Story Transcript
Tak kan Cemburu Dengan Bidadari
Arini membuka lipatan kertas itu Sebuah kertas berisi biodata seorang laki-laki. Nadia, sahabatnya berkata bahwa ada seseorang yang ingin taaruf dengannya dan berniat melamarnya. Dengan hati berdebar, ia mulai membaca.
Namanya Muhammad Syarif Al Fatih. Seorang guru SMAN di Jambi. Anak pertama dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki. Tidak ada photo yang terlampir. Arini tertawa geli ketika membaca tentang warna kulitnya. Lelaki itu menulis sawo matang sekali. Ia membayangkan buah sawo yang Lembek dan berair akibat kematangan. “Ternyata ia mempunyai selera humor juga”, katanya dalam hati.
Arini masih bimbang apakah menerima pinangan itu atau tidak. Malam harinya ia mendekati ibunya. Sambil memijat kakinya, Arini berkata
“Bu, kalau ada lelaki baik ingin melamar Arin , apakah ibu bersedia menerimanya?” “Siapa dia? darimana asalnya? kamu kenal di mana? Kok tiba-tiba mau melamar?” bertubi-tubi ibu bertanya.
Arini menjelaskan berdasarkan biodata yang pernah dibaca. “Kamu pernah melihat orangnya?”
Arini menggelengkan kepalanya. “Darimana kamu tahu bahwa ia orang baik?”
“Ia tidak menyentuh yang bukan mahramnya sebelum dihalalkan melalui pernikahan, itu tanda laki-laki yang baik dan bertanggung jawab."
Setelah lama berbincang, ibunya bersedia membicarakan hal itu dengan ayahnya. Hasil diskusi orang tuanya, mereka bersedia berkenalan.
Syarif memandang photo gadis itu. Hatinya berdetak keras, seiring dengan bunyi detak jam dinding. Pukul tiga dini hari. Segera ia menyimpan photo itu karena takut godaan syaitan. Ia pernah melihat gadis itu walaupun sekilas ketika akan mengajar. Gadis itu sepertinya sedang mencari Nadia seorang rekan gurunya. Akankah ia menjadi jodohku”, katanya dalam hati. Ia pergi ke kamar mandi lalu berwudhu. Setelah sholat tahajut yang syahdu ia berdoa memohon kelancaran acara taaruf besok.
Siang itu Syarif silaturahmi ke rumah Arini bersama saudara angkatnya bernama Ali. Karena ayah kandungnya sudah lama meninggal. Arini menundukkan kepalanya tidak berani memandang Syarif. Padahal ia ingin melihatnya dan tentu diperbolehkan. Namun perasaan malu mengalahkan rasa penasarannya. “Apakah benar kamu belum pernah menikah?” tanya ibu Arini tiba-tiba. “Saya jamin ia perjaka tulen” Ali tertawa.
Setelah berbincang lama dengan orangtua Arini, akhirnya mereka menerima Syarif. Dengan syarat Arini diperbolehkan bekerja setelah menikah. Syarif menyetujuinya. “Arini apakah kamu menerima jika Syarif menjadi imammu?” tanya Ali.
Arini menundukkan kepala dengan malu-malu, mukanya memerah bak kepiting rebus. Ia tidak menjawab. Diamnya seorang gadis berarti setuju.
Acara pernikahan berlangsung sederhana namun syahdu. Tanggal 15 April 1996 merupakan hari yang bersejarah bagi mereka berdua. Ibunda Syarif tidak hadir. Pamannya mewakili keluarga mempelai laki-laki.
Setelah menikah, mereka mengontrak rumah kecil satu kamar. Pacaran setelah menikah ternyata memang indah. Penuh dengan kejutan karena belum kenal lama dan masih malumalu.
Arini memandang separuh jiwanya ketika tidur. Berkulit hitam manis. Wajahnya teduh dan bersinar karena air wudhu. Ia baru tahu ternyata ia sering menjadi imam sholat di masjid dekat rumah. Pribadi yang supel dan mudah bergaul menyebabkan ia mudah di terima di berbagai kalangan.
Arini berasal dari Sumatra sedangkan Syarif berasal dari Sulawesi. Syarif sangat suka makanan laut. Meski pada awalnya tidak.suka ‘Seafood’ , lambat laun Arini mulai menyukainya.
Arini cerewet dan suka bimbang dalam memilih sesuatu. Namun ia suka hal yang rapi. Sedangkan syarif bersifat tegas dan tak tergoyahkan walaupun sedikit berantakan.
“Abang, handuk basah jangan diletakkan di kasur!” teriak Arini sambil menarik baju di kapstok untuk di cuci. “Arin, baju koko abang yang di kapstok mana?” “Di ember mau di cuci, sudah bau keringat, lagian banyak nyamuk kalau di gantung.” “Padahal baru dipakai ke masjid subuh tadi, kerajinan amat sih,” kata Syarif.
Rencananya baju itu mau di pakai ke sekolah hari ini. Setiap Jumat guru laki-laki yang beragama Islam memakai baju muslim. “Bang jangan lupa odolnya ditutup lagi kalau habis di pakai,” teriak Arini. Sifat kalemnya sewaktu gadis hampir tidak kelihatan lagi.
“Arin, ambilkan handuk,” kata Syarif sambil memperlihatkan kepalanya di pintu kamar mandi. Arini segera mengambil handuk. Ia hafal dengan kebiasaan suaminya yang sering lupa bawa handuk.
Enam bulan menikah orang tua Arini mengingatkan Janji menantunya agar Arini diperbolehkan bekerja. “Bekerja dengan Bang Syarif aja sih” kata Syarif bercanda. “Gajinya langsung dari Allah berupa pahala yang berlipat” tambahnya. “ Abang bagaimana sih, kan sudah janji.” Arini memohon. Menjadi guru TK merupakan pekerjaan yang menyenangkan Walaupun tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya. Beberapa bulan kemudian Arini Hamil.
Syarif sebenarnya ia tidak tega melihat istrinya bekerja. Istrinya kelihatan letih dan sering muntah karena kehamilannya. Sampai akhirnya Hal yang tidak diinginkan terjadi. Arini keguguran. Meskipun dipertahankan dengan istirahat total akhirnya bayinya tidak bisa diselamatkan. Arini merasa sangat sedih.Takdir tidak bisa ditolak. Rahimnya yang lemah menyebabkan Arini keguguran sampai tiga kali. Yang terakhir menyebabkan ia harus transfusi darah. “Sekarang pilih anak atau bekerja” kata Syarif tegas.
Arini termenung Ia ingin mentaati orangtua, namun taat pada pada suami merupakan kewajiban seorang istri. Dengan menimbang mana yang lebih prioritas, Ia memilih berhenti bekerja. Maafkan anakmu ayah bunda. Lama kelamaan orang tua Arini bisa memahami keputusan anaknya. Saat kehamilan ke empat, Arini merasa mual dan sering muntah. Tubuhnya sangat lemah. Semua aktivitas dihentikan bahkan ia lebih sering berada di tempat tidur. Agar bayi tidak gugur, dokter memberikan obat penahan keguguran. Alhamdulillah bayinya lahir selamat walaupun dengan jalan operasi caesar. Anak pertama diberi nama Muhammad Fatih.
Anak kedua lahir tiga tahun kemudian lahir normal walaupun di vacum. Ia diberi nama. Muhammad azzam. Arini dan Syarif bersyukur dikarunia dua jagoan yang tangguh. Delapan tahun kemudian mereka memutuskan pindah ke Banten. Mereka membeli rumah setelah sekian lama.mengontrak. Tamat Sekolah Dasar anak-anak menimba ilmu di pesantren. Rumah menjadi sepi.Terasa seperti pengantin baru lagi. Setiap akhir pekan mereka jalan-jalan berdua
sambil
menikmati kuliner laut. Anak-anak semakin besar. Mereka sudah kuliah. Sulung kuliah di negeri ulama Mesir. Bungsu kuliah di Sumatera. Seiring bertambah usia perkawinan mereka,
Arini semakin sensitif dan mudah
tersinggung.. Ia pernah merasa kesal sekali ketika suaminya memuji masakan perempuan lain. Padahal rasanya biasa saja. Mungkin karena memakai penyedap, rasanya menjadi gurih. Semenjak mempunyai anak mereka terbiasa menyebut dirinya bapak dan ibu seperti anakanak mereka. “Bapak jangan bonceng perempuan muda ya,” kata Arini. “Kalau yang tua boleh nggak?” Kata Syarif menahan tertawa. Arini berpikir sambil membayangkan nenek-nenek dibonceng sepeda motor suaminya. “Gimana ya.” Setelah berpikir keras Arini berkata “Tetap aja nggak boleh kalau bukan mahram” Ketika suaminya kelihatan Fokus dengan hp nya. Arini selalu ingin tahu dengan siapa ia berkomunikasi. “Penasaran? Nih baca aja” ujar suaminya sambil memberikan hp nya dan meninggalkan Arini sendirian. “Mau kemana, Pak?” “Ke WC. Mau ikut?”
Arini merasa kesal. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu cemburu. Mungkin merasa semakin tua sehingga takut ditinggalkan.
Syarif Pun merasa aneh dengan perubahan sikap istrinya. Kadang-kadang ia merasa jengkel karena merasa diawasi.
Bertambah usia membuat Syarif sering merasa letih. Pulang ke rumah setelah mengajar ia merasa pusing dan mual. Ia ingat di sekolah tadi karena haus ya minum minuman bersoda. Ia muntah. Lalu berbaring di tempat tidur. Arini mengurut kakinya. Syarif merasa sakit sekali di bagian
pinggangnya. Tiba-tiba pandangannya gelap dan
kesadarannya hilang. Arini
panik. Sayup-sayup Syarif mendengar istrinya
memanggilnya. Ia mulai sadar. Arini dengan bantuan tetangga segera membawa ke dokter. Diagnosanya adalah infeksi ginjal dan darah tinggi sehingga harus di rawat di rumah sakit. Lima hari kemudian ia diperbolehkan pulang. Semenjak itu obat ginjal dan darah tinggi harus tersedia dimanapun ia berada. “Bu bapak ingin kuliah S2,” katanya pada suatu hari. “Buat apa kuliah lagi, bapak sudah tua, lagi pula bapak harus menjaga kesehatan.” “Bapak ingin menjadi inspirasi bagi anak kita agar semangat menuntut Ilmu walau halangan menerjang.”
Karena tekad yang kuat, Ia berhasil lulus dengan predikat cum laude. Padahal mengajar dan kegiatan lainnya cukup menyita waktunya.
Pada akhir bulan ramadhan 1442 H. Arini berniat membangunkan sahur. Namun suami tercinta tidak pernah bangun lagi. Dengan segera ia membawa ke rumah sakit dengan bantuan tetangga dan sahabat setia. Arini melihat napas suaminya tidak beraturan. Ingin rasanya ia menangis sekencangnya. Namun hanya Isak tangis yang terdengar. Suaminya di rawat di ruang ICU. Diagnosanya stroke akibat darah tinggi sehingga terjadi pendarahan di otak. Jalan satu-satunya adalah operasi di bagian kepala. Namun karena ginjalnya telah parah, hal itu tidak mungkin dilaksanakan. Hanya menunggu keajaiban. Arini menunggu di ruang keluarga pasien bersama anak keduanya. Berdoa memohon
pertolongan Yang Maha Kuasa dengan menyebut Asma Allah dan segala amal terbaik suaminya.
Bergantian dengan azzam anak ke duanya. ia tilawah di dekatnya. Baik secara langsung maupun video call dengan Fatih.. Arini melihat mata suaminya. Ada air mata di sudut matanya. Berarti masih ada respon. Arini membenarkan hatinya berharap suaminya bangun kembali.. Kadang-kadang ia memberi semangat agar bangkit kembali. kakinya bergerak tapi hanya sebentar. Hari keempat Syarif tidak memberi respon. Tensi darah semakin turun. Akhirnya lelaki yang tegar itu menyerah dengan penyakitnya. Arini mentalqinkan kalimat tauhid ke telinganya. semoga ia mampu mengucapkan di dalam hatinya. Ia mengusap keringat belahan jiwanya. semoga khusnul khotimah. Sekarang tidak ada lagi rasa sakit.” Ibu ikhlas” Arini berbisik.
Di hari yang baik hari kamis, bulan yang baik di penghujung ramadhan Ia kembali ke pelukan Rabb Nya. Tepatnya tanggal 3 Mei 2021. Membawa amalan Ramadhan yang terbaik. Taujih suaminya terakhir di sekolah dan di masjid dekat rumah adalah tentang kematian.
Idul fitri tahun ini penuh dengan kesedihan. Ketika sholat Idul Fitri Arini teringat suaminya. Biasanya ia yang memberi khotbah.
Tidak ada lagi suara batuknya. Baju Kokonya masih tergantung di kapstok. Tiba-tiba ia rindu bau keringat suaminya. Menciumi baju itu sambil menangis. 25 tahun kita bersama. Terasa sangat sebentar. Di pusara ayahandanya Fatih berkata “Sekarang bapak bersama bidadari di surga, ibu jangan cemburu ya.” Arini tersenyum.” Ibu tak akan cemburu. karena kalau bapak bersama bidadari, berarti ia dalam keadaan bahagia di sana. Ibu sangat ikhlas. Semoga kita bisa berkumpul di Jannah Nya. Aamiin.