Story Transcript
JUNITA SOFIYATUNNISA'
Sang Penakluk Rimba
"Aku percaya tidak ada orang yang bodoh, yang ada hanya tidak mau mendengar kata hatinya" ~Butet manurung~
Kata Pengantar Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan buku ini yang nantinya akan dikumpulkan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Menulis Kreatif Sastra. Dengan demikian, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Wahyudi Siswanto, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Menulis Kreatif Sastra, dan juga kepada Ibu Diana selaku dosen PKL, serta kepada segenap pihak yang telah memberikan kemudahan dalam penulisan ini dan juga teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini. Penulis sadar bahwa buku ini memang masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun cara penulisannya. Namun, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu, saya akan menerima masukan, saran dan usul sebagai penyempurnaan buku ini, dan saya berharap buku ini dapat berguna bagi yang membacanya. Jember , 10 Desember 2020
Penulis
Kata Pengantar Daftar Isi
Daftar Isi
BAB I SIAPAKAH SOSOK BUTET MANURUNG BAB II KEHIDUPAN DAN PERJUANGAN BUTET MANURUNG 2.1 Sosok Penemnus Hutan Rimba 2.2 Pendidikan Butet Manurung 2.3 Aktif di Palawa 2.4 Otot, Otak, Hati 2.5 Ingin Bekerja di Hutan 2.6 Menuju ke Gerbang Rimba 2.7 Mantra Mengusir Hantu Kayu 2.8 Dituduh sebagai "Pelakor" 2.9 Dibaptis Menjadi Orang Rimba 2.10 Ditolak dan Diusir Orang Rimba 2.11 Dijauhi Anak Desa karena Sebuah Mimpi 2.12 Mencari Cara untuk Melahirkan pendidikan di Rimba 2.13 "Ibu, Beri Kami Sokola" 2.14 Diamuk dan Diancam 2.15 Rumusan Mengenai Syarat Pendidikan Orang Rimba 2.16 Pendidikan Melahirkan Malapetaka 2.17 Linca dan Gentar sebagai Kader 2.18 Resminya Sokola Rimba 2.19 Orang Paling Berjasa bagi Butet Manurung 2.20 Keluarga Kecil Butet Manurung 2.21 Sosok Butet Dimata Keluarga dan Sahabat 2.22 Impian yang Belum Tercapai 2.23 Kesulitan Butet saat tinggal di Australia 2.24 Masa Tersulit yang Pernah Dialami Butet 2.25 Karya-karya butet 2.26 Pendapat Tokoh Terkenal Mengenai Salah Satu Karya Butet “Sokola Rimba” 2.27 Segudang penghargaan Butet Marlina Manurung Epilog Daftar Rujukan
BAB 1 SIAPAKAH SOSOK BUTET MANURUNG?
Semangatnya yang luar biasa untuk melindungi dan mengembangkan kehidupan masyarakat rimba di Indonesia telah diakui dunia. Sosok ini juga dipuji atas keteguhannya menembus belantara demi mengembangkan sokola rimba. Siapakah dia? Ya, sosok itu adalah Butet Manurung. Bernama asli Saur Marlina Manurung, merupakan sosok wanita hebat kelahiran Jakarta pada tanggal 21 Februari 1972. Nama "Butet" sendiri merupakan panggilan akrab yang diberikan oleh teman-temannya. dikenal sebagai salah satu aktivis yang memperkenalkan pendidikan pada masyarakat adat Indonesia. Pada Tahun 1999, ia pertama kali masuk ke Suku Anak Dalam di hutan tropis Bukit 12 Jambi. Selain mengajar baca tulis, ia bersama relawan sekolah lainnya juga membantu Suku Anak Dalam Jambi untuk mendapatkan hak lokasinya. Tujuannya untuk melindungi wilayah hutan adat dan memperjuangkan hak hidup sebagai bagian dari masyarakat adat di Indonesia.
Butet Manurung merupakan pendiri Sokola Rimba atau sekolah alternatif bagi anak-anak atau orang rimba yang mendiami Taman Nasional Bukit 12 Jambi. Sekolah ini berangkat dari mimpi sederhana Butet agar tidak terjebak di balik meja kerja kantoran. Sekolah ini juga bisa berdiri karena hobi bertualang Butet dan keinginannya bekerja di tengah hutan. Untuk mewujudkan mimpi itu Butet masuk kuliah di jurusan antropologi Universitas Padjadjaran. Selama kuliah Butet mengikuti kegiatan pencinta alam untuk menyalurkan hobi bertualangnya.
Sejak kecil saya bercita-cita ingin bekerja di tengah hutan, gunung atau apa saja yang penting di tengah alam. Saya sangat takut bekerja di dalam kantor dan duduk melulu.” Ujar Butet Manurung. Butet Manurung sudah menyenangi alam bebas sejak kecil. Idolanya adalah tokoh Dr. Henry Walton Jones, Jr., atau dikenal dengan sebutan Indiana Jones, tokoh utama pada seri film dengan nama serupa. Indiana Jones merupakan seorang profesor arkeolog yang gemar bertualang ke alam bebas dan membantu komunitas adat untuk mempertahankan diri. Tokoh fiktif ini yang kemudian memberikan pandangan kepada Butet untuk memiliki cita-cita bekerja di tengah rimba.
Saat kecil Butet juga senang berpetualangan, ia selalu terinspirasi dan membayangkan sejak kecil bahwa yang penting ia bisa ke pedalaman, melihat orang-orang pedalaman, dan melihat alam atau bahkan mendapatkan masalah di hutan lebat. Butet merasa bahwa hal tersebut merupakan suatu hal yang seru. Dulu dia juga membayangkan bahwa dikejar-kejar beruang itu sepertinya suatu hal yang lucu dan di hutan ada tombak terbang itu sepertinya seru. Bahkan beliau pun tidak pernah membayangkan kalau misalnya dia akan memperjuangkan hak orang Rimba atau memberi pendidikan kepada mereka. Butet mengembangkan kecintaannya pada kehidupan alam bebas saat kuliah di jurusan Antropologi dan Sastra Indonesia di Universitas Padjajaran, Bandung. Pada tahun 1999, Butet bergabung dengan WARSI, LSM yang bergerak di isu konservasi, dan mulai mengembangkan program pendidikan bagi orang rimba yang tinggal di hutan tropis Bukit Duabelas, Jambi. Pengalaman selama berada di rimba mendorong Butet dan beberapa rekannya mendirikan “Sokola Rimba”. “Orang yang bersemangat di suatu bidang akan dijodohkan pekerjaannya”
Kata-kata orang bijak diatas, seperti mewakili kehidupan Butet Manurung. Seakan nasib sudah menggariskan Butet untuk berpetualang. Awalnya, ia tanpa sengaja melihat lowongan sebagai fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli orang Rimba Jambi di koran. Dia pun melamar pekerjaan tersebut dan diterima. Sebenarnya dia bukan dipekerjakan untuk mengajar, tetapi hanya sebagai fasilitator. Akan tetapi, lambat laun dia menyadari anak-anak orang Rimba tidak mau diajari oleh orang yang tidak mereka kenal. Oleh karena itu bergeraklah Butet untuk mengajari anak-anak ini baca tulis. Saat itulah perjuangan butet di Rimba dimulai.
Selain berpetualang dan berjuang di Rimba, Butet juga menghasilkan karya yang luar biasa. Pengalamannya merintis program pendidikan di komunitas adat orang rimba yang tinggal di hutan Jambi telah ditulis dalam sebuah buku yang berjudul "Sokola Rimba" yang terbit pertama kali tahun 2007, dan hingga saat ini telah tujuh kali dicetak ulang dan diterbitkan dalam Bahasa Inggris dengan judul "The Jungle School" pada tahun 2012. Bahkan, pada tahun 2013, buku dan kisah dari Butet Manurung diadaptasi ke dalam layar lebar dengan judul yang sama dengan bukunya yaitu"Sokola Rimba" yang diproduseri oleh Mira Lesmana dan disutradarai oleh Riri Reza. Tidak tanggung-tanggung film tersebut berhasil memenangkan berbagai penghargaan Internasional. Buku “The Jungle School” diluncurkan secara resmi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC tanggal sepuluh April kemarin. Butet juga mengunjungi kota-kota besar lainnya di Amerika, seperti Philadelphia dan New York, untuk mengadakan bedah buku dan diskusi. Buku tersebut juga pernah dijual di Amerika seharga 20 dolar. Dan hasil dari penjualan buku tersebut akan disumbangkan seperti yang dikatakan salah seorang editor The Jungle School sekaligus relawan organisasi Sokola, Ro King. “Sekarang ini, banyak sokola yang terancam tutup, karena pendanaannya tidak jangka panjang. Kami harap dengan dana yang digalang melalui buku ini, serta meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai program ini, bisa membantu kelangsungan rumah sokola sampai bertahun-tahun yang akan datang,” kata Ro King. Selain meluncurkan buku di Amerika, Butet juga diundang untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan di Harvard Kennedy School di Boston. Ilmu barunya, kata Butet, akan diterapkan untuk mengembangkan organisasi Sokola agar semakin banyak anak di pedalaman di Indonesia yang bisa membaca dan menulis.
Sebagai seorang pendidik sekaligus aktivis, Butet Manurung masuk dalam jajaran daftar tokoh wanita yang paling berpengaruh versi majalah Globe Asia edisi oktober 2007, menempati peringkat ke 11 dari 99 daftar tokoh perempuan paling berpengaruh di Indonesia dengan skor 94,7. Butet telah menerima pengakuan internasional “Man and Biosphere Award” pada tahun 2001 dari UNESCO dan LIPI, “Hero Of Asia” tahun 2004 dari majalah TIME, “Ashoka Fellowship” tahun 2006, “Asia Young Leader” tahun 2007, “Young Global Leader” tahun 2009 dari World Economic Forum, dan terakhir adalah “Ernst and Young Indonesian Social Enterpreneur of the year” pada tahun 2012. Pada tahun 2011 memperoleh gelar “Master Degree in Applied Anthropology and Participatory Development” dari Australian National University, Canberra. Dan di tahun 2012 mengikuti training “Global Leadership and Public Policy” di Harvard Kennedy School Boston, America.
BAB II KEHIDUPAN DAN PERJUANGAN BUTET MANURUNG
2.1 Sosok Penembus Hutan Rimba
Namanya Saur Marlina Manurung akrab disapa Butet Manurung lahir di Jakarta 21 Februari 1972. Dikenal sebagai salah satu aktivis yang memperkenalkan pendidikan pada masyarakat adat Indonesia tahun 1999. Butet Manurung merupakan orang di balik berdirinya Sokola Rimba. Berdiri sejak 2003, Sokola Rimba merupakan konsep pendidikan bagi masyarakat adat atau suku terpencil di Indonesia. Hingga saat ini, Sokola Rimba yang kemudian berubah nama menjadi Sokola Institute sudah merintis hingga 17 program di seluruh Indonesia dan memberikan manfaat kepada lebih dari 15.000 masyarakat adat untuk bisa mengenyam pendidikan formal. “Cantik dan pemberani” sepertinya kata-kata itulah yang paling tepat untuk mendeskripsikan sosok Butet. Cantik, tidak hanya sekedar paras saja. Tapi hatinya, hati butet, ketulusannya, kesabarannya itu melebihi cantik yang sekedar berasal dari paras. Berani, Butet merupakan perempuan yang mungkin bisa dikatakan perempuan paling pemberani yang pernah ada. Keberaniannya menembus rimba demi pendidikan orang Rimba, keberaniannya dalam mengambil resiko besar untuk hidup di hutan. Tidak semua orang terutama wanita
emiliki kecantikan dan keberanian yang luar biasa seperti sosok Butet Manurung. Kepedulian Butet Manurung dalam usahanya untuk memberikan pendidikan bagi masyarakat Rimba dimulai dari kegemarannya menonton film-film petualangan semasa kecil. Film-film seperti Indiana Jones memotivasi dirinya untuk menamatkan pendidikan sarjana Antropologi dan Sastra Indonesia dari Universitas Padjajaran Bandung. Selepas meraih gelar sarjana, Butet Manurung sempat bekerja sebagai pemandu wisata di Taman Nasional Ujung Kulon. Sampai pada tahun 1999, sebuah iklan lowongan kerja dari Lembaga Swadaya Masyarakat Warung Infromasi Konservasi (Warsi) di Harian Kompas menarik perhatiannya. Lowongan kerja sebagai fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi itu menggetarkan hatinya dan merasa inilah pekerjaan yang ia cari selama ini. 2.2 Pendidikan Butet Manurung Mengenai pendidikan Butet Manurung, ia memulai pendidikan di SD Santo Paskalis 1. Akan tetapi, entah karena hal apa Butet memutuskan untuk pindah sekolah ke SD Strada Budi Luhur II Bekasi. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikutnya tepatnya di SMPN 109. Saat itu, Butet berada di kelas 1A, 2G, dan 3G. Setelah lulus SMP, Butet memilih SMA Negeri 14 jakarta. Dan dia masuk ke jurusan fisika. Kemudian butet melanjutkan jenjang ke perguruan tinggi. Dan yang menjadi pilihannya yaitu Universitas Padjajaran. Butet mengambil program studi Antropologi dan menjadi angkatan 1991. Tidak hanya itu, sebenarnya setelah menjalani tiga tahun kuliah pada program studi Antropologi, Butet memutuskan untuk mengikuti ujian masuk PTN yang saat itu bernama UMPTN. Ia lolos dan masuk di program studi Sastra Indonesia menjadi angkatan 1993. Sejak saat itu, Butet kuliah di dua program studi dan keduanya lulus meskipun Butet merasa terseok.
“Nilai sejarah saya merah di ijazah SMA. Lalu kemudian saya masuk Antropologi. Lucu, karena antropologi adalah cabang sejarah.” Tulis Butet. Dalam tulisan Butet di laman FISIP UNPAD, awalnya Butet tidak m emiliki niat atu keinginan untuk masuk Prodi Antropologi. Bahkan waktu SMA, ia justru mengambil jurusan fisika dan sangat menyukai pelajaran matematika. Dan justru pelajaran yang tidak ia sukai adalah sejarah. Setelah lulus Sarjana dengan meraih dua gelar sekaligus, sepertinya Butet tidak puas dan berhenti di situ saja. Pada tahun 2009, Butet juga memutuskan untuk melanjutkan S-2 nya di luar negeri tepatnya di The Australian National University dan lulus dengan gelar Master of Applied Anthropology and Participatory Development. Selain itu, butet juga pernah mengikuti kursus Global Leadership and Public Policy di Havard Kennedy School, Universitas Havard pada tahun 2012. 2.3 Aktif di Palawa Selama kuliah di Unpad, Butet Manurung aktif berkegiatan di UKM Pencinta Alam Palawa Unpad. Ia banyak melakukan ekspedisi. Mulai dari penelusuran dan pemetaan gua bersama tim putri di Sulawesi Selatan, mendaki Puncak Jayawijaya, hingga sederet aktivitas alam bebas lainnya. Saking seringnya berkegiatan alam bebas menyebabkan kuliahnya tertunda. Butet merampungkan studi di Antropologi Unpad di tahun 1998. Di tahun itu, ia juga tengah menyusun skripsinya di Sastra Indonesia Unpad. Aktivitasnya di Unpad, baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, dirasakan betul membentuk kepribadian dan kompetensi Butet Manurung.
Selepas lulus di Antropologi, Butet pernah bekerja sebagai asisten peneliti di Pusat Studi Wanita Unpad. Ia juga pernah menjadi pemandu di taman nasional, utamanya mendampingi para biolog maupun ilmuwan yang datang ke hutan. Pengalaman Butet di Palawa Unpad memberi kemampuan tinggi dalam hidup di tengah rimba. Pengalaman ini juga membuatnya kuat, tidak mudah menyerah. Butet Manurung belajar keras bahasa mereka. Ini dibutuhkan sebagai kunci untuk berkomunikasi. Beruntung, pengalaman studi di Sastra Indonesia Unpad memberikan bekal baginya. Meski bukan berlatar belakang sebagai guru, pengalaman Butet akan ilmu linguistik dan menulis sangat berguna untuk menyusun bahan ajar di rimba. Ia bahkan menemukan metode baca-tulis yang disebut Silabel. Metode ini memungkinkan seorang anak bisa membaca dalam waktu dua minggu saja. 2.4 Otot, Otak, Hati
“Buat saya pekerjaan sempurna itu melibatkan otot, otak dan hati. Tidak boleh ada yang ketinggalan,” ungkapnya. Lulus menjadi Sarjana Antropologi, Butet bekerja sebagai asisten peneliti di Pusat Studi Wanita Unpad. Ia juga menjajal pekerjaan sebagai pemandu di taman nasional, utamanya mendampingi para biolog maupun ilmuwan yang datang ke hutan. Dalam perjalanannya, ia merasa kurang sreg. Butet lalu mengundurkan diri sebagai pemandu. Suatu hari, ia melihat lowongan di surat kabar dari salah satu LSM yang bergerak di bidang konservasi di Jambi. Lembaga tersebut membutuhkan antropolog untuk menjadi fasilitator pendidikan pada komunitas Orang Rimba, atau komunitas peburu-peramu yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah). Melihat iklan lowongan tersebut, Butet langsung jatuh hati. Baginya, pekerjaan ini adalah pekerjaan yang sempurna. Gayung bersambut, ia pun
diterima bekerja di sana pada 1999. Butet Manurung langsung terjun ke hutan, menemui para Orang Rimba. Ia melakukan pendekatan dan penelitian untuk lebih memahami kebutuhan mereka. Namun, pengalaman Butet di Palawa Unpad memberi kemampuan tinggi dalam hidup di tengah rimba. Pengalaman ini juga membuatnya kuat, tidak mudah menyerah. Butet Manurung belajar keras bahasa mereka sebagai kunci untuk berkomunikasi. Tidak hanya itu, Butet pun menggunakan sandang dan hidup layaknya kebiasaan mereka. Memakai sarung berkemban, ikut berburu dan memakan apa saja yang mereka makan. Mulai dari kancil, landak, ular, hingga kelelawar. Kegigihan Butet terbayar sudah. Ia berhasil mendekati Orang Rimba dan menjadi pengajar bagi masyarakat adat tersebut. Beruntung, pengalaman studi di Sastra Indonesia Unpad memberikan bekal baginya. 2.5 Ingin Bekerja di Hutan
"Saya dari kecil bercita-cita kerja di hutan, karena saya punya pikiran kalau kerja di Jalan Sudirman pakai sepatu tinggi, takut.” Ujar Butet. Sambil menanti masa SMA selesai, Butet merancang banyak mimpi. Menurutnya, membayangkan bekerja di kota besar bukan impiannya. Impiannya justru berada di hutan bersama anak-anak suku pedalaman. Dia merasa tak ada yang salah dengan impiannya, dan merasa normal.
Dia pun tidak mau suatu hari sudah terlalu tua untuk menentukan minatnya dan kemudian menyesalinya. Karena itu, dia pun merealisasikan mimpinya dan mendirikan Sokola Rimba, meski bukan hal mudah baginya. Beberapa kendala yang dihadapi, dari masalah postur tubuh yang dianggap terlalu tinggi dan menyulitkan saat bepergian ke dalam hutan, stigma yang menempel dalam pikiran suku pedalaman tentang wanita yang seharusnya tidak berkeliaran sendiri di hutan hingga penolakan masyarakat yang awalnya berpikir bahwa pendidikan hanya akan membuat anakanak mereka pergi meninggalkan kampung halaman. Meski demikian, Butet tak menentang atau melawan apa yang berlaku di sana. 2.6 Menuju ke Gerbang Rimba Tepat pada tanggal 24 September 1999, Butet Manurung memulai petualangannya dalam menjelajahi rimba. Pada tanggal tersebut Butet berangkat dari Jakarta menuju Kota Bangko, Jambi. Butet berangkat dengan menggunakan transportasi bus, lebih tepatnya Bus ALS yang merupakan kepanjangan dari Antar Lintas Sumatera. Menghabiskan waktu selama puluhan jam dalam perjalanan membuat Butet merasa bosan dan baginya sangat menyiksa. Saat tiba di Bangko, Butet langsung menuju ke kantor WARSI. Dia mengatakan bahwa kantor WARSI sama seperti rumah yang membuat dirinya tidak menyangka kalau kantor tersebut keren. Dari situlah, Butet mulai berkenalan dengan staf WARSI. Butet tinggal di mess putri bersama karyawan-karyawan perempuan. Hal tersebut rupanya membuat ia menyadari bahwa tinggal bersama karyawan jauh berbeda dengan tinggal bersama teman-teman mahasiswa. Jika bersama teman-teman mahasiswanya Butet bisa bebas untuk melakukan apapun termasuk mencomot makanan teman seenaknya. Akan tetapi, saat tinggal bersama karyawan dia
dia merasa dianggap kurang ajar oleh mereka kalau suka mencomot makanannya dengan sembarang. Pada tanggal 13 Oktober 1999, hari itu adalah pertemuan pertama Butet dengan Orang Rimba. Butet mengatakan bahwa pada hari itu dia dia diperkenalkan sebagai orang baru yang mau belajar tentang adat istiadat Orang Rimba. Saat itu, Butet langsung ditunjukkan jalan-jalan yang biasa dilewati Orang Rimba yang bisa ditempuh selama 30 menit. Diawal pertemuan mereka, Butet yang hanya berbekal kamus saku bahasa rimba yang Cuma 100 kata itu tetap gagal memahami seluruh percakapan diantara mereka. Hal tersebut dikarenakan Butet menganggap bahwa Orang Rimba berbicara terlalu cepat dan tidak jelas. Selain itu, awalnya Butet juga merasa malu melihat cara berpakaian perempuan di rimba yang bertelanjang dada. Namun, Butet berusaha untuk merendahkan hatinya dan berusaha menerima “keganjilan” yang dilihat disekitarnya. 2.7 Mantra Mengusir Hantu Kayu Butet mengatakan bahwa bagi Orang Rimba, Pohon Madu sama seperti “benda pusaka” jika dikehidupan orang luar. Jika ingin mencicipi madunya, Orang Rimba harus “merayu” terlebih dahulu agar hantunya keluar dari situ. Pernah suatu saat Butet mengikuti ritual mengusir hantu kayu. Meskipun ia tidak mengerti mengenai apa yang diucapkan, suasana mistis saat itu sangat dirasakan oleh butet. Menurutnya ia dapat merasakan suatu getaran yang jauh hingga ke tulang.
Dua lah tiga kiding tegantung Kiding kecil diisi padi Dua tiga bujang terkapung Seorang tidak menolong kanti, adek ooo...iii...
Seperti itulah mantra yang diucapkan. Mantra yang digunakan merupa-kan sebuah pantun. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isinya. Pantun tersebut memiliki arti “Ada banyak laki-laki di tempat ini, namun tidak seorang pun bisa menolong, oh adik.” Adik dalam mantra tersebut merujuk pada pohon sialang yang harus dibujuk rayu agar mengizinkan pelantun mendakinya. Orang Rimba percaya bahwa jika tidak melakukan ritual tersebut, yang memanjat bisa terjatuh dari pucuk pohon dan tewas. Setelah ritual tersebut selesai, selanjutnya yaitu menancapkan tangga sambil menyanyi lagu khusus, bukan lagi merayu pohon melainkan merayu induk rapah (ratu lebah) agar tidak menyerbu dan menyengat. Lagu yang dinyanyikan unik karena menggunakan kata-kata yang romantis. Seperti pada syair pantun berikut ini.
Orang kerinci mati semalam, Mati ditanam di bawah kandis Elok nian mimpi semalam, Mimpi memeray susu gadis
2.8 Dituduh sebagai “Pelakor” Pada tanggal 21 Oktober 1999, Butet memutuskan untuk kembali ke Kabupaten dikarenakan rekannya harus pulang untuk cuti. Akan tetapi empat hari kemudian, ia kembali ke Rimba lagi. Akan tetapi kali ini dia sendirian. Saat berada di Rimba, Butet tinggal di sebuah pondok yang berjarak 15 menit dari perkampungan Orang Rimba. Butet belum diizinkan untuk tinggal berdekatan dengan mereka karena ia dianggap membawa penyakit.
Tinggal sendirian di tengah hutan membuat Butet kelimpungan. Dia juga bosan karena keterbatasan komunikasi antara ia dan orang Rimba. Akan tetapi, saat itu dia merasa beruntung karena bertemu dengan Cerinay, Orang Rimba yang bisa berbahasa Indonesia atau Melayu. Namun, yang dianggap keberuntungan bagi Butet ternyata justru mengundang masalah besar. Saat itu, tepatnya pada sore hari, Butet sedang bercakap dengan Cerinay, tiba-tiba istrinya datang dengan membawa kujur atau Tombak yang diarahkan kepada Butet. Rupanya istri Cerinay salah paham dan menganggap Butet akan merebut suaminya. “Akeh jujur! Mikay urang meru penyombong, ujinye ndok penelitiyon, tapi ndok ngambik laki urang! Akeh tikom mikay dengan kujur!!” (Aku tombak! Kamu orang luar pembohong, bilangnya mau penelitian, tapi ternyata mau ambil suami orang! Aku tikam kamu dengan tombak!!)
Begitulah kira-kira kalimat yang dilontarkan oleh istri Cerinay kepada Butet dengan nada tinggi dan cepat, sambil menangis. Meskipun begitu, Butet mengerti apa penyebab marahnya istri Cerinay kepada dirinya. Butet mengetahuinya dari kalimat “ndok ngambik laki urang!”. Ia mengerti bahwa dirinya dianggap akan merebut suami orang. Beruntungnya Cerinay langsung menjelaskan kepada istrinya. Dan Butet pun meminta maaf atas kesalah pahaman itu. Ia tidak berpikiran sama sekali untuk merebut suami orang. Cerinay pun juga meminta maaf atas nama istrinya kepada Butet. Dan setelah keadaan mulai tenang. Cerinay ingin mendamaikan Butet dengan Istrinya dengan cara meminta istrinya untuk tidur menemani Butet di pondoknya. Akan tetapi, butet yang masih takut akan ditikam memilih untuk meminta Cerinay dan istrinya pulang dan beralasan bahwa dirinya sudah terbiasa sendirian.
2.9 Dibaptis Menjadi Orang Rimba Suatu hari di Rimba, Butet pernah mengalami hal yang mengejutkan namun menggembirakan. Bagaimana tidak saat hari sudah pagi, Butet tiba-tiba diminta Orang Rimba untuk pergi ke genah, sutau perkampungan kecil yang terdiri dari 3-10 rumah. Dan ditawari untuk tinggal bersama beberapa Orang Rimba. Bagi butet itu merupakan suatu hal yang sangat membahagiakan karena dia merasa bahwa dia mulai diterima di Rimba. Oleh karena itulah, pada hari itu Butet merasa seperti dibaptis menjadi Orang Rimba. 2.10 Ditolak dan Diusir Orang Rimba Karena Pendidikan
Kalau mereka memang menipu kami, biarlah Tuhan yang menghukum mereka! Jengon mikay usik-usik adat kami!
Meskipun Butet sudah berbulan-bulan berada di Rimba, namun ada saja yang membuat Orang Rimba bersikukuh untk mengusirnya. Padahal, ia sudah merasa begitu akrab dengan beberapa kelompok Orang Rimba. Tapi ternyata ia kerap dikucilkan oleh beberapa kelompok Orang Rimba. Seperti diusir karena telah mengungkapkan bahwa ia akan memberi pendidikan namun justru dianggap akan mengubah adat mereka. Juga pernah dikucilkan hanya karena sebuah mimpi dimana Butet dianggap membawa wabah penyakit. Suatu hari, Butet bersama rekan-rekannya pergi ke lokasi kelompok yang terletak di Sungai Belambun Pupus, anak sungaoi DAS Bernai. Di malam hari terjadilah percakapan antara rekan Butet yang bernama Willy dan Hadi dengan Wakil Tuha, istri Wakil Tuha, dan tiga orang Bepak. Wakil Tuha merupakan pimpinan rombong. Dalam percakapan tersebut, tidak disangka bahwa Willy
dan Hadi dengan Wakil Tuha, istri Wakil Tuha, dan tiga orang Bepak. Wakil Tuha merupakan pimpinan rombong. Dalam percakapan tersebut, tidak disangka bahwa Willy dan Hadi secara terangterangan mengatakan bahwa kedatangan Butet ke tempat itu adalah untuk mengajar baca tulis. Kemudian dilanjutkan dengan alasan yang sedikit sembrono menggunakan bahasa Rimba. “Mae kawana hopi lolo lagi” yang artinya “Supaya kamu, Orang Rimba, tidak bodoh lagi.” Dan ternyata karena alasan itulah membuat Orang Rimba tersinggung. Mereka mengoceh tidak karuan dengan nada marahmarah. Sampai ada seseorang bernama Bintoro yang menjelaskan kepada Butet bahwa Orang Rimba disitu tidak suka dikatakan “bodoh” seperti tadi. Setelah mereka tahu kebenarannya bahwa Butet datang untuk membawa pendidikan, Orang Rimba justru semakin takut. Mereka takut jika kedatangan Butet akan mengacaukan adat istiadat mereka. Bahkan mereka menyarankan aku untuk segera pulang atau pergi dari tempat itu karena mereka tidak mau “sekolah”. Butet merasa dirinya sangat buruk, apalagi mendengar ucapan “Jangan usik-usik adat kami!”. Kata-kata tersebut terus dicamkan dalam hati oleh Butet. Oleh karena itu, Butet memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan bergegas untuk berpindah tempat yang akhirnya diputuskan untuk tidur di di Desa Transmigran. 2.11 Dijauhi Anak Desa karena Sebuah Mimpi Bepak Bekingkim Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 11 februari 2000, di pagi hari, Butet merasa ada sesuatu yang aneh. Orang Rimba yang tinggal di sekitar Sungai Tengkuyungon memandang Butet dengan tatapan yang sinis seolah penuh dengan kebencian. Dan Butet tidak diperbolehkan untuk mendekati Orang Rimba disana.
Butet merasa bingung. Apa salahnya? Kenapa ia dijauhi? Dan tidak ada yang mau menjawab itu semua kecuali seorang ibu-ibu yaitu Indok Kembang. Indok Kembang menjawab dengan gaya bicara yang nyinyir katanya itu semua karena Bepak Bekingkim telah bermimpi bahwa Butet itu membawa penyakit yang hanya saja belum terlihat atau timbul. Dan penyakit tersebut akan menular kepada Orang Rimba. Butet sangat meras putus asa dan bahkan mempunyai keinginan untuk pulang. Akan tetapi, keesokan harinya menjadi lebih aneh lagi karena Orang Rimba kembali ramah kepada Butet. Ia berpikiran bahwa Orang Rimba kembali ramah karena melihat bahwa dirinya tidak kunjung sakit-sakit juga yang berarti membuktikan bahwa Butet tidak membawa penyakit. 2.12 Mencari Cara untuk Melahirkan Pendidikan di Rimba
Banyak sekali hal yang telah dialami butet selama berbulan-bulan berada di Rimba. Kesulitan-kesulitan yang dialami Butet selama di Rimba terkadang membuatnya ingin menyerah dan pulang. Bagaimana tidak? Siapa orang yang mau hidup dengan dikucilkan oleh orang sekitar dan bahkan pernah diusir. Akan tetapi tekad Butet tidak pernah goyah. Meskipun sering diusir ia tetap kembali ke Rimba. Ia merasa yakin bahwa ia bisa meyakinkan dunia luar bahwa Orang Rimba ternyata bisa menerima pendidikan asal sifatnya khusus dan berguna. Butet mencari cara bagaimana cara Orang Rimba mau untuk belajar. Akan tetapi, dia tidak mau membuat Orang Rimba melakukannya hanya untuk sesuatu, seperti hadiah dan sebagainya. Butet ingin Orang Rimba “Jatuh cinta” pada belajar tau pendidikan dan sadar seberapa pentingnya membaca dan menulis serta apa manfaatnya untuk kehidupan mereka.
Butet tidak tahu bagaimana cara membuat Orang Rimba untuk mau belajar. Yang ia lakukan adalah dengan melakukan pendekatan kepada mereka. Butet berpikir yang penting dia masuk dulu dalam kehidupan mereka bagaimana selanjutnya ia akan memikirkannya lagi. Hal itu dikarenakan Butet tidak mau gagal. Dia tidak mau pulang lagi ke jakarta tanpa pernah mempunyi murid atau bahkan teman rimba seorang pun. Dalam melakukan pendekatan dengan Orang Rimba, Butet merasa memiliki kemajuan saat Orang Rimba terkena wabah penyakit. Disitulah Butet dengan ketulusannya membantu mereka untuk mendapat pengobatan. Dari ketulusannya tersebut, ia merasa Orang Rimba mulai menerimanya. Seperti saat Butet ingin berpamitan untuk pulang, salah satu Orang Rimba tiba-tiba mencium tangannya karena menurut butet mungkin ia sudah merasa “dekat”. 2.13 “Ibu, Beri Kami Sokola”
Tepat pada tanggal 13 April 2000, Butet kembali ke Rimba. Hal yang tidak terduga terjadi, pendekatan yang selama ini dilakukannya ternyata membuahkan hasil. Tiba-tiba sekitar 7 anak Orang Rimba menghampiri Butet dan memaksanya untuk segera mengajari mereka angka dan abjad. Butet merasa senang dengan hal itu, meskipun sedikit takut akan orang tua yang ada di sekitarnya yang menatap dengan selidik kepadanya. Butet memenuhi permintaan mereka meskipun saat itu pendidikan bukan lagi tujuan utama bagi butet.Butet menyobek kertas untuk dijadikan tempat corat-coret bagi anak-anak Rimba dan juga sebuah buku berisi abjad dalam huruf besar serta angka 0 sampai 9.
Hal yang dilakukan Butet selama seminggu pertama hanyalah bermain-main saja dengan anak Rimba. Ia datang berkunjung untuk sekedar makan louk bersama, bernyanyi bersama, mengajar menjahit, pencak silat, mengajar bersepeda, dll. Begitu setiap hari dan Butet menikmatinya. Dan lama-kelamaan ia menyadari bahwa bersama dengan anak-anak jauh lebih menyenangkan. Suatu siang, Butet sedang berada di Sawitan bersama dengan Orang Rimba. Siang itu ada salah satu anak yang memtahkan garpu ban depan sepeda milik orang lain. Dan karena hal tersebut ibu anak tersebut harus membayar denda. Karena tidak mempunyai uang tunai ibunya berinisistaif untuk membayar denda dengan kain. Akan tetapi, Butet mengetahui bahwa pemilik sepeda tidak senang dengan pembayaran denda mnggunakan kain. Hingga akhirnya Butet memutuskan untuk membeli kain tersebut tanpa sepengetahuan orang Rimba. Dan sejak hari itu anak-anak Rimba tidak diperbolehkan lagi untuk belajar sepeda. Namun, Butet tetap mengajarkan sepeda kepada mereka terutama pada anak yang belum bisa bersepeda. Hingga kahirnya ada enam anak yang sudah dapat bersepeda. Dari filosofi sepeda itulah yang kemudian mendatangkan motivasi bagi anak-anak Rimba, bahwa ketika belajar berhitung dan mengenal abjad segala sesuatunya memang dimulai dari tidak tahu tapi kalau belajar terus, pasti kan jadi bisa atau mahir. Dari situlah Butet merasa anak-anak Rimba menjadi semakin ingin belajar baca-tulis. Mereka menjadi banyak bertanya mengenai semua hal. Mengenai cara membaca jam, mengenai huruf dan angka. Akan tetapi, Butet masih sedikit khawatir akan antusias mereka. Butet takut hal tersebut justru akan menjadi bumerang bagi dirinya.
""Ibu, beri kami sekolah!! Dalam situasi tertentu, tiba-tiba ada seorang anak yang bernama Batu menghampiri Butet. Dan tiba-tiba mengatakan sebuah kalimat yang dianggapp sangat indah oleh Butet. Dia mengatakan “Ibu, beri kami sekolah!”. Meskipun merasa senang, Butet masih merasa ragu dan khawatir akan hal tersebut. Butet takut hal tersebut justru membuat dirinya kehilangan semua hal yang telah dinikmatinya. Pertemanan dan proses saling mengenal, Butet tidak mau merusak hal tersebut. Apalagi jika nanti ia akan berhadapan dengan orang tua mereka. Keesokan harinya, masih pagi sekali sekitar pukul 06.00, ada sekitar tiga anak Rimba yaitu Besudu (15 th), Batu (13 th), dan Linca (14 th) yang sudah muncul di rumah tempat Butet menginap. mereka berbisik kepada Butet bahwa mereka ingin diajarkan menulis dan mereka tidak keberatan bila belajar di rumah tempat Butet menginap. Butet pun memutuskan untuk menuruti permintaan mereka. Butet mengawali pelajaran dengan memberikan materi angka atau penjumlahan dengan gambar. Di hari selanjutnya, jumlah anak yang datang bertambah menjadi 7 orang. Butet pun mengajar dengan melanjutkan materi sebelumnya, yaitu penjumlahan namun menggunakan cerita. Ia mengajar mereka dengan menggunakan papan tulis darurat yang ia buat sendiri dan menjadikan arang sebagai kapurnya. Sekolah berlanjut seperti itu setiap harinya dengan orang yang berbeda, jumlah yang berbeda dan pasti dengan materi yang berbeda pula.
2.14 Diamuk dan Diancam Suatu hari, Butet mendapat dua tamu yang tidak diundang. Kasusnya sama dengan batu dan kedua temannya. Mereka ingin belajar dengan Butet. Akan tetapi yang lebih mengejutkan lagi ternyata dua anak tersebut berasal dari rombong Wakil Tuha, rombong yang pernah mengusir butet beberapa bulan sebelumnya. Mereka bernama Miti dan Gentar. Ternyata mereka mengetahui tentang Butet tapi mereka hanya mengamati saja. Butet mengatakan bahwa mereka sangat antusias dan semangat dalam belajar. Akan tetapi, suatu masalah datang menghampiri Butet. Ia diamuk oleh orang tua mereka. Mereka marah kepada Butet karena telah mengizinkan anaknya datang dan belajar. Mereka juga menganggap bahwa Butet telah membuat Miti melanggar adatnya. Bahkan mereka juga mengatakan bahwa gara-gara belajar, siangnya Miti menjadi jatuh sakit. Selain permasalahan Miti, masalah juga datang berkaitan dengan Gentar. Keesokan harinya, saat Gentar sedang belajar bersama Butet, tiba-tiba datanglah tiga orang bapak sambil marah-marah dan ingin mengambil Gentar. Ternyata telah ada kesepakatan dengan pemimpin adat bahwa gentar harus melakukan duduk tunang. Akan tetapi, Gentar tidak mau untuk melakukannya. Sampai-sampai keluarlah keputusan jika Gentar tidak mau duduk tunang dan tetap sekolah, dia harus keluar dari Rimba. Dan tidak disangka Gentar justru memilih untuk keluar dari Rimba. Saat malam hari, ibu Gentar datang ke Butet dan memohon kepadanya untuk tidak mengajari anaknya lagi dan meminta Butet untuk membujuk Gentar agar mau pulang dan duduk tunang. Bukan hanya itu, ibunya juga sampai ingin bunuh diri karena menganggap anaknya tidak akan pulang karena dimarahi oleh tiga bapak yang tadi. Dan beranggapan Butet akan membawa anaknya pergi dari Rimba. Butet pun langsung mengucapkan sumpah kedulat agar ibu Gentar percaya bahwa butet tidak akan membawa lari ankanya. Begini sumpahnya.
“Kalu akeh bewo lari Gentar dan Miti, kalu akeh mengampungkan orang rimba gelo, akeh kedulat! Kalu masuk ayek dimakon kuya ayek, kalu di darat dimakan merego, kalau masuk hutan tetimpa kayu.”
Sumpah itu mengatakan bahwa “kalau aku bawa lari Gentar dan Miti, kalau aku mengampungkan semua Orang Rimba, aku akan kualat! Kalau masuk air akan dimakan buaya, kalau ke darat akan dimakan harimau, kalau masuk hutan akan tertimpa kayu.” Sebenarnya Butet mengetahui bahwa ibu Gentar hanya takut berpisah dengan anaknya. oleh karena itu, Butet berani bersumpah. Setelah keadaan mulai tenang, mereka pun pulang. Dan persoalan selesai dengan kesimpulan Gentar tetap belajar dan Gentar tetap di dalam Rimba. Dan sebaliknya Butet juga mengancam tidak akan mengajari Gentar lagi jika ia berusaha lari dai rimba. 2.15 Rumusan Butet Manurung Mengenai Syarat Pendidikan Orang Rimba Berdasarkan pengalaman yang didapat selama mengajar Orang Rimba, Butet berusaha merumuskan syarat pendidikan bagi Orang Rimba. Syarat-syarat tersebut terdiri dari lima syarat. Syarat yang pertama yaitu Pendidikan harus operasional terhadap kehidupan sehari-hari (membumi). Yang artinya Butet menyimpulkan bahwa materi pendidikan yang diberikan harus terjangkau dan rasional yang bisa dimengerti oleh pemikiran maupun kemampuan Orang Rimba. Syarat yang kedua yaitu pendidikan harus menguntungkan. Maksud dari syarat yang kedua ini, Butet menjelaskan bahwa pendidikan harus memegang peranan yang penting dan jelas harus ada manfaat atau kegunaannya. Seperti yang dikatakan oleh Guru Besar Antropologi UI bahwa “Mengubah dan mengarahkan kehidupan suatu masyarakat tidak mungkin berhasil jika mereka tidak merasakan keuntungan dari
perubahan tersebut”. Oleh karena itu, keuntungan pendidikan harus jauh lebih berharga daripada kerugian yang kemungkinan akan terjadi akibat menerima pendidikan. Selanjutnya, yaitu syarat ketiga dimana Butet merumuskan bahwa pendidikan harus diorganisasikan secara lokal. Hal tersebut dikarenakan adanya penggunaan bahasa, alam pikiran, dan kebudayaan Orang Rimba yang akan mempercepat penerimaan pelajaran. Juga penyesuaian diri yang seolah total dengan cara hidup Orang Rimba. Kemudian syarat pendidikan yang keempat yaitu pendidikan harus membantu menumbuhkann kesadaran dan kesiapan terhadap perubahan/proses perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Maksudnya, pendidikan harus ada penjelasan yang jujur untuk setiap risiko pilihan atau keputusan hidup mereka. Syarat pendidikan terakhir atau kelima yang dir umuskan oleh Butet yakni tujuan sederhana dari pendidikan adalah harus mampu membuat Orang Rimba menyadari siapa dirinya, posisinya dan akan seperti apa dia kelak. Maksud butet dalam syarat tersebut agar mereka siap menghadapi tekanan dari dunia luar dan proaktif mengarahkan kehidupannya.
2.16 Pendidikan Melahirkan Malapetaka Perjalanan Butet untuk memperjuangkan pendidikan di Rimba lagi-lagi mengalami hambatan. Kali ini masalah yang dihadapi seperti halnya tertimpa batu yang amat besar. Untuk kesekian kalinya, Butet dan pendidika yang diajarkan dijadikan sasaran empuk atas semua masalah yang menimpa Orang Rimba. Tepatnya pada 28 juni 2000, Temenggung Bendinding besi selaku kepala suku dinyatakan meninggal dunia. Dan beberapa waktu setelahnya anak Bedinding Besi dan indok Ngerepal serta janinnya yang berusia sembilan bulan juga meninggal dunia. Bahkan tidak hanya itu, sekitar seminggu kemudian anak dari indok Ngerepal yang berusia lima tahun dan seorang anak lain juga meninggal. Dari kejadian itu, Butet lah yang dianggap menjadi penyebabnya. Namun, sosok Butet yang pantang menyerah ini tetap tidak berhenti untuk terus menyalurkan pendidikan dan memberikan pembelajaran kepada beberapa anak Rimba. Justru muridnya-lah yang khawatir akan hal tersebut. Muridnya mengatakan. “Mereka tidak suka ibu, kita bisa saja diusir begitu bertemu mereka, Bu. Mereka bilang Temenggung meninggal adalah kutukan, garagara Ibu mengajar baca-tulis.” Dan benar saja, dua hari kemudian ada seorang bapak-bapak bernama Bapak Bepiun secara halus mengusir Butet dengan alasan tidak berani menanggung risiko bila sesuatu terjadi sesuatu pada Butet saat di hutan karena semakin jauh dari pemukiman. Dia memberikan waktu satu atau dua hari lagi untuk berada di Rimba setelah itu Butet harus segera pergi. Butet merasa alasannya itu tidak lah benar. Butet pun mencoba untuk meyakinkan Bapak Bepiun bahwa dirinya tidak akan apa-apa bila ada di hutan. Bahkan ia mengatakan walaupun ada apa-apa atau
sesuatu yang terjadi padanya, Butet bisa mengatasinya sendiri. Namun, keputusan Bapak Bepian sudah bulat. Akhirnya Butet hanya bisa pasrah. Setelah mendapat pengusiran, Butet menceritakan hal tersebut kepada Gentar, salah satu muridnya di Rimba. Dan respon dari Gentar yang mengatakan bahwa itu hanya sebuah alasan yang dibuat-buat untuk mengusir dirinya. Alasan sebenarnya mengapa Butet diusir yaitu karena Orang Rimba takut ada yang mati lagi. Perkataan Gentar membuat Butet menyadari bahwa hal itu benar sekali, dia ingat tabiat Orang Rimba yang tidak suka bicara secara terang-terangan. Sehari sebelum Butet pulang, ia menyempatkan untuk belajar bersama beberapa anak Rimba hingga pukul dua malam. Pembelajaran itu pun selesai karena Butet yang ketiduran. Namun, tidak disangka saat bangun terdapat pesan berupa tulisan dari murid butet. Mereka mengatakan bahwa mereka senang dan ingin sekali belajar terus. Dan mereka juga menanyakan kapan Butet akan datang lagi. Dengan perginya Butet dari Rimba, menandakan bahwa pembelajaran atau sokola untuk anak Rimba terpaksa diberhentikan begitu saja. Meski begitu Butet merasa bersyukur karena murid-murid butet sudah ada yang menguasai kemampuan baca-tulis. 2.1 Linca dan Gentar sebagai Kader Setelah beberapa hari Butet pergi dari Rimba, dia memutuskan untuk terus melanjutkan mengajar namun di kelompok yang berbeda. Saat itu, Butet mengajak Linca dan Gentar untuk ikut mengajar kelompok lain
di Rimba. Linca dan Gentar adalah dua anak yang menurut Butet merupakan anak yang sudah masuk kategori genius. Hal itu karena mereka berdua mampu menguasai banyak sekali materi yang diberikan oleh Butet hanya dalam waktu lima hari. Oleh karena itulah, Butet menjadikan mereka berdua sebagai kader pendidikan. Dengan begitu selain teman-teman dari organisasi Butet, Linca dan Gentar lah orang yang juga membantu Butet untuk mendirikan Sokola Rimba. Menjadikan mereka berdua sebagai kader atau pengajar untuk anak-anak Rimba lainnya ternyata tidak sia-sia. Linca dan Gentar berhasil menjalin keakraban dengan anak-anak Rimba lainnya, sehingga proses pembelajaran juga berjalan lebih mudah. Selain itu, kesertaan Linca dan Gentar sebagai kader guru mengajar Orang Rimba ternyata terus membuahkan hasil yang bahkan melebihi harapan dari Butet. Mereka pandai untuk mengambil hati anak dan Orang tua di kelompok lain. Cara mengajar mereka yang antusias dan semangat membuat Butet kagum dan percaya bahwa mereka akan menjadi sosok kader guru yang dapat membantu Butet mencapai tujuannya yaitu mendirikan Sokola Rimba. 2.18 Resminya Sokola Rimba Pada tahun 2003, tepatnya sekitar empat tahun berlalu sejak pertama kali Butet datang ke Rimba, dimana semua hambatan dan cobaan telah dilalui Butet. Bukan hanya cobaan bahkan nyawanya pun juga jadi taruhan. Akan tetapi di tahun itu juga, tepatnya tanggal 1 Oktober, Butet memutuskan untuk mengundurkan diri dari WARSI.
Setelah meyatakan keluar dari WARSI, hal pertama yang dilakukan Butet adalah mencari tempat tinggal baru di Jambi. Karena keluar dari WARSI, artinya tidak memungkinkan lagi untuk Butet tinggal di messs WARSI. Beruntung Butet memiliki teman yang bersedia menampungnya untuk sementara. Selama hampir dua bulan setelah memutuskan keluar dari WARSI, Butet banyak menghabiskan waktunya bersama Orang Rimba. Tinggal bersama mereka ia merasa lebih nyaman dan leluasa. Dia mengajar tanpa beban, bergerak dengan bebas tanpa dibebani target jumlah murid dan sebagainya. Tapi kenyamanan itu juga menyadarkan Butet bahwa ia mulai jatuh miskin. Hanya tersisa sedikit tabungan yang digunakan untuk membeli laptop murah agar bisa menulis dan mengumpulkan bahan-bahan untuk buku sambil jalan ke mana-mana. Oleh karena itu, Butet memutuskan untuk pulang ke Jakarta. menghabiskan waktu di rumah bersama mamanya. Dan memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta untuk mencoba menulis buku. Berjalan dua bulan menulis buku, butet masih tidak bisa fokus. Pikirannya selalu tentang murid-murid Rimba. Seolah-olah badan dan pikirannya berada di tempat yang saling berjauhan. Dan benar saja, kesempatan untuk kembali ke Rimba menghampiri Butet. Dua orang wartawan dari majalah pendidikan ingin meliput kegiatan sekolah di Rimba. Oleh karena itu, Butet memutuskan untuk berangkat ke Jambi untuk membantu peliputan kegiatan sekolah di Rimba.
Setelah pulang dari Jambi, Butet merasa bimbang. Dia seperti orang patah hati dan malas melakukan apa pun. Tidak ada keinginan untuk melamar kerja dan kegiatan lainnya. Ia hanya berusaha untuk melupakan semua hal tentang Orang Rimba. Akan tetapi, di masa keputusasaan Butet ternyata dia diberi jalan keluar melalui seseorang bernama Stefani. Stefani merupakan teman Butet dari Jerman yang pernah datang kepadanya. Ternyata ia ingin kembali ke Rimba untuk keperluan riset disertasi S-3 Antropologinya yang akan dilakukan selama 2 tahun. Itu membuat jiwa semangat butet berkobar kembali. Ditambah bergabungnya Dosi dan Indit bersama Butet semakin membuat percikan api harapannya semakin besar. Bulan April 2004 Oceu dan Willy mengikuti jejak Butet untuk keluar dari WARSI. Maka bergabunglah mereka bersama Butet. Saat itu, Butet membuat proposal program bersama stefani dan beruntungnya proposal tersebut direspon oleh yayasan. Akan tetapi, yayasan meminta mereka menyusun kembali proposal baru yang lebih lengkap dan sistematis. Untunglah, yayasan itu juga bersedia untuk membantu mereka dalam persoalan proposal tersebut. Sambil menunggu persetujuan proposal baru yang sudah dikirimkan, Butet dan teman-temannya mulai menyusun rencana yang pernah dibicarakan bersama. Maka lahirlah lembaga baru bernama SOKOLA (dalam bahasa rimba berarti sekolah atau belajar). Setelah itu, mereka ingin memperkuat lembaga tersebut dengan mengajak beberapa teman lain yaitu Rubby, seorang anak pecinta alam. Selain itu mereka juga meminta bantuan
seorang perawat bernama Hani. Jadilah mereka bertujuh mengusung mimpi di dalam SOKOLA yaitu Butet, Dodi, Indit, Sang Antropolog, Oceu, Willy, dan Rubby. Tanggal 13 April 2005, SOKOLA melegalkan dirinya dalam akta notaris dengan status Perkumpulan. Pada 2010, SOKOLA telah mengembangkan kegiatan pendidikan bacatulis dan advokasinya ke berbagai lokasi di Indonesia. Hingga pada tahun 2013, SOKOLA telah menjangkau 14 program pendidikan pada komunitas di berbagai wilayah Indonesia yang memberikan manfaat bagi lebih dai 10.000 penduduk, baik anak-anak maupun dewasa. Perjuangan Butet dalam memperjuangkan pendidikan di Rimba, secara lengkap dituliskannya dalam karya buku yang berjudul “Sokola Rimba”. Dan pada tahun 2013 pula, buku karya Butet Manurung tersebut diangkat ke dalam sebuah film dengan judul yang sama dan disutradarai oleh Riri Riza. Film Sokola Rimba tersebut merupakan film yang pertama kali debut di Amerika Serikat dalam ajang Environmental Film Festival 2014. Buku Sokola Rimba juga diterbitkan ke dalam edisi bahasa Inggris berjudul The Jungle of School di tahun 2013. Selain itu, Film ini sudah meraih penghargaan di Film Terbaik Piala Maya 2013, dan ajang Focus on AsiaFukuoka International Film Festival kategori Audience Award. Terbukti bahwa sebuah perjuangan yang dirubah ke dalam film juga mampu menarik perhatian dari para penikmat film di kalangan internasional.
Sebenarnya, sebelum digarap oleh Riri Riza dan Mira Lesmana, Sokola Rimba hampir digarap oleh produser asal Amerika. Namun, tema yang ingin diangkat oleh sang produser tidak sama dengan visi misi Butet Manurung. Selain itu, sutradara dari Negeri Paman Sam itu rupanya juga tidak mendapat kejelasan, sebab kesulitan mencari partner untuk menggarap film yang 100 persen bernuansa Indonesia. Oleh karena itulah, film nya tidak jadi digarap atau dilanjutkan. 2.19 Orang Paling Berjasa bagi Butet
Sedikit membingungkan bagi Butet jika ditanya mengenai orang yang paling berjasa bagi Butet. Sudah klise rasanya kalau orang yang paling berjasa adalah orang tua. Karena pada dasarnya orang tua lah yang memiliki jasa paling besar dalam hidup setiap orang bahkan sejak kecil. Oleh karena itu, selain orang tua, orang yang paling berjasa dalam kehidupan Butet adalah anak-abak murid Butet khususnya anak-anak di komunitas Orang Rimba di Jambi. Baginya anak-anak muridnya tidak hanya sekedar murid melainkan juga guru bagi Butet. Ia merasa bahwa dirinya hanya mengajarkan sebagian kecil, justru Butet belajar jauh lebih banyak dari mereka.
Belajar tentang kehidupan dan mendapat pengalaman yang istimewa yang tidak terlupakan saat di Rimba. Bukan hanya sekedar itu, sebenarnya anak Rimba memiliki jasa yang sangat besar bagi Butet, karena mereka sering sekali menyelamatkan nyawa Butet saat di hutan. Saat dikejar Beruang mereka yang membantu. Bahkan saat dikejar ular pun mereka yang menolongnya dengan menebas ular tersebut. Anak-anak Rimbalah yang pasang badan untuk melindungi Butet saat tinggal di sana. Selain itu, Orang Rimba bagi Butet merupakan seorang idola. Selera humor, cara berpikir, logika, dan cara mereka melihat dunia-lah yang membuat Butet kagum dan menjadikan mereka idola dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Jadi, dalam banyak hal mereka sangat mempengaruhi kehidupannya dan membentuk karakter yang juga muncul karena kerasnya alam dan ajaran-ajaran adat serta tantangan-tantangan dari Orang Rimba tu sendiri. Tidak hanya Butet, para guru di Rimba pun kebanyakan merupakan alumni dari Rimba. Jadi Butet dan para guru di Rimba dibentuk oleh pengalaman mereka saat di lapangan. 2.20 Keluarga Kecil Butet Manurung
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Butet melanjutkan S-2 nya di luar negeri tepatnya di The Australian National University sejak tahun 2009-2011. Pada tahun 2010 Butet menikah dengan orang Australia bernama Kevin Milne yang ternyata merupakan teman sekelas Butet sendiri. Awal pertemuan Butet sendiri menyimpan cerita yang unik, dimana setiap jam makan siang di kampus ia selalu keluar untuk pergi ke taman. Saat di taman Butet sering bermain dengan seekor anjing yang tidak tahu siapa pemiliknya. Anjing tersebut mengingatkan Butet kepada anjing peliharaannya yang ada di Jakarta. Oleh karena itu, ia sering bermain dengan anjing yang ternyata milik Kelvin, suaminya. Jadi bisa dikatakan anjinglah yang menuntun pertemuan antara Butet dengan suaminya. Dimata Butet, Kevin merupakan sosok yang simpel dan tidak duniawi. Menikah dengan Kevin Milne, Butet dikaruniai dua orang anak. Anak pertama bernama Marley Rimbayu dan anak kedua bernama Lukki Sitara. Butet pernah berkata dalam suatu kegiatan wawancara TV bahwa nilai yang harus diwariskan dan dimiliki dalam keluarga khusunya bagi anak-anaknya nanti yaitu kemanusiaan, penyayang, dan yang pasti kejujuran. Sejak menempuh pendidikan di Australia sebenarnya Butet sudah sering bolak-balik Indonesia-Australia. Bahkan setelah menikah pun tepatnya tahun 2011-2014 Butet justru lebih banyak tinggal di Indonesia. Pergi ke Australia pun hanya sekali dua kali dan itu hanya sebentar sekitar 1-2 bulan saja. Setelah mempunyai anak, barulah Butet dan suaminya memutuskan
untuk membagi waktu tinggalnya setengah-setengah supaya adil, artinya mereka tinggal 6 bulan di Indonesia dan 6 bulan di Australia. Akan tetapi sejak tahun 2020, ia tinggal di Australia sudah hampir 2 tahun lamanya akibat pandemi Covid-19 yang melanda. 2.21 Sosok Butet Dimata Keluarga dan Sahabat Saat ibunya Butet yaitu Anar Samosir ditanya mengenai bagaimana sosok Butet, ia berkata “Dia sebetulnya sangat keras kepala dia tahu apa yang dia mau.” Sementara itu, menurut adik Butet yangbernama Leovan Manurung, walaupun Butet cewek satu-satunya dari empat bersaudara tapi ia lebih terlihat jiwa kepemimpinannya dan itu sudah ada dari sejak kecil. Dan pendapat suaminya mengenai Butet hampir sama dengan pendapat ibunya, ia merupakan sosok yang keras kepala, namun ia juga orang yang tekun dan petualang. Jiwa petualang memang tidak perlu diragukan lagi, mengingat bahwa Butet ingin menjadi seperti tokoh Indiana Jones. Selain pandangan dari keluarga, dimata sahabat-sahabatnya sosok Butet ini juga memberi kesan yang berbeda. Seperti halnya menurut Riri Riza yang merupakan sutradara film Sokola Rimba, sosok Butet baginya merupakan Orang yang sangat dihormati oleh Orang Rimba. Dari sekian banyak orang yang sering datang keluar masuk Rimba, satu-satunya orang yang dipanggil ibu guru adalah Butet Manurung. Selanjutnya yaitu pendapat Aditya Dipta Anindita yang merupakan sahabat perjuangan Butet. Saat di sekolah, Ia merasa sudah seperti saudara, sudah seperti kakak adik yang terkadang bisa berantem, bisa seru-seruan bareng, kalau berantem pun juga sebentar nanti juga baik-baik lagi.
p yang terakhir yaitu pendapat Dody Rokhdan yang merupakan rekan kerja Butet, ia mengatakan bahwa Butet merupakan orang yang mempunyai falsafah semua hal harus dikerjakan dulu untuk persoalan dan resiko dipikirkan dibelakang. 2.22 Impian yang Belum Tercapai Ditanya mengenai impian yang belum tercapai sampai tahun 2021, lagi-lagi Butet tidak bisa menghilangkan jiwa-jiwa petualang dalam dirinya. Dia mengatakan bahwa impian pertama yang ingin ia lakukan yaitu ingin mendaki Gunung Kilimanjaro di Afrika. Seperti yang kita ketahui gunung tersebut merupakan salah satu gunung tertinggi di dunia yang berdiri bebas. Impian yang kedua yaitu Butet ingin menjadi Dosen. Ia ingin menjadi dosen dalam pelajaran Etnografi Kritis atau bisa juga Antropologi dan Aktivisme. Selain kedua impian itu, Butet juga ingin melanjutkan S-3 nya dan hal tersebut sudah mulai dirintis, baru akan dimulai pada bulan Februari 2022 yang akan datang. 2.23 Kesulitan Butet saat tinggal di Australia Sejak menikah dengan suaminya dan memutuskan untuk bolak-balik Indonesia-Australia, Butet mengalami sedikit kesulitan saat tinggal di Australia. Apalagi sejak tahun 2020 sampai sekarang tahun 2021, ia harus menetap lebih lama di Australia karena adanya pandemi Covid-19. Butet harus berusaha menyesuaikan cuaca disana.
Hal itu karena Butet tidak terlalu kuat dengan cuaca dingin, terlebih lagi di daerah tempat tinggal Butet tepatnya di Canberra merupakan daerah yang dikelilingi dengan gunung seperti halnya di Bandung. Untungnya, di rumah tempat tinggal Butet terdapat kayu bakar yang memudahkan untuk membuat perapian. Tapi hal tersebut membuat dirinya malas dan susah begerak juga membuat seolah-olah otanya beku.
Bagi Butet hanya cuaca saja yang menjadi masalah, mengenai makanan dan budaya di sana itu merupakan suatu hal yang masih bisa diatasi. Persoalan makanan Butet hanya sesekali rindu dengan masakan Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut masih bisa di atasi dengan membuat masakan sendiri. Sedangkan mengenai budaya di Australia yang berbeda dengan Budaya di Indonesia, Butet tidak masalah sama sekali karena pada dasarnya Butet adalah orang yang terbiasa untuk mempelajari dan mengapresiasi suatu budaya yang berbeda dengan budayanya sendiri. Jadi hal tersebut tidak menjadi persoalan bagi dirinya.
2.24 Masa Tersulit yang Pernah Dialami Butet Seperti yang kita ketahui, bahwa setiap manusia pasti pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya, meskipun kesulitan itu sangat kecil. Begitu juga dengan Butet Marlina Manurung. Butet mengungkapkan bahwa masa tersulit yang pernah ia alami yaitu pada saat dirinya berjuang di Rimba, ditolak kehadirannya oleh Orang Rimba, diputusin pacar, dimarahi teman dan dilarang orang tua untuk terus bekerja di Rimba, dan saat dirinya bokek karena tidak punya uang. Hal-hal tersebutlah yang dianggap menjadi masa-masa tersulit oleh Butet dimana masa tersebut terjadi sekitar tahun 2000-2001. 2.25 Karya-karya butet Setelah berhasil melalui perjuangan di Rimba, Butet menuangkan perjuangan dan pengalamannya dalam karya tulis berupa buku. Sampai saat ini Butet telah menghasilkan tiga karya antara lain yang pertama yaitu buku “Sokola Rimba” yang berisi mengani perjuangan Butet dalam memperjuangkan pendidikan di Rimba hingga terbentuknya Sokola Rimba. Dan karya kedua yaitu “The Jungle School” yang merupakan bentuk lain dari buku “Sokola Rimba” dengan menggunakan bahasa Inggris.
Buku tersebut diluncurkan secara resmi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC tanggal 10 April 2012. Saat itu Butet juga mengunjungi kota-kota besar lainnya di Amerika, seperti Philadelphia dan New York, untuk mengadakan bedah buku dan diskusi. Buku “The Jungle School” dijual di Amerika seharga 20 dolar. Salah seorang editor The Jungle School sekaligus relawan organisasi Sokola, Ro King, mengatakan seluruh hasil penjualannya akan disumbangkan.
Karya buku yang ketiga yaitu berjudul “Melawan Setan Bermata Runcing”. Buku yang rilis tahun 2019 ini merupakan buku yang mengungkap pentingnya substansi pendidikan yang sebenarnyadikisahkan melalui berbagai pengalamansukarelawan pendidikan di pedalaman. Dalam suatu acara bedah buku di Aula RRI Kabupaten Jember, Jawa Timur. Butet mengatakan bahwa pihak Sokola Institute ingin menekankan pendidikan yang seharusnya bisa menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat setiap hari, bukan persoalan yang akan dihadapi puluhan tahun mendatang dan tidak berkaitan dengan lingkungan sekitar.
2.26 Pendapat tokoh terkenal mengenai salah satu karya butet “Sokola Rimba” Pendapat pertama yaitu dari mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011-2014), Ibu Mari Elka Pangestu. Ia mengatakan bahwa “Buku ini bukan hanya menyadarkan kita bahwa kearifan tradisional dan hutan perlu dilestarikan, tapi juga menghangatkan jiwa.” Pendapat kedua yaitu dari Iwan Fals yang merupakan musisi legenda tanah air. Ia mengatakan “Membaca tulisan Butet saya merasa menjadi Orang Rimba. Sungguh, saya merasa tercerahkan. Selamat atas tulisan ini. semoga Orang Rimba dan lingkungannya menjadi lebih baik lagi. Amin.” Iwan Fals tidak hanya memberikan pendapat atau kesan yang ia dapat saat membaca bukunya, melainkan ia juga memberikan ucapan selamat dan juga doa atau harapan untuk kehidupan Orang Rimba. Pendapat selanjutnya yaitu berasal dari mantan Rektor Universitas Paramadina yang sekarang sedang menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Anies Baswedan. Ia menyatakan bahwa “Butet menyinarkan cahaya di tengah-tengah hutan dan buku ini sangat kreatif.” Penggalan tersebut merupakan pandangan Anies Baswedan mengenai perjuangan Butet yang dituliskan dalam buku.
Selain ketiga pendapat diatas, masih banyak sekali pendapatpendapat yang diberikan atas karya buku yang ditulis Butet. Seperti halnya Wena Poon, seorang Novelis dan pemenang Willesden Herald Prize, UK. Ada juga pendapat dari Maria Hartiningsih yang merupakan seorang Jurnalis Senior Harian Kompas, dan masih banyak lagi lainnya. 2.27 Segudang penghargaan Butet Marlina Manurung Sebagai seorang pendidik sekaligus aktivis, Butet Manurung masuk dalam jajaran daftar tokoh wanita yang paling berpengaruh versi majalah Globe Asia edisi oktober 2007, menempati peringkat ke 11 dari 99 daftar tokoh perempuan paling berpengaruh di Indonesia dengan skor 94,7. Butet telah menerima pengakuan internasional “Man and Biosphere Award” pada tahun 2001 dari UNESCO dan LIPI, “Hero Of Asia” tahun 2004 dari majalah TIME, “Ashoka Fellowship” tahun 2006, “Asia Young Leader” tahun 2007, “Young Global Leader” tahun 2009 dari World Economic Forum. Pada tahun 2011, Butet memperoleh gelar “Master Degree in Applied Anthropology and Participatory Development” dari Australian National University, Canberra. Dan di tahun 2012 mengikuti training “Global Leadership and Public Policy” di Harvard Kennedy School Boston, America. Penghargaan selanjutnya adalah “Ernst and Young Indonesian Social Enterpreneur of the year” yang didapat pada tahun 2012. Di tahun 2014, Butet kembali mendapatkan penghargaan “Nobel Asia” Ramon Magsasay Award. Selain itu, pada tahun 2015 Butet juga mendapat Penghargaan Kebudayaan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dan masih banyak lagi penghargaan yang diterima Butet yang tidak tertuliskan. Penghargaan itu semua seolah-olah menjadi upah bagi Butet atas perjuangannya menembus Rimba dengan mengorbankan nyawanya untuk menyalurkan pendidikan.
Nama lengkapnya yaitu Junita Sofiyatunnisa'. Seorang mahasiswi di salah satu Universisats kota Malang, tepatnya Universitas Negeri Malang (UM). Ia lahir di Jember, 30 Juni 2002. Dia adalah penulis dari buku biografi ini. Penyusunan buku ini bermula dari tugas akhir yang diberikan dosen dalam mata kuliah Menulis Kreatif Sastra yang diperintahkan untuk menghasilkan satu karya buku biografi mengenai tokoh inspiratif. Sebelumnya penulis tidak langsung menjadikan Butet Manurung tokoh inspirasinya. Karena pada dasarnya, penulis tidak memiliki bayangan mengenai tokoh inspiratif sama sekali. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk membaca artikel-artikel online yang berkaitan dengan tokoh inspiratif di Indonesia. Ia tertuju pada satu nama yang menarik perhatiannya yaitu "Butet Manurung". Terlepas dari tugas tersebut, penulis memang gemar sekali membuat karya-karya sastra. Seperti halnya, karya puisi, cerpen, dan lain sebagainya. Selain itu, ia juga gemar sekali mengajari anak-anak. oleh karena itulah, ia juga membuka les setiap hari sabtu bagi anakanak disekitar rumahnya.
Daftar Rujukan
Filantropi. 2017. Butet Manurung-Sokola Institute. Youtube, (https://youtu.be/K3uWV0l9zFk), diakses pada tanggal 25 November 2021. ITB. 2020. Butet Manurung-Pendiri dan Direktur Sokola Institute. Youtube, (https://youtu.be/B8WU_R8YOEA), diakses pada 25 November 2021. Mata Najwa. 2015. Mereka yang Perkasa (3). Youtube, (https://youtu.be/UiaKqB_efI8), diakses pada 25 November 2021. Maulana, Arief. 2021. “Kisah Butet Manurung, Penggagas Sokola Rimba yang Meraih Dua Gelar Sarjana di Unpad”. Universitas Padjajaran. NET News, Official. 2015. Satu Indonesia Bersama Butet Manurung. Youtube, (https://youtu.be/X5w-hGceOEo), diakses pada 26 November 2021.