut. Seperti melihat harapan baru. Harapan kemungkinan berbeda dari sebelumnya. Dan mungkin saja bisa merubah semua keanehan ini. Lalu kemudian ia keluar mobil, dengan hati agak 134

Sesat

Sulung Prasetyo

nyaman. Tergambar diwajahnya yang bersinar. Namun dipahami berbeda oleh rekan-rekan yang lain. "Wajahmu memang makan", canda Riko.

berbeda

kalau

sudah

Yang disambut gelak tawa Dodo. "Tadi mula bantal, sekarang muka nasi", tambahnya. Basith meringis saja, mendengar canda temantemannya. Dan Didi serta Diana mendapati wajah Basith yang masih meringis, saat menghampiri. "Kenapa kau Basith, meringis-ringis seperti itu?", tanya Didi keheranan. "Tak tahu, perutku tiba-tiba sakit", jawaban itu mendadak muncul begitu saja dari mulut Basith. "Sakit perut? Apa serius?", kali ini Diana yang merespon. "Sakit perut apa? Tadi biasa-biasa saja. Mungkin kebanyakan sarapan", timpal Riko. "Mungkin", sahut Basith, merasa menemukan penyebab rasa sakit pura-puranya. Berusaha menguatkan alasan tersebut, dengan meringis-ringis kembali. "Apa kau masih bisa ikut mencari keponakanku?", suara Didi terdengar cemas. 135

Sulung Prasetyo

Sesat

Dalam hati Basith tersenyum. Alasannya untuk tak mengikuti pendakian pencarian sudah hampir berhasil. "Tak tahu nih. Rasanya sakit sekali. Sepertinya sakit maag-ku kambuh", kembali Basith bersuara. Diana memandangi Basith dengan rasa cemas. Mungkin karena sifat keibuannya yang membuat ia seperti itu. Dan rasa iba itu yang kemudian makin dimanfaatkan Basith. "Pasti karena belum makan dari tadi malam. Sibuk menyiapkan pendakian ini. Sial", keluh Basith mencoba menyesali keadaan. "Terus bagaimana dong", ucap Diana menatap ke Didi. Mencari jawaban dari kekasihnya itu. Didi mengangkat bahu. "Terserah Basith. Kalau memang dia tak bisa ikut mencari. Jangan dipaksakan", jawab Didi akhirnya. "Aku masih belum bisa memastikan. Tapi biasanya bisa muntah-muntah dijalan, kalau sudah begini. Kalau aku tak bisa pergi, Riko bisa menggantikanku", kata Basith menatap Riko. Yang ditatap malah merasa kaget, tak menyangka dengan semua keadaan yang tiba-tiba berubah. "Ya, bisa saja. Tapi tak bisa kalau hanya tiga orang 136

Sesat

Sulung Prasetyo

yang pergi mencari. Sementara aku harus mengurus masalah pencarian ini ke taman nasional", ujar Didi. Akhirnya semua menatap ke Dodo. Mencaritahu apa jawaban darinya. Dodo merasa disudut ring tinju. Tak bisa mengelak dari pukulan lawan. "Lalu siapa yang membawa mobil turun", kata Dodo berusaha mengelak. "Basith bisa membawa mobil", kata Yusuf tibatiba. "Perlengkapan mendaki gunung?", kembali elak Dodo. "Ini, gunakan punyaku", jawab Basith melemparkan ranselnya ke arah Dodo. Kali ini dia tak bisa mengelak lagi.

137

Sulung Prasetyo

Sesat

XXVIII Dalam perjalanan menuju ke kantor Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Basith dan Didi memutuskan berhenti dulu disebuah kedai kopi. Dipinggir kebun teh, mereka menatap lagi jauh ke arah punggungan-punggungan gunung yang mengarah ke puncak. Punggungan yang masih tersaput kabut. "Apa kau yakin, Riko bisa mengemban tugas menggantikanmu di tim itu?", pertanyaan Didi terasa mengusik hati Basith. "Yakin sekali. Aku kenal dia sudah lama. Sebenarnya kemampuannya tak jauh berbeda denganku. Hanya memang, dia orangnya tak suka menampilkan diri. Kecuali dengan orang yang sudah akrab", jawab Basith meyakinkan. Mata Basith kemudian melayang pada gorengan panas, yang baru dihidangkan. Mencomot sebuah, kemudian memakannya dengan lahap. "Bagaimana sakit perutmu? Sepertinya sudah tak pengaruh lagi", terka Didi melihat cara makan Basith. "Sedang dalam masa pemulihan. Makanya aku isi perut terus. Biar tak ngambek lagi ini perut", Basith 138

Sesat

Sulung Prasetyo

mengada-adakan alasan, padahal memang hawa dingin membuat perut cepat lapar. Kemudian Didi mengeluarkan lembar-lembar kertas dari dalam ranselnya. Isi tulisan pada kertas itu ternyata salinan-salinan data diri korban. Termasuk rencana perjalanan mereka, daftar peralatan yang dibawa, hingga menu makan harian. "Hebat sekali. Kalau mereka menyiapkan semua ini", komentar Basith, meski sebenarnya sudah mengetahui isinya. Basith hanya ingin memberikan kesan, kalau semua berjalan normal. "Mereka memang bukan tak pernah mendaki gunung. Setahuku sudah sering mereka mendaki gunung. Persiapan mereka sudah sedemikian matang. Terlihat dari catatan-catatan yang mereka tinggalkan ini", urai Didi. "Mereka memang sedang apes tampaknya. Sampai-sampai harus mengirimkan pesan darurat", sahut Basith. "Apa tidak ada kemungkinan mereka tersesat di jalur lain?", Didi kembali memperhatikan kertaskertas itu. "Ada banyak kemungkinan. Bisa saja mereka turun di Citeko, atau Lido. Bisa juga turun di Pasir Ar139

Sulung Prasetyo

Sesat

ca atau Cisaat. Semoga mereka tetap konsisten dengan rencana semula, turun di jalur Cisarua. Jadi teman-teman kita yang mendaki tadi, bisa langsung bertemu dengan mereka", tutur Basith. "Kalau operasi SAR ini jadi resmi digelar siang ini. Kau harus menemaniku dalam mengambil berbagai keputusan." Didi mengatakan kalimat itu dengan nada cemas. Seperti ada beban berat sekarang bergantung dibahunya. Sebagai sesama lelaki dewasa, Basith memahami beban yang ditanggung oleh Didi. Korban hilang merupakan keponakannya. Jadi mungkin keluarga mereka sudah menyerahkan beban tanggung jawab untuk mencari, kepada Didi. "Tenang saja. Aku pasti menemanimu. Aku yakin mereka baik-baik saja. Apalagi mereka bukan baru kali ini mendaki gunung. Hari ini, mereka pasti sedang berusaha untuk turun", hibur Basith. "Semoga saja begitu", balas Didi, sambil matanya menatap pesan SMS yang baru saja masuk ke telepon genggamnya. Wajahnya tiba-tiba berubah. Dia menunjukan pesan itu kepada Basith. Ternyata pesan lagi dari korban. Salah satu dari mereka jatuh sakit. 140

Sesat

Sulung Prasetyo

XXIX Kantor taman nasional tak terlihat ramai. Hanya ada beberapa pegawai tampak mondar-mandir. Ada seorang penjaga yang kemudian menerima Didi dan Basith. Menanyakan maksud dan tujuan kedatangan. Kemudian menunjukan arah ruangan, dimana niat mereka bisa segera direspon. Seorang lelaki dengan kumis tebal, yang kemudian menerima mereka diruangan itu. Dari tulisan didadanya, Basith mengenal petugas itu bernama Agus Suparman. "Kami menghargai niat anda, melaporkan kejadian itu kesini. Memang sudah menjadi ranah kerja kami, untuk urusan pencarian seperti ini", tukas Pak Agus, setelah mengecek keberadaan surat-surat dokumentasi perjalanan kedua rekan yang hilang itu, di arsip milik taman nasional. "Apa bisa proses pencarian secepatnya dilakukan Pak Agus?", tanya Didi cemas. Lelaki yang ditanya, kembali melihat arsip. "Menurut prosedur. Dua hari setelah hari terakhir rencana mereka turun, bila tak juga kembali baru operasi pencarian bisa dilakukan", jelasnya. "Bagaimana bila ada kiriman pesan darurat?". 141

Sulung Prasetyo

Sesat

"Apalagi dengan adanya pesan darurat. Tanpa menunggu dua hari itu, seharusnya segera direspon. Karena menyangkut nyawa manusia", jawab Pak Agus. Basith memperhatikan ke sekeliling ruangan. Mungkin ada orang-orang yang ia kenal. Beberapa pegawai lain, yang tampak serius didepan meja kerja mereka. "Baiklah. Kalian isi formulir ini. Formulir laporan pendaki yang dianggap hilang atau tersesat. Dengan bukti laporan ini, kami bisa segera mengajukan adanya operasi pencarian kepada kepala taman nasional", ujar Pak Agus sambil menyodorkan selembar kertas rangkap dua kepada Didi. Setelah melihat isi arsip itu, kemudian Didi mulai menuliskan hal-hal yang perlu didalamnya. Sambil menunggu Didi selesai mengisi formulir, iseng Basith bertanya pada Pak Agus. "Apa Pak Agus kenal dengan Raffi? Terakhir ia menjadi volunter di taman nasional ini". "Raffi yang rambutnya panjang? Orangnya tinggi kurus?", balik tanya Pak Agus. "Iya benar. Seperti itu. Dimana dia sekarang?". "Ooh...dia biasanya ada di rumah singgah untuk 142

Sesat

Sulung Prasetyo

volunter. Itu rumahnya diseberang kantor taman nasional, dekat lapangan golf", urai Pak Agus. Usai Pak Agus menjelaskan keberadaan Raffi, Didi ternyata sudah selesai juga mengisi formulir. Kemudian memberikan formulir terisi itu kembali kepada Pak Agus. "Oke, kalian bisa menunggu sebentar. Saya akan menghadap kepala taman nasional. Meminta persetujuannya untuk segera menggelar operasi SAR", imbuh Pak Agus mulai bergerak meninggalkan meja. Setelah Pak Agus pergi, Basith mengajak Didi keluar sebentar. Mereka segera menuju ke rumah singgah untuk volunter taman nasional. "Untuk apa mencari Raffi?", tanya Didi agak bingung. "Sudahlah, kau tenang saja. Ia pasti akan berguna untuk membantu kita mencari keponakanmu itu. Kita masih memerlukan banyak regu pencari", kata Basith yang berjalan cepat. Rumah singgah volunter berdiri dengan asri. Rumah kayu dengan kebun berbagai tanaman didepannya. Ada sebuah jalan batu, yang mengantar langkah kaki hingga mencapai depan rumah. 143

Sulung Prasetyo

Sesat

Mereka kemudian melewati tiga anak tangga. Sebelum akhirnya menginjak beranda rumah. Suasana didalam rumah terasa sepi sekali. Tak ada gerakan orang didalamnya. "Assalamualaikum", berulang kali Basith mengucap kata-kata salam, untuk memanggil orang didalam rumah. Setelah panggilan kelima, terdengar suara dari belakang rumah. Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekati pintu depan. Dari dalam rumah keluar seorang lelaki, dengan rambut terkuncir sebahu. "Bro Raffi, sibuk sekali sepertinya", sambut Basith melihat orang itu. Yang dipanggil melihat Basith sesaat. Kemudian senyumnya melebar. "Basith, pendaki legendaris yang selalu melapangkan rezeki", ucap pria bernama Raffi itu. Basith tersenyum mendengar balasan sapaan dari Raffi. Teringat saat pertamakali mereka bertemu. Hanya Raffi yang bisa menerangkan makna nama Basith. Sebab nama menurut Raffi tidak sembarangan diberikan. Ada guratan nasib didalamnya. Mungkin kita berpikir orangtua hanya sekejap saja memikirkan sebuah nana untuk anaknya. Tapi ada pesan Tuhan yang dititipkan pada nama yang 144

Sesat

Sulung Prasetyo

diilhami orangtua. Dari nama itu tersimpul nasib anak yang telah digariskan. Dan Basith adalah salah satu nama Allah, yang berarti maha melapangkan. Termasuk melapangkan rezeki, begitu penjelasan Raffi. Hingga sampai sekarang, Raffi mengenang Basith karena arti nana itu. "Aku ada pekerjaan untukmu", kata Basith kemudian. Yang dibalas anggukan kepala Raffi, karena makin yakin dengan arti nama Basith. "Sepertinya penting sekali. Ada apa memangnya?", respon Raffi berusaha ikut serius. Kemudian mereka duduk bersama di lantai kayu beralas tikar. "Keponakan temanku ini, sudah dua hari belum turun gunung dari rencana yang dijadwalkan. Sempat juga kirim pesan darurat. Kau harus membantuku mencarinya", urai Basith. "Apa kau sudah melaporkan ke petugas taman nasional?". "Barusan kami ke kantor taman nasional. Minta agar operasi SAR segera dilakukan. Apa orangorangmu cukup banyak, untuk membantu kami?". "Volunter yang lain bisa dihubungi, kalau memang ada keadaan darurat. Biasanya ada saja yang 145

Sulung Prasetyo

Sesat

bisa cepat datang membantu", ucap Raffi, mulai melihat-lihat telepon genggamnya. Kemudian Basith menyodorkan data-data korban, serta semua catatan yang ada. Raffi membacanya dengan seksama. "Mereka akan turun di Cisarua", kalimat itu satu-satunya yang keluar dari mulut Raffi. "Oh ya, kami sudah mengirimkan tim pencari ke Cisarua tadi pagi. Itu tim pertama yang mencari", ungkap Basith. Raffi memandangi Basith, setelah mendengar jawaban itu. Kemudian ia seperti berpikir kembali. "Oke. Tapi masih ada kemungkinan mereka turun di jalur yang salah", balas Raffi. "Apa kau punya orang untuk mengecek beberapa jalur turun lain, yang mungkin mereka lalui?", kali ini Didi yang menyela. "Sulit mengerahkan banyak orang dalam waktu cepat. Paling cepat hanya untuk satu tim pencari", perkiraan Raffi. "Kirimkan tim itu ke arah Pasir Arca", tiba-tiba Basith berkata. "Mengapa kesana?", tanya Didi. Basith terdiam. Mencari alasan yang tepat, agar kedua orang didepannya tak curiga. "Campuran an146

Sesat

Sulung Prasetyo

tara feeling dan logika. Kalau mereka tak turun di Cisarua, punggungan turun berikutnya adalah Pasir Arca", jawab Basith setelah berpikir cepat. Alasan yang tepat, pikir Basith. Dan semua akan berjalan sesuai dengan yang ia ketahui. Tanpa harus menjelaskan hal-hal yang tak masuk akal pada kedua orang ini. Namun firasat Raffi lebih kuat. Ia melihat hal-hal yang janggal dalam diri Basith. "Sepertinya kau bisa melihat masa depan", gumam Raffi. Hanya dibalas Basith dengan tatapan mata. Nanti akan kujelaskan, jauh dalam hati Basith menyampaikan pesan tatapan mata itu kepada Raffi.

147

Sulung Prasetyo

Sesat

XXX Kepala taman nasional yang kemudian mereka temui, bukan jenis orang yang suka bertele-tele. Ucapan-ucapannya lugas dan tegas. Garus-garis wajah yang keras menguatkan suara kukuh tersebut. Dengan rambut yang memutih, tampak wibawanya makin menjadi. "Tadi staf kami segera menyiapkan segala keperluan untuk operasi pencarian ini. Kita akan segera mengirim tim, untuk menyusuri daerah-daerah yang mencurigakan", urai kepala taman nasional. "Bagaimana dengan base camp utama pak?", tanya Basith menyela. "Kita pakai billa taman nasional yang berada di Cisarua. Villa itu cukup luas untuk menampung semua tim pencari, dan personil yang diperlukan", perkiraan kepala taman nasional. "Oke. Tapi perlu bapak tahu, tadi pagi kami sudah mengirim tim awal. Menyisir punggungan Cisarua", urai Didi. Kepala taman nasional berdehem. Nampaknya ia cukup kaget dengan info adanya tim awal tersebut. Namun kemudian ia terlihat mampu mengendalikan diri. 148

Sesat

Sulung Prasetyo

"Kita lanjutkan saja semua keputusan-keputusan yang sudah ada. Selama keputusan-keputusan itu mendukung tujuan utama kita. Tapi untuk selanjutnya kita akan memperbaiki koordinasi. Agar seluruh keputusan dapat diketahui semua pihak, sebelum dijalankan", tanggap kritis kepala taman nasional. Birokrasi lagi, pikir Basith. Selamat datang di dunia aparat pemerintahan, batin Basith melanjutkan. Tapi setidaknya mereka bersyukur, karena kali ini instansi pemerintahan dapat merespon dengan cepat laporan mereka. Tak lama berselang, datang seorang staf. Ia menerangkan kalau ruang rapat sudah siap. Orang-orang yang akan diikutsertakan dalam operasi SAR ini, juga sudah datang. "Rapat koordinasi berarti bisa segera dilaksanakan", kata staf itu, menutup perbincangan kami dengan kepala taman nasional. Semua segera bergegas pergi ke ruang rapat. Kepala taman nasional yang pertama berjalan keluar ruangan. Diikuti beberapa staf. Basith dan Didi juga menyertai, bersama dibelakang kepala taman nasional. Benar saja, didalam ruang rapat orang-orang su149

Sulung Prasetyo

Sesat

dah banyak berkumpul. Mulai dari staf respon darurat taman nasional, tim Badan SAR Nasional, Kepolisian, Kelompok pendaki gunung amatir, hingga sukarelawan. Rapat koordinasi digelar dengan ringkas. Berbagai pendapat segera muncul, setelah penjelasan singkat dari kepala taman nasional usai diucapkan. Termasuk pembagian untuk tim pencarian. Raffi yang kemudian mengajukan diri, untuk mencari melalui jalur Pasir Arca. Seperti yang sudah diminta oleh Basith sebelumnya. Selain masalah tim pencari, juga dipastikan lokasi base camp utama berada di villa Cisarua. Di villa itu juga semua pusat koordinasi akan dilakukan. Dalam suasana pergerakan yang serba cepat, Didi tiba-tiba menghampiri Basith dan Raffi yang sedang mengobrol. Didi mengatakan kalau baru saja terjadi komunikasi dengan tim pencari di Cisarua. Mereka mengabarkan menemukan orang gila, yang ditinggal sendirian di jalur pendakian.

150

Sesat

Sulung Prasetyo

XXXI Basith menatap puncak Pangrango dari atas balkon. Dia tahu, dibagian-bagian bawah puncak itu, kini rekan-rekannya sedang berusaha mencari. Menyelusup diantara rerimbunan, berteriak-teriak memanggil, dan sesekali turun ke lembah-lembah yang mencurigakan. Dipandangi jam di pergelangan tangan kirinya. Jarum pendek menunjuk ke angka sebelas, jarum panjang mengarah ke angka tiga. Sebentar lagi mereka akan beristirahat makan siang, pikir Basith. Dan sesuai perkiraan juga, base camp sudah selesai diresmikan sebelum waktu makan siang dimulai. Semua masih terjadi seperti sebelumnya. Terulang, meski tak telak sama, namun secara garis besar masih serupa. Ia kembali terbangun dalam mobil menuju Cisarua. Bertemu dengan Didi dan Diana di Cisarua, dalam misi mencari keponakannya yang hilang tersesat di hutan gunung Pangrango. Basith kembali mereka-reka itu semua. Semenjak hari pertama, kedua, hingga hari ketiga sekarang. Runtutan kejadian masih sama, meski ia berusaha melakukan aksi berbeda. Namun tetap terjadi pen151

Sulung Prasetyo

Sesat

gulangan. Ia tetap mengalami hari yang sama keesokan harinya. Ditelusurinya semua yang telah lewat. Di tela'ah satu persatu, apa mungkin ada tindakan yang tidak sesuai. Hingga ia harus mengalami pengalaman berulang akhir-akhir ini. Namun semua sama saja. Tetap saja pikirannya tak bisa merumuskan, apa yang sebenarnya terjadi. Ia bahkan curiga kalau dirinya sudah benar gila. Seperti cerita orang-orang kurang waras didalam filmfilm. Dimana mereka harus mengalami hari-hari yang terus berulang seumur hidupnya. Sekejap rasa takut menyelimuti dirinya. Apa iya ia harus mengulang semua ini, selama seumur hidup? Tubuhnya gemetar menghadapi kemungkinan tersebut. Apa yang harus ia lakukan, bila benar itu semua terjadi? Berbagai pertanyaan berat meliputi isi benaknya. Rasa takut dan cemas bercampur menjadi satu. Membuat tulang-tulang dibadannya menjadi lemas. Dan ia jatuh terduduk ke kursi empuk, di balkon villa Cisarua yang kini menjadi base camp pencarian. Matanya kembali memandangi langit. Menerka apabila ada jawaban disana. Namun yang ditatapnya 152

Sesat

Sulung Prasetyo

hanya ada kehampaan. Putih, kosong, menerawang pada hal-hal tak jelas. Tak bisa di nalar akal. Hingga akhirnya ia merasa sangat lelah. Ia merasa ingin beristirahat total. Menyingkirkan semua pikiran yang mengganggu dalam otaknya. Ia menutup matanya, melihat kegelapan melalui bagian dalam kelopak mata. Disana berbagai bayangan muncul. Menggeser berbagai fragmen-fragmen gambar yang pernah dilewatinya. Mulai saat ia kecil, bersekolah, wajah ibunya, saat menangis karena sedih, marah karena niat tak kesampaian, wanita-wanita yang pernah mengisi hatinya, termasuk Diana ada disana. Sayang, perempuan itu lebih memilih Didi sebagai pilihan hatinya. Rasa sesal kembali menggayuti Basith. Namun seperti sebelumnya, kembali ia tak ingin tenggelam dalam rasa sesal itu. Semua sudah ada jalannya. Meski sebenarnya ia menyesal setinggi gunung. Basith tetap yakin, kalau semua yang diberikan padanya merupakan yang terbaik. Yang terbaik. Basith kembali teringat pada masalah pengulangan hari yang dialaminya. Kalau kejadian itu merupakan hal terbaik yang harus dihadapinya, berarti sudah sepatutnya ia merasa bersyukur. Sebab pasti ada makna dibalik semua ini. 153

Sulung Prasetyo

Sesat

Basith lalu teringat perumpamaan cara orang melihat masalah. Bagaikan menatap sebuah gelas yang berisi setengah air. Sebagian mengatakan gelas itu berisi setengah kosong. Sebagian yang lain menganggap gelas itu berisi setengah air. Air yang berguna bagi kehidupan. Ketimbang kekosongan, yang membuat seseorang menjadi hampa. Sekarang Basith ingin memandang masalahnya, seperti melihat gelas yang berisi setengah air. Masih ada harapan disana. Masih ada yang harus dilakukannya. Ketimbang diam menerima kekosongan. Ada energi baru yang tiba-tiba merasuki dirinya. Ia merasa mendapatkan sebuah pencerahan baru. Semua yang sudah dilewatinya merupakan sebuah kesempatan. Kemungkinan untuk menjadi yang lebih baik. Tak semua orang mendapatkan kesempatan seperti ini. Kesempatan kedua yang dapat membuat sesuatu hal lebih baik. Itu dia, kesempatan kedua. Dia harus bisa memanfaatkan anugerah tersebut. Berarti ada hal-hal yang dapat dia lakukan, untuk membuat hari ini lebih baik dari sebelumnya. Dan ia harus mencoba berbagai kemungkinan yang ada. Termasuk yang hari ini ingin ia lakukan. Tetap berdiam di base camp. 154

Sesat

Sulung Prasetyo

Hingga semua berakhir hari ini. Sebab mungkin dengan tanpa campur tangan dirinya dalam pencarian dilapangan, maka semua masalah pengulangan hari tak akan terjadi lagi. Semoga saja.

155

Sulung Prasetyo

Sesat

XXXII Mereka menyelesaikan hidangan makan siang dengan perasaan tak menentu. Kabar mengenai orang gila yang ditemukan sendirian. Ditambah belum jelasnya jejak dua korban hilang. Sementara tim pencari di Cisarua terakhir mengabarkan, mereka sudah mencapai pertigaan Pasir Pangrango siang ini. Itu berarti, tim tersebut sudah menyisir keseluruhan jalur pendakian melalui punggungan Cisarua. Namun tak ada jejak dari korban, jelas membuat banyak kepala bertanya-tanya. Kemana dan dimana mereka? Padahal jelas-jelas jalur rencana turun mereka adalah melalui Cisarua. Kemudian bila tak ada jejak mereka disana, berarti ada dimana mereka sekarang? "Jelas korban tak ada di punggungan. Korban jelas -jelas sudah memberi kabar berada di lembah. Apa tim pencari juga sudah menyisir lembah punggungan Cisarua?", analisa Raffi. Basith menatap Raffi usai mendengar komentar tersebut. Dalam hatinya berteriak, ingin menjelaskan. Tapi logikanya menahan nafsu yang liar ingin dikeluarkan. "Tidak mungkin tim di Cisarua melewati lembah 156

Sesat

Sulung Prasetyo

yang mencurigakan. Mereka orang-orang yang bisa diandalkan. Fisik dan emosinya juga bagus", sanggah Basith. Dia tak ingin tim pendahuluan itu diremehkan keberadaannya. Selain juga karena ia sebenarnya sudah tahu, bagaimana akhir dari cerita pencarian ini. "Kalau memang seperti itu, apa mungkin kedua korban tersesat di jalur lain?", timpal Raffi. "Harapanku kau bisa menemukan jawabannya nanti", balas Basith. "Cukup lama aku tak pernah melewati jalur Pasir Arca", Raffi mengatakan hal itu seperti ingin menjabarkan, kalau mungkin saja ia juga gagal dalam mencari korban disana. "Apa kau pernah ke Cisukabirus?", tanya Basith. Raffi menghentikan gerakannya merapihkan ransel. Kemudian sebentar terdiam mengingat. "Bukannya itu nama sungai?". "Iya, sungai Cisukabirus. Di bagian kiri jalur Pasir Arca, kalau kita ke arah puncak Pangrango", terang Basith. "Sungai yang menjebak, seingatku". "Benar. Jangan lupa mengecek sungai itu kalau kau nanti ikut mencari di Pasir Arca". 157

Sulung Prasetyo

Sesat

"Masuk akal juga kalau mereka ada disana. Kalau sudah masuk, susah keluar di sungai itu", ulang Raffi, memaparkan apa yang ada dikepalanya tentang sungai Cisukabirus. "Tak perlu terburu-buru. Daerah Cisukabirus harus menjadi target area utama pencarian. Kalau perkiraanku tepat. Seharusnya sudah dari kemarin sore, mereka tersesat disana", Basith mengatakan itu semua, seolah sesuai logika. "Sepertinya kau yakin sekali? Bagaimana kalau mereka ada di lembah lain? Atau di jalur lain?", balas Raffi kritis. "Sepertinya kau memang sudah agak lupa jalur Pasir Arca. Tak ada lembah lain yang menjebak disana, selain lembah menuju Cisukabirus. Jadi kemungkinam besar, mereka memang berada di Cisukabirus. Kalau berada di jalur lain, itu berarti bukan tanggung jawab kalian", ujar Basith jelas. Cukup membuat Raffi terdiam dan menyetujui pemikiran tersebut. Raffi kemudian terlihat sibuk mempersiapkan ranselnya. Ransel penuh berisi peralatan pendakian, logistik, air dan keperluan darurat. Ia mencoba ransel itu dibahunya. Menyeimbangkan tali-tali bahu, dan mencoba besaran pengikat dibagian pinggang. Setelah ia merasa nyaman, kemudian melepaskan 158

Sesat

Sulung Prasetyo

ransel itu lagi. "Jadinya berapa orang yang berangkat ke Pasir Arca?", suara Basith terdengar memastikan. "Berempat. Tim kecil yang ringkas, tetapi taktis", urai Raffi menggambarkan kelebihan tim yang akan dibawanya. Basith hanya memegang kepalanya. Dilirik jam ditangannya lagi. Tak lama lagi, seharusnya akan ada laporan dari tim Cisarua. Tentang penemuan mayat, pikirnya. "Sebaiknya kau cepat bergerak. Nanti keburu terlalu sore sampai di Pasir Arca", Basith berharap kabar penemuan mayat itu baru diketahui Raffi, setelah ia berada di Pasir Arca. Sebab jika ia tahu sejak masih di base camp Cisarua seperti sekarang, bisa jadi Raffi menggagalkan rencana ke Pasir Arca. Dan lebih memutuskan mendaki lewat Cisarua. Dengan alasan kembali mengulang pencarian dan mengurus mayat yang baru ditemukan. Raffi hanya menatap puncak Pangrango. Sebelum akhirnya terdengar teriakan dari orang-orang. Ternyata kendaraan yang akan membawa Raffi dan tim sudah siap berangkat. Tepat saat kendaraan yang membawa Raffi keluar 159

Sulung Prasetyo

Sesat

dari gerbang. Suasana base camp menjadi heboh, karena laporan penemuan mayat di jalur Pasir Pangrango.

160

Sesat

Sulung Prasetyo

XXXIII Basith berpura-pura kaget mendengar kabar penemuan mayat di Pasir Pangrango. Mayat yang kemudian dianggap sebagai sosok tak dikenal. Sebab sudah masuk ke dalam wilayah taman nasional tanpa melapor dan meminta izin. "Apa mungkin, mayat itu sama kasusnya dengan orang gila yang sebelumnya ditemukan tim Cisarua juga, di jalur itu?", Basith melemparkan pertanyaan nenggelitik pada kumpulan orang didepannya. Suasana base camp kini memang sudah mulai ramai. Makin banyak pendaki-pendaki yang berdatangan, ingin membantu pencarian. Tampaknya kabar dengan cepat tersebar diluar sana. Selain itu, serombongan jurnalis juga sudah datang mencari berita. Mereka berasal dari berbagai jenis media. Cetak, online, televisi, radio, datang menyerbu seperti lebah. Sempat membuat suasana kisruh, karena memaksa meminta keterangan. Sementara memang belum ada pernyataan resmi yang bisa diberikan. "Kemungkinan bisa berbagai macam. Yang jelas jangan sampai penemuan mayat tak dikenal itu disalahpahami sebagai mayat pendaki yang tersesat. 161

Sulung Prasetyo

Sesat

Bisa ngaco dan runyam jadinya", sahut Didi menyikapi keadaan yang terus berkembang. "Benar itu", ujar Basith. "Coba hubungi lagi tim di Cisarua. Tanyakan sekarang mereka mengarah kemana?", tambahnya. "Tadi mereka mengatakan kemungkinan akan kembali menyisir jalur Cisarua", jelas Didi. Seperti dugaan Basith. Keputusan itu memang yang paling masuk akal, untuk diambil Riko. Basith sangat memahami Riko, ia sangat mirip dirinya. Pasti merasa penasaran dengan jalur Cisarua. Masih menganggap korban berada di Cisarua, dan tak menyangka mereka justru berada di Pasir Arca. "Menurutku pastikan saja, tim Cisarua kembali mengecek sedetail-detailnya jalur disana. Juga berikan peringatan waspada, kalau hujan besar akan turun sore ini", saran Basith kepada Didi. "Bagaimana kau tahu, akan turun hujan sore ini? Kau seperti peramal saja", timpal Didi mencoba agak bercanda di situasi yang agak tegang ini. "Tadi aku melihat keluar. Awan hitam besar sekali bergerak ke arah Pangrango. Naluri pendaki juga sih, yang membuat aku yakin akan hujan", urai Basith. Tak lama kemudian terdengar petir menggelegar. 162

Sesat

Sulung Prasetyo

Membuat Basith menatap Didi tajam. Memintanya segera menghubungi tim Cisarua. Sambil tertawa, Didi segera nengangkat HT-nya. Mencoba menghubungi tim Cisarua. "Sekalian juga nanti hubungi tim Pasir Arca. Pastikan mereka mencari ke sungai Cisukabirus", saran Basith lagi. "Hei, tanganku cuma dua, mulutku cuma satu. Coba kau saja yang hubungi tim Pasir Arca", sanggah Didi. Basith hanya menggelengkan kepala. Kemudian mengambil satu HT di meja. Lalu berusaha menghubungi tim Pasir Arca. "Kontak Raffi. Kontak", Basith berbicara melalui HT. "Di rojer base camp. Raffi disini. Ganti", balas suara di HT. "Di rojer Raffi. Ini Basith di base camp. Bagaimana disana? Ganti". "Basith. Kami sudah sampai kuburan Jerman. Sebentar lagi mulai mendaki. Ganti". "Apa ada info dari penduduk. Ganti". "Tak ada. Diulang. Negatif Basith. Negatif. Ganti". 163

Sulung Prasetyo

Sesat

"Oke Raffi. Silahkan lanjut mencari. Jangan lewatkan Cisukabirus. Ganti". "Rojer. Menuju Cisukabirus. Ganti". "Raffi. Rojer. Raffi". "Iya siap. Ganti". "Ditemukan botol kosong di Pasir Pangrango", Basith memberi info. ""Apa? Bisa diulang? Botol kosong? Ganti", tanya Raffi memastikan. "Positif. Botol kosong. Mayat tak dikenal. Ganti". "Astagfirullah. Apa benar mayat. Ganti". "Positif. Mayat. Bukan pendaki yang dicari. Mayat tak dikenal", Basith berhati-hati dengan kesalahpahaman. Raffi terdiam. Lama tak bersuara. "Rojer. Rojer. Coba ulang. Mayat tak dikenal? Bukan pendaki yang dicari. Ganti". "Benar. Positif. Mayat tak dikenal. Ganti". "Oke. Oke. Masih harus mencari ke Cisukabirus berati. Ganti". "Pasti. Tetap lanjutkan pencarian ke Cisukabirus. Ganti". 164

Sesat

Sulung Prasetyo

"Siap. Ganti". "Oke. Over. Masuk catatan. Selamat bertugas. Ganti". "Jangan lupa siapkan pesta penyambutan buat kami. Pendaki itu pasti kami temukan di Cisukabirus. Seperti yang kau duga. Ganti", Raffi melempar canda. "Over. Pesta tiga hari tiga malam, kalau benar kau temukan korban disana. Ganti". "Oke. Segera meluncur. Ganti". Hubungan komunikasi terputus. Diiringi hujan yang mulai turun. Hujan teramat lebat, dengan petir menggelegar bersahutan. Membuat listrik mati seketika.

165

Sulung Prasetyo

Sesat

XXXIV Gelombang pertanyaan makin hebat, ketika isu penemuan mayat mulai menyebar. Para jurnalis bahkan mulai merangsek masuk base camp. Melewati garis batas yang sudah dibuat. Terpaksa, untuk mengurangi dampak buruk dari pemberitaan yang mungkin muncul, dijanjikan akan digelar konferensi pers sore itu juga. Konferensi pers yang menurut Basith akan sia-sia saja. Sebab menurut perhitungannya, beberapa jam ke depan, kalau semua tak berubah, maka korban akan ditemukan. Basith berpikir keras untuk menggagalkan konferensi pers tersebut. Atau setidaknya menahan hingga berita korban yang ditemukan disampaikan. Diluar, hujan teramat deras masih saja terjadi. Membuat banyak wartawan yang baru tiba masuk villa dengan baju basah. "Berikan saja fasilitas untuk mereka membersihkan badan. Lalu hidangkan makanan. Setidaknya itu bisa membuat mereka sementara tenang", saran Basith. "Mau sampai seberapa lama menahan mereka?", imbuh Didi. 166

Sesat

Sulung Prasetyo

"Sampai menjelang maghrib. Semua akan terjawab waktu itu. Kalau setelah itu mau konferensi pers, silahkan saja", ucap Basith lagi. Sementara Didi berpikir. Untuk apa menahan informasi sampai maghrib. Sekarang sudah menjelang pukul tiga sore. Lagipula setidaknya ada informasi mengenai data diri korban, beserta rencana-rencana yang mereka tinggalkan. Selain itu, bisa juga dipaparkan mengenai rencana yang sudah dijalankan. Sehingga tak perlu menjadi polemik seperti sekarang. "Terserah. Kalau kau ingin mengikuti saranku, itu lebih baik", kata Basith seperti bisa membaca pikiran Didi. "Aku pertimbangkan baik-baik saranmu. Sejauh ini aku juga menunggu pendapat dari kepala taman nasional", jawab Didi. Tangannya kemudian sibuk memencet tombol telepon genggam. Mencoba menghubungi kepala taman nasional. Saat Didi menelepon, Basith pergi meninggalkannya. Ia menuju sebuah kamar kosong, dan mencoba tidur disana. Basith mencoba meninggalkan pikiran-pikiran yang mengganggunya hari itu. Memutuskan menyerahkan semua pada takdir. 167

Sulung Prasetyo

Sesat

Sebentar memejamkan mata, Basith langsung tertidur. Dalam mimpinya ia telah berada di rumah. Di beranda balkon rumah, sedang menikmati kopi pagi. Suasana pagi yang berbeda, karena tak ada orang yang hilir mudik. Jalanan di depan rumah terlihat lengang. Biasanya, jalanan itu ramai dengan orangorang. Lari pagi, berjualan, jalan kaki, berangkat kerja. Penasaran, Basith turun menuju jalanan. Diikutinya jalan aspal itu. Melewati rumah-rumah tetangga, yang juga tampak kosong. Sejauh-jauhnya ia berjalan, semua terlihat kosong. Sepertinya tak ada lagi orang di bumi ini. Selain dirinya sendiri. Masih penasaran, ia menuju pasar. Sebab biasanya disana orang-orang ramai berjualan. Tapi kembali, tak ada siapapun disana. Los-los pasar melompong tanpa ada siapapun. Makin masuk ke dalam, kian sepi. Di los daging, hanya ada bau amis tertinggal. Di los sayuran, tersisa serpihan daundaun busuk. Di los pakaian, toko-toko tutup. Menyembunyikan misteri didalamnya. Ditinggalkannya pasar. Menuju sekolah-sekolah, yang mungkin sudah akan pulang siswanya. Tapi tak ada kesibukan mengajar juga disana. Kelas-kelas kosong tanpa penghuni. Hanya Basith sendirian, tak 168

Sesat

Sulung Prasetyo

mengerti. Sampai kemudian terdengar suara-suara memanggil. Namanya yang dipanggil. Kelamaan panggilan itu makin terdengar keras. Sampai terasa seperti tak jauh dari telinganya. Teriakan yang membuat kupingnya pekak, dan membuatnya memejamkan mata. Saat ia membuka matanya lagi, kembali ia sadari masih berada di villa Cisarua. Ada orang yang memanggil namanya dari luar kamar. Ia bangun, kemudian menghampiri asal suara itu. Ditemukannya seorang berpenampilan pendaki gunung sedang mencarinya. Lelaki itu mengatakan kalau ia ingin menyampaikan pesan dari Raffi. Katanya Raffi sudah menemukan dua korban tersesat di Pasir Arca.

169

Sulung Prasetyo

Sesat

XXXV Semua orang di base camp seperti hanyut dalam kebahagiaan. Aura kesenangan menyebar kemanamana. Bercampur dengan syukur, yang diucapkan mulut banyak orang. Ada juga beberapa orang yang bersalaman. Bahkan berpelukan. Seperti melupakan mereka sebelumnya sempat berdebat, sampai seperti orang yang mau baku hantam. Senyum menebar di wajah semua orang. Bahkan orang tua korban yang juga sudah datang, sempat mengeluarkan air mata. Mungkin karena terharu pada solidaritas yang dimunculkan para pendaki dan kabar keselamatan anak-anak mereka. Baru saja Basith turun di anak tangga terakhir, seseorang ingin menyalaminya. Dengan tersenyum ia menggenggam erat-erat tangan Basith. Kemudian menggumamkan kata-kata kurang jelas. Basith segera meninggalkan orang tersebut. Kemudian matanya mencari keberadaan Didi. Yang dicarinya ternyata sedang berdiri sambil minum, di pojok ruangan. Wajahnya agak bingung, namun sama senangnya seperti orang lain. "Bagaimana dengan tim Cisarua?", suara Basith 170

Sesat

Sulung Prasetyo

datang bersamaan dengan geledek yang masih menyambar. "Sebentar pasti akan diberitahu. Terakhir mereka masih mencari di Cisarua. Turun ke bawah", urai Didi. "Bagaimana ceritanya, tim Pasir Arca bisa menemukan dua orang korban itu?", tanya Basith lagi. "Belum terlalu jelas. Detailnya baru akan disampaikan setelah mereka sampai di base camp nanti. Intinya mereka menemukan korban di Cisukabirus. Dan kedua orang yang mereka temukan itu, positif, Ando dan Ciblek", urai Didi. Matanya seperti tak percaya, namun semua memang terjadi. "Dan sekarang mereka sedang menuju kesini?", tanya Basith memastikan. "Begitulah", Didi menjawab sambil mengangkat gelas, karena ada seseorang yang mengajaknya bersulang. Demi penghargaan terhadap teman-temannya yang berada di Cisarua, Basith yang kemudian mengontak mereka. Mengabarkan telah ditemukannya dua korban yang tersesat, di Pasir Arca. Hujan tampaknya mulai usai, saat Basith bisa 171

Sulung Prasetyo

Sesat

menghubungi Riko melalui HT. Seperti kejadian sebelumnya, tim Cisarua juga terpaksa turun lebih cepat karena hujan besar. Banyak daerah menuju lembahan yang mereka lewatkan. Dan sekarang mereka sedang berteduh di pos penjaga air. "Segera bersiap turun, kalau sudah reda. Ada mobil yang sedang meluncur kesana untuk menjemput kalian. Ganti", ucap Basith di HT. "Diterima. Segera meluncur bila sudah siap. Tolong siapkan nasi padang untuk makan malam. Ganti", pinta Riko. "Bisa dibeli sendiri saat menuju kesini. Ganti. Sedang sibuk semua disini. Over", alasan Basith. "Sial. Resiko tim gagal. Ha..ha..ha.. Ganti", balas Riko menyindir. "Semua dapat bagian yang adil. Ditunggu segera disini. Ganti". "Siap meluncur. Dapat salam dari Diana nih. Ganti", balas Riko meledek. Hubungan segera terputus. Basith tak ingin ledekan itu membuat hubungannya dengan Didi menegang. Hanya karena ia tak sengaja, mendengar canda tak jelas itu. 172

Sesat

Sulung Prasetyo

XXXVI Selalu ada kesangsian meliputi hati Basith. Meski semua berjalan sesuai yang diharapkan. Tapi selalu ada ganjalan, yang membuat hatinya tak yakin. Kejadian pengulangan hari, memang membuat rasa tak yakin selalu menyelimutinya. Ia selalu menjadi cemas dan was-was. Risau kalau pilihan tindakannya tak sesuai dengan yang diharapkan. Kini, tak ada pilihan lagi di kepala Basith. Semua harus dijalani. Kesempatan yang ada tinggal dijalani, dengan berbagai pilihan keputusan tindakan yang berbeda. Hanya dengan cara itu juga dia yakin, ada satu tindakan yang membuat kejadian pengulangan harinya tak terjadi lagi. Seingatnya sekarang, dia sudah membuat dua langkah variasi berbeda. Satu dengan menyusul langsung korban tersesat ke Pasir Arca. Yang lainnya dengan tak turut campur dilapangan, seperti sekarang ini. Namun tetap saja. Seperti ada perasaan ganjil yang menggelitik hatinya. Perasaan yang sama, ketika ia menghadapi malam kejadian pertama, kedua dan terakhir. Perasaan yang kembali membawa dirinya pada kecurigaan. Kalau ia akan mengalami 173

Sulung Prasetyo

Sesat

kejadian serupa lagi. Hatinya tiba-tiba menjadi kesal. Apalagi kini yang salah? Semua sudah dilakukan, sebaik yang bisa dikerjakan. Semua yang sudah dilewati juga tak ada yang berdampak fatal. Atau berbeda jauh dengan yang sebelum-sebelumnya. Alias pencarian masih tetap dilakukan, dan korban tersesat selalu bisa selamat. Diantara pikiran-pikuran yang njelimet itu, tibatiba Basith dikejutkan oleh suara memanggil. Wajah Raffi muncul dikejauhan dengan berseri. Tampaknya Raffi baru tiba kembali di villa ini, dan langsung mencari dirinya. "Tak kusangka, perkiraanmu bisa setepat itu. Mereka kutemukan waktu mau keluar dari Cisukabirus", ucap Raffi sambil tertawa. "Sesuai dugaan berarti. Mereka memang sangat mungkin terlempar kesana", tambah Basith mencoba agak bangga, meski tak pada tempatnya. "Tapi sebenarnya, mereka ada kemungkinan juga mengarah ke Citeko. Atau punggungan yang lain seperti Lido. Kenapa kau yakin mereka ada di Pasir Arca?", balik tanya Raffi, seperti berusaha mengorek rahasia dari Basith. 174

Sesat

Sulung Prasetyo

Basith hanya mengangkat tangan. Menganggap semua itu hanya keberuntungan tebakan semata. Ia juga mengakui bisa salah. Dalam hati Basith meminta maaf sebesarbesarnya kepada Raffi. Karena ia memutuskan untuk tak menceritakan mengenai masalah pengulangan hari yang dialaminya. "Lalu sekarang? Ando dan Ciblek dimana? Eh, sebenarnya bagaimana cerita mereka, sampai bisa tersesat?", Basith mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Untungnya Raffi tak terlalu curiga. Berbeda dengan Raffi yang dulu dikenal sebenarnya. Biasanya Raffi selalu kritis dengan segala apa yang dipikirkan. "Mereka sepertinya memang tak tahu jalur Cisarua. Dan malah terus melewatinya, setelah turun dari puncak Pangrango. Seperti dugaanmu, mereka menemukan jalur pertigaan Pasir Arca. Kemudian memutuskan turun dari sana", cerita Raffi. "Tunggu dulu. Apa mereka tak melihat ada mayat di jalur Pasir Pangrango? Antara pertigaan jalur Cisarua dan Pasir Arca?", penasaran Basith bertanya juga. Meski ia tahu jawabannya. Sekedar memastikan, dan membuat Raffi yakin kalau semua terjadi nor175

Sulung Prasetyo

Sesat

mal saja. "Tidak. Mereka tidak melihat mayat itu. Tapi mereka bilang, pernah mencium bau busuk yang aneh. Tepat saat melintas Pasir Pangrango", ungkap Raffi. "Oh..I see. Jadi begitu ceritanya. Sekarang mereka ada dimana?", mata Basith mencari kedua orang tersesat itu diantara kerumunan orang. "Sedang diperiksa dokter. Baru kemudian ditanyai oleh petugas taman nasional. Semoga masalah ini tidak diperpanjang lagi", Raffi ikut menatap ke arah kerumunan. "Mereka akan pulang, setelah konferensi pers nanti", ucap Basith lagi kelepasan. Nembuat Raffi kembali menatapnya dengan curiga. "Dan nanti setelah mereka pulang. Aku akan membuka praktek ramalan masa depan. Sepertinya aku ada bakat terpendam", ucap Basith sekenanya. Membuat Raffi segera melupakan segala pikiran kecurigaannya.

176

Sesat

Sulung Prasetyo

XXXVII Riko mendapati Basith sedang tertidur, ketika tiba di villa Cisarua. Suatu hal yang aneh, menurut Riko. Tak seperti Basith yang ia kenal. Basith yang selalu trengginas dalam menghadapi masalah. Terutama masalah orang mendaki gunung, seperti sekarang. Diguncang-guncangkan tubuh Basith untuk membangunkan. Cukup lama, sampai akhirnya Basith bisa mengumpulkan semua nyawanya. "Diana marah-marah. Katanya kau orang tak bertanggung jawab. Menelantarkan dia dan calon anak dirahimnya", ucap Riko membuat Basith kaget. "Apa kau bilang? Apa lagi ini? Gila kali?", komentar Basith sengit. Karena merasa tak ada hubungan serius dengan Diana. "Ha..ha..ha..kalau tak begitu kau pasti tak sadarsadar", balas Riko bercanda. "Sialan", jawab Basith kecele. "Mana Yusuf dan Dodo?", tanya Basith sambil mengusap tangan. Kedinginan. "Ada dibawah. Sedang menunggu. Apa kau mau pulang bareng atau tidak?". "Pulang? selesai?". 177

Memang

konferensi

pers

sudah

Sulung Prasetyo

Sesat

"Sudah dari tadi. Tidur saja sih kerjaannya". Basith kembali memegang perutnya. Tiba-tiba ia merasa ingin buang air besar. Dan segera beranjak ke toilet, tanpa berkata apa-apa lagi. "Hei, kau mau ikut pulang bareng atau tidak?", tanya Riko lagi menggerutu, karena tiba-tiba ditinggalkan. "Ikut. Nanti aku buang air besar dulu", jawab Basith dari dalam toilet. Riko menatap sekeliling, sebelum memutuskan hendak pergi atau berdiam di kamar itu. Suasana kamar tampak berantakan sekali. Barang-barang berserakan dimana-mana. Tampaknya kamar ini memang dikhususkan untuk semua personil tim pencarian beristirahat. Riko kemudian memutuskan untuk berdiri. Menghindari posisi rebah. Karena tahu, sebentar saja ia dalam posisi rebah, maka akan segera tertidur. Rasa lelah sudah sedemikian menggerogoti tubuhnya. Kelelahan setelah mencari korban di Cisarua. "Riko, kau masih di kamar?", suara Basith tibatiba terdengar dari dalam toilet. "Iya masih. Kenapa?". 178

Sesat

Sulung Prasetyo

"Bilang ke Diana. Aku menyesal tak menerimanya sebagai pacar", ucap Basith meledek. "Sial. Bilang saja sama kotoran yang keluar dari perutmu", balas Riko terkekeh. "Hei Riko". "Yoi". "Apa mayat yang kau temukan masih melotot matanya?". Riko berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ingat. "Iya masih kalau tak salah. Kenapa?". "Itu pasti karena dia melihat kecantikan Diana". "Ha..ha..ha..cepat keluar kau. Tak baik berlamalama di toilet, sambil membayangkan Diana. Bisabisa nanti malah onani". Usai berkata seperti itu, pintu toilet terbuka. Basith melangkah keluar dengan tertawa. "Tenang kawan. Aku tahu waktu yang tepat untuk melakukan itu". "Beda memang kalau sudah berpengalaman", ejek Riko. "Ha..ha..ha..ayolah kita pulang. Capek rasanya disini. Lapar juga. Ingin makan yang enak-enak". "Nanti di jalan. Kita mampir ke warung sate 86. 179

Sulung Prasetyo

Sesat

Paling terkenal disepanjang jalur Puncak Pass". Basith mengacungkan jempol. Memberi kode sepakat. Dan mulai membayangkan, sop hangat didalam mangkok. Kehangatan yang mengenyangkan. Kehangatan yang menyamankan. Kenyamanan yang ia rasakan bersama laju roda mobil. Melintas keluar villa yang mulai sepi. Menuju jalan raya yang terselimuti kabut. "Pasti kau terkenang-kenang ya, melihat mayat itu", gurau Basith kepada Yusuf. Usai mereka makan malam, dan melaju lagi dalam mobil menuju Jakarta. "Tak bakal bisa tidur dia, beberapa hari ini", tukas Riko. Yusuf hanya tertawa-tawa. Mayat yang mengerikan, pikirnya. Bola matanya hilang, sudah berganti menjadi belatung. Perutnya licin, kembung hendak pecah. Tiba-tiba rasa mual memenuhi mulutnya. Sebelum benar-benar ia muntah, segera menutup mata dan rebah. Basith kemudian asyik kembali dengan pikiranpikirannya. Antara cemas dan berdoa. Semoga besok semua tak berualang seperti sebelumnya. Meski ia merasa sangsi. Karena sepertinya semua ini belum akan berakhir begitu saja. 180

Sesat

Sulung Prasetyo

HARI KEEMPAT

181

Sulung Prasetyo

Sesat

XXXVIII Dalam tidur Basith kembali bermimpi. Ia kembali sudah berada di balkon rumahnya. Namun tiba-tiba tampak serombongan orang melewati jalan depan rumah. Mereka berbondong-bondong dan tampak terlihat sibuk. Satu sama lain saling berbicara, tanpa mengacuhkan Basith yang sedang memperhatikan mereka. "Hai, mau kemana kalian?", akhirnya Basith berteriak bertanya. Penasaran. Salah seorang dari mereka yang membalas. "Mau ke mesjid. Melayat orang meninggal", katanya menambah penasaran, karena tak menjelaskan siapa yang meninggal. Malah terus berjalan pergi. Karena penasaran, Basith memutuskan keluar rumah. Namun saat berada di jalan, ia memutuskan tak pergi ke mesjid. Melainkan ingin melihat kampungnya dulu. Lalu ia berjalan tak tentu arah. Tapi kemanapun Basith berjalan, selalu kembali mengarah ke jalan menuju mesjid. Sampai akhirnya Basith menyerah, dan tiba didepan mesjid. Dia melihat banyak orang berkumpul didalam mesjid. Tapi ia masih belum bisa melihat, siapa sebenarnya yang meninggal. Karena merasa lelah, Basith memu182

Sesat

Sulung Prasetyo

tuskan duduk-duduk saja dulu di depan mesjid. Sampai kemudian tiba saatnya sholat jenazah diadakan. Orang-orang tampak berdiri, dan memulai sholat jenazah. Kembali Basith memutuskan tak masuk ke dalam mesjid. Dan hanya memperhatikan dari selasar depan. Namun karena orang-prang sholat sambil berdiri, Basith tetap belum dapat melihat, siapa sebenarnya yang meninggal. Tiba waktunya keranda diangkat. Orang-orang sibuk memegang ujung-ujung keranda. Tempat membawa mayat itu sedikit berbeda. Karena hanya bagian atasnya yang tertutup kain hijau. Sementara bagian depan dan belakangnya, terbuka begitu saja. Seperti ingin memperlihatkan kepada Basith, siapa yang terbujur kaku didalamnya. Melihat kesempatan itu, Basith segera mencari tahu, siapa sebenarnya yang meninggal. Tapi ia merasa terkejut sekali, ketika melihat tak ada sosok jasad didalam keranda. Astagfirullah, pikir Basith. Otaknya segera dihujani berbagai praduga. Dan semua praduga tersebut mengarah pada sebuah kesimpulan, kalau ia belum siap menjadi orang mati. Kemudian dengan amat sangat memohon kepada Tuhan, agar jangan dirinya yang ditakdirkan cepat-cepat menjadi pengisi keran183

Sulung Prasetyo

Sesat

da kosong itu. "Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah", gumam Basith berulang kali. Membuat Riko yang berada disampingnya, berusaha menyadarkannya dari tidur. "Mimpi mengerikan sekali sepertinya kau. Sampai harus istighfar berilang kali seperti itu", komentar Riko setelah berhasil membangunkan Basith. Basith membelalakan matanya, kemudian melihat sekeliling. Otaknya langsung bekerja. Memberi ingatan sebelumnya seperti membuat trauma. Kali ini kembali ia terdiam. Riko masih ada disampingnya. Dodo dan Yusuf di bangku depan. Dan mereka berkendara dipagi hari yang macet, di jalur menuju pertigaan Taman Safari Cisarua. Sial, maki Basith. Masih kembali seperti sebelumnya. Ini sudah hari ke empat, dan ia masih mengulang hari yang sama seperti kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi.

184

Sesat

Sulung Prasetyo

XXXIX "Anjing !!!", Basith mengumpat dengan keras. Pikirannya kalut. Hatinya menjadi senewen. Makian itu membuat Riko menoleh. Bertanyatanya dan bersiap melemparkan bantal. "Ngehek, jangan kau lempar bantal itu", mimik muka Basith terlihat serius. Membuat Riko menahan niatnya. "Dan aku bukan bermuka bantal. Kalian ingat itu semua", tambah Basith dengan nada keras. Membuat Yusuf menoleh ke belakang. Memandang dengan hati bertanya-tanya. Sementara Dodo hanya mencari tahu melalui kaca spion tengah. "Hei kenapa kau. Tiba-tiba marah seperti itu?", gertak Riko tak senang. "Belum sarapan mungkin. Lapar bisa membuat anda gila", seloroh Yusuf, mencoba mencairkan ketegangan. Hawa panas karena macet, membuat tubuh Basith gerah. Membuat jiwanya menjadi tak nyaman. "Sial. Kenapa pula lewat jalan ini. Macet. Bego. Harusnya bisa lewat jalan alternatif. Kalau cuma mau ke Cisarua", ketus Basith masih menggerutu. 185

Sulung Prasetyo

Sesat

"Siapa suruh tidur melulu. Yang tahu jalur alternatif itu cuma kau", jawab Riko dengan nada gemas. Dengan kesal Basith mengambil snack di dekat persneling depan. Yang kemudian dengan cepat ingin disahuti Dodo. "Iya, aku tahu. Tak akan kuhabiskan snack ini", balas Basith mengagetkan. Seperti sudah mengetahui apa yang akan diucapkan Dodo. "Uring-uringan terus. Mimpi apaan sih dia", akhirnya Dodo berkomentar dengan pasrah. "Mimpi ditolak cintanya kali", timpal Yusuf mencoba melempar canda. "Cinta bertepuk sebelah tangan", sambung Riko mulai tertawa. Dilanjutkan tawa tertahan dari yang lain. "Sialan kalian. Tak tahu urusannya. Komentar sembarangan saja", balas Basith bersungut-sungut. Mukanya tampak mengeras. Seperti ada yang tertahan dibenaknya. "Sabar. Sebentar lagi dewi pujaanmu nongol didepan mata. Dia sudah menunggu di Cisarua. Tapi bersama pangeran pilihannya", urai Riko kembali meledek. Karena segan, yang lain hanya tersenyum lebar saja. Tak enak rasanya trrus meledek Basith, 186

Sesat

Sulung Prasetyo

yang paling dianggap senior diantara mereka. "Diana, Diana kekasihku. Bilang saja sama pacarmu. Cincin yang bermata jeli itu. Tanda cinta kasih padamu", nyanyi Dodo melanjutkan ledekan dengan syair seenaknya. "Damned", sambar Basith sambil melempar bungkus sisa snack ke arah Dodo. Membuat Dodo agak kelimpungan. Efeknya laju mobil yang dikendarainya menjadi limbung. Untung bisa segera dikendalikan, sebelum terjadi kecelakaan fatal. "Gila kau Basith. Bisa kecelakaan kita", hardik Dodo. Dia menghentikan mobil dipinggir jalan. Kesempatan itu kemudian dipergunakan Basith, untuk keluar mobil. Diikuti dengan pandangan heran temantemannya. Satu sama lain kemudian saling berpandangan. Riko yang kemudian berinisiatif memanggil. "Hai, mau kemana kau Basith? Kita sudah ditunggu Didi dan Diana", teriak Riko dari dalam mobil. Bukannya menjawab, Basith malah terus berjalan ngeloyor menjauh. Ia terlihat mulai mendaki sedikit tanjakan tanah dipinggir jalan raya. Tanjakan menuju 187

Sulung Prasetyo

Sesat

puncak bukit kecil diatasnya. Dengan ogah-ogahan Riko memutuskan ikut keluar mobil. Dipandanginya Basith yang bergerak lincah mendaki. Masih Basith yang dulu, pikirnya. Lincah mendaki seperti kijang gunung. Tapi anehnya kalau bertemu dikesempatan biasa-biasa saja seharihari, Basith tampak seperti orang lemas tak bertenaga. Itu yang membedakan Basith dengan pendaki lain. Seperti ada energi yang diserapnya saat mendaki gunung. Semua aura lemas tak bertenaga itu seperti hilang, ketika melihat Basith mendaki. Seperti itu juga, Basith yang dikenal Riko selama ini. "Basith... tunggu", teriak Riko dari bawah bukit. Yang dipanggil tak menjawab sama sekali. Melainkan terus mendaki ke puncak bukit. Sial, dia tak akan berhenti sebelum mencapai puncak, pikir Riko. Dilihatnya jam di tangan. Kalau tak cepat dia membujuk Basith, bisa makin lama menemui Didi dan Diana. Yang berarti makin lama juga memulai upaya pencarian, dua keponakan Didi yang dikabarkan tersesat. Tak berpikir lama lagi, Riko segera menyusul Basith ke puncak bukit. Sementara Dodo dan Yusuf hanya menunggu dipinggir mobil. Malas turut campur tangan pada urusan kedua seniornya itu. 188

Sesat

Sulung Prasetyo

"Basith !!! Mau berapa lama kau disini? Kita sudah ditunggu Didi dan Diana. Mau jam berapa kita mulai mencari, kalau jam segini kita masih ada disini", tukas Riko setelah berhasil menyusul Basith. Basith yang sedang berdiri menatap pemandangan luas didepannya, lama tak menjawab. Kemudian menunjuk ke satu arah. Membuat Riko menengok, melihat ke arah itu. Jalan terlihat berkelok dikejauhan. Seperti badan ular tanpa kepala dan ekor. "Mereka akan baik-baik saja. Tak perlu cemas. Tak ada yang perlu kita lakukan", akhirnya Basith bersuara. Jawaban yang membuat Riko menggaruk alisnya. Pertanda ia tak mengerti dan sedang berpikir untuk memahami. "Tak ada yang perlu dilakukan bagaimana?", tanya Riko tetap tak mengerti. "Ada orang yang minta tolong karena tersesat, malah tak ada yang harus dilakukan. Kenapa kau Basith?". Dipandanginya Riko dengan kesal. Mengapa Riko tak percaya saja padanya. Ia sudah muak dengan semua ini. Ia ingin sesuatu yang berbeda. Itu dia, pikir Basith. Sesuatu yang berbeda. Kali ini 189

Sulung Prasetyo

Sesat

ia harus melakukan sesuatu yang berbeda. Mungkin keterbalikan dari yang sebelumnya. Dari putih menjadi hitam. Dari kanan menjadi kiri. Dari baik menjadi buruk. Setelah itu ia sepakat, kali ini akan mendahulukan sifat jahatnya.

190

Sesat

Sulung Prasetyo

XL Diana menatap Riko dengan pandangan ganjil. Matanya menuntut diberitahukan, dimana keberadaan Basith. Yang dijawab Riko dengan anggukan kepala, mengarah ke mobil yang tadi membawa mereka. Perempuan itu kemudian menatap mobil lekatlekat. Masih ada seorang manusia didalamnya. Tak bergerak, hanya menyender pada bangku. "Kenapa dia tak keluar?", tanya Diana penasaran. "Sebentar dia keluar. Sedang cari inspirasi sepertinya", sahut Riko sekenanya. Kembali Diana mengerenyitkan kening. Tak biasabiasanya. Dilihat jam di telepon genggam. Sudah jauh terlambat dari rencana semula. Kemudian menatap Riko lagi, memintanya agar segera memanggil Basith keluar mobil. Yang dipinta dengan terpaksa melangkah ke mobil. Memasukan kepala ke dalam. Kemudian seperti sedang berbicara dengan orang didalam mobil. Tak lama kemudian, akhirnya orang itu keluar juga dari dalam mobil. Riko yang lebih dulu turut berbaur bersama Diana, Yusuf, Didi dan Dodo. Baru kemudian Basith 191

Sulung Prasetyo

Sesat

yang datang. Diana terpekik melihat Basith. Tampak berbeda dengan yang sebelumnya. Rambutnya acak-acakan, seperti model gitaris band punk rock, sex pistols. Matanya terlihat sembab menghitam. Begitupun bibirnya. Tak cukup dengan wajah saja. Basith juga mengenakan celana sobek-sobek. Celana berbahan jeans, yang sangat tak cocok untuk mendaki gunung. Serta hanya memakai kaus tanpa lengan berwarna gelap. "Kenapa kau Basith?", suara tertahan Diana membuat yang lain menoleh. "Memangnya kenapa?", balas Basith cuek. Kemudian membakar sebatang rokok dan mengebul -ngubulkan asap kemana-mana. Yusuf dan Didi hanya menghalau asap dengan tangan. Namun tak terlalu peduli dengan perubahan gaya penampilan Basith. Menurut mereka normal saja. Mungkin memang berbeda dari biasanya, tapi tetap tak masalah. Sebab mungkin Basith memang sedang ingin berbeda. "Lagi tren memang sekarang. Gaya punk", ucap Riko ketus. 192

Sesat

Sulung Prasetyo

"Kenapa dia?", bisik Didi kepada Riko. "Tak tahu. Dari tadi pagi sudah aneh. Bangun tidur marah-marah. Ribut-ribut di mobil. Sempat hampir kecelakaan tadi. Sudah itu mendaki bukit dulu lagi. Baru bisa kesini setelah dibujuk. Habis sarapan, dia ganti baju seperti sekarang", urai Riko. "Kesambet setan jalanan kali", imbuh Dodo. Merasa jadi bahan omongan, Basith menatap ke arah Dodo. "Ribet sekali tampaknya. Terserah dong, mau gaya apa juga. Yang punya baju juga tak rewel", ujar Basith. "Apa kau mau mendaki dengan pakaian seperti itu?", kali ini Diana yang bersuara. "Memang kenapa dengan pakaian ini? Kamu tahu, anak punk itu hebat-hebat. Mereka mandiri, dengan melawan kemapanan", sanggah Basith sengit. "Bukan masalah pemikirannya. Pakaian yang kau pakai jelas tak cocok dengan daerah yang akan kita hadapi", balas Diana tak kalah sengit. "Sudahlah. Kita disini bukan buat membahas pakaian. Sudah terlalu terlambat ini, untuk mulai mencari", papar Didi menengahkan. Didi sebenarnya memang tahu, ada sesuatu anta193

Sulung Prasetyo

Sesat

ra Basith dan Diana. Mereka sebenarnya pasangan yang cocok. Basith pendaki gunung yang penuh pengalaman. Diana juga sangat menyukai olahraga keras tersebut. Didi juga pernah mendengar, mereka sebenarnya pernah punya hubungan khusus. Tapi entah kenapa, Diana justru memilih dirinya sebagai kekasih. Mengenai pikiran itu, Didi tak terlalu mencampuri. Sebab ia juga selalu percaya, Tuhan sudah mengatur segalanya. Diana hanya bersungut-sungut saja kemudian. Satu sisi menyadari, ada hal penting lain yang harus diutamakan. Ketimbang terus meributkan masalah pakaian. Diana segera membagi-bagikan kertas. Berasa data diri korban, rencana perjalanan, daftar perlengkapan dan menu makanan. Saat semua membaca lembaran-lembaran tersebut, Basith malah melipatnya dan memasukan ke saku belakang celana. Kemudian dia menguap lebar-lebar. "Itu data diri korban, termasuk rencana perjalanan mereka. Apa kau tak ingin tahu sebelum mencari nanti?", sahut Didi keheranan melihat tingkah Basith. "Iya, sudah tahu. Aku mau langsung jalan saja. Kutunggu kalian di rumah penjaga air", jawab Basith 194

Sesat

Sulung Prasetyo

sambil melangkah menuju mobil. Mengambil ransel, kemudian melambaikan tangan sambil melangkah menjauh. Didi, Diana, Yusuf, Riko dan Dodo hanya bengong melihat kejadian itu. Tak menyangka Basith akan melakukan hal tersebut. "Benar-benar sudah gila dia. Sekarang bagaimana ini?", suara Diana terdengar mulai panik. "Yusuf, coba kau susul Basith. Yang lain tak perlu panik. Lanjut saja briefing-nya. Setelah selesai, baru kita menyusul Basith dan Yusuf", satan Riko berusaha menguasai keadaan. Usul tersebut dianggap yang lain, paling masuk akal. Yusuf segera berlari mengambil ranselnya, dan bersiap menyusul Basith. Kemudian memberikan kode telunjuk miring dikeningnya. Sebelum akhirnya nyengir tertawa, dan berjalan menjauh.

195

Sulung Prasetyo

Sesat

XLI "Apa kau tahu, kalau nabi Yusuf itu utusan Tuhan yang paling aneh, diantara nabi-nabi lain", ucap Basith ketika menyadari Yusuf mulai mengikutinya. "Oh ya? Mengapa begitu?", tanya Yusuf dengan napas masih memburu. "Bagaimana tidak aneh. Dia menolak berhubungan badan dengan istri majikannya. Malah memilih masuk penjara, dengan alasan tak mau membuat dosa", urai Basith. "Bukannya berarti dia orang baik?". "Dia orang baik, tetapi tetap saja aneh". "Aneh karena ia menolak berhubungan badan dengan seorang wanita, maksudmu?". "Tak cuma itu Yusuf. Dia juga aneh karena lebih memilih penjara. Dengan kesalahan yang bukan berasal dari dirinya". "Apanya yang aneh? Bukannya sekarang banyak juga kejadian, orang masuk penjara walau dia tak bersalah". "Yang aneh itu, karena nabi Yusuf lebih memilih masuk penjara. Memilih lho...berarti dia dengan sukarela masuk penjara. Apa itu tidak aneh?". 196

Sesat

Sulung Prasetyo

Yusuf menunduk. Matanya menatap tanah. Napasnya mulai tak teratur. Kuat sekali Basith ini, pikir Yusuf. Ia bahkan bisa berbicara dengan santai, sambil terus mendaki. "Tapi pada akhirnya dia bahagia", timpal Yusuf. "Pada akhirnya dia bahagia. Seperti semua cerita film buatan Hollywood", racau Basith. "Pada akhirnya semua bahagia", tambah Yusuf. "Semoga", sahut Basith, masih terus mengingat kesialan dirinya, selama beberapa hari terakhir ini. Basith terus saja mendaki. Melewati lagi sisi-sisi pinggir sungai. Menembus hutan Honje dan bambu. Sampai akhirnya tiba di batas hutan. "Apa kita tak mau menunggu teman-teman yang lain?", Yusuf akhirnya bersuara dengan napas tersengal. "Kau mau menunggu disini? Tunggulah. Aku mau terus ke rumah penjaga air", ketus Basith dengan cuek. Sialan, pikir Yusuf. Siapa mau menunggu dibatas hutan penuh pacet seperti ini. Kemudian kembali mengejar Basith. "Ngomong-ngomong kenapa kau tiba-tiba ber197

Sulung Prasetyo

Sesat

cerita tentang nabi Yusuf?", tanya Yusuf setelah berhasil kembali menyusul Basith. "Iseng saja. Ingat kau. Yusuf katanya ganteng. Tapi kok kau sebaliknya", ejek Basith tanpa merasa bersalah. Sialan..sialan, pikir Yusuf lagi. Seniornya yang satu ini jadi makin menyebalkan. Untungnya rumah penjaga air sudah didepan mata. Basith melihat rumah kecil itu dengan pandangan bosan. Namun terus masuk ke bagian dalam rumah, dan melempar ranselnya ke lantai. Kemudian dilihatnya Yusuf melakukan hal yang sama. Baru setelah meminum air, Yusuf mengeluarkan kertaskertas yang diberikan Diana. Membaca dengan tekun bagian-bagian yang terlewat tadi. "Dua bocah itu memang tolol. Bikin susah semua orang saja", ucap Basith dengan nada kesal. "Siapa yang mau tersesat di hutan. Mereka pasti memang mengalami masalah", sahut Yusuf mencoba meluruskan pemikiran Basith. "Tidak ahh...mereka itu tolol. Belum tahu jalur, tapi nekat melewatinya. Seharusnya mereka pergi dengan orang yang berpengalaman dulu, baru kemudian mencoba sendiri. Ini...belum tahu apa198

Sesat

Sulung Prasetyo

apa, sudah sok tahu lewat jalur yang jarang dilewati pendaki", omel Basith masuk akal. "Tapi mereka punya bekal pengetahuan yang cukup. Buktinya bisa membuat ini semua", sahut Yusuf sambil menunjukan kertas-kertas ditangannya. "Apa gunanya semua rencana itu? Pada kenyatannya mereka tersesat juga sekarang. Bikin panik semua orang lagi, dengan mengirim SMS. Seharusnya, kalau mereka memang pendaki yang bisa diandalkan, bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Tanpa harus merepotkan semua orang, seperti sekarang ini", kata Basith sengit. Iya benar juga sih, pikir Yusuf. Selagi Yusuf berpikir, Basith sudah melangkah lagi keluar rumah. Menuju sungai kecil dibelakang rumah. "Mau kemana kau?", tanya Yusuf. "Menangkap ular", jawab Basith seenaknya. Tak lama kemudian terlihat rombongan susulan sudah datang. Mula-mula Riko, menyusul Diana dibelakangnya. "Basith mana?", tanya Riko yang belum teratur napasnya. Yusuf menunjuk ke arah belakang rumah. 199

Sulung Prasetyo

Sesat

"Mau apa dia kesana?", tanya Diana. "Entah. Mau menangkap ular katanya", jawab Yusuf. "Menangkap ular? Kita harus cepat bergerak. Ada SMS lagi dari korban. Ada yang sakit". Saat mereka sedang sibuk berbicara, Basith datang dari arah belakang rumah. Ditangannya tampak ular sungai hitam bergelung. Tangan kanannya memegang kepala ular itu. Awalnya Basith tertawatawa memperlihatkan ular itu. Lalu tiba-tiba wajahnya berubah jahat. Ia melemparkan ular itu ke arah Diana, yang berada ditengah-tengah kerumunan. Serentak suasana didalam rumah menjadi kisruh. Masing-masing berusaha menyelamatkan diri dari serangan ular.

200

Sesat

Sulung Prasetyo

XLII Perasaan kesal di hati Diana belum juga berkurang. Udara sejuk pegunungan tak juga menentramkan hatinya. Masih saja hatinya merasa kesal, bila mengingat kejadian di rumah penjaga air tadi. Tak habis pikir Diana mengira. Sebab apa Basith melakukan kekonyolan serupa itu. Niat bercanda yang terlalu berbahaya, pikir Diana. Sambil menunggu yang lain mendaki, Diana masih saja memikirkan hal tersebut. Riko yang memperhatikan juga tak terlalu dihiraukan. Pikirannya berpusat pada Basith yang berjalan di posisi paling belakang rombongan. Dan kini mereka berpisah agak jauh, karena Basith dan Yusuf harus mengecek dulu beberapa titik menuju lembah yang mencurigakan. "Aku tak yakin Basith akan kembali normal hari ini. Pasti ada lagi ulahnya nanti", ucap Diana yang melihat gerakan Riko menghampirinya. Riko hanya mengangkat bahu. Sudah cukup lama ia mengenal Basith. Harus diakui, baru kali ini ia melihat Basith yang seperti ini. Konyol, tak jelas dan cenderung tak bertanggung jawab. "Apa kau masih kesal, karena ia melemparkan 201

Sulung Prasetyo

Sesat

ular tadi?", tanya Riko menebak. "Siapa yang tak kesal. Sudah tahu aku paling jijik dengan ular. Dia malah ngaco begitu", ucap Diana. "Setidaknya kita masih membutuhkan pengalamannya di gunung, untuk membantu pencarian ini", tukas Riko masih berusaha membela Basith. "Kalau jadinya malah ngaco sih, mending tidak usah", sanggah Diana. Basith dan Diana memang dua profil yang tak jauh berbeda. Sebenarnya dulu Riko berpikir, mereka pasangan yang sangat serasi. Tapi karena kekerasan hati keduanya, membuat mereka tak bisa menyatu. Karena alasan itu juga, Riko berpikir tak perlu menghiraukan ketegangan yang ada. Mereka berdua memang seperti kucing dan tikus yang selalu berkelahi. Jadi seharusnya memang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Disaat Riko asyik dengan pikiran-pikirannya, dari kejauhan terdengar suara panggilan-panggilan. Teriakan-teriakan yang memanggil nama korban tersesat. Namun diselingi dengan nada-nada bercanda. Sebab mereka memanggilnya seperti sedang bernyanyi. 202

Sesat

Sulung Prasetyo

"Memang geblek si Basith ini. Mengapa pula Yusuf ikut-ikutan juga", gerutu Riko. Diana hanya memegang kepalanya. Dia makin merasa tak tahan dengan semua kekonyolan ini. Ingin rasanya segera melabrak Basith, dan menyemburlan semua sumpah serapah yang ada dikepalanya. Namun saat Basith dan Yusuf muncul dihadapan mereka. Betapa terperangah Riko dan Diana. Basith dan Yusuf memenuhi bagian kepala, tubuh dan ranselnya dengan dedaunan. Seperti tentara yang sedang menyamar. Kekonyolan macam apa lagi ini, pikir Diana ingin segera berteriak marah. "Siappp !!! Pasukan tak menemukan korban tersesat", Basith berkata setelah memberikan sikap hormat. "Basithhh !!! Apa kau sudah gila. Buat apa pakai segala macam dedaunan seperti itu?", tanya Diana dengan gemas. "Siappp !!! Agar tak diketahui musuh", jawab Basith seperti bercanda. "Musuh? Gila. Memangnya kita sedang berperang?", sahut Diana merasa diremehkan. 203

Sulung Prasetyo

Sesat

"Siappp !!! Gila. Memang banyak orang gila di gunung ini", Basith kembali menjawab sambil nyengir. "Sinting". Diana melempar botol air yang dipegangnya. Kemudian bergerak mendekati Basith. "Aku sudah bosan dengan kelakuanmu. Sebenarnya apa maumu? Kalau sudah tak ingin mencari, tinggal bilang saja. Kau bisa segera turun ke bawah", omel Diana. "Siappp !!! Lanjutkan saja. Korban menunggu untuk ditemukan". Riko tertawa mengikik melihat kejadian itu. Tak menyangka Basith bisa melakukan perbuatan sekonyol itu. Dan sekarang ia seperti menonton adegan yang tak masuk di akal, seperti dalam sinetron. Adu mulut antara seorang tentara gadungan dan singa betina yang sedang marah. "Ahhh...mana bisa orang gila mencari orang tersesat", kembali Diana mengoceh. Mukanya kelihatan mulai memerah. "Siappp !!! Lebih baik kita mencari orang gila yang tersesat saja", balas Basith. Disambut gelak tertawa Riko, yang sudah tak mampu menahannya. Yusuf yang sedari tadi terdi204

Sesat

Sulung Prasetyo

am, juga jadi ikut tertawa. "Kita cari orang gila dimana Basith?", timpal Riko. "Siappp !!! Ada di tikungan depan". Memang sudah sinting, pikir Riko. Lalu mulai bergerak mengambil ranselnya. "Aku pergi duluan. Kalian istirahat dulu saja", saran Riko. Kemudian mulai bergerak mendaki. Baru sebentar mendaki, terdengar teriakan Riko. Basith segera tahu, kalau Riko sudah menemukan orang gila itu.

205

Sulung Prasetyo

Sesat

XLIII Lembab yang masih menyebar, tak juga menyejukan kepala. Meski bau tanah setelah hujan membantu pernapasan. Namun tetap saja otak seperti mampet berpikir. Tak habis pikir mereka, bagaimana bisa orangorang tega membuang orang gila, di hutan lebat seperti ini. Kebiasaan itu seperti sudah menjadi budaya sekarang. Tak mau repot mengurus sanak saudara yang berpenyakit jiwa. Kemudian melepaskan begitu saja sanak kerabat yang gila itu kemanamana. Bisa di jalan raya, bisa di pinggir pantai, bisa juga di hutan-hutan dekat gunung. Pokoknya di daerah-daerah yang sekiranya orang gila itu tak bisa kembali ke rumah. "Kok seperti membuang anak kucing kedengarannya", cetus Diana kepada Riko yang menjelaskan hal itu. "Tragis ya", imbuh Riko sambil melempar ranting ditangannya. Ranting itu kemudian jatuh direrimbunan pepohonan diluar jalur. Mengangetkan dua burung yang sedang mencari makan. Suara gelepar kepak sayapnya, kemudian memenuhi suara sekitar mereka. 206

Sesat

Sulung Prasetyo

"Setidaknya sekarang mereka bebas seperti dua burung itu", tambah Riko. "Bebas menuju kematian", timpal Diana lagi. Judes. "Yaa..daripada mereka dipasung. Seperti zaman dulu". "Serba salah memang. Tapi kok bisa ya, tega sekali melepas orang gila di gunung seperti itu. Kau tahu sendiri Riko, bagaimana hidup di hutan-hutan pegunungan. Tanpa makanan dan peralatan yang cukup, sama saja mengantar nyawa namanya", Diaba berceloteh panjang lebar. Barusan mereka memang benar-benar bertemu orang gila. Mungkin salah satu dari sekian banyak orang gila, yang saat itu sedang berkeliaran di hutan. "Sudah dua kali aku bertemu orang gila di hutan gunung ini", cerita Riko. "Oh ya..jadi memang benar banyak orang gila disini ya?", balas Diana. "Dulu waktu pertama kali mendaki Pangrango, aku bertemu orang gila di rumah rusak dekat tonggak puncak triangulasi", urai Riko sambil terus berjalan. 207

Sulung Prasetyo

Sesat

"Kok tahu dia orang gila?". "Awalnya sih tak tahu. Tapi setelah ngobrol dengan dia, baru ketahuan kalau dia orang gila". "Orang gila bisa ngobrol?". "Iya. Dia cerita takut ada di kota. Takut dengan mobil-mobil yang bakal melindasnya. Katanya istrinya mati dilindas mobil. Setelah kejadian itu dia pindah ke puncak gunung. Hidup sendiri. Mengharap makanan dari pendaki. Terutama yang dimintanya adalah korek api", urai Riko membuat penasaran. "Minta korek api?". "Iya. Korek api. Setelah itu aku baru sadar, kalau di gunung korek api lebih berharga daripada makanan". Cerita mereka terus berlanjut sambil mendaki. Diselingi suara Yusuf dan Basith yang memanggilmanggil. Sebentar lagi mereka mencapai pertigaan jalur Pasir Pangrango-Cisarua-Puncak Pangrango. "Terus yang kedua ketemu orang gila dimana lagi?", tanya Diana ingin tahu. "Di puncak Pangrango juga. Tapi di derah alunalun Mandalawangi". 208

Sesat

Sulung Prasetyo

"Sedang apa dia di Mandalawangi?". "Iya. Tidur-tiduran sendirian". "Lucu dong". "Sangat. Gembel sekali. Bajunya mirip orang gila tadi. Kemeja sobek-sobek. Celana panjang juga. Waktu pertama ketemu, dia kelihatan senangsenang saja". "Terus?". "Terus..terus", canda Riko. Diana tertawa. Setidaknya meredam amarah hatinya, yang tadi kesal dengan Basith, pikir Riko. "Dia kelihatan ramah. Datang menyapa disuatu siang yang cerah. Senyumnya lebar, datang dengan tangan terbuka". "He..he..he..dasar orang gila". "Siapa orang gila?", tiba-tiba suara Basith terdengar dari arah bawah. Diana dan Riko bertatapan. Kemudian Basith datang mendaki ke arah mereka. "Banyak orang gila di Pangrango", ucap Riko mencoba mengurangi salah paham. Basith datang dengan wajah tak senang. Ia mera209

Sulung Prasetyo

Sesat

sa sedang dibicarakan. Wajah tak karuannya berubah menjadi keras. "Lebih baik kita segera makan. Menjadi orang gila ternyata menguras tenaga", katanya acuh. Menimbulkan senyum di mulut Diana. Semoga semua akan segera berubah, doa Diana dalam hati.

210

Sesat

Sulung Prasetyo

XLIV Basith terus memandang ke arah puncak Pangrango. Sementara tangannya sibuk melempas sisasisa sampah, ke dalam kobaran api didepannya. Seperti ada satu hal penting yang sedang dipikirkannya. Pikirannya memang sedang berkecamuk. Kontradiksi dikepalanya bersitegang satu sama lain. Yang pada akhirnya melahirkan satu kesimpulan. Ia harus membawq tim pencari ini, ke arah yang paling tidak direncanakan. Seperti itu juga rencananya hari ini. Menjadi kebalikan dari yang sebelumnya dilakukan. Namun ia masih mencari alasan yang tepat. Agar teman-teman di tim pencari ini, tak terlalu curiga dengan rekomendasi yang akan dia lontarkan. "Jadi menurutmu, kemungkinan ke arah mana korban tersesat?", Basith melempar pertanyaan ke Riko. Memperkirakan apa yang sedang dipikirkannya. Riko yang ditanya tak aegera menjawab. Melainkan segera mengikat tali sepatunya. "Tak mungkin mereka berada di puncak. Pasti sudah turun ke arah Pasir Pangrango. Sekarang tinggal kemungkinan turun di pecahan punggungan Pasir Pangrango sebelah mana", tukas Riko akhirnya men211

Sulung Prasetyo

Sesat

jawab. "Bagaimana kalau mereka sudah salah mengambil jalur turun dari awal?", ucap Basith kritis. "Kalau melihat dari alat yang mereka bawa dan skill yang dimiliki. Kemungkinan kecil mereka salah jalur dari awal. Mereka membawa alat navigasi lengkap". "Tapi tak ada jejak-jejak mereka disini. Dipertigaan ini seharusnya ada jejak mereka, kalau mereka benar pernah lewat sini". "Ya mungkin saja jejak mereka terhapus hujan". "Jejak tak cuma tapak sepatu. Bisa sampah atau tanda-tanda di pepohonan. Mereka membawa golok juga, pasti ada bacokan di pohon, atau rantingranting yang baru patah". Riko menganggukan kepala. Rambutnya yang keriting tampak bergoyang. Ia seperti menyetujui pendapat Basith. Kesempatan itu segera dipergunakan sebaiknya oleh Basith. "Apa mungkin mereka le arah Citeko?", papar Basith. Riko mengerenyitkan kening. Setahunya jalur Citeko merupakan pecahan awal punggungan Pasir Pangrango, kalau dari arah puncak. 212

Sesat

Sulung Prasetyo

"Apa mungkin mereka salah seperti itu. Jalur Citeko pasti pecahan jalur pertama yang mereka temui. Terlalu mudah diperkirakan, dan seharusnya mereka tahu, harus maju lagi ke depan untuk mendapatkan pecahan jalur kedua. Jalur target mereka, Cisarua", sanggah Riko. Yusuf dan Diana yang mendengar diskusi tersebut, jadi ingin turut campur. "Siapa yang pernah lewat jalur Citeko?", tanya Diana tiba-tiba. Riko was-was pertanyaan itu akan menumbuhkan animo yang lain, untuk menyambangi kesana. Sementara kemungkinannya sangat kecil menurutnya. "Tak mungkin mereka ke Citeko. Yang paling mungkin adalah mereka ke punggungan jalur setelah Cisarua", ucap Riko mencegah melalui pendapatnya. "Jadi mereka kelewatan maksudmu?", tanya Yusuf. "Begitulah. Aku sarankan, setelah kita makan siang, segera mengirim orang mengecek jalur itu. Maju sekitar satu jam ke depan. Lalu kembali untuk melapor", saran Riko. "Lalu bagaimana dengan jalur Citeko?". 213

Sulung Prasetyo

Sesat

"Kita bagi tim menjadi dua. Satu ke arah Pasir Pangrango. Satu ke arah Citeko. Semua mengecek jalur. Mencari kemungkinan jejak mereka. Setelah satu jam, segera kembali untuk bertemu dan melaporkan hasil pengecekan", saran Basith. Semua menganggukan kepala. Anggukan yang bisa berarti menyetujui. Basith segera menunjuk Yusuf untuk menghubungi base camp. Menyampaikan rencana mereka. Diana kini melihat Basith mulai berbeda dengan sebelumnya. Entah kepalanya tadi terbentur apa. Namun sepertinya Basith sudah kembali seperti yang dia kenal. Tangguh dan penuh perkiraan. "Jadi kau pikir dua korban tersesat itu ada di jalur Citeko sekarang?", Diana bertanya karena sedikit tertarik. Basith menatap Diana. Perempuan itu sangat naif sekali, pikirnya. Selalu ingin tahu sesuatu yang baru, dan siap menanggung resiko semua pilihan hidupnya. Biar bagaimana, Basith tak pernah bisa mengelak dari rasa sukanya kepada Diana. Namun ia lebih menyadari, kalau lebih tak bisa mengelak dari takdir. "Masih perlu bukti yang menguatkan, kalau dua pendaki itu memang tersesat di Citeko", Basith men214

Sesat

Sulung Prasetyo

jawab dengan berhati-hati, namun tetap memelihara rasa ingin tahu Diana. "Ada benarnya juga. Tapi aku ingin ikut kalau benar kita akan ke Citeko", ucap Diana. Kena kau, jawab hati Basith. Dia tertawa dalam hati. Sebentar lagi, tim ini akan menjadi tim pencari paling bodoh yang pernah ada.

215

Sulung Prasetyo

Sesat

XLV Basith mengenal jalur itu hampir diluar kepala. Jalur pendakian setelah pertemuan Cisarua dan Pasir Pangrango, menuju puncak gunung Pangrango. Jalur itu akan diawali dengan pepohonan rendah, bekas daerah ketinggian. Pepohonan berbatang keras, dengan daun-daun berwarna merah dipucukpucuknya. Pepohonan berpucuk merah itu, akan terus memenuhi jalur sampai ke titik pertemuan dengan jalur Citeko. Jalannya cenderung datar dengan pemandangan luas dibagian kanan. Tepat sebelum pertemuan jalur Citeko, akan ada dua bidang tanah datar. Masing-masing cukup untuk mendirikan dua sampai tiga tenda. Dua bidang tanah datar itu sangat disukai pendaki, sebagai tempat beristirahat. Karena dari tempat itu, bisa memantau daerah sekitarnya dengan leluasa. Termasuk punggungan besar Situ Gunung dibagian utara, dan punggungan-punggungan kukuh yang mengarah ke puncak Pangrango. Dari tempat itu, keahlian bernavigasi dapat teruji. Memahami bentukan alam, yang disepadankan dengan gambar peta topografi. 216

Sesat

Sulung Prasetyo

Akan terlihat punggungan besar Situ Gunung dan Pasir Pangrango sama besarnya. Membentang bagai benteng alam dari tenggara ke barat laut. Kedua punggungam besar itu dipisahkan oleh lembah Ciheulang. Lembah dalam yang berkesan kelam. "Secara keseluruhan bentangan alam ini mirip alat kelamin wanita. Dengan ujung bagian atasnya, berada di titik puncak Pangrango", ucap Basith mengungkapkan isi kepalanya kepada Diana. Perempuan berambut ekor kuda itu, hanya menanggapi dengan senyum. Ia tahu ada makna tersembunyi didalamnya. Seperti itu juga ia mengenal Basith. Tak pernah blak-blakan dalam mengungkapkan sesuatu. Selalu dengan perumpamaan-perumpamaan, yang mengarah pada tujuantujuan utamanya. Namun Diana mengerti, ia tak ingin menanggapi maksud Basith dengan vulgar. Semua harus tetap terkendali, menurutnya. Tak pernah Diana ingin masuk dalam pengaruh Basith. Sebab ia tahu, Basith memiliki sifat angin badai didalam jiwanya. Siapa saja yang masuk ke dalam, maka bersiap saja terombang-ambing bersamanya. Karena alasan itu juga, Diana tak memilih Basith sebagai pasangan hidupnya. Diana tahu orang-orang 217

Sulung Prasetyo

Sesat

berpikir mereka merupakan pasangan serasi. Memiliki banyak kesamaan sifat dan minat. Yang kemudian dianggap banyak orang sebagai dasar sebuah hubungan serius, antara lelaki dan perempuan. Namun Diana berpikir lain. Sebuah pasangan tak seharusnya sama, satu sama lain. Pasangan itu seharusnya berbeda. Karena dengan cara itu mereka akan saling mengisi. Yang satu menutupi kekurangan yang lain. Sehingga pasangan itu bisa bahu membahu, dalam mengatasi berbagai persoalan hidup mereka. Oleh sebab itu juga, Diana lebih memilih Didi. Seorang yang sangat jauh berbeda dengan dirinya. Namun sangat mengerti, apa yang menjadi pemikiran Diana. Didi seorang yang kalem, dan lebih memainkan perasaan. Berbeda dengan Basith, Didi hanya sekedar senang sesekali saja mendaki gunung. Didi menganggap mendaki gunung, hanya sekedar sarana rekreasi otak saja. Tak lebih daripada itu. Didi juga lebih senang berada di rumah, ketimbang berpergian. Senang memasak, dan mengurus pekerjaan kantoran. Serta lebih memilih kota besar sebagai basis kehidupannya. 218

Sesat

Sulung Prasetyo

"Jadi sekarang kita kemana? Mengecek jalur Citeko, atau terus menuju puncak", tanya Diana. Basith yang sedang memperhatikan peta, jadi celingukan sendiri. Kemudian melipat peta dan mulai mengangkat ransel. Garis hitam disekitar mata Basith tampak mulai pudar. Kini garis itu malah membentuk bercak hitam besar, dengan bagian bawah yang turun seperti banjir tetesan air mata. Melihat mata itu, Diana merasakan ada kesedihan mendalam didasarnya. Kesedihan yang tak pernah ia mengerti. Dan ia berharap, semoga kesedihan itu bukan berasal dari dirinya. "Sebentar kita ke depan. Mengecek jalir Citeko. Setelah itu kita lihat saja nanti", keputusan Basith. Disempatkan melihat jam dulu sebelum bergerak. Sebentar lagi Yusuf dan Riko pasti menemukan mayat itu, pikir Basith. Setelah itu ia bisa mengarahkan mereka semua menuju Citeko, pikir Basith senang.

219

Sulung Prasetyo

Sesat

XLVI "Mayat itu juga pasti seorang gila yang tersesat di gunung ini", terka Yusuf, setelah ia bisa menguasai dirinya. Sedari tadi memang Yusuf terus terdiam. Sepertinya ia mengalami goncangan mental, setelah melihat sesosok mayat di jalur Pasir Pangrango. Diana dan Basith segera menyusul ke lokasi penemuan mayat. Kemudian melakukan prosedur standar untuk mengidentifikasinya. "Bagaimana kau bisa yakin, kalau mayat itu orang gila jaga?", timpal Riko. "Dari pakaiannya. Mayat itu tak memakai pakaian standar pendakian gunung. Ia hanya memakai kaos dan celana jeans. Di lokasi sedingin ini, dengan pakaian seperti itu, sama saja ingin mati konyol. Atau cuma orang gila yang mau melakukannya", analisa Yusuf. Riko mengangguk-angguk. Menyadari kuatnya asumsi yang dimunculkan Yusuf. Selain itu ia juga hampir setuju dengan Yusuf. Sebab tak ada juga barang-barang milik mayat, disekitar lokasi mayat itu ditemukan. Memang cuma orang gila, yang mau pergi ke 220

Sesat

Sulung Prasetyo

gunung tanpa mau membawa peralatan sama sekali", pikir Riko dalam hatinya. "Sudah jelas dua pendaki tersesat itu tak lewat sini", Basith tiba-tiba berkata mengeluarkan argumen. "Kok bisa begitu", sahut Yusuf. Sambil mengacak rambutnya, Basith melayangkan pandangan ke arah lembah Ciheulang. "Terlepas mayat itu orang gila atau bukan. Yang jelas, dua korban tersesat itu tak pernah memberitahukan pernah menemukan mayat. Padahal sudah beberapa kali mereka mengirimkan SMS", tutur Basith. "Mungkin saja mereka memang tak pernah melihat mayat ini", sanggah Riko. "Mayat dengan bau seperti itu? Bahkan dari jalur lintasan saja, baunya sudah kemana-mana. Tak mungkin mereka tak curiga dengan bau busuk seperti itu", tangkis Basith lagi. Membuat yang lain menjadi terpengaruh. Dan berpikir, mungkin ada benarnya juga pendapat Basith. "Kalau mereka tak lewat sini, lalu ada dimana mereka? Sementara di jalur Cisarua juga tak ada tanda-tandanya", suara Diana akhirnya keluar. 221

Sulung Prasetyo

Sesat

Pendapat yang ditunggu-tunggu Basith sebenarnya. Karena bisa jadi pemicu hal yang diharapkannya. Mengarahkan mereka semua menuju Citeko. Lalu Basith menjentikkan jarinya. Senyumnya keluar, memenuhi wajahnya yang kini tampak tragis. "Pasti mereka salah memperkirakan jalur turun Cisarua. Dan mereka mengira jalur Citeko adalah jalur Cisarua", tukas Basith. "Seharusnya mereka juga mengerti. Bukan pertigaan jalur pertama yang harus dilewati. Jalur Citeko itu dipertigaan pertama yang ditemui, baru setelahnya pertigaan Cisarua. Mereka seharusnya tahu, kalau tak seharusnya mengambil pertigaan pertama yang ditemui setelah turun dari puncak Pangrango", kali ini Riko yang menyangkal. Yusuf dan Diana kemudian melihat peta yang disodorkan Riko. Jelas memang disitu. Pertigaan pertama setelah turun dari puncak pertama ke arah punggungan Pasir Pangrango, memang pertigaan Citeko. Baru setelahnya pertigaan Cisarua, Pasir Arca, Lido dan berakhir di daerah Cisaat. "Apa kau tak tahu, kalau tiap-tiap pertigaan tak selalu jelas terlihat seperti di Cisarua. Pertigaan Lido dan Pasir Arca, biasanya tertutup tumbuhan, karena 222

Sesat

Sulung Prasetyo

jarang orang melewatinya. Bisa saja dua pendaki itu berasumsi, mereka telah melewati pertigaan pertama. Apalagi setelah melihat pertigaan jalur Citeko yang terbuka lebar dan jelas terlihat. Namanya juga orang baru turun gunung, pasti lelah. Secara psikologis mereka pasti tergiur memasuki jalur Citeko itu. Karena berharap bisa lebih cepat sampai ke bawah", papar Basith meyakinkan. Sekarang sudah hampir sampai pada kesimpulan umum untuk semua. Basith tinggal memastikan semua setuju untuk menuju Citeko. Dan ia tahu hanya Riko yang akan bandel melawan argumennya. "Aku juga tadi melihat ada bacokan tiga garis di pohon yang berada di Citeko. Juga kemungkinan itu memang sudah tak perlu disangsikan lagi", tambah Basith memberikan pukulan pendapat terakhir, yang sekiranya bisa membawa pemikiran semua orang yang ada disana, untuk sepakat dengan rekomendasinya. Diana mencoba mengingat-ingat perihal bacokan tiga garis yang diutarakan Basith. Meskipun ia merasa tak yakin pernah melihatnya, namun ia akhirnya diam saja. Ia memutuskan mengikuti kemauan sebagian besar anggota tim, untuk menuju jalur Citeko. Selain juga ia merasa tertarik, karena belum pernah 223

Sulung Prasetyo

Sesat

melewati jalur Citeko sebelumnya. Saat Diana berjalan mengikuti menuju Citeko, tiba -tiba terbetik satu firasat dalam otaknya. Basith yang aneh, tiba-tiba berubah menjadi yang bisa diandalkan kembali. Perasaannya segera berkata, itu bukan Basith yang dikenalnya.

224

Sesat

Sulung Prasetyo

XLVII Suara air menderu ketika mereka melewati setengah dari jalur Citeko. Basith paham, suara menderu itu adalah sungai kecil dilembah bagian kirinya. Nanti sungai itu pada akhirnya juga akan berujung di Cisarua. Di sungai belakang rumah pos penjaga air, awal pendakian Cisarua. Basith tak terlalu khawatir, bila korban ada disekitar sungai itu. Sebab dia tahu, mereka tak akan ada disana. Jadi ketika Riko menyarankan untuk mengecek lagi bagian-bagian lembah yang mencurigakan, Basith agak enggan melakukannya. Yang ada dipikiran Basith sekarang adalah hujan. Derai tetesan air dari langit, yang selalu datang terlalu lebat. Setelah mereka menemukan mayat itu. Hujan yang juga datang sebelum mereka menemukan orang gila. Tanda-tanda yang tak pernah diperhatikan Basith sebelumnya. Walau ia belum mengerti apa yang terkandung didalamnya. Namun petikan ingatan itu membuatnya penasaran. Pikiran Basith segera melayang-layang. Ia harus mengumpulkan tanda-tanda. Sebab mungkin tanda-tanda itu yang akan mengarahkannya 225

Sulung Prasetyo

Sesat

melakukan sesuatu. Melakukan hal-hal yang seharusnya dia lakukan. Tindakan-tindakan yang bisa menjadi kunci. Pembuka jalan menuju hari berikutnya yang berbeda. "Base camp mempertanyakan, mengapa kita mengarah ke Citeko?", ucap Riko setelah mengadakan kontak dengan base camp. "Tolol. Memang bukti-bukti mengarah kesini. Sepertinya mereka meragukan kemampuan kita", umpat Basith. "Sepertinya memang kita mengarah terlalu jauh dari lokasi korban", suara Riko terdengar kesal. Memang tak ada tanda-tanda sama sekali mengenai keberadaan kedua korban tersebut. Bahkan tak ada sama sekali jejak kaki baru. Sepertinya memang tak ada orang yang pernah melewati jalur ini sebelumnya. "Apa mungkin mereka melewati jalur ini dengan melayang?", ucap Yusuf meracau, setelah Riko memaparkan tak ada bukti jejak kaki tersebut. "Jadi apa kalian mau kembali ke atas?", Basith berkata sambil menyunggingkan senyum mengejek. "Bukan masalah kembali ke atas. Tapi kita sudah salah perkiraan", sesal Riko. 226

Sesat

Sulung Prasetyo

"Lebih baik kita teruskan saja ke bawah. Sudah terlambat untuk kembali ke atas. Setidaknya kita sudah menyusuri jalur kemungkinan ini", usul Diana. "Meskipun terasa seperti keputusan bodoh", imbuh Riko. "Meskipun terasa sebagai keputusan bodoh", ulang Diana dengan memegang rambutnya. Kemudian ia menatap Basith, ingin meminta pertanggungjawaban darinya. "Tak ada yang perlu disesali. Kadang kita memang mengambil keputusan bodoh", tangkis Basith tak mau dipersalahkan. Dengan perasaan tak menentu, mereka meneruskan pencarian di jalur tersebut. Dibawah hujan lebat yang terus mendera, dengan semua rasa kebodohan dikepala. Sampai akhirnya mereka melihat antena stasiun penelitian Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika di Citeko. Ujung-ujung menara komunikasi dan alat penelitian instansi negara itu tampak mencuat tinggi ke angkasa. "Akhirnya kita benar-benar menjadi yang terbodoh, dari semua tim pencari yang ada", keluh Riko. Ucapannya itu sangat beralasan. Karena tiba-tiba 227

Sulung Prasetyo

Sesat

terdengar kabar dari base camp. Kedua korban tersesat sudah ditemukan di jalur Pasir Arca. Riko memukul-mukul kepalanya. Menyesali keputusannya mengikuti Basith ke Citeko. Padahal nalurinya sudah mengarahkan ke Pasir Arca. Sebab punggungan itu yang paling mungkin menjadi sasaran korban untuk turun. Karena terletak di daerah setelah pertigaan Cisarua. Riko menatap Basith dengan perasaan serba salah. Satu sisi ia masih yakin, Basith adalah profil yang selama ini selalu bisa diandalkan. Di sisi lain, kini ia melihat Basith sebagai seorang yang sama sekali tak berkualitas, dalam urusan mendaki gunung. Tapi Basith sepertinya tak peduli dengan semua anggapan tersebut. Ia malah sibuk kasak-kusuk mencari makanan. Bahkan ia menggunakan HT, meminta agar tim base camp menyediakan makan untuk dia. Setelah itu Basith tertidur. Tak perduli, sambil menunggu jemputan untuk mereka. Dalam tidurnya mereka sempat mendengar Basith mengigau. Igauan yang terdengar konyol di telinga, karena Basith terdengar seperti sedang bersenggama. Entah dengan siapa.

228

Sesat

Sulung Prasetyo

XLVIII Dodo menghampiri tim pencarian Cisarua dengan muka kecut. Sepertinya ada yang mengganjal dihatinya, tapi segan diucapkan. Ia hanya mengucapkan kalau keseluruhan tim di base camp sudah pulang. Kecuali Didi yang menunggu Diana. "Mereka pulang tanpa menunggu kami?", ucap Yusuf seperti tak percaya. Dodo hanya mengangguk. Tak bercerita banyak lagi, selain membantu memasukan ransel ke dalam mobil. Kemudian Riko membangunkan Basith yang masih saja tertidur. Tak lama kemudian roda mobil mulai bergerak menuju base camp. "Apa masih ada makanan tersisa di base camp?", suara pertanyaan Basith terdengar mengesalkan. "Mengapa yang ada di otakmu hanya makanan saja? Apa kau tak berpikir akan ditaruh kemana muka kita, kalau di base camp ada yang bertanya tentang keputusan kita mencari ke Citeko", ucap Diana dengan penuh kekesalan. "Memangnya kenapa dengan jalur Citeko? Kita punya alasan kuat kesana. Kenapa harus malu?", balas Basith. "Tapi melenceng terlalu jauh dari sasaran. Ini sa229

Sulung Prasetyo

Sesat

ma saja mengirim tim penembak jitu, tapi tak mengena pada sasaran. Malah melenceng jauh, entah kemana-mana", imbuh Riko turut kesal. "Iya, tadi di base camp juga banyak yang bertanya-tanya", ungkap Dodo. "Tanya? Apa?", Yusuf menanggapi dengan penasaran. "Ya begitu deh. Tanya-tanya kenapa kalian ke Citeko. Kenapa tak urus saja itu mayat. Kenapa tak melanjutkan pencarian ke Pasir Arca", cerita Yusuf. "Memangnya Didi tak menjelaskan kepada mereka? Alasan ke Citeko?", timpal Riko. "Dijelaskan. Tapi banyak yang bilang keputusan kalian salah. Dan ternyata memang salah bukan?", balas Dodo. "Terus kenapa memang kalau salah?", kali ini Basith yang sengit. Dodo tak menyahut. Matanya hanya mengintip raut wajah Basith dari kaca spion tengah mobil. Tak tega ia menceritakan hal-hal yang menyakitkan hati. Namun jelas, ia sekarang sedang berjalan pulang dengan tim yang gagal. "Sekarang korban ada dimana?", pertanyaan yang membuat Basith muak mendengarnya. Selain 230

Sesat

Sulung Prasetyo

karena ia sudah tahu jawabannya. Juga karena rasanya ingin ia menikam saja semua tenannya ini. Dan berharap semua akan berakhir, meski akhirnya ia akan masuk penjara.

231

Sulung Prasetyo

Sesat

XLIX Suasana base camp sudah sangat sepi, saat roda mobil masuk ke pelataran villa Cisarua. Namun aura keributan dan keriuhan masih tertinggal disana. Barang-barang yang berantakan, sisa-sisa peralatan rumah tangga yang kotor, memberkas pada aura tersebut. Hanya Didi yang menerima mereka seorang diri. Dengan tampang menyesali keadaan, Didi menyalami mereka satu persatu. Kemudian masuk lebih dulu ke dalam villa. Diana melempar ranselnya dengan kesal. Ia merasa kelelahan yang menerpa tubuhnya saat ini, bermakna kesia-siaan saja. Semua yang dilakukannya hari itu berisi kegagalan saja. Dan perasaan itu sangat tak menyenangkan hatinya. "Langsung saja, tadi kepala taman nasional berpesan, ia merasa kecewa karena keputusan kalian ke Citeko. Dasarnya adalah ketidakmengertian pada keputusan itu. Mengapa harus ke Citeko? Sementara jelas, korban berencana turun ke Cisarua. Atau setidaknya mereka keterusan sampai ke jalur-jalur turun setelah Cisarua", urai Didi menyampaikan uneg-uneg dikepalanya. 232

Sesat

Sulung Prasetyo

Basith hanya menguap mendengar kata-kata Didi. Hanya Riko dan Yusuf, yang kelihatannya berniat memaparkan alasan kepergian tim ke Citeko. "Tak ada maksud menyalahkan semua keputusan yang sudah terjadi. Namun kondisi lapangan pada kenyataannya memang membuat kami mengambil keputusan itu. Baik atau buruk keputusan itu, pada akhirnya kami siap menerima segala konsekuensinya", urai Riko merasa ikut bertanggung jawab. Jawaban itu menurut Didi hanya basa-basi saja. Ia sebenarnya menunggu respon dari Basith. Karena lelaki itu yang jelas paling mumpuni dalam segala hal, termasuk pengambilan keputusan dilapangan. Namun saat Didi melihat Basith, ia malah sedang tertidur pulas. Membuat emosinya mendadak tinggi. "Sepertinya kita memang mengandalkan sesuatu pada orang yang salah", ucap Didi berusaha meredam amarahnya. Ucapan yang sebenarnya terdengar jelas oleh Basith. Sebab sebenarnya ia hanya berpura-pura tertidur. Ia lalu menggeliat dan membuka sebelah kelopak matanya. Mencari sosok Didi, dan mendapati mata Didi masih memperhatikannya. Basith lalu nyengir, dan membuka kedua mata. 233

Sulung Prasetyo

Sesat

Menguap sebentar, kemudian duduk menyender di kursi dengan mata mengantuk. "Apa tidak ada kopi?", tanya Basith kemudian. Membuat yang lain makin tak mengerti dengan pola pikiran Basith. Hanya Dodo yang kemudian bergerak ke dapur. Berinisiatif membuat kopi untuk semua orang. Walau sebenarnya ia tak merasa senang, berada didalam ketegangan suasana yang ada. "Perkara keputusan ke Citeko. Aku yang bertanggung jawab. Alasannya jelas, kami merasa korban tak melintasi Pasir Pangrango sampai ke Pasir Arca. Kenapa? Karena karena mayat itu. Mayat yang kami temukan itu, seharusnya ditemukan juga oleh korban tersesat. Tapi mereka tak pernah mengirimkan pesan mengenai penemuan mayat. Jadi asumsi kami, mereka tak pernah melintas daerah itu. Yang berarti tak pernah juga menuju ke Pasir Arca atau jalur-jalur turun setelahnya. Karena alasan itu juga kami mengira mereka turun di jalur sebelum Cisarua. Dan satu-satunya jalur punggungan turun sebelum Cisarua adalah Citeko", urai Basith menjelaskan dengan wajah masih mengantuk. "Mengapa kalian tak meneruskan mencari ke 234

Sesat

Sulung Prasetyo

Cisarua saja? Bukannya masih ada kemungkinan juga mereka berada disana?", balas Didi gemas. Basith hanya menutup matanya. Belakang kepalanya menyender pada sandaran kursi. Ingin rasanya ia bilang, meski semua bagian jalur Cisarua mereka acak-acak, tetap tak akan mungkin menemukan korban. Sebab ia tahu, korban tak ada di jalur turun Cisarua, melainkan di Pasir Arca. "Kau memang selalu seenaknya saja mengambil keputusan. Padahal kau sudah tahu, ada ranah daerah pencarian yang seharusnya kau susuri. Sebab sudah ada tim yang juga kesana. Keputusanmu itu membuat semua rencana menjadi rusak", umpat Didi mengagetkan. Diana yang mendengar Didi membentak, menjadi kaget. Tak biasanya Didi seperti ini. Lagi-lagi ia seperti melihat bentuk asing dari orang-orang yang dikenalnya. "Hei bung...kau tak perlu berbicara keras seperti itu. Apa sih yang kau mau tunjukan? Berlagak mau jadi jagoan? Merasa jadi yang paling pintar disini? Yang paling benar?", balas Basith naik pitam. Dodo yang baru selesai membuat kopi, segera kembali lagi ke dapur, menyadari situasi makin 235

Sulung Prasetyo

Sesat

memanas. "Ahh...dasar lelaki aneh. Pantas saja Diana tak memilihmu", ucapan itu akhirnya keluar juga dari mulut Didi. Membuat Basith makin naik pitam. Dan langsung melempar asbak yang ada didekatnya. Membuat suasana menjadi kisruh. Hingga hampir terjadi baku hantam. Bila tak segera dipisahkan Riko, mungkin suasana akan bertambah ruwet. Suasana baru agak mereda setelah Basith, Riko, Yusuf dan Dodo naik ke mobil. Dan melaju keluar dari villa, menuju jalan raya ke Jakarta.

236

Sesat

Sulung Prasetyo

L "F@#$...F×+z...F!!!", unpat Basith tak henti-henti dalam mobil. Umpatan yang membuat suasana dalam mobil seperti berada dalam kulkas yang terbakar. Dingin tetapi panas. Dingin yang membuat lidah kelu. Panas yang membuat hati membara. Makian yang sebenarnya tidak ditujukan Basith kepada rekan-rekannya didalam mobil. Melainkan kekesalan pada masalah, yang dihadapinya pada beberapa hari terakhir ini. Masalah itu kini terasa seperti gerbong kereta. Yang tak henti-henti melindasnya. Meneruskan mencabik-cabik tubuhnya. Meski sudah berupa serpihan, mirip kotoran yang menempel dipinggir rel. Ia ingin matahari yang berbeda, pada esok hari. Tak apa, bila harus lebih temaram dari hari sebelumnya. Yang penting berbeda, dari hari yang sudah berlalu. Basith rindu pada masa depan yang berbeda. Yang tak sama. Walau ia tak bisa meramalnya, dan pasrah mengikuti. Tapi itu lebih baik, ketimbang beberapa hari terakhir ini. Semua selalu berulang. Semua bisa ditebaknya. Membosankan dan cender237

Sulung Prasetyo

Sesat

ung tragis sebenarnya. Kembali Basith memaki. Mengapa hari yang berulang itu, tak terjadi saat ia memang undian togel misalnya. Sehingga ia bisa menebak lagi keesokan harinya, angka yang keluar dengan tepat. Tentu ia akan kaya raya, bila hari terus berulang, dan ia memasang taruhannya terus lebih besar. Sementara sekarang. Sepertinya tak ada keuntungan apapun yang didapatkannya. Yang ada cuma rasa kesal dan sesal. Kesal karena itu-itu saja yang dihadapinya. Sesal karena kenapa ia dulu di awal menyetujui ikut dalam upaya pencarian ini. Kembali terbayang dikepala Basith. Saat Diana meneleponnya dengan gugup. Menceritakan perihal kemungkinan sesatnya dua pendaki, yang merupakan keponakan kekasihnya, Didi. Sebenarnya pada saat awal Basith sudah malas menanggapi. Alasannya jelas subyektif, karena kesal Diana tak pernah mau dijadikan kekasihnya. Tapi kelamaan, rasa malas dan acuh itu bergeser. Menjadi kepedulian, lantaran tiba-tiba akal sehat muncul diotaknya. Seperti seorang kikir yang tiba-tiba memberikan seluruh harta miliknya untuk orang miskin. Basith merubah haluan sikap, dan memutuskan menolong mencari dua pendaki tersesat itu. 238

Sesat

Sulung Prasetyo

Sekarang, ia merasa berada di jurang dalam. Tersesat didalam kegelapan. Berharap menemukan jalan keluar, diantara dinding tebing curam. Berharap ada orang yang mengulurkan tali, dan menariknya keluar dari jurang sialan ini. Rasa lelah kemudian merayapi tubuhnya. Mengantar pada buaian mimpi. Menjadikan ia kembali merasa sendiri. Berdiri mematung, ditengah hutan lebat. Disaat ia merasa bingung, tiba-tiba ia melihat ratusan orang gila sedang bertengger di dahan-dahan pohon. Tertawa-tawa mengejek, kemudian menangis bersama.

239

Sulung Prasetyo

Sesat

HARI KELIMA

240

Sesat

Sulung Prasetyo

LI Demi topan badai yang menghantam pegunungan, maki Basith saat kaget terbangun karena suara klakson. Umpatannya makin bertambah panjang. Ketika menyadari masih kembali seperti sebelumnya. Pagi yang mengerikan. Bersama Riko, Dodo dan Yusuf lagi. Didalam kendaraan yang terjebak macet. Di jalan raya Puncak Pass menuju pertigaan Taman Safari Cisarua. "Sudah tidur lagi saja kau. Malas mendengar orang bangun tidur marah-marah", sahut Riko usai menyadari Basith sudah bangun. Tanpa disuruh dua kali, Basith memang sudah mengatupkan kedua matanya lagi. Namun meski matanya tertutup, pikirannya menerawang. Masih saja berulang, maki hati Basith. Apalagi yang kini harus dilakukan? Putus asa sudah mencapai batang lehernya. Menimbulkan rasa mual yang rasanya ingin dia muntahkan. Terulang lagi kejadian-kejadian sebelumnya. Bagai mimpi buruk yang memenuhi kepala. Basith kembali merunut-runut semua yang diingatnya. Hampir semua kemungkinan sudah dicobanya. Mulai dari menyelamatkan korban tersesat. Tak 241

Sulung Prasetyo

Sesat

turut campur dalam pendakian pencarian, hingga mencoba keterbalikan dari semua tindakan normal yang seharusnya dilakukan. Namun tetap saja, semua kembali berulang. Alias ia tetap mengulang hari yang sama. Mencari dua pendaki yang tersesat di hutan gunung Pangrango. Ia kembali menerka-nerka. Apa yang salah dari semua tindakannya? Tirtik-titik mana saja yang tidak sesuai. Satu-satunya yang paling menyebalkan adalah perkelahiannya dengan Didi. Tapi itu hari sebelumnya. Jelas hari ini, semua tidak akan mengingat semua itu. Semua akan normal seperti semula. Kembali berusaha dari awal untuk mencari dua korban tersesat. Diantara stagnasi pemikirannya, Basith kembali membuka mata. Tepat saat Yusuf menoleh ke bangku belakang. Ingin memberitahu kalau Didi dan Diana sudah menunggu di Cisarua. "Mimpi indah bung?", tanya Yusuf tersenyum melihat Basith. Basith tak menjawab, hanya bengong melihat Yusuf. Mimpi. Basith teringat pada mimpi-mimpi yang pernah muncul ditidurnya. Kemudian berusaha memperjelas detail-detail ingatan mengenai 242

Sesat

Sulung Prasetyo

mimpi-mimpi itu. Yang paling diingatnya hanya mimpi semalam. Tentang mimpi orang gila yang bertengger di pepohonan. Seperti burung-burung, orang-orang gila banyak bertengger di pepohonan. Tertawa-tawa seperti mengejek dirinya. Kemudian menangis bersama, seperti orang gila pada umumnya, yang tibatiba berubah emosi secara tak terkendali. Orang gila. Kenapa tak terpikir sebelumnya, maki batin Basith. Kembali ia merunut semua tahapan realitas yang pernah dihadapinya. Bertemu Diana dan Didi di Cisarua. Membahas rencana pencarian korban. Menuju ke rumah penjaga air. Melihat ular di sungai belakang rumah penjaga air. Mendaki mencari punggungan jalur Cisarua. Hujan lebat dan berteduh. Menemukan orang gila. Kembali berjalan mendaki hingga ke pertigaan Cisarua - Pasir Pangrango - puncak Pangrango. Menemukan orang mati. Sampai akhirnya menemukan pendaki yang tersesat di Pasir Arca. Menemukan orang gila dan orang mati. Tinggal dua komponen masalah itu yang belum diselesaikan. Orang gila. Mengapa ia tak mencobanya? Menolong orang gila itu, mungkin bisa menjadi kunci keluar 243

Sulung Prasetyo

Sesat

dari masalah ini. Bila tak selesai juga. Ia masih punya pilihan berikutnya. Menolong orang mati. Bila itu tak menyelesaikan masalah ini juga, Basith memilih menyerah. Terkadang memang ada masalah yang tak bisa terselesaikan.

244

Sesat

Sulung Prasetyo

LII Mengapa setiap orang harus mempertanyakan keputusan yang ganjil dikepala mereka? Mengapa mereka tidak menerima dan menjalaninya saja? Sementara mereka juga tidak pernah mempertanyakan. Mengapa hari tidak hujan, meski mendung sudah hitam tebal diatas kepala. Sementara mereka juga tidak pernah mempertanyakan. Mengapa bumi tiba-tiba berguncang hebat, sementara mereka siang malam tekun beribadah kepada Tuhan. Seandainya mereka mempertanyakan. Juga mengapa pada akhirnya pasrah saja. Menikmati hari tanpa hujan. Atau bersicepat dengan waktu, menolong korban tanah yang berguncang. Pertanyaan-pertanyaan itu yang memenuhi kepala Basith. Saat menanggapi sanggahan anggota tim pencari yang lain. Mengenai keputusannya untuk membawa Dodo ikut serta, sebagai tim pencari. "Lalu yang membawa mobil turun siapa? Lagipula Dodo tak membawa perlengkapan mendaki gunung", demikian alasan-alasan yang dikeluarkan beberapa teman yang lain. Sementara, terlalu sulit buat Basith menjelaskan 245

Sulung Prasetyo

Sesat

strategi yang akan dijalankannya hari ini. Seperti sebelumnya, Basith sudah bisa menduga kalau mereka tak akan percaya. Padahal nanti ia ingin memanfaatkan Dodo. Sebagai pengganti dirinya di dalam tim, sementara ia turun membaw orang gila ke tempat yang layak. Namun bagaimana menjelaskan strategi itu kepada yang lain? Sebab, pertama mereka tak akan percaya. Kedua, mereka akan gigih mempertahankan tujuan utama. Mencari Ando dan Ciblek, dan tak akan mengindahkan orang gila itu. "Menurutku kita akan kekurangan orang nanti. Dodo akan sangat dibutuhkan bila situasi genting", ucap Basith kemudian, mencoba melemparkan alasan kuat. Riko merasa alasan itu tak masuk akal. Memang menurutnya makin banyak orang mencari, akan makin baik. Yang menjadi kendala sekarang, bagaimana dengan peralatan mendaki gunung Dodo, yang tak memadai. "Tak perlu peralatan terlalu lengkap. Menurut perkiraanku, kita tak akan sampai menginap di atas malam ini. Semua akan selesai sebelum malam nanti", ungkap Basith mengagetkan semua orang. 246

Sesat

Sulung Prasetyo

"Jangan terlalu yakin. Nanti dia malah bisa melahapmu. Menjadi isi perut dari dewa ketidakyakinan", gurau Diana. Perempuan penabur harum bunga. Hari ini aku tak akan mengecewakanmu, pikir hati Basith. Didi yang turut hadir dalam diskusi tersebut, akhirnya yang pertama menyerah. Ia menyerahkan semua keputusan dilapangan kepada Basith. Sementara seperti sebelumnya, Didi akan turun menuju kantor taman nasional. Untuk mengurus perkara operasi pencarian. "Kalau tak yakin. Coba cari Raffi di rumah volunter taman nasional. Bilang ke Raffi, agar menunggu di Cisarua sini. Kalau sampai malam kami tak turun. Minta tolong Raffi membawa saja mobil ke base camp", saran Basith. Membuat tak ada yang cemas, bila harus meninggalkan mobil dipinggir desa ini. Sekarang tinggal Dodo sendiri. Keputusan berada ditangannya. Bisa saja ia menolak. Meski itu akan menjadi keputusan yang akan dicemo'oh banyak pihak. Tanpa banyak cakap, Basith mengoper ranselnya kepada Dodo. Menahannya mengucapkan katakata penolakan.

247

Sulung Prasetyo

Sesat

LIII Meski berawan, pagi ini sebenarnya terasa bening. Transparan seperti air sungai yang jernih. Air sungai yang kini mengalir dibagian kiri jalur lintasan yang mereka lewati. Tadi mereka sudah berembug. Memahami datadata yang ditinggalkan korban. Dan mencoba makin mengenali korban. Melalui data diri korban. "Apa kau sudah pernah mengenal kedua anak ini?", tanya Basith kepada Diana. Pertanyaan yang membuat Diana seperti sedang disidik, kehidupan pribadinya oleh Basith. "Mungkin kau pernah melihatnya, saat bersama Didi?", ucap Basith memastikan keingintahuannya. Tanpa memperdulikan perasaan hati Diana, yang merasa tak enak. Sebab biar bagaimana, Diana tahu antara dia dan Basith pernah ada rasa. Dan Diana tak mau mengusik Basith, karena ia memutuskan tak memilihnya menjadi kekasih. Tapi sekarang, Diana dipaksa menjelaskan kedekata hubungannya dengan keluarga Didi. "Rasanya belum pernah melihat. Mungkin mereka kerabat jauh Didi", jawab Diana berusaha menetralkan suasana. 248

Sesat

Sulung Prasetyo

Demi menghindari pertanyan Basith berikutnya, yang membuat Diana jengah. Akhirnya ia memperlambat langkahnya. Berharap Yusuf dan Riko yang berada dibelakang, bisa lebih cepat menyusul. Ternyata yang terlihat menyusul lebih dulu adalah Dodo. Lelaki berperawakan kecil itu terlihat agak kelelahan. Mungkin karena dia memang tak menyiapkan mental untuk ikut dalam pendakian pencarian ini. "Sial, niat cuma sampai desa, malah ikut mendaki. Cape deh", dengus Dodo diantara napas yang memburu. Diana hanya tersenyum saja, mendengar celoteh Dodo. Tiba-tiba ia teringat nama unggas yang sudah punah. Bernama Dodo juga, tapi Diana tak ingat dimana lokasi hidupnya. Ahh..sudah lupakan saja tentang unggas itu. Lebih baik ia berusaha menyelamatkan yang jelas masih hidup. Seperti dua pendaki yang tersesat itu misalnya. "Hei cantik, kenapa malah bengong. Kesambet setan ganteng lho nanti", gurau Dodo sesaat setelah melihat Diana yang sedang duduk beristirahat. Sialan, kesambet setan ganteng bukannya me249

Sulung Prasetyo

Sesat

nyenangkan, batin Diana. Membuat senyumnya kembali terkembang. Senyum lebar yang membuat pipinya membulat. Dengan bibir tipisnya, senyum itu jadi terlihat menyegarkan. Kesegaran alami itu yang kini direguk Basith, sepuas-puasnya. Seperti lebah yang lama tak mendapatkan madu. Basith menghirup itu semua, lengkap dengan tanpa batasan-batasan. Persetan dengan semua masalah yang menimpanya. Lagipula kenapa ia harus pusing memikirkannya. Mau hari berulang berapa kali juga, seharusnya tak masalah. Selama ia berada di tempat yang ia sukai, apalagi bersama perempuan yang ia puja juga. Seperti sekarang ini. Walau sudah lima hari berkutat dengan masalah yang sama. Seharusnya ia bersyukur. Karena masalah pengulangan hari itu, tak hadir saat ia berada diperkotaan yang sumpek. Sekarang, ia berada di gunung. Didalam hutannya yang hijau royo-royo. Lengkap dengan kesegaran dan kesejukan yang mendinginkan hatinya. Kelebihan lainnya. Ia bersama Diana pula. Meski tetap ada batas diantara mereka. Tapi tetap saja, sebuah anugerah tak terkira bisa terus berjalan bersama gadis idamannya itu. Bukankah itu yang selama 250

Sesat

Sulung Prasetyo

ini diimpikannya? Dan persetan dengan Didi dan dua keponakannya yang hilang. Mereka semua akan baik -baik saja.

251

Sulung Prasetyo

Sesat

LIV Rumah pintu penjaga air yang tercinta. Akhirnya muncul juga dimuka. Tersembunyi dilembah lereng Pangrango. Didekat aliran sungai kecil berair jernih. Seingat Basith, rumah ini hanya kediaman sementara. Untuk petugas desa, yang ingin mengecek saluran hulu air. Memang desa-desa di daerah Cisarua masih memanfaatkan air dari pegunungan. Aliran air alami mereka sodet, dan diarahkan ke bak-bak penampungan. Dari bak-bak penampungan itu, jumlah air dibagi rata ke penduduk yang membutuhkan. Disalurkan melalui pipa-pipa panjang, yang menjalar bagai ular. Diana kembali dilihatnya meniti pinggir bak penampungan. Bak yang sangat besar ukurannya. Karena bisa sepuluh langkah kaki, baru selesai menitinya. Entah berapa kedalamam bak penampungan itu. Yang jelas bening air tak mampu menyembunyikan lumut tebal dibagian dasar kolam. Basith melihat bayangan dirinya bergoyanggoyang diatas air. Bayangan yang tak terlalu jelas, namun menampilkan siluet hitam tegas. Disaat ia ingin melihat dengan tajam, nampak bayangan lain muncul dibelakangnya. 252

Sesat

Sulung Prasetyo

Basith teramat mengenal bentuk tubuh itu. Rambut buntut kuda, makin membuat Basith yakin. Diana yang sedang berada dibelakangnya. Turut memperhatikan bayangan bergoyang mereka berdua. "Kejernihan tak selamanya menampilkan keindahan", cetus Diana. Celetukan yang membuat senyum Basith tersungging. "Tapi sesuatu yang tak indah ternyata juga bisa menimbulkan kesenangan. Apalagi kalau berdua seperti ini", goda Basith. Mendengar godaan Basith, Diana segera menarik tubuhnya. Melangkah menjauh, dan duduk dibangku kayu di beranda rumah. Basith mendiamkannya. Karena melihat Dodo, Yusuf dan Riko sudah mulai muncul dari kejauhan. "Jadi bagaimana kita selanjutnya?", suara dari mulut Riko yang terdengar pertama kali. "Ya lanjutkan saja. Kau coba cari punggungan yang tepat. Aku akan coba menghubungi Didi. Menanyakan masalah base camp", balas Basith. "Sekalian juga kabarkan kita sudah sampai di rumah penjaga air", ingat Yusuf. Basith mengangguk. Kemudian berkata pada Diana, agar menghubungi Didi. Memberikan kabar 253

Sulung Prasetyo

Sesat

seperti yang dinginkan rekan-rekan yang lain. Sementara Diana mencoba menghubungi Didi, Basith ikut bergerak ke belakang rumah penjaga air. Meski ia tahu punggungan mana yang harus dilalui. Namun ia belum pernah tahu, apakah Riko juga mengetahui jalur mana yang harus dilewati. Ular hitam itu masih terlihat menggeser diantara kerikil sungai. Kali ini Basith tak ingin mengganggunya. Nalurinya sudah mencapai tahap pasrah. Dan sikap positif yang akhirnya keluar dari dirinya. Teringat lagi ia pada ajaran Mahatma Gandhi. Tokoh pergerakan dari India itu pernah mengajarkan, jangan pernah melawan kekerasan dengan kekerasan. Negatif harus dilawan dengan positif. Kekerasan harus dilawan dengan kelembutan. Dengan cara itu, ternyata ia bisa memenangkan pertempurannya. Penafsiran Riko memang sudah tak bisa diragukan lagi. Meski ia harus menafsir agak lama, akhirnya bisa juga ia menunjukan arah yang benar. "Gila. Sulit sekali menentukan arah pada peta disini", keluh Riko yang dibantu Yusuf. "Wajar. Ini daerah lembah. Patokan yang paling pasti hanya badan sungai saja. Syukur, kau sudah 254

Sesat

Sulung Prasetyo

bisa menentukan arah tujuan sekarang", puji Basith. "Hei kapan kita mulai bergerak lagi?", teriak Diana dari arah rumah penjaga air. Basith menerka. Langit mulai terlihat gelap. Angin juga bertiup agak kencang. "Kalau nanti hujan. Orang yang terdepan segera membuka fly sheet. Percuma menerobos hujan. Kita harus menjaga kondisi tetap sehat", ujar Basith sebelum kembali memanggul ranselnya. Kali ini Riko yang bergerak lebih dulu. Atas permintaan Basith, ia menjadi pemimpin perjalanan sekarang. Menjadi orang terdepan. Diikuti Yusuf dan Dodo dibelakangnya. Sementara dua orang terakhir adalah Basith dan Diana. Basith beralasan akan mengajarkan Diana mencari korban di lembah. Padahal didalam hatinya, ia ingin lebih banyak waktu bersama perempuan beraroma melati itu.

255

Sulung Prasetyo

Sesat

LV Kuku-kuku di jari Diana sudah terlihat kotor. Tanah humus yang lunak dan miring, membuat badan Diana selalu limbung. Demi keseimbangan, ia merelakan tangannya terus berusaha mencengkram batang-batang tanaman kuat. "Ingat !!! Incar bagian-bagian akar pohon. Biasanya bagian itu yang paling kuat dijadikan pegangan atau pijakan", saran Basith. Turun menuju lembah memang membutuhkan trik tersendiri. Kalau tak mengerti, bisa runyam jadinya. Apalagi di hutan-hutan tropis nusantara, yang tanahnya kebanyakan lunak. Tadi diawal sebelum turun ke lembah, Basith sudah menjelaskan. Kalau nanti mereka akan menyisir miring, sampai ke titik terbawah lembah. Berjalan dengan memilih jalur miring, sebenarnya banyak gunanya. Terutama kalau ingin turun ke lembah, masih masih terlihat samar jalurnya. Dengan cara menyisir miring, berarti kita mengurangi resiko turun sembarangan dengan cara tegak lurus. Turun dengan menyisir miring, juga mengurangi resiko jatuh secara frontal. Dengan cara itu kita menuruni lembah dengan mengurangi ketinggian 256

Sesat

Sulung Prasetyo

sedikit demi sedikit. Lebih terkontrol, dan mengurangi resiko jatuh secara vertikal. "Turun dengan cara memilih jalur begini saja sudah sulit. Apalagi dengan cara ambil garis lurus. Bisa terguling-guling kita sampai ke lembah bawah", gerutu Diana. "Itu resiko yang harus dihadapi orang tak sabar. Memang sih lebih cepat sampai bawah. Tapi ya itu, patah-patah", balas Basith dengan bergurau. "Tapi apa kau yakin mereka lewat sini. Jalurnya sulit begini", tukas Diana, sambil mengamati kembali daerah rerimbunan dibawahnya. "Bukan masalah jalur sulit. Masih mungkin sebenarnya mereka lewat sini, meski jalur sulit sekalipun. Yang membuat tak yakin, tak ada tandatanda mereka sedikitpun disini. Tak ada dahan yang baru patah, atau pijakan tanah yang baru dilewati. Padahal tanah disini licin dan lembek sekali. Kalau mereka pernah lewat sini, pasti setidaknya pernah kepleset. Ini tak ada tanda-tanda itu sedikitpun", analisa Basith. "Terus, bahaimana?", tanya Diana yang sekali lagi terpleset. Kali ini Diana merosot cukup jauh. Untung Basith masih sempat meraih pinggangnya. 257

Sulung Prasetyo

Sesat

Lekuk ramping, diatas panggul. Terasa hangat dan menggairahkan. Basith menatap pinggir wajah Diana yang kini berada didekapannya. Wajah penuh keringat, yang memancarkan energi kehidupan. Aura kehidupan itu memancar kuat. Basith menghirup energi itu dengan rakus. Menyimpannya ke dalam tubuh. Dan menikmatinya bagai orang menghirup kopi. Merasakan masuk ke hingga ke sumsum, menikmati detik demi detik. "Kau dengar suara air dibawah sana? Sepertinya tak jauh lagi. Kita teruskan saja mencari sampai ke sungai itu. Kalau memang tak ada tanda-tanda, kita kembali ke atas", ucap Basith mengurangi kejengahan yang ada. Setelah melewati satu bagian curam. Tapak sepatu akhirnya menjejak bagian pinggir sungai. Aliran air yang tak terlalu besar, tapi terasa deras. Mereka seperti berada didalam selokan, dengan dinding batu dan tanah keras dikiri kanan. Tak ada tempat datar sedikitpun dipinggir sungai. Semua dipenuhi rerimbunan dedaunan, dan patahan pohon. "Tak mungkin mereka berdiam disini. Babi sekalipun ogah kesini", cetus Diana yang sedang sibuk membersihkan tanah disepatunya. 258

Sesat

Sulung Prasetyo

"Masuk akal. Tapi tidak untuk orang yang tersesat. Mereka kadang mengambil keputusan yang luar biasa", timpal Basith melihat sekeliling. Suara Diana terdengar kemudian, memanggil Ciblek dan Ando. Tapi teriakan itu kemudian berhenti dengan sendirinya. Tak lain karena Diana melihat Basith hanya duduk-duduk santai diatas bebatuan sungai. "Percuma memanggil. Mereka tak ada disini. Sudah kubilang dari tadi, tak ada tanda-tanda mereka disini", ucap Basith tenang. Diana hanya bisa menggerutu mendengar jawaban Basith. Sepertinya lelaki itu sedang mempermainkannya. Lalu ia menatap dengan galak. Sebelum Basith berkomentar lagi, terdengar suara panggilan dari HT. Panggilan dari Riko, agar Basith dan Diana segera naik ke atas. Hujan nampaknya akan segera turun. Ia khawatir sungai akan segera meluap.

259

Sulung Prasetyo

Sesat

LVI Diantara sekian banyak hujan yang pernah dirasakannya didalam hutan. Baru kali ini Basith meminta, agar hujan tak segera berhenti mengguyur bumi. Dia seperti tak peduli, kalau sungai-sungai meluap. Atau tanah-tanah menjadi longsor. Atau burung-burung menggerutu, karena tak bisa berkicau. Untuk memberitakan hujan sudah berhenti turun. Doa yang semata dilontarkan Basith, karena tak ingin segera kehilangan momen berteduh bersama. Hujan memang sudah terlanjur turun. Tapi untungnya, mereka sempat berkumpul bersama. Berteduh dibawah fly sheet, yang tadi dibentangkan Yusuf. Doa yang semata dilontarkan Basith, karena tahu semua ini akan segera berakhir. Khususnya hari ini, ia sudah sangat mengerti. Sebentar lagi, sesudah hujan turun, mereka akan segera pergi lagi. Terus mencari, meski yang ditemuinya bukan sesuatu yang mereka cari. Obrolan terus menggeser pada banyak topik. Mulai dari berita terbaru tentang korban tersesat yang menderita sakit. Sampai pembicaraan mengenai daerah lembah-lembah yang sudah mereka turuni. 260

Sesat

Sulung Prasetyo

"Menurutku mereka tak berada di lembahlembah sekitar sini. Baik di lembah bagian kanan atau kiri punggungan. Semuanya tak ada yang enak untuk dilintasi. Kalau benar mereka masuk kesana, dan mengikutinya. Sama saja konyol", imbuh Diana. Tangannya sibuk menggenggam gelas berisi air panas. Berharap mendapatkan kehangatan dari gelas itu. "Kau berpikir seperti orang yang sedang tak dalam kondisi seperti mereka. Coba bayangkan kalau kau seperti mereka. Seperti kubilang tadi. Dalam ketertekanan, seseorang bisa mengambil keputusan diluar kebiasaan", sahut Basith menanggapi. "Iya, dulu juga pernah melihat foto-foto orang yang tersesat di pegunungan. Rata-rata berniat mengikuti jalur air. Karena secara logika, jalur air akan mengantarkan mereka pada daerah hidup manusia. Padahal...", tukas Riko menghentikan ucapannya. "Padahal apa?", tanya Diana penasaran. "Padahal itu bisa mengantarkan mereka pada kematian", tambah Yusuf. "Kok bisa?", kali ini Dodo yang penasaran. "Bayangkan. Kita harus mengikuti alur sungai 261

Sulung Prasetyo

Sesat

yang kadang curam. Dingin pula. Curam dan dingin karena berada di pegunungan. Sangat mungkin aliran berakhir di hulu air terjun. Di tambah kabut atau gelap, bisa sangat sulit menerka jauhnya jatuh air. Nekat melompati, bisa-bisa malah patah kaki. Sementara terus bertahan di sungai yang dingin. Bisa sangat membekukan. Tanpa suplai makanan yang jelas dan teratur. Wajar bila fisik akan drop dengan cepat", urai Basith. Uraian itu membuat badan yang menggigil karena kedinginan, makin menjadi merinding. Membayangkan menjadi korban yang tersesat, yang terjebak didalam lembah. "Dilematis memang. Di satu sisi kita membutuhkan air buat hidup. Dan air di pegunungan kadang hanya bisa ditemui di lembah-lembah. Syukursyukur kalau hujan turun seperti sekarang. Tapi kalau tak hujan-hujan bagaimana? Pasti kita harus ke lembah, untuk mencari air. Bagusnya sih, ke lembah sekedar mencari air saja. Tak perlu menyusuri sungainya. Setelah mendapat air, segera naik lagi ke punggungan. Sebab mencari jalur turun di punggungan, lebih aman ketimbang di lembah", tambah Basith berusaha menjelaskan pengetahuannya. "Lalu apa kau memprediksi kedua korban tersesat 262

Sesat

Sulung Prasetyo

sekarang ini juga akan mati? Sebab info terakhir, mereka terjebak di lembah sekarang", celetuk Dodo seperti tak merasa bersalah, karena tak memperhatikan perasaan Diana. "Mati bukan urusan bisa diramal. Tapi kebanyakan pendaki tersesat yang menyusuri sungai untuk turun, kemungkinan besar akan tewas. Walau ada juga yang beruntung bisa lolos. Seperti ada cerita, dulu ada pendaki yang tersasar turun dari puncak gunung Semeru. Mereka tersasar karena salah jalur turun. Berdua kemudian mengikuti jalur turun yang sesat itu. Patokan mereka turun hanya aliran air. Dasar logikanya jelas, air akan membawa pada daerah manusia hidup. Dengan mengikuti air, mereka berharap akan menemukan desa. Tapi setelah berhari-hari berjalan mengikuti sungai. Desa yang mereka harapkan tak kunjung terlihat. Malah salah satu mereka justru jatuh sakit. Akhirnya dengan berat hati. Seorang yang masih kuat meneruskan turun seorang diri. Dan berjanji akan segera menjemput kawan yang ditinggalkannya itu, setelah menemukan pertolongan", Basith terus bercerita membuat rekan-rekan yang lain terkonsentrasi padanya. "Dia meninggalkan temannya?", suara Yusuf 263

Sulung Prasetyo

Sesat

terdengar tak yakin. "Dia meninggalkan temannya yang sakit", tegas Basith. "Meneruskan perjalanan turun menyusuri sungai. Tak mudah memang. Tapi dia berhasil selamat. Bertemu dengan seorang penduduk yang sedang berkebun dan meminta tolong padanya. Walau awalnya sempat disangka orang gila, karena pakaian kotor dan rambut acak-acakan. Tapi penduduk akhirnya menolong pendaki itu. Kemudian mengantarkannya pada tim pencari, yang memang sudah menggelar operasi SAR, untuk mencari dua pendaki itu". "Terus bagaimana dengan pendaki yang ditinggalkan?", sekarang malah Riko yang penasaran. "Pendaki yang selamat itu memenuhi janjinya. Menjemput lagi temannya yang ditinggalkan. Tapi ketika ia sampai ke lokasi ia meninggalkan temannya, ternyata teman itu sudah tak ada. Bahkan berhari-hari setelahnya mencari, teman itu tak juga ditemukan. Sampai sekarang kita bercerita disini, belum ada kabar pendaki itu ditemukan", ungkap Basith. Mukanya tampak berubah sedih, mungkin karena membayangkan menjadi pendaki yang hilang tersebut, atau kebalikannya. "Jadi dia hilang sampai sekarang?", tanya Dodo 264

Sesat

Sulung Prasetyo

memastikan. "Sempat juga mendengar cerita, kalau ibu pendaki tersesat itu masih yakin anaknya masih hidup. Sulit kalau menalar naluri seorang ibu. Tapi pada kenyatannya pendaki itu memang tak pernah kelihatan lagi. Entah dimana rimbanya. Seperti tertelan tanah dan air". "Bagaimana kau mengetahui cerita itu. Apa kau juga mencarinya? Bisa saja kau hanya bercerita bohong", cetus Diana tak mudah percaya. "Aku tak ikut mencarinya. Tapi mendengarkan kisah itu langsung dari pendaki yang selamat. Karena dia pamanku, yang sekarang sudah pensiun jadi pendaki gunung", ungkap Basith, membuat berdecak semua orang.

265

Sulung Prasetyo

Sesat

LVII Kehebohan yang sudah diprediksi Basith kembali terjadi. Yusuf dan Riko, dua orang terdepan dalam tim pencarian, menemukan seseorang yang sedang kedinginan sendirian. Tampaknya orang itu baru saja kehujanan. Menggigil kedinginan, dengan bibir agak mulai membiru. Rambutnya kusut, dengan pakaian teramat kotor. Basith yang kemudian tampak bergegas menghampiri. Dengan sebelumnya menanyakan kepada Riko dan Yusuf. Apa saja yang sudah mereka lakukan untuk orang itu. "Sepertinya ia kurang waras. Tak mau menjawab apapun yang ditanyakan", jawab Riko. Basith memperhatikan orang itu sekali lagi. Wajahnya tak terlalu jelas terlihat. Karena kotoran membuat wajahnya berdaki. Yang jelas ia seorang lelaki, yang tetap hanya menggigil kedinginan. Tanpa respon pada kehadiran Basith dan kawan-kawan. Dicobanya mengingat wajah orang gila yang pernah ada dalam mimpinya. Atau wajah orang gila yang pernah juga ditemuinya di lokasi yang sama, pada hari-hari sebelumnya. Tetap tak ada gambaran apapun yang terlintas di kepala Basith. Selain bentuk 266

Sesat

Sulung Prasetyo

kepala dengan rambut acak-acakan, sedikit gimbal karena kotoran, dan wajah tertutup rambut tersebut. Basith tak mau membuang waktu dengan mengulang pertanyaan, seperti sebelumnya. Ia langsung mengambil keputusan memberikan roti kepadanya. Seperti sebelumnya, orang gila itu memakan roti seperti binatang rakus yang kelaparan. Tanpa banyak mengunyah, dan langsung menelannya saja. Kemudian kembali tersedak, dan Basith memberikan air minum yang memang sudah dipersiapkannya. Berbeda dengan sebelumnya. Kali ini Basith kembali memberikan berbagai makanan yang ada didalam ranselnya. Termasuk nasi bungkus, yang sudah dipersiapkan sejak dari bawah tadi. Orang gila itu tetap memakan semua dengan rakus. Kue-kue ditangan kiri. Nasi dengan bumbu kuah sayuran ditangan kanan. Semua dimasukan ke dalam mulutnya dengan cepat-cepat. Membuat pipinya tampak menggembung, karena terlalu banyak makanan dimasukan ke dalam mulut. Kembali ia tersedak, memasukan minuman ke dalam mulutnya. Membuat sisa makanan didalam mulut, luber keluar. Kini nasi bercampur air tampak 267

Sulung Prasetyo

Sesat

melumuri bagian bawah mulut, leher dan bajunya. "Pelan-pelan saja Pak", kata Basith menggelengkan kepala. Sementara teman-teman yang lain hanya memperhatikan saja. Orang gila itu tak merespon apapun, selain tetap makan dan makan. Kemudian minum secara bergantian sampai semuanya habis. Menjilati sisa-sisa makanan yang ada dibungkusan. Lalu matanya mencari-cari sisa makanan di tanah. Ketika ia ingin meraih sisa makanan itu, tangan Basith mencegahnya. Kali ini kepala orang gila itu mendongak. Matanya mulai berani menatap Basith. Namun rona matanya tak menyiratkan apapun. Selain rasa heran dan kekosongan. "Ayo bapak, ikut saya. Kita turun ke bawah", suara Basith tiba-tiba terdengar mengagetkan. Tangan Diana yang pertama memegang bahu Basith. Memastikan ucapan Basith, memang akan dilakukannya kemudian. Basith mengerti. Memang pasti akan muncul banyak pertanyaan dan pertentangan dari rekanrekannya. Namun sepanjang perjalanan tadi, dia memang sudah menetapkan hati. Ia akan menolong orang gila ini. Setidaknya membawa turun ke bawah. 268

Sesat

Sulung Prasetyo

Dan kalau bisa mengantarkannya ke tempat yang layak. "Aku akan turun membawa orang gila ini. Kalian berempat bisa meneruskan pencarian. Tenang saja, semua akan baik-baik saja", ujar Basith kemudian menenangkan. Hanya Diana yang melihat Basith dengan mata masih tak percaya. Sepertinya ia masih tak yakin dengan keputusan itu. Sebelum pertentangan menjadi sebuah polemik yang menyakitkan. Segera Basith menarik tangan orang gila itu. Membawanya menjauhi temantemannya yang masih kebingungan.

269

Sulung Prasetyo

Sesat

LVIII Teriakan Riko membuat Basith menoleh. Ia sedang berhenti beristirahat disebuah bidang datar. Dipinggir jalur lintasan pendakian, dengan pohon besar menaungi. Orang gila itu tampak duduk menyendiri. Masih menikmati kue-kue yang diberikan Basith. Pakaiannya sudah bertambah menggunakan jaket. Serta alas kaki berupa sendal gunung, yang juga diberikan Basith. Kembali terdengar teriakan Riko dari kejauhan. Tampaknya ia berusaha menghentikan langkah Basith, melalui teriakan itu. Tindakan yang sia-sia, pikir Basith. Karena ia memang sedang berhenti. Istirahat sebentar dulu, untuk menenangkan hatinya. Tak lama teriakan Riko makin bertambah dekat. Menyusul suara sepatu yang berbenturan dengan tanah, terdengar makin keras. Sebentar kemudian sosok Riko menyeruak keluar, dari tikungan dibalik pohon. Raut muka Riko tercampur dengan napas tersengal. Langsung duduk disamping Basith, meluruskan kaki dan meminta air minum. Riko sama sekali tak 270

Sesat

Sulung Prasetyo

membawa ranselnya. Ia sendiri saja menyusul Basith. "Damned. Cepat sekali kau turun. Sudah lumayan jauh disini", kata-kata Riko keluar setelah meminum air. Kemudian matanya memandang orang gila itu, yang masih asyik dengan makanannya. Basith memutuskan tak memulai pertanyaan perihal maksud Riko menyusul turun. Itu retorika yang tak perlu diungkapkan. Membuang waktu, lebih baik ia menyiapkan jawaban yang tepat. "Kau tak bisa pergi begitu saja. Apa yang harus kujelaskan ke base camp nanti. Selain itu, apa orang gila ini lebih penting daripada Ando dan Ciblek?", Riko mulai mengungkapkan alasan kedatangannya. Pertanyaan yang sudah diduga Basith. Kembali ia memperhatikan tangannya yang kotor berdaki. Kemudian menempelkan telapak tangan itu, pada batang pohon yang masih basah terkena air hujan. "Percuma kau datang kesini. Seperti daki yang menempel tanganku ini. Sebentar akan hilang bersama air. Sulit kujelaskan, tapi keputusanku sudah final. Aku akan turun membawa orang gila ini. Membawanya ke tempat yang layak", ujar Basith, kembali memberi penekanan seperti alasan sebelumnya. 271

Sulung Prasetyo

Sesat

"Sama sekali tak menjawab pertanyaan. Lalu bagaimana dengan Ando dan Ciblek?", balas Riko sengit. "Tak ada yang melupakan mereka. Kalian teruskan saja mencari. Aku yakin kau mampu memimpin tim itu. Dan menjelaskan pula kepergianku dengan orang gila ini". Riko kembali menggeleng-gelengkan kepala. Seakan masih tak yakin dan percaya. "Sebenarnya ada apa? Keputusanmu begitu mendadak". Lidah Basith kelu menjelaskan. Sulit memaparkan kalau sebenarnya ia sudah menyiapkan segalanya untuk keputusan itu. Mulai dari keikutsertaan Dodo, menyiapkan mobil yang stand by dibawah, menyarankan Riko untuk memimpin perjalanan, hingga menyiapkan Diana untuk proses pencarian ditempat yang sulit. Semua itu dilakukannya untuk mempersiapkan keputusannya membawa orang gila itu. Namun sulit lidah Basith menjelaskan. Ia yakin semua tak akan percaya, seperti sebelumnya. "Orang gila ini mengingatkanku pada pamanku", Basith mengeluarkan kata-kata itu refleks saja. Tibatiba saja melintas dalam benaknya. 272

Sesat

Sulung Prasetyo

Riko ternganga mendengar alasan Basith kali ini. Kembali ingatan pada cerita Basith, tentang pendaki yang tersesat di Semeru, melintas di otak Riko. Terlintas memori tentang pendaki yang berusaha turun, hingga disangka orang gila. Sekejap muncul empati di dada Riko. Ia mencoba memahami apa yang dirasakan Basith. Sayang, sulit ia menerka isi hati Basith. Meski ia curiga ada kebohongan disana. "Lalu apa rencanamu?", tanya Riko mulai menyerah. "Sudah kubilang. Akan kubawa orang gila ini ke tempat yang layak". Riko terdiam memperhatikan orang gila itu. "Nanti sampai bawah, akan kukabarkan ke Didi. Jadi kau tak perlu repot-repot menjelaskan. Tanggung jawabmu hanya membawa tim ini tetap mencari. Tapi kusarankan kau ke arah Pasir Arca", tambah Basith. Riko menoleh kaget. "Kenapa ke Pasir Arca?". "Kau akan menemukan jawabannya disana", sahut Basith, sambil membawa orang gila itu kembali turun ke bawah. 273

Sulung Prasetyo

Sesat

LIX Seumur hidup baru kali ini Basith mengurus orang gila. Seperti dugaan sebelumnya, orang gila memang sulit diterka. Tak jelas apa maunya, bahkan sampai mendekati rumah penjaga air lagi, Basith masih saja belum mengetahui namanya. Namun ada satu hal, yang terus dipegang Basith untuk mengendalikan orang gila ini. Makanan. Nalurinya seperti hewan peliharaan. Dengan mudah dijinakan, hanya karena makanan. Dengan tanpa syarat, orang gila itu akan mengikuti saja, saat dipegang dan digeret tangannya. Asal dengan catatan, tangan yang satunya lagi sedang memegang makanan. Sambil digeret, orang gila itu masih tetap mengunyah. Berusaha memasukan apa saja isi bungkusan, ke dalam mulutnya. Bila makanan sudah habis, ia akan nenghentikan langkah. Menahan tarikan Basith. Seperti memberi kode, baru akan jalan lagi kalau ada makanan ditangannya. Kalau sudah begitu, Basith akan segera berhenti. Menaruh ransel dan merogoh isinya. Melihat, masih ada sisa makanan apa didalam ranselnya. 274

Sesat

Sulung Prasetyo

Sebentar lagi mereka tiba di rumah penjaga air. Sudah didepan mata malah. Tinggal menyeberang sungai kecil. Tapi kembali, orang gila itu menahan langkah. Kali ini raut muka orang gila itu menunjukan kengerian. Ia seperti sangat takut sekali. Entah takut pada apa. Tangannya menunjuk-nunjuk sungai. Seperti ada hantu sedang menunggumya disana. Dengan bingung Basith terus memegang erat tangan orang gila, yang kini keras meronta. Untung tak ada orang lain disana. Kalau tidak, mereka mungkin akan curiga. Melihat adegan tarik menarik, antara orang gila dan Basith. Karena tarikan tangan orang gila makin kuat. Basith segera bergerak cepat mengambil makanan lagi. Untung di kantong samping ranselnya, masih tersisa sebatang coklat. Segera di iming-iminginya coklat tersebut ke hadapan orang gila. Benar saja, orang gila itu kembali berusaha merebut makanan. Tapi kali ini Basith tak segera memberikan. Melainkan melemparkan coklat tersebut ke seberang sungai. Seperti dugaannya, orang gila itu melupakan rasa takutnya. Langsung berlari mencelat menyeberangi sungai. Mengejar makanan, seperti anjing lapar. Dengan tenang Basith mengikuti menyusul me275

Sulung Prasetyo

Sesat

nyeberang sungai. Kemudian menarik lagi tangan orang itu, setelah menyebrangi sungai. Membawanya masuk ke rumah penjaga air. Memperhatikannya menikmati coklat di pojok rumah. Sambil tangannya mencari telepon genggam di kantung atas ranselnya. "Didi, apa kau sudah menemui Raffi?". "Hallo. Oh ya, sudah. Raffi sudah meluncur ke Cisarua", jawab Didi di telepon. "Kau punya nomor kontak Raffi?", tanya Basith. "Ada. Ada. Hei, bagaimana yang lain?". "Riko belum mengabari?". "Belum. Kenapa? Ini nomer Raffi. 08143198887". "Tunggu sebentar", Basith mengeluarkan pulpen dari ransel. "Berapa tadi? 0814?". "08143198887". "Oke. 0814319 triple delapan tujuh". "Iya. Bagaimana yang lain?". "Sedang mencari. Aku memutuskan turun duluan". "Hallo. Apa? Turun duluan? Kenapa?". "Bawa turun orang gila", tukas Basith. 276

Sesat

Sulung Prasetyo

"Apa? Orang gila? Siapa?". "Kau kontak Riko. Aku buru-buru". "Hei. Base camp sudah jadi. Villa Cisarua. Villa taman nasional di Cisarua", ujar Didi membenarkan. "Oh oke. Sori kuputus dulu. Ingin hubungi Raffi", pinta Basith. "Oke. Baik-baik saja. Nanti kutanyakan ke Riko", jawab Didi seperti tak mempermasalahkan keputusan Basith. Basith segera memutus hubungan telepon. Ketimbang bertele-tele lagi. Kemudian dia segera menghubungi Raffi. Di telepon Raffi mengabarkan dia sudah di area awal pendakian Cisarua. Menemukan mobil yang ditinggalkan Dodo. Dan baru barniat akan membawanya ke base camp. "Jangan pergi dulu. Kalau bisa kau bantu aku disini. Membawa orang gila", pinta Basith. "Apa? Orang gila?", tanya Basith tak percaya. "Iya, orang gila. Aku tadi menemukannya ditengah hutan. Tak tega. Jadi kubawa turun". "Mau dibawa kemana?". "Entah. Justru aku mau bertanya. Apa kau tahu rumah sakit jiwa didekat-dekat sini?". 277

Sulung Prasetyo

Sesat

"Belum tahu sih. Mungkin di Cianjur ada". "Kita kesana", itu ucapan terakhir Basith, sebelum akhirnya memutus hubungan telepon. Meninggalkan Raffi dengan rasa penasaran.

278

Sesat

Sulung Prasetyo

LX "Cuma kau yang tetap sableng, dari terakhir bertemu dulu", itu komentar pertama Raffi ketika akhirnya bertemu Basith di jalur menuju rumah penjaga air. Raffi memang memutuskan menyusul ke rumah penjaga air. Bersama seorang teman yang kemudian dikenalnya bernama Ali. Saat sedang menuju rumah penjaga air, Raffi bertemu dengan Basith, yang sedang menarik-narik tangan seseorang dibelakangnya. "Apa dia orang gila yang kau bilang tadi?", tanya Raffi memastikan. Basith mengangguk. Melepaskan tangannya. Kemudian memberikan lagi sebungkus kacang untuk orang gila itu. Dengan penuh selidik, Raffi memperhatikan si orang gila. Berpikir, mungkin pernah mengenalinya. Tapi wajah kusut orang gila itu, memang terasa asing baginya. "Sepertinya makin banyak orang gila dibuang ke hutan sekarang", komentar Basith. "Terlalu tragis kalau dibilang dibuang. Bisa saja memang mereka tersesat disana", sahut Raffi 279

Sulung Prasetyo

Sesat

mengkritisi. "Apapun itu. Semakin kesini, semakin sering kulihat orang gila ada di hutan-hutan gunung Pangrango", kilah Basith. "Kalau pendapat itu, mungkin aku setuju", balas Basith. "Memang tak berkurang di gunung. Yang repot kalau mereka masuk hutan lewat jalur-jalur yang jarang dilewati manusia. Bisa mati disana, tanpa ada yang menolong", tambahnya. "Apa banyak juga yang mati tak jelas?", Basith tiba-tiba teringat pada mayat di jalur Pasir Pangrango. "Sering sih ada kabar. Biasanya setelah musim pendakian kembali dibuka. Setelah ditutup taman nasional beberapa bulan per tahun". "Ah iya. Selalu ada waktu jalur pendakian ditutup yah. Kalau tak salah, biasanya tiap menjelang akhir tahun, atau awal tahun?". "Ya, saat itulah. Musim hujan dan badai. Daripada banyak pendaki bermasalah, lebih baik ditutup", urai Raffi, yang kali ini memberikan botol air minum ditangannya kepada orang gila. Sebab kembali dilihatnya orang gila itu tersedak, karena terlalu banyak memasukan makanan ke mulutnya. 'Benar sinting orang ini. Untung tak ada kacang 280

Sesat

Sulung Prasetyo

masuk ke dalam hidungnya", respon Raffi. Dikepalanya langsung terlintas kasus serupa yang menimpa keponakan kecilnya. Harus masuk rumah sakit, karena kacang didalam hidungnya. "Jadi mau dibawa kemana orang gila ini?", suara Basith kembali terdengar menyela. Menatap Raffi dan Ali. "Kata Ali, seharusnya ada rumah sakit jiwa di kota -kota besar seperti Cianjur. Kalau tak ada disana, bisa dibawa ke Sukabumi atau Bandung sekalian", cetus Raffi yang disambut anggukan Ali. "Semoga di Cianjur ada rumah sakit jwa. Belum pernah juga urus orang gila seperti ini", akhirnya suara Ali terdengar. "Yang penting usaha saja dulu deh", tukas Basith menyiratkan agar secepatnya mereka bisa bergegas dari tempat itu. Dengan bantuan dua orang lagi, tak terlalu sulit membawa orang gila itu. Meski masih dengan cara yang sama, memancingnya berjalan dengan makanan. Sebelum siang menggelincir, mobil mereka sudah bergerak meninggalkan Cisarua. Menuju Cipanas, kemudian ke Cianjur. Mencari rumah baru untuk 281

Sulung Prasetyo

Sesat

orang gila itu. Orang gila yang terus berteriak-teriak disepanjang perjalanan. Karena merasa senang bisa berada didalam mobil.

282

Sesat

Sulung Prasetyo

LXI Urusan menyerahkan orang gila, ternyata tak semudah menyerahkan paket kiriman barang. Tinggal serah terima barang, dan tanda tangan resi. Masalah jadi berbelit-belit, karena pihak rumah sakit tak begitu saja menerima orang gila yang dibawa Basith. Terlalu banyak ketebelece yang harus dipenuhi. "Kami menemukannya di hutan. Tak tahu namanya. Siapa keluarganya. Apalagi alamatnya. Jadi tak akan mungkin, kami bisa mengisi semua formulir ini", ucap Basith sengit. Tangannya membolak-balik lembaran-lembaran kertas. Kemudian kertas itu diletakan diatas meja. Wajah petugas yang menerima menjadi tak senang. Ia menatap Basith dengan muka keras. "Itu semua prosedur. Harus dipenuhi. Kalau tidak, silahkan bawa lagi orang gila itu keluar dari sini", gertak petugas itu. Menyadari situasi bakal tak menguntungkan. Segera Raffi mengambil alih pembicaraan. Mungkin karena ia merasa lebih kenal dengan orang-orang Jawa Barat. Ketimbang Basith yang berasal dari Jakarta. 283

Sulung Prasetyo

Sesat

"Bukan begitu pak. Mohon kebijaksanaannya. Mungkin teman saya ini sedang lelah. Karena baru saja turun gunung, membawa orang gila itu. Intinya, kalau butuh penjamin, saya bersedia menjadi wali yang bertanggung jawab terhadap orang gila itu. Kebetulan saya juga orang yang tinggal tak jauh dari Cianjur sini", Raffi berkata dengan gaya diplomatis. Menanggapi Raffi, petugas itu mulai melunak. Mungkin karena mendengar kata-kata, Raffi tinggal tak jauh dari Cianjur. "Kalau ada penjaminnya, segala urusan bisa cepat beres", ujar petugas itu sedikit tersenyum. Kemudian petugas itu menuliskan sebuah catatan diatas kertas. Setelah selesai, kemudian menyodorkan catatan itu kepada Raffi. Kertas yang terlipat. "Bawa kertas itu ke kasir yang berada di ujung lorong sana itu. Bilang saja, dari bagian pasien baru", ucap petugas itu pendek. "Nanti kembali lagi kesini. Mengisi formulir sebagai penjamin", tambahnya. Raffi segera menggeret Basith menuju kasir. Meninggalkan petugas yang kembali sibuk dengan komputernya. "Semua 395.000", kata petugas kasir. Kemudian 284

Sesat

Sulung Prasetyo

memberikan rincian dana, melalui kertas yang disodorkannya. Dengan heran Raffi mengambil kertas itu. "Jadi kami harus membiayai dana awal rawat inap orang gila itu?", tanya Raffi tak percaya. Diperhatikan kertas ditangannya. Yang kemudian disodorkan kepada Basith. Sebentar Basith membaca tulisan yang ada didalam kertas. Biaya kamar : Rp. 100.000,Medis

: Rp. 250.000,-

Asuransi

: Rp. 25.000,-

Administrasi : Rp. 20.000,Total

: Rp. 395.000,-

"Jadi kita yang harus membayar semua ini?", Basith melontarkan pertanyaan yang tak perlu dijawab. "Sepertinya negara merasa tak harus menanggung semua biaya perawatan orang gila", timpal Raffi. Sebelum semua membuat Basith makin senewen. 285

Sulung Prasetyo

Sesat

Dibayarkan olehnya semua biaya-biaya itu. Hitunghitung konsekuensi atas pilihan keputusannya hari ini, pikir Basith. Membawa orang gila itu keluar dari hutan.

286

Sesat

Sulung Prasetyo

LXII Diperhatikan sekali lagi orang gila itu. Memastikan semua keputusan yang sudah diambilnya, bukan sebuah kesalahan. Tak ada gurat sedih dimatanya. Ia malah tampak berbinar. Takjub menatap orang-orang disekitarnya. Seperti anak kecil menatap keramaian makan malam. Wajahnya agak bersih sekarang. Seorang perawat sudah membersihkannya tadi. Seperti anak kecil juga, dia merasa senang diseka mukanya. Bertepuk tangan setelahnya, karena perawat memberikan semangkuk bubur hangat. Meski rambutnya belum dipotong, tapi sudah di sisir rapih. Memperlihatkan bentuk wajah tirus segituga. Kulitnya ternyata tak terlalu gelap. Mengingatkan pada keturunan dari negeri tirai bambu, Tiongkok. Hanya matanya tak terlalu sipit. Menyiratkan orang gila ini, mungkin keturunan campuran dengan orang di barat Jawa. "Mereka memanggilnya Asep. Karena selalu mengangguk-angguk senang, tiap dipanggil seperti itu. Selain itu juga, katanya ia selalu mengulangulang nama itu", cerita Raffi yang sekarang duduk 287

Sulung Prasetyo

Sesat

disamping Basith. Syukurlah sekarang orang gila itu sudah mau berbicara, pikir Basith. Sebelum menimpali ucapan Raffi, Basith melihat telepon genggamnya yang bergetar. Sebuah pesan masuk dari Didi. Ternyata kabar dua korban tersesat sudah ditemukan di Pasir Arca. Selamat dan sehat. Basith menunjukan pesan itu kepada Raffi. Yang langsung menampilkan wajah senang. Sumringah, karena mereka sehat-sehat saja. "Dulu pernah lewat Pasir Arca. Jalur itu memang menipu, menuju lembah Cisukabirus. Kalau sudah masuk ke lembah itu, yang ada tinggal cerita sengsara saja", papar Raffi. Dengan senyum kecil, Basith menanggapi ucapan Raffi. Dikepalanya berkelebatan tentang pengalaman melewati jalur pendakian Pasir Arca. Termasuk pengalaman hari sebelumnya. Dimana dia juga menolong korban disana. Termasuk juga pernah meminta Raffi dan tim-nya, untuk mencari kesana. Tapi semua ingatan. Yang gambar nyata. dang tertidur,

itu menghablur. Menjadi bulir-bulir kemudian menjelma lagi menjadi Sosok orang gila dihadapannya. Sekarena bius yang diberikan dokter, 288

Sesat

Sulung Prasetyo

tampaknya mulai bereaksi. "Kau sedang memikirkan apa sih? Sudahlah. Si Asep tampaknya senang disini", sahut Raffi. "Bukan itu. Bagaimana nanti kehidupannya?", balas Basith. "Oohhh...tenanglah. Kalau memang nasibnya, pasti segalanya akan berjalan baik buat si Asep. Yang jelas kita sudah melakukan keputusan terbaik untuknya", Raffi mengatakan itu sambil tangannya sibuk mengetik pesan di telepon genggamnya. Keputusan terbaik, pikir Basith. Apakah bisa mengembalikan dia pada kehidupan normal? Harihari yang dirindukannya. Meski berlalu dan membuatnya tua. Namun setidaknya menjadikannya manusia. Sekarang. Meski ia berbentuk manusia, namun ia adalah mahluk percobaan alien. Mahluk luar angkasa, yang pasti sudah menculiknya secara tak sadar. Dan menjadikan hari-harinya terus berulang.

289

Sulung Prasetyo

Sesat

LXIII Yang tidak menyadari, akan selalu dimaafkan. Tidak ada orang gila yang menyadari tindakantindakannya. Jadi kemungkinan, apapun yang dilakukannya, semua akan dimaafkan. Tanpa dosa, dan Asep akan selalu berada dalam lindungan-Nya. Setidaknya itu yang ada dipikiran Basith, sebelum pergi meninggalkan Asep. Orang gila yang sedang tertidur lelap. Mungkin juga tak akan pernah mengingat Basith nantinya. Dengan gamang, Basith mengendarai mobil. Mengantarkan Raffi kembali ke pondoknya. Dan meneruskan meuju base camp operasi SAR. Didi yang kemudian menerimanya. Sempat Didi menanyakan mengapa Raffi tak ikut ke base camp. "Raffi tak suka keramaian. Katanya yang paling penting, korban selamat", tegas Basith. Ketika Basith masuk ke dalam villa, konferensi pers baru saja usai. Ditemuinya rekan-rekan tim Cisarua yang tadi ditinggalkan. Meski sempat kecewa, namun tim Cisarua sedang bergembira. Karena mereka yang berhasil menemukan korban di Pasir Arca. Setelah evaluasi besar dilakukan, sebagian besar orang mulai bergerak pulang. 290

Sesat

Sulung Prasetyo

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Dodo sempat menanyakan kepada Basith, perihal orang gila yang tadi dibawanya turun. Basith hanya menjawab ringkas saja. Menjelaskan kalau orang gila itu sudah berada ditempat yang lebih baik. Sambil dikepalanya terbayang wajah Asep, yang sedang tertidur lelap diatas tempat tidur. "Maafkan guys. Aku tadi terpaksa mengambil keputusan yang mungkin terasa tak enak. Aku hanya mengandalkan insting. Semoga kali ini instingku benar", ucap Basith, yang dijawab mulut menguap Riko. "Lain kali, kalau mau jalan sama orang gila, lebih baik mengajak Yusuf saja. Sepertinya dia ada bakat jadi orang sinting", timpal Dodo sambil terkekeh. Guyonan yang tak dgubris Yusuf sedikitpun. Selain dengkuran nikmat dipojok depan mobil. Terakhir tinggal Dodo yang memaki dalam hati. Harus mengendarai mobil sendiri, karena ditinggal tidur teman-temannya yang lain.

291

Sulung Prasetyo

Sesat

HARI KEENAM

292

Sesat

Sulung Prasetyo

LXIV Oke, Basith menjawab dalam hati. Sekarang sudah hari ke enam. Tapi masih sama saja. Kembali ia terbangun di dalam mobil, saat pagi hari. Masih dengan kondisi yang sama. Kemacetan dan menuju ke Cisarua. Sekilas terbersit dikepalanya. Orang gila yang kemarin dibawanya ke Cianjur. Apa dia masih ada disana? Bagaimana kabarnya? Kesemuanya membuat dia penasaran. Dikutak-kutik telepon genggamnya. Seperti kebiasaan banyak orang, setelah bangun tidur. Yang hanya ditanggapi sekedarnya oleh Riko, dengan membalikan badan. Anehnya, di telepon genggam Basith, tak ada nomor telepon rumah sakit jiwa Cianjur. Juga nomor telepon Raffi, yang kemarin sempat disimpannya. Ada apa ini? Pikirnya. Siapa yang melakukan semua ini padanya? Mengapa pula semua ini terjadi padanya? Pertanyaan yang sama dengan sebelumnya. Tak pernah terjawab, atau ia menemukan tanda-tanda penyebab semua ini. Ia khawatir, benar mahluk luar angkasa yang 293

Sulung Prasetyo

Sesat

melakukan semua ini padanya. Seperti cerita-cerita di televisi yang pernah ditontonnya. Tapi mahluk luar angkasa yang mana? Sementara ia sendiri tak pernah bisa mengidetifikasinnya. Kembali ia pada nalurinya. Insting dasar, untuk mencari jawaban semua ini. Pasti ada kesalahan yang pernah dilakukannya. Ini sama seperti ia menjawab salah, teka-teki yang diberikan kepadanya. Namun ia selalu memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Kalau benar seperti itu. Berarti sudah empat kali, ia mendapatkan kesempatan memperbaiki. Ditambah hari ini, berarti menjadi lima kali. Bodoh sekali, pikir Basith. Empat kali kesempatan memperbaiki. Namun semuanya gagal.

294

Sesat

Sulung Prasetyo

LXV "Kalau ngomong soal gagal. Lebih baik kau ngobrol sama Yusuf. Sudah ratusan kali cintanya ditolak perempuan. Mungkin dia bisa mengajarkan bagaimana caranya bertahan", canda Riko dalam perjalanan menuju rumah penjaga air. "Sialan. Kalian membicarakan aku?", suara Yusuf tiba-tiba terdengar terengah-engah. Baru berhasil menyusul. Rambut Yusuf yang lurus, tampak basah karena keringat. Namun mukanya terlihat aneh, antara kelelahan dan ingin tahu. Basith tertawa melihat Yusuf. Benar juga kata Riko. Orang paling kuat di dunia, bukan orang berbadan besar dengan otot terlatih. Melainkan orang yang berhasil melewati berbagai cobaan hidup. Termasuk ditolak cintanya oleh wanita, berulang kali. "Sabarlah. Kami membicarakan hal baik, dari orang baik. Apa itu salah?", tangkis Basith membesarkan hati. Ucapan Basith ternyata mengena pada Yusuf. Muka Yusuf terlihat berubah senang. "Oh ya? Hal baik apa yang kalian bicarakan?". "Mengenai kegagalan", balas Basith. 295

Sulung Prasetyo

Sesat

"Mengenai kegagalan?", tanya Yusuf tak percaya. "Apa yang baik dari kegagalan?", tambahnya. "Itulah yang ingin kami tahu dari kau. Pakar kegagalan, karena sudah sering ditolak cintanya oleh wanita", jelas Basith terkekeh. "Sial. Aku sudah tahu, kalian pasti membicarakan sesuatu yang buruk". "Tergantung bagaimana melihatnya sih". "Iya. Benar si Basith", sambung Riko. "Kegagalan bukan selalu berarti keburukan. Terus gagal juga bukan berarti sangat buruk. Justru merasa salut, kok bisa terus bertahan. Padahal selalu gagal", timpal Riko yang ujung-ujungnya bercanda lagi. "Tunggu saja nanti. Akan kubawa perempuan paling cantik sejagad ini. Kujadikan istri. Biar kalian cuma bisa ngiler, tiap naik gunung bersama nanti", Yusuf berkata sambil mengepalkan tangan. Disambut gelak tawa Riko dan Basith. Yang kebetulan juga, sudah ada Diana menyusul. "Sabar. Thomas Alva Edison saja harus mencoba ribuan kali. Sebelum menemukan bola lampu", ucap Diana ikut campur. "Jadi maksudmu, Yusuf harus mencoba ribuan kali, sebelum menemukan jodohnya?", meledak lagi 296

Sesat

Sulung Prasetyo

suara tawa Riko. Diana hanya menggelengkan kepala saja. Meski ia tak bermaksud begitu. Tapi persepsi ternyata bisa lahir berbeda dari apa yang diharapkan. "Bukan. Maksudku manusia jatuh itu biasa. Tapi kalau tiap jatuh, bangun lagi. Itu baru luar biasa", kilah Diana membenarkan. Setelah ucapan itu, tiba-tiba angin berhembus kuat. Basith yang terpana dengan ucapan Diana, seperti kembali memperoleh tanda-tanda dari angin. Angin yang membenarkan, angin yang menguatkan. Bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Kecuali kembali mencoba.

297

Sulung Prasetyo

Sesat

LXVI Orang gila itu masih terduduk dipinggir jalur pendakian. Orang gila yang sama dengan sebelumnya. Basith teramat mengenalinya. Raut muka dengan kulit agak keputihan. Menyiratkan keturunan campuran, Tiongkok dan Sunda. Dengan sedih, Basith kembali menatapnya. Ada kesia-siaan terpancar di sekitar mereka. Seperti memunahkan semua usaha yang pernah dilakukan. Membawa orang gila ini ke rumah sakit jiwa, pada hari sebelumnya. "Kau makanlah. Hanya ini yang terbaik yang bisa kulakukan hari ini", ucap Basith seraya menyerahkan roti berbungkus plastik. Seperti sebelum-sebelumnya, ia memakan dengan sangat rakus. Basith mulai berpikir, mungkin pria gila ini pernah hidup di neraka. Dimana makanan yang ada disana, bukan membuat kenyang, justru makin menambah lapar. Seperti sebelum-sebelumnya juga, Diana, Yusuf dan Riko hanya terpana melihat orang gila itu. Lebih heran lagi, karena melihat Basith seperti sangat mengenalnya. "Makin banyak orang gila tersesat di pegunun298

Sesat

Sulung Prasetyo

gan", hanya itu komentar Riko. "Dia beruntung masih hidup. Yang lain mungkin sudah mati", sahut Yusuf. Mendengar kata-kata Yusuf, langsung terlintas sesuatu dikepala Basith. Mayat di dekat pertigaan jalur Cisarua - Pasir Pangrango - Puncak Pangrango. Tinggal mayat itu kini harapan Basith. Mayat yang bisa mengembalikan Basith pada kehidupan normal. Kembali menjalani hari seperti biasa, tanpa perlu mengulangnya. Sambil memperhatikan orang gila itu makan dan minum, Basith terus memikirkan tentang mayat di Pasir Pangrango. Siapakah dia? Dugaannya terbentur pada orang gila didepannya. Apakah mayat itu juga lelaki gila yang tersesat? Kehabisan makanan dan mati tersiksa dalam kedinginan. Tapi bagaimana mungkin? Logikanya tak bisa menerima. Pikirannya terus menjalar. Teringat pada mimpi mengenai gerombolan orang, yang melakukan sholat mayat di mesjid. Apakah maksud keranda kosong dalam mimpi itu berhubungan dengan mayat di Pasir Pangrango? Basith 299

harus

mengakui.

Dirinya

memiliki

Sulung Prasetyo

Sesat

keterbatasan pengetahuan tentang hal-hal gaib. Atau masalah-masalah menafsirkan mimpi. Sehingga tak ada konklusi apapun, meski ia berpikir keras tentang mimpi tersebut. "Mau kita apakan lelaki gila ini?", pertanyaan Diana membuyarkan semua gambar-gambar di otak Basith. "Kita kekurangan orang, kalau harus mengantarkan dia ke rumah sakit jiwa. Ada masalah lebih besar menanti kita didepan", otak Basith berpikir cepat untuk memilih. Basith segera memanggul ransel. Memberikan isyarat, akan segera bergerak kembali. Hanya satu dipikiran kepala Basith sekarang. Menemukan kembali mayat di Pasir Pangrango. Sesaat sebelum pergi, Basith kembali melihat wajah orang gila itu. Penasarannya dari tadi sudah tumbuh. Ia seperti mengenali wajah lelaki gila ini. Lebih daripada itu. Namun ia tetap tak bisa menerka. Bahkan sampai Riko dan Diana mendahuluinya pergi, kembali mendaki.

300

Sesat

Sulung Prasetyo

LXVII Kesekian kalinya, Basith kembali menginjak tanah datar, dipertemuan tiga jalur pendakian ini. Satu dari arah Cisarua, tempat dimana ia datang. Satu dari arah Pasir Pangrango. Satu menuju puncak gunung Pangrango. Langit masih sama seperti hari sebelumnya. Kelabu dengan kabut putih memenuhi pandangan. Namun sedikit bayangan kukuh punggungan Situ Gunung, menghampar dikejauhan. Terpisah lembah dalam, dimana sungai Ciheulang mengalir. "Mereka memulai pendakian dari lembah dibawah itu", tunjuk Basith ke arah lembah Ciheulang. "Kemudian mendaki ke puncak Pangrango. Baru turun ke arah sini. Arah Pasir Pangrango". Diana mengamati keseluruhan daerah yang ditunjuk Basith. Isi kepalanya seperti mencoba menganalisa. "Kalau melihat daerahnya sih, seharusnya mereka bisa melihat pertemuan jalur Cisarua ini", ujarnya. "Kau benar. Tapi kenyataannya tidak seperti itu", tukas Basith. "Bagaimana kau tahu?". "Dari kabut". "Kabut?", tanya Diana tak mengerti. 301

Sulung Prasetyo

Sesat

"Makin sore, kabut akan makin tebal. Kalau mereka turun terlalu sore, maka bisa-bisa mereka berjalan didalam kabut, saat melewati jalur ini. Dan bisa kau bayangkan. Berjalan didalam kabut tebal. Paling jauh pandangan hanya bisa lima meter ke depan. Jadi sangat mungkin mereka tak melihat jalur pertemuan ini, dan keterusan menyusur punggungan Pasir Pangrango", urai Basith. Yusuf dan Riko yang sedang menguping pembicaraan itu, jadi saling memandang. Masing-masing mencoba menerka apa yang sedang dibicarakan. "Riko !!! Apa kau sudah kabarkan posisi kita sekarang ke base camp ?",ujar Basith agak keras. Riko tak segera menjawab. Melainkan menghampiri dulu lebih dekat, ke arah Basith dan Diana. Meninggalkan Yusuf sendirian menyiapkan makan siang. "Sudah. Base camp juga menanyakan apa keputusan kita selanjutnya", jawab Riko. "Yang jelas, kita akan mengecek ke jalur Pasir Pangrango", tandas Basith tegas. "Makan siang saja dulu", saran Riko. Mereka menggeser badan, menuju tempat dimana Yusuf menyiapkan makan siang. Semua tam302

Sesat

Sulung Prasetyo

paknya telah siap. Makanan dari warung di Cisarua yang mereka beli tadi, sudah kembali dihangatkan. Bersamaan dengan sendokan pertama, angin dingin kembali berhembus. Mengantarkan kabut menyelimuti pemandangan. Tak perlu waktu lama, sampai akhirnya keseluruhan sekeliling mereka tertutup kabut. "Jadi ingat film di televisi. Mirip akhirat", celetuk Yusuf lugu. "Akhirat bagaimana?", bantah Riko. "Ini lho...putih semua begini". "Jadi kita semua sudah mati dong...hi..hi..hi", canda Diana mengagetkan yang lain. "Kematian jangan jadi bahan bercandaan. Nanti ketemu orang mati betulan. Baru tahu rasa", ucap Basith mengingatkan. Dalam hatinya tersenyum. "Ngomong-ngomong, kalau jadi orang mati di gunung, apa yang kalian harapkan?", tambah Basith melempar pertanyaan. Yang disambut kerut di kening Diana. Sementara Riko kembali menggaruk alis, tanda sedang berpikir. "Ditemukan". 303

Sulung Prasetyo

Sesat

"Dikuburkan". Jawaban Riko dan Yusuf hampir terdengar bersamaan. Basith segera menjentikan jari. Itu jawaban apa tindakan yang harus diambil olehnya, saat nanti kembali menemukan mayat di Pasir Pangrango.

304

Sesat

Sulung Prasetyo

LXVIII Kematian bukan hal untuk dipertanyakan. Mungkin kita tak mengerti, dan berusaha untuk menghindar. Meski akhirnya tak akan pernah luput darinya. Kematian yang memancarkan keterasingan, memang terlihat mengerikan. Membuat manusia bagai mahluk tak berdaya. Terdiam, beku, dalam takdir yang melepas hakikat seorang manusia. Berganti nama menjadi mayat. "Benar. Selalu ada tanda-tanda", gumam Riko hampir tak terdengar. Matanya tajam menatap mayat didepannya. Terbujur telentang dengan kepala mendongak. "Apa maksudmu?", tanya Basith. Riko memperhatikan Basith. Kemudian melihat lagi ke arah mayat. "Tadi kita membicarakan kematian. Sekarang benar-benar ketemu mayat. Selalu ada tanda-tanda untuk sesuatu hal", ungkap Riko menjabarkan apa yang sedang dipikirkannya. Basith mengangguk. Membenarkan apa yang dipikirkan Riko. Meski kini ia tak menseriuskan tanda -tanda itu. Namun secara umum, ia mengakui kebenaran dari apa yang diucapkan Riko. 305

Sulung Prasetyo

Sesat

"Mau kita apakan mayat ini sekarang?", suara tanya Diana menggugah. Perihal tanda-tanda di kepala Basith, belum juga hilang. Sekarang muncul urusan baru dari mulut Diana. Basith ingin menjeda keputusannya dulu sebentar. Kemudian memberi rekomendasi untuk mendokumentasikan kondisi mayat dulu. Selain juga meminta Riko, segera mengabarkan ke base camp. Pikiran Basith masih asyik dengan tanda-tanda. Diperhatikan mayat itu lagi. Kepalanya mendongak menghadap jalur. Dari arah kepalanya melihat, menyiratkan harapan melihat sesuatu di jalur pendakian. Mungkin orang yang melintas, atau siapa saja yang dapat menolongnya. Harapan yang ternyata sia-sia. Sebab ia keburu meregang nyawa. Sebelum ada seseorang yang menemukannya. Harapannya yang mungkin dibawanya sampai ke alam setelah kematian. Tiba-tiba terpercik sesuatu dikepala Basith. Seperti percikan api kecil, yang kemudian menyalakan api unggun. Atau percikan dari busi kendaraan, yang menyalakan mesin. Atau percikan listrik yang menyalakan bohlam. 306

Sesat

Sulung Prasetyo

Eureka !!!, ucapnya dalam hati. Mayat itu sudah memberikan tanda-tanda. Bahkan sejak hari pertama. Saat tak sengaja Yusuf menemukannya. Ketidaksengajaan yang mungkin merupakan pengabulan doa dari sang mayat. Agar seseorang bisa menemukannya. Bahkan sang mayat sudah memberikan tanda, dari hari sebelumnya. Saat dua pendaki tersesat tak menyadari sedang melintas didekatnya. Tanda berupa bau seperti telur busuk, yang sempat tercium pendaki tersesat tersebut. Maka pantas, hujan lebat selalu turun, setelah orang-orang yang melintas atau melihat mayat itu, malah pergi meninggalkannya. Itu adalah hujan tangis permohonan sang mayat. Yang berusaha menghentikan langkah kami semua. Dari semakin jauh meninggalkannya. Kami semua datang kesini, sebenarnya bukan ditakdirkan untuk mencari pendaki tersesat. Melainkan menolong mayat ini.

307

Sulung Prasetyo

Sesat

Epilog LXIX "Cerita yang luar biasa. Walau hampir tak masuk di akal", ungkap Fredriech dengan mulut agak dimonyongkan. Kepalanya menggeleng-geleng, seakan masih tak percaya. "Lalu apakah kau menguburkan mayat itu?", respon berbeda justru muncul dari mulut Anis. Fredriech dan Anis memang jauh berbeda. Yang satu datang dari Eropa. Sementara Anis, turis lokal asal Semarang. Kami bertiga sekarang bertemu diantara debur pantai Gili Air di Lombok. "Tentu kau berpikir aku akan menguburkannya. Karena saran dari teman-temanku, sesama regu pencari itu. Tapi kenyataannya...Tidak. Aku tidak menguburkannya", jawab Basith dengan pahit. Fredriech dan Anis menunggu jawabanku selanjutnya. "Aku membawa mayat itu turun hari itu juga. Dan kemudian langsung dibawa ke rumah sakit kepolisian. Kupikir, memang mungkin mayat itu teramat ingin dikuburkan, agar mencapai kesempurnaan. Tapi ia juga berhak didentifikasi. Diketahui siapa kerabat dan asal-usulnya. Toh nanti, bila 308

Sesat

Sulung Prasetyo

keluarganya sudah ditemukan. Dia akan dikuburkan juga", urai Basith. "Dan setelah mayat itu dibawa, kau tak mengalami pengulangan hari lagi?", Anis mengejar pertanyaan baru, untuk memuaskan rasa penasarannya. Basith tertawa mendengar pertanyaan itu. "Kalau aku masih mengalami pengulangan hari, tentu aku tak akan disini cantik", balas Basith sambil menggoda. Fredriech kembali menenggak bir dalam gelas ditangannya. Kemudian menyeka mulutnya, yang ditumbuhi sedikit bewok. "Hey, you told us about police identification. And what happen then?", tanya Fredriech masih berusaha mencari sisi logis, dari cerita yang baru diselesaikan Basith. "Police identification? Hhmmm...you wouldn't believed what happen next. I told you, its incredible", tukas Basith membuat penasaran. "Incredible or unbelieveable?", suara Anis mencoba membenarkan. Tanpa menggubris komentar Anis, Basith meneruskan ceritanya. "Beberapa hari setelahnya, aku menghubungi kawanku, seorang jurnalis. Meminta 309

Sulung Prasetyo

Sesat

tolong padanya, untuk mengecek hasil identifikasi polisi". Basith menjeda ucapannya sebentar. Menunggu, mungkin ada komentar terlontar. Tapi Anis hanya melompong, dan Fredriech menggerak-gerakan alisnya. "You wouldn't believed it. Polisi berhasil mengidentifikasi mayat itu. Menemui keluarganya, yang ternyata penduduk disekitar gunung Pangrango juga. Dikabarkan kabur setelah menjadi gila. Sempat ditemukan lagi, sedang didalam hutan. Kemudian dibawa ke rumah sakit jiwa Cianjur. Tapi kabur lagi, dan tak diketahui kabarnya. Sampai datang berita dari polisi itu", ungkap Basith. Anis menutup mulutnya dengan tangan, sementara Fredriech berpikir bingung. "Ada satu hal yang menarik dari penemuan polisi", tambah Basith. "Ternyata mayat itu juga bernama Asep. Asep Kurnia Nugraha lengkapnya". Anis terpekik, seperti mengingat sesuatu. Ingatan yang menimbulkan kengerian mendalam. Otaknya sampai pada dugaan, kalau mayat dan orang gila merupakan lelaki yang sama. "Apa mayat dan lelaki gila itu orang yang sama?", 310

Sesat

Sulung Prasetyo

tanya Anis meminta kepastian. "Who knows? Banyak orang bernama Asep di Jawa Barat. Tapi kalau mengingat mukanya, mereka memang mirip", komentar Basith sambil tersenyum kecil. Ia kembali melihat Fredriech yang menggelenggelengkan kepala. Berusaha tak mempercayai, namun otaknya kembali harus mengakui. Terlalu banyak hal tak masuk akal terjadi di dunia ini.

- TAMAT -

311

Sulung Prasetyo

Sesat

TENTANG PENULIS

SULUNG PRASETYO Penulis lahir di Jakarta, puluhan tahun silam. Banyak menghabiskan masa kecil di daerah Kemayoran Jakarta Pusat. Hingga kemudian pindah rumah, ke daerah Bekasi Barat. Mulai menulis sejak tahun 2000. Kebanyakan karya merupakan artikel jurnalistik. Beberapa karya dimuat di Harian Kompas, Media Indonesia dan Majalah Matra. Kemudian bergabung dengan Harian Sinar Harapan sebagai jurnalis tetap. Buku yang pernah diterbitkan oleh penulis adalah Monyet-Monyet Tsunami (2018); Carstensz Pyramid: I’m Coming (2020); Batu Salju (2022). Penulis dapat dihubungi melalui : e : [email protected] h : www.lingkarbumi.com 312

Sesat

313

Sulung Prasetyo

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.