MAJALAH JAWARA VOLUME IV EDISI 01 AGUSTUS 2022 Flipbook PDF

MAJALAH JAWARA VOLUME IV EDISI 01 AGUSTUS 2022

94 downloads 110 Views 44MB Size

Story Transcript

JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 1 D I E R A D I G I T A L I S A S I P E R J U A N G A N D A N R E F O R M A S I P E R P A J A K A N www.pajak.go.id VOLUME I V EDISI 0 1 Jawara M E D I A I N F O R M A S I K A N W I L D J P J A K A R TA B A R AT ISSN 2798-6721


2 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Scan disini untuk download e-magazine Jawara adalah media informasi yang menjadi wadah kreativitas para pegawai di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat Jalan Tomang Raya No. 16-18, RT.05 / RW.01, Jatipulo, Palmerah, Jakarta Barat, DKI Jakarta 11430 Ilustrasi Retno Pinanti Khairunnisa Tim Redaksi Penanggung Jawab, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat, Suparno.1 Redaktur, Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Fathimati Zahra.2 Penyunting/Editor Kepala Seksi Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat, Sri Widyanti.3 Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan dan Pengelolaan Dokumen, Dani Meisa Handani.4 Kepala Seksi Bimbingan Pelayanan dan Konsultasi, Sri Wilissetyowati.5 Fotografer/Reporter, Herman Setyawan. Benny Oktis Yanurwenda. Dian Jatmiko Adhi. Muhammad Mahiddin. Fajar Subhan. M Misbakhul Munir. Andyka Akmal Damarsha. Desain Grafis, Artistik, dan Produksi Reza Nur Arwinda. Retno Pinanti Khairunnisa. Muhammad Qoid Huwaidi. Sekretariat Sirkulasi dan Distribusi, Andre Maulana Zulkarnaen. Diva Arumningtias. Koresponden Tim Kontributor Konten pajak. go.id di wilayah kerja Kanwil DJP Jakarta Barat. 1 2 3 4 5 ISSN 2798-6721 D I E R A D I G I T A L I S A S I P E R J U A N G A N D A N R E F O R M A S I P E R P A J A K A N www.pajak.go.id VOLUME I V EDISI 0 1 Jawara M E D I A I N F O R M A S I K A N W I L D J P J A K A R TA B A R AT


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 3 Dari Kite Daftar Isi Daftar Isi Perjalanan Perpajakan di Indonesia Komunikasi Hebat, Digitalisasi Kuat Hantriono Joko Susilo: PSIAP dan Direktorat TIK, Saling Berinteroperabilitas Mendukung Reformasi Pajak Pajak atas Transaksi Digital “Fintech” Eksis, Pinjam Dana Makin Lancar Kanwil DJP Jakarta Barat Sukses Laksanakan Program PPS Keluarga sebagai Basis Pemajakan dalam PPh Orang Pribadi Evaluasi PPS dan Tindak Lanjutnya Penanggung Pajak dalam Penyelesaian Tunggakan Pajak Get to the Top “Layanan Over The Top” Benarkah Semua Deviden Tidak Dipotong Pajak? Program Inklusi Kesadaran Pajak: Program Ditjen Pajak Untuk Membangun Budaya Sadar Pajak Generasi Muda Kurba Resti Hari Pajak 2022, Perjalanan Reformasi Perpajakan Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat! Pekan Penagihan Serentak Upaya Efektif Pencairan Aktif A Liveable World of Metaverse For Everyone Small Office, Home Office: Hunian Sekaligus Kantor, Tingkatkan Efektivitas dan Efisiensi Bekerja Tax Center UKRIDA: Wadah Pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi HIPMI Jakbar Bangkitkan Gairah Usaha Kaum Muda Kembangkan UMKM Peringati Hari Pajak 2022 dengan Kegiatan Sosial, Wujudkan Peduli Sesama Melalui Operasi Mata Katarak Gratis Lenggak-Lenggok 3 4 8 14 19 22 27 29 33 37 43 47 50 52 53 56 58 61 64 67 70 74 77 ISSN 2798-6721 Peringatan Kemerdekaan RI ke77 menjadi momen kala doa dan harapan dipanjatkan bersama agar bangsa Indonesia pulih dari dampak Covid-19 lebih cepat dan bangkit lebih kuat menuju Indonesia maju. Harapan yang sama mengalir dalam Jawara edisi kali ini yang terbit dalam momen peringatan Hari Kemerdekaan dan Hari Pajak. Mengusung tema perjuangan dan reformasi perpajakan di era digitalisasi, Sobat Jawara dapat menikmati ulasan perjalanan perpajakan di Indonesia, pengenaan pajak atas transaksi digital, eksistensi financial technology, pengenaan pajak atas dividen, Capaian Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Kanwil DJP Jakarta Barat, serta layanan Over The Top di Indonesia. Simak perbincangan dengan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor dan Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi Hantriono Joko Susilo. Sobat Jawara juga dapat membaca liputan tentang Tax Center UKRIDA, HIPMI Jakarta Barat, serta konsep SOHO. Tak ketinggalan ulasan tentang pelaksanaan peringatan Hari Pajak, peringatan Hari Kemerdekaan RI ke77, dan Pekan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat, dan Program Inklusi Kesadaran Pajak. Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat! Selamat membaca, Sobat Jawara!


4 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Perjalanan Perpajakan di Indonesia Tajuk Penulis : Herman Setyawan Ilustrasi : Freepik.com Pajak merupakan suatu hal yang penting bagi pembangunan di suatu negara. Sebagai mana diketahui penerimaan negara Indonesia dalam APBN sebagian besar bersumber dari penerimaan pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kepada negara. Ini membuktikan bahwa peran Pajak sangatlah besar dalam pembangunan nasional, sehingga sebagai refleksi agar masyarakat makin sadar dan peduli tentang Pajak, melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep313/PJ/2017 ditetapkan tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak. Penetapan tanggal 14 Juli yang saat ini diperingati sebagai Hari Pajak melalui proses yang cukup panjang. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan kerja sama dengan sejarawan JJ Rizal untuk dapat mengulik dan menelusuri jejak monumental dari awal pembentukan institusi perpajakan di Indonesia ini. Pada saat itu, tanggal 7 November sempat ditetapkan sebagai Hari Pajak karena berasaskan pada momentum Penetapan Pemerintah tanggal 7 November 1945 No.2/S.D yang sebagaimana tertulis bahwa “Urusan bea ditandatangani oleh Departemen Keuangan Bagian Pajak mulai tanggal 1 November 1945 sesuai dengan Putusan Menteri Keuangan tanggal 31 Oktober 1945 No.8.01/1”. Namun, tanggal 7 November yang telah ditentukan sebelumnya akhirnya diubah dikarenakan pimpinan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ingin memastikan dengan benar terkait dokumen sejarah yang lebih awal pada masa-masa pembentukan institusi perpajakan dari berbagai sumber. Pada akhirnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun Kembali mengumpulkan dokumen-dokumen sejarah yang berasal dari berbagai pihak. Pada saat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berusaha mengumpulkan data-data sejarah terkait dengan awal perpajakan di negeri ini, saat yang sama pula Arsip Nasional Republik Indonesia membuka secara terbatas dokumentasi dokumen yang autentik berkaitan dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI – PPKI) yang merupakan koleksi dari AK Pringgodigdo yang sempat dirampas oleh Belanda (Sekutu) pada saat mereka memasuki Yogyakarta dan menangkap Bung Karno pada 1946. Melalui dokumen ini lah diketahui bahwa, kata pajak pertama kali muncul dengan disebut oleh Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Radjiman Wediodiningrat dalam sidang panitia kecil yang membahas mengenai keuangan dalam masa reses BPUPKI setelah Soekarno membacakan pidatonya yang terkenal pada 1 Juni 1945. Pada butir keempat dalam lima usulan


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 5 yang disampaikan oleh Radjiman, menyebutkan bahwa “Pemungutan Pajak harus diatur hukum”. Dalam masa reses yang terjadi pada 2 – 9 Juli 1945, anggota BPUPKI berhasil mengumpulkan sembilan usulan dan salah satu butir usulan tersebut membahas mengenai keuangan. Dalam arsip dokumen yang ditemukan, terdapat sidang kedua yang dilakukan pada 10-17 Juli 1945. Pada 12 Juli 1945 terdapat sidang Panitia Kecil dengan agenda terkait tiga bahasan, yaitu rapat Panitia Perancang UUD, rapat Bunkakai Keuangan dan Ekonomi, serta rapat Bunkakai Pembelaan. Kata pajak muncul dalam rancangan Undang – Undang Dasar (UUD) kedua yang disampaikan pada 14 Juli 1945. Pada butir kedua Pasal 23 Bab VII Hal Keuangan, disebutkan bahwa “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Tulisan tersebut terdapat dalam lampiran arsip rancangan UndangUndang Dasar (UUD) 1945 yang merupakan coretan perbaikan. Dan pada 14 Juli 1945, disampaikanlah rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang didalamnya termuat coretan asli kata pajak yang pertama kali digunakan. Atas dasar inilah, maka tanggal 14 Juli kemudian dipilih sebagai simbol lahirnya Hari Pajak. Karena pajak itu penting untuk sebuah negara dan harus diatur dengan hukum Apabila ditelusuri dalam perjalanan sejarah di negara Indonesia ini, pajak sebetulnya telah ada dan dikenal pada masa Kerajaan Nusantara. Pada masa itu, penguasa wilayah atau raja lah yang memegang kendali penuh terhadap daerah yang menjadi kekuasaannya. Dan pada saat itu juga, sang raja memberlakukan pungutan kepada rakyatnya untuk membiayai seluruh daerah kekuasaan miliknya. Dan rakyat pun memberikan upeti kepada kerajaan. Sejak masuknya pemerintahan kolonial Inggris pada periode 1811-1816, sistem perpajakan mulai dirancang. Sir Thomas Stanford Raffles adalah penguasa bangsa Eropa pertama yang merancang sistem perpajakan. Sistem perpajakan yang dirancang oleh Raffles dikenal dengan nama pajak tanah (landrent). Pada masa Raffles, diterapkan pungutan pajak tanah yang dibebankan kepada desa dan bukan kepada perseorangan. Pembayaran pajak tanah tidak selalu dilakukan dengan uang, tetapi juga dengan barang. Setelah kolonial Inggris berakhir dan digantikan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sistem pajak tanah masih terus dilaksanakan. Namun, terdapat perbedaan antara system pemungutan pajak tanah oleh pemerintah kolonial Inggris dan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintahan kolonial Belanda memberikan kedudukan para bupati sebagai pemungut pajak yang bertanggung jawab terhadap pungutan atas pajak tanah kepada rakyat. Pada negara modern di awal abad ke-20, terdapat konsepsi lain tentang hakikat dan fungsi pajak. Pajak tidak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat paksaan melainkan bersifat kewajiban. Di dalam masyarakat modern, terdapat kesadaran bahwa pajak yang dikumpulkan negara digunakan untuk melindungi kepentingan rakyat secara umum dan mewujudkan kemakmuran bersama. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, konsep dan peraturan tentang pajak masih sederhana sebagaimana terdapat pada masa kerajaan dan penjajahan di Indonesia. Sumber tertulis terkait dengan isu pajak dan kebijakan perpajakan pada awal kemerdekaan Indonesia belum banyak ditemukan. Namun, terdapat beberapa sumber hukum tertulis berkaitandengan pajak, antara lain: 1. Undang-Undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perobahan/ Tambahan Undang-Undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951; 2. Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing; 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Pajak Devidenyang diubah dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti; dan 4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.


6 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pada masa awal kemerdekaan Indonesia dan memasuki era pemerintah Orde Lama di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, kebijakan pemerintah tentang pajak belum banyak dilakukan. Hal ini terjadi karena kondisi pemerintahan yang belum stabil. Sistem dan mekanisme pungutan pajak pada waktu itu lebih banyak dipengaruhi dan mengikuti warisan sistem pemungutan pajak pada era penjajahan Belanda. Berbagai pungutan dan iuran pajak yang berlangsung pada masa pemerintahan Orde Lama merupakan peninggalan dari penjajahan Belanda. Banyaknya peraturan yang dikeluarkan dari warisan kolonial mengakibatkan tidak terpenuhinya rasa keadilan dalam penerapan pajak. Pada masa Orde Lama memiliki fungsi antara lain : 1. mengumpulkan dana untuk pembiayaan rutin pemerintah; 2. berusaha menjamin adanya stabilitas perekonomian negara; 3. memupuk modal untuk pembangunan; 4. mengurangi perbedaan keadaan sosial yang menyolok dalam masyarakat yang dirasakan sebagai ketidakadilan. Pada masa pasca revolusi kemerdekaan, Indonesia sedang dalam keadaan sulit dan perekonomian belum stabil sebagai akibat dari perang dan politik yang tidak menentu. Pada tahun 1951, Pemerintah membentuk Panitia Peninjauan Pajak yang bertugas untuk mempelajari banyaknya jenis pajak yang ditangani oleh Jawatan Pajak. Panitia Peninjau Pajak dibagi menjadi empat subpanitia, yaitu Panitia Indirekte Belasting, Panitia Direkte Belasting, Panitia Pajak Umum, dan Panitia Pajak Daerah. Selanjutnya, pada awal tahun 1965, Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1965 yang berisi pengampunan pajak. Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Lama pada tahun 1966 yang ditandai dengan pergantian kepemimpinan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto, 17 tahun kemudian, pemerintahan Soeharto mencoba untuk melakukan reformasi terhadap undang-undang atau peraturan tentang perpajakan yang berlaku pada masa Orde Lama. Perubahan yang terjadi pada sistem perpajakan di Indonesia dapat dilacak dari struktur kelembagaan perpajakan yang mengalami banyak perubahan yang disebabkan oleh dinamika politik dan ekonomi yang berkembang pada masa itu. Melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera Republik Indonesia pada 3 November 1966, Presiden Soeharto membuat susunan ulang organisasi pajak. Susunan organisasi Direktorat Jenderal Pajak terdiri atas Direktur Jenderal, Sekretaris Direktorat Jenderal, Direktorat Pajak Langsung, Direktorat Pajak Tidak Langsung, Direktorat Perencanaan dan Pengusutan serta Direktorat Pembinaan Wilayah. Pada tahun 1967 dilakukan penambahan Direktorat Perundang-. Pada masa pemerintahan Orde Baru beberapa Undang-Undang terkait dengan pajak dicabut dan diganti dengan Undang-Undang yang baru, antara lain: 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); 4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); 5. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Kebijakan perpajakan pada masa pemerintahan Orde Baru masih banyak yang mengacu pada kebijakan pemerintahan sebelumnya. Perubahan yang dijalankan lebih mengarah pada penyempurnaan dalam hal teknis, ketentuan tarif, struktur kebijakan, dan proses administrasi. Misalnya, terjadi perubahan struktur kelembagaan pada tanggal 27 Desember 1985, dimana Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sejak tahun 1983 sistem perpajakan di Indonesia beralih dari Official Assessment System ke Self Assessment System dan berlangsung hingga saat ini. Self Assessment System merupakan


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 7 sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang dan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang Wajib Pajak itu sendiri. Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru melalui gerakan Reformasi 1998/1999, terjadi berbagai perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat Indonesia. Pada masa pemerintahan transisi dari Presiden Soeharto ke B.J Habibie, kebijakan terkait perpajakan belum banyak berubah. Perubahan kebijakan mulai dilakukan pada tahun 2000 yang ditunjukkan dengan diterbitkannya beberapa perubahan atas peraturan perundang-undangan perpajakan, antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); 3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; 5. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 6. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai. Pada tahun 2002, dibentuklah Pengadilan Pajak melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak. Pada tahun 2004, era otonomi daerah (desentralisasi) mulai digulirkan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pergeseran paradigma tentang perpajakan semakin tampak dengan lahirnya sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik. Dampak perubahan dari perubahan sistem pemerintahan tersebut adalah munculnya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang diberlakukan baik di pusat maupun daerah. Beberapa tahun belakangan ini Pandemi Covid-19 mengguncang perekonomian dan menimbulkan tekanan fiskal yang signifikan. Sampai dengan saat ini, APBN telah bekerja keras untuk menahan agar pemburukan tidak terjadi terlalu dalam. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi dampak pemulihan perekonomian pascapandemi yang masih dibayangi ketidakpastian, reformasi perpajakan yang mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel menjadi semakin diperlukan. Untuk itulah, UU No.7 Tahun 2021 atau disebut UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) lahir. UU HPP sendiri adalah suatu bekal untuk meneruskan perjalanan Indonesia maju yang mengalami disrupsi yang luar biasa akibat Covid-19. Reformasi yang dilakukan pada masa pandemi ini diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian ekonomi global dan diharapkan dapat menjadi instrumen multidimensional objektif, yaitu fungsi penerimaan pajak yang dibarengi dengan pemberian insentif untuk mendukung dunia usaha pulih, namun tidak menjadikan administrasinya semakin sulit. Pada era sekarang ini, jenis pajak sudah sangat beragam mengingat perkembangan ekonomi yang sudah semakin maju dan berkembang. Upaya untuk meningkatkan pendapatan dari pajak juga dilakukan dengan berbagai inovasi yang memudahkan Wajib Pajak dalam melakukan kewajibannya. Akuntabilitas publik juga dilakukan di berbagai daerah sehingga masyarakat mengetahui proses pemungutan pajak dan bagaimana dana pajak tersebut digunakan. Akuntabilitas ini menjadi penting karena akan menumbuhkan kepercayaan yang pada akhirnya menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.


8 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Komunikasi Hebat, Digitalisasi Kuat Penulis : Mukhammad Misbakhul Munir Foto : M. Qoid Huwaidi Pesohor


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 9 Rejeki tak akan kemana. Awal Agustus lalu Tim Majalah Jawara berkesempatan untuk mewawancarai Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menjadi Pesohor pada salah satu rubrik di Majalah Jawara edisi Agustus ini. Wawancara ini untuk mengulik lebih jauh tentang peran penting Direktorat P2Humas dalam menyukseskan reformasi perpajakan saat ini. Neilmaldrin Noor dengan antusias menyambut kami. Percakapan dimulai dari rasa penasaran Penulis terhadap asal usul nama yang cukup jarang terdengar di Indonesia. Pria yang akrab disapa Neil ini bercerita bahwa namanya adalah singkatan dari nama tiga Astronot Apollo 11 pada tahun 1969. “Pada bulan Juli tahun 1969 itu sedang heboh-hebohnya manusia mendarat di bulan yaitu Neil Armstrong, Michael Collins, dan Buzz Aldrin jadinya Neilmaldrin. Proyek besar ini adalah peradaban yang maju. Pada saat itu bukan tentang mendarat di bulannya tetapi Apollo 11 ini merupakan sesuatu yang di luar nalar dan sangat maju”. Itulah harapan orang tua memberikan nama agar menjadi seseorang yang selalu berjuang untuk suatu peradaban maju. Begitu pula perjuangan berkarir di DJP hingga mencapai jenjang Eselon II. Berawal menjadi Kepala Kantor terbaik pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Badan dan Orang Asing (Badora) dan kantornya pun menjadi kantor pelayanan percontohan, akhirnya promosi jabatan menjadi Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Nusa Tenggara pada tahun 2015. Hanya berselang sembilan bulan, di tahun 2016 dipercaya untuk membawahi Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara. Kemudian dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2019, mendapat amanah untuk menjadi Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II. Jabatan terakhir sebelum akhirnya menakhodai Direktorat P2Humas adalah menjadi Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I. Cerita menarik dibalik semua penugasan tersebut adalah selalu mendapatkan tim yang bagus. Salah satu ceritanya adalah ketika membawa Kanwil DJP Jawa Timur II mendapatkan predikat sebagai Kanwil Terbaik di lingkungan Kementerian Keuangan Tahun 2018. “Pada saat itu bagaimana kebersamaan dan perjuangan teman-teman luar biasa. Bagaimana kita bisa kompak, bisa bersama-sama menelorkan kebanggaan untuk DJP. Kita bisa membangun kekompakan dan semua orang tidak ada yang bekerja sendiri tetapi saling bahu membahu. Di setiap tempat, saya selalu menanamkan bahwa prestasi itu prestasi bersama” jelasnya Pria kelahiran 4 Juli 1969 ini mempunyai trik agar timnya selalu kompak. Caranya adalah menanamkan sebuah kesadaran bahwa tujuan bersama adalah menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) DJP. “dengan diversity-nya kita baik itu pendidikan, suku, agama, pangkat, golongan semua itu tidak ada yang datang ke kantor tanpa disertai SK. Artinya kita samasama punya satu tujuan yaitu untuk menjalankan tugas DJP mulai dari pelayanan, edukasi hingga penegakan hukum untuk menghimpun penerimaan” terangnya Dalam hal menanamkan sebuah kesadaran tersebut dirasa penting untuk membangun komunikasi yang baik kepada seluruh anggota tim nya. “kita harus memahami setiap individu yang mempunyai karakter dan cara komunikasi yang berbeda-beda. Komunikasi itu memberi pemahaman apa yang harus dipahami. Tujuan utamanya sama yaitu untuk DJP dengan melaksanakan peran masing-masing dengan sebaik-baiknya” imbuhnya Peran sebagai Direktur P2Humas dijalankan secara optimal dalam mendukung DJP salah satunya dalam meningkatkan kepatuhan dan mengoptimalkan penerimaan pajak. Direktorat P2humas mempunyai empat sub direktorat (subdit) yaitu Subdit Penyuluhan Perpajakan, Subdit Pelayanan Perpajakan, Subdit Hubungan Masyarakat Perpajakan dan Subdit Kerjasama dan Kemitraan. Subdit Penyuluhan Perpajakan yaitu melakukan serangkaian kegiatan edukasi kepada pihak eksternal DJP (masyarakat) untuk meningkatkan voluntary compliance dan kesadaran


10 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pesohor akan hak dan kewajiban perpajakannya. Subdit Pelayanan Perpajakan yaitu mengelola standardisasi pelayanan kepada wajib pajak (WP) di seluruh unit vertikal. “saya sering bilang kepada teman-teman untuk jangan takut menjadi pelayan. Jangan pernah merasa rendah karena kita melayani WP dengan tujuan agar WP dapat dengan baik, benar, dan mudah untuk memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Kita harus menciptakan standar pelayanan yang bagus” pesannya Subdit Hubungan Masyarakat Perpajakan bertugas menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi, menjaga citra DJP agar dipercaya. “Ini memang tugas humas tapi bukan cuma kantor pusat melainkan semua unit di seluruh DJP dan itu antara lain ada di tingkah laku kita, jadi kita harus sama-sama menjaga citra. Humas itu mengkomunikasikan setiap kebijakan pimpinan baik itu kepada internal dan eksternal. Bagaimana humas itu mengejawantahkan setiap kebijakan pimpinan agar dapat diterima dengan baik oleh lingkungan internal maupun eksternal dalam hal ini WP dan stakeholder. Tanpa citra dan komunikasi yang baik segala regulasi yang dibuat tidak mudah dipahami dan dijalankan dengan baik, serta orang tidak punya kepercayaan untuk membayar pajak. Disana hubungannya dengan penerimaan.” tuturnya Subdit Kerjasama dan Kemitraan bertugas menjalin hubungan stakeholder dengan baik. “karena kita tidak bisa bekerja sendiri. Kita butuh data dari banyak stakeholder. Contohnya data kendaraan bermotor atau data BPN, kita yang membutuhkan tetapi bukan kita yang mengadministrasikan. Bagaimana interoperabilitas stakeholder ini yaitu dimana suatu aplikasi bisa berinteraksi dengan aplikasi lainnya melalui suatu protokol yang disetujui bersama dapat menambah kekayaan DJP untuk melakukan assessment kepatuhan wajib pajak yang berujung untuk penerimaan DJP.” ungkapnya Setiap subdit yang ada di P2Humas sangat berhubungan erat dengan tujuan utama DJP yaitu penerimaan. Di dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) pimpinan sudah terdapat IKU yang berhubungan dengan P2Humas yaitu IKU terkait tingkat kepatuhan secara formil SPT Tahunan dan IKU yang terkait penerimaan yaitu perubahan perilaku setelah dilakukan edukasi dan pelayanan. Stigma tentang P2Humas yang yang tidak ada hubungan linear dengan penerimaan dapat dipatahkan oleh lulusan University of Illinois ini. “Kalau saya ditanya orang tidak susah, dengan stigma P2humas hura hura aja kelihatannya, oh salah, justru basic-nya di P2humas yaitu ada citra, kepercayaan, knowledgeable tentang perpajakan, pelayanan yang mudah dan bagus maka tujuan utama penerimaan dapat tercapai.” tuturnya Berbicara tentang citra DJP di mata masyarakat, berdasarkan hasil survei yang dilakukan baik oleh Kementerian Keuangan maupun oleh pihak independen, hasil survei menunjukkan adanya peningkatan yang cukup tinggi nilainya. Hal ini menunjukkan bahwa citra DJP di mata masyarakat semakin baik dari tahun ke tahun. “Based on data, citra kita bagus, tetapi saya melihatnya bukan disitu, saya masih melihat ada ruang untuk kita melakukan sesuatu lagi sebagai upaya untuk menuju kesempurnaan.” tambahnya Digitalisasi Reformasi Perpajakan Perbaikan menuju kesempurnaan terus dilakukan oleh DJP. Tahun 2017 dengan terbit Keputusan Menteri Keuangan nomor KMK 360/KMK.03/2017 tentang Program Reformasi Perpajakan yaitu Pengembangan sistem core tax yang terintegrasi untuk menyongsong era digitalisasi. Selanjutnya Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan (PSAP) diatur dalam Peraturan Presiden nomor 40 Tahun 2018 yang bertujuan untuk: 1. mewujudkan institusi perpajakan yang kuat, kredibel dan akuntabel yang mempunyai proses bisnis yang efektif dan efisien; 2. membangun sinergi yang optimal antar Lembaga; 3. meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak;


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 11 4. meningkatkan penerimaan negara. Untuk menjadikan Institusi Perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel maka dalam PSAP ini ditetapkan lima pilar reformasi perpajakan yang meliputi organisasi, sumber daya manusia (SDM), peraturan perundangundangan, proses bisnis, teknologi informasi dan basis data. PSAP diketuai oleh Direktur Jenderal Pajak dan di dalamnya terdapat 3 Kelompok Kerja (Pokja) dan 1 Tim Manajemen Perubahan. Tiga kelompok kerja tersebut adalah: 1. Pokja 1 membawahi organisasi dan SDM; 2. Pokja 2 membawahi proses bisnis, teknologi informasi dan basis data; 3. Pokja 3 membawahi peraturan perundangundangan. Pembaruan Sistem Inti Aplikasi Perpajakan (PSIAP) merupakan bagian dari PSAP bisa dikatakan sebagai proses digitalisasi administrasi dan proses bisnis perpajakan yang masuk di dalam Pokja 2 tentu mempunyai tantangan tersendiri yaitu: 1. Organisasi Struktur organisasi terus dievaluasi dan dirubah menyesuaikan proses bisnis, tugas pokok dan fungsi DJP serta Standard Operating Procedure (SOP) agar sisten inti perpajakan berjalan optimal. 2. SDM Penyesuaian terhadap beban kerja. Dengan adanya otomasi maka akan ada realokasi pegawai, disamping itu kapasitas dan kompetensi pegawai akan ditingkatkan. Contoh realokasi yang masuk pada renstra DJP yaitu program 3C yang sementara ini dibangun bukan di sistem coretax atau PSAP. Pada saat sistem coretax proses deploy, program tersebut akan juga digabungkan. Sudah ada 84 dari 221 layanan yang selesai didigitalisasi dan akan terus disesuaikan dengan sistem coretax. 3. Proses kerja Cortex system yang dibangun terdiri dari 21 proses bisnis (probis) yang antara satu dan lainnya saling terkait dan saling mempengaruhi. 4. Regulasi Regulasi diperlukan sebagai landasan reformasi dan untuk menjalankan proses bisnis dengan prudent dan akuntabel. Regulasi terus menerus


12 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pesohor dievaluasi dan dilakukan perubahan untuk merespon perubahan sosial, ekonomi dan teknologi agar sejalan dan sebangun dengan sistem coretax. 5. TIK Sistem coretax yang dibangun harus mempunyai interoperabilitas dengan sistem lain baik internal maupun eksternal DJP Meskipun menghadapi berbagai macam tantangan dalam proses pembangunannya, tetapi Pria yang hobi fotografi ini yakin bahwa dengan adanya PSAP dimana di dalamnya ada PSIAP maka administrasi dan capaian penerimaan pajak akan optimal dan tax ratio meningkat. “untuk tools-nya saya yakin 100% dalam arti bahwa selama yang nanti akan dihasilkan sesuai dengan desain yang saya ketahui, pasti meningkatkan penerimaan negara. Namun memang tidak serta merta ketika PSIAP diterapkan lalu tax ratio langsung meningkat, tentu saja ada masa transisinya. PSIAP itu bukan jimat bukan mantra yang cukup kita baca dan pegang saja tetapi hanya sebuah alat yang bergantung kepada kita yang dapat memanfaatkannya dengan maksimal, ya kembali ke SDM kita.” tambahnya Sejatinya, kapasitas dan kompetensi SDM di DJP harus terus di-upgrade agar tidak terjajah dengan adanya digitalisasi. Bahkan beberapa literasi merilis beberapa profesi yang akan hilang dengan adanya digitalisasi. “tetapi personally untuk DJP itu belum tentu. Disatu sisi akan ada pengurangan yang digantikan dengan mesin, disisi lain kita membutuhkan SDM yang ahli dalam analisis serta tidak bisa menutup mata bahwa DJP ini sangat dinamis dan terus berkembang. Tidak serta merta digitalisasi di DJP akan mengurangi SDM. Kita akan perhitungkan kembali dan akan terus dikomunikasikan.” jelasnya Tim Manajemen Perubahan PSAP Selain sebagai Direktur P2Humas yang bertugas untuk mengkomunikasikan segala program dan kebijakan secara intenal dan eksternal, Neil juga mendapat amanah dan dipercaya sebagai Ketua Tim Manajemen Perubahan PSAP. Tugas Tim Manajemen Perubahan adalah memastikan output yang dihasilkan sesuai dengan yang direncanakan dan tidak boleh ada penurunan produktivitas termasuk SDM nya. Seperti apa manusianya yang harus dipersiapkan dalam menyongsong digitalisasi reformasi perpajakan? Menurut Neil, SDM yang harus dipersiapkan dalam menyongsong digitalisasi reformasi perpajakan adalah yang pertama harus aware terhadap adanya perubahan. Kedua, semua SDM harus komitmen bahwa perubahan itu milik semua. Ketiga, siap secara teknis maupun secara mindset. Keempat, harus mau terlibat dalam perubahan. “oleh karena itu Manajemen Perubahan memandang itu sebagai kebutuhan, challenge nya yaitu jumlah pegawai sejumlah 46.000 itu tidak gampang membuat semua aware, siap, komitmen dan mau terlibat dan mendukung perubahan. Perubahan itu perubahan kita bersama sejumlah 46.000.” tambahnya Salah satu strategi yang dilaksanakan oleh Tim Manajemen Perubahan untuk mendukung reformasi perpajakan yaitu yang pertama dibentuknya Jaringan Perubahan Reformasi Perpajakan dengan diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-25/ PJ/2022 sejumlah 4000 pegawai. Jaringan Perubahan di lingkungan DJP, terdiri atas: 1. Change Sponsor yang merupakan Pejabat Eselon I dan seluruh Pejabat Eselon II pada tiap-tiap Kantor atau Unit Kerja di lingkungan DJP. Peran dan dukungan pimpinan akan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dari sebuah perubahan baik. 2. Change Champion yang merupakan seluruh Pejabat Eselon III pada tiap-tiap Kantor atau Unit Kerja di lingkungan DJP. Sebagai motor penggerak untuk mengimplementasikan dan menyebarkan informasi terkait reformasi Perpajakan. 3. Change Agent yang merupakan pegawai DJP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jumlah Change Agent pada tiap-tiap Kantor atau Unit Kerja di lingkungan DJP setidaknya berjumlah 10 pegawai yang mewakili setiap probis dan dapat ditambah dan ditunjuk melalui Keputusan Kepala Kantor Wilayah.


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 13 “Manajemen perubahan berbicara komunikasi, leadership. Secara teoritis, yang ada selama ini bahwa manajemen perubahan harus menciptakan jaringan perubahan. Apakah cukup 4000 orang saja? Tidak, kita ada 46.000 yang harus aware, berkomitmen, siap dan harus terlibat. Itulah role dari perubahan.” tambahnya Kedua, diadakannya Townhall Meeting dan webinar internalisasi rancang ulang proses bisnis. Townhall Meeting merupakan salah satu wahana untuk melakukan komunikasi agar bisa memberikan update rutin serta menyelaraskan visi serta misi secara lebih dalam. “Kenapa dinamakan townhall? Karena sifatnya grande, banyak yang mengikuti, siapa saja yang memiliki kewajiban untuk datang di dalam meeting tersebut tanpa terkecuali. Kita sudah rencanakan nanti sampai dengan tahun depan akan ada empat kegiatan, sudah dilakukan 2x dan berikutnya akan diadakan di bulan Oktober.” Ketiga, pelatihan rancang ulang proses bisnis melalui KLC. Tim sudah merekrut master trainer yang nanti akan mengajarkan secara teknis. Master trainer tersebut akan melakukan Training of Trainer (ToT) sehingga jumlah pengajar menjadi banyak untuk melakukan pelatihan. Keempat, penerbitan newsletter melalui post-el dan MANTRA. Kenapa MANTRA? “Karena kita ingin punya alat komunikasi internal yang dianggap lebih aman dan nyaman.” jelasnya Kelima, Change Readiness Assessment (CRA). CRA adalah instrumen yang digunakan dalam mengukur kesiapan pegawai untuk berubah yang dimulai pada tahun 2021 dan sudah dilaksanakan dua kali. Jumlah partisipan dalam survei tersebut selalu mengalami peningkatan signifikan disertai nilai pada setiap variabel yang diujikan untuk kesiapan ini juga meningkat. Diharapkan CRA ketiga yang akan diadakan di bulan Oktober 2022 dapat lebih bagus lagi. “Dari CRA tersebut kita melakukan spotcheck karena kita mau lihat kenyataannya bagaimana. Hasil assessment tadi kita uji lagi dengan cara turun ke lapangan, kita betul-betul firm. Kalau memang belum siap bagaimana caranya kita siapkan sebelum reformasi ini bergulir lebih lanjut. Rencananya pada Oktober 2023 sistem PSIAP akan di deploy pada 34 Kanwil, 352 KPP dan 204 KP2KP di seluruh Indonesia.” Pria yang mengidolakan ayahnya ini, tetap optimis dan semangat meskipun waktu untuk merealisasikan rencana tersebut tidak panjang lagi. Semangat menuju perubahan tersebut ditularkan oleh sang ayah melalui perjalanan hidup untuk terus berjuang menjadi lebih baik lagi. Hal itu yang terus menginspirasi dan menjadi nilai dalam kehidupan sehari-hari yang dianggap masih relevan dijalankan di masa ini. “pesan yang diingat sampai saat ini yaitu berjuang itu harus serius. Harus selalu memperjuangkan perbaikan dan dilakukan terus menerus.” Bertepatan dengan bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan Indonesia. Neil memaknai kemerdekaan sebagai sebuah perjuangan dengan terus memperbaiki diri, meningkatkan kompetensi melakukan perubahan-perubahan. “Saya pikir kalau kita tidak mengisi kemerdekaan dengan perubahan dari titik di tahun 1945 maka suatu saat kita akan terjajah lagi setidaknya kita akan terjajah dengan keterbelakangan. Kalau DJP tidak melakukan perubahan dan tidak memaknai kemerdekaan itu selalu diperjuangkan mungkin saat ini DJP sudah tidak kokoh dan DJP sudah terjajah oleh ketidakmampuan kita mengikuti perkembangan zaman. Karena merdeka itu proses.” pesannya Tak lupa Neil berpesan kepada pegawai pajak di seluruh Indonesia bahwa perubahan itu harus diperjuangkan dan mendukung setiap perubahan yang terjadi. Neil juga mengingatkan untuk terus meningkatkan kompetensi dan pengetahuan untuk menyongsong era digital untuk DJP yang lebih baik dan untuk Indonesia lebih maju. “Pada prinsipnya akan lahir seorang bintang dari sebuah kesebelasan yang bintang” tutupnya.


14 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pesohor Hantriono Joko Susilo: PSIAP dan Direktorat TIK, Saling Berinteroperabilitas Mendukung Reformasi Pajak Penulis : Benny Oktis Yanurwenda dan Diva Arumningtias Foto : M. Qoid Huwaidi


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 15 Dalam rangka meningkatkan kepatuhan pajak, meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi perpajakan dalam pengelolaan basis data dan administrasi perpajakan, dan meningkatkan integritas serta produktivitas aparatur perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melaksanakan Reformasi Perpajakan yang merupakan upaya pembenahan berbagai aspek yang dilakukan secara berkelanjutan. Saat ini Reformasi Perpajakan sudah memasuki fase Reformasi Perpajakan Jilid III (2017-sekarang). Program Pembaruan Sistem Adminitrasi Perpajakan (PSAP) merupakan salah satu agenda yang dilaksanakan dalam Reformasi Perpajakan Jilid III dan proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) merupakan bagian dari PSAP. Proyek PSIAP merupakan bagian dari Pokja II dan bertanggung jawab atas pilar Proses Bisnis dan IT & Basis Data. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai progres Reformasi Perpajakan terutama dalam bidang Teknologi Informasi, Tim Majalah Jawara kali ini mewawancarai salah seorang Project Manager PSIAP, yaitu Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Hantriono Joko Susilo. Perjalanan Karir Sobat Jawara, tak ada salahnya kita berkenalan dulu dengan sosok ramah Hantriono Joko Susilo atau Hantri, demikian sapaan akrab yang biasa kita gunakan. Pria berperawakan tinggi ini lahir di Bojonegoro pada tanggal 22 Desember 1968. Bulan Oktober tahun 2021, Hantri dilantik oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati sebagai Direktur TIK. Menelisik jabatan beliau sebelum didapuk sebagai Direktur TIK, Hantri pernah menjabat sebagai Kepala SubDirektorat Pengembangan Ekstensifikasi dan Penilaian, Direktorat Transformasi dan Proses Bisnis (2007-2013). Hantri selanjutnya mengemban tugas sebagai Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana (2013-2015). Belum genap dua tahun menjabat, Hantri dipromosikan sebagai Direktur Transformasi Proses Bisnis. Pengangkatan tersebut memberikan kesempatan untuk mengimplementasikan pengetahuan dan pengalamannnya terkait proses bisnis yang sangat panjang. Sebelum akhirnya menjabat sebagai Direktur TIK, Hantri sempat ditugaskan untuk mengembang tanggung jawab sebagai Kepala Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara selama kurang lebih tujuh bulan. Menurutnya, berbagai penugasan yang dijalani memberikan berbagai pengalaman tersendiri. Namun demikian, penugasan di Direktorat TPB memiliki kesan tersendiri. “Semua tempat saya berkerja itu berkesan, karena memang disitulah kita bisa memberikan kontribusi ke DJP, walaupun sekecil apapun itu kita bisa berkontribusi. Tetapi karena yang paling lama itu di Direktorat TPB, maka yang paling berkesan itu ya Direktorat TPB. Kita dari seluruh lini baik pelaksana, kasi, kasubdit, maupun direktur, bisa mengangan–angan apa yang bisa kita diperbaiki di DJP, baik dari sisi proses bisnis maupun sistem yang nantinya akan ada dampaknya ke Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi, dan lain-lain. Menurut saya yang paling berkesan adalah di Direktorat TPB” ujarnya pada tim Jawara. Digitalisasi Perpajakan Pada era Revolusi Industri 4.0 penggunaan teknologi, komunikasi, dan informasi semakin maju dan terus berkembang. Kemajuan teknologi ini mendorong berkembangnya digitalisasi dalam pelayanan kepada masyarakat dengan memberikan kemudahan akses maupun layanan. Oleh karena itu, inovasi yang berlandaskan teknologi menjadi penting untuk dapat mewujudkan kemudahan tersebut dalam operasional sehari-hari. Menyongsong era tersebut, DJP berupaya untuk menciptakan sistem yang dapat mempermudah wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Mendukung upaya tersebut, Direktorat TIK pun selalu bersiap untuk melayani kebutuhan organisasi (DJP) dan juga para stakeholder pada waktu yang dibutuhkan dengan tingkat kepuasan yang tinggi serta mengikuti perkembangan teknologi terkini


16 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pesohor dan menerapkan teknologi yang tepat guna sesuai dengan kebutuhan organisasi. Beberapa inovasi yang diwujudkan Direktorat TIK dalam mendukung DJP diantaranya: a. Menyediakan multi saluran layanan digital yang saling terintegrasi (omnichannel) untuk pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak (salah satunya adalah Click, Call and Counter). b. Menyediakan layanan yang berfokus pada kebutuhan pengguna (mudah, nyaman, aman dan memberikan kepastian pada wajib pajak) melalui penyempurnaan berkelanjutan aplikasi DJPOnline. c. Melakukan kolaborasi dengan pihak ketiga dalam penyediaan dukungan layanan perpajakan (seperti PJAP, PJES, dan BUMN). d. Menyediakan sistem informasi yang mendukung pengambilan keputusan yang efektif seperti Selfservice BI pada aplikasi Mandor serta CRM. e. Melakukan transformasi di bidang TIK melalui penerapan teknologi terkini misal Containerization, Microservices, API, BigData, dan AI/ML. Meskipun demikian, dalam perjalanannya, digitalisasi perpajakan juga menemui beberapa hambatan dan rintangan. Hantri berpendapat bahwa tantangan terbesar dari digitalisasi adalah perubahan mindset dan behavior dari pengguna, baik internal maupun eksternal. Saat ini ada unsur kemudahan di mana generasi milenial lebih familiar dengan teknologi atau gadget, namun masih terdapat sebagian kelompok yang relatif gagap teknologi. “Untuk memitigasinya, diperlukan change management untuk mengelola perubahan” ujar Hantri. Selain itu, sebagian masyarakat juga masih terbiasa bekerja dan berperilaku secara manual. Sebagai contoh, masyarakat terkadang merasa tidak afdol ketika dokumen belum ditandatangan basah dan diberi meterai. Untuk itu, Direktorat TIK membiasakan perilaku digital, seperti penandatangan digital maupun pemeteraian secara digital. Hal itu perlu dilakukan secara ajeg dan simultan. “Kedepan, ketika banyak hal didigitalisasikan dan diautomasikan, maka harus ada perubahan skill set dari para pegawai. Teknologi harus menjadi keahlian dasar, dan skill analitic perlu diperkuat. Karena kegiatan yang manual sudah habis, SDM yang dulunya mengerjakan manual harus beralih fungsi ke pekerjaan yang membutuhkan keahlian lebih, misal data analis”, imbuhnya. Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) Selain menjabat sebagai Direkur TIK, pria yang gemar olah raga ini juga mengemban tugas sebagai Project Manager Tim PSIAP dan juga sebagai PPK. “Direktur TIK jabatannya banyak yaitu menjadi proyek manager PSIAP dan juga PPK. Sebagai proyek manager PSIAP, anak buah saya ketua tim, ketua subtim, analisis bisnis. Di PSIAP ada sekitar 375 orang dan di TIK juga sama sekitar 375 orang jadi total anak buah saya ada 750 orang. Semua punya tantangan tersendiri”, ujarnya. Seperti kita ketahui bahwa DJP sedang membuat sebuah projek yang sangat besar yaitu PSIAP. Hantri menjelaskan keterkaitan dan irisan tugas-tugas terkait IT DJP antara Direktorat TIK dan PSIAP. PSIAP saat ini sedang mengerjakan sebuah proyek besar untuk membangun sistem inti. Sementara itu, Direktorat TIK pada dasarnya mempunyai 3 tugas utama, yaitu: a. bertanggung jawab atas sistem legacy, b. menyediakan surrounding/support system, c. mempersiapkan SDM untuk menerima core tax dari PSIAP. Antara support system dan core system tentunya harus bisa saling berkomunikasi dan bertukar data, atau interoperabilitas. Untuk itu, kedua sistem dan kedua organisasi (PSIAP dan Direktorat TIK) perlu bekerja sama erat setiap saat. Begitu pun pada masa implementasi, system legacy harus dapat dimigrasikan ke PSIAP secara seamless. Progres kesiapan SIAP selalu berkembang setiap minggunya. Sampai dengan minggu ketiga bulan Agustus tahun 2022, Tim PSIAP bersama dengan System Integrator sedang dalam fase pengembangan sistem CTAS COTS, dengan persentase progres pengembangan sistem sebesar 69.76%. Dalam fase pengembangan sistem ini


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 17 telah dilaksanakan 3 kali Release Modul Sistem, yaitu: a. Release Pertama pada bulan November 2021 untuk 6 proses bisnis, b. Release Kedua pada bulan Maret 2022 untuk 4 proses bisnis, dan c. Release pada bulan Juni 2022 untuk 20 proses bisnis. Direncanakan Release Modul Sistem terakhir (Release Keempat) akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2022 untuk 20 proses bisnis. Nantinya dengan diimplementasikannya hasil tim PSIAP, diharapkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak akan meningkat karena adanya kemudahan-kemudahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. “PSIAP dibangun dengan sepuluh prinsipal, salah satunya adalah data driven. Jadi, semuanya nanti berdasarkan data misalnya CRM, BI, dan sebagainya. Dengan PSIAP ini diharapkan akan meningkatkan kepatuhan sukarela karena kita berikan banyak kemudahan misalnya ada modul Taxpayer Account Management (TAM). Salah satunya adalah modul e-Taxpayer Account bagaimana wajib pajak nanti punya akun sendiri di sistem, mereka bisa melihat seluruh aktivitasnya di core tax misalnya melakukan permohonan, melihat tagihannya, semua informasi ada disana. Kemudian dari sisi pelayanan penyampaian SPT itu juga dipermudah karena semua SPT akan diusahakan prepopulated jadi datanya sudah tersaji di SPT. Dengan demikian diharapkan kepatuhan sukarela meningkat dengan diberikan beberapa kemudahan”, ujar Hantri. Di samping memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak, PSIAP ini juga didesain untuk memudahkan dan juga membuat pekerjaan AR, pemeriksa, dan penilai lebih fokus sehingga penerimaan diharapkan juga akan meningkat. Sistem yang dibangun ini juga tidak hanya berorientasi pada kepentingan internal DJP semata, namun juga memperhatikan kondisi eksternal, seperti Direktorat Jenderal


18 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pesohor Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maupun Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karena itu, membangun komunikasi dengan instansi-instansi eksternal juga menjadi perhatian tim PSIAP. Diharapkan, setelah beroperasinya sistem tersebut, berbagai pelaksanaan tugas yang bersifat lintas instansi dapat dilaksanakan melalui sistem, seperti pencegahan penanggung pajak yang memiliki tunggakan pajak. Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) NIK menjadi NPWP secara resmi telah diluncurkan Menteri Keuangan pada hari Selasa, 19 Agustus 2022 atau bertepatan dengan perayaan puncak Hari Pajak 2022. Menurut Hantri, yang melatar belakangi tercetusnya penggunaan NIK menjadi NPWP adalah: a. Kemudahan bagi masyarakat Dari sisi layanan publik, penggunaan NIK dan NPWP secara berbeda bagi penduduk Indonesia dalam rangka pengajuan layanan publik termasuk administrasi perpajakan memberikan beban administrasi tersendiri; b. Meningkatkan kualitas data Masih belum optimalnya tax ratio di Indonesia dan masih tingginya aktivitas ekonomi yang belum terjangkau oleh administrasi perpajakan, disebabkan oleh belum terintegrasinya data dari berbagai pihak menggunakan nomor yang bersifat unik (Single Identification Number); c. Dalam rangka mendukung Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (Perpres SDI), diperlukan kebijakan dari administrasi perpajakan untuk menggunakan NIK sebagai NPWP bagi penduduk Indonesia. DJP sedang menyiapkan strategi agar penggunaan NIK sebagai NPWP berjalan efisien terutama di masa transisi. Untuk jangka pendek, DJP sedang mempertimbangkan penggunaan NIK sebagai NPWP pada layanan yang bersifat otomatis. Sedangkan untuk jangka panjang, seluruh layanan di sistem baru DJP akan menggunakan NIK dan NPWP 16 digit. Penggunaan NIK sebagai NPWP tentu saja bisa digunakan untuk pengawasan kepatuhan wajib pajak karena NIK bagi orang pribadi dan NPWP bagi Wajib Pajak Badan dan Instansi Pemerintah telah digunakan sebagai kunci dalam pemberian layanan di banyak kementerian atau lembaga dengan prosedur Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP). NIK dan NPWP dapat digunakan sebagai jangkar pengawasan terutama terkait analisis data terkait penghasilan, biaya, aset, utang, dan modal wajib pajak. Dengan implementasi tersebut, manfaat terbesar dalam penggunaan NIK menjadi NPWP adalah: - Bagi Wajib Pajak, dengan penggunaan NIK sebagai NPWP maka Wajib Pajak tidak perlu mengingat banyak nomor dalam melaksanan hak dan kewajiban perpajakan. - Bagi DJP, memberikan kemudahan dengan penggunaan NIK sebagai NPWP bagi Wajib Pajak menjadi hal yang penting untuk meningkatkan kepatuhan secara sukarela dari Wajib Pajak. - Manfaat jangka panjang bagi seluruh pihak, penggunaan NIK sebagai NPWP menjadi salah satu momentum untuk mewujudkan Satu Data Indonesia. Saat mengakhiri wawancara, beliau menyampaikan bahwa penggunaan NIK sebagai NPWP menjadi salah satu rancang ulang dalam proses digitaliasasi perpajakan yang membutuhkan dukungan dari seluruh pihak baik internal DJP, kementerian lembaga terkait maupun Wajib Pajak. “Digitaliasi perpajakan harus dilihat sebagai bentuk kolaborasi antara sistem informasi DJP dengan sistem informasi lainnya baik di internal Kemenkeu dan eksternal Kemenkeu dalam rangka meningkatkan kemudahahan layanan bagi wajib pajak dan saat yang sama menciptakan kepatuhan perpajakan secara sistem (compliance by design)”, pesan Hantri kepada seluruh pegawai DJP dan wajib pajak di seluruh Indonesia. Selain itu, beliau juga berpesan untuk seluruh pegawai di DJP untuk selalu menjaga keamanan data. baik data kepegawaian yang sifatnya pribadi maupun data-data lain yang dimiliki DJP. Karena menjaga keamanan data adalah tanggung jawab kita semua.


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 19 Pada era digital seperti saat ini, semakin banyak orang lebih memilih untuk melakukan transaksi elektronik khususnya di platform E-Commerce. Alasan yang paling utama adalah karena ini sangat membantu, apalagi di situasi pandemi saat ini dimana masyarakat lebih memilih untuk dirumah saja, jadi tidak heran kalau transaksi elektronik jadi pilihan. Era digital sudah bukan lagi perkara masa depan, namun sudah menjadi realita bagi populasi dunia. Perkembangan teknologi yang terus meningkat tajam dari tahun ke tahun pun sebenarnya dilakukan demi mengimbangi kebutuhan manusia akan teknologi yang semakin besar. Dalam setiap aspek kehidupan, selalu ada teknologi digital yang membantu kita sehari-hari, menjadikan aktivitas lebih efisien. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi digital seakan merupakan anomali, pertumbuhan ekonomi digital justru Pajak atas Transaksi Digital Penulis : Herman Setyawan Ilustrasi : Freepik.com


20 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pajak Kite semakin pesat melebihi pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor utama dari pergeseran aktivitas offline menuju online adalah keterbatasan ruang gerak selama pandemi. Hal ini tentu sangat dirasakan bagi para pelajar dan pekerja yang harus beraktivitas secara online di rumah, baik itu untuk bekerja maupun untuk mengikuti pembelajaran. Masyarakat dan bisnis yang tadinya belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi digital, kini seolah “dipaksa” untuk segera hidup bersama teknologi digital itu sendiri. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi digital tentunya menjadikan makin meningkatnya potensi pajak yang bisa dihimpun. Namun sesuai ketentuan pajak terdahulu akan terjadi hambatan dalam pelaksanaan pemungutan pajak atas transaksi digital. Untuk mengamankan basis penerimaan pajak atas transaksi digital dan menciptakan level playing field bagi seluruh pelaku usaha, baik pelaku usaha digital dan pelaku usaha konvensional, perlu adanya penegasan perlakuan perpajakan atas transaksi digital.. Pajak atas transaksi digital bukanlah suatu jenis pajak baru, melainkan suatu bentuk penegasan terhadap ketentuan peraturan perpajakan yang dirasakan menimbulkan perbedaan penafsiran. Hal yang menjadi perhatian adalah transaksi digital oleh subjek pajak luar negeri dalam hal ini perusahaan digital luar negeri yang menjalankan aktivitas digital di Indonesia dan memperoleh penghasilan di Indonesia, tetapi tidak memiliki kantor cabang atau kantor perwakilan di Indonesia. Penentuan suatu subjek pajak luar negeri untuk dapat dikategorikan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) agar dapat diperlakukan sama dengan subjek pajak dalam negeri ialah adanya kehadiran fisik di Indonesia sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh yaitu antara lain adanya tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, dan sejenisnya. Sedangkan perusahaan digital raksasa yang memperoleh penghasilan dari Indonesia seperti, Spotify, Zoom, Netflix, hingga penyedia game online seperti Tencent, dan sejenisnya tidak memiliki kehadiran fisik seperti dalam kriteria BUT tersebut. Hal ini menjadikan syarat adanya kehadiran fisik untuk mengklasifikasikan perusahaan digital raksasa tersebut ke dalam BUT menjadi tidak terpenuhi. Akibatnya, potensi penerimaan pajak penghasilan dari perusahaan digital luar negeri tersebut belum dapat digali lebih lanjut. Isu ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya potensi pajak, tetapi juga mengakibatkan timpangnya keadilan bagi para pelaku usaha digital di dalam negeri dalam penerapan pajak penghasilan. Selain hilangnya potensi penerimaan pajak penghasilan, terdapat pula hilangnya potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) atau Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud yang dilakukan oleh perusahaan digital luar negeri seperti layanan musik, video streaming, voucher game, jasa penyediaan akomodasi, dan sebagainya. Isu terkait pajak atas transaksi digital ini bukanlah hal yang baru. Banyak negara di dunia mengeluhkan hilangnya potensi pajak yang cukup besar akibat ketidakmampuan mengenakan pajak terhadap perusahaan multinasional tersebut. Salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan ini ialah melakukan penyesuaian peraturan perpajakan dengan kondisi global saat ini mengingat semakin pesatnya cross border digital transaction. Untuk itu penentuan BUT perlu diperluas dengan tambahan kriteria penentuan BUT berdasarkan adanya kehadiran ekonomi secara signifikan. Setelah melewati beberapa kajian sejak beberapa tahun terakhir, akhirnya penegasan terkait pajak atas transaksi digital di Indonesia diatur di tengah pandemi Covid-19. Kebutuhan fiskal yang tinggi dan kejelian para pengambil kebijakan melihat peluang potensi pajak atas peningkatan aktivitas ekonomi digital berhasil memuluskan peraturan pajak atas transaksi digital ini keluar lebih cepat. Di dalam Pasal 6 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dijelaskan aturan mengenai perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan melalui


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 21 Sistem Elektronik (PMSE), yaitu berupa kewajiban pengenaan PPN dan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan PMSE yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Pihak-pihak yang memiliki kewajiban pengenaan PPN adalah subjek pajak luar negeri antara lain pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/ atau PPMSE dalam negeri yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Contoh dari PPMSE adalah online marketplace luar negeri seperti Amazon dan Alibaba serta online marketplace dalam negeri seperti, Blibli, Tokopedia Bukalapak, dan sejenisnya. Sedangkan pintu masuk untuk pengenaan pajak penghasilan kepada subjek pajak luar negeri adalah adanya kehadiran ekonomi signifikan. Kriteria penentuan kehadiran ekonomi signifikan yaitu peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu, penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu, dan/ atau pengguna aktif media digital di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu. Apabila setidaknya salah satu dari kriteria di atas terpenuhi, maka suatu subjek pajak luar negeri dapat dikategorikan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan dikenai pajak penghasilan sesuai dengan UU PPh. Namun, apabila subjek pajak luar negeri tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai BUT dikarenakan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pencegahan pengelakan pajak dengan negara atau yurisdiksi lain, subjek pajak tersebut akan dikenakan pajak atas transaksi elektronik. Pajak atas transaksi elektronik tentunya berbeda dengan ketentuan pengenaan PPh atas BUT. Pemerintah tentunya sangat berhati-hati dalam menerapkan peraturan turunan terkait pajak atas transaksi elektronik ini mengingat kebijakan yang diambil harus memperhatikan siklus perekonomian digital agar tetap terjaga dengan baik. Sehingga tujuan menciptakan level playing field dan pengamanan basis penerimaan pajak tetap tercapai tanpa menganggu perekonomian yang sedang bergejolak saat ini. Saat ini telah terbit aturan terkait ketentuan perpajakan atas transaksi digital sebagai urunan dari UU HPP yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60/PMK.03/2022, pemerintah menyesuaikan tarif PPN atas penyerahan barang tidak berwujud kena pajak dan jasa kena pajak yang dilakukan melalui PMSE menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan akan dinaikkan menjadi 12% paling lambat 2025. Dengan perubahan ini, maka ketentuan sebelumnya mengenai pemungutan PPN PMSE yaitu PMK Nomor 48/PMK.03/2020 dinyatakan tidak berlaku. Adapun perubahan tarif itu, mengikuti ketentuan tarif PPN yang berlaku umum, sebagaimana yang di atur di dalam UU HPP. Selain mengubah besaran tarif, aturan baru tersebut juga mengubah ketentuan mengenai perusahaan digital yang berhak memungut, menyetor dan melaporkan PPN PMSE. Sebelumnya hanya perusahaan yang ditunjuk saja yang berhak memungut PPN PMSE, kini perusahaan tersebut juga harus menerbitkan commercial invoice, billing, order receipt atau dokumen lain yang sejenis. Pemerintah melalui Menteri Keuangan juga menerbitkan PMK-68 /PMK.03/2022, tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto serta PMK-69 /PMK.03/2022, tentang PPh dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Tantangan ke depan akan semakin berat, berubahnya perilaku perekonomian seperti peralihan proses bisnis dari brick and mortar (konvensiona)l ke digital selama pandemi nyatanya bersifat permanen. Instrumen pengawasan dan penegakan hukum harus lebih dioptimalkan supaya basis pajak bertambah luas, pembayaran pajak bertambah dan terjadinya peningkatan pembayaran pajak. Semoga semua usaha keras dan doa yang terus menerus dilakukan mendapat hasil yang optimal.


22 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Penulis & Ilustrasi: Isna Elida Krisnawati “Fintech” Eksis, Pinjam Dana Makin Lancar Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 23 Dunia serba canggih. Sekiranya itulah yang kini sedang kita alami di era berbasis kemajuan teknologi ini. Belakangan ini kerap kali kita dengar istilah “Industry 4.0.” Mengutip dari laman kominfo.go.id, istilah Industry 4.0 pertama kali dikenalkan pada Hannover Fair, 4-8 April 2011. Istilah ini digunakan oleh pemerintah Jerman untuk memajukan bidang industri ke tingkat selanjutnya, dengan bantuan teknologi. Berawal dari Jerman dan merembet ke beberapa negara lainnya di dunia, tak terkecuali Indonesia. Lembaga negara yang secara khusus memiliki andil utama dalam mendorong perkembangan Industry 4.0 ini di Indonesia adalah Kementerian Perindustrian. Mengutip dari laman kominfo.go.id di artikel berjudul “Apa itu Industri 4.0 dan bagaimana Indonesia menyongsongnya”, Menteri Perindustrian pada saat itu, Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa Revolusi Industri 4.0 merupakan upaya transformasi menuju perbaikan dengan mengintegrasikan dunia online dan lini produksi di industri, di mana semua proses produksi berjalan dengan internet sebagai penopang utama. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana persiapan Indonesia dalam menyongsong revolusi Industri 4.0 tersebut? Dilansir dari tek.id, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Haris Munandar menjelaskan bahwa beberapa bidang yang harus dipersiapkan di antaranya adalah melakukan peningkatan otomatisasi, komunikasi machine-tomachine, komunikasi human-to-machine, AI, serta pengembangan teknologi berkelanjutan. Kapan Industry 4.0 Financial Technology Mulai Merajalela di Indonesia? Pembiayaan keuangan sudah dinikmati oleh masyarakat Indonesia sejak lama, sebagai contoh konkret adalah pembelian kendaraan secara kredit melalui lembaga pembiayaan. Awalnya berbagai transaksi keuangan dilakukan secara face-to-face atau bertemu secara langsung antara pihak-pihak yang bertransaksi. Dilansir dari finansialku.com, sistem komputerisasi mulai berkembang pesat sudah sejak tahun 1980-an. Sistem canggih yang memungkinkan penggunanya untuk memaksimalkan sistem big data dan pencatatan digital. Lebih lanjut dijelaskan bahwa upaya pengembangan Fintech dilakukan melalui e-trade salah satu perusahaan di bidang finansial dan keuangan sekitar tahun 1982-an. Pada tahun 1998, perbankan dunia mulai memperkenalkan transaksi online banking yang bisa kita nikmati hingga detik ini. Fintech dalam bentuk P2P lending pun muncul di Eropa pada tahun 2005. Sebuah artikel di finansialku.com menyebutkan bahwa perkembangan fintech di Indonesia mulai terlihat sekitar tahun 2015 yang ditandai dengan didirikannya Asosiasi Fintech Indonesia (AFI). Perkembangan itu terus berlanjut hingga terciptanya berbagai aplikasi yang memfasilitasi orang-orang agar lebih mudah dalam melakukan transaksi keuangan secara digital. Serba-Serbi Seputar Aplikasi Pinjol (Pinjaman Online) Era munculnya berbagai transaksi elektronik yang menyediakan sarana pembayaran elektronik atau biasa dikenal dengan sebutan dompet elektronik (e-wallet) membuat orangorang sudah tidak perlu panik apabila dompet mereka ketinggalan. Alih-alih panik dompet ketinggalan, sekarang lebih panik jika yang terjadi adalah ketinggalan handphone. Beberapa aplikasi menyediakan fasilitas untuk pembayaran secara elektronik dengan mengisi saldo yang nantinya otomatis berkurang ketika pembayaran telah disetujui. Aplikasi ini dengan mudah digunakan dan hanya dengan syarat mengisi data diri lengkap ditambah dengan swafoto diri dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal serupa juga digunakan oleh beberapa pihak sebagai syarat untuk seseorang bisa mengajukan pinjaman secara daring (online). Dahulu sering kita jumpai di beberapa sinetron dikisahkan sebuah keluarga yang terlilit utang dan ditagih oleh rentenir (debt-collector) lengkap dengan bodyguard-nya yang berbadan


24 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 kekar hingga mengusir si peminjam dana. Namun, di era serba teknologi, peminjaman dana pun sudah disediakan secara online melalui sebuah platform atau aplikasi yang mempertemukan antara peminjam dana dan penyedia dana. Berawal dari maraknya swafoto dengan KTP membuat beberapa lembaga peminjaman dana menggunakan syarat yang cukup sederhana untuk para peminjam. Selain kemudahan administrasi yang disediakan, kemudahan juga diberikan dalam hal keringanan bunga pinjaman, kemudahan pencairan dana, maupun berbagai kemudahan lainnya. Hal itu dilakukan untuk menarik calon-calon debitur untuk meminjam dana dari lembaga/perusahaan tersebut. Baru-baru ini pun, untuk menarik nasabah, beberapa lembaga kredit juga memberikan promo besar-besaran berupa tebus nol rupiah untuk beberapa item barang dengan syarat mengajak beberapa teman maupun kerabat untuk membuka link lalu mengisi daftar diri dan menyetujui pengajuan kredit. Kemudian poin yang didapatkan dari hasil mengajak teman bisa digunakan untuk menebus beberapa item pilihan sebesar Rp0. Masih banyak lagi strategi marketing yang ditawarkan agar para perusahaan penyedia kredit bersaing menarik nasabah. Namun, dampak yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi memang tidak selalu positif. Pada Mei 2021, mencuat berita tentang kasus penyalahgunaan data pribadi untuk pinjaman online. Dilansir dari BBC News Indonesia, seseorang bernama Arief dikagetkan dengan transferan uang masuk ke rekeningnya kemudian adanya email masuk dari perusahaan pinjol untuk mengembalikan dana tersebut beserta bunganya dalam jangka waktu tertentu. Hal itu sontak membuat korban terkejut karena pinjaman online-nya sudah diselesaikan pada tahun 2019 yang lalu. Korban mengalami kasus serupa selama dua kali, dengan nama perusahaan yang hampir mirip. Setelah ditelusur, ternyata perusahaan tersebut ilegal karena tidak terdaftar dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tak hanya Arief, beberapa korban yang lain juga mengeluhkan hal serupa. Tak hanya diminta membayar, Arief mengaku juga sempat diancam oleh penagih utang bahwa akan menjual data pribadinya apabila tidak segera melunasi utang bodong tersebut. Ancaman yang dilayangkan bukan hanya kepada peminjam, melainkan juga adanya kasus terror kepada beberapa kerabat dan teman peminjam melalui sms maupun Whatsapp. Terror yang dilakukan dirasa sangat mengganggu karena penagih utang juga mengintimidasi korban dengan beberapa ancaman agar korban menanggung utang si peminjam yang wanprestasi. Kasus penyalahgunaan data pribadi ini sebenarnya sudah terjadi sebelumnya, hanya saja baru mencuat dan ramai diberitakan di pertengahan tahun 2021. Otoritas Jasa Keuangan telah mengatur mengenai transaksi pinjaman online ini sejak tahun 2016 yang tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dasar Hukum Fintech Inovasi pada jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi dikenal dengan sebutan financial technology (fintech). Mengutip penjelasan dari detik.com bahwa salah satu yang populer saat ini adalah lending atau Peer-to-Peer (P2P) Lending. Pada saat itu, pinjaman online lebih banyak digunakan untuk membantu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dijelaskan mengenai fintech yang berbunyi: “Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.” Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 25 Seiring maraknya beberapa kasus perusahaan pinjol ilegal yang sudah terjadi sejak sebelum tahun 2016, maka peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan status legal secara hukum pada beberapa perusahaan pinjol. Seperti yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi bahwa penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Diperkuat oleh Pasal 8 yang mengatur mengenai pendaftaran, sebagai berikut: (1) Penyelenggara yang akan melakukan kegiatan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK. (2) Penyelenggara yang telah melakukan kegiatan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi sebelum peraturan OJK ini diundangkan, harus mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK paling lambat 6 (enam) bulan setelah peraturan OJK ini berlaku. Diatur juga dalam ayat (3) mengenai persyaratan pendaftaran, kemudian ayat (4) dan (5) tentang jangka waktu penyelesaian dokumen dan persetujuan pendaftaran. Dengan adanya peraturan yang mengatur mengenai fintech ini, maka OJK dapat mengawasi para perusahaan pinjol supaya tidak melakukan tindak pemerasan kepada korban penyalahgunaan dana secara ilegal. Perusahaan yang terdaftar diwajibkan untuk menyampaikan laporan secara berkala setiap tiga bulan kepada OJK. Hingga saat ini, setidaknya ada 102 perusahaan fintech lending berizin yang terdaftar di OJK. Aspek Perpajakan Fintech Berdasarkan fenomena pinjol yang marak di masyarakat, Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kemudian perlu untuk menelaah kembali transaksi fintech ini dari segi perpajakannya. Beberapa hal yang melatarbelakangi disusunnya peraturan mengenai aspek perpajakan fintech antara lain sebagai berikut: Pesatnya perkembangan teknologi keuangan (fintech)* mempengaruhi proses bisnis sektor jasa keuangan dan menciptakan transaksi jasa yang baru atau modifikasi transaksi jasa sebelumnya. Belum ada ketentuan perpajakan yang mengatur secara khusus pengenaan pajak atas fintech. Permasalahan pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan bunga pada layanan pinjam meminjam (P2P lending). Berdasarkan data OJK, industri fintech lending mencatatkan akumulasi kredit mencapai Rp295,85 trilliun hingga akhir tahun 2021, meningkat 89,77% secara tahunan (year on year). Sumber:https://amp.kompas.com/ money/read/2022/03/11/090000426/ kebutuhan-pembiayaan-masih-tinggipenyaluran-pinjaman-fintech-tumbuh-positif Dasar hukum fintech ini tertuang dalam Pasal 44E ayat (2) huruf f UU No 7 Tahun 2021 (UU HPP): Pendelegasian wewenang penunjukan pihak lain sebagai pemungut pajak. “Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan, pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (2), diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.” Petunjuk pelaksanaan secara lengkap mengenai fintech sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-69/ PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Dalam PMK ini diuraikan mengenai cakupan teknologi finansial dan inovasi keuangan digital antara lain sebagai berikut: a. Penyediaan jasa pembayaran, seperti Uang Elektronik, Dompet Elektronik, Payment Gateway, layanan Switching, Kliring, Penyelesaian Akhir,


26 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 dan Transfer Dana b. Penyelesaian transaksi investasi, yaitu berupa sarana komunikasi eletronik terpadu yang mendukung aktivitas penyelesaian transaksi efek secara pemindahbukuan seperti C-BEST c. Penghimpunan modal, berupa Layanan Urun Dana (equity crowfunding) d. Layanan pinjam meminjam (P2P Lending) yang populer dikenal dengan istilah fintech. e. Pengelolaan investasi, antara lain advance algorithm, cloud computing, capabilities sharing, open source information technology, automated advice and management, social trading. f. Layanan penyediaan asuransi online, yaitu asuransi perjalanan/keterlambatan yang disediakan oleh marketplace. g. Pendukung pasar, berupa artifial inteligence/machine learning, machine readble news, market information platform. h. Pendukung keuangan digital dan aktifitas jasa keuangan lainnya, contohnya eco crowdfunding, Islamic digital financing, ewaqf, e-zakat, robo advice dan credit scoring, invoice trading,voucher/token. Fokus utama pembahasan dalam PMK ini adalah mengenai aspek perpajakan transaksi fintech, yaitu aspek PPN dan aspek PPh. Loh, kok kena pajak sih? Kan jasa keuangan ga kena PPN? Pertanyaan itu acap kali muncul karena sekilas terlihat seperti PPN dikenakan atas jasa keuangannya. Padahal kenyataannya, PPN hanya dikenakan atas jasa penyediaan platform peer to peer lending (P2P) karena sarana/sistem pembayaran merupakan Jasa Kena Pajak (JKP). Ketentuan lainnya mengenai segala hal yang berkaitan dengan jasa keuangan lainnya juga ditegaskan dalam ketentuan PPN atas Fintech bahwa uang elektronik di dalam suatu media merupakan non BKP, jasa meminjamkan/ menempatkan dana oleh kreditur kepada debitur melalui platform peer to peer lending (P2P) dan jasa asuransi melalui platform merupakan JKP yang dibebaskan PPN. Selain aspek PPN, diatur juga mengenai aspek PPh atas transaksi fintech. Dalam PMK Fintech diatur mengenai penunjukkan platform P2P Lending sebagai pemotong PPh Pasal 23/26 atas bunga pinjaman yang diterima oleh pemberi pinjaman (penyedia dana). Tarif yang dikenakan atas bunga pinjaman sebesar 15% untuk Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan 20% untuk Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Platform P2P Lending dapat membuat bukti potong atas seluruh transaksi pembayaran bunga pinjaman yang diterima oleh satu pemberi pinjaman dalam satu masa pajak. Sementara itu, aspek PPh yang diberlakukan untuk imbalan jasa yang diterima oleh platform dibedakan menjadi dua ketentuan. Apabila platform tersebut terdaftar/berizin OJK maka imbalan jasanya bukan merupakan objek pemotongan PPh. Sedangkan apabila platform tersebut tidak terdaftar/berizin OJK maka dikenakan pemotongan PPh Pasal 21/23/26 yang dilakukan oleh pihak yang membayar jasa tersebut. Seluruh fee, komisi, dan/atau upah yang diterima oleh platform P2P Lending dilaporkan sebagai objek PPh dalam SPT Tahunan. Aspek penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam transaksi fintech ini yaitu bahwa platform P2P Lending ini hanya bertindak seperti sebuah perantara. Karena hanya sebagai perantara, maka atas bunga pinjaman yang diterima platform dari penerima pinjaman bukan penghasilan bagi platform, begitu juga atas bunga pinjaman yang dibayarkan platform ke pemberi pinjaman bukan biaya bagi platform. Sehingga, komponen yang ada dalam aspek PPh platform P2P Lending hanya terbatas pada fee/komisi yang diterima serta biaya-biaya yang berkaitan langsung dengan kegiatan usaha. Dengan diberlakukannya ketentuan mengenai Penyelenggaraan Teknologi Finansial (Fintech) akan semakin memberikan kepastian hukum bagi platform penyedia jasa, pemberi pinjaman, maupun peminjam dana atas transaksi terkait fintech. Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 27 Penulis: M. Mahiddin Evaluasi PPS dan Tindak Lanjutnya Ilustrasi: Istimewa Program Pengungkapan Sukarela telah berakhir tanggal 30 Juni 2022 tepat pukul 24.00 WIB. Selesai sudah perhelatan selama enam bulan yang dimulai dari 1 Januari 2022. Lantas, bagaimana realisasi penerimaan PPS? Apakah telah sesuai dengan target yang ditetapkan pemerintah? Setelah ini apa kelanjutannya? Di akhir masa program, secara menakjubkan realisasi penerimaan PPS meningkat sangat signifikan. Sampai dengan akhir periode, realisasi penerimaan PPS diikhtisarkan sebagai berikut: Rekapitulasi data kepesertaan PPS a. Total jumlah peserta ada 247.918 wajib pajak (WP), yang terbagi menjadi 82.456 surat keterangan dari Kebijakan I dan 225.603 surat keterangan dari Kebijakan II. Angka ini menunjukkan satu wajib pajak dapat mengikuti kebijakan I, Kebijakan II dan juga dapat mengikuti dua kebijakan sekaligus dan dapat juga mengikuti PPS lebih dari satu kali. b. Rincian kepesertaan per jenis wajib pajak dapat digambarkan sebagai berikut:


28 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pajak Kite Kebijakan I Kebijakan II (hanya OP) Badan OP Surat Keterangan 4.067 WP 78.389 WP 225.603 WP PPh Rp1,53 T Rp31,38 T Rp28,10 T Harta Bersih Rp19,09 T Rp380,52 T Rp195,21 T Deklarasi DN & Repatriasi Rp17,17 T Rp327,43 T Rp167,97 T Investasi DN & Repatriasi Rp1,15 T Rp15,11 T Rp6,10 T Deklarasi Dn Rp0,77 T Rp37,98 T Rp21,16 T Tentunya pencapaian PPS ini adalah suatu kebanggaan dan patut kita apresiasi bersama yang menunjukkan antusiasme kontribusi dan gotong royong dari seluruh masyarakat Indonesia melalui Program PPS. Menteri Keuangan Sri Mulyani secara terbuka menyampaikan ucapan terima kasih kepada wajib pajak, anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), asosiasi-asosiasi usaha, perbankan, seluruh pegawai DJP dan Kementerian Keuangan, awak media, ILAP, dan semua pihak yang telah mendukung PPS sehingga dapat terlaksana sesuai yang diharapkan. Namun, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah setelah PPS usai, apa tindak lanjut yang dilakukan oleh DJP atas data-data yang diperoleh dari PPS dan bagaimana DJP menyikapi wajib pajak yang tidak mengikuti kebijakan ini?. Gambaran dan Harapan Paska PPS Sebagai upaya untuk mendorong peningkatan rasio perpajakan, pengawasan dan penegakan hukum di DJP dilaksanakan dengan berdasarkan basis data yang lebih kuat. Semua data yang diperoleh dari PPS tentunya masuk sebagai database DJP. Bukan hanya data yang bersumber dari PPS saja, namun semua data yang diperoleh dari pihak eksternal (ILAP) akan dimanfaatkan DJP dalam rangka menjalankan Undang-Undang Perpajakan secara konsisten, transparan dan akuntabel. DJP mengharapkan wajib pajak seusai mengikuti PPS akan memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya secara teratur dan benar. Sebelum PPS, DJP pernah meluncurkan Program Tax Amnesty pada tahun 2016. Terdapat tiga tujuan utama Tax Amnesty yang hendak diraih kala itu. Pertama, meningkatkan likuiditas domestik, penurunan suku bunga dan investasi dan perbaikan nilai tukar rupiah melalui pengalihan harta. Kedua, mempercepat reformasi perpajakan. Ketiga, meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Pelaksanaan Tax Amnesty ini dibagi menjadi tiga periode, yakni mulai 28 Juni30 September 2016. Kemudian, 1 Oktober-31 Desember 2016. Terakhir, 1 Januari-31 Maret 2017. Setelah program Tax Amnesty ini berakhir, c. Nilai harta bersih yang diungkapkan total sebesar Rp594,82 triliun. d. Jumlah PPh yang disetorkan total sebesar Rp61,01 triliun, terdiri dari Rp32,91 triliun Kebijakan I dan Rp.28,1 triliun untuk Kebijakan II. e. Nilai harta bersih dari deklarasi dalam negeri total sebesar Rp498,88 triliun dan nilai harta bersih dari repatriasi total sebesar Rp13,70 triliun. f. Nilai harta bersih dari deklarasi luar negeri total sebesar Rp59,91 triliun. g. Nilai harta bersih dengan komitmen investasi total sebesar Rp22,34 triliun. Statistik berdasarkan nilai harta bersih a. Lima besar jenis harta adalah uang tunai sebesar Rp263,15 triliun, harta setara kas lainnya sebesar Rp75,43 triliun, tabungan sebesar Rp59,97 triliun, deposito sebesar Rp36,44 triliun, dan tanah/ bangunan sebesar Rp26,35 triliun. b. Lima besar jenis usaha adalah pengusaha/pegawai swasta sebesar Rp300,04 triliun, jasa perorangan lainnya sebesar Rp59,16 triliun, perdagangan eceran sebesar Rp13,66 triliun, pegawai negeri sipil sebesar Rp9,72 triliun, dan real estate sebesar Rp9,48 triliun. c. Lima besar kinerja Kantor Pelayanan Pajak adalah: − KPP Wajib Pajak Besar Empat sebesar Rp12,93 triliun, − KPP Pratama Jakarta Pluit sebesar Rp6,57 triliun, − KPP Pratama Surabaya Mulyorejo sebesar Rp5,38 triliun, − KPP Pratama Jakarta Grogol Petamburan sebesar Rp4,97 triliun, dan − KPP Pratama Jakarta Kembangan sebesar Rp4,48 triliun.


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 29 perubahan perilaku kesadaran pajak yang diharapkan dari masyarakat ternyata belum sepenuhnya tercapai. Hal ini ditandai dengan: a. Wajib pajak peserta Tax Amnesty tidak melakukan pembayaran pajak lainnya selain uang tebusan di SPH. b. Kepatuhan yang hanya berlangsung di 3 tahun paska Tax Amnesty karena diwajibkan oleh Undang-Undang. c. DJP masih memperoleh data adanya potensi harta peserta Tax Amnesty baik di dalam ataupun di luar negeri yang tidak dilaporkan di SPT Tahunan dan di SPH. Kondisi tersebut di atas, tentunya tidak diharapkan terjadi kembali setelah pelaksanaan PPS. Wajib pajak diharapkan sudah memiliki kesadaran bahwa proses gotong royong membangun negeri ini tidak selesai hanya dengan mengikuti PPS. DJP mengharapkan agar wajib pajak yang telah mengikuti PPS melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan tepat waktu dan benar. Wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional dengan cara menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Setelah berlalunya PPS beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh para peserta PPS adalah sebagai berikut: a. Peserta PPS dengan komitmen repatriasi dan investasi menyampaikan Laporan Realisasi melalui DJP online paling lambat saat batas waktu pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi atau Badan. b. Melaporkan harta bersih sebagai tambahan saldo laba ditahan untuk Wajib Pajak Badan dan Harta/ Utang baru sesuai tanggal SKET untuk Wajib Pajak Orang Pribadi di SPT Tahunan Tahun 2022. c. Harta yang dilaporkan di SPPH tidak dapat disusutkan atau di amortisasi untuk kepentingan perpajakan. d. Melaksakana kewajiban perpajakan dengan benar dan lengkap termasuk pembayaran dan seluruh pelaporan SPT Tahunan maupun Masa. Kemudian, bagaimana perlakuan DJP terhadap wajib pajak yang tidak mengikuti PPS? DJP tentunya akan mengikuti ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-undang KUP, PPN dan PPh secara umum. Sebagai ilustarasi dapat kita gambarkan sebagai berikut : Contoh 1 : Tuan A mengikuti Tax Amnesty, masih memiliki harta dalam negeri yang belum dilaporkan di SPT tahunan tahun 2015 dan tidak diungkap di SPH senilai Rp500.000.000,00. • Apabila Tuan A mengikuti PPS Kebijakan I, maka penghitungan pajaknya adalah: Tarif 8 % (hanya deklarasi dalam negeri) x Rp500.000.000,00 = Rp40.000.000,00 • Apabila Tuan A tidak mengikuti PPS dan DJP menemukan datanya, maka penghitungan pajaknya adalah: Tarif 30 % (OP) x Rp500.000.000,00 = Rp150.000.000,00 Sanksi kenaikan 200 % x Rp150.000.000,00 = Rp300.000.000,00 Jumlah pajak yang harus dibayar = Rp450.000.000,00 Contoh 2 : Tuan B tidak mengikuti Tax Amnesty memiliki harta dalam negeri yang tidak dilaporkan di SPT Tahunan 2019 senilai Rp500.000.000,00. • Apabila Tuan B mengikuti PPS Kebijakan II, maka penghitungan pajaknya adalah: Tarif 14 % (hanya deklarasi dalam negeri) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00. • Apabila Tuan B tidak mengikuti PPS dan DJP menemukan datanya, maka penghitungan pajaknya adalah: Penghasilan Netto : Rp500.000.000,00 - PTKP OP (Rp54.000.000,00) = Rp446.000.000,00


Rp35.599.200,00 = Rp117.099.200,00 Dari gambaran diatas kita dapat melihat bagaimana perbedaan pengenaan perpajakan Wajib Pajak yang mengikuti PPS dan tidak mengikuti PPS apabila DJP menemukan data dari Wajib Pajak. Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak Bagaimana DJP melaksanakannya pengawasan kepada wajib pajak yang ada baik yang telah mengikuti PPS maupun tidak? Jawabannya yaitu melalui kegiatan pengawasan kepatuhan wajib pajak. Perencanaan pengawasan wajib pajak, pelaksanaan pengawasan wajib pajak, tindak lanjut pengawasan wajib pajak dan pemantauan dan evaluasi pengawasan wajib pajak, yang dilakukan dapat diuraikan secara ringkas tahapantahapannya sebagai berikut: a. perencanaan pengawasan Wajib Pajak, yang meliputi: - penyusunan rencana pengawasan; dan - penyusunan prioritas pengawasan; b. pelaksanaan pengawasan Wajib Pajak, yang meliputi: - penelitian kepatuhan formal; - penelitian kepatuhan material; - permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan; dan - kunjungan kepada Wajib Pajak; c. tindak lanjut pengawasan Wajib Pajak, yang meliputi: - pengusulan pemeriksaan; - pengusulan pemeriksaan bukti permulaan; - pengusulan kegiatan pengamatan dan/atau operasi intelijen; - pengusulan penilaian untuk tujuan perpajakan; - pengusulan perubahan data dan/atau status Wajib Pajak secara jabatan; - pengusulan perubahan administrasi layanan dan/atau fasilitas perpajakan Wajib Pajak secara jabatan; - pemberitahuan kepada Wajib Pajak; dan - pengusulan pembetulan produk hukum secara jabatan; d. pemantauan dan evaluasi pengawasan Wajib Pajak. Kesimpulan Melihat dari gambaran di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa wajib pajak harus melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. DJP akan menindaklajuti seluruh data dan potensi yang ada terkait wajib pajak baik yang mengikuti PPS ataupun tidak, dengan tujuan mewujudkan kepatuhan pajak yang tinggi yang akan bermuara ke peningkatan penerimaan perpajakan nasional, yang akan dimanfaatkan oleh negara untuk menyejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Pajak Kuat Indonesia Maju Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 31 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan yang disahkan pada tanggal 29 Oktober 2021 telah mengamanahkan tentang pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela. Kanwil DJP Jakarta Barat sebagai salah satu unit vertikal yang ada di Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana undang-undang turut melakukan upaya optimal untuk mendukung dan menyukseskan program ini, bahkan sebelum tanggal dimulainya program ini di 01 Januari 2022. Kanwil DJP Jakarta Barat telah menyosialisasikan program ini kepada wajib pajak di lingkungan kanwil DJP Jakarta Barat. Sosialisasi yang berkelanjutan dimulai dari bulan November 2021 hingga Juni 2022 saat berakhirnya Program Pengungkapan Sukarela. Sosialisasi yang dilaksanakan Kanwil DJP Jakarta Barat dihelat di banyak sentra ekonomi serta pemukiman yang ada di Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat. Sosialisasi dilakukan secara masif dan terus menerus, baik melalui edukasi langsung berupa penyuluhan langsung ataupun tidak Penulis: Muhammad Mahiddin Kanwil DJP Jakarta Barat Sukses Laksanakan Program PPS Ilustrasi: Freepik.com


32 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 langsung. Loket layanan Helpdesk PPS di setiap unit vertikal yang ada di Kanwil DJP Jakarta Barat juga ditambah untuk mengantisipasi lonjakan pengunjung KPP. Sebagai langkah jemput bola, Kanwil DJP Jakarta Barat juga membuka Layanan Luar Kantor berupa Helpdesk PPS di beberapa pusat perbelanjaan antara lain di Mall Taman Anggrek dan Central Park, Jakarta Barat. Publikasi PPS juga gencar dilakukan dengan pemasangan spanduk di lokasi-lokasi strategis serta dengan memanfaatkan jejaring sosial, media massa, dan media elektronik, bekerja sama dengan pihak eksternal. Seiring dengan gencarnya sosialisasi dan publikasi PPS ini, Kantor Pelayanan Pajak yang ada di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat juga mengirimkan Surat Himbauan untuk mengikuti Program Pengungkapan Sukarela ini kepada seluruh wajib pajak yang data perpajakannya harus diklarifikasi. Upaya yang maksimal dari seluruh unit yang ada di Kanwil DJP Jakarta Barat berbuah manis. Setelah berakhirnya Program Pengungkapan Sukarela di tanggal 30 Juni 2022 Kanwil DJP Jakarta Barat tampil sebagai kanwil tertinggi di Indonesia untuk angka yang diraih dari program ini. Baik dari segi jumlah peserta yang mengikuti Program Pengungkapan Sukarela dan juga dari jumlah PPh Final yang dibayarkan atas pengungkapan harta yang dilakukan oleh wajib pajak. Sebanyak 23.883 wajib pajak Kanwil DJP Jakarta Barat Telah mengikuti Program Pengungkapan Sukarela dengan Rincian Sebagai Berikut : Jenis Kebijakan Jumlah Wajib Pajak Jumlah PPh Final (Rupiah) Jumlah Nilai harta Bersih (Rupiah) Kebijakan I 8.427 1.673,47 M Kebijakan II 21.967 5.590,08 M TOTAL 23.883 7.263,55 M 71.240,77 M Capaian yang sangat membanggakan bagi Kanwil DJP Jakarta Barat, sama seperti catatan capaian sebelumnya dalam program Tax Amnesty pada tahun 2016-2017. Saat pelaksanaan Program Tax Amnesty, Kanwil DJP Jakarta Barat juga menorehkan prestasi yang sama sebagai Kanwil yang mencatat penerimaan uang tebusan Tax Amnesty terbesar se-Indonesia dari seluruh Kanwil yang ada. Kesuksesan pencapaian ini tentunya sangat menggembirakan dan membanggakan bagi Kanwil DJP Jakarta Barat dan juga berpengaruh positif ke kinerja penerimaan Kanwil DJP Jakarta Barat. Sampai dengan akhir Juli 2022 Kanwil DJP Jakarta Barat telah mencapai Penerimaan sebesar Rp38,236 miliar atau 75,30 % dari target sebesar Rp50,781 miliar. Program Pengungkapan Sukarela ini tentunya akan membawa dampak positif bagi semua pihak, selain memberi manfaat bagi wajib pajak yang mengikutinya, program ini juga memberikan manfaat bagi DJP dalam hal data yang masuk ke sistem DJP menjadi lebih lengkap dan menjadikan basis datanya DJP semakin kuat. Untuk meningkatkan rasio perpajakan tentunya terhadap semua data yang ada di Direktorat Jenderal Pajak akan ditindaklanjuti dengan peningkatan pengawasan, pemeriksaan dan penegakan hukum. Bagi wajib pajak yang mengikuti PPS jika masih ada potensi pajak yang muncul dari harta yang diungkapkan, segera dilakukan pembayaran pajaknya dan melaporkannya di SPT Tahunan. Hal ini sesuai dengan tujuan awal dari PPS itu sendiri untuk meningkatkan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak sehingga setelah mengikuti PPS Wajib Pajak akan melaksanakan kewajiban perpajakan nya dengan benar. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mengikuti Program Pengungkapan Sukarela ini akan tetapi masih memiliki kewajiban perpajakannya belum dilaksanakan secara benar tentunya selain tidak mendapatkan manfaat dari program ini dan juga akan dilakukan tindak lanjut atas data yang dimiliki oleh DJP yang dimulai dengan melakukan klarifikasi melalui SP2DK yang diikuti dengan langkah-langkah lainnya sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku. Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 33 Keluarga merupakan basis dalam administrasi Pajak penghasilan atas Orang Pribadi. Hal ini tercermin dalam dua hal, yaitu dalam penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) serta penghitungan PPh terutang. Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan pengurang dari Penghasilan Neto untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. Nilai PTKP tergantung pada: status perkawinan, status pekerjaan istri, serta jumlah tanggungan. Sementara itu, dalam hal penghitungan PPh terutang, nilai dari penghasilan neto tidak hanya didasarkan pada penghasilan kepala rumah tangganya saja, namun juga perlu mempertimbangkan penghasilan dari istri dan anggota keluarga lainnya. Terkait dengan penghasilan istri, penerapan perpajakannya menjadi bisa berbedabeda. Penerapan perpajakannya tergantung pada beberapa faktor, seperti: adanya perjanjian terkait dengan penghasilan di antara suami-istri, jenis penghasilan, maupun penerapan perpajakan Penulis: Benny Oktis Yanurwenda Keluarga sebagai Basis Pemajakan dalam PPh Orang Pribadi yang dipilih oleh istri. Keadaan-keadaan tersebut akan mempengaruhi penerapan kewajiban perpajakannya pada dua hal, yaitu: 1. apakah penghasilan istri digabungkan dengan penghasilan suami untuk menghitung PPh terutang, dan 2. apakah kewajiban perpajakan istri dilakukan terpisah dari kewajiban perpajakan suami.. Secara umum, terdapat empat perlakuan perpajakan atas penghasilan istri. Perlakuan perpajakan tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut ini. 1. Penghasilan istri digabungkan dengan penghasilan suami dalam penghitungan pajak terutang, dan kewajiban perpajakannya dilakukan oleh suami sepenuhnya Apabila tidak terdapat hal-hal yang bersifat khusus, penerapan kewajiban PPh bagi keluarga Ilustrasi: Freepik.com


100.000.000 = 200.000.000 PTKP (K/I/1) 117.000.000 Penghasilan Kena Pajak 83.000.000 PPh terutang Tarif Ps. 17 x 83.000.000 = Rp 7.450.000,00 Jumlah tersebut menjadi tanggung jawab Pak Roby untuk melunasinya ke kas negara. 2. Penghasilan istri digabungkan dengan penghasilan suami dalam penghitungan pajak terutang, dan kewajiban perpajakannya dilakukan secara terpisah Meskipun secara umum kewajiban perpajakan suami-istri yang terikat dalam perkawinan dijadikan satu, namun dalam keadaan tertentu bisa saja melaksanakan kewajiban perpajakannya terpisah dari suami. Sebagaimana diatur pada Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UU PPh, keadaan ini dapat terjadi apabila hal ini dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pisah harta dan penghasilan atau hal ini dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Meskipun melaksanakan kewajiban perpajakannya secara terpisah, namun penghitungan pajak terutangnya masih diakumulasi antara penghasilan suami dan istri. Secara umum, penghitungan PPh terutangnya tidak terlalu berbeda dengan skema pertama di atas. Perbedaan yang utama dalam skema ini adalah terdapat penghitungan PPh yang menjadi tanggung jawab masing-masing pihak. Penghitungan ini didasarkan pada perbandingan penghasilan neto dari suami dan istri. Penerapan dari skema penghitungan ini dapat dilihat seperti pada contoh berikut. Kondisi masih seperti contoh pada angka 1 di atas (Pak Roby dan bu Stella). Perbedaannya adalah, Pak Roby dan Bu Stella memiliki perjanjian pisah harta. Penghitungan jumlah kewajiban pajak secara keseluruhan masih sama dengan contoh di atas. Sementara itu, penghitungan kewajiban perpajakan masing-masing adalah sebagai berikut: PPh terutang Rp 7.450.000,00 Kewajiban pajak Pak Roby (100.000.000/200.000.000) x 7.450.000 = Rp3.725.000,00 Kewajiban pajak Bu Stella (100.000.000/200.000.000) x 7.450.000 = Rp3.725.000,00 Penghasilan istri diperlakukan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak secara final dalam penghasilan suami Pasal 8 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa dalam keadaan tertentu, penghasilan istri dapat Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 35 diperlakukan sebagai penghasilan yang dikenai pajak secara final. Keadaan tersebut adalah apabila penghasilan istri semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan PPh Pasal 21 dan pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya. Dengan demikian, dalam penghitungan kewajiban pajak suami tidak perlu diakumulasikan dengan penghasilan istri. Konsekuensinya, suami tidak berhak memperhitungkan PTKP atas status istri yang bekerja dan PPh Pasal 21 istri dianggap sebagai pajak final yang tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak suami. Penerapan dari skema penghitungan ini dapat dilihat seperti pada contoh berikut. Pak Ello dan Bu Wanda merupakan pasangan suami istri yang tidak memiliki perjanjian pisah harta dan memiliki 1 anak tanggungan. Pada tahun 2020, Pak Roby bekerja sebagai pegawai swasta dengan penghasilan neto setahun sebesar Rp100 juta. Sementara itu, Bu Stella bekerja sebagai karyawan BUMN dengan penghasilan neto setahun sebesar Rp100 juta yang telah dipotong PPh Pasal 21. Penghitungan PPh terutang adalah sebagai berikut: Penghasilan Pak Ello 100.000.000 (tidak diakumulasi dengan istri) PTKP (K/1) 63.000.000 Penghasilan Kena Pajak 34.000.000 PPh terutang Tarif Ps. 17 x 34.000.000 = 1.700.000 Kewajiban Pajak Pak Ello Rp 1.700.000,00 Kewajiban Pajak Bu Wanda tarif Ps. 17 x (100.000.000- 54.000.000) =Rp2.300.000,00 (merupakan PPh final) Kewajiban perpajakan istri dilakukan secara terpisah sepenuhnya dari kewajiban perpajakan suami Ada kalanya, suatu perkawinan berakhir dengan perceraian. Pada keadaan demikian, menurut Pasal 8 ayat (2) UU PPh, dalam administrasi perpajakan suami-istri tersebut berstatus Hidup Berpisah. Penghitungan dan pemenuhan kewajiban perpajakannya dilakukan secara terpisah. Apabila terdapat anak yang menjadi tanggungan, penghitungan PTKP atas anak tersebut tergantung pada putusan hakim perceraian. Penerapan dari skema penghitungan ini dapat dilihat seperti pada contoh berikut. Pak Charles dan Bu Diana merupakan suami istri yang telah berpisah secara hukum dan memiliki 1 anak tanggungan. Berdasarkan putusan hakim, hak asuh anak jatuh pada Bu Diana. Pada tahun 2020, Pak Roby bekerja sebagai pegawai swasta dengan penghasilan neto setahun sebesar Rp100 juta. Sementara itu, Bu Stella bekerja sebagai karyawan BUMN dengan penghasilan neto setahun sebesar Rp100 juta. Penghitungan PPh terutang adalah sebagai berikut: Pak Charles Bu Diana Penghasilan Neto 100.000.000 100.000.000 PTKP 54.000.000 (TK/0) 58.500.000 (TK/1) Pengh. Kena Pajak 46.000.000 41.500.000 PPh. terutang Rp2.300.000,00 Rp2.075.000 Di samping pengaturan yang bersifat umum di atas, bisa jadi masing-masing keluarga memiliki keadaan-keadaan tersendiri. Keadaan-keadaan tersebut bisa jadi mempengaruhi penerapan perpajakan terhadap keluarga tersebut. Beberapa keadaan yang bersifat khusus dan penerapan perpajakannya adalah sebagaimana diuraikan berikut ini. 1. Pengaruh Putusan Hakim Perceraian dalam Perpajakan Dalam suatu rumah tangga biasanya ditemukan berbagai permasalahan. Ketika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan, terkadang pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian. Hakim yang menangani perceraian kemudian akan memutuskan berbagai hal, seperti pembagian harta bersama, hak asuh atas anakanak, maupun kewajiban pemberian nafkah dari suami kepada istri. Bagi Aparatur Sipil Negara,


36 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 kewajiban nafkah ini bahkan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Keputusan Hakim tersebut berpengaruh juga terhadap kewajiban perpajakan bagi masingmasing pihak. Keputusan pembagian harta bersama menentukan siapa yang berkewajiban melaporkan harta tersebut paska perceraian. Sementara itu, keputusan hak asuh anak menentukan siapa yang berhak memperhitungkan anak dalam PTKP. Di sisi lain, terkadang putusan hakim juga terkait dengan pemberian uang nafkah. Hal ini menyebabkan adanya aliran uang dari pihak suami ke istri. Keadaan demikian memunculkan pertanyaan apakah pembayaran uang nafkah tersebut dapat mengurangi kewajiban perpajakan dari suami. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Sementara itu, uang nafkah akibat perceraian tentu saja bukanlah pengeluaran yang terkait dengan kegiatan usaha suami. Oleh karena itu, uang nafkah tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto suami dalam penghitungan PPh terutangnya. 2. Pernikahan dengan Lebih dari Satu Istri Di dalam masyarakat, terkadang terjadi pernikahan poligami di mana satu suami memiliki lebih dari satu istri. Keadaan ini bisa jadi memiliki dampak dalam penghitungan kewajiban perpajakannya. Hal yang terkait dengan perpajakan antara lain pada penggabungan penghasilan apabila istri-istri memiliki penghasilan serta penghitungan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dari sisi penggabungan penghasilan, apabila para istri memiliki penghasilan masing-masing, maka pada dasarnya penghasilan istri-istri tersebut harus diakumulasikan dengan penghasilan suami. Namun demikian, Undang-Undang PPh hanya memberikan satu penghitungan PTKP untuk status kawin meskipun sang suami memiliki dua atau lebih istri. Dalam hal PTKP untuk istri bekerja, Undang-Undang PPh juga hanya memberikan satu penghitungan PTKP meskipun seluruh istri juga bekerja. Penerapan dari skema ini adalah sebagai berikut. Pak Darmo menikah dengan dua istri, yaitu Bu Natasha dan Bu Melati dan belum memiliki tanggungan. Pada tahun 2020, Pak Darmo bekerja sebagai karyawan swasta dengan jumlah penghasilan neto Rp100 juta, Bu Natasha memiliki usaha jahit dengan penghasilan neto Rp100 juta, sedangkan Bu Melati memiliki usaha warung makan dengan penghasilan neto Rp100 juta. Penghitungan PPh Pak Darmo adalah sebagai berikut: Penghasilan Pak Darmo 300.000.000 (diakumulasi dengan penghasilan seluruh istri) PTKP (K/I/0) 112.500.000 Penghasilan Kena Pajak 187.500.000 PPh terutang Tarif Ps. 17 x 187.500.000 = Rp 23.125.000,00 Jumlah tersebut menjadi tanggung jawab Pak Darmo untuk melunasinya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan basis dalam penghitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Perbedaan keadaan keluarga, khususnya pada cara penghasilan istri dan jumlah tanggungan, dapat menyebabkan perbedaan skema penerapan perpajakannya. Oleh karena itu, Wajib Pajak Orang Pribadi perlu memperhatikan ketentuan perpajakan yang relevan dengan kondisi keluarganya agar dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 37 Penanggung Pajak dalam Penyelesaian Tunggakan Pajak Penulis : Benny Oktis Yanurwenda Ilustrasi: Freepik.com Siang itu, Pak Arnold sangat terkejut. Rumahnya didatangi oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang didampingi aparat kepolisian. Rupanya, pada siang itu, Jurusita Pajak Negara akan melakukan eksekusi penyitaan terhadap aset Pak Arnold akibat adanya tunggakan pajak atas Wajib Pajak badan dengan nilai yang sangat besar yang tidak juga terlunasi. Hal ini membuat Pak Arnold bertanyatanya, mengapa hal ini dapat terjadi padanya. Padahal, dia sudah mengatur sedemikian rupa untuk menyembunyikan eksistensinya dari perusahaan tersebut. Namanya tidak tercantum pada akta perusahaan, baik sebagai pemegang saham maupun pada susunan manajemen. Andaikan Pak Arnold memahami mengenai ketentuan Penanggung Pajak, tentunya kejadian tersebut tidak terlalu mengherankan. Pak Arnold seharusnya menyadari kedudukannya sudah termasuk sebagai Penanggung Pajak meskipun namanya tidak tercantum pada akta pendirian perusahaan. Oleh


38 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 karena itu, penting bagi para Wajib Pajak untuk memahami pengaturan penagihan pajak agar mengetahui hak dan kewajibannya dalam proses penyelesaian tunggakan pajak. A. Proses Penagihan Pajak Secara umum, pengaturan mengenai penagihan pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta perubahannya. Ketentuan yang bersifat lex specialis mengenai Penagihan Pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa beserta perubahannya. Sementara itu, hal-hal yang bersifat teknis Penagihan Pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar. Penagihan Pajak dimulai sejak adanya suatu ketetapan pajak yang menimbulkan adanya piutang pajak, baik berupa Surat Tagihan Pajak, SKPKB, SKPKBT, putusan keberatan, maupun putusan banding. Wajib Pajak diberikan waktu selama satu bulan sejak tanggal inkrachtnya suatu piutang pajak untuk dapat melunasi tunggakannya. Suatu piutang pajak berstatus inkracht apabila piutang tersebut sudah tidak ada sengketa pajak atau tidak dapat lagi diajukan dalam proses penyelesaian sengketa pajak, misalnya Wajib Pajak menyetujui SKPKB yang diterbitkan atau Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan keberatan sampai dengan batas waktu penyampaian permohonan. Apabila ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi kewajibannya, maka 7 hari setelah saat jatuh tempo, DJP dapat menerbitkan Surat Teguran. Apabila Wajib Pajak tidak juga menyelesaikan tunggakannya, paling cepat 21 hari setelah Surat Teguran, DJP dapat menyampaikan Surat Paksa kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Apabila dalam 2x24 jam sejak Surat Paksa disampaikan, Penanggung Pajak tidak mengindahkannya, maka DJP dapat melanjutkan upaya penagihan dengan melakukan penyitaan aset Wajib Pajak. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 dan penjelasannya, diatur bahwa Surat Paksa memiliki memiliki kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan Pengadilan Pajak yang telah berkekuatan hukum tetap. Surat Paksa memiliki kekuatan hukum yang sama dengan grosse putusan hakim dalam perkara perdata sehingga terhadap Surat Paksa tidak dapat diajukan banding. Sifat dari Surat Paksa ini memberikan kewenangan kepada DJP untuk melakukan tindakan penagihan yang lebih tegas. B. Penanggung Pajak Penyitaan oleh DJP dalam rangka Penagihan Pajak akan dilakukan secara terukur dan tidak dapat dilakukan pada sembarang pihak. Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 (PMK189) mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, terhadap Penanggung Pajak inilah tindakan penagihan pajak, khususnya yang bersifat represif seperti: penyitaan, pencegahan, maupun penyanderaan, akan dilakukan. Pihak-pihak yang dapat diperlakukan sebagai Penanggung Pajak tergantung pada siapa wajib pajak yang memiliki tunggakan pajak, Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi. Dalam Pasal 6 PMK-189 diatur bahwa atas Wajib Pajak Orang Pribadi, pihak-pihak yang merupakan Penanggung Pajak adalah: orang pribadi yang bersangkutan; istri dari wajib pajak; salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan; para ahli waris; wali; serta pengampu. Pengaturan lebih detail tentang Penanggung Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi adalah sebagaimana disajikan pada tabel 1. Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 39 Tabel 1. Penanggung Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi No Penanggung Pajak Bertanggung Jawab atas Keterangan 1 Orang pribadi bersangkutan seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak 2 Istri dari WP Orang Pribadi bersangkutan seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan sebagai satu kesatuan 3 Salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak paling banyak sebesar jumlah harta warisan yang belum terbagi, Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum terbagi; 4 Para ahli waris atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak paling banyak sebesar porsi harta warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris, Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi 5 Wali atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar: 1. paling banyak sebesar jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; atau 2. seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut; bagi anak yang belum dewasa 6 Pengampu atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar: 1. paling banyak sebesar jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya; atau 2. seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut; bagi orang yang berada dalam pengampuan Sementara itu, Penanggung Pajak untuk Wajib Pajak Badan diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 PMK-189 yaitu bahwa Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan terdiri atas Wajib Pajak Badan bersangkutan dan pengurus dari Wajib Pajak Badan. Wajib Pajak badan bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. Sementara itu, pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai pengurus diklasifikasikan berdasarkan jenis badannya. Pengaturan lebih detail mengenai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan adalah sebagaimana disajikan pada tabel 2.


40 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Tabel 2. Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan No Badan Penanggung Pajak 1 Perseroan Terbatas Direksi, yang meliputi: a) direktur utama, presiden direktur atau jabatan yang setingkat; b) wakil direktur utama atau jabatan yang setingkat; dan/atau c) direktur yang mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan di bidang keuangan, dewan komisaris yang meliputi: a) komisaris utama atau presiden komisaris atau jabatan yang setingkat; b) wakil komisaris utama atau jabatan yang setingkat; dan/atau c) komisaris lainnya, orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada perseroan terbatas Pemegang saham untuk perseroan terbatas terbuka, meliputi: 1) Pemegang Saham Mayoritas dan/atau Pemegang Saham Pengendali, yang atas sahamnya tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di bursa efek; 2) Pemegang saham lainnya selain pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam angka 1), yang atas sahamnya tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di bursa efek; dan/atau 3) Pemegang Saham Mayoritas tidak langsung dan/atau Pemegang Saham Pengendali tidak langsung; Pemegang saham untuk perseroan terbatas tertutup meliputi: 1) seluruh pemegang saham dari perseroan terbatas; dan/atau 2) Pemegang Saham Mayoritas tidak langsung dan/atau Pemegang Saham Pengendali tidak langsung, 2 Bentuk Usaha Tetap kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, atau jabatan yang setingkat, perusahaan induk dari bentuk usaha tetap orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada bentuk usaha tetap, pemilik modal 3 Persekutuan Komanditer sekutu komplementer/sekutu aktif/sekutu pengurus orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada persekutuan komanditer,; dan/atau sekutu komanditer/sekutu pasif 4 Persekutuan Perdata dan Persekutuan Firma para sekutu; dan/atau orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada persekutuan perdata dan persekutuan firma, 5 Koperasi pengurus pengawas orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada koperasi Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 41 6 Yayasan ketua atau jabatan yang setingkat; sekretaris Bendahara pembina Pengawas orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada yayasan 7 Kerja Sama Operasi (Joint Operation) pimpinan atau jabatan yang setingkat orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada kerja sama operasi (joint operation) pemilik modal 8 Badan lainnya pimpinan atau jabatan yang setingkat orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan Badan pemilik modal 9 Satuan Kerja Instansi Pemerintah bendahara yang bersangkutan pimpinan satuan kerja orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam satuan kerja Pada prinsipnya, seluruh pengurus bertanggung jawab atas penyelesaian tunggakan pajak dan biaya penagihan, baik secara sendiri maupun secara renteng. Artinya, harta pribadi dari para pengurus tersebut dapat dieksekusi oleh DJP untuk melunasi tunggakan pajaknya. Namun, untuk pemegang saham dari Perseroan Terbatas, pemilik modal dari Bentuk Usaha Tetap, Kerja Sama Operasional (Joint Operation), dan Badan Lainnya, serta sekutu komanditer/ sekutu pasif dari Persekutuan Komanditer maka kewajiban penyelesaian tunggakan pajaknya dihitung secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau porsi setoran modalnya. Pada daftar Penanggung Pajak di atas terdapat kelompok “orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan”. Pasal 7 ayat (3) PMK-189 memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dalam pengertian orang yang nyata-nyata tersebut adalah: 1. orang yang berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga dan/atau menandatangani cek; 2. orang yang berwenang mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi, anggota dewan komisaris, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pengurus, pengawas, pimpinan, atau jabatan setingkat; 3. orang yang berwenang atau berkuasa untuk mempengaruhi atau mengendalikan Wajib Pajak Badan tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun; dan/atau 4. orang yang merupakan pemilik sebenarnya atas saham atau modal pada Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, meskipun seseorang tidak masuk dalam dokumen hukum suatu perusahaan, namun apabila yang bersangkutan memenuhi kriteria di atas, terhadapnya dapat dilakukan tindakan penagihan, baik berupa penyitaan, pencegahan, maupun penyanderaan. Sebagai contoh, apabila ternyata Pak Arnold pada kasus di atas merupakan orang yang berwenang dalam menentukan persetujuan suatu kontrak yang dilakukan perusahaannya, maka Pak Arnold dapat diklasifikasikan sebagai orang yang nyatanyata berwenang dalam membuat keputusan meskipun Pak Arnold tidak tercantum namanya dalam akte perusahaan. Oleh karena itu, tindakan


42 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 penyitaan terhadap aset pribadi Pak Arnold merupakan tindakan yang telah sesuai hukum. Dalam keadaan tertentu, bisa saja Penanggung Pajak melakukan perubahanperubahan susunan kepemilikan maupun susunan kepengurusan dari Wajib Pajak Badan untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam situasi demikian, DJP akan melakukan tindakan penagihan kepada Wajib Pajak dan pengurus terbaru terlebih dahulu. Meskipun demikian, bukan berarti pengurus lama dapat menghindarkan diri dari kewajibannya. Apabila setelah dilakukan penagihan ternyata tunggakan pajaknya masih belum lunas, Pasal 7 ayat (6) PMK-189 memberikan kewenangan bagi DJP untuk melakukan penagihan kepada pengurus sebelumnya. Di sisi lain, bisa saja Wajib Pajak berada dalam keadaan pailit; dibubarkan, dilikuidasi, atau status badan hukumnya berakhir; dilakukan Penggabungan; dilakukan Peleburan; dan/atau dilakukan Pemisahan. Meskipun Wajib Pajak berada pada keadaan tersebut, aktivitas penagihan pajak masih dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak tersebut. Pelaksanaan tindakan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 76 PMK-189 adalah sebagai berikut: 1. Dalam hal harta kekayaan Wajib Pajak yang dinyatakan pailit tidak mencukupi untuk melunasi Utang Pajak, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak. 2. Setelah Wajib Pajak dibubarkan, dilikuidasi, atau status badan hukumnya berakhir, tindakan penagihan Pajak tetap dapat dilakukan kepada Penanggung Pajak. 3. Dalam hal Wajib Pajak melakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak atas Wajib Pajak yang masih memiliki Utang Pajak sebelum dilakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan, kecuali dapat membuktikan bahwa kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. Apabila masih terdapat tunggakan pajak pada saat Wajib Pajak mengalami keadaan di atas sehingga sudah tidak eksis lagi, DJP masih dapat melakukan penagihan pajak kepada para pengurusnya. Para pengurus tersebut bertanggung jawab menyelesaikan tunggakan tersebut baik melalui harta yang berasal dari perusahaan maupun harta pribadinya. Oleh karena itu, apabila para pengurus perusahaan membubarkan perusahaannya untuk menghindarkan diri dari tunggakan pajaknya, ketentuan ini memberikan kewenangan kepada DJP untuk tetap menagih kepada para pengurus lamanya. C. Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tunggakan pajak tidak hanya dapat ditagihkan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan. PMK-189 memberikan pengaturan mengenai Penanggung Pajak yang juga bertanggung jawab atas tunggakan pajak suatu Wajib Pajak. Pengaturan pada PMK-189 tersebut relatif ketat sehingga hal ini seharusnya dapat mencegah Wajib Pajak melakukan pengaturan-pengaturan tertentu untuk melepaskan diri dari kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, akan lebih baik bagi Wajib Pajak untuk memiliki itikad baik dalam penyelesaian tunggakan pajaknya. . Pajak Kite


, dan sebagainya. Layanan ini dinamakan “over the top” karena konten seperti video dan audio ini dikirimkan secara “over the top” atau “melewati” platform konvensional seperti televisi. Dengan metode ini seluruh pengguna dapat melakukan streaming kapanpun dan dimanapun, ataupun dapat menonton dan mendengarkan ulang konten berkali-kali sesuai keinginan pengguna selama pengguna memiliki koneksi internet. Sumber: Global Digital Report 2022 oleh Hootsuite dan We Are Social


Hotstar dan lain sebagainya. Apabila penyedia layanan OTT merupakan perusahaan yang berdomisili di dalam negeri, maka aspek perpajakannya sudah pasti mengikuti ketentuan perpajakan atas wajib pajak pada umumnya. Pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya relatif lebih mudah mengingat wajib pajak berada di Indonesia. Beberapa potensi penghasilan yang dapat dikenakan pajak atas kegiatan penyedia layanan OTT dalam negeri antara lain: a. aspek perpajakan berkaitan dengan distribusi konten secara daring 1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 PPh Pasal 23 dikenakan atas royalti penggunaan hasil karya konten dengan tarif 15 persen. 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dengan tarif 11 persen. b. aspek perpajakan berkaitan dengan produksi konten orisinal 1. PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi yang merupakan tim produksi konten. 2. PPh Pasal 23 PPh Pasal 23 sebesar 2 persen dikenakan atas sewa dan jasa yang digunakan selama Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 45 proses pembuatan konten (selain yang sudah dipotong oleh PPh 21) seperti jasa animasi dan mixing film. Serta atas royalti penggunaan hasil karya konten dengan tarif 15 persen. 3. PPh Pasal 4(2) Jika selama produksi pembuatan konten terjadi sewa atas tanah dan/atau bangunan, maka akan dikenakan PPh Pasal 4(2) dengan tarif 10 persen. 4. PPN PPN dikenakan atas penyerahan dan/ atau impor BKP, pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean serta penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang dibutuhkan selama produksi konten seperti sewa alat, jasa animasi, jasa editing dan lain-lain. Tantangan dalam pengenaan pajak layanan OTT muncul tatkala subyek pajak layanan OTT tidak bertempat kedudukan dalam yuridiksi negara Indonesia (layanan OTT asing). Namun, prinsip utamanya adalah selama perusahaan mendapatkan manfaat ekonomi dari yurisdiksi atau negara terkait (significant economic presence) maka akan tetap harus membayar pajak. Penghitungan pajak ditentukan oleh dua faktor, yaitu subjek dan objek pajak. UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) mengatur bahwa subjek pajak terdiri dari Orang Pribadi, Badan, Warisan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Definisi BUT menurut aturan domestik Indonesia adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh: 1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia; 2. Warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan 3. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Perlakuan perpajakan terhadap layanan OTT asing yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia jika layanan OTT tersebut melakukan kegiatan usaha melalui BUT atau Permanent Establishment (PE), maka dipersamakan dengan subjek pajak badan. Namun, penentuan subjek pajak dalam transaksi ekonomi lintas negara sering kali menjadi bias karena tidak ada kehadiran fisik perusahaan di negara pengguna (negara sumber penghasilan). Adapun batas waktu 183 hari dalam penentuan BUT berlaku jika tidak ada tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara asal BUT tersebut. Secara umum P3B dibuat berdasarkan model internasional tertentu, misalnya berdasarkan model yang dikembangkan oleh Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) yang disebut dengan OECD Model. Konsep BUT menurut Article 5 OECD Model didefinisikan sebagai “a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on” atau suatu tempat usaha tetap, yang melalui tempat usaha tetap tersebut kegiatan usaha dari suatu perusahaan dijalankan secara sebagian atau secara keseluruhan. Selanjutnya Article 5 OECD Model menyebutkan bahwa BUT dapat berbentuk a place of management, a branch, an office, a factory, a workshop, atau a mine, an oil or gas well, a quarry or any other place of extraction of natural resources. Konsep BUT dalam P3B masih terfokus pada keberadaan tempat fisik yang tetap. Aturan domestik Indonesia mengenai BUT sendiri sebetulnya sudah mencakup definisi yang


46 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pajak Kite lebih luas. Dalam UU PPh diatur bahwa yang termasuk ke dalam jenis BUT adalah komputer atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan melalui internet. Namun P3B merupakan ketentuan yang bersifat spesialis. Sehingga jika antara Indonesia dengan negara mitra memiliki P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah P3B tersebut dan bukan aturan domestik Indonesia. Sedangkan penghasilan yang didapat perusahaan asing dari yurisdiksi atau negara sumber penghasilan hanya dapat dikenakan pajak oleh negara sumber tersebut jika perusahaan asing memiliki BUT di negara sumber. Ketentuan P3B mengenai BUT yang sangat terbatas ini menjadi tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam menarik pajak atas transaksi ekonomi yang terjadi atas penggunaan layanan OTT asing ini. Sifat “place of business” pada P3B ini memunculkan tantangan dalam penentuan hak pemajakan layanan OTT asing karena aktivitas ekonomi secara nyata terjadi di negara sumber tetapi subjek pajak tersebut tidak memiliki kehadiran fisik di negara sumber sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai BUT. Kesepakatan OECD atas Pemajakan Ekonomi Digital Kabar baiknya, Multilateral Convention (MLC) atas dua pilar OECD (Two Pillar Solutions) sedang dalam proses pembahasan oleh tim The Inclusive Framework (IF) on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Inclusive Framework adalah forum yang dibentuk oleh OECD dan negara G20 agar negara nonanggota OECD dan G20 dapat berpartisipasi. Menurut laporan dari OECD, sampai dengan November 2021 terdapat sejumlah 141 negara yang tergabung dalam anggota IF. Artikel yang berjudul ”Inclusive Framework Pilar Satu dan Pilar Dua #3” yang dimuat dalam laman https://komwasjak.kemenkeu. go.id, Herry Setiawan menuliskan bahwa Pilar 1 yaitu Unified Approach, merupakan usulan solusi yang berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital. Hal tersebut dilakukan melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidak lagi berbasis kehadiran fisik, sedangkan Pilar 2 merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global. Dengan unified approach, selama perusahaan asing mendapat manfaat ekonomi dari negara sumber maka tetap harus membayar pajak kepada negara sumber tersebut dengan syarat batasan peredaran bruto perusahaan asing tersebut melebihi EUR 20 miliar dengan laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto mencapai di atas 10%.Jika sudah mencapai konsensus nanti, Pilar 1 ini bersifat wajib untuk diimplementasikan oleh seluruh anggota IF. Implementasi dari Pilar 1 ini bertujuan untuk mencapai hak pemajakan yang lebih adil. Bagi Indonesia sendiri, Pilar 1 ini dapat memperluas basis pajak Indonesia atas transaksi digital yang terjadi antar negara terutama atas penggunaan layanan OTT yang semakin hari semakin marak digunakan ini. Momentum Indonesia sebagai presidensi G20 diharapkan dapat mendorong terjadinya kesepakatan global dalam sistem perpajakan internasional ini. Dengan diterapkannya Pilar 1 ini akan menjadi titik terang bagi pengenaan pajak di banyak negara termasuk Indonesia. Dampaknya, sumber penerimaan negara dari pajak akan bertambah seiring dengan semakin luasnya basis yang dapat dikenakan pajak, yang pastinya akan semakin membantu perekonomian Indonesia. Aturan pengenaan pajak sudah semakin resilien mengikuti perkembangan aktivitas ekonomi yang sudah tidak memerlukan kehadiran fisik. Selain itu, wajib pajak juga akan diuntungkan dengan adanya Pilar 1 ini karena aturan pemajakan akan semakin jelas dan menghindari terjadinya pemajakan ganda (double taxation).


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 47 Setiap orang yang melakukan investasi tentu mengharapkan imbal hasil atau yield atau return. Imbal hasil bisa bermacam-macam sesuai dengan instrumen investasi yang dipilih misalnya pendapatan sewa dan kenaikan harga untuk properti, bunga/kupon untuk obligasi, bunga/ bagi hasil untuk tabungan dan deposito serta tidak ketinggalan Deviden dan capital gain untuk Saham. Adanya perubahan Undang-Undang PPh melalui UU Cipta Kerja diantaranya di Pasal 4 ayat 3 huruf f yang mengatur mengenai deviden yang dikecualikan dari objek pajak, menjadi angin segar bagi yang memilih menanamkan investasinya di saham. Dengan ketentuan ini, hasil investasi menjadi semakin meningkat karena dimungkinkan untuk tidak dikenakan pajak. Di sisi yang lain, bagi perusahaan yang membayarkan deviden, ketentuan ini memunculkan diskusi, baik di dunia nyata maupun dunia maya yang mengerucut pada kesimpulan bahwa deviden bukan lagi objek pemotongan/ pemungutan (Pot/Put) pajak namun menjadi kewajiban si penerima untuk melakukan penyetoran sendiri (apabila tidak memenuhi syarat pengecualian), ditambah lagi dengan ‘menghilangnya’ Kode Jenis Setoran 411128 419 (KJS pembayaran PPh atas deviden) dari aplikasi pembuatan bukti potong dan pelaporan SPT Masa Unifikasi (E-bupot Unifikasi) seolah menahbiskan bahwa deviden bukan lagi objek PPh Pot/Put, namun, benarkah demikian? Deviden menurut ketentuan Perpajakan Sebelum menjawab pertanyaan di atas ada baiknya kita melihat kembali pengertian deviden menurut Penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf g Undang-Undang PPh: Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah: 1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; 2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; 3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; 4. pembagian laba dalam bentuk saham; 5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; 6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; 7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahuntahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; 8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; 9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; 10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; 11. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan Kalau kita mencermati pengertian deviden di atas, kita dapat memahami bahwa Undang Undang PPh menganut pengertian deviden yang luas, substansi melebihi bentuk (substance over the form) tidak berhenti hanya pada pengertian deviden yang dipahami oleh umumnya masyarakat yaitu berupa pembagian laba pun juga pengertian yang diatur kriterianya dalam Benarkah Semua Deviden Tidak Dipotong Pajak? Penulis : Sutarmo Ilustrasi: Freepik.com


48 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pasal 71 dan 72 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, namun lebih luas lagi. Oleh karena itu, apabila kita mendapati ketentuan perpajakan yang mengatur tentang deviden maka yang dimaksudkan adalah deviden menurut ketentuan undang-undang PPh. Deviden yang dikecualikan dari objek pajak Setelah kita memahami berbagai macam penghasilan yang termasuk deviden sesuai Undang-Undang PPh kita kembali ke pokok pembahasan kita yaitu, Pasal 4 ayat 3 huruf f angka 1 Undang-undang PPh yang menyebutkan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak diantaranya adalah dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu; dan/atau yang diterima oleh badan dalam negeri(tanpa syarat investasi). Namun tidak cukup sampai di sini saja, kita harus melihat ketentuan pelaksanaan dari ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja ini yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor-18/ PMK.03/2021 (PMK-18) tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dibidang PPh, PPN dan PPnBM serta KUP menyebutkan antara lain: a. Pasal 14 ayat (1) Dividen yang dikecualikan dari objek PPh merupakan Dividen yang berasal dari: a. dalam negeri; atau b. luar negeri, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. b. Pasal 14 ayat (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak dalam negeri. c. Pasal 24 ayat (1) Dividen yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) merupakan Dividen yang dibagikan berdasarkan: a. rapat umum pemegang saham; atau b. Dividen interim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Pasal 24 ayat (2) Rapat umum pemegang saham atau Dividen interim Pajak Kite


JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 | 49 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk rapat sejenis dan mekanisme pembagian Dividen sejenis. Dari penjabaran di atas dapat kita katakan bahwa deviden yang dikecualikan adalah deviden yang dibagikan berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Dividen interim saja. Dua hal ini adalah syarat mutlak agar deviden dapat dikecualikan dari objek PPh. Pertanyaan lanjutan yang akan muncul adalah: bagaimana status pembayaran atas penghasilan yang termasuk deviden namun tidak berdasarkan RUPS atau Dividen interim? Apakah menjadi objek pemotongan PPh bagi perusahaan yang membayarkan ataukah bukan objek pemotongan pajak dan terutang oleh si penerima penghasilan sehingga harus menyetorkan sendiri sebagaimana kesimpulan sebagian orang hari ini? Kapan Kewajiban Setor Sendiri? Kewajiban setor sendiri atas penghasilan deviden disebutkan di Pasal 39-40 PMK-18 bahwa “Dividen atau penghasilan lain yang tidak memenuhi kriteria bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dan jangka waktu investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, terutang PPh saat Dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh”. Sementara kalau kita merunut masing-masing pasal maka kita akan sampai pada pemahaman bahwa dividen yang dimaksud adalah dividen yang dikecualikan dari objek PPh sesuai Pasal 14 dan pasal 24 PMK-18 artinya kewajiban setor sendiri ini hanya atas dividen yang telah memenuhi syarat pembagiannya “berdasarkan RUPS atau dividen interim” sesuai pasal 24 PMK-18 tersebut. Ilustrasi Untuk lebih memperjelas uraian di atas sebagaimana sebuah pepatah Arab mengatakan: “bil mitsal yattadhihul maqal” artinya “dengan memberikan contoh perkataan akan semakin jelas” mari kita lihat ilustrasi berikut: PT Darah Biru adalah perusahaan tertutup yang dimiliki oleh Keluarga Tuan RR pada Bulan Maret 2022 terdapat transaksi sebagai berikut: - Sesuai dengan keputusan RUPS deviden yang dibagikan oleh PT Darah Biru kepada pemegang saham (keluarga besar Tuan RR) adalah sebesar Rp. 1 Milyar, dari jumlah tersebut Rp. 400 juta diinvestasikan dan dilaporkan sesuai ketentuan PMK-18 sisanya tidak diinvestasikan - Keluarga Tuan RR mengadakan arisan keluarga di Pulau Bali dengan biaya sebesar Rp. 300 juta dan dicatat sebagai Biaya Perjalanan dinas dalam pembukuan PT Darah Biru Atas transaksi pertama, pembagian deviden sebesar Rp. 1 Milyar telah memenuhi syarat Pasal 24 PMK18 (dibagikan berdasarkan RUPS) sehingga atas pembayaran deviden tersebut PT Darah Biru tidak perlu melakukan pemotongan PPh (bukan objek pemotongan). Atas deviden sebesar Rp. 600 juta yang tidak memenuhi syarat investasi terutang PPh dan disetor sendiri oleh penerima deviden sebesar 10% dari Rp. 600 juta Sedangkan transaksi kedua, atas pengeluaran arisan keluarga yang dibebankan pada Perusahaan sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf g UndangUndang PPh termasuk kategori “Deviden” sebagaimana uraian pada bagian awal tulisan ini. Namun deviden ini tidak memenuhi syarat Pasal 24 PMK-18 sehingga tidak dikecualikan dari objek PPh oleh karena itu terdapat kewajiban pemotongan PPh final oleh PT Darah Biru sebesar 10% dari Rp. 300 juta Kesimpulan Jadi dari uraian dan ilustrasi di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: - Dari sudut pandang perusahaan yang membayar devidenTerdapat dua jenis Deviden yaitu Deviden yang dikecualikan dari pemotongan PPh dan deviden yang tetap wajib dipotong PPh - Deviden yang dikecualikan dari pemotongan PPh adalah deviden yang dibagikan berdasarkan RUPS atau deviden interim (Pasal 24 PMK-18) - Deviden yangn tidak berdasarkan RUPS atau deviden interim, wajib dipotong PPh final - Kewajiban setor sendiri deviden yang terutang PPh hanya berlaku atas deviden yang dibagikan berdasarkan RUPS atau deviden interim, yang tidak memenuhi syarat investasi, pelaporan/tata cara maupun jangka waktu sesuai Pasal 34,35 dan 36 PM


50 | JAWARA VOLUME IV EDISI 01 / AGUSTUS 2022 Pelaksanaan pembangunan Indonesia membutuhkan anggaran sangat besar yang sumber utamanya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Tahun 2021 penerimaan pajak menyumbangkan 1.277,5 T dari total realisasi pendapatan negara yang sebesar 2.003,1 T. Meskipun pajak menjadi pilar penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) namun motivasi masyarakat Indonesia untuk membayar pajak masih belum sesuai harapan. Hal ini tercermin dari tax ratio Indonesia pada 2020 yang sebesar 10,1% dari PDB berdasarkan laporan OECD dengan judul Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2022. Tax ratio Indonesia bahkan lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia (11,4%), Singapura (12,8%), Filipina (17,8%), dan Thailand (16,5%). Artinya tax ratio masih menjadi “pekerjaan rumah” yang terus diupayakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Indonesia patut bersyukur karena peluang naiknya tax ratio di masa depan terbuka lebar dengan memanfaatkan bonus demografi. Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2020 yang telah dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik dalam laman bps.go.id, mayoritas penduduk Indonesia didominasi oleh generasi Z, generasi yang lahir pada rentang waktu tahun 1997-2012, dengan proporsi 27,94% dari total populasi Indonesia. Dengan jumlah penduduk usia muda yang besar dan masih tersedianya waktu sebelum mereka memasuki usia produktif dan berkecimpung di dunia kerja menjadi tantangan bagi DJP untuk menanamkan pemahaman yang mencukupi tentang pentingnya pajak bagi negara sejak dini. Inklusi Kesadaran Pajak Usaha DJP untuk menanamkan kesadaran pajak secara formal kepada usia sekolah sudah dimulai sejak 2011 ketika DJP mengembangkan Program Inklusi Kesadaran Pajak, yaitu program yang ditujukan untuk memberikan edukasi perpajakan kepada masyarakat terkait peran, fungsi, dan sifat pajak serta pentingnya peranan pajak dalam kehidupan bernegara sehingga menimbulkan kerelaan masyarakat dalam memberikan kontribusi pada negara. Dalam pelaksanaannya, pada tahun 2014 ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengatur mengenai Program Inklusi Kesadaran Pajak dalam bidang Pendidikan. Dengan menggandeng Program Inklusi Kesadaran Pajak: Program Ditjen Pajak Untuk Membangun Budaya Sadar Pajak Generasi Muda Penulis : Fajar Subhan Ilustrasi: Istimewa Pajak Kite


Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.