Modul Sosiologi Pertanian Flipbook PDF

Modul Sosiologi Pertanian - Universitas Singaperbangsa

49 downloads 110 Views 4MB Size

Story Transcript

Kata Pengantar Daftar Isi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Pembelajaran C. Materi Pembelajaran D. Bobot Kompetensi E. Penggunaan Modul F. Matrik Silabus Pelatihan II. RENCANA PEMBELAJARAN A. Pengantar Sosiologi Pedesaan B. Stratifikasi Sosial C. Perubahan Sosial III. MEDIA PEMBELAJARAN A. Bahan Bacaan B. Soal Pre/Post Test


BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sosiologi Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Singaperbangsa Karawang merupakan Mata Kuliah wajib yang diajarkan pada dua Program Studi yaitu Program Studi S1 Agribisnis dan Program Studi S1 Agroekoteknologi. Sebagai sebuah ilmu, Sosiologi Pertanian secara umum menginduk pada ilmu Sosiologi Pedesaan dimana biasanya Sosiologi Pertanian jauh lebih spesifik dan membatasi lingkup kajiannya pada bidang pertanian saja dan masyarakat pertanian saja. Meski demikian, dapat dipastikan akan sulit membedakan antara apa yang disebut sebagai Sosiologi Pertanian dan Sosiologi Pedesaan karena memang tidak ada batasan yang jelas diantara keduanya. Raharjo (1999) pernah mencoba memberi garis antara sosiologi pedesaan dan sosiologi pertanian dengan berpendapat bahwa sosiologi pertanian merupakan cabang sosiologi dengan obyek telaah khusus yaitu masyarakat pertanian. Raharjo (1999) sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat pertanian sebenarnya tidak identik dengan masyarakat pedesaan, begitu juga sebaliknya. Apa yang dikemukakan tentu saja tidak salah, hanya saja terasa kurang tepat, karena sejak awal ilmu sosiologi pedesaan mulai dikembangkan, justru kajian pertanian jauh lebih dominan dibandingkan nuansa “pedesaannya”. Untuk dapat melihat dengan jelas kedua hal tersebut, tidak ada cara lain yang lebih efektif dari melakukan kajian Naskah atau Literatur terhadap karya-karya Prof. Sajogyo. Beliau adalah Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia, dan gelar tersebut disematkan oleh rekan sejawatnya yaitu Prof. Mubyarto. Dengan melakukan berbagai kajian naskah dan literatur karya-karya tulisan Prof. Sajogyo kita akan memahami bahwa sejak awal ilmu Sosiologi Pedesaan adalah sebuah “project epistemologis” yang berupaya menembus batas-batas pengkotakan disiplin ilmu-ilmu pengetahuan. Sajogyo (1965) menyatakan bahwa jika sosiologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk dan proses-proses kehidupan grup-grup sosial dan masyarakat dengan pola kebudayaannya masing-masing, maka sebenarnya bidang sasaran studi Sosiologi Pedesaan tidaklah terbatas pada masyarakat pedesaan khususnya kaum tani. Mungkin istilah Sosiologi Agraria (Agro-Sosiologi) atau Sosiologi Pertanian lebih tepat untuk menggambarkan tinjauan atas masyarakat pedesaan dan sektor pertanian itu tidak terpisah dari tinjauan yang menyeluruh atas masyarakat bangsa serta hubungan timbal balik dengan masyarakat bukan-pedesaan dan bukan-pertanian.


1.2. Tujuan Pembelajaran Modul ini disusun sebagai bahan belajar mandiri untuk Mata Kuliah Sosiologi Pertanian yang fokus membahas dua (2) Pokok Bahasan yaitu Stratifikasi Sosial dan Perubahan Sosial. Modul ini disusun agar dapat memenuhi target Luaran yang telah ditentukan dalam Rencana Pembelajaran Studi pada Mata Kuliah Sosiologi Pertanian. Adapun indikator yang menjadi target luaran pada RPS untuk kedua pokok bahasan tersebut antara lain: 1. Mahasiswa mampu merekomendasikan metode stratifikasi sosial, dasar stratifikasi sosial, dan mobilitas sosial: a. Merekomendasikan metode stratifikasi sosial masyarakat pedesaan b. Menentukan dasar (penyebab) stratifikasi sosial dan mobilitas sosial (social climbing dan social sinking) masyarakat pedesaan 2. Mahasiswa mampu menyelesaikan (studi kasus) permasalahan perubahan sosial dalam suatu case method data sekunder: a. Menganalisis perubahan sosial pada masyarakat pedesaan b. Menganalisis sumber perubahan, arah, dan laju perubahan sosial 1.3. Materi Pembelajaran Gambar 1. Skema Materi Pembelajaran Sosiologi Pedesaan Sebagai Ilmu Pengetahuan Stratifikasi Sosial Perubahan Sosial


1.4. Bobot Pembelajaran 1.5. Penggunaan Modul 1. Orientasi Pembelajaran Student Centre Learning (SCL) pembelajaran berpusat pada peserta didik atau mahasiswa. 2. Paradigma Pembelajaran Pembelajaran berbasis luaran atau output based education (OBE) 3. Perspektif Pembelajaran Pembelajaran Orang Dewasa (Andragogi) 4. Modul Sebagai Panduan Belajar Modul disusun hanya Sebagai Bahan Ajar Mandiri No POKOK BAHASAN JP (@ 45’) Bobot Kompetensi Pengetahuan Keterampilan Sikap 1 Sosiologi Sebagai Ilmu Pengetahuan 2 ✓✓✓ ✓✓ ✓ 2 Stratifikasi Sosial 2 ✓✓ ✓✓✓ ✓ 3 Perubahan Sosial 2 ✓✓ ✓✓✓ ✓ Bobot capaian kompetensi - ✓✓✓ : Utama, ✓✓ : Madya, ✓ : Dasar


BAB II RENCANA PEMBELAJARAN


BAB III BAHAN BACAAN SOSIOLOGI PEDESAAN SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN Pengertian sosiologi pedesaan tidak dapat dipisahkan dengan pengertian sosiologi itu sendiri (Sajogyo, 1971). 1. Lalu bagaimanakah asal usul dari ilmu sosiologi? Auguste Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah “Sosiologi” dalam publikasinya yang berjudul Cours de Philosophie Positive pada Tahun 1830. (Ritzer, 2012; 28). Meski demikian, dasar-dasar sosiologi sebagai ilmu sebenarnya sudah diletakan terlebih dahulu oleh Saint Simon namun Auguste Comte lah yang kemudian meneruskannya (Sajogyo, 1971). Banyak ide Saint Simon ditemukan dalam karya Comte, tetapi tidak dikembangkan dalam bentuk yang lebih sistematik. (Pickering 1997; Ritzer 2012). 2. Awal Mula Sosiologi Pedesaan di Indonesia Di negara yang mayoritas agraris seperti Indonesia, perkembangan ilmu sosiologi tidak dapat terhindarkan dari perhatiannya terhadap masyarakat pedesaan. Ada tradisi yang relatif panjang dan literatur yang cukup banyak berkaitan dengan masyarakat desa. Adapun beberapa material yang membentuk sosiologi pedesaan di Indonesia pada awal-awal perkembangannya antara lain adalah ilmu yang mengkaji sejarah, ilmu yang mengkaji hukum adat, ilmu etnografi, laporan departemen pemerintah kolonial dan republik, serta berbagai laporan studi dari sosiolog dan mahasiswa sosiologi pada awal tahun 1950. (Jaspan, 1959) Sosiologi Pedesaan adalah lapangan (studi) khas dari sosiologi umum yang berspesialisasi pada peneropongan masyarakat pedesaan. (Sajogyo, 1971) Sosiologi Pertanian adalah Kajian Spesifik dari Ilmu Sosiologi Pedesaan yang berfokus untuk mengkaji Pertanian dan Masyarakat Pertanian yang umumnya berada di lingkungan Pedesaan. Pengantar Kajian Agraria Daftar Pustaka Ritzer G, 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Ed ke-8). Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sajogyo, 1971. Pengantar Sosiologi; Pedoman Kuliah ke-1. Bogor: Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB. Sajogyo, 2006. Ekososiologi; Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Sanderson SK, 1993. Sosiologi Makro; Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Ed ke-2). Terjemahan. Jakarta: Rajawali Press.


Soemardjan S dan Soemardi S, 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Tjondronegoro SMP, 2008. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan. Bogor: Falultas Ekologi Manusia-IPB. Tjondronegoro SMP dan Wiradi G, 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah; Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Seri Reforma Agraria). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


STRATIFIKASI SOSIAL “Unstratified society with real equality of its members, is a myth that has never been realised in the history of mankind” (Sorokin, 1959) 1. Pendahuluan Secara historis dan sosiologis, tidak ada masyarakat tanpa kelas. Semua masyarakat menunjukkan beberapa bentuk peringkat dimana anggotanya dikategorikan ke dalam posisi yang lebih tinggi atau lebih rendah, superior atau inferior, bergengsi atau tidak signifikan, dalam kaitannya satu sama lain (Davis & Moore, 1945; Shankar-Rao, 2006) This form of categorisation that operates in a structured system of inequality in which members are ranked based on selected criteria thereby limiting members’ access to wealth, power and opportunities is referred to as social stratification. That is, social stratification is a sociological term that applies to the ranking or grading of individuals and groups into hierarchical layers such that inequality exist in the allocation of rewards, privileges and resources. Menurut Giddens (2001), stratifikasi sosial secara sederhana mengacu pada ketidaksetaraan terstruktur antara atau di antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Sederhananya, mobilitas sosial mengacu pada pergeseran individu dan kelompok dari satu status sosial ke status sosial lainnya (Hughes & Kroehler, 2008; Shankar-Rao, 2006). Misalnya, orang miskin bisa menjadi kaya, dan sebaliknya; guru sekolah menengah dapat menjadi dosen universitas; seorang pengemudi dapat menjadi komisaris; dan seorang menteri mungkin menjadi pengemis. Konsep Stratifikasi Sosial 1. Istilah “Stratifikasi” merupakan istilah yang dipinjam para sosilog dari ilmu geologi. Pada ilmu geologi istilah stratifikasi merujuk pada lapisan berturutturut atau strata batuan dan bahan lain yang telah terletak selama ribuan tahun hingga terbentuk menjadi kerak bumi. Istilah tersebut diadopsi ke dalam ilmu sosiologi untuk merujuk pada berbagai 'lapisan' atau strata kelompok sosial yang dianggap tersusun, satu di atas yang lain, dalam berbagai masyarakat manusia. Jadi, seperti ahli geologi yang membuat lubang bor ke dalam bumi dapat menemukan lapisan batu pasir di atas lapisan basal di atas lapisan granit, demikian pula sosiolog yang menggali jauh ke dalam struktur sosial dapat menemukan lapis demi lapis berbagai jenis pengelompokan sosial kelas atas atas kelas menengah atas kelas bawah, misalnya.


2. Studi tentang stratifikasi sosial adalah studi tentang bagaimana pengelompokan atau strata yang berbeda ini berhubungan satu sama lain. Biasanya kita menemukan bahwa mereka terkait secara tidak setara. 3. Analisis stratifikasi sosial dimaksudkan untuk memahami bagaimana ketidaksetaraan seperti ini muncul pertama kali, bagaimana mereka dipertahankan atau diubah dari waktu ke waktu, dan dampaknya terhadap aspek kehidupan sosial lainnya. Ragam Teori Stratifikasi Sosial 1. Teori Konflik


PROSES SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL Pustaka: Vago, S. (1989). Social Change. Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ. (Halaman 27-59) TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mahasiswa mampu menggunakan teori-teori Perubahan Sosial untuk menganalisis dinamika masyarakat pedesaan 2. Pengertian Perubahan Sosial Teori Perubahan Sosial: 1. Teori Evolusi Pada paruh kedua abad kesembilan belas, konsep evolusi menempati tempat sentral dalam penjelasan semua bentuk perkembangan manusia baik dalam ilmu sosial maupun biologi. Yang paling berpengaruh di antara para evolusionis biologi adalah Charles Darwin (1809–1882), yang teorinya tentang seleksi alam memberikan dasar yang kuat untuk penjelasan evolusi biologis. Sama seperti ahli biologi menelusuri tahapan dalam perkembangan organisme, sosiolog melihat dinamika masyarakat sebagai proses yang tak terhindarkan dan melalui serangkaian tahapan yang tetap—misalnya, Perkembangan dari Masyarakat Primitif melalui barbarisme menuju ke masyarakat budaya. Beberapa tokoh yang menganut teori Evolusi a. Auguste Comte Comte membagi tahap perkembangan masyarakat menjadi 3 tahap yaitu tahap teologi, tahap metafisika, dan tahap positifistik. Pada tahap teologis, orang menganggap benda mati itu hidup. Pandangan umum ini sendiri melewati tiga fase: animisme atau fetisisme, yang memandang setiap objek memiliki kehendaknya sendiri; politeisme, yang percaya bahwa banyak kehendak ilahi memaksakan diri pada objek; dan monoteisme, yang menganggap kehendak satu tuhan sebagai memaksakan dirinya pada objek. Tahap kedua, atau metafisik, adalah periode di mana kausalitas dijelaskan dalam istilah kekuatan abstrak; sebab dan kekuatan menggantikan keinginan, dan satu entitas besar alam berlaku.


Tahap ketiga, atau positif, adalah periode ilmiah, di mana orang mengembangkan penjelasan dalam kaitannya dengan proses alam dan hukum ilmiah. Pada titik ini dalam perkembangan masyarakat, menjadi mungkin untuk mengontrol peristiwa manusia. Comte berpendapat bahwa peradaban Barat telah mencapai tahap positif dalam pengendalian lingkungan fisik dan berada di ambang tahap positif sehubungan dengan hubungan sosial. b. Lewis Henry Morgan Dia menggambarkan kemajuan umat manusia melalui tiga tahap utama evolusi: kebiadaban, barbarisme, dan peradaban. Tapi dia juga membagi kebiadaban dan barbarisme menjadi segmen atas, menengah, dan bawah. Dia membedakan tahapan ini dalam hal pencapaian teknologi. Adapun tahap tersebut antara lain: c. Herbert Spencer Pola Organisasi Sederhana, Struktur yang lebih kompleks, ke Spesialisasi Bidang. Pikiran Spencer banyak memperngaruhi sosiolog muda selanjutnya seperti: - William Graham Sumner (1840-1910) - Lester Frank Ward (1841-1913) - Ferdinan Tonnies (1855-1936) - Howard P. Backer (1899-1960) - Robert Redfield (1897-1958) - Rostow (1961) 2. Teori Konflik a. Karl Marx b. Lewis A. Coser c. Ralf Dahrendorf 3. Teori Struktural-Fungsional a. Talcott Parson b. William F. Ogburn 4. Teori Sistem 5. Teori Psikologi Sosial a. Max Weber b. Everett E. Hagen c. David C. McClelland


PENGANTAR STUDI AGRARIA A. Konsep Pokok Istilah “Agraria” merupakan istilah yang terus menerus mengalami penyempitan makna. Banyak pihak yang menggunakan istilah “Agraria” secara sempit dengan menyamakan pengertian tersebut dengan “Pertanian” dan “Tanah”. Secara etimologis, istilah “agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, “ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara. (Lihat, Prent, et.al., 1969; juga World Book Dictionary, 1982). Dari pengertian-pengertian tersebut nampak jelas bahwa yang dicakup oleh istilah “agraria” itu bukanlah sekedar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata “wilayah”, “tanah negara” itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Kata “tanah negara”, misalnya, di situ ada tumbuh-tumbuhan, ada air, ada sungai, mungkin juga ada tambang, ada hewan, dan, sudah barang tentu, ada masyarakat manusia! Memang, semua arti tersebut di atas memberi kesan bahwa tekanannya memang pada “tanah”. Tetapi hal ini justru karena “tanah” itu mewadahi semuanya. Pada masa itu, tentu saja konsep-konsep tentang “lingkungan”, “sumberdaya alam”, “tataruang”, dan sebagainya belum dikenal, karena kegiatan utama manusia adalah berburu di hutan, menggembala ternak, ataupun bertani, untuk menghasilkan pangan. Demikianlah, dari uraian etimologis dan historis di atas dapat disimpulkan bahwa makna agraria bukanlah sebatas “tanah” (kulit bumi), juga bukan sebatas “pertanian”, melainkan “wilayah” yang mewadahi semuanya. Dalam kaitan ini, para pendiri Republik RI dan para perumus UUPA-1960 sudah mempunyai foresight yang jauh ke depan (karena beliau-beliau itu pada umumnya belajar sejarah dan perjalanan sejarah), sehingga yang hendak diatur oleh UUPA itu bukan sebatas “tanah”, akan tetapi “agraria”. Ayat 1 s/d ayat 5 dari Pasal 1 UUPA 1960 jelas sekali rumusannya: “Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya …..!” Inilah pengertian dari istilah “agraria”! Selain permukaan bumi, juga tubuh bumi di bawahnya (ayat 4); juga yang berada di bawah air. Dalam pengertian air, termasuk laut (ayat 5). Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan ruang di atas air (ayat 6). Demikian pula Pasal 4 ayat 2. Atas dasar pemahaman-pemahaman tersebut di atas, maka istilah-istilah “sumberdaya alam”, “lingkungan”, “tata ruang” (dan entah apa lagi), semuanya itu pada hakekatnya hanyalah istilah-istilah baru untuk unsur-unsur lama yang sudah tercantum dalam UUPA. B. Struktur Agraria Melalui suatu proses perkembangan tertentu, tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah lalu menjadi mapan. Tata hubungan itulah yang disebut sebagai “struktur agraria”. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah ini merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini bukanlah sebatas menyangkut hubungan


teknis antara manusia dengan tanahnya, yang di negara-negara agraris umumnya dipandang sebagai bersifat “religio-magis”, melainkan juga dan terutama menyangkut hubungan social manusia dengan manusia. Ini berarti akan mencakup hubungan orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dengan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa berbagai jenis hubungan pertanahan itulah yang akan menentukan ciri-ciri hubungan lainnya dalam kehidupan masyarakat agraris! Hakikat struktur agraria oleh karena itu adalah menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Ada dua sejoli istilah yang penting mengenai hal ini, yaitu apa yang dalam literatur bahasa Inggris disebut land tenure dan land tenancy. Land tenure memperoleh arti: hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokokpokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah, seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk kepada pendekatan yuridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syaratsyarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung. Pustaka: Wiradi, G. 2009. Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Sajogyo Institut; Bogor


Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.