Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Xi IPS1 (1) Flipbook PDF

Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Xi IPS1 (1)

48 downloads 97 Views 1MB Size

Recommend Stories


Panduan Kursus Bahasa Pusat Pengajian Bahasa, Literasi Dan Terjemahan
Panduan Kursus Bahasa Pusat Pengajian Bahasa, Literasi Dan Terjemahan Sidang Akademik 2014/2015 Wawasan USM Transformasi Pendidikan Tinggi untuk Kel

Headphones SRH1540. English. Français. Deutsch. Español. Italiano 日本語 한국어. Bahasa Indonesia. Português Shure Incorporated 27A22710 (Rev
Headphones SRH1540 English Français Deutsch Español Italiano 日本語 한국어 中文 Bahasa Indonesia Português ©2013 Shure Incorporated 27A22710 (Rev.

CAPITULO XI: EL MANDATO 1
CAPITULO XI: EL MANDATO1 Sumario: 1.- Definición, regulación y partes del contrato. 2.- Requisitos del mandato. 3.- Características del mandato. 4.- C

Story Transcript

Kumpulan Cerita Pendek Bahasa Indonesia dari

XI IPS 1 TA. 22/23

karya.

The imagination is the golden pathway to everywhere. -Terence Mckenna

Kumpulan Cerita Pendek Bahasa Indonesia dari

XI IPS 1 TA. 22/23

karya.

The imagination is the golden pathway to everywhere. -Terence Mckenna

Kata Pengantar Pertama, kita patut bersyukur kepada Tuhan karena semester ganjil ini boleh berakhir dengan baik. Pembelajaran kembali bisa dilakukan secara langsung (tatap muka) setelah hampir dua tahun pembelajaran dilakukan secara daring (PJJ). Kedua, bersyukur kalau semester ini siswa kelas XI angkatan ke-13 bisa menyelesaikan proyek Bahasa Indonesia, membuat cerpen dengan baik. Tentu, tidaklah mudah membuat sebuah cerita beralur (apalagi bagi pemula) yang harus diselesaikan dalam tenggat waktu yang diberikan dengan ending cerita yang beragam. Namun, proses yang sulit tidak akan pernah mengkhianati hasil. Terbukti, dalam tenggat waktu kurang lebih satu bulan, siswa kelas XI angkatan ke-13 dapat merampungkan cerpen mereka yang akhirnya disatukan dalam satu buku kumpulan cerpen. Meskipun demikian, memang perlu diakui bahwa tidak ada karya manusia yang benar-benar sempurna, termasuk buku kumpulan cerpen ini. Masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dari setiap cerpen yang ada. Namun, sebagai pemula, saya rasa hasil karya siswa kelas XI angkatan ke-13 ini perlu diapresiasi. Harapannya, semoga buku kumpulan cerpen ini dapat dinikmati oleh semua kalangan, khususnya warga Sekolah Kristen Calvin. Selain itu, kiranya buku kumpulan cerpen ini, tidak hanya sebatas menghibur atau mengisi waktu luang pembaca, tetapi juga ada nilai kehidupan atau refleksi pribadi yang dapat diambil dari buku ini. Sebagai penutup, saya selaku guru Bahasa Indonesia kelas XI angkatan ke-13 mengucapkan selamat kepada para siswa dan terima kasih untuk kerja samanya karena telah menyelesaikan proyek buku ini. Teruslah berkarya dan jadilah berkat di mana pun kalian berada. Hormat saya, Natalia Sitompul Guru Bahasa Indonesia Angkatan 13

Kata Pengantar Pertama-tama, puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa atas berkatNya dan karunia-Nya di mana kami, murid-murid 11 IPS-1, dapat menulis cerita pendek untuk tugas Bahasa Indonesia yang sudah disatukan dalam buku ini. Saya ingin berterima kasih kepada guru Bahasa Indonesia kami, Ibu Christi, atas kesempatan menulis cerita pendek yang diberikan. Saya juga ingin berterima kasih kepada Alva yang telah menjadi PIC dari pembuatan buku ini, mulai dari desain dan masalah teknis lainnya. Saya yakin bahwa semua cerita ini telah dibuat dengan penuh sungguhsungguh dan merupakan hasil yang terbaik. Saya bersyukur mempunyai kelas dengan murid - murid yang bertalenta dapat membuat hasilnya dengan luar biasa. Cerita yang terkumpul di sini berisi dengan cerita-cerita yang menarik dan bervariasi. Baik cerita tentang pembunuhan, pertemanan, cinta, kesetaraan wanita, semuanya ada. Semoga para pembaca dapat menikmati semua kisahnya, yang pastinya tidak akan mengecewakan. Sekian dari saya, selamat menikmati setiap karya yang tertulis indah di dalam buku ini.

Salam, Joshua C. Harrison Ketua Kelas 11 IPS-1

Daftar Isi TOLONG, TEMUI AKU DALAM MIMPI!

7

oleh Bu Christi

Bulan dan Mentari

13

oleh Alva G. F. Utomo

Jatuh

27

oleh Angeline L. Han

Sang Penumpah Darah

41

oleh Caitlyn O. C. Tan

Dari Wanita Untuk Wanita

47

oleh Daniella Belvani

Berpaling

55

oleh Immanuel S. Andhika

-

63

oleh Ivana B. Liestio

Terjatuh, Tapi Tidak Selamanya

73

oleh Jeremy Frederick

Momen yang Mengikat Kita Kembali

79

oleh Joshua C. Harrison

Kehidupan di Lingkungan Sekolah oleh Jovin Trisan

85

Daftar Isi Persephone dan Bunga Kematiannya

89

oleh Marie A. Renaldine

Menjawab Masa Lalu

99

oleh Michelle Makmur

Ceritaku.

107

oleh Rachel H. Oei

Suamiku Bukan Polisi Brengsek

115

oleh Raymond B. Herlin

Orang Besar

129

oleh Samuel H. Tanudiredja

Pulih oleh Zephanie J. D. Chie

137

1. TOLONG, TEMUI AKU DALAM MIMPI! oleh Christi Natalia Sitompul

Bagiku hal yang paling menyakitkan dari cinta adalah merindu. Merindukanmu setiap hari adalah penyiksaan terberat dalam hidup. Kadang aku iri kepada langit yang selalu ditakdirkan bersama awan meskipun mereka tidak pernah memilih untuk bersama. Aku iri kepada angin yang selalu hadir meskipun daun tak pernah memintanya ada. Aku cemburu kepada semua yang bersama meskipun mereka tidak menginginkannya. Aku gusar merana sendiri merindukanmu yang tak pernah hadir, bahkan sekejap saja di dalam mimpi. Pernah satu waktu aku memilih memejamkan mata selamanya. Aku ingin menjumpaimu dalam kekekalan agar tiada lagi kata rindu. Samar-samar ingatanku menceritakan pertemuan itu, pertemuan yang kunanti-nantikan. “Mengapa kau tak pernah menghampiriku barang sekejap saja? Apakah kau tak menyadari rasa sakit ini?” Kau hanya terdiam, tak menjawab. Menatap tersenyum seraya mengisyaratkan semua akan baik-baik saja. “Tolong jangan pergi lagi! Aku hanya ingin bersamamu dalam keabadian!” Lagi-lagi kau hanya terdiam, tak menjawab. mengisyaratkan semua akan baik-baik saja.

Menatap

tersenyum

seraya

Aku berharap dirimu tak sekadar terdiam dan tersenyum. Paling tidak kau bisa mengucapkan kata-kata perpisahan yang membuatku tak menyesal seumur hidup. Namun, kau tetap memilih terdiam dan tersenyum. Sial! Aku dikerjai oleh mimpi! Kupikir pertemuan semalam adalah pertemuan yang tak berujung bersama dirimu. Ternyata itu hanya mimpi yang kubuat sendiri! Hingga detik ini, kau tak pernah benar-benar sengaja menghampiriku. Rindu ini membuncah! Aku makin tersiksa bersama cinta yang tak pernah berkurang satu gram pun untuk dirimu! Sungguh ini keterlaluan! “Istri Bapak harus ditangani dengan serius! Ini bukan hanya sekadar luka goresan di tangan saja, tapi juga menyangkut kejiwaan istri Bapak!” Aku menggila! Ya, kurasa dokter itu tidak salah. Aku sudah jadi gila sekarang karena rindu! Tak kurasa lagi perihnya sayatan pisau yang menggores tubuhku. Perih itu tersamarkan oleh sakitnya merindu. Oh, betapa aku menginginkanmu hadir bersamaku, sayang!

8

TOLONG, TEMUI AKU DALAM MIMPI!

Christi Natalia Sitompul

Bukannya kutak cinta! Aku sudah berusaha menuju ke keabadian, tapi selalu gagal! Entah lah mengapa dalam hal ini aku selalu gagal. Aku melakukan segala usaha untuk menemuimu dalam keabadian. Namun, rasanya kekekalan menolakku hidup bersamamu! Aku ingin, tapi tak bisa dan itulah hal yang paling menyakitkan! “Aku tahu ini berat, tapi kamu harus terima! Kita tidak mungkin hidup dalam bayangbayang penyesalan! Ini semua sudah takdir! Jangan kamu menyalahi dirimu seperti ini terus-terusan!” Takdir? Oh, bisakah kata itu tidak perlu ada dalam kamus kehidupan? Bisakah aku memilih untuk bahagia bersamanya tanpa harus ada takdir perpisahan? Aaah! Aku sudah tahu jawaban untuk pertanyaan ini! Aku tahu pasti manusia tidak bisa menghilangkan takdir! Namun, aku juga tidak bisa menghilangkan rasa bersalahku sampai kapan pun! *** “Maaf ibu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan anak ibu. Namun, takdir berkehendak lain. Anak ibu tidak dapat diselamatkan.” Bayi mungilku tertidur dalam keabadian, membiru kaku dalam keheningan damai. Begitu tenang, seperti sudah siap untuk pergi meninggalkan dunia fana ini. Namun, kala itu, aku mengamuk pada waktu yang tak berperikemanusiaan! Waktu begitu sadis memisahkanku dengan bayi mungilku. Bahkan, ia tak memberiku kesempatan untuk merasakan bahagia menjadi seorang ibu! Ini adalah sebuah penantian panjang yang selama ini kutunggu-tunggu. Namun, semua dibayar dengan sebuah kehilangan yang menyakitkan. Lalu, salahkah bila aku memilih mati saja? Rindu ini menggerogotiku hingga ke sukma! Ia menyelonong masuk ke relung hati yang penuh penyesalan. Antara rindu dan penyesalan melahirkan sebuah penderitaan yang bersarang. Ya, mereka bersarang dalam kehidupanku. Aku memaksa lupa, tapi mereka terlalu kuat untuk hinggap di dalam jiwa. Aku memaksa mati, tapi hidup menarikku pergi. “Apakah aku layak dipanggil seorang ibu? Aku belum sempat mendengar suara tangisan mungil itu! Kami belum sempat saling tatap untuk pertama dan terakhir kalinya sebagai seorang ibu dan anak. Sembilan bulan lamanya kami selalu bersama! Di mana aku berada, di situlah dia berada. Di mana aku tertawa, di situlah dia. Di mana aku bersedih, kecewa, bahagia, di situlah dia! Bahkan, aku belum sempat membisikkan kata cinta di telinga mungilnya! Aku memang tidak pantas menjadi seorang ibu!”

9

TOLONG, TEMUI AKU DALAM MIMPI!

Christi Natalia Sitompul

Bukannya kutak cinta! Aku sudah berusaha menuju ke keabadian, tapi selalu gagal! Entah lah mengapa dalam hal ini aku selalu gagal. Aku melakukan segala usaha untuk menemuimu dalam keabadian. Namun, rasanya kekekalan menolakku hidup bersamamu! Aku ingin, tapi tak bisa dan itulah hal yang paling menyakitkan! “Aku tahu ini berat, tapi kamu harus terima! Kita tidak mungkin hidup dalam bayangbayang penyesalan! Ini semua sudah takdir! Jangan kamu menyalahi dirimu seperti ini terus-terusan!” Takdir? Oh, bisakah kata itu tidak perlu ada dalam kamus kehidupan? Bisakah aku memilih untuk bahagia bersamanya tanpa harus ada takdir perpisahan? Aaah! Aku sudah tahu jawaban untuk pertanyaan ini! Aku tahu pasti manusia tidak bisa menghilangkan takdir! Namun, aku juga tidak bisa menghilangkan rasa bersalahku sampai kapan pun! *** “Maaf ibu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan anak ibu. Namun, takdir berkehendak lain. Anak ibu tidak dapat diselamatkan.” Bayi mungilku tertidur dalam keabadian, membiru kaku dalam keheningan damai. Begitu tenang, seperti sudah siap untuk pergi meninggalkan dunia fana ini. Namun, kala itu, aku mengamuk pada waktu yang tak berperikemanusiaan! Waktu begitu sadis memisahkanku dengan bayi mungilku. Bahkan, ia tak memberiku kesempatan untuk merasakan bahagia menjadi seorang ibu! Ini adalah sebuah penantian panjang yang selama ini kutunggu-tunggu. Namun, semua dibayar dengan sebuah kehilangan yang menyakitkan. Lalu, salahkah bila aku memilih mati saja? Rindu ini menggerogotiku hingga ke sukma! Ia menyelonong masuk ke relung hati yang penuh penyesalan. Antara rindu dan penyesalan melahirkan sebuah penderitaan yang bersarang. Ya, mereka bersarang dalam kehidupanku. Aku memaksa lupa, tapi mereka terlalu kuat untuk hinggap di dalam jiwa. Aku memaksa mati, tapi hidup menarikku pergi. “Apakah aku layak dipanggil seorang ibu? Aku belum sempat mendengar suara tangisan mungil itu! Kami belum sempat saling tatap untuk pertama dan terakhir kalinya sebagai seorang ibu dan anak. Sembilan bulan lamanya kami selalu bersama! Di mana aku berada, di situlah dia berada. Di mana aku tertawa, di situlah dia. Di mana aku bersedih, kecewa, bahagia, di situlah dia! Bahkan, aku belum sempat membisikkan kata cinta di telinga mungilnya! Aku memang tidak pantas menjadi seorang ibu!”

10 TOLONG, TEMUI AKU DALAM MIMPI!

Christi Natalia Sitompul

Cara terbaik mengobati rasa bersalahku adalah menyalahi diri setiap hari. Ya, paling tidak itulah pengorbanan yang bisa kuberikan kepada anakku sebagai seorang ibu. Di saat ibu-ibu lain rela memberikan waktu, tenaga, bahkan nyawa untuk anaknya, aku justru harus merelakan anakku pergi untuk selamanya. Maka, sengaja kusiksa diriku untuk bisa menebusnya. *** “Istri Bapak mengalami preeklamsia. Jadi, harus rutin dicek ke dokter dan dijaga kondisi istrinya biar tidak gampang stres dan akhirnya tekanan darahnya tinggi lagi. Kalau begini terus, nanti bisa bahaya bagi calon bayi Bapak sendiri. Istri Bapak harus banyak istirahat di rumah. Kalau bisa, cuti kerja dulu sampai kondisi ibu dan calon bayi membaik ya!” Istirahat! Ya, mungkin kata itu sudah lama kukesampingkan selama 5 tahun terakhir. Kerjaku hanya kerja, kerja, dan kerja. Sampai-sampai aku lupa bahwa aku punya suami yang sudah lama mendambakan seorang anak. Ia merindukan kelak ada yang memanggilnya ayah saat ia pulang ke rumah. Namun, hatinya terlalu lembut seperti beledu. Ia tak sampai hati memintaku seorang anak. Suamiku tahu betul bahwa aku sedang mengejar karier. Ia tahu bahwa aku tak kan mungkin rela meninggalkan pekerjaanku hanya demi mengurus anak di rumah. Ia juga tahu bahwa obsesi terbesarku adalah naik pangkat, bukan punya anak. Maka, ia lebih memilih merindu dalam diam. Namun, lagi-lagi aku tak punya kuasa mengendalikan takdir. Tanpa diduga-duga, aku pun hamil. Ya, aku hamil anak dari suamiku yang selama ini dia nantikan. Tentu, ini adalah kabar baik yang terjawab dalam doa panjangnya. “Istirahatlah barang sejenak! Kamu perlu rileks. Pekerjaan membuatmu jadi tidak sehat. Ini bukan cuma soal kamu dan karier, tapi juga anak kita yang ada di dalam perut kamu!” Baru kali ini aku melihat suamiku meminta dengan sedikit memaksa, lebih tepatnya marah. Mungkin dia begitu khawatir pada kondisi bayiku, bukan diriku lagi. Aku memang keras kepala, lebih tepatnya mengangap diri bisa segala. Sampai-sampai aku lupa bahwa suamiku adalah pemimpin bagi keluargaku. Namun, tak jarang, aku memandangnya dengan sebelah mata. Mungkin karena aku merasa penghasilanku jauh lebih besar dibandingkan dirinya. Aku di atas angin. Aku terlena dengan segala pencapaian hidup. Aku lupa suami dan anakku kelak. Hingga akhirnya takdir mengambil alih. Ia menghardikku keras, begitu keras, sangat keras, sampai aku terperosok dalam belenggu penyesalan.

11 TOLONG, TEMUI AKU DALAM MIMPI!

Christi Natalia Sitompul

“Maaf ibu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan anak ibu. Namun, takdir berkehendak lain. Anak ibu tidak dapat diselamatkan.” Tolong, temui aku dalam mimpi. Aku ingin membisikkan maaf di telinga mungilmu yang belum sempat kuucapkan padamu. Setelah itu, aku akan kembali bangun dalam bayang-bayang penyesalan seumur hidupku! “Teruntuk anakku, maafkan ibu.”

12 TOLONG, TEMUI AKU DALAM MIMPI!

Christi Natalia Sitompul

2. Bulan dan Mentari oleh Alva G. F. Utomo

“Baik, kita tutup rapat kita pada sore hari ini. Kalian bisa langsung pulang saja, tidak perlu tunggu jam menunjukkan pukul 5. Lagipula ini hari Jumat, pulang saja lebih awal supaya kalian punya waktu istirahat di rumah lebih banyak dan mempersiapkan diri menyambut akhir pekan.” Iya, hari ini hari Jumat. Kebanyakan orang berhenti bekerja di hari Jumat dan mempersiapkan diri menyambut libur di akhir pekan, masa-masa yang paling dinantikan setiap minggunya. Entah itu hanya sekedar diisi dengan duduk santaisantai di rumah, atau mungkin berencana pergi bersama sahabat hanya untuk segelas kopi dingin, atau mungkin sudah ada yang merencanakan berbagai macam kegiatan kencan. Entahlah, aku bukan salah satu dari semua itu. Aku tak ada rencana apapun akhir pekan ini, aku hanya ingin istirahat lebih. Itu saja. Itu juga alasan mengapa aku menyuruh yang lain untuk pulang lebih awal juga, supaya ada waktu istirahat lebih. Ah, lupa. Aku belum mengenalkan diriku. Cukup kenal aku sebagai Fre. Umurku 26. Aku bekerja di salah satu firma hukum yang cukup besar di Indonesia. Lebih tepatnya aku yang mendirikan firma hukum tersebut. Dan aku belum memiliki pasang— ralat, aku tidak memiliki pasangan. Drtt… Drtt… Aku sibuk merogoh tas jinjingku, berusaha meraih ponsel yang bergetar berkali-kali sejak 30 detik yang lalu sambil menempelkan kartu untuk membuka pintu apartemenku. “Halo?” sapaku pada orang di seberang sana yang sudah jelas ku tahu siapa tanpa ku lihat nama yang muncul di layar ponselku. Iya, siapa lagi selain dia yang berani menghubungiku di akhir pekan ini. “Hai, Fre! Ada acara besok?” tanya orang tersebut yang sudah ku paham apa maksud dari pertanyaannya ini. Dia Al. Alvaro tepatnya. Sahabat laki-laki ku sejak SMA. Hanya dia yang masih berkomunikasi dengan ku sejak kelulusan beberapa tahun lalu. “Ada.” jawabku, menghindari perkataannya selanjutnya.

14 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

“Ah, aku tahu kau berbohong. Ayolah, ada film baru bagus lagi kali ini. Kau tahu hanya kau teman yang bisa kuajak pergi nonton bersama selama ini,” balasnya. “Minggu ini aku terlalu sibuk, besok mau beristirahat,” sahutku sambil menjepit ponsel ku dengan bahu dan kepala yang dimiringkan sambil melepas mantelku dan menggantungnya, “lagi pula aku masih punya beberapa pekerjaan yang perlu ku bereskan malam ini, jadi mungkin aku akan lembur malam ini dan besok tak mampu lagi kalau harus bepergian.” “Baiklah, butuh bantuan, kah? Atau mau ku bawakan makan malam? Daripada hanya sekedar memakan mi instan, sekalian aku sedang menuju restoran biasa untuk makan malam.” tanyanya peduli. Iya, dia sering datang ke apartemen ku layaknya tak punya tempat tinggal sendiri. Masak, makan, istirahat, semuanya di tempat ku. Tapi, ya itu semua sudah biasa. Bahkan kami bersama-sama memilih pekerjaan di kota ini karena kami memutuskannya bersama. Sedekat itu kami. “Terserah saja, kalau pun kau aku larang kau akan tetap datang, kan?” balasku malas meladeni dirinya karena apapun jawaban ku, ia akan menganggapnya sebagai angin lalu. Ia akan tetap melakukan apapun yang ia mau walau aku menolaknya. “Siap meluncur! Mungkin 1 jam lagi aku akan tiba, bersih-bersihlah dulu lalu nanti kita makan bersama.” Aku menganggukan kepala dan sambungan itu pun terputus. Ah, ingin sekali ku mendaratkan bokong ku di kursi kacang itu sambil menikmati matahari terbenam. Tapi, ah, orang itu. Dia membuatku jadi harus membereskan apartemen yang sudah seperti habis dijajah ini. *** Cause friends don't do the things we do Everybody knows you love me too Siapa yang bisa melakukan sesuatu tanpa lagu? Mungkin orang itu perlu ku beri penghargaan. Tanpa musik? Yang benar saja, bagaimana caranya bisa konsentrasi kalau hening?

15 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

Ya… aku membereskan seluruh apartemen ini sambil memutar lagu yang nyaring. Semoga saja tetangga ku tidak kapok dengan ku. Masih ada 20 menit, mungkin, sebelum dia datang. Masih sempat untukku membersihkan diri. *** “Jadi, apa saja sisa pekerjaanmu?” tanyanya sambil membuka bungkusan makanan yang ia beli. Iya, dia sudah datang, bahkan saat aku masih sibuk berkutat dengan segala skin care ku. Sepertinya aku perlu mengganti sandi apartemen ku lagi untuk kesekian kalinya. “Banyak. Sudahlah, tak perlu banyak tanya. Makan saja, nanti pekerjaan ku jadi tak ada yang selesai.” balasku kesal. Senang sekali dirinya melontarkan beribu-ribu pertanyaan yang sangat tidak penting. Daripada berakhir kerjaanku yang ikutan tak selesai seperti ocehannya, lebih baik memintanya diam saja. tiktik tiktik tik… Bunyi ketikan laptopku memenuhi seluruh apartemen. Sibuk membereskan segala pekerjaan yang tak habis-habis. Aku mengedarkan pandangan ku, merasa aneh. Bukannya tadi ada Alvaro? Tumben sekali dia tidak merecoki ku. Biasanya sepanjang waktu mulutnya tak berhenti mengoceh. Oh, di balkon ternyata, menduduki kursi kacang yang tak sempat ku duduki sore tadi. Sedikit kasian. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan ku dan tidak menghiraukannya sama sekali dan tanpa sadar kaki ku melangkah menuju balkon dan menghampirinya. “Sudah selesai?” tanyanya sambil pindah ke kursi kacang di sebelahnya setelah melihat ku menggeser kembali pintu balkon ku, bermaksud untuk aku duduk di tempat yang ia duduki sebelumnya. “Hampir, masih ada beberapa revisi yang perlu diselesaikan. Tapi, sepertinya bisa ku serahkan pada yang lain saja.” balas ku sambil memperbaiki posisi duduk ku dan memandangi langit kota yang gelap gulita. Entah kenapa tak ada satupun bintang malam ini.

16 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

Hanya bulan. Bulan purnama pula. Semua perhatian hanya tertuju pada bulan itu. Satu-satunya benda yang ada di langit saat ini. Satu-satunya hal yang menarik perhatian ku sejak saat masih di dalam. Hening. Aku tahu dia sedang memperhatikanku, sampai akhirnya ia mengalihkan pandangannya. Mungkin karena aku tak kunjung melepaskan pandangan ku dari bulan purnama malam ini. Jarang sekali soalnya. “Kenapa?” tanyaku, “sepertinya ada yang ingin kau tanyakan atau diskusikan. Tak jarang kau seperti ini, biasanya ribut sana sini dan membuat ku kesal.” sambungku sambil akhirnya memandang wajahnya di sebelah ku. Gantian. Sekarang dia yang memandang bulan purnama itu. “Bulan malam ini indah, bukan?” tanyanya sambil menunjuk bulan penuh itu. Aku mengernyitkan jidat ku, menatapnya bingung. Lebih bingungnya lagi, jarang sekali dia bersikap seperti ini. Bersikap, dramatis? “Iya, bulannya. Aku sedang tak mengigau sekarang.” ucapnya layaknya mengerti apa yang kupikirkan. Aku kembali melihat bulan itu dan mengangguk. Dia melirik ku. Tersenyum. Aku bisa melihat itu semua dengan ekor mata ku. “Iya. Saking indahnya, sepertinya kau tak paham maksud ku.” Aku kembali menatapnya. Kami terdiam cukup lama. Memandangi mata satu sama lain, yang tak pernah kami sadari nyatanya sejarang itu kami menatap satu sama lain sedalam ini. Aku bingung apa maksudnya. Aku bingung dengan dirinya. Aku bingung dengan suasana ini. Semuanya. Membingungkan. Dan aneh.

17 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

Cuaca yang dingin karena angin malam yang kencang tiba-tiba tak ada rasanya di kulit ku. Badan ku memanas, aneh rasanya. “Kau aneh.” ujarku sambil mengambil gelas teh di tangannya dan menyeruputnya. “Iya, tahu. Aku juga bingung.” balasnya sambil terkekeh sedikit. “Itu ada artinya?” tanya ku meliriknya. “Ucapanmu tadi,” sambung ku saat melihat kedua alisnya ia naikan. “Entahlah, tak perlu kau cari tahu sepertinya.” Hening. Lagi. Entah sudah ke berapa kalinya keheningan ini ada. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Tak pernah pertemuan kami diisi dengan keheningan. “Kau kenapa, sih?” tanyaku kesal, bingung dengan sikapnya malam ini. Apa aku ada berbuat salah? Atau memang dianya saja yang sedang kerasukan roh aneh? “Tidak ada apa-apa. Mungkin aku saja yang terlalu pengecut atau kau yang memang tak peka.” “Hah?” semakin bingung aku dibuatnya. “Roh apa sih yang merasuki dirimu?” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan badannya. Semoga saja roh aneh itu cepat keluar. “Betul ternyata, aku yang terlalu takut dan kau yang terlalu tidak peka." Ah, aku lupa. Memang orang ini aneh, entah apapun perlakuannya, pasti saja aneh. Hanya saja malam ini anehnya berbeda. Mungkin roh kali ini masih amatir. “Sudah malam, sepertinya kau sudah sangat lelah. Istirahatlah, aku akan pulang. Lanjutkan saja pekerjaanmu besok pagi jika memang masih perlu.” ujarnya memecahkan suasana yang aneh ini sambil beranjak berdiri, mengangkut gelas teh yang ada di meja kecil, dan mulai melangkah masuk ke dalam. Aku mendengarnya. Tapi, pikiran ku masih kalut tak mengerti apa maksud semua ini. Anehnya lagi, mengapa aku memikirkannya? Bukannya memang anak itu hobi sekali melantur sana-sini? Mengapa aku harus sibuk memikirkan maksud segala perkataannya? 18 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

“Kau benar tak apa-apa, Al?” tanyaku sambil akhirnya masuk kembali ke apartemen sambil berdiri memperhatikan dirinya membereskan sisa makanan kami tadi. “Hah? Tumben sekali kau bertanya seperti itu?” balasnya. “Kau aneh.” “Bukannya kau sendiri memang mengatakan aku aneh?” ejeknya. “Tapi, malam ini beda.” ketus ku. “Mana ada aneh yang beda, aneh ya aneh, Fre.” Aku terkekeh. “Baiklah, kalau begitu aku pamit. Jangan terlalu larut beristirahat, Fre.” ujarnya sambil mulai berjalan ke pintu. Aku mengangguk dan mengantarnya keluar hingga pandangan kami terputus sesaat ia memasuki lift. *** Aku menghempaskan tubuhku di kasur. Bulan tadi masih bersinar terang, lebih terang bahkan. Jam menunjukan pukul 10 malam. Dalam otak ku, masih terngiang-ngiang kalimat yang diucapkan Al tadi. “Bulannya indah?” gumamku. Entah apa yang terjadi dalam pikiran ku malam itu, yang pasti aku jatuh tertidur dengan pandangan yang tak lepas dari bulan purnama itu. *** Tuk tuk tuk… Tuk tuk tuk… Pagi hariku diisi dengan pisau dan talenan yang saling bercengkrama. Tak ada rencana apa-apa hari ini, mungkin Sabtu pagi ini akan ku habiskan dengan selonjoran di sofa sambil menikmati salad ini.

19 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

Bagai bulan dan mentari Silih berganti, tak kan berhenti mengiringi “Bulan?” pikirku dalam hati. Deja vu rasanya. Drtt… Drtt… Astaga, dia lagi? Ini baru pukul 9 pagi! Ya, Tuhan! “Pagi, Fre,” ujarnya cepat, tahu bahwa aku akan mengomelinya, “aku tahu kau sedang ingin memaki ku saat ini. Tapi, ada hal penting yang ingin aku bicarakan.” “Apa memangnya? Sepenting apa sampai-sampai kau menghubungi ku sepagi ini. Biasanya juga kau baru bangun 1 atau 2 jam lagi.” “Adalah, intinya penting saja. Kau benar tidak ada kegiatan kan malam ini? Kalau iya, aku tunggu kau di kafe biasa. Jam 7. Bisa tidak?” “Huh, baiklah, bisa-bisa.” balasku sudah malas. “Yey! Ok, sampai jumpa, Fre!” ucapnya bersemangat, entah mengapa. *** Tik tik tik Pukul 6. Aku berencana pergi lebih awal sedikit, berencana ke toko buku, mencari buku—apa saja, yang bisa dibaca. 2 lemari penuh sudah selesai ku jelajahi, aku butuh lebih banyak buku lagi. Ting! Pintu lift terbuka, memintaku melangkah keluar menuju pintu utama apartemen. Toko buku langgananku tak terlalu jauh, hanya 5 menit dari sini.

20 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

Kring! Tanda orang masuk. Aku menutup pintu toko buku itu dan mulai menjelajahi satu per satu lorong buku yang ada. Fiksi. Non-fiksi. Buku sekolah. Komik. Buku masak. Tak ada yang menarik, sampai.. Bulan: The Other Way to Say … Pandanganku terpaku pada satu buku biru yang diisi bulan di tengah-tengahnya, dengan judul yang tak cukup besar, tapi nampak jelas dari tempat ku berdiri. “Bulan?” pikirku, merasa deja vu. Lagi. Ada apa dengan hari ini? Ada apa dengan bulan? Mengapa semuanya jadi terasa aneh? Tangan ku meraih buku itu. Masih terbungkus, tak bisa ke telaah apa isinya. Dibaliknya pun hanya tertulis, “Bulan, objek langit yang indah. Dan objek cinta yang …” “Apa-apaan, sih, ini? Cinta? Yang benar saja! apa hubungannya cinta dan bulan?” pikirku. Hendak ku kembalikan buku itu ke habitatnya, tapi entah mengapa otakku sangat penasaran dengan isi buku itu. Ada apa dengan bulan? Apa yang spesial dari bulan? Dan yang paling penting, apa hubungannya dengan cinta? Jam tanganku menunjukan angka 6.20, aku tak punya banyak waktu untuk berpikir. Jarak dari toko buku ke kafe itu lumayan. “Ah, sudahlah,” gumamku sambil berjalan ke kasir, membayar buku bulan tersebut. *** “Sial! Telat 5 menit!” Kalau saja bukan karena ketinggalan kereta, harusnya aku sudah tiba dari 10 menit yang lalu.

21 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

“Maaf, telat.” ucapku menarik kursi di depannya. Iya, Alvaro. Nampaknya dia sudah menunggu lama. Ia terkekeh, “tumben? Tak biasanya kau telat?” “Ketinggalan kereta karena terlalu sibuk memilih buku di toko buku.” “Lagi? Beli buku lagi? Bukannya minggu lalu baru saja kau kutemani ke toko buku itu?” tanyanya kaget. “Iya, buku itu sudah habis! Aku menghabiskan buku itu hanya 3 hari. Aku butuh lebih banyak buku.” “Dan lebih banyak lemari sepertinya,” ia mengejekku. Aku terkekeh. “Sudah pesan?” “Sudah, seperti biasa.” ”Baiklah, terima kasih.” Hening. Lagi. Tak biasanya seperti ini. Di luar, ada bulan lagi. Bulan sabit, tapi. Bagus sekali. Ujung-ujungnya lancip. Bedanya, kali ini ia tak sendirian, ada banyak bintang di sekitarnya. Benar-benar indah. Bukan hanya bulannya, tapi seluruh langit. “Hari ini bulannya beda, tapi tak kalah indah dengan yang kemarin.” tuturnya. Aku beralih pandang kepadanya, “ada apa, sih, dengan bulan?” Hening lagi. Ia tersenyum. “Ku kira kau akan mencari tahu artinya tadi malam.” Tak sempat aku menjawab, tiba-tiba seorang perempuan menghampiri meja kami, meletakan segala makanan yang sudah di pesan. “Makanlah,” ujarnya setelah perempuan itu pergi sambil menata ulang segala pesanan yang diletakan di meja kami.

22 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

Kami makan dengan hening. Bingung sekali, mengapa keheningan itu terus melanda? Benar-benar aneh. Tak pernah kami berada dalam keheningan yang tak jelas ini. Biasanya pasti ada saja ocehan tak jelas dari dirinya, tapi mengapa ia hanya diam? Katanya ada yang ingin dibicarakan, apa? “Apa yang ingin kau bicarakan, Al? tanyaku tak tahan dengan keheningan yang ada di saat meja-meja lain penuh dengan perbincangan. “Tentang bulan,” ucapnya menggantung, “bulan malam kemarin dan malam ini indah, sama seperti kau.” “Kau sedang menggombali ku, kah?” balasku. “Bulan itu indah, artinya aku menyukaimu, Frea.” Hening, 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. “The moon is beautiful, isn’t it?” lanjutnya. “Bodoh! Mengapa aku tak sadar, sih? Aku pernah melihat frasa ini, entah di mana,” batin ku sibuk memaki diri ku sendiri. “Kau menyukaiku?” tanya ku memastikan artinya. Ia mengangguk, “akhirnya kau paham, Fre.” “Baiklah, terus? Kau ingin berpacaran?” “Kau terlalu frontal!” “Ya, aku tak tahu harus merespon apa. Jadi, ku tanya langsung saja.” “Memangnya kau menyukai ku juga, Fre?” Diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku menyukainya, tapi sebagai sahabat. Bukan suka untuk dijadikan seorang pasangan. Lagipula kalau pun aku menyukainya bukan hanya sekedar sebagai sahabat, aku tetap tak ingin menjadikannya pacar. Aku berencana tak menikah. Untuk apa hubungan yang ujungnya bukan pernikahan, bukan?

23 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

“Sepertinya tidak, ya?” lanjutnya setelah melihat ku lama menjawab. “Hanya sebagai teman, Al.” Ia mengangguk, “baiklah, kalau begitu aku akan tetap menjadi sahabatmu saja.” “Kau yakin? Kau sedang tidak sedang ingin menyakiti dirimu sendiri, kan?” “Mengapa memangnya? Bukannya dari dulu kita sudah bersahabat?” “Iya, tapi kemarin kau belum mengutarakan perasaan mu. Jadi, keadaannya tidak aneh.” ”Tenanglah, Fre. Aku akan tetap menjadi sahabatmu saja. Bayangkan, kalau tak ada aku, siapa temanmu nanti?” Ia terkekeh, mengejek. Sepertinya suasana “normal” yang ku nantikan sejak tadi malam sudah kembali., “kurang ajar!” balasku. “Tapi, sama dengan ku, aku akan tetap memperlakukan mu seperti seorang sahabat, sama seperti kemarin-kemarin. Apa kau benar akan tak masalah dengan semua itu? Aku takutnya kau jadi semakin berharap dengan ku dan malah makin berusaha untuk mendekati ku.” “Anggap saja hari ini tak ada, Fre. Anggap saja pembicaraan malam ini hanya angin lalu.” Aku mengangguk. Semua itu adalah keputusannya. Apa yang ia lakukan terhadap ku, tak bisa ku ubah. Sekarang hanya tentang bagaimana aku meresponnya. *** Omong kosong! Semua itu omong kosong! 2 minggu sudah sejak pertemuan malam itu. 2 minggu sudah setelah ia mengutarakan perasaannya. Dan 2 minggu sudah dia tidak menghubungi ku sama sekali. Bahkan pesan ku hanya dibalas sesekali. Kemana dia? Katanya tetap bersahabat? Lantas mengapa menghilang? 2 minggu ini hidupku berantakan! Aku menganggapnya hanya sebagai sahabat, tapi mengapa aku sangat merasa kehilangan? Aku butuh dia, tapi hanya sebatas sahabat, salahkah? Atau ternyata selama ini aku mencintainya lebih dari sekedar sahabat juga? ***

24 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

Alvaro’s POV 2 minggu sudah aku tak menghiraukan dia. Dia yang ku cintai lebih dari sebagai sahabat, tapi hanya menganggapku sebatas sahabat. Ingin sekali dekat dengannya, mengajaknya pergi nonton bersama, mendatangi apartemennya entah itu hanya sekedar untuk merecoki dirinya yang sedang bersantai, atau hal-hal lainnya yang sering kami lakukan bersama sebelum fenomena itu. Iya, fenomena bulan. Sebenarnya tak ada salahnya aku mendatangi dirinya dan tetap menjadi sahabatnya, tapi tanpa sadar itu semua hanya akan menyakiti diri ku sendiri. Aku memperlakukannya sebagai sosok wanita yang aku cintai sepenuh hati dan ia memperlakukan ku hanya sebagai sahabat SMA-nya. Ironis, tapi itu nyatanya. Semua ini akan tetap seperti semula kalau saja aku tak mengutarakan perasaan bodoh itu. Entah apa yang ada di pikiran ku sampai-sampai aku melakukan pengakuan itu. Padahal paham betul kalau ia tak pernah tertarik dalam percintaan. Pada dasarnya, bulan dan mentari tak akan pernah bertemu, bahkan bersatu. Ia, Frea, bagaikan mentari yang selalu menyinari hari dan aku bulan yang selalu menghiasi malam. Silih berganti mengisi langit, tak pernah bertemu.

25 Bulan dan Mentari

Alva G. F. Utomo

3. Jatuh oleh Angeline L. Han

“Sellyn… Sellyn? Sellyn Dellani!” Detektif muda itu memanggil nama gadis yang hanya membisu di hadapannya berkali-kali. “Tolong kerjasamanya, jika kau terus tidak mau membuka mulut maka kasus ini tidak akan selesai dan hukumanmu bisa lebih berat” Detektif itu mulai kehilangan kesabarannya. Kesunyian pun kembali memenuhi ruangan tersebut. Gadis muda yang terlihat lusuh dengan banyak memar mewarnai wajahnya duduk di tengah ruangan dingin itu. ia hanya diam dengan tatapan kosong, masih berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Tiba-tiba detektif itu berdiri dan membanting berkas-berkas yang ia pegang ke meja. “Aku akan kembali lagi nanti, dan saat aku kembali, aku mengharapkan jawaban yang jelas dari mulutmu” Detektif itu pun keluar dari ruangan itu sambil memegang kepalanya yang mulai pening. “Dia mati… Dia sudah mati…” Tubuh Sellyn mulai bergetar saat kalimat itu muncul di benaknya. “Tidak.. Seharusnya bukan ini yang terjadi..!” *** Hari itu adalah hari yang cerah. Cahaya kekuningan yang berpadu dengan birunya langit biru menyambut para murid yang akan kembali masuk ke sekolah. Anak-anak muda itu tersenyum, berpamitan dengan orang tua yang mengantar mereka, lalu dengan langkah bersemangat berjalan menuju gerbang sekolah. Sellyn juga begitu. Gadis dengan penampilan rapi dan ceria itu mencium dahi adik bayi yang digendong oleh ibunya sebelum masuk ke dalam gerbang sekolah. “Baik-baik di sekolah ya kak. Semangat sekolahnya, semoga kamu betah ya” Ucap sang ibu saat punggung Sellyn menjauh dari pandangannya. “Siap Ma!” Ucap Sellyn tanpa menoleh kebelakang, melainkan hanya mengacungkan jempolnya dengan tinggi sehingga ibunya itu bisa melihat. Sellyn masuk ke dalam ruang guru dan mencari wali kelas barunya.

28 Jatuh

Angeline L. Han

“Permisi, Selamat pagi Bu, saya mau cari Bu Deva ada ga ya? Saya anak baru disini soalnya” Ucap Sellyn sopan kepada guru yang ia temui persis setelah ia membuka pintu ruang guru. “Oh kamu Sellyn Dellani? Anak yang dapet beasiswa penuh kan?” “Iya betul Bu” “Saya wali kelas kamu. Yaudah yuk langsung ke kelas aja ya. Sekalian pelajaran saya sudah mau dimulai juga” Bu Deva mengantar Sellyn ke kelasnya dan langsung memperkenalkan Sellyn ke anakanak lain. Namun sejak Sellyn masuk, ada sepasang mata yang terus memperhatikannya dari bawah kaki hingga atas kepala. Sellyn yang tidak menyadari hal tersebut, hanya tersenyum hangat kepada teman-teman barunya itu. “Sellyn, kamu bisa duduk disana, di depan Sonya” Bu Deva menunjuk tempat duduk yang kosong di depan seorang gadis yang cukup cantik. Awalnya Sellyn merasa kagum dan sedikit bersemangat saat melihat gadis yang akan duduk di belakangnya itu. Ia sudah membayangkan dan merangkai kata-kata yang akan ia gunakan untuk memperkenalkan dirinya pada gadis itu. “Dia cantik dan terlihat pintar, aku harap dia mau berteman denganku” Benak Sellyn berbisik dengan berseri. “Hai, salam kenal ya” ucap Sellyn sambil melambaikan tangannya pada gadis bernama Sonya itu. Gadis itu hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Sellyn barusan. Sellyn duduk di depannya dan berharap ia akan mendapat respon lebih nanti saat istirahat dimana mereka bisa berbincang lebih jauh. Jam pelajaran pun selesai. Sellyn hendak mengajak makan Sonya namun baru ia berbalik menghadap meja di belakangnya, gadis yang dicarinya sudah bangkit dan pergi dengan teman-temannya. Sellyn pun memutuskan untuk makan sendiri di kelas. Sellyn berpikir keras, berusaha mencari alasan dari respon minim Sonya terhadapnya. Namun seberapa keras pun ia berpikir, ia tidak dapat menemukan jawabannya.

29 Jatuh

Angeline L. Han

Setelah itu pun Sellyn terus berusaha berteman dengan Sonya, namun Sonya tetap tidak menggubrisnya. Sellyn sering kesal dengan respon Sonya karena seakan-akan Sonya mengabaikan keberadaannya. Meski begitu ia juga tetap berusaha berpikir positif. Bahkan awalnya ia sempat senang saat salah satu guru mereka menempatkannya di dalam kelompok yang sama dengan Sonya dan teman-temannya. Ia pikir bahwa mungkin dengan mereka bisa sedikit lebih dekat jika harus bekerja dalam kelompok yang sama. Namun semua hal itu hanya ada dalam khayalannya. Begitu mereka mulai kerja kelompok, sifat asli Sonya semakin terlihat. Awalnya Sellyn senang karena Sonya memulai pembicaraan terlebih dahulu. Namun Sellyn lama kelamaan menyadari bahwa Sonya hanya memanipulasi dan memanfaatkannya. “Sellyn~ Laporan praktikum kita sudah selesai? Maaf ya, aku sibuk banget jadi tidak sempat membantumu. Oh iya, untuk tugas bahasa, sepertinya aku juga tidak bisa membantu, kau tahu kan otakku tidak sepintar otakmu? Aku takut jika aku membantumu, aku justru akan merusak tugas kita. Tenang, aku dan yang lain akan membantumu lain kali” Ucap Sonya dengan mulut manisnya. Mulanya Sellyn percaya dan tidak keberatan dengan tingkah Sonya, namun lama kelamaan kesabaran Sellyn mulai habis. Sonya dan teman-temannya selalu bermainmain dan janjinya? Janji itu hanya bualan manis untuk memperpanjang sumbu Sellyn yang hampir terbakar habis. Nyatanya, Sonya tidak pernah mengerjakan satupun bagian tugasnya dan hanya memamerkan hasil kerja Sellyn yang ia sebut-sebut sebagai hasil dari kerja kerasnya. Kesabaran Sellyn habis, ia pun memberitahu kepada guru bahwa Sonya tidak pernah mengerjakan bagiannya dan jika Selly protes, Sonya selalu mengeluarkan janji manis yang tidak pernah ia tepati itu. Sonya dan teman-temannya pun dipanggil oleh guru dan hal ini tentu tidak membuat mereka senang. “Sellyn!” Teriak Sonya begitu ia dan teman-temannya masuk ke kelas. Sonya dengan teman-temannya yang terus mengikutinya seperti anak-anak bebek itu pun menghampiri Sellyn. Mereka menarik Sellyn dari tempat duduknya dan membawanya ke tempat yang lebih sepi. “Apa yang kau bicarakan pada Bu Deva?! Omong kosong apa yang keluar dari mulutmu?” Bentak Sonya pada Sellyn. “Aku hanya mengatakan faktanya. Kau dan teman-temanmu ini tidak pernah sekalipun membantuku, kalian hanya menumpang nama kan?”

30 Jatuh

Angeline L. Han

“Kau harusnya sadar diri, memang ini tugasmu kan? Kau anak rendahan yang menumpang di sekolah ini, berani-beraninya kau membuat masalah? Kami masih baik mau menerimamu masuk ke dalam kelompok kami dan kau berharap kami membantumu mengerjakan tugas?? Sadar diri bodoh! Kau bisa sekolah juga dari uang sumbangan orang tua kami, jadi bukankah seharusnya sudah tugasmu untuk membantu tugas kami?” “Apa?” Mulai hari itu, Sonya dan teman-temannya menunjukkan wujud asli mereka pada Sellyn. Sonya merupakan anak yang dikagumi oleh banyak orang dan tidak ada satupun yang berani melawan Sonya. Teman-teman lain mulai menjauhi Sellyn. Walaupun sebelumnya memang tidak banyak yang memperhatikan keberadaan Sellyn, sekarang semuanya memburuk. Mereka mulai tahu keberadaan Sellyn, namun melihatnya sebagai manusia rendahan. Sonya bahkan mulai memperlakukan Sellyn seperti pelayan pribadinya dan jika Sellyn berani membantah, maka Sonya akan berlaku lebih parah lagi. Awalnya hanya kata-kata kasar dan perintah-perintah normal yang dilontarkan pada Sellyn. Namun lama kelamaan, perintah-perintah yang diberikan Sonya mulai tidak masuk akal. Contohnya Sonya pernah menyuruh Sellyn mengambil soal ujian di ruang guru dan membagikannya ke anak-anak di kelas mereka sehari sebelum ujian. Hal itu ketahuan dan Sellyn mendapat masalah besar. Namun melihat itu, justru Sonya seperti terhibur dan makin menjadi-jadi. Tidak butuh waktu lama, penderitaan Sellyn menjadi semacam hiburan bagi Sonya dan teman-teman lainnya. Jika Sellyn hendak buka mulut atau melawan, maka Sonya sudha tidak segan untuk bermain kasar. Sellyn sudah pernah mencoba melawan Sonya dan yang ia hasilkan hanya memar dan luka-luka disekujur tubuhnya. Sonya merupakan orang yang tidak bisa ia lawan. Sonya anak pemilik perusahaan besar sekaligus sponsor dari sekolah mereka. Bahkan kemarin setelah Sonya dan teman-temannya dipanggil oleh Bu Deva, wali kelas mereka itu tidak masuk selama beberapa hari dan saat kembali pun, ia terlihat sangat hormat dan takut pada Sonya. Sonya bisa dengan mudah meminta ayahnya menarik beasiswa Sellyn dan tentunya itu adalah ketakutan terbesar Sellyn. Ayahnya sudah tidak ada, ibunya sakit-sakitan, tapi tetap bekerja mati-matian dan masih harus menjaga adiknya yang baru berumur 2 setengah tahun. Hanya ia satu-satunya harapan keluarganya. Mereka hanya bisa berharap Sellyn bisa lulus dan mendapat pekerjaan yang layak sehingga bisa menghasilkan uang untuk menghidupi keluarganya. Jika beasiswa itu dicabut, Sellyn tidak akan bisa sekolah dan sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil tanpa ijazah SMA.

31 Jatuh

Angeline L. Han

Akhirnya Sellyn tidak punya pilihan lain selain diam dan menelan semua kepahitan itu. Saat ia pulang dengan keadaan babak belur pun, ia hanya tersenyum pada ibunya dan adiknya, mengatakan bahwa ia tidak sengaja terjatuh. Ibu Sellyn lama kelamaan pun menyadari perubahan sikap Sellyn. Sellyn tidak seceria dulu saat baru masuk sekolah. Ia lebih sering diam dan senyuman yang ia berikan tidak terlihat setulus dulu. *** Pagi ini, berbeda dengan hari-hari lainnya, Sellyn berangkat sendiri ke sekolah. Biasanya Ibu dan adik kesayangannya akan menemaninya berjalan menuju ke sekolah, namun hari ini adiknya demam sehingga ibu Sellyn pun harus menjaganya di rumah. “Maaf ya sayang mama jadi tidak bisa mengantar kamu ke sekolah. Mama janji setelah adikmu pulih, mama akan menemanimu lagi” Ucap Ibu Sellyn sambil mengelus pucuk kepala Sellyn lembut. “Tidak apa-apa Ma, aku kan juga sudah bilang berkali-kali kalau aku bisa pergi sendiri, mama hanya akan tambah kelelahan jika harus mengantarku setiap pagi.” Sellyn masih sibuk membereskan barang-barangnya. Sang Ibunya pun hanya bisa tersenyum mendengar perkataan anaknya. “Aku berangkat dulu ya Ma” “Iya sayang, hati-hati di jalan” Sellyn pun berangkat. Ia melangkahkan kakinya menembus keramaian di pagi yang sibuk itu. Begitulah kesehariannya, ia harus bangun 3 jam lebih awal daripada anakanak lain karena harus berjalan kaki dari rumahnya ke sekolah yang jaraknya tidak dekat. Namun lagi-lagi berbeda dengan hari biasanya, Sellyn kali ini tidak melangkahkan kakinya ke jalan yang biasa ia tempuh untuk ke sekolah. Ia masuk ke salah satu angkutan umum, lalu duduk diam tanpa tahu kemana kendaraan itu akan membawanya pergi. Selama perjalanan, Sellyn hanya menatap kosong keluar jendela kecil. Kepalanya penuh diisi oleh kejadian-kejadian tidak menyenangkan yang sudah ia lalui hampir 1 tahun sekarang. Saat melihat sebuah taman, ia pun meminta kendaraan itu untuk berhenti dan ia pun turun setelah membayar ongkos angkutan umum tersebut.

32 Jatuh

Angeline L. Han

Sellyn pun pulang dengan keadaan hati yang lebih ringan dan tenang. Ia kembali mendapat sedikit semangat untuk menjalankan hari-harinya. Berbeda dengan Sellyn, Sonya sepenuhnya khawatir karena Sellyn hari ini tidak masuk sekolah. Tentu saja bukan karena ia takut sesuatu terjadi pada Sellyn, melainkan takut Sellyn akan buka mulut ke orang-orang lain yang mungkin memiliki kuasa atau pengaruh. Meskipun ia tahu ayahnya pasti akan membantunya, namun ia tetap takut bahwa Sellyn akan membocorkan perilakunya dan menjelekkan namanya. Selain Sonya, Ibu Sellyn pun sangat khawatir akan keberadaan anaknya. Biasanya Sellyn sudah pulang dari jam 4 sore, namun sekarang sudah jam 6 dan Sellyn belum kunjung terlihat. Dengan khawatir, Sang Ibu menunggu anaknya di rumah, hingga akhirnya ia memilih untuk keluar dan mencari Sellyn di sekolah. Baru beberapa langkah sang ibu berjalan, seorang gadis sudah berlari ke arahnya. “Ma!” Gadis itu berteriak sambil melambaikan tangan ke ibunya. Sellyn menghampiri ibunya dan langsung memeluknya. Ibunya pun lega melihat anaknya akhirnya kembali. “Kemana saja sih kamu?? Mama sangat khawatir. Takut kalau ada sesuatu yang terjadi padamu” Ucap Ibunya Sellyn sedikit mengomeli anaknya itu. “Sellyn baik-baik aja kok Ma. Mama ngapain di luar, adek gimana??” “Adek udah tidur di kamar” “Yaudah, kita masuk juga yuk” Sellyn pun menarik tangan ibunya masuk ke dalam rumah. Malam itu Sellyn menatap adik dan ibunya dengan penuh arti. Entah kenapa, namun ia tahu hatinya sudah lebih tenang. Ia merasa bahwa ia dapat kekuatan baru untuk menjalani hari-harinya karena ibu dan adiknya ada disampingnya sebagai alasan ia berjuang. *** Keesokkan harinya, Sellyn mengumpulkan seluruh semangatnya sebelum beranjak ke sekolah.

33 Jatuh

Angeline L. Han

“Sellyn, makananmu nak. Mama hari ini bikin spesial masakan kesukaanmu. Dimakan ya nanti” Ibu Sellyn mengulurkan sekotak bekal kepada Sellyn. “Makasih Ma, Sellyn berangkat dulu ya” “Hati-hati sayang” Sellyn berjalan mundur sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Tentunya dengan senyum penuh arti di wajahnya. Namun senyuman itu tidak bertahan lama. *** “Dimana kau kemarin??! Kenapa kau tidak masuk sekolah?! Apa kau berpikir untuk macam-macam denganku?!” Bentak Sonya. Sonya langsung menarik Sellyn ke tempat sepi, dimana biasanya sonya melakukan hal-hal tak terpuji pada Sellyn, atap sekolah. “A-aku..” “Terus apa ini yang kau bawa??” tanya Sonya lalu mengambil paksa tas makanan milik Sellyn dan membuka isinya. “Wow, sepertinya enak. Tapi lebih enak lagi kalau…seperti ini” ucap Sonya langsung menuang makanan miliki Sellyn ke lantai. Kali ini gejolak emosi dalam tubuh Sellyn tidak dapat lagi ia tahan. Ia marah dan tidak terima kerja keras ibunya dibuang begitu saja. Sellyn merebut tempat makanannya yang sudah kosong itu dan melemparnya ke lantai. “Kenapa? Kau marah makanan murahan mu ini ku buang?” Tanya Sonya tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Itu hasil kerja keras Mamaku! Apa kau tahu bagaimana usahanya untuk membuatkanku makanan itu?!” “Ohya? Siapa yang bekerja keras hanya untuk membuat nasi dan ayam seperti ini? Apa kau yakin Mama kesayanganmu itu benar-benar bekerja keras? Kalau dia bekerja keras seharusnya makanan yang ada di tempat makananmu ini setidaknya ikan salmon atau minimal daging sapi??”

34 Jatuh

Angeline L. Han

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sonya. Sonya pun terkejut melihat perlakuan yang barusan ia dapatkan. “Kau sudah berani denganku? Sebenarnya apa yang kau lakukan kemarin sampai kau berani melakukan ini padaku?” Ucap Sonya sambil mencekik leher Sellyn dengan sekuat tenaganya. Sellyn sekuat tenaga berusaha untuk melepaskan cengkraman Sonya, namun tidak bisa. Sonya terus mendorongnya ke arah tembok. Begitu dirinya terpojok di tembok oleh Sonya, ia langsung mengayunkan kepalanya hingga membentur kepala Sonya yang membuat cengkraman Sonya pada lehernya pun lepas. Sonya meringis kesakitan sambil memegang kepalanya. Sellyn pun mengambil kesempatan itu. ia melihat ke sekeliling dan melihat sebuah kayu yang cukup panjang. Ia pun mengambil kayu itu dan memukul Sonya dengan itu. Hal yang ia tidak duga, kayu itu patah menjadi dua dan kepala Sonya mengeluarkan sedikit darah. Sellyn pun segera meletakkan kayu itu dan berniat melarikan diri. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, rambutnya ditarik. Sonya mengambil kayu yang sudah patah itu, dengan ujung yang tidak berbentuk dan cukup tajam karena patahannya, Sonya mengayunkan kayu itu. Sellyn mencoba menghindar, namun akhirnya wajahnya tetap tergores oleh kayu itu. “Kau kira kau siapa bisa melakukan hal ini padaku, dasar gadis miskin!! Ayahmu mungkin memilih untuk pergi karena tidak mau mengurus anak sepertimu!!” Detik itu juga, amarah Sellyn sampai pada puncaknya. Sellyn mencengkram kerah Sonya dan menariknya keras. “Jangan berani menyebut orang tua ku dengan mulut kotormu itu” Sonya tidak mau kalah, ia kali ini memukul wajah Sellyn dan begitu Sellyn lengah, ia kembali mencekik leher Sellyn dan kali ini mendorongnya menuju pinggir dari atap itu. “Aku selalu melakukan apa yang aku mau, dan manusia rendahan sepertimu tidak pantas untuk memberitahuku apa yang harus aku lakukan” Ucap Sonya lalu mempererat cengkramannya.

35 Jatuh

Angeline L. Han

Tubuh Sellyn sudah bersandar pada tembok pembatas dari ujung atap itu. Cengkraman Sonya yang begitu kuat mulai membuat Sellyn sulit untuk bernafas. Mukanya mulai memerah berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Melihat wajah Sonya, ia tidak ingin kalah, dengan tenaganya yang tersisa, ia pun mendorong dan membalikkan posisi mereka. Namun dorongan Sellyn terlalu kuat. Begitu posisi mereka berbalik, tubuh Sonya terdorong melewati pembatas dan akhirnya jatuh. Melihat kejadian itu, kaki Sellyn melemas dan langkahnya mulai gemetar. Ia maju dan melihat kebawah, mendapati tubuh Sonya yang sudah tergeletak penuh darah. Ia pun melangkah mundur. Pikirannya kacau dan masih sangat terkejut dengan kejadian yang baru ia alami. *** “Sellyn.. Bagaimana? Apa kau sudah ingin bicara??” Gadis itu tetap menunduk. “Baiklah jika kau memang tidak ingin bicara” Sellyn memegang dadanya dan memukulnya pelan. Dadanya terasa sesak dan nyeri. “Orang tuamu seharusnya sudah datang sebentar lagi” Sellyn langsung tersentak, ia tidak bisa membayangkan apa yang akan ibunya katakan. “Tolong jangan biarkan dia menemuiku..” Ucap Sellyn pelan. “Sekarang kau bisa bicara? Hah.. baiklah” Petugas pun masuk dan mengawal Sellyn ke sel sementara. Namun di perjalanan, sellyn mendengar suara ibunya. menangis dan mencoba menjelaskan kepada petugas yang mungkin tidak tahu apa-apa soal kasus ini. “Pak tolong Pak.. Anak saya tidak mungkin melakukan hal seperti itu.. Dia pasti hanya sedang membela diri.. Bapak lihat memar-memar di tubuh anak saya? Semua itu ulah korban yang kalian semua kasihani itu!! Apakah kalian tahu betapa menderitanya anakku karena gadis itu?? Dia bahkan tidak bisa menceritakannya pada saya dan hanya bisa menyimpannya sendiri!!”

36 Jatuh

Angeline L. Han

Hati Sellyn sangat pilu, seribu pisau seakan menusuk hatinya dari berbagai arah. Melihat ibunya yang menggendong adiknya menangis dan memohon karenanya di depan banyak orang. Ia merasa gagal menjadi seorang anak. Seluruh tekad dan keinginannya untuk membuat ibu dan adiknya bahagia pun runtuh begitu saja. Ia merasa ia malah menambah penderitaan ibunya. Air matanya satu persatu pun lolos. “Pak..Saya akan bicara..” Ucap Sellyn ragu. *** “Jadi yang kau maksud adalah kalian bertengkar di atap lalu dia mencekik lehermu. Kau mendorongnya hingga jatuh sebagai bentuk membela diri.. begitu?” Sellyn diam sejenak. “Tidak..Sepertinya aku sengaja melakukan itu. Karena marah, karena aku membencinya…Selama ini aku berusaha bertahan.. Namun entah kenapa saat itu aku tidak bisa menahannya.. Awalnya kupikir aku tidak berniat melakukan itu, namun… sepertinya tidak begitu. Aku bisa saja melakukan cara lain untuk membela diri, tapi tubuhku memilih untuk mendorongnya. Aku berharap dia mati dan tidak mengganggu hidupku lagi..” Tepat saat selesai mengeluarkan kata-kata tersebut, rasa nyeri menyeruak dari dadanya. Dadanya terasa sangat sesak. Ia pun meringis kesakitan sambil memukul dadanya beberapa kali. “Sellyn apa kau baik-baik saja?” Wajah Sellyn memucat. Ia memukul dadanya lebih keras, berharap rasa sakit itu bisa segera hilang, namun hasilnya nihil. Pandangannya mulai memudar dan dalam hitungan detik tubuhnya sudah terjatuh ke lantai. *** “Jadi apa yang terjadi padanya?”

37 Jatuh

Angeline L. Han

“Dari gejalanya, sepertinya asam lambung pasien tinggi, naik hingga ke tenggorokan yang menyebabkan pasien merasakan nyeri di dada dan sesak. Dilihat dari kondisinya, pasien sedang ada dalam tekanan berat. Untuk memastikan, pasien harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Saya akan merontgen terlebih dahulu paru-paru untuk melihat sudah sejauh mana asam lambungnya menyerang” Jelas Sang Dokter. “Baik Dok, terima kasih” “Suster, tolong bawa Pasien ke ruang rontgen ya” “Baik Dok” Bersama dengan suster dan petugas dari kepolisian, Sellyn dibawa ke ruang rontgen. Namun dalam perjalanan, Sellyn meminta untuk buang air kecil. Suster pun mengizinkan dan menyuruh petugas yang menunggu Sellyn di luar toilet karena dirinya harus terlebih dahulu ke ruang rontgen untuk menyiapkan peralatan. Sellyn pun menggunakan kesempatan tersebut. Di dalam toilet, Sellyn mengikat rambutnya dan memasukkannya ke dalam bajunya dan menggunakan masker. Ia pun mengintip dari dalam untuk melihat dimana petugas yang mengawalnya berada. Saat dilihat petugas itu sedang lengah, ia keluar secara perlahan dan langsung berjalan cepat ke arah berlawanan. Hal itu berhasil, petugas tidak menyadari kepergiannya. Begitu sudah sedikit lebih jauh, Sellyn pun langsung mulai berlari. Ia ke tangga darurat dan berlari naik. Namun baru beberapa menit ia berlari, suara teriakan dari bawah mulai terdengar. Petugas kepolisian sepertinya sudah menyadari kepergiannya. Sellyn berlari seiring bertambahnya petugas yang mengejarnya hingga akhirnya ia tiba di lantai tertinggi. Ia melihat sebuah pintu dan tanpa berpikir panjang langsung membuka pintu tersebut. Begitu ia masuk, ternyata itu merupakan atap dari rumah sakit. Bayangan Sonya yang terjatuh pun langsung muncul di kepalanya. Langkahnya pun melambat. Namun ia terus berjalan ke pinggiran atap itu. “Apa yang sudah aku lakukan..? Sekarang mama hanya akan dilihat sebagai ibu dari seorang pembunuh.. Adek yang tidak tahu apa-apa pun nantinya bisa mengalami kejadian yang sama sepertiku karena kakaknya adalah seorang pembunuh…” “Lebih baik kalau aku ga ada di dunia ini.. Mama dan adek ga akan lagi menderita garagara aku..”

38 Jatuh

Angeline L. Han

Langkah pelan Sellyn akhirnya membawanya pada ujung atap itu. Sellyn memanjat dan tepat saat itu para petugas kepolisian masuk dari pintu. “Sellyn apa yang kau lakukan!? Cepat turun dari sana!!” “Tolong sampaikan pada ibuku kalau aku bahagia dan dia juga harus begitu..” Ucap Sellyn dengan senyum terakhir yang bisa ia berikan. Ia tidak menyangka bahwa hari setelah ia merasa mendapat kekuatan baru malah mengarahkannya kepada kejadian ini. Dimana ia mulai mendapat keberanian, ia justru malah mencelakakan orang lain. “Aku akan membayar kesalahanku..dengan begini aku harap masalahnya akan selesai” “Pa.. Ternyata aku tidak bisa membahagiakan Mama..Papa tunggu aku ya..” Sellyn menutup matanya dan menghembuskan nafasnya. Sebuah langkah ia ambil dan tubuhnya pun melayang, jatuh dari atap rumah sakit itu. Nafas terakhirnya pun ia hembuskan saat itu juga. *** Pada akhirnya keputusasaan dan rasa bersalah menang, berhasil mengalahkan harapan dan tekad. Entah tekad dan harapan Sellyn yang terlalu kecil atau memang keputusasaan itu terlalu besar. Namun yang pasti kebencian berhasil membawa penyesalan yang tak dapat ditanggung oleh gadis muda itu.

39 Jatuh

Angeline L. Han

4. Sang Penumpah Darah oleh Caitlyn O. C. Tan

Kenalkan, ini Carlos. Ia tinggal di sebuah negara yang Ia benci. Hal ini tidak sepenuhnya terjadi karena suatu hal kecil. Maka sepertinya kalimat yang lebih cocok adalah “ia hidup di sebuah negara yang Ia sekarang Ia benci”. Negaranya merupakan negaranya yang tadinya sangat ia sukai. Sebuah negara yang memiliki hukum yang baik, adil, dan makmur. Namun karena raja—bukan, ratu—yang baru, kehidupannya hancur. Ratu Mary-lah yang membuat hidupnya hancur. Lalu, kenalkan juga. Ini Mary, perempuan ketiga di sejarah negaranya. Ia merupakan anak terakhir dari raja sebelumnya, David. David sangat ditakuti oleh para musuh maupun rakyatnya. Namun ia merupakan pemimpin yang sangat baik, ia bijak, tegas, dan jujur. Semuanya pun mengetahui bagaimana ia sangat mementingkan rakyatnya. Mary baru saja memulai latihannya untuk menjadi ratu beberapa bulan lalu. Karena ia seorang anak bungsu, ia tidak dilatih untuk menjadi pemimpin sejak kecil dan latihannya pun belum selesai. Namun karena meninggalnya kedua kakaknya dalam waktunya sangat berdekatan, Ia terpaksa menjadi seorang ratu. Kakak pertamanya, Angga, telah berkuasa lebih dari 10 tahun dan akhirnya meninggal karena penyakit. Carlos mengingat sebelum sang pembunuh berdarah dingin datang. Pada saat itu, Carlos sangat mencintai negaranya. Negaranya merupakan negara yang kaya dan sangat mendukung kepercayaannya. Ia dapat hidup normal dengan keluarga dan teman-temannya. Pada pagi hari, bangun dan pergi ke sekolah. Pulang dan bermain hingga malam menyingsing. Hari itu sangat muram, awan menangis deras tanpa sebab. Carlos sedang bermain di hujan dengan keempat temannya yaitu Ivan, Tony, Brandon, dan Alfie. Tiba-tiba, para mengumum berita berteriak bahwa segala rakyat diwajibkan untuk berkumpul di depan istana. Otomatis, semua rakyat kesal karena cuaca yang tidak mendukung. Beberapa saat kemudian, semua rakyat telah sampai di depan istana tak terkecuali Carlos. Mary, yang sedang ada di balkoni dengan para tentaranya, pun mulai berkata “Raja tercinta kita semua, telah tewas beberapa jam lalu.” Semua rakyat terkejut dan berdiskusi. “Bukankah raja baru saja dilantik beberapa hari yang lalu?” tanya Ivan. “Benar, bagaimanakah mungkin membunuhnya?” kata Tony

42 Sang Penumpah Darah

ada

suatu

penyakit

yang

begitu

cepat

Caitlyn O. C. Tan

Mereka pun mendiskusikan konspirasi masing-masing individu. Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa telah terjadi sebuah pembunuhan, baik dari dalam maupun luar kerajaan. Sedangkan Carlos hanya diam. Ia cukup bingung apa yang sebenarnya harus ia rasakan. Raja William memang baru saja dilantik sekitar 10 hari yang lalu, maka dari itu tidak banyak orang mengetahui tentang cara pemerintahannya. Karena keributan rakyat, sang pengumum istana pun mendiamkan rakyat. “Raja William, merupakan saudara yang sungguh baik bagi saya dan pasti seorang pemimpin yang bijak. Sayang sekali yang mulia raja bahkan tidak sempat mengekspresikan kemuliaan tersebut. Maka dari itu, saya-lah yang akan melanjutkan kepemimpinannya.” lanjut Mary. Rakyat pun mulai ribut kembali. Akhirnya, pengumum istana pun mendiamkan rakyat kembali. Mary pun masuk dan pengumuman dilanjutkan oleh pengumum istana tersebut. Pelantikan “Putri Mary” akan berlangsung 3 hari lagi. Yaitu, di tanggal yang sama saat ayahnya dahulu meninggal. 3 hari telah lewat dan pelantikan pun berlangsung. Carlos, seperti pelantikan raja sebelumnya, hanya berada dengan teman-temannya di pinggir jalan-jalan yang akan dilewati oleh Ratu Mary. Pelantikan tersebut terjadi di dalam istana, maka para rakyat jelata hanya dapat melihat saat Mary sudah dilantik dan akhirnya keluar. Satu jam kemudian, Mary yang tadinya bergelar putri, berubah menjadi ratu. Mary keluar menggunakan mahkota milik ibunya dengan gaun merah yang sangat indah. Walau jauh, semua orang terlihat tenang dan memperhatikan Mary. Mary hanya tersenyum seakan akan lupa atas kesedihannya beberapa hari yang lalu dan masuk ke mobil. Setelah masuk, mobil pun melaju secara pelan dengan 4 mobil lainnya sebagai penjaga. Saat mobil-mobil dari istana akhirnya melewati Carlos, para rakyat disana mulai mengerumuni pinggir-pinggir jalan. Namun dari waktu ke waktu, telah ditetapkan bahwa para rakyat harus berada di trotoar. Sayangnya, Alfie tidak sengaja terdorong oleh seseorang yang berada di belakangnya dan maju ke jalan-jalan tersebut. Alfie pun sedang tidak beruntung karena ada 3 penjaga yang ada di sekitar jalan-jalan tersebut dan Alfie pun ditangkap. Matahari telah tenggelam dan rakyat pun mulai kembali ke rumahnya masing-masing. Semua orang lelah karena menunggu lewatnya Sang Ratu. Saat sudah di rumah, Carlos sangat mengkhawatirkan Alfie. Ia berlari ke kamar dan ia seakan-akan memiliki sebuah percakapan dengan dirinya sendiri. Kepribadian pertamanya adalah kepribadian yang sangat mengkhawatirkan segala sesuatu, sedangkan kepribadian keduanya adalah yang selalu berusaha menenangkan kepribadian pertama.

43 Sang Penumpah Darah

Caitlyn O. C. Tan

“Bagaimana keadaan Carlos? Apakah dia sedang di penjara?” “Tenang saja, ia pasti hanya diberi sebuah surat untuk datang ke istana besok.” “Apa yang akan terjadi besok?” “Kemungkinan terbesar adalah ia akan mendapat sebuah peringatan untuk tidak melakukannya lagi, tenangkanlah dirimu Carlos.” “Namun kita belum mengetahui pemerintahan macam apa yang akan dipimpinnya!” “Jika kepemimpinannya kejam, ia tidak mungkin sampai di penjara pula. Hal tersebut tidak mungkin.” Perdebatan pun berlanjut hingga suara ibunya memecahkan kesunyian di kamarnya tersebut. “Carlos! Ayo makan! Ayah sudah menunggu.” panggil ibu. Carlos segera turun ke meja makan. Mereka pun akhirnya makan bersama dan Carlos terlupa akan kejadian yang siang tadi terjadi. Hari esok pun datang, Carlos dan teman-temannya segera ke istana untuk melihat nasib teman mereka. Pada awalnya, semua berjalan dengan baik. Alfie akan dilepaskan tanpa hukuman apapun. Namun, ratu tiba-tiba bertanya tentang kepercayaannya. Alfie pun mengatakan bahwa ia beragama Kristen. Secara langsung, muka ratu langsung terlihat kesal. Pada akhirnya, Alfie pun mendapatkan hukuman penggal. Rakyat pun terkejut dan marah, tapi ratu tidak mempedulikannya. Carlos dan teman-temannya menyaksikan keberlangsungan eksekusi Alfie dengan ketakutan dan kesedihan yang amat dalam. Carlos pun kembali kenyataan. Sejak hari itu, tidak ada yang sama lagi. Carlos dan teman-temannya sangat merindukan Alfie. Sekarang, mereka harus selalu bersembunyi saat beribadah. Mereka bernyanyi dengan perlahan karena ketakutan akan adanya tentara yang mendobrak pintu mereka saat mendengar suara lagu pujian. Semua orang diharuskan untuk hanya taat kepada ratu dan ratu saja. Setiap hari, berpuluh-puluh warga beragama Kristen dibunuh jika tidak taat kepada ratu. Sekarang, ratu Mary seakanakan harus menjadi tuhan dari rakyat-rakyatnya

44 Sang Penumpah Darah

Caitlyn O. C. Tan

“Ayah, sampai kapankah aku dan Bina harus terjebak di rumah?” tanya Carlos dengan nada sedih. Bina adalah adik perempuannya yang lebih kecil 3 tahun. “Carlos, kamu sendiri mengetahui situasi negara kita sekarang. Maaf tapi ayah tidak tahu” jawab Ayahnya. Aku dan Bina sudah tidak keluar dari rumah lebih dari 2 bulan, yah. Sudah lebih dari satu tahun sejak dibunuhnya Alfie.” “Ayah tau, tapi tidak ada yang dapat ayah lakukan.” “Semoga saja semua ini berlalu sebentar lagi.” Dalam hati Carlos, ia mengetahui bahwa kemungkinan situasi di negaranya ini berubah, sangat amat kecil. Namun sebuah penyemangat kecil di hatinya masih tetap menyala-nyala. Dua bulan kemudian, ibu Carlos juga menjadi salah satu orang yang dieksekusi oleh Ratu Mary. Ia dicegat saat sedang berbelanja di pasar, ia dicegat oleh salah satu prajurit kerajaan. Ia pun ditanya tentang kepercayaannya. Karena tidak mau menyangkal, ibu pun mengakui bahwa ia kristen, tapi ia berbohong bahwa ia merupakan seorang janda tanpa anak dan bahwa ayah telah meninggal 2 tahun yang lalu. Maka dari itu, hanya ibu lah yang tereksekusi. Sekitar 4 tahun kemudian, kembali ada pengumuman untuk berkumpul di depan istana dan semua orang pun berkumpul. Namun anehnya, tidak ada prajurit di balkoni yang biasanya harus menemari para ratu dan raja. Ada seorang yang belum pernah dilihat sebelumnya, ia keluar dari dalam pintu balkoni. Orang tersebut berlumuran darah dan membawa sesuatu yang bersinar di tangannya. Semua rakyat pun kebingungan dan mulai takut. “Ratu Mary, atau yang dapat dikatakan Sang Penumpah Darah Mary, telah merasakan sendiri darah yang ia tumpahkan!” katanya. “Mulai hari ini, kerajaan ini akan melakukan voting untuk menentukan siapa raja berikutnya. Lalu, saya tahu bahwa pembunuhan merupakan hal yang sangat keji. Namun, manakah yang kalian lebih pilih; pemerintahan Ratu mary, atau pemerintahan yang baru? Segala macam kebaikan harus dimulai dengan suatu pengorbanan. ”

45 Sang Penumpah Darah

Caitlyn O. C. Tan

“Ia pun masuk dan menyuruh para pelayan kerajaan untuk membersihkan kamar ratu hingga tidak tersisa satu lumur darah pun. Ia menjual beberapa barang-barang berharga ke luar negeri. Beberapa tahun kemudian, semua hal berubah. Mulai dari ekonomi, pemimpin, hingga hukum. Sistem pemerintahan saat ini tentu belum sempurna, tapi negara ini berusaha untuk menyempurnakannya. Tentu, luka di semua rakyat negara tersebut tidak bisa langsung hilang selama 5 tahun dan orang-orang yang telah hilang tidak akan bisa terlupakan. Sudah berlalu 10 tahun sejak tahun-tahun tersebut. Pemimpin mereka sekarang adalah seorang pria berjenggot besar bernama Budi. Tahun ini merupakan tahun jabatan terakhirnya. Setiap 5 tahun sekali, diadakan sebuah voting untuk pemimpin yang baru, maka jika pemimpin yang dipilih merupakan pemimpin yang buruk, masa tersebut akan berhenti setelah 5 tahun. Sekarang, Carlos sudah berumur 28. Ia bekerja menjadi seorang akuntan. Walau pekerjaannya merepotkan, paling tidak ia dapat mencukupi kebutuhan anggota keluarga barunya, istrinya. Carlos tidak akan melupakan kesengsaraan, ketakutan, dan kesedihan yang telah ia alami 10 tahun yang lalu. Ia kehilangan salah satu sahabat karibnya dan ibunya. Namun, semua luka baretan tersebut telah sembuh, perlahanlahan.

46 Sang Penumpah Darah

Caitlyn O. C. Tan

5. Dari Wanita Untuk Wanita oleh Daniella Belvani

Malam telah tiba, sudah waktunya untuk melepas lelah. Langkahku terhenti ketika melihat rangkaian foto polaroid tergantung didepan meja belajarku. Salah satu foto itu menunjukkan tujuh orang yang sedang tersenyum lebar. Empat diantaranya ialah perempuan, tiga diantaranya ialah laki-laki. Termasuk dengan diriku. ‘Ah, senang rasanya mengingat-ingat masa lalu. Diriku dimasa lalu dengan yang sekarang sangat jauh berbeda. Kira-kira, sudah berapa lama ya aku menjadi seperti ini?’ pikirku seraya menghempaskan badan ke atas tempat tidur. Aku terlahir sebagai laki-laki. Setidaknya, itulah harapan keluargaku ketika mendengar bahwa ibuku mengandung. Semua harapan itu sirna dalam sekejap ketika mereka mendapati aku adalah seorang perempuan. “Sayang sekali’, padahal kakek sudah menyiapkan nama laki-laki untuk kamu lo’.”, dari situlah, aku megetahui sebuah fakta bahwa satu-satunya pria di keluargaku hanyalah ayahku. Hal ini sampai membuatku berpikir, apakah mereka akan lebih sayang padaku jika aku adalah seorang laki-laki? Ketika aku masih kecil, ibuku tak hentinya berkata, “Hati-hati dengan lelaki di luar sana. Sekali dalam hidup mereka tidak ada Tuhan, mereka menjadi mahkluk paling bejat yang pernah kamu temui.”. Ibu seringkali menceritakan hal-hal yang menakutkan tentang kaum pria. “‘Kalau begitu, untuk apa Tuhan menciptakan lakilaki? Apakah Ia tidak sedih melihat ciptaan-Nya merusak mahkluk ciptaan-Nya yang lain, perempuan?”. Perkataan ibu melekat erat dalam pikiranku selama beberapa tahun ke depan. Tentunya aku masih ingat akan hari itu. Hari yang tidak akan bisa ku lupakan. Hari dimana aku menyakinkan diriku bahwa laki-laki adalah mahkluk yang bengis. Suara tangisan ibu terdengar menggelegar dari lantai satu. “Lo pukul kepala gue? Bahkan bapak gue gak’ pernah mukul kepala gue !!“ Hatiku terasa sangat kecut. Entah sudah keberapa kalinya aku mengusap wajahku sampai lengan bajuku basah kuyup. Kejadian ini sudah menjadi rutinitas yang terjadi setiap hari. Aku hanya bisa berpura-pura tak tahu mengenai kejadian itu. Aku tidak menyukai suara keras. Mungkin aku harus siap siaga menutup telinga dengan kedua tanganku kapan saja. Katanya, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Omong kosong. Aku tidak merasa seperti itu. Sekalipun tidak pernah. Jauh dari kata cinta, malahan aku sangat membencinya. Bagaimana rasanya mengagumi ayah sendiri? Pertanyaan itu hanya ditinggalkan tak terjawab oleh batinku.

48 Dari Wanita Untuk Wanita

Daniella Belvani

Matahari telah terbit dan tenggelam, digantikan rembulan di setiap malamnya. Tak dirasa aku telah tumbuh menjadi seorang remaja dengan pikiran yang sangat terkunci, khususnya seperti yang kamu tahu, laki-laki. Ditambah lagi dengan kejadian pada masa itu, lembaran baru terisi dengan kenangan yang mengerikan, oleh spesies yang selalu aku hindari. Andaikan aku mengetahui bagaimana akhirnya, mungkin aku tidak akan pernah ingin memulai hubungan dengannya sejak awal. Kukira dia berbeda dari yang lain. Anak laki-laki yang riang, rendah hati, ringan tangan, membuatku betah berkawan dengannya. Tetapi semua kenangan indah yang aku buat bersamanya seketika hilang entah kemana ketika dirinya melakukan hal yang tidak wajar. Semuanya dimulai ketika dirinya tak henti-hentinya menyemangatiku dengan pesan teks. Kata-kata semangat berubah menjadi beban yang aku tanggung ketika dia melakukannya berulang kali. Empat bulan. Empat bulan berturut-turut dia menguntitku melalui sosial media. Perasaan waspada tak kunjung lepas dari diriku ketika mendapatkan notifikasi dari akun anonim. Semua ini terjadi ketika aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi dengannya selamanya. Rasa muak, jijik, marah, kecewa, sudah bercampur dengan satu membuatku berpikir apakah ada alasan yang tersisa untuk membiarkan dirinya tetap berada di sisiku? Ternyata sama saja. Seharusnya aku tidak berharap banyak. Dibalik kata “suka”, terdapat obsesi yang tersembunyi. Perutku terasa mual ketika dia menyatakan perasaannya kepadaku. Luka baru mulai terbentuk dalam diriku karena hal ini. Tak cukupkah kau menyakitiku sekali? Aku benci padamu, waktu. Luka yang lama belum sempat terobati, susah payah aku melupakannya, agar luka-luka itu tidak dibiarkan ternganga. Untuk apa kau biarkan aku menghabiskan dua tahun terakhir untuk berbagi kenangan dengan orang seperti itu? Memalukan. Teringat dengan buket bunga yang perlahan dibiarkan menjadi layu. Sebatang cokelat yang ada didalam laci mejaku. Perkataan manis yang terlontarkan mengandung harapan agar perasaan mereka denganku menyatu. Tatapan lembut yang selalu terpancar ketika matanya dan mataku beradu. Sikap menyebalkan yang hanya diperuntukkan kepadaku untuk membuatku merasakan sesuatu. Setiap candaan yang dilontarkan hanya untuk mengundang tawa sampai ke ujung kalbu. Banyak anak lakilaki yang melakukan semua hal itu kepadaku. Hari-hari yang kulewati di bangku sekolah menengah pertama dihiasi oleh cerita-cerita asmara yang menggelikan. Dan tentunya juga, dengan perasaan-perasaan yang tak berbalaskan.

49 Dari Wanita Untuk Wanita

Daniella Belvani

Lelah. Kata yang aku ucapkan pertama kali ketika teringat masa-masa itu. Seharusnya aku sadar, tidak ada namanya cinta pada pandangan pertama. Cinta sejati ? Jauhkan halhal yang berbau fantasi, dunia tidak seindah itu. Tak sekalipun aku menemukannya dalam hidupku. Baik dari keluarga, maupun dari kehidupanku sendiri. Mereka hanya menggunakan wanita untuk ‘memperbaiki’ diri mereka yang rusak. Tanpa melihat kenyataan, bahwa sosok-sosok yang mereka anggap sebagai malaikat penyelamat, memiliki sepasang sayap yang patah yang terantai dengan erat. Tapi anehnya, tetap saja mereka terpikat. Indera pengelihatan mereka tak lagi berjalan ketika keputusasaan menghalangi pandangan mereka. Ya itulah, keputusasaan untuk mendapatkan cinta. Senyuman tak lagi terlukiskan di wajahku ketika diriku jatuh ke dalam jurang yang curam. Nafsu makan hilang sekalipun dihadapanku makanan kesukaanku dihidangkan. Tanyalah kepada boneka dan bantal di kamar tidur, mereka pasti mengetahui apa yang aku lakukan setiap purnama tiba. Napas yang tidak teratur, suara yang tertahan dalam dekapan boneka. Pastilah mereka sering mendapati diriku tertidur lelap diatas sarung bantal yang lembap. Setelahnya, hanya ada kesunyian yang memenuhi ruangan. Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan, menutupi cara pandangku terhadap dunia luar. Kini, kesendirian telah menyelimuti diriku sepenuhnya. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Saat ini, aku telah berada di lubang yang sempit dan dalam. Hanya ada kegelapan dimana sejauh mata memandang. Benar-benar tak ada secercah cahaya yang menembus. Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Namun, mengapa hatiku goyah? Terdengar kumpulan suara yang saling bersahutan. Aku tidak tahu apa itu, tetapi sepertinya bukan ilusi. Seolah-olah aku terkepung diantara mereka. “Bertahanlah sebentar lagi.” “Kenapa kau ingin lakukan itu?” “Kamu sudah bertahan sampai disini, apakah kau yakin ingin menyerah?” “Pikirkan orang lain, mereka pasti akan sedih jika kamu pergi.” Mereka semua memohon-mohon untuk mencegah diriku untuk melakukannya. Dari sekian banyak permintaan, hanya satu yang pasti, yaitu mereka semua sedaritadi melontarkan kata yang sama.

50 Dari Wanita Untuk Wanita

Daniella Belvani

“Jangan”. Amarah perlahan bergejolak dalam tubuhku, membuat emosiku lepas tak terkendali. DIAM! Tahu apa kalian tentang diriku? Aku tidak tahan, siapa gerangan kalian mencoba memerintahkanku ini dan itu? Wah, kalian egois sekali. Bahkan sampai ke titik inipun, aku harus memikirkan orang lain. Tak sadarkah kalian, aku sudah banyak menderita?! Sekalipun aku meminta bantuan, mereka semua hanya mengangkat bahu dan tidak tahu harus berbuat apa. Mereka semua sama saja! Tidak bisa begini. Aku akan melakukannya. Aku bisa melakukannya. Ah, tidak. Aku harus melakukannya. Didepan cermin, kuamati penampilan diriku. Terpantul bayangan sepasang mata yang besar, dilengkapi dengan bulu mata tebal. Maaf, jika selama ini aku hanya menggunakanmu untuk mengeluarkan air mata. Bibir tipis berwarna merah muda. Sesungguhnya akan terlihat lebih indah jika aku sering tertawa. Tatapan kosong terpancar dengan jelas didalam mataku, membangkitkan tekad untuk melakukan apa yang kurencanakan dari semula. Wahai Nirwana, dengarkan pesanku ini. Kuharap Engkau mengampuniku. Wajah dan tubuh yang indah ini, tidak bisa bertahan sesuai yang kau pinta. Terlalu banyak luka yang ditanggung, menjadikan aku tak berkuasa atasnya. Jika kehidupan selanjutnya itu ada, maka kuharap pemilik wajah dan tubuh ini selalu bahagia. Kini, akan kukembalikan tubuh ini ke tempat asalnya. Segera. Kulirik bilah besi ditangan kananku, dengan ujungnya yang lancip. “Tak perlu ragu, lakukan saja.” ujarku. Sepertinya akan benar-benar berhasil jika kulakukan dengan sekali ayunan. Beberapa detik telah berlalu. Kukira, akan ada sesuatu yang bangkit dalam diriku. Walau begitu, aku harus tetap terus mencoba bukan? Sekarang aku akan mengarahkan ke bagian yang paling krusial. Perlahan, bau anyir memenuhi lubang hidungku. Sekali lagi, ayo kita lakukan sekali lagi. Aku harap semuanya akan berakhir setelah ini.

51 Dari Wanita Untuk Wanita

Daniella Belvani

Kupejamkan mataku, berharap permintaanku terkabulkan. Detik selanjutnya, kurasakan sisi bilah menembus lapisan jangat. Cairan mulai mengalir sepanjang lenganku, sampai pada akhirnya menetes membasahi ubin. Kali ini, baunya lebih kuat daripada biasanya. Aroma yang tajam, meluncur masuk menusuk sampai ubun-ubun. Seluruh tubuhku terasa panas, susah rasanya untuk mengambil napas. Jika kalian bertanya-tanya mengapa aku bisa senekat itu, jawabannya hanyalah satu. Untuk mengembalikan esensi seorang manusia, memiliki emosi dalam jiwa. Tetapi sesungguhnya semua sia-sia, karena telah kusadari, bahwa semua ini tidak cukup untuk diriku agar merasakan sesuatu lagi. Sekeras apapun aku mencoba, kekosongan dalam diriku ini tidak akan terpenuhi. Tik…Tik… Suara jam terdengar dengan jelas ketika aku membuka mata. Rasa kantukku sudah tidak dapat terbendung ternyata. Mataku terasa sembab. Mengingat masa lalu, terkadang membuatku sedih juga, bahkan sampai terbawa dalam alam bawah sadar. Kalian pasti tidak akan menduga, apa yang terjadi setelahnya. Tak lama setelah kejadian itu, aku masih ingat dengan jelas. Bagian kisah hidupku yang ini tidak aku rekayasa, lain kenyatanya dibandingkan dunia fana. Tiba-tiba saja, aku merasakan seseorang menggenggam tanganku. Memang, tidak ada cahaya terang benderang seperti di film-film aksi. Ruangan dimana aku berada masih dalam keadaan gelap gulita. Akan tetapi, perlahan, dapat kurasakan kehangatan memeluk seluruh tubuhku, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Senja sudah menunggu dari luar. Bagaikan mempelai wanita yang menunjukkan dirinya kepada mempelai laki-laki. Tak disangka, ternyata senja yang tiap kali menyambut pagi pada awal hari, bisa kulihat seindah itu. Sejak hari itu, aku melihat dunia dalam pandangan yang berbeda. Rasanya bagaikan malaikat dari Nirwana yang datang menghampiri. Tetapi, sebagian besar dari hati kecilku mengatakan, sosok itu adalah tak lain Yang Maha Esa itu sendiri. Berbeda, bukan berarti semuanya menghilang. Berbeda, bukan berarti semuanya sudah tak lagi sama. Berbeda, bagiku, artinya menerima. Berbeda, bagiku, artinya melihat hal yang setiap hari sama, tetapi disaksikan dari sudut pandang yang lain hingga meninggalkan kesan istimewa. Tidak lagi kabur, yang dulu hanya terlihat imaji abu-abu, sekarang terasa tentu. 52 Dari Wanita Untuk Wanita

Daniella Belvani

Kumulai belajar rasa percaya, belajar berpikiran terbuka. Kalau bukan karena kawanku yang satu itu, mungkin aku selamanya hanya akan berakhir sebagai seseorang yang memiliki pikiran batu. Memang, rupanya tak seperti anak-anak elok di luar sana. Akan tetapi, matanya yang sayu, perilakunya yang memperlakukan setiap wanita sebagai ratu, cukup bagiku untuk merasa yakin, bahwa dialah pria sesungguhnya. Kulitnya masih remaja, tetapi pemikirannya sudah cukup dewasa. Aku bersumpah, aku bisa pastikan diriku dan dengannya tak ada rasa. Posisi kami berdua hanya dapat disebut sebagai sahabat. Dekat, tetapi saling menjaga jarak. Tetap ada rasa hormat, saling menjaga hakikat dan martabat. Sampai sekarang, jika tidak ada dia, mungkin aku tidak bisa mengenal figur-figur lainnya yang dapat kuanggap pria. Bukan lagi anak laki-laki, tapi sudah tumbuh menjadi orang dewasa yang matang. Untuk para wanita, janganlah pikiran ini tertanam dalam pikiranmu. Matur, bukan berarti akan selalu dapat diperoleh secara natur. Ada yang sudah masuk dalam kategori “dewasa”, tetapi dalamnya masih “remaja”. Ada yang belum berusia, tetapi sudah memperoleh banyak bijaksana. Pria, tidak sama dengan anak laki-laki. Wanita, tidak sama dengan anak gadis. Mungkin, sebagian dari kalian memiliki frekuensi pikiran yang sama dengan ibuku. Pepatah yang mengatakan, “tak kenal maka tak sayang,” benar adanya. Jika belum pernah merasakan, maka tidak akan pernah bisa menyatakan. Mungkin, ibuku dapat mengecap semua pria itu sama saja karena selama hidupnya, dia sering dikelilingi oleh orang-orang yang kasar, bejat, egois, tidak bertanggungjawab, tidak berpendirian, apakah pantas disebut sebagai manusia? Tidak ada kata yang dapat mengkategorikan mahkluk tersebut, baik kata pria maupun wanita. Mungkin, ibuku tidak pernah mendapatkan kesempatan, apa yang aku telah rasakan. Berhenti melakukan generalisasi, karena kau akan seringkali mendiskriminasi nanti. Laki-laki yang menyukai memasak dan menjahit, bukan berarti kurang maskulin. Perempuan yang menyukai teknik dan mengadu kuat, bukan berarti kurang feminin. 53 Dari Wanita Untuk Wanita

Daniella Belvani

Sejujurnya, kita harus bersyukur dilahirkan sebagai perempuan. Meskipun sering digambarkan sebagai mahkluk lemah, mereka hanya bisa mengkritik. Sebagian dari kita mungkin tidak gagah, tapi aku percaya kita semua wanita yang tabah. Ya, memang, kita lemah, bukan kuat. Aku percaya, tak ada satupun yang dapat menanggung dan menghidupi makna dari kata itu. Maka dari itu, aku menyebutnya dengan kata “tegar”. Laki-laki seringkali dituntut untuk menjadi sosok yang memiliki mental baja. Terluka, harus ia terima. Ingin menangis, pilihan yang ada hanyalah meringis. Betapa besar beban yang ia harus hadapi. Ingin mengadu lelah, tapi seringkali kehilangan arah. Jika tidak gagah, maka dianggap manusia yang payah. Sebagai sesama perempuan, haruskah kita menurunkan etika? Menuntut mereka untuk menjadi robot yang dapat dikutak-katik kapan saja. Kekurangan afeksi, dianggap wajar, karena untuk membentuk “kuat” katanya. Urusan jiwa dan hati, ditelantarkan sampai mati. Karena trauma, mereka mencari sesuatu untuk meluapkan batinnya. Semua jiwa yang hilang, satu per satu mendambakan tempat untuk pulang. Semua rasa kecewa dan amarah, mereka curahkan kepada orang-orang yang mereka anggap “rumah”. Dari semesta, aku belajar, semua hal yang terjadi, semua hal yang dipertemukan, bukan hanya lewat begitu saja tanpa arti. Kehadiran kita sebagai manusia, baik wanita maupun pria, seharusnya bertujuan untuk saling melengkapi. Tak ada satupun yang sempurna, harusnya kita jujur dan akui. Bukan saling berlomba-lomba untuk menutupi. Maka inilah, pesanku untuk dunia. Dari wanita, untuk wanita.

54 Dari Wanita Untuk Wanita

Daniella Belvani

6. Berpaling oleh Immanuel S. Andhika

Hai namaku Lela, aku mempunyai dua sahabat bernama Mike dan Sheila. Aku sering sekali cerita ke sheila tentang pelajaran, masalah pertemanan, masalah keluarga, bahkan sampai hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting. Pada saat makan siang, Sheila menghampiriku dan bertanya “Lela kok kamu senang sekali sih? what happens? Ada apa?” dengan bahasa inggrisnya yang buruk itu. “Nggak ada apa-apa” aku menjawabnya. “Oh yaudah, aku ke dalam dulu ya.” Sheila pun pergi meninggalkanku. Di kelas sejarah Indonesia, aku merasa tidak ada semangat untuk mengikuti pelajaran. Aku merasa terlalu mencintainya. Tak lama guru masuk dan menyuruh kita membuka buku halaman 35. Seketika aku teringat, aku lupa membawa buku, aku panik, lalu Mike tiba-tiba bertanya… “Eh, kamu kenapa?” “Mmm, aku lupa membawa buku Mike.” “Loh kok bisa? Emangnya tadi malam kamu tidak menyiapkan buku?” ujar Mike “Kemarin malam aku terlalu lelah untuk menyiapkan buku” “Hhh yauda nih catat aja halaman 35 dari buku ku” “Nah itu dia Mike, aku malas mencatatnya” “Yaelah, yaudah sini ku catetin” “Beneran Mike?” “Iya Lela, tapi sebagai gantinya nanti istirahat kedua harus makan bareng ya!” “Iya boleh.”

56 Berpaling

Immanuel S. Andhika

Selama pelajaran gabungan, aku sama sekali tidak memperhatikan pelajaran. Aku sibuk memperhatikan wajah dan bentuk tubuh lelaki yang saya sukai itu. Tiba-tiba bell berbunyi. Sheila langsung mengajakku ke kantin. Pada saat yang sama Mike juga bilang… “Eh Lela maaf banget ni, kita makan barengnya besok saja ya?” “Oh oke Mike, memangnya kamu ada keperluan apa?” “Aku harus segera ke ruang rapat untuk diskusi tentang study tour nanti” “Oh oke Mike tidak apa apa” Namun, aku seperti merasa bersalah karena tidak menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Pada saat pulang sekolah, aku memanggil Sheila karena ada sesuatu yang ingin aku katakan. Aku berkata sebenarnya ada yang ingin ku katakan namun aku sedikit malu untuk menceritakannya. Tapi akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakannya. “Sheila, aku ingin mengatakan sesuatu” “Kenapa Lela?” “Jadi gini Sheila” “Iya kenapa Lela” “Jadi gini La, aku suka salah satu cowok di kelas sebelah” “Hah? Serius? Siapa? Namanya?” “Eitss sabar dulu, janji dulu kamu gak bakal bocorin” “Iya Lela, aku janji” “Aku suka Mike” “Waduh serius?”

57 Berpaling

Immanuel S. Andhika

“Iya La” “Umm oke deh, tapi saingannya kakak kelas loh Lela” “Iya La aku tahu, tapi gimana ya namanya juga udah suka. bantu aku ya La” “Iya Lela, apa sih yang enggak buat sahabatku yang paling cantik” “Memang kamu yang terbaik La” Sudah 2 bulan aku menyukainya, namun tidak pernah bertingkah seperti aku menyukainya. Tubuhku seperti ada 2 sisi yang berbeda. Hatiku ingin merampas dan memeluknya, namun tangan dan tubuhku mengelak darinya. Otakku berkata ambillah dia, tapi tubuhku berkata berbeda. Pikiran ini terjadi seperti putaran, pagi, siang, sore, malam. Keesokan harinya tiba-tiba aku melihat Sheila datang lebih pagi dariku, hal ini aneh karena sudah enam tahun kita berteman dan dia sering sekali telat. “SHEILA!!??” “Hey, santai dong?” “Tumben sekali kamu datang pagi” “Oh iya dong aku kan rajin” *dengan nada mengejek* “Ada apa? kok bisa datang pagi” “Aku mau menghampiri seseorang sebelum pelajaran dimulai” “Wah niat sekali kamu, memangnya siapa?” “Adadeh” “Siapa Sheila…” “Udah lah kamu tidak perlu tahu” “Baiklah” walaupun dalam hatiku masih penasaran.

58 Berpaling

Immanuel S. Andhika

Sheila lalu pergi ke kelas sebelah. Iya aku tahu walaupun seharusnya aku tidak membuntutinya tapi aku sangat penasaran. Lalu dia memberi selembar kertas yang berisi 2 kata pada Mike. Aku kaget. Aku bingung. aku segera balik ke kelas dan menenangkan diri. Tiba-tiba Sheila masuk. “Hai Lela” Tidak berpikir panjang, aku langsung menanyakan pada Sheila. “Kamu ngapain tadi memberi surat pada Mike?” “Oh itu tadi untuk tugas” “Tugas apa? setau ku kita tidak ada tugas yang menyuruh untuk memberi surat pada lelaki yang disukai sahabat sendiri” *dengan nada yang menyebalkan* “Hey santai saja kali, itu bukan apa-apa” “Apa isinya?” “Tidak ada apa-apa” “Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu” “Tidak ada apa-apa Lela” “Terserah kamu deh La” ujarku Setelah kejadian ini, aku sepulang sekolah menghampiri Mike dan bertanya padanya. "Apa isi selembar kertas yang Sheila berikan padamu?" “Oh ini? aku belum membukanya” “Bolehkah aku melihatnya?” “Nih, ambil saja” “Makasih Mike”

59 Berpaling

Immanuel S. Andhika

“Eh bukanya disini dong” ujar Mike. “O-oke” “I-isinya tidak seperti yang ku bayangkan” “Memangnya apa Le?” “Aku menyukaimu” *dengan nada yang bingung* “HAH? serius kamu?” “Ini benar dari Sheila kan?” “Iya Le” “Oke makasih Mike” “Sama-sama Le” “Aku pergi duluan ya Le” ujar Mike “Iya Mike hati-hati di jalan” Aku melihat Mike berjalan ke mobilnya, namun aku melihat ada yang aneh. Aku melihat ada sosok perempuan yang duduk di sebelah Mike, dan rambutnya memiliki jepitan rambut warna hijau dan kuning, sama persis seperti punya Sheila. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan, aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan, tidak tahu juga apa yang harus ku katakan. Langit terasa kosong. Keesokan paginya, seperti biasa Sheila datang lebih lama dariku. Aku tidak tahu apa yang sedang kupikirkan, aku datang menghampiri Sheila dan seketika ku langsung menamparnya dan berkata “dasar pengkhianat”. Aku tidak tahu mengapa dia bisa tahu kalau aku menghampiri Mike, tapi dia berkata “aku bisa jelasin Le”. Tapi aku sudah muak dengannya, aku sudah terlanjur membencinya. Di sekolah, aku hanya bisa mencoba melupakan perasaan sedih dan kecewa. Sekali lagi langit terlihat seperti lembar kosong, padahal sebenarnya tidak, Bintang kamu tetap disana, Bumi hanya sedang berputar. Perasaan itu masih disana dan tak akan pernah pergi. aku hanya sedang mengelak dari perasaan diri sendiri.

60 Berpaling

Immanuel S. Andhika

Aku berteman dengan Sheila sudah lebih dari enam tahun, tidak pernah sekalipun aku menyukai orang lain. Inilah pertama kalinya aku merasa kecewa dan kesal padanya. Pertama kalinya aku menampar Sheila dengan penuh dendam. Aku berkata pada Sheila untuk menjauh dari Mike. Iya aku egois, aku jahat, tapi lebih baik tidak ada yang mendapatkannya. Daripada pertemanan selama enam tahun rusak, aku membuat Sheila berjanji untuk menjauhinya. Kita tak tahu dan tak pernah pasti tahu hingga semuanya berlalu. Benar atau salah, dituruti atau tidak dituruti, pada akhirnya yang bisa membuktikan hanya waktu. Sudah dua bulan berlalu, dan sejujurnya pertemanan aku dan Sheila tidak pernah benar-benar kembali normal. Aku juga belum bisa melupakan Mike sepenuhnya. Mantan kekasih persis seperti utang budi, kita tidak pernah betul-betul melupakannya. Kita hanya selalu pura-pura melupakannya. aku lelah, aku tidak kuat lagi. Pada tanggal 28 Februari, aku loncat dari ketinggian 32 meter jatuh ke tanah yang keras. Tubuhku di otopsi dan semua bagian tubuhku hancur kecuali hatiku, mau dilempar dari ketinggian berapapun tidak akan hancur karena keras seperti batu. Aku dikubur di pemakaman yang cukup bagus. Aku merasa lega, namun tidak bahagia. Terima kasih untuk kesempatan merasakan kehidupan yang pahit ini, Salam dari Lela Grahita.

61 Berpaling

Immanuel S. Andhika

7. oleh Ivana B. Liestio

“Dicari: Aiden, usia: 14 tahun, terakhir terlihat: Kamis, 23 Maret 2022 jam 4.17 sore di dekat lapangan basket sekolah xxx . Jika ada yang memiliki informasi terkait kasus ini dimohon untuk menelpon nomor polisi (112)." Suara berita tersebut memecah kesunyian desa kecil yang pada saat itu sedang sangat mengkhawatirkan keberadaan Aiden. Berita yang sudah berulang kali diberitakan adalah satu-satunya hal yang didengar kota sejak hilangnya anak berusia 14 tahun itu. Sudah 3 hari sejak Aiden terakhir terlihat dan belum ada informasi baru yang disebarkan ke publik. Polisi telah melakukan segala yang mereka bisa untuk menemukan anak yang hilang ini tetapi mereka tidak memiliki cukup informasi untuk membuat tuduhan atau kesimpulan apa pun. *** “Aiden, oper bolanya!” teriak salah satu sahabat Aiden dari sejak kecil, Joshua. Suasananya sangat intens disaat Aiden mengoper bola ke Joshua. Joshua menangkap bola dengan sempurna dan langsung berlari untuk menembakkan bola ke ring. Terdengar suara peluit dua kali yang menandakan bahwa pertandingan telah selesai. Lapangan basket dipenuhi dengan teriakan kesenangan dari bangku penonton yang dipenuhi dengan remaja remaja lainnya. Papan skor menunjukkan 31-28 poin yang menandakan bahwa tim Aiden menang. “Permainan yang baik, Aiden”, kata salah satu teman Aiden yang berada di tim lawan, Rey. “Kau juga, Rey. Shooting-mu sudah jauh lebih baik dibanding pertandingan lalu." “Aku sudah banyak berlatih sejak pertandingan lalu. Hati-hati, nanti aku akan menjadi lebih jago daripada kamu”, canda Rey. “Hahaha, tenang saja, aku juga akan banyak berlatih.” “Eh, sekarang sudah jam 6. Aku harus segera pulang. Sampai jumpa besok Aiden, Rey” kata Joshua yang berlari tergesa-gesa untuk cepat pulang sebelum gelap. “Aku juga harus pulang. Sampai jumpa Aiden”, kata Rey sambil ia bergerak mengambil tas nya yang diletakan di lantai dekat lapangan.

64 -

Ivana B. Liestio

Percakapan itulah yang menjadi percakapan terakhir antara Aiden dan Rey sebelum Aiden dinyatakan menghilang sehari setelahnya. Memori pertandingan basket tersebut terus berulang-ulang di benak Rey seiring berjalannya hari. Dia sangat kangen keberadaan Aiden dan permainan basket yang selalu mereka lakukan setiap sore hari. Kerinduan terhadap temannya itu sudah menggebu-gebu dalam hatinya. *** “Halo pagi teman-teman.” “Hai Rey”, jawab teman-teman Rey serentak. “Apakah kalian ada yang melihat Aiden? Aku mau menanyakan dia soal pertandingan basket yang akan mendatang ini." “Aku si belum bertemu Aiden hari ini. Mungkin dia izin tidak masuk sekolah hari ini atau mungkin dia terlambat”, balas Mike. Waktu menunjukkan tepat pukul 7 namun Aiden tidak kunjung datang. Rey dan teman-temannya pun mulai bingung. “Mengapa Aiden tidak masuk ya hari ini? Apakah mungkin dia kelelahan dan sakit setelah pertandingan basket kemarin?”, seru Rey yang gelisah mengkhawatirkan temannya yang sangat tidak biasa bolos sekolah. “Ya mungkin saja si Aiden capek dan tidak ingin sekolah hari ini”, ujar teman mereka yang lain sambil menenangkan Rey. Namun Aiden tidak pernah datang ke sekolah. Ponsel Aiden juga tidak bisa dihubungi sejak pagi hari. Rey dan teman-temannya pun berpikir bahwa Aiden memang kelelahan setelah bermain kemarin dan sedang beristirahat. Teman-teman Aiden pun tidak mau mengganggunya maka mereka berhenti mencoba menghubungi Aiden. Mereka tetap bermain basket pada sore hari tanpa Aiden. *** “Halo ma,pa” “Hai, Rey. bagaimana latihanmu hari ini?”, tanya mama Rey dari dapur.

65 -

Ivana B. Liestio

“Latihan hari ini cukup baik, tapi tidak terlalu seru karena Aiden tidak ikut bermain basket hari ini. Dia juga tidak masuk sekolah dan aku belum menemuinya sejak pagi hari ini.” “Apakah dia sakit?”, tanya mama Rey sambil mempersiapkan meja makan untuk makan keluarga. “Aku tidak tahu juga, ponselnya tidak bisa dihubungi sejak pagi. Kami menduga dia kecapean jadi aku dan teman-teman tidak mau mengganggunya dengan mengunjungi rumahnya.” “Oh, kalau begitu nanti mama akan coba tanyakan keberadaan Aiden pada mamanya” “Oke, terimakasih ma”, jawab Rey sambil menyendok nasi dari penanak nasi. *** “Pagi pa. Aku akan segera berangkat ke sekolah ya. Aku sudah hampir terlambat." “Rey, bisa kamu kesini sebentar?”, seru mama nya Rey dari ruang tamu “Iya ma, ada apa?” tanya Rey, yang pada saat itu baru selesai mandi dan sedang tergesa-gesa membereskan buku. “Kamu tidak akan sekolah hari ini Rey.” “Loh, kenapa ma? Apakah hari ini hari libur?” “Mama baru mendapatkan kabar dari orang tua Aiden. Malam 2 hari yang lalu tidak kembali ke rumah setelah bermain basket dengan kamu dan teman-teman mu. Orang tua Aiden sudah melaporkannya ke kantor polisi dan dugaan mereka adalah Aiden telah diculik namun mereka belum bisa menemukan informasi selanjutnya”, kata mama Rey dengan tenang agar Rey tidak panik. “Hah? Tidak mungkin!” “Mama tau ini adalah hal yang sangat menyeramkan, tapi mama percaya Aiden akan segera ditemukan. Tapi saat ini, demi keamanan kita semua, sebaiknya kamu jangan keluar dari rumah sebelum polisi memberikan informasi lebih lanjut mengenai Aiden.” “Baiklah”, jawab Rey yang masih mencerna informasi yang baru didapatnya.

66 -

Ivana B. Liestio

*** “Halo teman-teman. Apakah kalian sudah mendengar kabar mengenai Aiden?”, tanya Rey di grup yang berisi teman-temannya. “Iya, aku baru diberitahu oleh orang tuaku”, jawab salah satu teman dekat Rey, Jack. “Aku tidak menyangka hal ini bisa terjadi oleh salah satu teman kita. Selama ini aku selalu mengira bahwa lingkungan tempat tinggal kita aman dan tidak ada orang jahat”, tutur Ben yang juga merupakan salah satu teman Aiden dan Mike yang sering bermain basket dengan mereka. “Iya aku juga sangat kaget ketika mendapatkan beritanya. Semoga Aiden bisa ditemukan secepatnya”, kata Rey. Namun, Aiden tidak kunjung ditemukan. 2 hari…, 3 hari…, 5 hari telah berlalu namun polisi masih belum menemukan dimana Aiden berada. teman-teman dan orang orang yang mengenal Aiden pun semakin cemas akan keberadaannya. Banyak informasi yang didapatkan oleh polisi terkait kasus ini namun tidak ada yang membuahkan jawaban. Pencarian pun tetap dilakukan hingga 5 hari telah berlalu. Sekolah dan semua tempat publik telah ditutup semenjak kasus kehilangan ini. Anak anak dibawah umur tidak diperbolehkan untuk keluar dari rumah tanpa pengawasan orang dewasa. *** “Apa kabar kalian semua?” tanya Rey pada teman-temannya di telepon. “Aku sangat kangen sekolah dan bermain basket dengan kalian semua”, jawab Mike. “Aku juga kangen bermain dengan kalian”, jawab Jack. “Sudah 5 hari sejak Aiden menghilang namun polisi belum bisa memberi jawaban apaapa. Ini sangat mengesalkan!”, seru Mike yang kesal akan kerja polisi yang menurutnya tidak cukup baik. “Mending kita saja yang mencari Aiden! Mungkin saja kita bisa menemukan informasi yang lebih berguna mengenai Aiden”, usulnya. “Tapi, kita sudah dilarang untuk pergi ke luar rumah tanpa pengawasan orang dewasa. Bisa saja kita bukannya menemukan Aiden, malah nanti kita terkena masalah lain. Sebaiknya kita serahkan kasus ini pada polisi saja”, kata Rey.

67 -

Ivana B. Liestio

“Tapi sudah 5 hari polisi mengerjakan tugasnya dan tidak ada hasil yang didapatkan. Aku akan keluar untuk mencari Aiden. Jika kamu tidak mau ikut, itu pilihanmu. Aku memilih untuk mencari temanku”, kata Mike. “Aku setuju dengan Mike. Mungkin saja kita bisa mendapatkan informasi yang berguna yang kemudian bisa kita berikan pada polisi agar Aiden bisa ditemukan dengan lebih cepat”, kata Jack yang setuju dengan rencana Mike. “Aku juga mau ikut membantu. Aiden adalah teman kita. Sebagai teman kita seharusnya mau melakukan apapun untuk membantu dan menolongnya. Kalau kau tidak mau ikut membantu berarti kamu bukan teman yang setia”, kata Ben. “Baiklah, aku akan ikut kalian mencari Aiden”, kata Rey. *** Pada akhirnya, 5 hari setelah menghilangnya Aiden, teman-teman Aiden termasuk Rey memutuskan untuk diam diam pergi dari rumah tanpa sepengetahuan orang tua mereka untuk mencari keberadaan Aiden. Agar orang tua mereka tidak curiga, mereka memutuskan untuk mencari Aiden pada malam hari agar orang tua mereka mengira bahwa mereka telah tidur. Pada malam hari kelima, Mike, Rey, dan 2 orang teman lainnya pergi dari rumah dan mereka telah sepakat untuk berkumpul pada pukul 9 malam di lapangan basket terlebih dahulu. Setelah mereka semua sudah berkumpul, pencarian pun dilakukan. Lokasi pertama yang mereka cari adalah wilayah lapangan basket yang merupakan tempat terakhir dimana Aiden terakhir terlihat. “Aku tidak menemukan apapun disini”, seru Mike dari balik semak semak dekat lapangan basket. “Aku juga tidak menemukan apa-apa”, kata Ben dari sudut lapangan. “Kita hanya membuang-buang waktu!”, seru Rey yang semakin frustasi mendengar dan mengikuti ide teman-temannya yang bodoh ini. “Tentu saja kita tidak bisa menemukan apa-apa. Polisi yang lebih ahli saja tidak menemukan apa-apa. Aku mau pulang saja sebelum orang tuaku menyadari aku tidak di rumah!”

68 -

Ivana B. Liestio

“Tunggu Rey! Kita belum mencari seluruh daerah disini dan kita juga masih ada waktu. Kalau kita mencari lebih lama lagi,aku yakin kita bisa mendapatkan sesuatu”, seru Mike sambil berlari ke arah Rey. “Tidak! Aku sudah capek dan aku akan pulang!” “Kita hanya membuang-buang waktu!”, seru Rey yang semakin frustasi mendengar dan mengikuti ide teman-temannya yang bodoh ini. “Tentu saja kita tidak bisa menemukan apa-apa. Polisi yang lebih ahli saja tidak menemukan apa-apa. Aku mau pulang saja sebelum orang tuaku menyadari aku tidak di rumah!” Terjadilah pertengkaran antara Rey dan Mike. Tanpa mereka sadari, Jack dan Ben telah menelusuri area hingga cukup jauh dari letak lapangan basket. Mereka telah pergi jauh hingga masuk ke daerah yang cukup gelap. “Ben, kita sudah terlalu jauh dari lapangan basket. Sebaiknya kita kembali sebelum tengah malam”, kata Ben pada Jack yang berada di dekat semak semak, berharap bisa mendapatkan ponsel, dompet, atau apapun benda milik Aiden yang bisa memberi informasi. “Baiklah, ayo kita kembali ke lapangan basket”, jawab Jack. Namun, mereka sudah masuk ke daerah yang gelap dan terisolasi dari daerah yang terdapat lampu dan tanpa mereka sadari, ada seorang pria bertubuh besar yang sudah memantau mereka sejak mereka terpisah dari Mike dan Rey. Setelah Jack dan Ben sedang berjalan kembali menuju lapangan basket, tiba tiba pria tersebut datang dari belakang mereka dan memukul Jack. Ben yang terkejut dan tidak menyadari apa yang baru saja terjadi pun menoleh ke belakang untuk melihat pria tersebut yang akan menyerangnya. Namun sebelum pria tersebut bisa melukai Jack, Ben bereaksi cepat dengan berdiri dan berlari secepat mungkin kembali ke lapangan basket, dimana Rey dan Mike sedang bertengkar. Ben pun memanggil mereka dengan histeris dan menjelaskan pada mereka bahwa ada seorang lelaki yang melukai Jack.

“Rey! Mike! Jack telah dilukai oleh seseorang”, teriak Jack dengan panik. “Hah, apa maksudmu? Dimana Ben sekarang?”, tanya Rey.

69 -

Ivana B. Liestio

“Tadi kami ke daerah yang cukup gelap. Aku sudah menyuruh Jack untuk kembali ke lapangan basket karena kita sudah memasuki daerah gelap di ujung gang tapi Jack tidak mau kembali, terus tiba-tiba ada seorang lelaki yang menyerang kami dari belakang dan memukul Jack. Pria tersebut juga sebenarnya mau melukaiku tapi aku berhasil kabur dan berlari kesini”, Ben menjelaskan. Maka Ben, Rey, dan Mike pun berlari ke tempat Ben dilukai namun ketika mereka sampai disana, Jack dan lelaki tersebut sudah tidak terlihat lagi. Mereka yang kemudian panik memutuskan untuk pergi ke kantor polisi untuk melaporkan hal tersebut. Sesampainya mereka di kantor polisi, Ben menjelaskan kronologi yang terjadi sebelum menghilangnya Jack. Pastinya, polisi sangat marah akan perbuatan mereka yang melarang aturan yang telah ditetapkan oleh polisi untuk tidak keluar rumah, namun mereka juga mendapatkan informasi baru dikarenakan Ben sempat melihat muka dari pria tersebut sebelum ia lari kembali ke lapangan basket. Dengan polisi mendapatkan deskripsi pria tersebut, mereka bisa memiliki gambaran orang yang menculik Aiden dan Jack. Setelah polisi mendapatkan informasi yang sangat berguna dari Ben, mereka bertiga diantar kembali ke rumah mereka masing-masing. Tentu sesampainya mereka di rumah, mereka dimarahi oleh orang tua mereka dan polisi pun menetapkan peraturan yang lebih ketat terkait kebijakan untuk tidak meninggalkan rumah jika tidak ada keperluan yang penting. “Maafkan aku ya Ben, Rey. Karena ideku yang bodoh ini sekarang Jack ikut menghilang. Ini semua salahku”, ujar Mike yang merasa sangat bersalah atas kejadian yang terjadi malam sebelumnya. “Tidak apa-apa Mike. Walaupun sekarang Jack ikut menghilang tapi berkat idemu yang bodoh itu kita bisa memberikan informasi yang lebih berguna pada polisi”, jawab Rey yang setengah kesal pada Mike dan ide bodohnya. “Aku rasa dengan informasi yang telah aku berikan pada polisi, Jack dan Aiden bisa ditemukan dengan lebih cepat”, kata Ben. Dengan informasi yang didapatkan dari Ben, polisi berhasil melacak dan menemukan 3 orang yang cocok dengan deskripsi yang diberikan Ben. Setelah polisi selesai mengkonfirmasi semua data dari ketiga orang tersebut, Ben dipanggil ke kantor polisi untuk menentukan siapa pria yang telah menyerangnya dan memukul Jack. Dari ketiga pria tersebut, Ben berhasil mengidentifikasi pria yang benar. Ternyata pria tersebut bernama Dave Anderson dan dia merupakan salah satu orang yang memiliki catatan kriminal terkait penyerangan fisik dan penculikan anak.

70 -

Ivana B. Liestio

Setelah melalui beberapa proses lebih lanjut, polisi berhasil melacak tempat tinggal Dave. Dengan segera polisi pergi ke lokasi tempat tinggal Dave dan melabrak rumah tersebut. Di dalam rumah tersebut, polisi menemukan Dave yang sedang berada di dalam rumah dan polisi juga menemukan Aiden dan Jack yang berada di suatu kamar dengan makanan yang berserakan. Ternyata selama 6 hari Aiden menghilang, ia telah ditaruh di sebuah ruangan kecil dan hanya diberi makan satu kali sehari. Mereka pun segera dibebaskan namun mereka tetap harus ke kantor polisi untuk menjawab beberapa pertanyaan. Ketika Aiden kemudian dibawa ke kantor polisi, ia pun menceritakan bagaimana ia bisa ditangkap. “Jadi awalnya aku baru saja selesai bermain basket bersama teman-temanku yang lainnya dan sedang berjalan ke arah rumahku, namun pada saat itu aku berpikiran untuk pergi ke toko jajanan untuk membeli minuman dingin karena pada saat itu aku sedang sangat capek dan ingin meminum minuman yang dingin. Setelah aku memutuskan untuk pergi ke toko jajanan, aku tidak menyadari bahwa hari sudah malam dan aku akan diomeli oleh ibuku jika aku tidak segera pulang, maka itu aku memutuskan untuk melewati jalan pintas dengan melewati gang kecil di samping toko tersebut. Ketika aku sedang berjalan di gang tersebut, aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sedang mengikutiku. Pria tersebut kemudian memukulku dari belakang dan aku tidak sadarkan diri. Setelah aku sadar, aku sudah dibawa ke ruangan kecil dimana polisi menemukanku tujuh hari kemudian”, jelas Rey pada polisi. Polisi pun bertanya beberapa pertanyaan lagi terkait informasi mengenai Dave yang dapat digunakan untuk melawannya di pengadilan. Setelah mendapatkan informasi yang cukup, Aiden pun diperbolehkan untuk bertemu dan kembali kepada orang tuanya di rumah. Dalam pengadilan Dave pun dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun untuk 2 tuduhan penculikan anak. 3 hari setelah Aiden ditemukan sekolah dan tempat umum pun sudah dibuka dan rakyat sudah diperbolehkan untuk keluar rumah dengan lebih bebas. Rey, Aiden, Mike, Jack, dan Ben pun sudah bisa pergi ke sekolah dan bermain basket lagi pada sore hari.

71 -

Ivana B. Liestio

8. Terjatuh Tapi Tidak Selamanya oleh Jeremy Frederick

"Wah lihat itu, keren sekali!" Ucap seorang anak. "Itu kan mobil mahal yang baru keluar minggu ini!" Ucap anak lainnya. "Pasti mobil itu dia yang punya!" Lanjutnya. Anak–anak di depan gerbang sekolah ramai membicarakan mobil baru tersebut, tetapi mereka sudah menebak siapa pemiliknya. Mobil tersebut berhenti di jalan raya depan gerbang sekolah dan tampaknya akan menurunkan seseorang. Pintu pengemudi terbuka, keluar seorang pria tua yang kurus dan tinggi, kemudian ia berjalan ke pintu penumpang di belakang dan membukanya dengan pelan. Pintu dibuka, seorang anak laki-laki turun dari mobil sambil membawa tas sekolahnya. Dia adalah anak dari pemilik mobil tersebut dan sang pengemudi bukanlah pemiliknya, tetapi hanya seorang supir yang sedang bekerja. Anak laki-laki tersebut berjalan masuk menuju sekolahnya melewati gerbang yang dikerumuni banyak orang. Mereka memperhatikan anak itu dan mobil yang dinaikinya. Anak tersebut terus berjalan hingga masuk ke dalam gedung sekolah tanpa memperdulikan sekelilingnya seolaholah itu sudah biasa baginya. Setelah masuk ke gedung sekolah, sang supir masuk kembali ke mobil dan pergi meninggalkan sekolah. Semua orang di sekolah mengetahui siapa anak tersebut. Dia dikenal sebagai anak konglomerat satu-satunya di sekolah. Nama anak itu adalah Hanzolo, seorang anak laki-laki kelas 12 yang sering menjadi perbincangan di sekolahnya. Dia berasal dari keluarga kaya raya yang terdiri dari sepasang suami istri dan anak tunggal yang adalah dia sendiri. Meskipun kaya raya, Hanzolo tidak sombong dan memamerkan harta orangtuanya, dia juga tidak memanfaatkan posisinya sebagai anak dari orang kaya untuk kepentingannya sendiri di sekolah. Ayahnya Hanzolo merupakan pemimpin sebuah perusahaan ternama. Ayahnya ini bekerja dengan jujur dan rajin, sehingga banyak orang yang sangat menghormatinya dan menyukainya. Nama dari Ayahnya Hanzolo adalah Dito, biasa dipanggil sebagai Pak Dito di tempat kerja dan oleh orang-orang yang mengenalnya. Pak Dito tidak sampai pada posisi pemimpin sebuah perusahaan ternama karena usahanya sendiri, tapi juga karena bantuan dari saudaranya yang bernama Dodi. Dodi merintis karirnya bersama dengan Pak Dito bersama-sama dari awal masuk perusahaan tersebut hingga Pak Dito menjadi pemimpin sebuah perusahaan. Dodi menjadi asisten dan tangan kanan dari Pak Dito, keduanya bekerja dengan sangat baik bersama-sama. Untuk ibunya Hanzolo, ia adalah seorang ibu rumah tangga. Ia pandai memasak, karena dulu ia pernah bekerja sebagai seorang koki dari sebuah tempat makan.

74 Terjatuh Tapi Tidak Selamanya

Jeremy Frederick

Keluarga Pak Dito hidup dalam damai dan akur, mereka tidak khawatir akan kekurangan apapun. Namun, semuanya itu dapat dirampas hanya dalam satu hari. Sebuah peristiwa menimpa Pak Dito ketika ia sedang bekerja di perusahaannya, datang banyak polisi masuk ke tempat Pak Dito bekerja. Para polisi tersebut mencari Pak Dito dan ingin menangkapnya. Pak Dito ditangkap di ruangan kerjanya dan dibawa ke mobil polisi. Pak Dito masuk ke dalam mobil polisi dan duduk dikursi belakang. Ia bingung dan ingin mengetahui alasan dari penangkapannya tersebut dengan menanyakannya pada polisi yang menangkapnya. Polisi tersebut menjawab bahwa Pak Dito ditangkap dengan tuduhan penggelapan uang. Pak Dito kaget dan menyangkal tuduhan tersebut, tetapi polisi tersebut tidak menghiraukannya. Di tempat lain, Hanzolo tidak mengetahui kejadian tersebut karena ia masih di sekolah. Waktu sekolah telah berakhir, ditandai dengan bunyi bel sekolah yang mengisi satu sekolah. Anak-anak sekolah langsung membereskan tas mereka dan keluar kelas. Ada yang masih tinggal di sekolah sambil bercengkrama dan ada yang langsung pulang ke rumahnya. Hanzolo menunggu jemputan dari supirnya sambil bermain futsal dengan teman-temannya. Lalu datanglah mobil yang ditunggunya di depan gerbang sekolah. Hanzolo langsung berpamitan kepada teman-temannya sambil mengambil tas sekolahnya. Ia bergegas ke depan gerbang sekolah dan naik ke dalam mobil. Mobil tersebut langsung pergi menuju rumah. Setibanya di rumah, Hanzolo bingung karena ada banyak mobil polisi yang berparkiran di depan rumahnya. Hanzolo langsung bergegas turun dengan perasaan gelisah dan memasuki rumahnya. Di dalam, banyak polisi yang melakukan investigasi dengan memeriksa berbagai barang dan mengecek setiap sudut ruangan di rumah tersebut. Salah satu dari polisi tersebut melihat Hanzolo dan menghampirinya. Hanzolo ditanyai apakah dia adalah anak dari Pak Dito, Hanzolo menjawab iya. Hanzolo bertanya apa yang terjadi, namun tiba-tiba Pak Dito datang dari luar rumah. Hanzolo bertanya kepada ayahnya tersebut dan Pak Dito menjawab bahwa ia ditangkap polisi dengan tuduhan penggelapan uang. Pak Dito menyangkal bahwa tuduhan tersebut tidaklah benar, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Tiba-tiba Ibunya Hanzolo keluar dari kamarnya. Ia terlihat sangat sedih karena tuduhan yang menimpa suaminya tersebut. Ia juga menyangkali tuduhan tersebut. Tiba-tiba Pak Dodi masuk ke dalam rumah mereka dan menyapa. Ia mengatakan bahwa ia sangat sedih dengan kejadian ini, tetapi tidak bisa membantu banyak. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak menyangka Pak Dito akan melakukan penggelapan uang. Pak Dito marah dan mengatakan bahwa itu semua tidak benar, tetapi Pak Dodi memberikannya bukti-bukti penggelapan uang dari polisi dan di bukti-bukti tersebut tercantum nama Pak Dito. Pak Dito kaget dan mengatakan bahwa itu semua tidaklah benar.

75 Terjatuh Tapi Tidak Selamanya

Jeremy Frederick

Pak Dodi tampaknya tidak mempercayai perkataan Pak Dito. Pak Dodi melanjutkan bahwa ia tidak akan bisa membantu Pak Dito dalam kasus ini, kecuali menyuap para polisi untuk tidak memenjarakan Pak Dito dan membungkam media massa untuk tidak menyiarkan berita tentang kejadian ini. Pak Dito terdiam, mukanya menunjukkan bahwa ia tidak percaya semua hal tersebut telah terjadi. Pak Dodi mengatakan bahwa sekarang Pak Dito telah dicabut dari jabatannya dan digantikan oleh Pak Dodi. Pak Dodi selesai berbicara lalu berpamitan untuk pulang. Setelah semua kejadian itu, Keluarga Pak Dito harus pergi dari rumah mereka karena semua barang mereka disita sebagai bukti untuk kasus itu. Pak Dito dibantu oleh seorang suruhan Pak Dodi untuk dicarikan rumah yang murah untuk keluarga mereka tinggal. Mereka mendapatkan rumah kecil disebuah gang yang kumuh dan sempit. Tidak ada barang yang dibawa oleh mereka untuk pindah ke rumah tersebut kecuali pakaian dan uang simpanan mereka yang tidak banyak, karena telah diambil sebagai bukti hasil penggelapan uang. Mereka juga sudah tidak memiliki pelayan dan supir yang dapat membantu mereka karena gaji yang sudah tidak sanggup dibayar oleh Pak Dito. Selain pindah tempat tinggal, Hanzolo juga harus pindah sekolah untuk menghemat biaya. Ia pindah ke suatu sekolah yang kecil di dekat tempat tinggal mereka dan pergi ke sana dengan jalan kaki juga untuk menghemat biaya. Pak Dito bingung harus bekerja sebagai apa untuk menghidupi keluarganya, maka dia mencari-cari pekerjaan di tempat sekitar lingkungan rumahnya. Akhirnya Pak Dito mendapatkan pekerjaan menjadi seorang penjaga toko sembako di dekat tempat mereka tinggal. Meskipun bayarannya tidak banyak, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Istri dari Pak Dito tetap menjadi Ibu rumah tangga, tapi ia harus bekerja lebih banyak lagi karena tidak ada yang membantunya untuk mengurusi pekerjaan di rumah. Hari pertama Hanzolo di sekolah barunya bisa dibilang tidak terlalu memberikan kesan yang bagus kepadanya. Sekolah barunya terlihat lebih kecil dan ramai, dengan kebersihan yang kurang terjaga karena ada sampah-sampah yang bertebaran di sekolahnya. Lalu ia juga melihat banyak remaja yang merokok dan minum-minuman keras di pinggir sekolah sambil melihatnya dengan tajam, mungkin karena hanzolo masuk sekolah tersebut di pertengahan semester kedua. Saat sekolah dimulai, Hanzolo masuk ke kelas yang telah ditentukan untuknya. Kelas yang dimasuki olehnya adalah kelas 12 jurusan IPS. Saat memasuki kelas, Hanzolo melihat bahwa teman-teman sekelasnya masih berbincang-bincang meskipun sekolah sudah dimulai. Sesaat setelah Hanzolo masuk, seorang guru pun masuk. Guru tersebut adalah seorang bapak yang dipanggil sebagai Pak Andi oleh murid disitu, tampaknya ia adalah wali kelas dari kelas yang dimasuki Hanzolo. Pak Andi menanyai identitas Hanzolo, lalu Hanzolo berkata bahwa ia adalah murid baru di sekolah tersebut. Setelah itu, Pak Andi langsung menenangkan kelas dengan satu teriakan yang sangat kencang. Hanzolo kaget dengan 76 Terjatuh Tapi Tidak Selamanya

Jeremy Frederick

Hanzolo kaget dengan teriakan tersebut juga karena cara pak Andi untuk menenangkan kelasnya. Setelah kelas tenang, Pak Andi mempersilahkan Hanzolo untuk memperkenalkan dirinya di depan kelas. Saat ingin mulai memperkenalkan dirinya, Hanzolo terdiam sejenak. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, bahwa sebuah kelas akan mempunyai murid sebanyak itu jika dibandingkan dengan sekolah lamanya yang mungkin hanya seperempat dari total kelas ini. Setelah diam sejenak, Hanzolo sadar kembali dan mulai memperkenalkan dirinya di depan banyak sekali orang. Hanzolo memberitahukan tentang namanya, umurnya, dimana ia tinggal sekarang, dan sekolah lamanya. Setelah memperkenalkan diri, Hanzolo menuju tempat duduk yang telah disediakan untuknya. Hanzolo berharap kehidupan sekolahnya akan baik-baik saja. Dia berpikir bahwa dia hanya perlu bertahan di sekolah ini sampai kelulusannya saja. Hari pertama Hanzolo di sekolah barunya telah berlalu. Dia mendapatkan beberapa teman baru di hari pertamanya. Hanzolo berpikir bahwa sekolah ini tidak terlalu buruk. Banyak anak yang terlihat ingin akrab dengannya meskipun dia berpikir bahwa penampilan mereka terlihat lebih tua dan menyeramkan untuk remaja seusianya. Meskipun begitu, ada juga kelompok murid yang tampak tidak ramah dan terlihat seperti sebuah geng. Pekerjaan Pak Dito yang baru bisa dibilang cukup mudah. Ia hanya menjaga toko dari dalam sambil melayani pembeli yang datang. Di hari pertamanya, Pak Dito bekerja dengan baik. Ia melayani para pembeli dengan sepenuh hati juga ramah sehingga menjadi disukai oleh para pelanggan di situ. Pak Dito memberikan kesan yang baik kepada orang-orang saat bekerja di hari pertamanya. Ada juga para pelanggan yang memberikannya uang tips karena pelayanan Pak Dito yang baik terhadap para pelanggannya. Pak Dito mulai suka dengan pekerjaan barunya ini. Enam bulan berlalu, Hanzolo telah menyelesaikan sekolahnya dengan hasil yang memuaskan. Ia juga memiliki cukup banyak teman disitu karena suka membantu teman-temannya yang kesulitan untuk belajar. Sedangkan untuk Pak Dito, ia bisa hidup dengan cukup tenang di tempat tinggal barunya. Dibandingkan dengan pekerjaan lamanya yang hanya duduk di kantor sambil bekerja, sekarang ia bisa memiliki banyak waktu untuk bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya saat bekerja. Ia suka berbincang dengan para pembeli yang datang ke situ. Ia juga sudah mnemiliki reputasi yang baik di toko tempatnya bekerja sehingga pemilik toko menaikkan upahnya. Meskipun begitu, ada satu masalah yang datang, yaitu apakah Hanzolo akan lanjut ke kuliah atau tidak. Hanzolo dan Pak Dito berdiskusi. Hanzolo mengatakan bahwa ia tidak perlu kuliah jika Pak Dito tidak sanggup untuk membayarnya tetapi Pak Dito bersikeras untuk Hanzolo lanjut ke kuliah tanpa memikirkan masalah uang. Setelah berdiskusi dengan cukup lama, akhirnya Pak Dito setuju untuk Hanzolo tidak kuliah, mempertimbangkan kondisi ekonomi mereka juga. Karena tidak kuliah, Hanzolo mulai mencari pekerjaan. Hanzolo mengecek brosurbrosur, koran, majalah, dan berbagai macam lainnya untuk mencari pekerjaan.

77 Terjatuh Tapi Tidak Selamanya

Jeremy Frederick

Namun, tidak ada satupun kriteria yang cukup untuk membuatnya diterima bekerja. Akhirnya, Hanzolo pun mendapatkan ide pekerjaan yang cocok untuknya, yaitu menjadi seorang guru les di sekolahnya. Ia melihat banyak murid-murid sekolah yang kesulitan untuk mengikuti pelajaran, jadi ia bisa memanfaatkan keadaan ini untuknya mencari penghasilan. Hanzolo mengatakan kepada teman-temannya bahwa jika ada kenalan mereka yang kesulitan untuk belajar, bisa diajak untuk les di Hanzolo. Beberapa hari kemudian, Hanzolo sudah mendapatkan banyak murid les. Ia dapat dengan mudah mendapatkan murid les karena nilai-nilai Hanzolo yang bagus di masa sekolah. Dengan menjadi guru les, Hanzolo bisa membantu orangtuanya untuk membantu kondisi ekonomi keluarganya. Kehidupan keluarga Pak Dito menjadi membaik. Setelah Hanzolo mendapatkan pekerjaan, keluarganya bisa cukup sering makan-makanan yang enak, meskipun ada batasan untuk mereka. Mereka juga sudah mengurangi penghematan biaya mereka dan bisa membeli barang-barang tertentu yang mereka inginkan meskipun tidak terlalu mahal. Namun, ada sebuah kabar mengejutkan yang datang dari saudara Pak Dito, yaitu Pak Dodi. Pak Dodi masuk berita, dikatakan bahwa Pak Dodi ketawan melakukan penggelapan uang di perusahaannya, sehingga Pak Dodi ditangkap oleh polisi. Pak Dodi ketawan karena dilaporkan oleh para karyawannya sendiri. Di perusahaan yang pernah dikepalai oleh Pak Dito, Pak Dodi berlaku dengan semenamena kepada para karyawannya sehingga banyak orang yang tidak menyukai Pak Dodi. Para karyawannya juga berpikir bahwa Pak Dito memiliki perilaku yang jauh lebih baik dari saudaranya. Mereka menginginkan Pak Dito untuk kembali bekerja diperusahaan tersebut menggantikan Pak Dodi. Para karyawan di perusahaan tersebut mulai mencari cara untuk melengserkan Pak Dodi dari jabatannya. Kemudian, ditemukanlah bukti penggelapan uang Pak Dodi, lalu juga bukti bahwa Pak Dodi menuduh Pak Dito melakukan penggelapan uang. Semua bukti itu diserahkan kepada polisi. Pak Dodi ditangkap keesokan harinya setelah bukti-bukti diberikan kepada polisi tanpa sepengetahuan Pak Dodi. Setelah Pak Dito melihat berita tersebut, ia terkejut, tapi tidak merasa kasihan. Ia mengatakan bahwa itu adalah ganjaran yang pantas untuk saudaranya yang telah mengkhianatinya. Kemudian, Pak Dito pergi mengunjungi perusahaannya itu dan melihat bahwa semua orang menyambutnya dengan baik. Pak Dito merasa lega bahwa karyawan-karyawan tersebut telah bebas dari Pak Dodi yang semena-mena. Pak Dito diangkat kembali menjadi pemimpin perusahaan karena ia telah dibuktikan tidak bersalah, juga semua orang di perusahaan tersebut setuju dengan keputusan tersebut. Semua barang sitaan telah dikembalikan, termasuk dengan rumah mereka. Keluarga mereka kembali menjadi kaya raya dan hidup tenang seperti dulu.

78 Terjatuh Tapi Tidak Selamanya

Jeremy Frederick

9. Momen yang Mengikat Kita Kembali oleh Joshua C. Harrison

Tak terasa 14 tahun telah lewat begitu saja bagaikan sekejap mata. Kini Justin telah lulus SMP dengan nilai Ujian Nasional yang sangat tinggi. Meskipun begitu, tidak banyak orang yang memberi dia ucapan akibat dia tidak mempunyai banyak teman. Sejak dahulu, Justin adalah anak pendiam dan merasa selalu sendiri. Dalam keluarganya terdapat Ibu, Ayah, 2 kakak perempuan dan 2 adik 1 cowok dan 1 cewek Keluarganya sangat ramai sehingga privasi di rumah ini sangatlah kecil. Hubungan di keluarga ini juga cukup jauh karena banyak masalah yang berujung pada sebuah pertengkaran. Walau berada di rumah yang dipenuhi banyak orang, dia merasa kesepian. Justin merasa bahwa semua orang di dunia ini tidak baik dan ia tak percaya pada siapapun, termasuk orang tuanya. Ketika dia merasa kecewa dan kesal, dia hanya menulis pikirannya di sebuah jurnal yang dia tidak pernah tunjukan kepada siapa pun. Jurnal tersebut dianggap seperti seorang manusia sendiri yang dapat mendengar keluhannya. Saat lulus SMP, orang tuanya bingung untuk mendaftarkan Justin ke sekolah mana. Ayahnya berkata kepada Justin "Nak kamu mau sekolah dimana? Kakakmu Velin sekolah di SMA Kristen Donat, sedangkan kakakmu Kristin pergi ke SMA Kristen Bestie. Kamu sendiri mau ke sekolah mana?" Justin bingung mau menjawab apa "Aku sih masih kurang tau mau ke sekolah mana, intinya tempat dimana aku mempunyai banyak teman, gak kayak di sekolah ini yang orangnya jahat - jahat semua" Ayah pun merespon "Baiklah, kalau gitu coba cari di internet sekolah - sekolah yang bagus". Malam itu Justin mencari di internet dengan mengetik kata kunci "Sekolah yang underrated". Keluarlah daftar nama sekolah - sekolah yang bisa dipilih. Saat Justin melihat lebih dekat, terdapat satu sekolah yang menarik perhatiannya. Ia pun Memutuskan untuk menjadi murid SMA Kristen Calvin, sekolah yang memang Ia pilih. Beberapa bulan kemudian menunggu kata sambutan berbicara dengan orang di siapa?" Tanya Justin. Thea salam kenal juga"

hari pertama telah tiba. Justin duduk dengan diam dari kepala sekolah yang baru. Sambil menunggu, dia sebelah kirinya yaitu Thea. "Hi, salam kenal, namamu pun menjawab "Hi nama saya is Thea, I'm dari Jaksel,

Tiba - Tiba terdengar suara dari mikrofon "Selamat datang siswa-siswi baru di Sekolah Kristen Calvin" semua murid bertepuk tangan "Perkenalkan nama saya Bapak Mateo. Saya adalah kepala sekolah di sekolah ini, semoga kalian bisa menikmati masa - masa kalian di sini selama 3 tahun ke depan" suara tepuk tangan meriah

80 Momen yang Mengikat Kita Kembali

Joshua C. Harrison

"Sekarang untuk pembagian kelasnya, untuk kelas 7A, akan ada Allan, Eve, Ella, Justin, Zackher… Wali kelas kalian adalah Ibu Esyah” “Silahkan ikuti Bu Esyah ke ruang kelas kalian" Setelah beberapa hari masuk kelas yang baru, Justin mulai berteman dengan Allan, Eve dan, Ella. Mereka berempat menjadi teman yang dekat. Tetapi suatu hari ketika sedang bermain dengan mereka, Justin merasakan ada yang aneh, seperti perasaan yang kosong. Perasaan hampa yang membuat hatinya tidak tenang. Malam itu Justin berpikir, menutup matanya sambil mengingat memori apa saja yang telah dilalui. Namun setelah dikecam beberapa saat, masih saja tidak bisa dipikirkan. Ia pun mengecek solusi alternatifnya yaitu jurnalnya. Ia mengecek perlahan - lahan dan menyadari suatu tanggal yang ditandai dengan bintang. Bagi Justin, hari - hari spesial tertentu ditandai untuk diingat kembali saat dibaca. Justin pun membaca kalimat pertamanya “16 Juli 2021 adalah hari pertama masuk ke sekolah baru. Aku berteman dengan seseorang bernama Thea” Dalam sekejap memorinya kembali ke pikirannya. "Astaga Thea, pokoknya aku harus menemuinya, sudah tiga bulan tidak berbicara dengannya" Ingat Justin. Justin pun menyadari dan mencari di setiap kelas lain untuk menemui Thea yang akhirnya ditemukan di kelas 7H. "Thea, kamu masih ingat aku tidak? Justin yang duduk di sampingmu saat hari pertama" Ucap Justin dengan suara penuh kekhawatiran tidak akan diingat. Thea pun menjawab "Tentu saja dong, kamu Justin kan?". "Iya betul" sahut Justin dengan perasaan gembira. “Kayaknya istirahat sudah mau selesai nih, Aku boleh minta nomor telepon kamu tidak BTW?” Justin bertanya dengan harapan dijawab iya. “Pastinya boleh dong, nomorku 0895674…” Hari pun berjalan dengan normal seperti biasanya. Satu hal yang berbeda sejak Justin mendapatkan nomor Thea, dia sering menuliskan pesan kepadanya menanyakan kabar dan hal - hal lain. Setelah beberapa bulan, Justin sudah punya banyak teman. Namun, tetap saja, yang menjadi teman spesialnya hanyalah Thea. Thea merupakan salah satu temannya yang dia merasa dapat dipercaya. Saat pulang sekolah mereka akan curhat kepada satu sama lain menceritakan hal - hal seru. Diam - diam, mulailah muncul rasa suka kepada Thea. Thea dianggap sebagai segalanya bagaikan harta yang langka.

81 Momen yang Mengikat Kita Kembali

Joshua C. Harrison

Suatu hari kelas 7A memutuskan untuk bermain game Truth or Dare. Botol diputar dan kali ini berhenti mengarah Allan. "T atau D" sebut teman - temannya dengan kencang. “Tentu T dong” ucap Allan. "Ok, kalau gitu aku punya 1, siapa cewe yang kamu paling suka di angkatan ini?" Eve bilang dengan penuh penasaran. Semua mata pun tertuju pada Allan... Setelah menghembuskan nafas, Allan pun menjawab. "Mungkin kalian tidak tahu perempuan ini, nama dia adalah Thea dari kelas 7H" Semuanya langsung mulai membuat suara romantis ciee ciee keluar suara satu per satu. Semua orang terlihat tertarik terhadap kisahnya kecuali satu orang yaitu Justin. Muka Justin dapat terlihat berwarna merah dan tersipu. Justin pun izin kepada temannya untuk pergi ke toilet dengan alasan palsu yaitu sakit perut agar menutupi perasaanya. Selama perjalanan ke toilet, Justin berpikir dalam hati "Selama ini ternyata Allan juga dekat dengan Thea? Teman dekat saya Allen menyukai cewe yang sama denganku?" matanya mengalir deras. Perasaan Justin penuh dengan campur aduk. Di satu sisi tentu senang karena temannya sedang menyukai seseorang, namun di saat yang sama sedih karena cewe yang disukainya merupakan cewe yang sama. Justin pun kembali dengan hati yang tidak tenang dan melanjutkan permainan "Truth or Dare" Saat pulang sekolah Justin merasa marah, emosinya tidak terkendalikan. “Allan manusia itu pokoknya jahat sekali” Justin pun mem block nomor telepon Allan dan selama beberapa hari kedepan, Justin tidak berbicara sama sekali kepada Allan. Allan mulai menyadari tingkah aneh Justin yang menghindari dia. Meskipun begitu dia tidak mengetahui alasan sebenarnya mengapa Justin marah terhadapnya. Hingga suatu hari, saat pulang sekolah hanya tersisa Allan dan Justin. Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Allan pun mengambil keberanian untuk duduk disebelah Justin dan bertanya Justin “kamu kenapa belakangan ini kesel sm aku? Apa aku ada salah?"

82 Momen yang Mengikat Kita Kembali

Joshua C. Harrison

SJustin menghembuskan nafas dan berkata "Sebenarnya saat kita minggu lalu main TOD, waktu kamu bilang kamu suka Thea, aku merasa sakit hati karena aku juga suka Thea" "Tapi, setelah melihat beberapa hari ini, Thea terlihat jauh lebih cocok dan menikmati berbicara dengan mu, jadi aku rasa lebih baik kamu yang bersama dia" Ucap Justin dengan matanya yang terlihat berair. Justin melanjutkan dengan berkata "Sorry kalau misalnya aku jadi teman sifatnya gampang iri hati. Semua orang mempunyai hak yang sama, dan seharusnya sebagai teman dekat sejati mendukung kisah kamu, bukan iri terhadap kamu" Allan yang baru mengetahui semua hal ini kaget dan mengatakan "Sebenarnya aku baru saja putus dengan Thea, kita pacaran 3 minggu, tapi saat berpacaran dengannya, aku menyadari sifat egois dan buruknya Thea, saat menyadari hal itu, langsung aku putus" Justin yang awalnya sedih menjadi terkejut dan mengatakan "Jadi selama ini kamu berpacaran dengannya?” “Benar, sebuah rahasia yang sebelumnya tidak pernah aku kasih tau” kata Allan Justin merespon “Jadi dia mempergunakan kamu saat pacaran?” “Iya kayaknya, bukan hanya aku tapi dia mencoba mengambil untung laki - laki bagaikan kita adalah semacam budak. Jadi dia mencoba berteman dengan banyak cowok untuk dipermainkan termasuk kamu. Sekarang dia lagi dekat dengan cowok populer di angkatan kita yaitu si Henry" Ucap Allan Ternyata realita tidak seindah yang Justin pikirkan. Justin mulai menyadari untuk tidak selalu bergantung kepada orang lain dan untuk tidak mudah percaya terhadap semua orang. Ada yang berteman dan pergi, Namun ada yang berteman dan tetap tinggal. Pertemanan memiliki alur yang tidak bisa ditebak bagaikan sebuah misteri. "Kalau gitu setelah kita mengetahui tentang hal ini, mari kita saling support satu dengan yang lain, tetap menjadi teman dekat, dan memberitahu hal - hal yang perlu diberitahu dan tidak menyembunyikan kepada diri" Justin berkata dengan penuh pengharapan. “Pastinya dong! yok kita sekarang pulang ke rumah” kata Allan dengan pikiran positif

83 Momen yang Mengikat Kita Kembali

Joshua C. Harrison

Sejak itu Justin dan Allan menjadi teman yang sangat dekat dan tidak bisa dipisahkan hingga saat tua nanti dan keduanya sekarang saling memiliki seorang pacar yang jauh lebih baik dari Thea. Justin dengan Abby dan Allan bersama Joan. The end

84 Momen yang Mengikat Kita Kembali

Joshua C. Harrison

10. Kehidupan di Lingkungan Sekolah oleh Jovin Trisan

Hari ini, tak terasa berbeda dengan kemarin, begitu berulang. Setiap minggu, dari Senin sampai Jumat tak berhenti, sekolah adalah satu hal yang harus aku lacak. Mengharap aku tidak begitu terikat dengan tanggung jawab siswa. Lagi, ku tak miliki pilihan. adwal tidurku selalu kacau dikarenakan begadang. Saat aku mulai siap-siap pergi badanku masih lemes-lemesan, sejujurnya prosesnya sangat frustasi bagiku. Sampai di sekolah 10-15 menit sebelum mulai, masuk lobby masih merasa lemas. Ku memikirkan ini setiap kali, tapi kenapa sekolah bisa lebih banyak lift? Nunggu naik atau turun sangat menghabiskan waktu. Nyampai ke lantai kelasku, kabar teman yang datang lebih awal dariku, dan merapikan diri depan cermin kamar mandi sekolah. Jam pelajaran pertama dimulai, duduk diam di kursi sambil mendengarkan guru semampuku. Menulis catatan dari bahan pelajaran yang dijelaskan, saking lelahnya tanganku. Hampir setiap kelas aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertidur, aku tidak mau ketinggalan apapun yang penting, apalagi kalau pengumuman tugas atau ujian. Semakin ku menunggu semakin ku tak bisa mengeluarkan pikiran waktu istirahat dari kepalaku, kenapa waktu terasa berjalan lebih lambat? Harapnya guru tidak memberi tugas, tapi apa peluangnya? Setiap minggu jadwalku diisi dengan tugas dan waktu belajar untuk ujian-ujian mendatang. Istirahat akhirnya telah tiba. Tempat pertama yang ku tuju selalu kantin, ku tak bisa menahan diri membeli makan di kantin, makanan yang dikemas dari rumah saja tidak cukup untuk menopangku. Cari tempat duduk, biasanya di tempat terbuka, dan makan sebanyak yang ku mau. Selain itu tidak ada yang segitu signifikan. Hampir setiap hari ku menemukannya susah untuk bercakap benar, aku kekurangan topik di kepala saya, tak ragu ku terlibat dengan canggung. Karena itu, aku cenderung menyimpan kebingungannya ke diriku sendiri. Aku terlalu waspada, ku tak ingin tiba-tiba merasa malu. Aku tahu bahwa tidak setiap percakapan bisa seperti itu. Ku tunggu sampai jam pelajaran terakhir selesai, “akhirnya…” kebebasan. Dengan secepat kilat ku kemasi barang-barang ku ke dalam tas, tentu aja periksa kembali jika ada yang ketinggalan, dan menuju ke lobi. Dijemput cukup cepat, tapi saking cepatnya sampai ku tak bisa menangkap waktu untuk berkeliaran di lobby atau berkonversasi terakhir kali. Ya.. tak bisa menunda-nunda, yasudah.

86 Kehidupan di Lingkungan Sekolah

Jovin Trisan

Tugas-tugas sekolah sangat mengganggu, apalagi belajar untuk ulangan, memadatkan jadwalku. Kerjain ini, kerjain itu, ku tak bisa meluangkan waktu. Kapan akhir pekan akan datang? Ku benar-benar bisa menggunakan istirahat yang nyata. Periksa kalender melihat berapa hari lagi, “sial!” masih jauh. Yah, hanya bisa ku tunggu, mendesah.. Hari berikutnya, semakin hari, semakin ku memandang hari Jumat. Ku tak bisa bersabar. Pengulangan mingguan ini membosankan ku. Perubahan apapun selama jam pelajaran tidak cukup untuk mengubahnya. Kegembiraan-kegembiraannya hanya sementara, berlalu begitu cepat seperti listrik yang mengalir. Suatu kali kamu mengalaminya, berikutnya dilupakan. Terasa seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Di rumah tidak lebih baik. Astaga, ada ujian besok. Ku masih belum mempersiapkan diri sama sekali, apalagi ada tugas-tugas jatuh tempo pada hari yang sama. Terkadang ku berpikir pada diri sendiri, kenapa ku segini tak terorganisir? Oh betapa malasnya aku menyelesaikan sesuatu, setiap kali ku prokrastinasi. Aku terus meremehkan waktu diperlukan untuk mengerjakan tugas, betapa bodoh aku memilih apa yang ku mau memprioritaskan. Hari-hari telah berlalu, akhirnya hari Jumat telah sampai. Perasaannya seperti ku telah melewati garis finish dari sebuah maraton, karena akhirnya ku bisa mendapat istirahat sementaraku yang layak diterima. Hari sekolah minggu terakhir ini hanyalah langkah-langkah terakhir bagiku. Ku masuk ke dalam sekolah, kali ini dengan kepercayaan diri dan antusiasme, terutama bahwa hari ini aku pulangnya lebih awal. Waktu berlalu, jam pelajaran demi jam pelajaran, istirahat demi istirahat, sekarang sudah jam 2. Dengan senang, ku kemasi barang-barangku ke dalam tas dan merapikan apa yang perlu dibawa pulang. Ku tak bisa meluangkan waktu lagi untuk bercakap atau melakukan hal-hal lainnya, aku hanya ingin dijemput untuk dibawa pulang. Akhirnya ku sampai di rumah, ku langsung lari ke kamarku. Ganti baju dan membongkar tasku. 3 hari, bagaimana itu cukup? Besok sudah Senin lagi. Sungguh aku tak bisa menyianyiakan hari Minggu ini, atau tidak ada gunanya menunggu hampir seminggu. Berharap ku bisa memundurkan waktu, tetap tak memungkinkan.

87 Kehidupan di Lingkungan Sekolah

Jovin Trisan

11. Persephone dan Bunga Kematiannya oleh Marie A. Renaldine

Teruntuk diriku, Saat kamu membaca surat ini, aku mungkin sudah lama pergi. Aku dan kamu bukan orang yang sama lagi, aku telah kehilangan semangat aku. Aku telah mengubur semua perasaanku dalam-dalam. Namun, pada saat yang sama, aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Aku, tidak, kita hanya berharap mereka tinggal bersama kita sampai akhir. Diriku yang kukasihi, kucintai, kuhargai, tolong temukan percikan jiwa dalam diriku. Temukan jiwaku yang hilang. Bawa kembali, mari kita bersama sekali lagi, mari kita merasa hidup untuk terakhir kalinya sebelum teman lama kita menyambut kita dengan pelukan hangatnya. Dengan penuh kasih, diriku. *** Ada tempat yang tidak akan kita lalui, di mana semuanya sempurna. Tempat di mana sinar matahari menari dengan sempurna di atas dedaunan, di mana bunga-bunga dipenuhi dengan lebah yang berdengung, dan di mana orang-orang akan tersenyum untuk mengakhiri setiap hari. Aku selalu bertanya-tanya, di mana tempat itu? Di mana aku bisa merasakan sinar matahari mentari menari dikulitku, di mana aku bisa menikmati tawa anak-anak bermain di taman Eden. Aku merasa seperti setiap kali aku bergerak, semuanya akan hancur, sedikit demi sedikit. Perkenalkan, namaku Mallory Zilla Persephone, yang artinya Bayangan Musim Semi yang Suram. Ya, aku tahu, kalian bisa langsung mengartikannya sebagai anak naas yang lahir di musim yang begitu indah. Orang tuaku membenci aku sejak mereka mendapat kabar bahwa ibuku mengandung diriku. Mereka melakukan beberapa upaya aborsi, sayangnya aku selamat dan lahir pada Maret 2006, yaitu saat musim semi dimulai. Pada usia 5 tahun, aku tidak sengaja memecahkan cangkir milik ayah. Dia mengucapkan satu kata ini, dibumbui dengan kebencian. Aku tidak begitu mengerti apa yang dia katakan, tetapi aku ingat dia berteriak "kesalahan" beberapa kali. Tentu saja, aku menangis, bukan karena dikatai kesalahan, tapi karena ia amarahnya yang menggelagar. Dia mengirim diriku ke rumah kakek-nenek malam itu juga, setidaknya aku masih memiliki orang yang perduli pada diriku. Ketika aku tiba di sana, mereka menyambut diiriku dengan pelukan hangat, tetapi itu tidak berlangsung lama karena begitu mereka memelihat luka bakar di tanganku, mereka langsung membawaku ke rumah

90 Persephone dan Bunga Kematiannya

Marie A. Renaldine

sakit untuk diobati. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, karena aku tidak merasakan sakit. Saat itulah kami tahu ada yang tidak beres denganku. Ketika aku berusia 10 tahun, ibuku meninggal. Aku tidak merasakan kerinduan apapun, mungkin karena dia tidak pernah ada untukku. Namun, karena dialah yang melahirkanku, aku masih merasakan sedikit kesedihan. Kalian mungkin berpikir, “Anak macam apa aku ini? Begitu dingin, dan begitu tak berperasaan.” Nah, kalian harus mencoba untuk hidup di posisiku. Setahun setelah itu, ketika aku berusia 11 tahun, ayah mengusirku ke rumah kakeknenek. Itu adalah hari paling bahagia dalam hidupku! Aku akhirnya bebas dari apa yang disebut orang tua. Setelah 2 tahun berlalu, aku bertemu dengan anak aneh ini. Sepertinya dia adalah salah satu teman sekelasku, meskipun aku tidak yakin. Kita bertemu pertema kalinya pada hari Olahraga. Semua siswa wajib mengikuti setiap jenis olahraga yang diadakan. Ketua kelas menugaskan aku untuk bermitra dengan dia (yang aku tidak tahu namanya) untuk perlombaan tiga kaki. Aku memutuskan untuk membuka topik pembicaraan untuk mengenalnya sedikit: “Hai, karena kita akan terjebak bersama sepanjang hari, mengapa kita tidak memperkenalkan diri? Jadi kita bisa lebih mengenal satu sama lain!”, Aku menahan nafasku sedikit, semoga saja dia tidak– “Kenapa harus?” -menjengkelkan. Aku menarik perkataanku kembali. Aku benci dia. “Kenapa tidak? Apa kau punya saran lain?”, aku memutar bola mataku dengan sinis. "Poin bagus, Oleander Than, itu namaku." “Senang bertemu denganmu Oleander, apakah kamu keberatan memanggilmu Olly saja? Oleander agak terlalu panjang, ku pikir. ”

jika

aku

"Ya tentu, siapa namamu?" “Mallory Zilla Persephone” “Persephone seperti PERSEPHONE yang itu?”, tanyanya kaget. Aku menarik kembali kata-kataku, aku tidak membencinya.

91 Persephone dan Bunga Kematiannya

Marie A. Renaldine

Aku memberinya senyum congkak, “Ya, seperti di PERSEPHONE yang itu.”, Cukup lucu melihat orang-orang terkejut karena nama belakangku. Maksudku, siapa yang tidak terkejut? Persephone sangat cantik, dan dia memiliki Hades di dalam genggamannya. Bagiku, memiliki Persephone sebagai nama belakang adalah beban yang sangat berat. Aku harus bersikap anggun seperti dia, selembut mungkin, dan selalu terlihat menyenangkan untuk dilihat orang lain. “Wah, itu keren. Itu cocok untukmu, sebenarnya, kamu sangat cantik. ” Apa? Apa dia baru saja memujiku? “Oh, uh, terima kasih, kurasa?” Dia tertawa. Olly tertawa kecil, ya Tuhan! “Baiklah kita bisa melanjutkannya nanti, kita selanjutnya!” dia berkata. Aku meliriknya dan merasa bahwa dia sudah mulai membuka diri dengaku. Setelah hari itu, kami menjadi lebih dekat, lebih dekat dan lebih dekat lagi! Kami pada dasarnya menjadi tak terpisahkan. Pada saat itu, dia juga mulai bercerita lebih banyak tentang dirinya sendiri. Suatu hari dia mengatakan kepada aku bahwa namanya berarti bunga beracun. Kekontrasan dalam diri kita semacam memicu sesuatu dalam diriku, karena aku adalah dewi musim semi dan dia adalah bunga yang indah namun mematikan. Sungguh kombinasi yang sempurna! Hampir setiap hari kami menghabiskan waktu bersama. Perpustakaan adalah tempat pelarian kami, kami sering nongkrong di sana. Kita bisa menghabiskan berjam-jam di tempat itu, hanya untuk melarikan diri dari kenyataan. Pembicaraan kami mulai berlangsung lebih lama, tawa dan cekikikan selalu membuat kami mendapat masalah, tetapi kami tidak peduli. Semakin kami terbuka satu sama lain, aku menyadari betapa miripnya kami. Rasa rindu yang selalu aku rindukan, dipenuhi olehnya. Tidak mengherankan bahwa hati kecil ini menginginkannya, tidak, membutuhkannya. Meskipun aku tidak pernah berencana untuk berkencan dengannya, aku selalu ingin dia tetap di sisiku. Hari yang sempurna, matahari bersinar terang, suhunya pas, dan orang yang aku sayangi ada di bersamaku. Mau tak mau aku sedikit mengaguminya. Maksudku, kita sudah berteman selama 3 tahun. Dia begitu sempurna seperti keluar dari setiap novel fantasi! Apakah anda tahu lukisan “The Falling Angel”? Ya, Olly adalah replika dari

92 Persephone dan Bunga Kematiannya

Marie A. Renaldine

lukisan itu. Makhluk cantik yang telah jatuh dari surga di atas. Oleander Than, malaikatku yang jatuh, bunga beracunku yang indah, kamu seperti gigitan pertama yang manis dari buah terlarang. “Hei, mau pergi ke Taman Eden tidak? Hanya beberapa blok jauhnya dari perpustakaan.”, Olly membuyarkan lamunanku. Sedikit yang dia tahu, aku sedang melamun tentang dia. Malu sekali diriku ini, malu Mal, malu! "Hah? Oh tentu.” “Baiklah, aku akan mengemasi barang-barangku dan mengembalikan buku ini dulu. Temui aku di depan gerbang perpustakaan, oke?” “Ya ya, sekarang pergi! Cepat!" Aku mendorong punggungnya dengan lembut. Dia tertawa… suara yang begitu indah. 5 menit, 10 menit, 15 menit, lalu satu jam berlalu, tapi dia masih belum keluar. Aku mulai khawatir. “Apakah dia terluka? Apakah dia kehilangan bukunya? Dia memang pelupa. Apa dia terkena demensia dan melupakanku?” Tepat ketika aku akan meneleponnya, dia keluar. Senyum cerah terpampang di wajahnya yang sempurna. Aku bertanya-tanya, apa hal baru yang membuatnya tersenyum seperti itu? Dia tidak pernah tersenyum secerah itu, kecuali… Lalu aku tersadar. Dia baru saja melihat gadis impiannya. Bagaimana aku tahu? Dia selalu berbicara tentang gadis impiannya, dia memanggilnya "Gadis Nektar". Dan sekarang, dia baru saja bertemu dengan "Gadis Nektar" -nya. "Ada apa dengan senyum cerahmu itu, Nak?" aku bertanya. "Oh tidak, aku pikir aku baru saja bertemu Nektarku." Hah, sudah tertebak. "Ah, benarkah? Siapa gadis yang beruntung itu?” Sangat menyakitkan. “Kurasa dia bersekolah di sekolah yang sama dengan kita. Seorang junior.” “Ohhh menarik. Jadi, apakah kamu akan… tahulah, menjadi lebah yang berdengung di sekitar nektarnya? ” Aku sangat ingin lari dari hadapannya dan menangis. “Mungkin, tapi belum.” Dia terlihat sangat bahagia. Sangat menyakitkan untuk dilihat. Aku punya firasat buruk. Aku tidak ingin dia bertemu dengan Gadi Nektar lagi.

93 Persephone dan Bunga Kematiannya

Marie A. Renaldine

“Baiklah kalau begitu, lakukanlah sesuai keinginanmu. Oh, ngomong-ngomong, aku harus pulang lebih awal. Aku memiliki beberapa urusan yang harus dilakukan. ” Alasan yang cliche tapi biarlah. "Apa? Ku pikir kau bebas hari ini, "katanya sambil cemberut, "aku awalnya akan mengajakmu berkeliling taman. Namun, karrna Mal tidak bisa, maka mari kita lakukan itu di lain hari saja. ” Aku ingin, Olly. Aku ingin, tapi tidak sekarang. Hatiku sakit sekali. Obsesiku kepadamu tidak sehat, dan itu menyakiti aku Berminggu-minggu berlalu sejak hari itu. Olly dan aku tidak sama lagi. Dia sibuk berdengung di sekitar nektarnya, dan aku sibuk menghujani diriku dengan banyak pekerjaan. Memang tidak sehat, ya aku tahu, tapi itulah satu-satunya cara aku bisa melupakan Olly. Persephone, aku harus ingat bahwa aku adalah Persephone dan aku dapat membuat siapa pun tunduk kepadaku, tetapi bukan dia. Semua orang di sekolah memujaku, dan ini meningkatkan egod diriku. Kurangnya perhatian yang dulu diberikan orang tuaku dipenuhi dengan perhatian yang ku terima dari sekolah, tetapi perhatian ini berbeda dengan perhatian yang diberikan Oleander. Aku rindu dia. Aku membutuhkan dia. Aku menginginkan dia. Tapi dia bukan milikku. Bulan-bulan berlalu, dan berita bahwa Oleander berkencan dengan gadis nektarnya sudah tersebar ke satu sekolah. Saat itulah kewarasanku terputus. Aku pergi mencari gadis nektarnya, ingin mengobrol ringan dengannya. Tidak ada motif lain, aku hanya menyampaikan permintaanku kepadanya agar dia selalu berada di sisi Olly karena aku tahu dia adalah anak yang rapuh. Tapi di mata orang lain, aku sepeerti akan membunuh gadis tersebut. Rupanya, semua orang di sekolah sudah tahu tentang cinta sepihakku pada Oleander. Jadi, lebah-lebah menyebalkan itu memutuskan untuk memberi tahu Oleander bahwa aku sedang dalam perjalanan menemui pacarnya. Hubungan kami sudah sangat longgar. Kami belum berbicara selama bermingguminggu. Rasanya seperti dia membuangku karena dia tidak membutuhkanku lagi. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan, popularitas. Dia dikenali banyak orang karena aku, dia punya pacar karena aku, dia seperti sekarang ini karena aku. Akulah yang membuatnya seperti ini, dan aku menyesalinya. Aku bukan nektarnya dan aku tidak akan pernah menjadi nektarnya, karena aku adalah Persephone, dan dia adalah bunga kematianku aku.

94 Persephone dan Bunga Kematiannya

Marie A. Renaldine

Dia adalah kematianku. Aku berhasil menemukan Nona Nektar. Dia sangat cantik, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa terancam. Dia persis seperti yang dideskripsikan Oleander saat dulu kita berbicara tentang pasangan idaman. Mereka seperti diciptakan untuk satu sama lain. Aku mulai berjalan ke arahnya ketika aku merasakan cengkeraman kuat di pergelangan tanganku. “Olly?” "Mallory, apa yang kamu lakukan di sini?" dia bertanya dengan tegas. "Oh, aku hanya akan berbicara dengan gadis itu, pacarmu." “Dan kenapa begitu?” dia bertanya dengan ketus. “Karena ada sesuatu yang ingin aku katakan, sekarang bisakah kamu melepaskan pergelangan tanganku? Kau menyakitiku." "Aku tidak akan melepaskannya kecuali kamu memberitahuku apa motifmu yang sebenarnya." “Olly apa-apaan maksdumu itu?! AKU HANYA INGIN BERBICARA DENGANNYA. ITU SAJA” pada titik ini, semua emosiku yang terpendam meledak. Bagaimana bisa dia tidak mempercayaiku? Apakah aku pernah menyakitinya atau seseorang secara khusus? “Oh hentikan aktingmu Mal, aku tahu kamu cemburu padanya. Kau terobsesi dengan dirikukan? Dan kau hanya ingin melepaskan semua amarahmu pada pacarku, benar? Katakan yang sebenarnya Mallory, kamu terobsesi denganku bukan?” Ini bukan Olly yang kukenal. Dia sangat egois. Di mana Olly yang baik hati? Siapa dia? Apa yang telah kamu lakukan, Mal... “Aku. Tidak. Terobsesi. Denganmu.” bohong. “Kamu mencintaiku, dan kamu tidak bisa lolos begitu saja. Akui saja, Mal. Mungkin jika kau mengakuinya, aku akan memberimu kesempatan. ” bocah ini memilikiku di bawah cengkeramannya dan aku membencinya.

95 Persephone dan Bunga Kematiannya

Marie A. Renaldine

"LALU APA? Aku mencintaimu, ya benar! Tapi kamu berubah, Olly. Kau memtusukan untuk menjauhkan dirimu dari aku secara tiba-tiba, apakah kamu sadar akan hal itu? Kamu egois, sama sepertiku. Kau memanfaatkan diriku, dan aku menyadari itu, tetapi aku tidak pernah mendorong dirimu menjauh dariku karena aku sudah terikat padamu. Aku mempercayaimu. Tapi kau telah merusak kepercayaan itu karena apa? Seorang gadis? Bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku?! Aku selalu ada untukmu, tapi saat aku sangat membutuhkanmu, kamu pergi. POOF begitu saja. Oleander Than, kau telah menghancurkanku. Kamu adalah kematianku, ”Aku menangis begitu keras sehingga aku bahkan tidak bisa melihat tatapan terluka di matanya, aku benci ini. Orang-orang menontoni kami, dan reputasi aku hancur. “Aku membencimu, tapi aku mencintaimu. Hah, menyedihkan bukan? Aku bahkan bukan temanmu lagi.Tidak, memang dari awalanya kita tidak pernah berteman. Kita hanyalah mitra bisnis semata. Kau mendapatkan apa yang kau inginkan, dan aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Maka dari itu, mari kita sudahi saja hubungan ini. Selamat tinggal Oleander.” Ketika aku telah selesai menyampaikan keluh kesahku, aku menarik tanganku darinya dan mulai berlari tanpa arah. Aku tidak tahu di mana aku berada, tetapi selama aku jauh darinya, aku akan baik-baik saja. Ini pertama dan terakhir kalinya aku merasa seperti ini. Memang, aku secara fisik kebal terhadap rasa sakit, tetapi setelah kakek-nenekku meninggal, aku baru menyadari bahwa aku juga kebal terhadap emosi. Namun, ketika aku bertemu dengannya, aku mulai merasakan berbagai mecam perasaan. Terasa hangat, dan aku senang. Tapi sekarang, aku akan selamanya menutup dan mengubur emosi di lubuk hatiku. Buang jauh-jauh ke alam diaman jiwa yang hilang berada. Biarkan perasaan ini mati dan membusuk dengan jiwaku. Mari kita akhiri penderitaan ini di sini dan sekarang. Segala macam bisikan mulai masuk ke dalam pikiranku, suara-suara tersebut membisikkan segala macam pikiran negatif. "Mati saja, tidak ada yang mencintaimu." "Berhenti." “Kau tahu faktanya, anakku. Kamu tidak seharusnya dilahirkan. ” "Tolong berhenti. Aku mohon padamu."

96 Persephone dan Bunga Kematiannya

Marie A. Renaldine

“Kamu adalah Persephone, kamu milik dunia bawah. Jadi, mari akhiri penderitaanmu, sekarang.” “Aku bukan Persephone, aku adalah Mallory. Aku tidak akan pernah menjadi Persephone” “Berhentilah menjadi keras kepala, datang dan bergabunglah dengan kami. Kamu akan senang. Kamu akan dicintai. Kamu akan mendapatkan perhatian yang kamu butuhkan.” "Aku… akan senang?" “Ya, anakku. Datang dan bergabunglah dengan kami!” “Tidak. KALIAN SEMUA PALSU!” Sesampainya di rumahku, aku langsung terjatuh dan menangis keras-keras. Meluapkan seluruh emosi yang sudah kutahan dari tadi. Aku tidak tahan lagi. Sangat menyakitkan. Akankah lebih baik jika aku mengakhirinya sekarang? Tidak, pasti ada cara yang lebih baik. Aku butuh seseorang untuk menyelamatkanku sebelum terlambat. Aku membencimu, Persephone. Aku berharap aku bukan Persephone. Aku harapa aku tidak pernah dilahirkan. Persephone, ciptaanmu adalah monster, dan aku adalah kamu. Bagaimana aku bisa menghancurkan hidupku sendiri? Biarkan aku beristirahat, untuk selamanya. Aku akan selamanya menderita karena kesalahanku sendiri. Aku tidak akan pernah sama lagi, itulah konsekuensi dari bermain-main dengan ciptaanmu sendiri. Biarkan sekutuku menguburku dalamdalam di pusat Eden, di mana para malaikat yang jatuh beristirahat. Aku akan menjadi satu dengan mereka. Karena selama ini, Aku adalah Persephone dan Bunga Kematian akan selalu menjadi akhir dariku.

97 Persephone dan Bunga Kematiannya

Marie A. Renaldine

12. Menjawab Masa Lalu oleh Michelle Makmur

Aku berlari menuruni tangga karena orang yang kutunggu dari siang akhirnya tiba. Johan berjalan memasuki rumah dengan suara sepatunya yang beradu dengan lantai kayu rumah. Aku menyadari ada yang berbeda dari biasanya jalannya begitu lemas, pandangannya lemah, dan tangannya bergetar. Aku memandangnya berjalan ke arahku sampai akhirnya aku tersadar, melihat tubuhnya berlumuran darah bekas tembakan peluru. Segala usaha aku lakukan untuk mengobati lukanya agar ia selamat, tapi semuanya nihil darah yang keluar sudah begitu banyak dan waktunya sudah terlambat. Sebelum Johan menghembuskan napas terakhirnya, dia meminta maaf, “ Hiduplah seperti orang biasa, maafkan aku yang pernah menyakitimu dan membesarkanmu menjadi pembunuh bayaran.” Setelah bertahun-tahun berlalu, aku tumbuh menjadi laki-laki kuat, cerdas, pemberani, dan tak pernah takut menghadapi musuh. Setiap hari tidak ada yang berubah,aku tetap menjalankan pekerjaanku sebagai pembunuh bayaran kecuali rasa ingin tahuku tentang masa lalu yang semakin besar. Informasi beserta dengan buktibukti tentang masa kecilku sudah terkumpul dan ku selidiki. Segala rencana selama bertahun-tahun telah kupersiapkan untuk membongkar semua hal tentang masa kecilku. Di malam hari yang dingin dan gelap, aku berjalan menelusuri gedung kosong yang dahulu menjadi tempat panti asuhan, tempat aku dirawat. Dengan senter kecil dan sedikitnya informasi masa kecilku, aku menyelidiki tentang panti asuhan tempat aku tumbuh besar. Sambil berjalan mengelilingi gedung tersebut, ingatan masa kecilku kembali teringat. Aku kembali mengingat bagaimana sulitnya hari-hari dengan kerja paksa dan kasarnya perlakuan yang diberikan pada anak-anak panti. Aku dulu bekerja tanpa alas kaki mengangkat barang-barang berat tanpa boleh menangis agar tidak menguras lebih banyak energi yang berakhir menjadi lapar. Belum lama aku berkeliling, aku tertangkap dan diinterogasi oleh seorang polisi wanita yang sedang mengintai. “ Apa yang kau lakukan di sini?” tanya polisi wanita. “ Aku mencari kucing yang masuk ke sini.” jawab aku yang mencari alasan. Aku dan polisi tersebut bertukar nomor telepon untuk mengabari bila dia menemukan kucing yang sebenarnya hanya kukarang untuk alasan. Polisi tersebut rupanya sedang menyelidiki tentang pemimpin panti asuhan yang hilang tanpa jejak.

100 Menjawab Masa Lalu

Michelle Makmur

Setelah beberapa jam, polisi tersebut keluar dari gedung dan pergi mengendarai mobilnya. Aku mengikuti mobilnya sampai ke suatu rumah. Sesampai di depan rumah besar tersebut aku hanya terdiam, aku terkejut mengingat peristiwa masa lalu. Rumah tersebut adalah rumah keluarga yang mengadopsi temanku di panti asuhan.Belasan tahun yang lalu aku yang menangis berteriak di depan pagar rumah tersebut agar diberikan kesempatan menemui teman baikku yang selalu ada dan menghibur saat mengalami masa sulit di panti asuhan. “ Tolong beri aku waktu sebentar!” “Aku perlu bertemu Yerin.” semua kata-kata memohon aku lontarkan demi menemui teman baikku tapi tidak pernah sekalipun aku bertemu lagi dengannya. Setelah semua hal yang dialami dan hari-hari yang dijalani, aku semakin yakin untuk menguak dan membongkar kebenaran tentang masa lalunya. Informasi yang kudapatkan semakin banyak setelah aku bertemu kembali dengan Yerin. Bukan hanya informasi biasa tapi ada juga informasi yang mengejutkan yang kudapatkan. Aku mengetahui fakta dan latar belakang dari keluarga angkat Yerin yaitu ayah angkatnya yang merupakan pemilik dari Rumah Sakit Permata yang dahulu mensponsori panti asuhan tempat aku tumbuh. Bukti tentang keterkaitan Rumah Sakit Permata dengan panti asuhan, membuatku kembali mengingat bagaimana awal pertemuanku dengan Johan. Belasan tahun yang lalu, aku menaiki mobil jemputan yang membawaku pergi keluar dari panti asuhan. “ Setelah bertahun-tahun akankah aku memiliki keluarga baru dan tinggal hidup layak seperti orang biasa?” pikirku kala itu dalam mobil jemputan yang melaju entah kemana. Aku tiba di rumah sakit dan diberi minum susu. Setelah itu semua menjadi gelap dan aku tidak mengingat apapun sampai tersadar kembali dalam ruangan laboratorium di rumah sakit. Di dalam laboratorium banyak anak-anak seumuranku yang sedang terbaring tak sadarkan diri dan aku tersadar saat melihat dokter yang membuka dada seorang anak untuk diambil organ-organnya. Dengan perasaan ketakutan dan bingung, aku berlari kecil menyelinap keluar untuk kabur. “Apapun yang terjadi aku harus pergi dari tempat ini.” ucapku sambil berlari dengan gemetar. “Berhenti jangan kabur!” suara teriakan dari Johan yang diperintahkan untuk mengejar dan menangkap aku. Pemilik rumah sakit marah dan memerintahkan Johan untuk membunuhku yang mengetahui tindakan ilegal jual beli organ manusia. Johan berjalan mendatangiku seperti hendak menangkapku. “ Jangan sakiti aku!” aku berteriak memohon sambil menangis. Ternyata tindakan yang dipilih Johan berbeda dengan pemikiranku, ia menggendongku dan membawaku ke rumahnya. Johan menyelamatkan dan merawatku di rumahnya. Aku tidak akan pernah melupakan kasih sayang dan kebaikannya padaku.

101 Menjawab Masa Lalu

Michelle Makmur

Setelah mengetahui latar belakang Pak Salim, ayah angkat Yerin sebagai pemilik Rumah Sakit Permata, aku menjebaknya untuk bertemu. Dalam pertemuan itu aku bertanya, “ Mengapa kau ingin membunuhku waktu itu?” “Dirimu sudah tidak berguna bagiku.” jawabnya dengan muka yang datar. “Kau menghancurkan segala rencana dan membuat diriku rugi karena kabur menggagalkan semua rencana.” lanjutnya. Pak Salim beserta rekan-rekannya menjadi khawatir pekerjaan ilegal mereka terbongkar, setelah mengetahui bahwa anak yang dipikirnya mati masih hidup dan berencana balas dendam. Aku pergi menuju laboratorium rumah sakit untuk mencari dan mendapatkan lebih banyak bukti. Aku memasuki rumah sakit dan menyamar menjadi dokter agar berhasil masuk ke ruang petugas untuk mencuri kunci laboratorium. Setelah mendapatkan kunci, aku bergegas menuju lantai paling atas dan memasuki laboratorium. Di dalam laboratorium yang dingin dan gelap, berjejer beberapa percobaan eksperimen inseminasi buatan untuk manusia. Semua memori masa kecilku di laboratorium ini kembali teringat. Aku tidak ingin orang-orang lain dilahirkan untuk eksperimen dan aku tidak ingin anak-anak lain merasakan ketakutan yang dulu kualami. Aku kembali menghubungi Pak Salim untuk melakukan negosiasi. “Mari buat kesepakatan!” tanyaku dalam sambungan telepon. “Tidak ada yang perlu dibicarakan dengan bajingan sepertimu." jawabnya dari seberang telepon. “Beri tahu aku di mana anak-anak yang ditahan untuk percobaan!” perintahku pada Pak Salim. “Tidak akan ada yang memberi tahu dirimu.” jawabnya sambil tertawa. “Bebaskan anak-anak itu atau laboratorium ini aku bakar!” perintahku sebagai peringatan terakhir. Tidak ada jawaban dan akhirnya Pak Salim menolak tawaranku serta mematikan telepon karena tidak percaya dengan peringatan yang kuberikan.

102 Menjawab Masa Lalu

Michelle Makmur

Dengan emosi yang membara aku membakar semua isi laboratorium dan memusnahkan semua data riset beserta dengan hasil percobaan yang ada. Pak Salim pun panik dan tidak ingin aktivitas ilegal mereka bocor ke publik. Dengan tidak kehabisan akal, aku membuntuti komplotan Pak Salim pergi ke tempat yang jauh dan terpencil dari kota. Dengan kecepatan maksimal aku mengikuti arah mobil hitam di depanku. Setelah memakan waktu selama satu jam tibalah aku di depan rumah tua yang cukup luas. Aku memasuki pintu putih yang berdebu tanpa perasaan ragu. Dengan segala kekuatan yang ada, aku melumpuhkan semua pasukan yang menjaga rumah tua tersebut. Setelah mengalahkan setiap pasukan yang berjaga, aku berkeliling dan menemukan ruangan kecil di balik kamar mandi. Akhirnya di dalam satu ruangan tersebut, aku menemukan anak-anak hasil eksperimen yang selama ini disekap di sana. Aku berusaha setenang mungkin untuk menyelamatkan anak-anak yang ketakutan walau sebenarnya hatiku berdebar kencang mengingat apa yang terjadi pada setiap anak disini sama dengan kejadian di masa laluku. Dengan segala tekad, aku membawa anak-anak tersebut untuk keluar agar bisa diselamatkan. Aku meminta bantuan pada Yerin untuk membawa anak-anak ke tempat yang lebih aman karena aku yakin Yerin mampu menyelamatkan mereka. Rencanaku belum selesai sampai menyelamatkan anak-anak. Setelah melihat kondisi anak-anak yang dikurung untuk eksperimen, aku semakin terpancing emosi dan membulatkan tekad untuk membalas dan menghabisi nyawa Pak Salim. Yerin memohon agar aku menghentikan rencana pembalasan. “Aku tahu perbuatan ayahku di masa lalu." kata Yerin. "Aku berjanji akan membuat ayah menebus segala dosa-dosanya.” mohon Yerin. "Ayahmu tidak berhak untuk dimaafkan." jawabku. “Bila dibiarkan kejahatannya tidak akan pernah berakhir." teriakku. “Aku berjanji bahwa tugas terakhirku adalah memastikan tidak ada lagi anak-anak yang lahir untuk dibunuh dalam eksperimen." tutupku

103 Menjawab Masa Lalu

Michelle Makmur

Membawa senjata dan segala persiapan lainnya aku lakukan sebelum menyerang kantor Pak salim. Bagiku percuma bila Pak Salim ditangkap sebagaimana peristiwa beberapa belas tahun yang lalu, pemeriksaan oleh kejaksaan hanyalah formalitas. Dia pasti akan dibebaskan dan akan membunuh anak-anak lagi. Jika Pak Salim tidak mati, maka kejahatannya tidak akan berhenti sampai tujuannya tercapai. Dengan segala rencana yang ada, aku tidak yakin hidupnya akan kembali seperti dahulu. Saat hari semakin malam, aku menyelinap ke dalam ruang pribadi Pak Salim yang gelap tanpa cahaya ruangan. Aku bersembunyi di balik meja kerjanya sambil menunggu kehadirannya. Beberapa menit berlalu, Pak Salim tiba di ruangannya. Dia duduk di kursi panjang bertangan sambil melepaskan dasi kerjanya. Dengan senjata yang sudah aku todongkan di kepalanya, Pak Salim tampak kaget dan memanggil semua ajudannya untuk melindunginya. Namun tidak ada yang dapat diperbuat ajudannya saat senjata sudah di samping kepala tuannya. Dengan segala kata-katanya yang manis, Pak Salim terus berusaha bernegosiasi untuk menyelamatkan nyawanya. “Saya akan memberikan semua yang saya miliki, asalkan jangan sakiti saya." bujuk Pak Salim “Bila anda sangat menginginkan hidup, lalu mengapa tidak pernah sedikitpun memikirkan anak-anak yang telah dia bunuh?" tanyaku penuh amarah. Sementara Yerin yang baru tiba, merasa terkejut melihat keadaan yang ada di depan matanya. Yerin terus berusaha menenangkan dan menghentikanku dengan segala cara. “Membunuhnya bukanlah solusi yang tepat." kata Yerin “Bila tidak membunuhnya sekarang maka dia akan terhindar kembali dari hukum.” “Nyawa anak-anak yang malang itu akan kembali terancam. “ “Dengan begitu aku harus mengakhirinya.” jawabku Beberapa saat kemudian pihak kepolisian dan pasukan khusus tiba. Yerin tidak menyerah untuk terus membujukku menjatuhkan senjata. Sebab Yerin mengetahui alasan aku melakukan semua ini. Namun aku sadar bahwa diriku tidak dapat mundur lagi. Bagiku manusia berhati iblis seperti Pak Salim tidak pantas untuk hidup.

104 Menjawab Masa Lalu

Michelle Makmur

Dengan satu tembakan aku mengakhiri hidupnya. Bersamaan dengan itu pasukan khusus menghujaniku dengan tembakan. Sejak awal aku mampu merasakan bagaimana akhir dari hidupku. Bagiku kesempatan ini tidak akan hadir untuk kedua kalinya. Jika diabaikan hidup orang-orang akan terancam. Hal ini sudah merupakan tanggung jawabku untuk melindungi mereka sekaligus menebus segala kesalahanku di masa lalu. Tidak akan ada lagi anak-anak malang yang dilahirkan untuk dikorbankan. Aku menutup mataku dan menghembuskan nafas terakhirku sambil melihat wajah Yerin yang menangis di sampingku. Aku merasa begitu beruntung dan berarti karena ada Yerin menemaniku disaat-saat terakhir yang berarti bagiku.

105 Menjawab Masa Lalu

Michelle Makmur

13. Ceritaku. oleh Rachel Hope Oei

“Kai! aku sering memperhatikanmu.. dan sepertinya kamu sering izin ke toilet tibatiba dengan muka yang panik. Ada apa denganmu?” Tanyanya seseorang di kelasku. Pertanyaannya, membuatku panik dan bingung. Apa yang harus kujawab? “Wah wah, ada apa denganmu? Mengapa engkau memperhatikanku? Apakah karena parasku yang cantik? hahaha” Jawabku padanya yang memasang muka sangat penasaran. Mendengar itu, kelasku yang sedang hening langsung menjadi berisik karena mereka mereka berseru kepada kami, “Oh begitu” “Cie” “Cie” “Ada apa diantara kalian??” Aku hanya tertawa karena dia sering sekali menggangguku. Melihatnya diganggu satu kelas memberi suatu kepuasan tersendiri kepadaku. “Aih percaya diri sekali kamu. Tidak, tidak, tentu saja tidak. Tetapi karena perlakuanmu yang berubah-ubah. Kadang, kau sangat berisik sampai mengganggu telingaku. Dan kadang kau bisa tiba-tiba sangat diam seperti orang bisu.” “Kurang ajar kau” jawabku sambil memukulnya dengan buku yang ada di depan mataku. Walaupun dalam hati aku berpikir “Ah, ia tidak salah.. Ada apa denganku? Mengapa mood ku berubah-ubah dengan begitu cepat?” Lalu ia hanya tertawa. Dari sini, aku melihat ke ujung sana.. Aku bisa melihatnya yang tidak merespon apaapa, dia hanya melirik kesini sebentar lalu melanjutkan kegiatannya. Seakan-akan.. ia tidak peduli sama sekali dengan apapun yang baru terjadi. Seakan-akan.. ia tidak peduli sama sekali denganku. Ah ada apa dengannya? tidak biasanya dia seperti ini. *** Oh ya.. halo, aku Kaila. Aku adalah seorang pelajar yang masih duduk di bangku SMA. Aku dikenal sebagai anak yang ceria dan berisik. Aku berumur 15 tahun, tahun ini aku akan menjadi berumur 16 dan aku.. ehm ehm sedang dekat dengan seseorang di kelasku.

108 Ceritaku.

Rachel H. Oei

Orang itu.. adalah dia yang duduk di ujung sana. Namanya Haikal. Dia lebih tua setengah tahun dariku, dia berumur 16 tahun. Dia adalah orang yang aneh, dia juga suka mengatakan hal-hal yang absurd. Ya, aku lebih aneh karena bisa jatuh hati kepadanya. Tetapi percayalah, dia adalah orang yang sangat baik. Dia sering menggangguku di sekolah, dan dia juga suka tiba-tiba mengata-ngatai ku lalu memujiku. Seperti yang sudah kukatakan, dia memang aneh. Kami sudah dekat cukup lama, mungkin sekitar 6 bulan. Tetapi belakangan ini, hubungan kami kurang baik. Ada satu dan lain hal yang memicu beberapa keributan dan akhirnya kami mulai berjarak. Namun biasanya, selalu kembali normal setelah beberapa saat. Namun kali ini, dia seperti sudah benar-benar menjaga jarak. Biasanya, aku juga tidak pernah khawatir jika kami ada berantem. Ah tidak, aku bohong jika aku mengatakan bahwa aku tidak pernah khawatir. Tentu saja selalu aku khawatir bahwa akan ada sesuatu yang bisa terjadi dengan kami. Namun, aku tidak pernah seperti ini. Akhirnya, aku tidak tahan lagi. Aku mengirim pesan kepadanya. Aku bertanya, “Ada apa denganmu? Apakah semua baik-baik saja?” Tetapi entah mengapa.. Satu jam.. Dua jam.. Tiga jam sudah berlalu namun tidak ada jawaban darinya. Aku jelas-jelas melihat bahwa dia memegang ponselnya, dia mestinya sudah bisa membalasku. Aku menjadi bingung. Aku ingin menghampirinya, namun aku takut mengganggunya. Aku juga tidak bisa bertanya kepada teman-temannya, karena dia adalah tipe orang yang tidak terlalu suka memberitahu hal-hal seperti ini kepada teman-temannya. Ia benar-benar menjaga jarak dariku… Ia tidak ada berbicara sama sekali denganku pada hari itu. Aku pulang dari sekolah dengan hati yang sangat kacau. Selama perjalanan pulang, sesampainya di rumah, aku tetap saja terus memikirkannya. Aku tidak bisa fokus melakukan apapun. Aku harus segera membuat tugas-tugasku yang sudah menunggu waktu untuk diserahkan kepada guru. Akhirnya aku membuat tugas-tugasku dengan tidak maksimal.

109 Ceritaku.

Rachel H. Oei

Aku sudah berandai-andai akan memarahinya jika ia sudah membaik. Aku ingin menyalahkannya karena sudah membuatku terus menerus memikirkannya sampaisampai tugasku ada beberapa yang tidak maksimal. Tetapi sepertinya.. itu akan tinggal di imajinasiku saja. Sampai malam, ia tetap tidak membalas pesanku. Aku semakin bingung dengan perilakunya. Aku sampai-sampai berbicara dengan diriku sendiri.. “Ah sudahlah Kai, mengapa harus kau pikirkan.. memangnya dia siapa? hanya seseorang yang dekat denganmu. Pacar saja bukan.” Tanpa sadar aku mengatakannya dengan mengeluarkan suara. Aku merasa seperti orang gila yang berbicara dengan dirinya sendiri. Aku terus berpikir tentangnya, apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa memperbaiki apa-apa. Ia membalas pesanku saja tidak. Pikiranku yang sudah dipenuhi olehnya terus-menerus memikirkannya sampai-sampai tak sadar bahwa sekarang sudah harus tidur karena besok harus pergi ke sekolah. Jujur, sebenarnya aku tidak ingin pergi ke sekolah besok. Aku tidak ingin pergi ke sekolah hanya untuk melihatnya menghindariku. Malam itu, aku ingin sekali mematikan otakku dan berhenti memikirkannya. Aku perlu tidur! Tetapi tentu saja otak kita tidak bisa dimatikan segampang itu. Akhirnya.. setelah beberapa jam, aku tertidur. Besoknya, terjadi yang sama denganku.. Dia tetap tidak membalas pesanku yang kemarin. Aku tidak mengirim pesan lagi kepadanya karena kau tidak ingin mengganggunya. Dia juga tidak berbicara denganku seharian. Besoknya.. Besoknya.. Dan besoknya.. sudah 5 hari ia menjauhiku. Ada apa dengannya? Sudah 5 hari aku tidak berbicara dengannya. Aku merindukannya. Tiap malam, aku hanya bisa berpikir apa yang telah terjadi. Akus terus-menerus menyalahkan diriku sendiri. Menurutku, dia seperti ini pasti karena sesuatu yang sudah kulakukan.. Apapun itu.

110 Ceritaku.

Rachel H. Oei

Aku merindukan masa-masa indah yang dulu kulewati bersamanya.. *** 5 bulan lalu.. Saat aku sedang makan di kantin. Ada yang datang ke mejaku dan memanggilku. “Kai! Apakah kamu ada sesuatu setelah sekolah? Belum sempat kujawab.. ia sudah melanjutkan; “Aku ingin mengobrol denganmu, apakah bisa?” “Hmm, sepertinya tidak ada apa-apa. Baiklah.” Aku menjawabnya dengan sangat tenang, walau hatiku sudah teriak-teriak kesenangan. Aku sudah tidak sabar untuk mengobrol dengannya. Sepulang sekolah, Kami pergi ke toko es krim yang ada di depan sekolah. Kami duduk di ujung dari tempat es itu dan memakan es bersama. Hatiku sangat berbunga-bunga karena suasana toko es itu juga sangat romantis. Ada lagu Rizky Febian dengan Ziva Magnolia - “Terlukis Indah” yang mengiri perbincangan kami. Pada saat itu, mataku hanya terfokus padanya yang ada di depanku. Tentu saja, pada saat itu aku sudah mulai menyukainya. Namun ia belum mengetahui apapun. Aku juga tidak berencana untuk memberitahunya, karena aku takut merusak pertemanan kami jika ia tidak menyukaiku balik. *** Tepat satu minggu dua hari setelah itu, pada hari sabtu. Kami pergi menonton film horor berdua. Aku suka film horor, namun aku tidak bisa fokus karena ada dia disampingku. Pada hari itu, ia menyatakan perasaannya kepadaku. Kami sedang duduk di sebuah restoran menunggu makanan yang belum datang, tiba-tiba ia mengatakan. “Kai, sebenarnya aku ingin memberitahumu sesuatu. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk memberitahumu.” Perasaanku aneh, aku sangat bingung dan gugup. Aku menjawabnya “Kamu belum memberitahuku apa yang ingin engkau beritahu. Bagaimana cara aku membantumu untuk memberitahu itu kepadaku? hahahaha”

111 Ceritaku.

Rachel H. Oei

Diapun ikut tertawa sambil mengatakan, “Iya, tidak salah. Aku juga tidak tahu bagaimana cara kamu membantuku untuk memberitahu ini kepadamu.” Setelah itu, ia diam selama kurang lebih 5 menit.. Lalu ia mengatakan, “S-sepertinya, aku menyukaimu.” Aku terkejut. Aku bingung. Aku senang. Aku tidak menyangka ia akan menyatakan perasaannya kepadaku. Aku ingin sekali menjawab “AH AKU JUGA.” tetapi aku tidak mau menghancurkan reputasiku. Sehingga untuk menutupi kesenanganku, aku menjawabnya, “Oh.. hanya itu yang ingin kau katakan. Aku sudah tahu.” Mukanya langsung panik, ia langsung menjawab, “Hah? Apakah aku terlalu menunjukkannya?” Aku belum menjawabnya, ia melanjutkan kalimatnya.. “Maaf jika sudah membuatmu risih..” Aku tertawa dan mengatakan, “Tidak, aku hanya bercanda. Maaf-maaf. Baiklah lanjutkan, apa lagi yang ingin kau katakan kepadaku?” Ia menjawab, “Tidak ada, sekarang aku hanya ingin tahu.. Apakah kamu juga menyukaiku?” Mukaku menjadi merah, aku menjadi tegang dan aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadanya. Aku diam sejenak.. Satu sisi, aku memang ingin memberitahunya juga, tetapi satu sisi.. aku malu untuk memberitahunya. Tetapi aku harus jujur, sehingga aku menjawab, “Y-ya, a-aku juga.” Sejak itu, kami menjadi sangat dekat. Bukan sebagai teman, tetapi sebagai.. Ah apalah itu, aku juga tidak tahu kami dekat sebagai apa, karena kami bukan sekedar teman, namun kami juga tidak berpacaran. Hampir satu sekolah mengetahui tentang kedekatan kami, mereka semua mengira bahwa kami berpacaran. Ini.. adalah salah satu hal yang terindah dalam hidupku. *** Aku terus menerus mengingat masa-masa indah ini bersamanya. Aku sangat merindukan hal-hal absurd yang tiba-tiba ia katakan kepadaku, aku merindukan keanehan-keanehan yang ia lakukan, aku merindukan tawanya yang membuatku jatuh hati kepadanya, aku merindukan senyumnya yang manis itu, aku.. merindukannya.

112 Ceritaku.

Rachel H. Oei

Tetapi.. apa yang bisa aku lakukan sekarang? Ia sudah benar-benar membuat tembok yang tinggi di antara aku dengannya. Ia menghindariku, ia menjauhiku. Aku coba untuk menanyakan ini ke temannya, mungkin saja temannya tahu.. Setelah aku bercerita.. temannya mengatakan, “Setau aku, Haikal ingin bicara denganmu. Tapi aku tidak tahu kapan. Menurutku, kamu jangan berharap apapun yang baik.” Mendengar itu, aku menjadi bingung. Aku hanya bisa menunggu ia mengajakku bicara. Satu hari setelah itu, aku bertemu dengannya. Ia mengajakku bertemu, dan kita bicara. Haikal.. mengatakan bahwa dia mencintaiku dan dia akan selalu mencintaiku. Dia peduli denganku, namun semuanya tidak bisa berjalan dengan lancar. Ia menjelaskannya kepadaku, menurut dia, kami tidak perlu lanjut dekat lagi. Katanya.. aku pantas mendapatkan yang lebih baik. Setelah mendengar itu semua, hatiku.. sakit sekali. Aku menangis.. Aku menangis di depannya. Dia memelukku dan berkata.. “Aku mencintaimu Kaila.” Setelah beberapa saat.. Ia meninggalkanku. Hatiku sakit sekali, rasanya sangat kacau.. Bahkan sampai saat ini, hatiku masih sangat sakit dan sangat kacau. Aku tidak ingin dia pergi. Dia sudah cukup bagiku.. Aku tidak memerlukan orang yang lebih darinya. Aku masih menginginkannya. Aku mencintainya.. Rasanya, baru saja kemarin ia menyatakan perasaannya kepadaku. Rasanya, baru saja kemarin ia mengatakan bahwa ia mencintaiku dan akan selalu ada buatku.. Mengapa waktu berjalan begitu cepat? Mengapa rasanya sangat menyakitkan? Ah, sudahlah. Mungkin aku memang harus membiarkannya pergi untuk bahagia. Dengan siapapun itu nanti yang bisa membuatnya bahagia. Itu yang paling penting bagiku. Aku? sudahlah lupakan saja, aku tidak apa. Saat ini.. yang paling penting adalah hidupnya dan kebahagiaannya. Jika ia bahagia.. aku pun bisa tersenyum. Walau mungkin dengan air mata di mata ku.

113 Ceritaku.

Rachel H. Oei

Jika aku bisa mengatakan sesuatu kepadanya sebelum ia benar-benar pergi dari hidupku.. Aku akan mengatakan; “Jujur, aku ingin memperbaiki ini semua. Tetapi jika kamu rasa ini semua tidak perlu diperbaiki. Kamu tidak ingin memperbaikinya.. tidak apa, pergilah. Terima kasih sudah pernah masuk ke dalam hidupku. Terima kasih sudah pernah menjadi rumah untukku berpulang. Terima kasih sudah menjadi sandaran ternyaman saat aku membutuhkannya. Terima kasih, untuk semuanya. Kamu adalah, dan akan selalu menjadi lembaran terindah dari cerita-cerita dalam hidupku, dan kamu akan selalu menjadi cerita favorit dari hidupku. Aku berdoa.. semoga kamu bahagia. Ingatlah, bahwa aku akan terus disini mendukungmu, dan aku sangat mencintaimu.” Itu saja.

114 Ceritaku.

Rachel H. Oei

14. Suamiku Bukan Polisi Brengsek oleh Raymond Benedict Herlin

Setelah peti dimasukkan ke dalam liang kuburan dan kemudian ditutup dengan timbunan tanah yang telah dicangkul, pulanglah para tamu yang hanya sedikit jumlahnya, kembali ke kediaman mereka masing-masing. Di antara orang-orang yang sedang memasuki mobil, menaiki motor, atau menunggu angkot berwarna merah dan biru, berjalanlah Santi seorang diri melewati karangan bunga yang seharusnya berjumlah lebih banyak. Santi sedang mengingat kembali akan pemakaman almarhum suaminya yang baru saja berlangsung. Pemakaman yang sebelumnya pernah terbayangkan oleh Santi dan suaminya berbeda jauh dengan bagaimana yang telah disaksikannya tadi. Seharusnya peti suaminya diangkut oleh para anak buahnya menggunakan seragam lengkap, tetapi tadi ia malah menyaksikan peti suaminya diangkut oleh tetangga rumahnya. Seharusnya peti suaminya dibekali dengan kain merah-putih sebagai tanda jasa atas pengabdiannya kepada negara, tetapi Santi tadi harus menyaksikan peti suaminya turun ke liang kubur dengan tangan kosong. Seharusnya peti suaminya turun ke dalam liang kubur diiringi dengan suara tembakan sebagai tanda kehormatan, tetapi tadi yang terdengar hanyalah kesunyian dan tangisan yang hampir tidak terdengar. Ya mau bagaimana lagi. Hak Pemakaman Purnawirawan telah dicabut dari suami Santi karena ia mati sebagai polisi yang brengsek. Jasad Brigadir Jono (itulah namanya) ditemukan di Tanduk Tiga, sebuah rumah judi dan tempat diskotik, hari Selasa lalu. Jasadnya ditemukan sedang bersandarkan di dekat kotak hijau besar yang merupakan tempat untuk membuang sampah. Tubuh Jono ditemukan dalam keadaan berseragam setengah terbuka, dilumuri dengan noda berwarna merah, yang adalah darah. Bau tembakau bercampur alkohol melekat padanya, sampai-sampai bila kita berdiri sejauh satu meter darinya, hidung kita masih bisa menangkap baunya. Dilaporkan bahwa penyebab kematiannya adalah karena ditikam. Korban disangka berusaha memerkosa seorang biduan yang menemaninya ketika ia sedang asik mabuk sambil memasang taruhannya. Dengan keadaan mabuk ia memaksa si biduan untuk membuka pakaiannya, tetapi karena takut, si biduan menancapkan pisau di dada sebelah kiri Jono sebagai bentuk perlawanan. Biduan tersebut pun sudah diamankan dan dinyatakan tidak bersalah, karena tindakan penikaman ini merupakan aksi bela diri. Sedangkan Jono, hidupnya berakhir sebagai polisi brengsek, ia diturunkan dari jabatan secara tidak hormat, dan haknya sebagai polisi dicabut.

116 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

“Mau kerja bersih apanya, ternyata Mas Jono juga jadi salah satu penikmat dari hiburan malam,” keluh Santi sambil teringat kembali akan konflik antaranya dengan mendiang suaminya, seminggu sebelum ia meninggal. “Udah gapapa lah Mas. Gak usah idealis banget, toh demi keamanan Mas juga.” “Gak bisa begitu sayang, waktu Mas terima jabatan ini dan memilih untuk mengabdi sebagai polisi, Mas sudah janji untuk kerja bersih dan jujur. Inikan juga demi martabat keluarga kita.” “Sekarang malah dia yang mencoreng martabat keluarga kita,” pikir Santi sambil berusaha menerima fakta bahwa sosok pria yang kepadanya ia berjanji untuk cintai selamanya, ternyata adalah seorang pemerkosa. Dengan perasaan yang campur aduk Santi pun berjalan pulang kembali ke rumahnya meninggalkan makam almarhum suaminya. Santi menyusuri jalan dengan kepala tertegun ke bawah karena pikirannya begitu penuh sampai rasanya berat untuk ditegakkan. Dengan sisa tenaga, ditegakkan kembali kepalanya karena ia hendak menyeberangi jalan. Namun, saat melihat sekeliling, matanya terpaku pada sebuah bangunan besar berbentuk unik, bukan kotak atau persegi panjang, tidak bisa disamakan oleh sekedar bentuk yang biasa kita ketahui, dengan atap runcing berjumlah tiga yang menyerupai tanduk, dan papan nama besar yang biasa menyala kalau di malam hari. Tempat itu tidak lain dan tidak bukan adalah Tanduk Tiga, tempat maksiat di mana Mas Jono terakhir kali meninggalkan jejaknya. Melihat itu hati Santi jadi memanas. Bukan cuman satu bangunan, tapi di sekitarnya juga banyak rumah judi, tempat karaoke, dan diskotik. Santi baru menyadari dan merasa heran akan betapa banyaknya tempat-tempat semacam itu, padahal izin untuk membangun rumah ibadah saja biasanya lebih sulit. “Kalau Mas Jono memang bekerja bersih sesuai omongannya, harusnya tempattempat macam ini sudah ditutup.” Santi teringat suaminya pernah bercerita kalau ia memergoki atasannya melindungi dan memberi kemudahan akses kepada pemilik tempat semacam ini. Inilah yang menjadi akar dari konflik dengan suaminya sebelumnya.

117 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

“Brengsek memang, ternyata atasan Mas pakai kuasa yang dimilikinya buat lindungin rumah judi dan tempat diskotik. Mas gak bisa terima dan harus lakukan sesuatu,” ucap Jono ke istrinya seminggu yang lalu. “Ya bagaimanapun dia kan tetap atasan kamu Mas. Kalau kamu macam-macam takutnya dia persulit kamu nanti. Lagian kan itu gak merugikan kita juga,” jawab Santi. “Dengan dipermudah izin dan dilindungi tempat-tempat macam itu di lingkungan kita, bakal beri pengaruh buruk ke warga sekitar karena semakin mudah bagi mereka untuk berbuat maksiat dan hal-hal yang haram.” Setelah mengingat kembali pertengkaran terakhir dengan suaminya, Santi semakin sulit untuk menerima bahwa suaminya yang sangat idealis dan bertakwa bisa bermain ke tempat semacam Tanduk Tiga dan mencoba memerkosa seseorang. Rasanya seperti bukan Mas Jono, pikirnya. Namun, apa boleh buat. Fakta berkata berbeda. Di depan Tanduk Tiga banyak gadis-gadis yang sedang berdiri di pinggir jalan. Para gadis tersebut adalah para PSK atau biduan yang biasa bekerja melayani di Tanduk Tiga. Karena hari sudah sore, mereka sedang berdandan, bersiap-siap untuk melakukan shift malam mereka. Dari sekian gadis ada satu yang paling menarik perhatian Santi. Seorang gadis muda dengan kulit yang cerah dan mulus, putih bagaikan susu. Gadis itu menggunakan pakaian merah yang minim dan ketat, sama seperti gadis-gadis lainnya. Riasan wajahnya yang tebal seolah-olah sengaja dibuat setebal itu untuk menutupi raut wajahnya yang jauh dari senyuman atau tawa, berbeda dengan para gadis lainnya yang sedang bersenda gurau dengan satu sama lainnya sambil memegang sepuntung rokok di tangan mereka. Gadis itu seperti sedang menyimpan rasa bersalah atau merasa takut. Namun, yang paling membuat gadis itu berbeda dari lainnya adalah gaya rambutnya yang unik. Rambutnya panjang, tapi pada sisi samping kiri semacam dicepak. “Gara-gara gadis-gadis yang gak jaga diri ini yang akhirnya buat Mas Jono tergoda juga ke hiburan dunia malam,” ucap Santi sambil membandingkan dengan dirinya yang selalu berpakaian sopan, tertutup dengan hijab. Tanpa disadari ternyata gadis itu membalas tatapan Santi yang dari tadi mengamatinya, Santi pun langsung mengalihkan pandangannya dan kembali kerumah.

118 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

Seling berganti hari, Santi mendengar suara bel pintu rumahnya dibunyikan. “Neng Santi… Apa kabarnya? Ini Inang sama Mas Dodi ada bawa rambutan banyak buat bagi ke Eneng.” Ternyata yang datang adalah Mbak Inang dan Mas Dodi suaminya, tetangga Santi yang tinggal sekitar dua rumah jauhnya, di rumah tua dengan dua lantai yang dipagari oleh pagar besi antik kesukaan mereka. Santi pun segera membuka pintu untuk menerima kunjungan mereka. Mbak Inang memeluk Santi dengan maksud menghiburnya. Mas Dodi pun juga turut menyatakan belasungkawanya kepada Santi yang masih dalam keadaan berduka. Santi mengucapkan terimakasih dan menyambut mereka untuk duduk minum sirup dan bercengkrama. Ya obrolan mereka diisi dengan basa-basi seperti bagaimana biasanya seorang mengunjungi tetangganya. “Aduh aku gak abis pikir kalau suamimu itu bisa sampai-sampai begitu loh Neng. Mas Jono, suamimu itu kan bukan polisi brengsek,” ucap Mbak Inang dengan suaranya yang medok. Lagi-lagi gagasan kalau Mas Jono bukan polisi brengsek. Santi sendiri juga sulit percaya, tapi lagi-lagi fakta berkata berbeda. “Mas Jono itu kan orang nya baik toh, dia suka bantu-bantu suamiku kalau lagi kalau kesusahan. Dia juga bukan tipe orang yang suka mabuk atau berjudi kalau lagi nongkrong-nongkrong, tanya aja ke Mas Dodi mereka kan suka nongkrong bareng,” lanjut Mbak Inang sambil matanya beralih memandang suaminya mengharapkan ia buka mulut untuk memberikan konfirmasi. “Heeh, betul itu Mbak. Kita kalo nongkrong mah biasa cuman main catur sambil ngopi aja,” kata Mas Dodi mengkonfirmasi istrinya. “Tapi ya Mbak, kemarin waktu hari kejadian, jujur saya agak kaget kok bisa si Jono akhirnya ke Tanduk Tiga. Karena kan waktu itu kita lagi bareng, tapi si Jono dapat telefon dan dia izin cabut duluan mau ke kantor dinas dipanggil atasan katanya.” Ucap Mas Dodi. Santi baru mengetahui kalau suaminya dipanggil oleh atasannya. Memang mengherankan, tapi bisa saja Mas Jono cuman bohong semata ke temannya. Tentu tidak mengagetkan seorang pemerkosa dan pembuat maksiat berbohong untuk menutupi niatnya, itulah yang dipikirkan Santi waktu mendengarnya.

119 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

Sehabis puas bercengkrama, Mbak Inang dan Mas Dodi pun berpamitan dengan Santi. Namun sebelumnya, Mbak Inang bertanya ke Santi “Oh iya, tadi kamu habis ada tamu juga ya Neng? Rambut temannya Eneng bagus ih.” Santi sama sekali tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh Mbak Inang. “Maaf Mbak, teman yang mana ya? Saya belum ada terima tamu sebelum Mbak Inang dan Mas Dodi datang.” “Loh? Tadi waktu mau datang ke sini aku ada lewatin gadis yang lagi berdiri di sekitar rumah kamu Neng. Waktu aku tanya dia kenalannya Eneng ya, dia bilang iya dan langsung pergi.” “Kayak gimana coba orangnya Mbak?” tanya Santi. “Masih gadis, muda. Orangnya cantik, kulitnya putih, aduh pasti suka mandi susu dia. Rambutnya juga unik gitu loh, dicepak sampingnya. Lagi tren ya gaya rambut begitu?” Sosok gadis dengan riasan wajah tebal yang diperhatikan Santi di depan Tanduk Tiga waktu itu langsung muncul di kepalanya. “Wah saya gak kenal itu siapa Mbak. Mungkin dia salah rumah aja,” jawab Santi dengan singkat. Sepulangnya Mbak Inang dan Mas Dodi, Santi jadi terheran-heran. Kenapa gadis itu bisa sampai di sini? Apakah dia mengikuti ku? Ada mau apa dia berada di sekitar rumahku? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kian muncul di kepala Santi. Namun konsentrasi Santi dalam berspekulasi terpecahkan oleh suara nyaring yang terdengar dari dalam dapur. “Kring…” Ternyata telepon rumah berbunyi. Santi segera pergi untuk menjawabnya. “Halo, dengan siapa ini?” Tidak ada jawaban yang jelas. Salam Santi hanya dijawab dengan suara yang aneh. Suara bising, seperti suara nafas orang yang sedang terengah-engah.

120 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

Mungkin cuman salah sambung. Santi menutup telepon dan memutuskan untuk mandi karena sudah mau maghrib. “Kring…” suara nyaring kembali terdengar di dapur tanda bahwa ada yang menelepon lagi. “Halo, dengan siapa ini?” tanya Santi dengan rambut yang terbungkus handuk karena ia baru saja selesai mandi. “Ha… Halo?” balas penelepon dengan suara yang tidak begitu jelas, mirip dengan penelepon pertama tadi. “Ini ibu Santi, istri dari almarhum Pak Jono betul?” “Ya betul, ini siapa?” Santi sadar kalau peneleponnya adalah seorang wanita, walaupun suaranya tidak begitu jelas. “Pak Jono sebenarnya… tut..” belum sempat menyelesaikan kalimatnya teleponnya sudah terputus. Aneh sekali. Siapa kiranya yang menelpon tadi? “Jangan-jangan itu simpenan Mas Jono,” curiga Santi karena peneleponnya adalah wanita. Santi pun jadi bingung dan kesal karena penelepon aneh itu dan spekulasinya sendiri. “Kring…” ketiga mengangkatnya.

kalinya

telepon

berbunyi.

Santi

segera

ke

dapur

untuk

“Halo, sebenarnya kamu ini siapanya Mas Jono sih?” “Halo bu Santi?” Santi terkejut karena ternyata kali ini yang menjawab adalah suara lelaki. “Ini Bapak, Pak Pujito.” Ternyata yang menelepon adalah Pak Pujito. Dialah atasan Mas Jono yang disebutsebut selama ini. Atasan yang diceritakan Mas Jono melindungi dan mempermudah rumah-rumah judi dan diskotik. Atasan yang manggil Mas Jono waktu lagi nongkrong sama Mas Dodi. Atasan yang tidak hadir di pemakaman Mas Jono.

121 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

“Oh ya maaf Pak, saya kira orang lain,” jawab Santi, “Ada apa ya Pak telepon malammalam begini?” “Bapak mau minta maaf Santi, karena gak bisa hadir di pemakaman Jono. Bapak tadi ada urusan yang tidak bisa ditinggal.” “Oh tidak apa-apa Pak. Terima kasih buat karangan bunganya ya.” “Apa kabar kamu Santi? Kamu pasti tertekan dengan keadaan yang harus kamu alami sekarang ini. Maafkan Bapak karena kurang bisa mendidik Jono untuk menjadi pengabdi negara dan kepala keluarga yang baik,” ucap Pak Pujito kepada Santi dengan penuh empati dan rasa bertanggung jawab. Sulit dipercaya bukan? Seorang atasan yang bertanggung jawab dan sangat peduli kepada Jono dan keluarganya, bahkan setelah ia meninggal dengan tidak terhormat pun, bisa dikatakan jadi seorang yang menyalahgunakan kuasa jabatannya. “Saya masih berusaha berdamai dan menerima dengan keadaan Pak. Sulit memang, tapi saya harus kuat,” jawab Santi. “Kuat-kuat kamu Santi. Kalau ada apa-apa bilang ke Bapak saja ya, Bapak akan bantu kamu sesuai janji Bapak ke Jono dulu,” kata Pak Pujito. “Ngomong-ngomong apakah ada yang mengganggu kamu di rumah San? Apakah ada semacam gadis atau orang yang tak dikenal berkeliaran di rumahmu?” Santi terkejut kenapa pertanyaan itu bisa dikeluarkan oleh mulut Pak Pujito. Apakah Pak Pujito juga tahu akan gadis yang dikenalinya itu? “Tidak ada apa kok Pak. Di rumah aman-aman saja,” jawab Santi sambil menyembunyikan bahwa ia mungkin mengerti akan maksud dari pertanyaan Pak Pujito. “Hmm, baiklah kalau begitu San. Kamu harus berhati-hati, kalau ada orang asing yang mengetuk pintu kamu, jangan kamu bukakan,” jawab Pak Pujito dengan nada yang cukup aneh, berbeda dari nadanya yang semula. “Baik Pak, terimakasih. Santi akan berhati-hati.”

122 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

Santi menutup telepon dengan heran. Apakah benar bahwa yang dimaksud oleh Pak Pujito adalah gadis yang dikenalinya itu? Dari mana ia bisa tahu soal itu? Dan kalau benar gadis itu berkeliaran di sekitar rumahnya, ada mau apa dia? Semakin dipikirkan semakin membingungkan, Santi terus dipenuhi kebingungan hari itu. Lagi-lagi konsentrasi dan spekulasi Santi terpecahkan oleh suara, tetapi kali ini bukan suara telpon dari dapur, melainkan suara ketukan pintu. “Tok..Tok..Tok…” Santi tahu pasti bahwa yang mengetuk adalah orang asing, karena tetangga atau kenalannya pasti akan menekan bel yang dipasangnya. Dengan diiringi degupan kencang Santi berjalan ke dekat pintu. Terjadi perdebatan yang sangat cepat di kepala Santi, haruskah ia bukakan pintu atau tidak, seperti yang telah diperingatkan oleh Pak Pujito sebelumnya? Akhirnya dengan tangan yang sedikit berkeringat dan gemetar Santi segera mencapai gagang pintu, menariknya ke bawah dan segera membuka pintu. Santi langsung mengenali sosok berambut panjang dengan cepak samping yang berdiri di depan pintunya. Gadis yang pernah diperhatikannya, ternyata memang benar itulah dia. Namun, kali ini wajahnya tidak ditutupi oleh riasan yang tebal, melainkan oleh ekspresi takut dan panik yang bercampur. Tanpa diundang, gadis tersebut pun langsung menerobos masuk. “Tidak ada waktu,” katanya sambil menarik Santi ke dalam juga. “Kamu ini siapa? Mau kamu apa? Berani-beraninya main masuk ke rumah orang!” teriak Santi dengan panik sambil mencoba menahan dan melepaskan genggaman gadis itu. Gadis itu segera melepaskan genggamannya dan memindahkan tangganya ke mulut Santi agar ia bungkam, tidak terus berteriak. “Saya cuman mau ngomong dengan Ibu. Saya tidak punya banyak waktu, dan keberadaan saya tidak aman,” ucap gadis itu, “Ini soal penting. Ini soal Mas Jono.”

123 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

Santi terdiam ketika mendengar nama suaminya disebut oleh mulut gadis itu. Ia juga menyadari bahwa suara gadis ini sama dengan suara wanita yang didengarnya di telepon tadi. Dialah penelepon misterius yang terus mengganggu Santi tadi. “Apa maksudmu.. Tahu apa kamu soal almarhum Suami saya?” tanya Santi meminta penjelasan kepada gadis itu. “Nama saya adalah Andini.” Sekali lagi Santi tercengang mendengar nama yang keluar dari mulut gadis itu. Andini… Itulah nama dari biduan yang dikatakan menikam Mas Jono ketika ia sedang mencoba memerkosanya. Kenapa perempuan ini datang menemui Santi? Setelah menyadari nama tersebut Santi kembali terdiam, perasaannya campur aduk. Satu sisi, ia ingin memaki perempuan malam ini karena telah menemani suaminya berbuat maksiat, tapi di sisi lainnya ia mengetahui bahwa suaminya lah yang brengsek. “Apa yang Ibu dengar atau ketahui tentang Mas Jono itu tidak benar. Suami Ibu bukan polisi brengsek,” ucap gadis itu, atau lebih tepatnya ucap Andini. Lagi-lagi gagasan kalau Mas Jono bukan polisi brengsek. Namun, kali ini berbeda. Gagasan itu keluar dari mulut seorang yang seharusnya telah menikam Mas Jono karena kebrengsekannya, tetapi kenapa ia malah mengkonfirmasi sebaliknya? “Apa maksudmu? Bukannya Suami saya mencoba untuk memerkosa kamu karena itu kamu menikamnya?” “Saya tidak pernah menikam suami Ibu, dan suami Ibu pun tidak pernah mencoba memerkosa saya.” kata Andini menjelaskan kepada Santi. “Sebenarnya yang terjadi pada waktu itu adalah, saya sedang bertugas melayani dalam satu ruang VIP yang disewa oleh sekelompok orang. Bos besar dan pejabat katanya. Saya sedang duduk di pangkuan salah satu penyewa itu ketika saya melihat suami Ibu, Pak Jono masuk ke dalam ruangan. Pak Jono sepertinya datang karena dipanggil oleh atasannya,” ucap Andini mengkonfirmasi ucapan Mas Dodi sebelumnya. “Ada apa Pak memanggil saya?” tanya Jono.

124 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

“Duduk di sini Jono, ada yang perlu saya bicarakan kepada kamu,” ucap Pak Pujito sambil menuangkan segelas alkohol kepada Jono. “Saya tidak minum Pak, terima kasih,” tolak Jono dengan tetap berusaha sopan kepada atasannya. “Bapak mau bicara apa dengan saya?” “Bukan bicara sih Jon, Bapak cuman butuh kamu untuk, ya… menandatangani dokumen ini lah. Gampang kok, tanda tangan di sini, sudah beres dan kamu boleh pulang, kasihan Istri kamu menunggu malam-malam begini,” jelas Pak Pujito sambil menyodorkan secarik kertas dan pena. “Dokumen apa ini?” tanya Jono sambil melirik ke satu orang lagi yang sedang bersama Pak Pujito di ruang VIP tersebut. Orang tersebut tampak tidak asing baginya. Ternyata tidak lain dan tidak bukan, orang itu adalah pemilik dari Tanduk Tiga. Orang yang Jono pergoki meminta perlindungan dan kemudahan dari Pak Pujito sebelumnya. Ternyata kertas itu berisi sebuah kontrak atau perizinan bagi pihak Tanduk Tiga untuk memperjualkan minuman keras tanpa membayar pajak. “Wah saya tidak bisa menandatangani surat ini Pak. Saya tidak akan ikut Bapak dalam berkolusi,” tolak Jono dengan tegas. Raut wajah Pak Pujito dan tamu yang bersamanya langsung berubah masam mendengar penolakan tersebut. “Gak usah sok idealis lah kamu Jon. Kamu tinggal menandatangani di sini dan beres, kita semua akan jadi aman,” persuasi Pak Pujito. “Mohon maaf Pak, saya tegas menolak ini. Lebih baik saya pulang sekarang, seperti kata Bapak, Istri saya menunggu di rumah.” Akhirnya Jono pun dibiarkan pulang, tetapi ia tidak dibiarkan untuk keluar sendiri. Dan ketika sampai di luar, Jono pun langsung ditikam oleh salah satu pengawal dari pemilik Tanduk Tiga. Tubuhnya ditaruh di dekat tempat pembuangan sampah, di mana jasadnya ditemukan besoknya. “Karena saya jadi satu-satunya saksi di sana, saya dipaksa untuk terlibat Bu. Saya dipaksa untuk membuat pengakuan palsu akan bagaimana suami Ibu mencoba untuk memerkosa saya dan saya menikamnya guna membela diri. Saya diancam jika saya buka mulut saya pun akan bernasib seperti suami Ibu juga,” jelas Andini dengan menangis.

125 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

“Ya Allah, ternyata benar bahwa selama ini suamiku bukan polisi brengsek,” pikir Santi meresponi pengakuan dari Andini yang mengagetkan sekaligus melegakan. “Maafkan saya baru buka mulut sekarang Bu, karena saya takut. Bahkan saya mendatangi kediaman Ibu saja sudah sangat mengancam keselamatan saya, saya merasa bahwa sedari tadi saya sedang diamati.” Santi kebingungan harus menjawab apa mencoba menenangkan Andini, “Su… Sudah kamu masuk dulu ke sini.” “Dor!” suara kencang terdengar dan langsung membekukan Santi. “Ahh!” teriak Santi karena ketika ia melihat Andini, sudah ada lobang di bagian rambutnya yang dicepak. Dari lobang itu bermuncratan lah darah mengotori ruang tamu Santi. Andini telah ditembak mati melalui jendela. Santi yang merasa takut dan panik menghadapi situasi yang dihadapinya menjadi kunang-kunang. Matanya semakin berat untuk terbuka dan tubuhnya seakan menjadi sepuluh kali lebih berat untuk ditopang, maka terjatuhlah Santi setengah pingsan di lantai ruang tamunya. Tiba-tiba terdengar bahwa pintu Santi dibuka oleh seseorang. Karena pandangannya sudah kabur, Santi sulit mengenali siapa yang memasuki rumahnya. Hanya terlihat sosok lelaki bertubuh besar, bagaimana parasnya atau pakaiannya, sama sekali tidak jelas. “Santi… Santi… Sudah ku peringatkan kamu untuk tidak membukakan pintu untuk sembarang orang.” Santi mengenali suara itu. Santi juga mengenali peringatan itu. Sosok yang kabur itu adalah Pak Pujito, atasan Mas Jono. Orang yang bertanggung jawab atas kematian suaminya.

126 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

Dengan keadaan setengah sadar, Santi merasakan bahwa kepalanya sedang diangkat secara perlahan. Santi telah mengetahui bahwa nasibnya akan menjadi sama seperti Suaminya dan Andini. Tentu ia tidak akan dibiarkan hidup karena ia telah tahu terlalu banyak. Namun satu hal terpenting yang diketahui oleh Santi sebelum menemui ajalnya; bahwa suaminya bukan polisi brengsek.

127 Suamiku Bukan Polisi Brengsek

Raymond B. Herlin

15. Orang Besar oleh Samuel Hans Tanudiredja

“Kakek Tua Dipukuli Sampai Meninggal”. Wah! Berita yang sangat mengagetkan, begitu kejamnya orang yang tega melakukan kejadian seperti ini pada seorang tua, yang bahkan tidak berdaya untuk melindungi dirinya sendiri. Sungguh kakek yang malang. Bahkan ada lebam lebam di seluruh bagian tubuhnya. Hmm, seperti ada hal yang janggal di foto tersebut. Aku melihat lagi untuk kali yang kedua, hidung kakek itu sudah patah dan tidak berbentuk. Seperti muncul suatu perasaan di hati. Ada yang tidak beres. Tidak ada salahnya bukan untuk melakukan investigasi lebih lanjut pada kasus ini? Toh, hanya aku sendiri juga yang akan mendatangi tempat kejadian tersebut. Tapi, aku akan membutuhkan bantuan polisi untuk menembus masuk ke dalam rumah tua tersebut. Hmm, apa boleh buat? Aku langsung menelpon teman lama ku yang juga bekerja di bidang kepolisian. “Halo, Kusnadi, bolehkah aku meminta sedikit dari bantuan mu?” “Oh, ya. Tentu! Apa yang perlu aku bantu, detektif?” “Pagi ini, aku melihat suatu berita yang janggall mengenai kakek tua yang dibunuh dengan cara dipukul sampai mati, sungguh kejam. Aku meminta bantuanmu untuk membawaku ke tempat kejadian tersebut.” “Wah, sungguh kejam perlakuan pembunuh itu. Tidak menyangka ada orang yang setega itu untuk melukai yang lemah. Baiklah, akan saya antar ke tempat kejadian tersebut, pukul 07.00 pagi.” Telpon pun langsung dimatikan. Kenapa dia begitu tergesa gesa mematikan telponnya? Ah, mungkin dia ada urusan lain yang harus dikerjakan. Sungguh hebat orang itu. Menjadi jendral pasti tidaklah mudah. Aku pun langsung memutuskan untuk beristirahat dan tidak sabar untuk menginvestigasi kasus itu besok. Pagi hari telah tiba,temanku datang dengan menggunakan jas pakaian yang sangat rapi, dan juga sarung tangan hitam yang berada di tangan kanan nya. Aku mendapatkan bingkisan kecil yang diberikan olehnya untuk anak dan istriku, dan aku langsung bersiap siap mengambil tas kecil ku yang berisi senter dan kamera, lalu bergegas masuk ke mobil.

130 Orang Besar

Samuel H. Tanudiredja

Di perjalanan, kita berbincang mengenai apa motif pelaku sampai membunuh kakek itu. “Dia itu ga membayar pajak rumah. Sampai hutangnya menumpuk dan membuat bank rugi.” Ujarnya dengan penuh amarah. Lalu aku bertanya, “Apakah harus sampai dipukuli sebegitunya, sampai seluruh tubuhnya dan hidung sudah tidak berbentuk?” Jawabnya : “Mungkin itu adalah konsekuensi yang harus ia bayar karena tidak membayar pajak. Hidup di Indonesia memang sangatlah keras. Kita harus mematuhi setiap aturan, atau kita akan menerima batunya.” Lalu kita berhenti sejenak untuk mencari makanan di sekitar daerah itu. Sembari makan, kita berbincang mengenai kasus itu lebih lanjut. Dan setelah itu, kita melanjutkan perjalanan kita menuju tempat kejadian. “Rumah disita karena tidak membayar pajak.” Itu adalah tulisan yang pertama kali ku lihat saat ingin melangkahkan kaki ke dalam rumah tua ini. “Ah, rumah yang sangat kotor!” Ujarku sambil memotret-motret tempat kejadian itu. Bahkan, tidak ada yang berani untuk mengambil mayat kakek yang terbaring di lantai rumah tua rongsok ini. Hey! Lihatlah bekas pukulan pukulan yang terdapat di tubuhnya. “Kita harus benar benar mencari pelaku ini! Sebagai polisi, saya merasa gagal melindungi rakyat rakyat yang membutuhkan pertolongan seperti kakek tua ini. Orang kejam seperti ini, layaknya dipancung mati.” Kata polisi itu dengan sangat tegas. “Hari sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang dan kembali besok untuk melanjutkan penyelidikan ini.” Kataku dengan suara yang sudah sangat lelah. Aku memutuskan untuk membawa barang bukti berupa sarung tangan yang ada di dekat tubuh kakek tersebut, menggunakan sepotong kayu lalu memasukannya ke dalam plastik. Di mobil, aku tidak bisa menahan rasa kantuk ku dan langsung tertidur. Tepat pukul jam 9 malam, aku sampai di depan rumah dan mengucapkan terimakasih atas bantuan yang sudah diberikan oleh temanku. Dan Ia memberikan ku sedikit saran. “Menurut saya, lebih baik untuk menjauhi kasus kasus yang sudah ditutup seperti ini. Akan ada banyak orang besar yang tidak akan suka kalau mereka mendengar ini.” Ucapnya dengan sangat lembut, dan melambaikan tangannya kepadaku dengan lembut.

131 Orang Besar

Samuel H. Tanudiredja

“Sungguh kalimat yang aneh keluar dari mulutnya.” Kata ku sambil membuka pintu rumah. Aku memutuskan untuk datang lagi ke tempat kejadian tersebut sendiri besok. Aku rasa bahwa aku memerlukan ruang yang lebih untuk bisa bekerja sendiri dan lebih leluasa. Aku membuat suatu rencana untuk apa yang ingin aku lakukan besok. “Selamat malam, Bun, dan Dino”. Kataku sambil menarik selimut dengan erat. Keesokan harinya, aku bergegas untuk berangkat dan pergi menyelidiki kasus ini. Tapi, entah mengapa, ban mobil ku bocor. Saat ku perhatikan, ada jarum kecil yang sangat tajam menusuk langsung ke bagian dalam ban. Akhirnya aku memutuskan untuk memesan taxi dan berangkat. Di perjalanan, aku melihat-lihat kembali sarung tangan yang kemarin ku ambil. Hmm, aku seperti pernah melihat sarung tangan ini. Tiba tiba ada bunyi sirine keras yang berasal dari sekelompok mobil hitam besar di samping taxi ku. “Permisi! Kosongkan jalan!” Ujar seorang polisi dari jendela mobil yang pekat. Sang supir taxi pun langsung membelokkan setirnya ke jalur lambat. “Mas, ngebut dikit ya.” Aku berkata kepadanya. “Baik Pak.” Setelah perjalanan yang cukup panjang, aku sampai juga di rumah tua itu. “Terimakasih ya mas, ini uangnya”. “Iya pak, hati hati ya! Waspadalah terhadap kekuatan orang besar.” “Iya mas.” Kataku dengan penuh kebingungan. Apa yang dimaksud olehnya dengan kekuatan orang besar? Aku menginjakkan kaki ku ke halaman depan rumah tua itu, sambil menyenteri sudut sudut ruangan karena matahari sudah mulai terbenam. Sekarang, aku harus menyelidiki ulang kasus yang janggal ini. Aku masuk, dan membuka pintu dengan sangat amat pelan. “Hah? Kenapa mayat itu berpindah posisi dengan hari kemarin?” Dan darah nya sudah dibersihkan juga. Benar dugaanku. Seperti ada hal yang ditutup-tutupi di kasus ini.

132 Orang Besar

Samuel H. Tanudiredja

“PRANGGG!” “SUARA APA ITU?” “HALO? SIAPA YANG ADA DISANA?” “KELUARLAH KESINI KALAU KAU BERANI, PENGECUT!” “WUSH! SEPERTI BUNYI JENDELA YANG TERKENA HEMBUSAN ANGIN KENCANG.” Aku langsung menolehkan kepalaku dan melihat ada suatu bayangan orang yang begitu cepat. Aku bergegas mengejar kemana arah bayangan itu menuntunku. Aku mencari kesana, aku mencari kesini, tapi tidak ada hasil. Bayangan itu sangat cepat menghilang. “BRUMM!” Apakah itu bunyi mobil? Ya, benar! Itu bunyi mobil dari jarak yang sangat jauh. Aku berlari sekuat tenaga dan keluar dari pintu rumah tua itu. Saat aku ingin mengejarnya, aku terlalu lambat. Sehingga hanya buntut lampu belakang mobil itu yang hanya ku lihat. Aku semakin bingung, marah, dan takut pada saat yang sama. Aku langsung kembali ke rumah tua itu, dan memotret bagian tubuh korban yang luka dan bengkak. Aku kembali mengambil barang bukti ku dan memasukkannya ke dalam tas kecil ku. “Tin Tin!” Bunyi taxi yang dipesan sudah datang. Aku memasuki mobil dan memberitakan ke pihak kepolisian atas apa yang tadi kualami. Aku mengirimkan barang bukti yang sudah kutemukan ke pihak kepolisian untuk diselidiki lebih lanjut dan menggugah kasus ini di sosial media. Dengan hitungan hari, kasus ini menjadi panas di sosial media. Dan informasi ini menyambar begitu cepat sampai pihak kepolisian terpaksa membuka kasus ini lagi. “Ah! Andaikan saja aku bisa menangkap orang tadi! Mungkin saja dia pelakunya.” Kataku sambil menyalakan siaran berita di TV. “Kasus pembunuhan kakek tua, dibuka kembali. Apakah para polisi akan berhasil menangkap pelakunya?”

133 Orang Besar

Samuel H. Tanudiredja

Itu adalah hal yang muncul pertama kali saat aku baru saja menyalakan TV. Saat aku mengganti saluran TV, hal yang sama juga muncul dan dibahas. Ternyata, setiap TV menyiarkan berita yang sama. “Kasus Pembunuhan Kakek Tua.” “Ternyata begitu cepatnya kekuatan internet dan teknologi di zaman sekarang”. Kataku sambil minum teh yang dibuatkan oleh Bunda. “Udah Pak, istirahat saja. Pasti kamu sangat lelah kan?” “Iya Bun.” Kataku sambil mematikan lampu kamar tidur. “Bun, apa yang akan terja-“ “Sudahlah Max. Jangan terlalu memikirkan kasus itu. Biarlah polisi yang menindaklanjuti kasus ini.” “Baiklah.” Kataku dengan suara yang kelelahan. Pagi telah tiba. Aku bangun kesiangan karena kejadian yang sangat melelahkan kemarin. Aku penasaran, apakah polisi sudah berhasil menangkap orang itu? Aku heran kenapa tidak ada orang yang membangunkanku dari tidur.. dimanakah Bunda dan Dino? “Bunda? Dino? Dimanakah kalian?” Kataku sambil mencoba menelepon telepon genggam Bunda. Mungkin Bunda dan Dino sedang membeli belanjaan di pasar. Aku akhirnya memutuskan untuk menonton berita sejenak. “POLISI SUDAH BERHASIL MENGAMANKAN PELAKU! PELAKU BERINISIAL “K” SUDAH BERHASIL DITANGKAP DAN DIAMANKAN DI KANTOR POLISI. PELAKU MEMUKULI KORBAN SAMPAI TEWAS, KARENA TIDAK MEMBAYAR PAJAK RUMAH.” Ugh! Lihat! Tangan orang itu penuh dengan luka dan darah akibat terkena benturan yang sangat keras. “Ting-Tong!” Bel rumah berbunyi.

134 Orang Besar

Samuel H. Tanudiredja

“Permisi, dengan bapak Maximus?” “Iya, benar pak.” “Boleh tolong minta tanda tangannya di surat penerimaan ini?” “Tentu boleh pak. Tapi, apakah bapak tau siapa pengirim surat ini?” “Tidak pak, katanya dengan suara yang gemetar.” “Baiklah pak, terimakasih”. Kataku sambil menerima surat tersebut. Apa yang akan menjadi isi dari surat ini? Sangat jarang orang yang memberikanku surat di masa pandemi ini. “Kamu dan keluargamu akan menerima semua ini.” Dengan tulisan yang penuh darah. Aku terkaget, dan tidak bisa berkata kata. Aku langsung teringat pada Bunda dan Dino. “Bunda! Dino!” Teriakku dengan air mata yang membasahi seluruh muka ku. “BUNDA! DINO! KEMANAKAH KALIAN PERGI? Aku mengambil kunci mobil dan bergegas untuk mencari istri dan anakku. Saat aku sedang mengeluarkan mobil, mulutku langsung disumpalkan dengan kain bermotif bintang berwarna kuning emas. Dan disaat itu juga, aku mendengar jeritan istri dan anakku. “Ayah.. Lari!” Hal yang terakhir kudengar adalah: “Berhati-hatilah atas kuasa orang besar. Kami bisa melakukan apapun yang kami kehendaki”. Lalu mereka menggunakan tangan istriku untuk menusuk bahu ku. Dengan keadaan ku yang setengah mati, aku hanya bisa melihat darah berceceran di atas stir mobil dan simbol bintang yang digunakan untuk menutup hidung dan mulutku dengan gas beracun, sambil mendengar sahutan kedua orang tersebut yang berkata: “Boss, temanmu sudah kami singkirkan, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?”

135 Orang Besar

Samuel H. Tanudiredja

Dengan suara yang sangat aku kenali, orang itu berkata : “Kasus ini sudah selesai. Aku sudah menyuap orang media dengan memasukkan orang suruhan ku untuk menyamar sebagai pelaku.” Kata kedua orang tersebut: “Siap, Komandan!.” Aku ingin berkata sesuatu, tapi tenaga ku sudah tidak bisa menopangku. “Bi-bi-biarlah keadilan itu sendiri yang akan terungka-.”

136 Orang Besar

Samuel H. Tanudiredja

16. Pulih oleh Zephanie Jean Deandra Chie

"Di mana aku? Bagaimana aku bisa di sini?” tanyaku dengan gelisah. “Mengapa semua terlihat gelap? Apa aku buta atau . . . Aku sudah meninggal!?" tanyaku dengan panik, aku terus berteriak untuk memanggil bantuan, tapi hasilnya nihil. Semuanya sungguh amat gelap seperti sedang menutup mata. Aku tidak tahu harus menapakan kakiku ke arah mana, ditambah dengan suara sunyi yang kian lama memakanku dalam kesunyian ini. Aku duduk diam termenung, mencoba untuk tidak putus asa, tetapi kekhawatiranku terus-menerus menenggelamkan diriku ke dalamnya. Aku menangis ketakutan dengan meratapi nasibku sekarang. Kulihat sekelilingku berharap untuk bisa beradaptasi. Disaat aku menolehkan wajahku ke kanan, di dalam sebuah kegelapan tersebut terdapat pancaran cahaya yang begitu terang, anehnya mataku tidak sakit sama sekali saat menatapnya. "Apakah ini? Apa aku boleh memasukinya?" tanyaku dengan heran dan kebingungan, tidak tahu mengapa, cahaya tersebut terlihat sangat hangat, rasanya seperti ingin segera memasuki ke arah cahaya tersebut berada karena cahaya tersebut seakan-akan menghipnosisku untuk ikut pergi ke dalamnya. "Aku akan mencoba memasukinya.” ucapku dengan ragu. “Siapa tahu, itu akan menjadi jalan keluar untukku." kataku dengan putus asa. Kukumpulkan keberanian untuk memasuki cahaya tersebut, seketika aku ditariknya. "WOAHH!” aku terkejut. “Apa ini? Sekarang, aku berada di mana lagi?" kataku dengan panik, saatku membuka mata, aku sudah berpindah tempat. Suasana di sini berbeda dengan tempat yang sebelumnya. Terdapat angin yang menghembuskan rambutku dengan perlahan, seakan-akan menyisirkan rambutku yang kusut sambil menyambutku dengan hangat di sebuah taman bunga yang berwarna-warni. Semuanya, terlihat begitu indah. Tiba-tiba, ada Seseorang yang sedang berjalan menuju ke arahku. “Hei! Siapapun kamu. Tolong aku!” teriakku dengan suara gembira, tapi panggilanku tak kunjung terbalaskan. Aku pun heran, tetapi di saat dia sudah hampir mendekat kepadaku. Entah mengapa, aku mengenalnya. “Dia adalah . . . ” "KAMU SUDAH BANGUN, NAK?" ucap seorang perempuan memegang pundakku, aku terbangun dari mimpiku dan melihat sekelilingku sambil melihat kondisi tubuhku. Aku memakai pakaian biru muda, dengan ranjang pembatas, tanganku dimasukan selang dengan selotip kertas untuk menahannya, dan aku memakai suatu alat seperti masker yang menutup hidung dan mulutku.

138 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Mendadak, wanita itu memegang wajahku dan menciumnya, sambil mengatakan "Maafkan, ibu." secara berulang kali, yang membuatku heran. Apa yang terjadi padaku sehingga aku bisa berakhir di sini? Lalu, siapakah wanita yang sedang berhadapan denganku? Dia membuka alat masker tersebut. "Kamu ingat ibu?" tanya wanita tersebut dengan khawatir, aku terdiam kebingungan. Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingat pernah mengenalnya. Aku tidak ingat apa-apa selain mimpiku barusan. Dia menangis di depanku dan mulai memanggilkan orang yang disebut dokter, mereka datang dan mengecek diriku. “Sepertinya, anak ibu mengalami amnesia.” kata dokter kepada ibuku, ibuku terlihat sangat kaget. “Ibu tidak usah khawatir karena amnesia ini tidak akan bertahan lama dan akan segera sembuh. Jadi, ibu bisa mengingatkan berbagai ingatan untuk membantunya perlahan mengingat tentang masa lalunya.” ucap dokter untuk menghibur wanita itu, tapi wanita itu tetap menangis. Seketika itu, wanita tersebut memelukku dengan sangat kencang. "Tidak apa-apa. Mama akan mencari cara untuk mengembalikan ingatanmu lagi. Kita lakukan secara perlahanlahan, ya nak?" ucapnya dengan senyuman manis yang keluar dari wajahnya. Padahal, sebelumnya dia menangis, tapi sekarang dia tersenyum. Aku menyukai senyumannya itu, sangat indah dan membuatku nyaman. Setelah selesai memelukku, Ibu memberikanku makan dengan mengambil bubur dari meja yang berada di sebelahku dan menyuapiku makan. Rasanya enak sekali, sepertinya aku sangat lapar sehingga tidak tersisa setitik pun bubur di mangkuk itu. Setelah itu, datanglah seorang suster yang sedang membawa obat-obatan untukku minum dan mengatakan kalau aku akan keluar dari rumah sakit besok. Saat larut malam, wanita yang menyebut dirinya sebagai ibuku tidur di sampingku dengan posisi sedang duduk. Aku tidak bisa tertidur sama sekali, pikiranku masih mempertanyakan kejadian hari ini, mimpi apa yang baru saja aku alami? Apa itu ada hubungannya dengan keadaanku sekarang?Apa ini semua hanya rekayasa? Aku bangun dari ranjangku, membuka jendela yang berada di sebelah kiriku dan melihat ke arah luar jendela rumah sakit. Aku melihat langit malam yang begitu indah, aku bisa menatapnya terus karena terhipnosis oleh keindahan langit malam tersebut. Dihiasi dengan bintik-bintik putih bercahaya untuk menemani langit malam yang begitu gelap. Aku memikirkan kembali mimpi yang sebelumnya aku alami, siapakah dia? Kenapa dia membuatku merasa aman dan nyaman? Rasanya seperti aku mengenalnya. Ada rasa rindu dari hatiku yang begitu dalam saat bertemu dengan Dia.

139 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Tiba-tiba ibu terbangun dari tidur pulasnya, “Kamu tidak tidur, Luna?” kata ibu dengan lelah sambil mengusap matanya, yang mendadak membangunkanku dari pikiranku yang sedang menjelajah. “Ohh, ibu sudah bangun?” ucapku dengan terkejut dan mencoba untuk tidak terlihat mencurigakan, dia tersenyum kepadaku. “Bagaimana mimpimu, Luna?” “Namaku Luna?” ujarku untuk memastikan. “Benar, sayang. Namamu adalah Luna Beacellies Danureja. Aku adalah ibumu, Nakita Beacellies Danureja. Apakah kamu ingat ayah? Dia adalah Lukas Beacellies Danureja. Sayangnya, ayah sedang dalam perjalanannya untuk membelikan hadiah untuk merayakan kesadaranmu.” “Ahh.” aku mengangguk. “Tidak apa. Sekarang, yang penting adalah mengembalikan ingatanmu terlebih dahulu untuk mengetahui kenapa kamu menyakiti dirimu sendiri.” “A-apa . . . Menyakiti diriku sendiri?” kataku dengan heran. “Mama juga tidak tahu. Padahal, Mama melihat kamu baik-baik saja selama ini. Akademikmu baik, teman-temanmu juga baik, dan ibu juga berusaha untuk menjadi ibu yang baik untuk kamu. Sebab itu, kamu perlu segera sadar akan khayalan yang kamu buat sekarang dan berkata yang sejujurnya untuk menjawab pertanyaanmu itu.” ucap ibu dengan suara nada kesal dan memandangku dengan tatapan mata yang kosong, dia memegang kedua pundakku. “Kamu harus ingat kejadian orang asing itu, keluargamu,dan temanmu.” ucapnya dengan menyeringai. Aku terdiam dan merinding. Apa yang barusan ibuku katakan? Tetapi, kepalaku sakit. Sangat sakit. Suara bising dari frekuensi suara memenuhi kepalaku. Aku memegang kepalaku merintih kesakitan. Napasku tidak beraturan. Keringatku mulai bercucuran. Pandanganku kabur, semua terlihat bergelombang. Ibu hanya menatapku dengan tatapan kosongnya itu dan membiarkanku pingsan.

140 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Aku terbangun di suatu tempat. Aku heran, mengapa aku bisa hidup di tempat lain lagi? Bukankah, sebelumnya aku berada dirumah sakit? Aku melihat sekelilingku. Aku berada di suatu tempat yang berwarna hitam putih dengan berbagai peralatan rumah tangga yang melayang di sekitarnya, Aku mengikuti jalan bebatuan yang mengarahkanku kepada sebuah rumah kecil seperti gubuk. Gubuk itu terlihat sangat lusuh seperti tidak mungkin ada satupun orang yang tinggal di dalamnya. Aku berjalan menuju ke gubuk itu sambil memikirkan kejadian yang sebelumnya aku alami, sangat aneh. Mengapa ibu menjadi menyeramkan dibandingkan dengan sebelumnya? Dia juga mengucapkan hal-hal yang aneh. Tanpa kusadari, diriku sudah sampai di depan gubuk tersebut. Tanpa ragu aku mengetuk pintu tersebut, tapi sepertinya tidak akan ada orang yang keluar dari gubuk ini. Dengan sopan, aku membuka pintu secara perlahan-lahan, kulihat sebuah ruangan yang sangat gelap. Aku memutuskan untuk mencari sebuah senter untuk menerangi ruangan tersebut. Akhirnya, aku menemukan sebuah senter dari salah satu benda yang melayang di sekitar gubuk tersebut. Aku mulai menyalakan senternya, di sana terlihat sangat kosong, hanya ada cermin di dinding gubuk. Aku mendekatinya dan melihat diriku di cermin tersebut, ternyata aku cantik juga. Lihatlah, muka mungil itu, bibir kecil merah seperti stroberi, dan wajah imut yang diberikan saat tersenyum. Sekejap ada sesuatu yang muncul dari belakangku dan dia bersembunyi di belakangku sambil memegang pinggulku. Karena senternya juga sudah tidak terlalu bagus, dia hanya mengeluarkan cahaya yang tidak terlalu kuat untuk gubuk yang gelap ini sehingga aku tidak bisa melihat siapa anak kecil tersebut. Aku memberanikan diri untuk menengok ke belakang, aku menoleh ke belakang dengan menutup mataku. Kubuka mataku perlahan-lahan dan tidak menemukan siapa-siapa selain diriku sendiri. Aku mulai menjelajahi gubuk tersebut dan menemukan sebuah peti, aku membukanya dan aku menemukan sebuah pecahan setengah kaca yang tebal, hampir membentuk bulat. Aku mengambilnya dan melihat sekitar, apakah ada yang bisa diperiksa lagi. Setelah selesai memeriksa, aku menemukan tangga untuk ke atas. Aku menaiki tangga tersebut dan menemukan sebuah bola kristal yang sudah pecah setengah dan memerlukan sebagian lagi untuk melengkapinya. Aku menaruh 1 bagian tersebut dan menyambungkannya ke bola kristal tersebut. Sekarang, bola kristal tersebut menjadi bulat sempurna. Di dalam bola kristal tersebut terdapat seorang anak perempuan yang sedang tertidur. Aku iba kepadanya karena ada yang tega menghancurkannya dan membuat anak perempuan ini tidak bisa tertidur dengan pulasnya. Saat itu juga, ada angin yang berhembus melewati punggungku, aku menoleh ke belakang dan tidak menemukan apa-apa. Saat aku berbalik menghadap bola kristal tersebut, anak perempuan itu sudah menghilang.

141 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Semenjak aku memperbaiki setengah dari bola kristal tersebut aku menjadi lebih sering melihat bayangan anak perempuan tersebut, sama seperti sekarang yang sedang menangis meringkuk di pojokan gubuk itu. Aku bertanya-tanya siapakah itu? Aku melihatnya dengan perlahan-lahan, dia memakai baju putih susu dan celana pendek berwarna biru muda langit. Tidak tega melihatnya seperti itu, aku menghampirinya dan bertanya, “Kamu tidak apa-apa?” ucapku dengan khawatir, dia melihatku dengan tatapan kesal. “Menurutmu?” ucapnya dengan jengkel, aku merasa bodoh karena menanyakan hal itu. Lagipula, itu sangat tidak sopan, tapi aku mengkompromi perkataannya kepadaku karena masih kecil. “Kalau begitu, maukah kamu menceritakannya?” ucapku dengan mencari tahu apa yang terjadi padanya, dia mulai menatapku dengan benci. “Untuk apa aku memberitahu orang yang sudah merusak bola kristal tempatku tinggal?” ucapnya dengan ketidak percayaannya kepadaku, aku terkejut, mengapa aku yang menghancurkannya? “Baiklah. Maafkan aku.” ucapku untuk tidak memperpanjang masalah. “Sebenarnya, aku tidak ingat apa-apa. Aku tidak mengenal kamu dan aku tidak ingat akan diriku sendiri. Jadi, maafkan aku.” ucapku. Dia terdiam dan memelukku dengan erat, aku menjadi sangat heran. Sebelumnya, dia sangat tidak suka dengan diriku dan sekarang dia memelukku? Dia mulai memelukku dengan erat dan aku mengusap punggungnya untuk membalas pelukannya. “Siapa namamu?” ucapku dengan canggung. “Loone” “Namaku, Luna.” “Nama kita cukup sama, ya. Salam kenal!” tambahku dengan tersenyum. Dia terdiam. Melepaskan pelukannya daripadaku dan mengajakku untuk keluar dari gubuk ini. Saat di luar, tempat yang sebelumnya kulihat hitam putih dan berbagai barang melayang sudah tidak ada. Sekarang, hanya ada ladang bunga yang sama seperti di mimpiku sebelum aku berada di sini. “Sejak kapan kamu tinggal di sini?” tanyaku dengan penasaran, dia melihatku dan tidak menjawab lagi. Dia hanya menjawab “Lihatlah, bunga ini!” ucapnya dengan senyuman tulus menghiasi wajahnya, sambil memberikan bunga dandelion itu ke tanganku.

142 Pulih

Zephanie J. D. Chie

“Untuk apa kamu memberikan bunga dandelion ini?” “Itulah dirimu.” “H-hah. Apa? Maksudnya?” “Jangan membohongi dirimu sendiri, mengapa kamu bisa sekuat seperti makna bunga ini, tapi sebenarnya kamu sangat rapuh sama seperti bunga dandelion ini saat diterpa angin?” Aku menatapnya dengan kebingungan. “Aku benci dirimu, mengapa kamu membenci aku? Apa salahku sampai kamu mengabaikan aku? Dengan teganya kamu menghancurkan diriku dan menggantikannya dengan dirimu yang kamu anggap sempurna.” ucapnya dengan kecewa. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa memeluknya dengan erat dan menemaninya menangis. Dia memukulku, tapi tetap kupeluk dia sampai merasa baikan, aku merasa kasihan kepada Loone. Aku juga tidak tahu harus bagaimana karena ingatanku juga hilang. Loone meluapkan segala emosinya kepadaku. “Maafkan aku, seharusnya aku tidak seperti ini kepadamu. Mungkin, ada saatnya kamu akan sadar akan semuanya.” ucapnya dengan kecewa, tapi berusaha menerima kenyataan. Aku menatapnya dengan perasaan bersalah karena tidak bisa mengingat apa-apa. “Maafkan aku. Aku tidak mengingat masa kecilku seperti apa. Seingatku aku tinggal bersama orang tuaku dan kami adalah keluarga yang cukup baik dan . . . ” ucapku untuk menjelaskan. “Bohonggg!” ucapnya dengan kesal, “Apa? Aku mengatakan yang sejujurnya, kok!” ucapku dengan heran, “Tidak, bukan seperti itu. Sepertinya ingatanmu belum kembali. Ingatan yang kamu bilang sekarang hanyalah ingatan buatanmu, selama ini kamu menginginkan itu, bukan?” ucapnya brusaha unutk tidak marah, aku makin heran dan bingung. “Sudahlah, lupakan semuanya. Aku akan membantumu untuk mengingatnya. Jangan dipaksakan kalau belum saatnya.” tambahnya dengan penuh pengharapan, “Baiklah!” ucapku agar tidak memperpanjang masalah, kami diam tanpa bicara menatap langit yang cerah dengan membaringkan diri di ladang penuh bunga bersama.

143 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Tanpa kami sadari, langit sudah mulai gelap. Betapa indahnya langit malam, aku tersenyum dengan lega. Aku sangat menyukai malam hari, aku berharap waktu bisa berhenti berputar pada malam hari. Malam hari adalah waktu yang sangat sepi, semua orang tertidur. Aku bisa menunjukkan diriku yang sebenarnya. Saat aku mengecek Loone, dia sudah tertidur di sampingku. Aku memutuskan untuk tidur juga di sampingnya. Aku berpikir, betapa anehnya hari ini. “Siapa itu?” ucapku kepada seorang pria dewasa yang berumur 25-an. “Lalu, siapa yang di sana bersama dengannya? Loone?” ucapku sambil memperhatikan sekitar, “Mengapa gerak-gerik pria tersebut sangat mencurigakan?” ucapku dengan khawatir, dia mulai memegang rambut Loone dengan tatapan nafsu dan menjambaknya. “HEYYY!! APA YANG KAU LAKUKAN?!” teriakku dengan kesal, tapi tak jumpa didengar. Dia mulai memeluk Loone dan meraba bagian yang seharusnya tidak boleh disentuh oleh orang asing. “Loone, lakukan sesuatu! Mengapa kamu hanya terdiam dan terkejut seperti itu!?” ucapku dengan kesal dan panik. Mendadak adegan ini mengingatkanku kepada seseorang. Aku terbangun, dan menemukan Loone sedang melihat ke arahku dengan khawatir, “Kamu tidak apa-apa?” ucapnya dengan khawatir, aku terbangun seperti sedang dikejar oleh seekor monster. “Aku tidak apa-apa, apa kamu baik-baik saja?” ucapku dengan khawatir, sambil memegang pundaknya dan memeluknya. Loone menatapku dengan tidak yakin. “Mengapa kamu berbohong? Aku sangat baik-baik saja. Daritadi, aku hanya duduk di samping menunggumu bagun.” ucapnya dengan heran, aku memegang kepalaku dan mencoba untuk menenangkan diriku. “Maukah kamu menceritakannya kepadaku?” ucapnya, “Baiklah.” ucapku. Aku mulai menceritakan semua yang terjadi di dalam mimpi tersebut. Loone menatapku dengan sedih dan berkata, “Maafkan aku. Tidak seharusnya kamu merasakan hal itu lagi. Tapi kejadian itu perlu kamu ingat lagi.” ucapnya dengan sedih, “Maksudmu, aku ‘merasakan itu lagi?’ ” ucapku dengan kebingungan, “Jadi, kamu adalah aku? Atau aku memiliki kejadian yang mirip denganmu?” tanyaku untuk memastikan. “Tidak, kita adalah orang yang sama.” “Mengapa kamu tidak memberitahukannya kepadaku?” “Maafkan aku, aku tidak bisa memberitahumu. Aku hanya ingin melihat apa kamu memang amnesia atau tidak, untuk ingatan yang sudah kamu tutupi rapat-rapat dan usahamu untuk melupakannya dengan berbagai cara.” “Baiklah. Terima kasih, Loone, atau harusku bilang, Luna.” ucapku dengan senang dan lega, meski aku tidak mengerti, dia hanya menatap dengan sedih. Mengapa dia sedih?

144 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Aku bertanya, “Maukah kamu memberitahukan apa yang terjadi pada diriku dulu?” ucapku, “Baiklah, siap tidak siap. Kamu harus menerimanya. Jangan mengelak.” ucapnya dengan khawatir, dia mulai menceritakan dari masa sekolah dengan kekuatannya untuk membuat kejadian itu tampak nyata. Dia membuat aku dan dia memasuki kejadian itu dan hanya bisa menonton kejadian tersebut. ‘Waktu itu, aku masih kelas 1 SD. Lingkungan baru. Teman baru. Pengalaman baru. Aku sangat senang, tapi tak kusangka ini akan berbeda dari ekspektasiku. Tidak ada yang mau berteman denganku. Aku dilihat jijik. Aku dijauhi. Aku tidak disukai. Apa salahku sampai mereka harus membenciku. 1 kelas tidak ada yang mau berteman denganku. Tiba-tiba, aku mendapatkan teman yang bernama Celica, dia adalah teman dekatnya Elsha yang sama sekali tidak menyukaiku. Kita berteman sangat baik, aku senang sekali bisa mendapatkan teman di masa SD ku. Semuanya berjalan lancar, sampai aku sadar, bahwa aku hanya dipermainkan. Mereka mulai berkomunikasi dengan secarik kertas dan memberikannya kepada teman sekelas secara bergantian, kecuali aku. Tidak ada yang memberikannya kepadaku. Aku tahu mereka membicarakanku. Apa salahku sampai harus dijauhi semua orang? Mereka merobek kertas itu dan membuangnya di tempat sampah. Setelah semuanya pergi dari kelas dan meninggalkanku seorang diri di kelas yang sunyi sama seperti hatiku yang begitu kosong dan kecewa. Aku bertekad untuk mengambil kertas tersebut yang berada di dalam sampah. Aku mengambil potongan kertas tersebut dan menggabungkannya menjadi 1. Saat aku membaca apa yang mereka katakan kepadaku, mereka tidak menyukai segala perbuatanku yang melawan perintah mereka. Apakah itu salah, kalau aku menolak perintah mereka? Padahal, selama aku mengikuti perintahnya, aku adalah pembantu dan bahan tertawaan mereka. Aku menangis di kelas sendirian. Suara isak tangisanku memenuhi kelas itu. Mereka mengataiku menjijikan, kotor, tidak tahu diri, monster, dan lain sebagainya. Hanya karena kulitku yang tidak mulus dan penuh luka, tidak seperti mereka yang mulus. Perjalananku dari toilet menuju kelas adalah hal yang paling kutakutkan di sekolah. Mata mereka sangat tajam saat melihat ke arahku sambil berbisik kepada satu dengan yang lain. Lorong itu dipenuhi oleh suara bisikan dan sindiran untukku, tapi aku hanya bisa berpura-pura bodoh dengan tidak mendengarkan dan mendiami mereka. Aku tidak kuat menatap mereka sehingga aku memilih untuk menatap ke bawah dan membuat segala skenario tentang apa yang mereka katakan kepadaku.

145 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Aku selalu ditinggalkan di dalam sebuah pertemanan. Begitu banyak hal yang kucoba untuk membuat mereka tidak meninggalkanku lagi. Tetapi, aku tidak mengerti mengapa mereka meninggalkanku. Apa aku kurang seru? Kurang nyaman diajak bicara? Terlalu diam? Terlalu kuno? Aku sudah mengikuti apa yang mereka inginkan. Apa yang harus aku perbuat agar mereka tidak meninggalkanku sendirian lagi?! Sesudah itu, aku tidak mempercayai adanya kesetiaan dalam hidupku. Aku merelakan mereka yang ingin pergi dan yang menetap. Aku tidak peduli, jika mereka pergi meninggalkanku. Yang terpenting, aku sudah menyiapkan hatiku di saat mereka menghilang dari hidupku. Tetapi, rasanya sangat sulit. Aku tidak bisa membohongi diriku yang sedih karena kehilangan teman. Sudah kucoba berkali-kali untuk menolak bahwa aku sedih. Sebab itu, aku membenci dirimu yang menolak aku. Tetapi, akankah ada orang yang akan menerimaku apa adanya, tanpa harus melakukan apapun agar mereka tetap berada di sisiku? “Walau hanya sebuah kejadian yang kutonton, tapi aku merasakan seluruh perasaan campur aduk yang dialaminya saat itu.” ucapku dalam hati. Dia melanjutkan ceritanya kembali dengan kejadian yang barusan kuimpikan. Mari kita mulai untuk cerita yang akan membuatmu sangat tidak nyaman. Pada waktu itu, aku hanya kelas 3 SD dan umurku hanya 9 tahun. Aku sedang menunggu orang tuaku pulang dari rumah sakit. Aku pergi keluar dari rumah dan menetap di teras saat larut malam sambil menunggu orang tuaku pulang. Malam yang sunyi hingga suara tapak kakiku terdengar memenuhi malam tersebut. Aku duduk di lantai sambil menunggu mereka. Malam yang gelap mengelilingi rumahku seakan hanya aku saja yang tinggal sendirian di dalam kegelapan ini. Suasana malam yang sunyi itu terpecahkan dengan 1 pria muda berumur 25-an sedang menelpon di luar rumah dan beberapa kali melihat ke arahku. Aku masih menganggapnya hanya orang yang akan lewat saja. Tetapi saat dia menghentikan teleponnya, dia mendatangiku. Dia menanyakan umurku, rumahku, orang tuaku di mana, dan kelasku. Semuanya kujawab dengan jujur, bagaikan anak polos yang tidak mengetahui jahatnya dunia. Gerbang yang kukira akan melindungiku ternyata rusak sehingga dia bisa memasukinya dengan sangat mudah dan menghampiriku. Di situlah dia mulai menanyakan kelasku untuk yang kedua kalinya, kujawab lagi dengan jujur. Dia menjambakku. “Jangan bohong!” dia berteriak. “Kamu kelas berapa?” dengan suara yang kesal dan geram. Aku tidak menjawab apa-apa karena ketakutan sudah menguasai seluruh tubuhku. Aku hanya terdiam menatapnya dengan tegang.

146 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Dia mulai memundurkan aku makin dalam ke dalam teras rumah dan memulai aksinya. Dia memelukku dari belakang dengan nafsu. Menciumku dari belakang. Memeras belahan dadaku. Dan dia Meremas bokongku. Aku tidak paham sama sekali dengan apa yang terjadi kepadaku. Aku tahu apa yang harus kulakukan yaitu berteriak dan meminta tolong, tidak tahu mengapa aku tidak bisa melakukan apa-apa, aku tidak bisa mengeluarkan suaraku. Setelah dia selesai melakukan itu, dia menarikku keluar menuju gerbang yang berada di teras. Dia mencium wajahku dengan nafsunya sambil memegang wajahku dengan kuat agar aku tidak bisa menghindar dari hadapannya. Dia mencium wajahku dengan nafsu yang sudah ditahannya dari lama. Aku berusaha sekuat tenagaku untuk menutupi wajahku dengan tanganku, meski bibirnya tetap mengenai bibirku. Aku melakukan perlawanan kepadanya, seperti mendorongnya agar melepaskanku. Tetapi, aku tetap kalah dari kekuatannya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain dia sendiri yang melepaskanku. Pada waktu itu, aku mulai menangis dengan kebingungan dan amarah yang tidak bisa kujelaskan. Setelah dia melakukan semuanya itu, dia pergi begitu saja dan meninggalkan aku menangis disana sendirian. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan mencuci wajahku dengan tersedu-sedu. Aku duduk di pojokan kamarku menangis sendirian menunggu orang tuaku pulang. Di saat mereka pulang, mereka heran dengan aku yang menangis di pojokan. Aku gemetar dengan hebat. Tetapi, orang tuaku hanya membersihkan diri lalu mengerjakan keseharian mereka. Ayah tidur di kasur sambil menonton TV dan ibu sedang menyiapkan bahan-bahan untuk memasak makanan untuk hari esok. Ibu hanya mendengar dan menanyakan apa yang aku alami. Ayahku hanya mendengarkan. Tidak ada satupun yang menenangkanku. Sejak saat itu aku berpikir, apa arti hidupku sekarang? Orang tuaku tampaknya tidak memedulikanku. Aku sudah ternodai. Memang aku tidak separah seperti yang orang lain alami, tetapi ini kejadian dan perasaan yang aku alami. Aku tidak mempercayai adanya pria baik yang menghargai perempuan. Aku selalu takut dan merasa tidak aman saat di dekat mereka. Hal yang selalu muncul di kepalaku adalah, mereka akan melakukan sesuatu yang akan menjatuhkan derajat seorang perempuan.

147 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Aku mempercayai segala perkataan orang tuaku dan keluarga besarku, kalau menjadi wanita harus rajin supaya bisa menjadi menantu yang baik. Aku dituntut menjadi dewasa sejak aku masih kecil. Mereka dengan mudahnya menyuruhku untuk menyelesaikan segala tanggung jawab yang wajib dilakukan oleh semua wanita, mencuci piring dan baju, mengepel dan menyapu, rapi dan bersih, dan tepat waktu. Tanpa sadar aku sudah melakukan itu selama bertahun-tahun, hingga aku sadar, aku membutuhkan istirahat. Orang tuaku tidak suka melihatku tidur saat tanggung jawab di rumahku belum aku selesaikan. Mereka membangunkan, membentak, dan memaksa aku untuk cepat-cepat melakukannya. Aku heran, kenapa mereka tidak mau membantu aku? Setiap kali aku mencoba untuk menanyakan hal tersebut, mama berkata,” Mama sudah kerja dari pagi cuma untuk kamu. sekarang gantian kamu untuk melakukannya di malam ini.” ucapnya,aku selalu merasa tidak adil. Sampai suatu titik, aku merasa apa yang kurasakan tidak sepenting itu di mata mereka, mereka hanya ingin mempergunakan aku untuk keenakan mereka sendiri. Apa mereka menyayangiku? Terkadang, aku suka memberontak dengan tidak mau melakukan tanggung jawabku dan berteriak pada orang tuaku. Aku pernah melakukan ini kepada ayahku sendiri. Tentu, dia tidak akan menyukai perbuatanku padanya. Saat itu, dia mulai memukulku dengan penggaris kaca sehingga kulitku menjadi warna biru keunguan di berbagai bagian tubuhku. Aku hanya bisa menahannya dengan kesal. Bahkan, dia pernah menodongkan aku dengan pisau karena aku tidak ingin mendengar perkataannya. Pada waktu itu, pikiranku hanya mempercayaiku 1 hal, bahwa orang tuaku tidak pernah menyukaiku. Untuk apa aku ada, kalau hanya merasakan sakit yang terus menerus bermunculan? “Begitulah kejadian masa lalu yang membentuk dirimu sekarang, Luna.” ucapnya sambil tersenyum dengan lega. “Benar.” ucapku yang mulai menyadarinya. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya Loone dengan tidak tega, “Aku baik-baik saja.” ucapku dengan terharu, mataku mengeluarkan air yang begitu deras seperti tetesan air yang bocor dari sebuah ember. Aku tergeletak jatuh di ladang bunga tersebut dan meringkuk kan badan sambil memegang dadaku. Aku merintih kesakitan. Hatiku sangat sesak seperti tidak bisa bernapas. “Mengapa aku menangis? Aku sangat benci menangis untuk masa laluku yang sangat sepele. Mengapa aku mengingatnya kembali? Bukankah, aku sudah melupakannya?” ucapku dengan suara tersedu. “Mengapa kamu mengingatkanku?” ucapku dengan suara kesal yang dipenuhi dengan sedu.

148 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Segala ingatan itu memasuki pikiranku. Aku mengingat kepahitan yang aku alami selama masih kecil. Sekarang, aku sudah dewasa. Sudah berapa kali aku berpikir untuk membunuh diriku sendiri? Sehingga, aku memutuskan untuk meminum obat untuk mengalami overdosis. Aku membuat berbagai halusinasi untuk menciptakan ingatan yang selama ini aku inginkan, seperti orang tua yang sayang kepada anaknya, seorang teman yang mempedulikan aku, dan hidup yang jauh lebih indah dari apa yang aku alami sebelumnya. Sebab itu, aku menghapus segala ingatan lamaku untuk memulai hidup yang baru. Loone hanya menatapku dengan sedih. Lalu, dia mulai menangis dengan terisak-isak dan meletakkan tangannya di wajahnya agar aku tidak melihatnya menangis. Setelah itu, dia membangunkanku untuk duduk. Dia memelukku. Mencium wajahku sambil menepuk punggungku. “Tidak apa-apa. Aku sangat bersyukur kamu ingat masa lalu itu. Jangan kamu sesali dan menyalahkan dirimu sendiri. Kamu tidak bisa mengontrol masa lalumu, kamu hanya bisa menghadapinya dengan kuat. Kamu sudah berjuang untuk hidup. Sekarang, beristirahatlah, walaupun hanya sebentar.” ucapnya yang berusaha menyemangatiku. “Mari aku tunjukkan kamu ke suatu tempat yang berada di depanmu.” “Huh?” aku menatap dengan kebingungan. “Kamu lihat cahaya tersebut? Cahaya itu akan memberikan jawaban untuk setiap pertanyaan di kepalamu sekarang.” “Di sana ada seorang Pribadi yang menunggumu di dalam. Dia sangat rindu untuk bertemu denganmu.” tambahnya dengan senang. “Ok. Baiklah. Terima kasih, Loone. Kamu sudah menemani dan mengembalikan ingatanku.” ujarku sambil memeluknya, aku menangis dengan senyuman yang terlukiskan di wajahku. “Maafkan aku yang tidak bisa menjaga diriku sendiri. Maafkan aku yang egois dengan memikirkan diriku sendiri dan melupakanmu yang adalah diri asliku. Maafkan aku karena menolak dan merusak bola kristal tersebut. Aku sudah menghilangkan diri asliku sendiri dan menggantikannya dengan diriku yang aku anggap sempurna. Sekarang, sudah saatnya aku membuka topeng di wajahku dan menerimamu apa adanya, diriku sendiri.” ucapku dengan penuh penyesalan. Sangatlah menyedihkan, bahwa diriku bisa merasa empati kepada orang lain, tetapi bukan pada diriku sendiri. Aku bisa merawat orang lain, tetapi tidak untuk diriku sendiri.Aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan Loone yang menyadarkanku akan hal ini.

149 Pulih

Zephanie J. D. Chie

Aku pergi memasuki cahaya tersebut, setelah mengucapkan salam perpisahan dengannya. Sebelum aku memasukinya, aku menoleh ke belakang dan aku melihat Loone yang sedang memudar. Dia tersenyum ke arahku dengan air mata yang memenuhi wajahnya. Dia mengatakan terima kasih kepadaku dengan senyuman bahagianya itu. Aku hanya tersenyum kepadanya dan melambaikan tangan ke arahnya. Tugasnya sudah selesai. Semoga dia bisa beristirahat dengan tenang dari masa lalu yang mengikatnya sampai sekarang. Karena sekarang, aku sudah bersatu dengannya. Di dalam cahaya tersebut aku berdiri di sebuah rumah kecil berwarna putih yang memiliki berbagai bunga menghiasinya, bunga yang sama seperti di ladang saat aku bersama dengan Loone. Ini terlihat sangat aneh. Aku memenuhi keberanian untuk mengetuk pintu rumah tersebut. Saat aku mengetuknya. Ada Seseorang yang membukakan pintu tersebut dan menyambutku dengan hangat. “Luna?” tanya Orang itu kepadaku, aku hanya terkejut menatapnya. Dia memelukku dengan erat dan mencium wajahku. “Aku sudah menunggumu sejak lama. Bagaimana kabarmu? Kamu ingat Aku?” tanyanya dengan kegirangan, aku tidak melepaskan pelukannya tersebut, melainkan aku membalas pelukannya dengan rindu yang mendalam. Aku menangis di hadapan-Nya. “Aku mengenal-Mu. Apa ini mimpi?” tanyaku yang tidak percaya, dia hanya terdiam dan menggendongku dengan kedua tangannya yang memegang pundak dan tekukan kakiku ke dalam rumah tersebut. Aku hanya melingkari tanganku ke leher-Nya sambil menangis tersedu-sedu. Kami duduk di sofa. Dia menaruh diriku ke dalam pangkuan-Nya sambil menepuk punggungku bagaikan anak kecil yang membutuhkan tepukan untuk tidur. “Tuhan, akhirnya aku bisa bertemu denganmu. Aku capek Tuhan. Aku tidak kuat dalam menghadapi dunia. Aku tidak ingin kembali kedunia. Ambil saja nyawaku, Tuhan!” ujarku dengan lelah. “Tidak apa-apa. Kamu memiliki Aku di dalam hidupmu. Memang dunia ini sangat jahat untuk kamu, anak-Ku. Tahanlah sebentar lagi karena aku akan datang dan menyelesaikan semua ini. Dan kamu akan bertemu dengan-Ku lagi di sini.” Dia menjawab dengan senyuman yang hangat, aku hanya bisa tersenyum di hadapanNya. Aku tidak bisa menjelaskan kebahagiaan apa yang sedang aku rasakan. Aku merasakan kehangatan dan keamanan yang belum pernah kurasakan selama hidupku. Aku mulai menatap wajah-Nya dengan penuh rasa bersalah.

150 Pulih

Zephanie J. D. Chie

“Tuhan, aku minta maaf. Aku sangat menyesal karena ingin merenggut nyawaku sendiri. Maafkan anak-Mu yang selalu berpikir pendek. Aku memang tidak layak diangkat menjadi anak-Mu.” ucapku dengan rasa bersalah. “Aku sudah siap menerima segala konsekuensi yang akan Engkau berikan kepadaku. Pada dasarnya, aku memang sudah jahat kepada-Mu tidak ada cara lain untuk aku bisa membalas kasih-Mu untukku yang tidak layak.” tambahku dengan pasrah. “Kamu diselamatkan oleh-Ku bukan karena perbuatan dan kelayakan kamu di hadapan-Ku. Kalau Aku memakai standar seperti itu, maka kamu dan seluruh orang di dunia tidak akan ada yang selamat. Jadi, kamu diselamatkan dan diangkat menjadi anak-Ku karena keinginanKu sendiri, Aku mengasihi kamu.” ucap Tuhan menatapku dengan lembut. “Kamu belum meninggal. Waktunya untukmu kembali.” tambah-Nya. “Aku belum meninggal?” ucapku dengan heran, ini memang suatu mukjizat yang Tuhan lakukan untuk diriku. “Tuhan, bolehkah aku tidur sebentar di pangkuan-Mu?” tanyaku dengan perasaan yang aman karena Dia adalah Bapaku yang ada di sorga. Sekalian aku beristirahat dari dunia nyataku yang melelahkan. “Kamu bisa terus datang ke dalam hadirat-Ku, selama kamu hidup karena pintu-Ku akan selalu terbuka untuk kamu. Aku akan memulihkan jiwamu yang sudah lelah. Aku akan selalu berjalan bersama-sama dengan kamu dan menemani setiap naik-turunnya hidup yang kamu lewati. Aku akan menguatkan kakimu yang sudah tidak kuat untuk berjalan. Aku akan mendiamkan segala perkataan yang berada di dalam pikiranmu. Jangan menanggung segala beban itu sendirian, kamu bisa membagikan beban itu kepada-Ku.” ucapnya dengan tulus.

151 Pulih

Zephanie J. D. Chie

tamat.

Diisi oleh seluruh murid 11 IPS1 Angkatan 13 Disusun oleh Alva Gratia Fitrahoney Utomo Dibimbing oleh Ibu Christi

karya sekilas

terbaik

Omong kosong! Semua itu omong kosong! 2 minggu sudah sejak pertemuan malam itu. 2 minggu sudah setelah ia mengutarakan perasaannya. Dan 2 minggu sudah dia tidak menghubungi ku sama sekali. Bahkan pesan ku hanya dibalas sesekali. Kemana dia? Katanya tetap bersahabat? Lantas mengapa menghilang? Bulan dan Mentari - Alva Gratia F. U. “Tidak..Sepertinya aku sengaja melakukan itu. Karena marah, karena aku membencinya…Selama ini aku berusaha bertahan.. Namun entah kenapa saat itu aku tidak bisa menahannya.. Awalnya kupikir aku tidak berniat melakukan itu, namun… sepertinya tidak begitu. Aku bisa saja melakukan cara lain untuk membela diri, tapi tubuhku memilih untuk mendorongnya. Aku berharap dia mati dan tidak mengganggu hidupku lagi..”

Jatuh - Angeline Lidwina H. Didepan cermin, kuamati penampilan diriku. Terpantul bayangan sepasang mata yang besar, dilengkapi dengan bulu mata tebal. Maaf, jika selama ini aku hanya menggunakanmu untuk mengeluarkan air mata. Bibir tipis berwarna merah muda. Sesungguhnya akan terlihat lebih indah jika aku sering tertawa. Tatapan kosong terpancar dengan jelas didalam mataku, membangkitkan tekad untuk melakukan apa yang kurencanakan dari semula. Dari Wanita Untuk Wanita - Daniella Belvani “Kamu mencintaiku, dan kamu tidak bisa lolos begitu saja. Akui saja, Mal. Mungkin jika kau mengakuinya, aku akan memberimu kesempatan. ” bocah ini memilikiku di bawah cengkeramannya dan aku membencinya.

Persephone dan Bunga Kematiannya - Marie Allycia R. “Sekarang malah dia yang mencoreng martabat keluarga kita,” pikir Santi sambil berusaha menerima fakta bahwa sosok pria yang kepadanya ia berjanji untuk cintai selamanya, ternyata adalah seorang pemerkosa. Suamiku Bukan Polisi Brengsek - Raymond Benedict H.

Kumpulan Cerita Pendek Bahasa Indonesia dari

XI IPS 1 TA. 22/23

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.